Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK

PEMICU I
MODUL GINJAL DAN CAIRAN TUBUH

Oleh:
Kelompok 5:

1. David Aron Mampan Pryono I11112065


2. Adinda Gupita I1011141013
3. Giovanni Lawira I1011161007
4. Muhammad Ibnu Nazari I1011161009
5. Michela Hengrawi Harianto I1011161013
6. Hesti Ratna Pratiwi I1011161023
7. Dewi Sapitri I1011161032
8. Dita Rahma Sumarna I1011161039
9. Prayoga Kurniawan I1011161040
10. Christy Yella Harianja I1011161067
11. Adinda Rabiattun Adawiah I1011161070

Program Studi Pendidikan Dokter


Fakultas Kedokteran
Universitas Tanjungpura

12. 2018
13.
14.
15.
16.
17.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Pemicu
Danang 21 tahun, seorang mahasiswa FK Untan mendapati BAK-
nya berwarna kuning bening di pagi hari setelah sarapan pagi. Selama
kuliah, Danang sangat aktif dan sering terlupa untuk minum. Di sore
harinya, Danang rutin olahraga jogging selama 30 menit. Setelah jogging,
Danang mendapati kali ini BAK-nya sedikit dan berwarna kuning pekat.
Selain itu, Danang juga merasa sangat haus, lalu disarankan oleh temannya
untuk minum air mineral yang cukup.

1.2. Klasifikasi dan Definisi


-

1.3. Kata Kunci


- Danang, laki-laki 21 tahun
- BAK pada pagi hari berwarna kuning bening
- Sangat aktif, kurang minum
- Rutin jogging 30 menit pada sore hari
- Setelah jogging, BAK sedikit dan warna kuning pekat.

1.4. Rumusan Masalah


Danang, laki-laki 21 tahun mendapati perubahan warna dan volume
BAK setelah beraktivitas dan kurang minum.

1
1.5. Analisis Masalah

Danang, laki-laki 21 tahun

Perubahan volume Perubaha warna BAK


BAK (menjadi (kuning bening-
sedikit) kuning pekat

Homeostasis cairan tubuh

Sistem perkemihan

Produksi urin

Dehidrasi

1.6. Hipotesis
Perubahan volume dan warna pada BAK Danang, laki-laki 21 tahun
dipengaruhi oleh aktivitas yang dilakuan dan asupan cairan yang
dikonsumsi.

1.7. Petanyaan Diskusi


1. Sistem Urinaria
a. Anatomi
b. Histologi
c. Vaskularisasi dan inervasi
d. Hormon-hormon yang mempengaruhi
2. Fisiologi keinginan BAK
3. Fisiologi pembentukan urin

2
4. Mekanisme rasa haus
5. Renal clearance
6. Homeostasis cairan tubuh
7. Hubungan produksi urin terhadap
a. Aktivitas fisik
b. Konsumsi cairan
c. Jenis kelamin
d. Usia
e. Faktor lain yang mempengaruhi produksi urin
8. Karakteristik urin normal
9. Dehidrasi
a. Definisi
b. Klasifikasi
c. Manifestasi
d. Faktor risiko
e. Tata laksana
10. Apakah kebiasaan yang dilakukan Danang, laki-laki 2 tahun jika
diteruskan dapat menyebabkan suatu penyakit?

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Sistem Urinaria


2.1.1. Anatomi
Sistem urinaria atau perkemihan alah sistem organ yang
memproduksi, menyimpan, dan mengalirkan urin. Pada manusia, sistem ini
terdiri dari dua ginjal, dua ureter, kandung kemih, dan uretra.

a. Ginjal
Manusia memiliki sepasang ginjal yang terletak di belakang perut
atau abdomen. Spesifiknya yaitu dibelakang peritoneum pada bagian
belakang rongga abdomen, mulai dari vertebra torakalis kedua belas
(T2) sampai vertebra lumbalis ketiga (L3). Ginjal kanan lebih rendah
daripada ginjal kiri karena adanya hati. Saat inspirasi, kedua ginjal
tertekan ke bawah karena kontraksi diafragma. Kedua ginjal dibungkus
oleh dua lapisan lemak (lemak perirenal dan lemak pararenal) yang
membantu meredam goncangan. Adapun korteks ginjal yang
merupakan zona dalam yang terdiri dari piramida-piramida ginjal.
Korteks terdiri dari keseluruhan glomerulus dan medulla terdiri dari
ansa henle, vasa rekta, dan bagian akhir dari duktus kolektivus. Unit
fungsional dasar dari ginjal adalah nefron yang dapat berjumlah lebih
dari satu juta buah dalam satu ginjal normal manusia dewasa.1,2
b. Ureter
Ureter merupakan saluran sepanjang 25-30 cm yang membawa hasil
penyaringan ginjal (filtrasi, reabsorpsi, sekresi) dari pelvis renalis
menuju vesica urinaria. Terdapat sepasang ureter yang terletak
retroperitoneal, masing-masing satu untuk setiap ginjal. Ureter setelah
keluar dari ginjal (melalui pelvis) akan turun di depan m. psoas major,
lalu menyilangi pintu atas panggul dengan a. Ureter diperdarahi oleh
cabang dari a. renalis, aorta abdominalis, a. iliaca communis, a.
testicularis/ovarica serta a. vesicalis inferior. Sedangkan persarafan

4
ureter melalui segmen T0-L atau L2 melalui pleksus renalis, pleksus
aorticus, serta pleksus hipogastricus superior dan inferior.2

Gambar 2.1 Anatomi sistem urinaria


c. Vesika urinaria
Vesica urinaria, sering juga disebut kandung kemih atau buli-buli,
merupakan tempat untuk menampung urine yang berasal dari ginjal
melalui ureter, untuk selanjutnya diteruskan ke uretra dan lingkungan
eksternal tubuh melalui mekanisme relaksasi sphincter. Vesica urinaria
terletak di lantai pelvis (pelvic floor), bersama-sama dengan organ lain
seperti rektum, organ reproduksi, bagian usus halus, serta pembuluh-
pembuluh darah, limfatik dan saraf. Dalam keadaan kosong vesica
urinaria berbentuk tetrahedral yang terdiri atas tiga bagian yaitu apex,
fundus/basis dan collum. Serta mempunyai tiga permukaan (superior
dan inferolateral dextra dan sinistra) serta empat tepi (anterior, posterior,
dan lateral dextra dan sinistra). Dinding vesica urinaria terdiri dari otot
m. detrusor (otot spiral, longitudinal, sirkular). Terdapat trigonum
vesicae pada bagian posteroinferior dan collum vesicae. Trigonum
vesicae merupakan suatu bagian berbentuk mirip-segitiga yang terdiri
dari orifisium kedua ureter dan collum vesicae.3

5
Gambar 2.2 Vesica urinaria
d. Uretra
Uretra merupakan saluran yang membawa urine keluar dari vesica
urinaria menuju lingkungan luar. Terdapat beberapa perbedaan uretra
pada pria dan wanita. Uretra pada pria memiliki panjang sekitar 20 cm
dan juga berfungsi sebagai organ seksual (berhubungan dengan kelenjar
prostat), sedangkan uretra pada wanita panjangnya sekitar 3.5 cm. selain
itu, Pria memiliki dua otot sphincter yaitu m.sphincter interna (otot
polos terusan dari m.detrusor dan bersifat involunter) dan m.sphincter
externa (di uretra pars membranosa, bersifat volunter), sedangkan pada
wanita hanya memiliki m.sphincter externa (distal inferior dari kandung
kemih dan bersifat volunter).3

6
2.1.2. Histologi

Gambar 2.3 Aparatus jukstaglomerulus4

7
Gambar 2.4 Korpuskula renalis4
Penjelasan histologis renal adalah sebagai berikut:5
1. Arteriole afferen
Pada arteriole aferen dekat dengan badan Malphigi terdapat sel-sel
juxtaglomeruler yang merupakan modifikasi otot polos befungsi
menghasilkan enzim renin.
2. Nefron
Tiap ginjal tersusun atas unit struktural dan fungsional dalam
pembentukan urin yang dinamakan nefron (nephron). Tiap nefron
terdiri atas bagian yang melebar yang dinamakan korpuskula renalis
atau badan malphigi, tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle serta
tubulus kontortus distal.
3. Korpuskula renalis
Korpuskula renalis terdiri atas glomelurus dan dikelilingi oleh
kapsula Bowmann.
4. Glomeruli
Glomerulus merupakan anyaman pembuluh darah kapiler yang
ruwet yang merupakan cabang dari arteriole aferen. Pada permukaan
luar kapiler glomeruli menempel sel berbentuk spesifik dan memiliki
penjuluran-penjuluran yang disebut podosit (sel kaki). Antara sel-sel
endotel kapiler dan podosit membentuk strukrur kontinyu yang

8
berlubang-lubang yang memisahkan darah yang terdapat dalam kapiler
dengan ruang kapsuler. Podosit berfungsi membantu filtrasi cairan
darah menjadi cairan ultra filtrat (urin primer). Cairan ultra filtrat
ditampung di dalam ruang urin yaitu ruang antara kapiler dengan
dinding kapsula Bowmani dan selanjutnya mengalir menuju tubulus
contortus proksimal. Komposisi kimia cairan ultra filtrat hampir sama
dengan plasma darah.
5. Capsula Bowman
Lapisan parietal kapsula bowman terdiri atas epitel selapis gepeng.
Ruang kapsuler berfungsi menampung urine primer (ultra filtrat). Sel
podosit, sel epitel kapsula Bowman yang mengalami spesialisasi untuk
filtrasi cairan darah. Oleh karena itu komposisi cairan ultra filtrat hampir
sama dengan plasma darah kecuali tidak mengandung protein plasma.
6. Sel Mesangial
Pada sel-sel endotel dan lamina basalis kapiler glomerulus terdapat
sel mesangial yang berperan sebagai makrofage.
7. Tubulus Kontortus Proksimal
Tubulus kontortus proksimal kebanyakan terdapat di bagian korteks
ginjal. Mukosa tubulus kontortus proksimal tersusun atas sel-sel epitel
kubus selapis, apeks sel menghadap lumen tubulus dan memiliki banyak
mikrovili (brush border). Sel epitel tubulus contortus proksimal
berfungsi untuk reabsorpsi.
8. Lengkung Henle (loop of Henle)
Lengkung Henle berbentuk seperti huruf U terdiri atas segmen tipis
dan diikuti segmen tebal. Bagian tipis lengkung henle yang merupakan
lanjutan tubulus kontortus proksimal tersusun atas sel gepeng dan inti
menonjol ke dalam lumen. Cairan urin ketika berada dalam loop of
Henle bersifat hipotonik, tetapi setelah melewati loop of Henle urin
menjadi bersifat hipertonik. Hal ini dikarenakan bagian descenden loop
of Henle sangat permeabel terhadap pergerakan air, Na+, dan Cl,
sedangkan bagian ascenden tidak permeabel terhadap air dan sangat
aktif untuk transpor klorida bertanggung jawab terhadap hipertonisitas

9
cairan interstitial daerah medulla. Sebagai akibat kehilangan Na dan Cl
filtrat yang mencapai tubulus kontortus distal bersifat hipertonik.
9. Tubulus Kontortus Distalis
Tubulus contortus distalis tersusun atas sel-sel epithelium berbentuk
kuboid, sitoplasma pucat, nuklei tampak lebih banyak, tidak ada brush
border.
10. Tubulus Koligens
Urin berjalan dari tubulus kontortus distal ke tubulus koligens yang
apabila bersatu membentuk saluran lurus yang lebih besar yang disebut
duktus papilaris Bellini. Tubulus koligens dibatasi oleh epitel kubis.
Peristiwa penting pada tubulus koligens adalah mekanisme pemekatan
atau pengenceran urin yang diatur oleh hormon antidiuretik (ADH).
Dinding tubulus distal dan tubulus koligens sangat permeabel terhadap
air bila terdapat ADH dan sebaliknya.
11. Tubulus Kolektivus
Tubulus kolektivus dari Bellini merupakan tersusun atas sel-sel
epithelium kolumnar, sitoplasma jernih, nukleus spheris.
12. Aparatus Jukstaglomerulus
Tunika media ateriol aferen yang terletak didekat korpuskula
malphigi mengalami modifikasi seperti sel-sel epiteloid bukan otot
polos yang disebut sel jukstaglomelurus. Sel-sel jukstaglomelurus
menghasilkan enzim renin.
13. Macula Densa
Macula densa merupakan bagian dari tubulus kontortus distalis yang
melalui daerah di muka kapsula Bowmani terdiri atas sel-sel yang
nampak meninggi, nuklei berderet rapat dan berbentuk spheris. Macula
densa berfungsi untuk reseptor tekanan osmotic (osmoreseptor).

10
2.1.3. Vaskularisasi dan inervasi
a. Vaskularisasi Ginjal
Ginjal Arteri renalis dicabangkan dari aorta abdominalis kira-kira
setinggi vertebra lumbalis II. Vena renalis menyalurkan darah kedalam
vena kavainferior yang terletak disebelah kanan garis tengah. Saat arteri
renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut bercabang menjadi arteri
interlobaris yang berjalan diantara piramid selanjutnya membentuk
arteri arkuata kemudian membentuk arteriola nterlobularis yang
tersusun paralel dalam korteks. Arteri interlobularis ini kemudian
membentuk arteriola aferen pada glomerulus.6

Gambar 2.5 Vaskularisasi pada renal7

Arteri pada ginjal bercabang bercabang anterior dan posterior saat


memasuki parenkim. Segmen anterior ini kemudian dibagi menjadi
empat, yaitu segmen bagian apeks, segmen bagian atas, segmen bagian
tengah permukaan anterior, segmen bagian bawah ginjal. Segmen
bagian posterior memperdarahi bagian lainnya.8

11
Glomeruli bersatu membentuk arteriola aferen yang kemudian
bercabang membentuk sistem portal kapiler yang mengelilingi tubulus
dan disebut kapiler peritubular. Darah yang mengalir melalui sistem
portal ini akan dialirkan kedalam jalinan vena selanjutnya menuju vena
interlobularis, vena arkuarta, vena interlobaris, dan vena renalis untuk
akhirnya mencapai vena cava inferior. Ginjal dilalui oleh sekitar 1200
ml darah permenit suatu volume yang sama dengan 20-25% curah
jantung (5000 ml/menit) lebih dari 90% darah yang masuk keginjal
berada pada korteks sedangkan sisanya dialirkan ke medulla. Sifat
khusus aliran darah ginjal adalah otoregulasi aliran darah melalui ginjal
arteiol afferen mempunyai kapasitas intrinsik yang dapat merubah
resistensinya sebagai respon terhadap perubahan tekanan darah arteri
dengan demikian mempertahankan aliran darah ginjal dan filtrasi
glomerulus tetap konstan.6

b. Inervasi Ginjal
Ginjal mendapat persarafan dari nervus renalis (vasomotor), saraf
ini berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk kedalam ginjal,
saraf ini berjalan bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk ke
ginjal.6

12
Gambar 2.6 Inervasi pada renal9

Ginjal mendapatkan persarafan melalui pleksus renalis yang seratnya


berjalan bersama dengan arteri renalis. Impuls sensorik dari ginjal
berjalan menuju korda spinalis segmen T10-11 dan memberikan sinyal
sesuai dengan level dermatomnya. Oleh karena itu, dapat dimengerti
bahwa nyeri di daerah pinggang (flank) bisa merupakan nyeri alih dari
ginjal.10

13
2.1.4. Hormon-hormon yang mempengaruhi5,11
a. Hormon yang dihasilkan oleh ginjal
Terdapat beberapa hormone yang dihasilkan oleh ginjal, antara lain:
a) Renin
Sel granular apararus jukstagiomerulus mengeluarkan suatu
hormon enzimatik, renin, ke dalam darah sebagai respons terhadap
penurunan NaCl/ volume CES/tekanan darah. Fungsi ini adalah
tambahan terhadap peran sel makula densa aparatus
jukstaglomerulus dalam otoregulasi. Setelah dikeluarkan ke daiam
darah, renin bekerja sebagai enzim untuk mengaktifkan
angiotensinogen menjadi angiotensin I. Angiotensinogen adalah
suatu protein plasma yang disintesis oleh hati dan selalu terdapat di
plasma dalam konsentrasi tinggi. Ketika melewati paru melalui
sirkulasi paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II oleh
angiotensin-conaerting enzrye (ACE), yang banyak terdapat di
kapiler paru. Angiotensin II adalah perangsang utama sekresi
hormon aldosteron dari korteks adrenal. Korteks adrenal adalah
kelenjar endokrin yang menghasilkan beberapa hormon berbeda,
masing-masing disekresikan sebagai respons terhadap rangsangan
yang berbeda.
b) Vitamin D
Merupakan hormon steroid yang dimetabolisme di ginjal
menjadi bentuk aktif 1,25-dihidroksikolekalsiferol, yang terutama
berperan meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat dari usus
c) Eritropoietin
Suatu hormon yang diproduksi di ginjal, hormon ini
meningkatkan pembentukan sel darah merah di sumsum tulang.
d) Prostaglandin
Hormone yang diproduksi di ginjal, memiliki berbagai efek
terutama pada tonus pembuluh darah ginjal.

14
b. Hormone yang mempengaruhi kerja ginjal
Hormon yang bekerja pada ginjal, antara lain:

a) Hormon antidiuretik (ADH atau vasopressin)


Merupakan peptida yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisis
posterior, hormon ini menngkatkan reabsorbsi air pada duktus
kolektivus.
b) Aldosteron
Merupakan hormon steroid yang diproduksi oleh korteks
adrenal, hormon ini meningkatkan reabsorbsi natrium pada
duktus kolektivus. Di antara berbagai efeknya, aldosteron
meningkatkan reabsorpsi Na+ oleh tubulus distal dan koligentes.
Hormon ini melakukannya dengan mendorong penyisipan
saluran Na. tambahan ke dalam membran luminal dan
penambahan pembawa Nat-K- AfPase ke dalam membran
basolateral sel tubulus distal dan koligentes. Hasil akhirnya
adalah peningkatan fluks pasif Na- masuk ke dalam sel tubulus
dari lumen dan peningkatan pemompaan Na. keluar sel ke dalam
plasma-yaitu, peningkatan reabsorpsi Na-, disertai Cl mengikuti
secara pasif.
c) Peptida Natriuretik (NP)
Diproduksi oleh sel jantung dan meningatkan ekskresi
natrium pada duktus kolektivus.
d) Hormon paratiroid
Merupakan protein yang diproduksi oleh kelenjar paratiroid,
hormon ini meningkatkan ekskresi fosfat, reabsorbsi kalsium
dan produksi vitamin D pada ginjal.

15
2.2. Fisiologi keinginan BAK12
Urin yang sudah terbentuk mengalir melalui ureter ke dalam
kandung kemih dengan bantuan kontraksi otot polos. Kandung kemih
adalah organ kosong yang dindingnya memiliki lapisan otot polos. Di dalam
kandung kemih, urin disimpan sampai akan dikeluarkan dalam proses yang
dikenal BAK atau mikturisi.

Kandung kemih bisa mengembang untuk menyimpan cairan hingga


sekitar 500 ml. Leher pada kandung kemih akan berlanjut menjadi uretra.
Lubang antara kandung kemih dan uretra ditutup dengan 2 lingkaran otot
yang disebut sfingter.

Sfingter internal adalah kelanjutan dari dinding kandung kemih dan


terdiri dari otot polos. Tonus normalnya akan membuatnya tetap
berkontraksi. Sfingter eksternal adalah cincin otot skeletal yang dikontrol
oleh neuron motor somatik. Stimulasi tonus dari sistem saraf pusat
mempertahankan kontraks sfingter eksternal kecuali saat BAK.
Mikturisi merupakan refleks spinal sederhana yang dipengaruhi oleh
kontrol sadar dan tidak sadar dari pusat otak yang lebih tinggi. Ketika
kandung kemih terisi oleh urin dan dindingnya mengembang, reseptor
regangan mengirim sinyal melalui neuron sensorik ke saraf tulang belakang.
Di tulang belakang informasi terintegrasi dan dikirim ke dua set neuron.
Stimulus kandung kemih penuh merangsang neuron parasimpatik yang
mengarah ke otot polos di dinding kandung kemih. Otot polos kontraksi,
meningkatkan tekanan isi kandung kemih. Pada saat yang bersamaan
neuron motor somatic yang mengarah ke sfingter ekternal diinhibisi.
Kontraksi kandung kemih terjadi dalam gelombang yang
mendorong urin ke arah uretra. Tekanan yang ditimbulkan urin membuat
sfingter internal terbuka ketika sfingter eksternal relaksasi.
Refleks mikturisi sederhana ini hanya terjadi pada bayi yang belum
terlatih ke toilet. Seseorang yang telah terlatih ke toilet telah mendapat
refleks untuk menjaga refleks mikturisi terinhibisi sampai ia secara sadar
ingin BAK. Refleks yang didapat akan melibatkan saraf sensorik tambahan
pada kandung kemih yang memberi sinyal rasa penuh. Pusat di batang dan

16
korteks otak menerima informasi itu dan membatalkan refleks dasar
mikturisi dengan secara langsung menginhibisi saraf parasimpatik dan
memperkuatkan kontraksi sfingter eksternal. Ketika waktu untuk BAK tiba,
pusat tersebut akan menghilangkan inhibisi dan memfasilitasi refleks
dengan menginhibisi kontraksi sfingter eksternal.

2.3. Fisiologi pembentukan urin13


Urin dibentuk di ginjal sebagai zat sisa metabolisme untuk
diekskresikan dari tubuh. Pembentukan utin dihasilkan dari filtrasi
glomerulus, reabsorbsi tubulus, dan sekresi tubulus.

a. Filtrasi glomerulus
Pembentukan urin dimulai dari filtrasi sejumlah besar cairan melalui
kapiler glomerulus ke dalam kapsula Bowmen. Kapiler glomerulus
bersifat relatif impermeabel terhadap protein sehingga filtrattidak
mengandung protein dan sel, termasuk sel darah merah. Membran
kapiler glomerulus mengandung tiga lapisan yaitu: () endotel kapiler,
(2) membran basalis, (3) lapisan sel epithelial (podosit). Faktor yang
mempengaruhi laju filtrasi glomerulus (LFG) adalah ukuran molekul,
muatan molekul, koefisien filtrasi kapiler glomerulus, tekanan
hidrostatik di kapsula Bowmen, tekanan osmotic koloid di kapiler
glomerulus, dan tekanan hidrostatik di kapiler glomerulus. Kontrol
fisiologis filtrasi glomerulus dan aliran darah ginjal

Kontrol fisiologis LFG


Aktivasi system saraf simpatis 
Norepinefrin 
Epinefrin 
Endotelin 
Angiotensin II (Mencegah )
Endothelial-derived nitric oxide 
Prostaglandin 

17
b. Reabsorbsi tubulus
Reabsorbsi air dan zat terlarut meliputi serangkaian langkah
transport karena zat tersebut harus melalui membran epitel tubulus ke
dalam cairan interstisial dan dari membran kapiler peritubulus kembali
ke darah. Transpor tersebut terdiri dari transport aktif primer (contoh:
Na-K ATPase, Hidrogen ATPase, H-K ATPase, dan Kalium ATPase),
transport aktif sekunder (contoh: SGLT, SGLT2, GLUT 1 dan GLUT2),
pinositosis (untuk mereabsorbsi molekul besar seperti protein.
Reabsorbsi air dilakukan secara pasif melalui osmosis terutama
berhubungan dengan reabsorbsi Na. Sedangkan reabsorbsi klorida,
ureum, dan zat terlarut lainnya dilakukan melalui difusi pasif.
Pengaturan reabsorbsi tubulus yaitu: keseimbangan
glomerulotubulus (kemampuan tubulus untuk meningkatkan kecepatan
reabsorbsi sebagai respon terhadap peningkatan beban tubulus), tekanan
arteri, aktivasi system saraf simpatis, dan pengendalian hormone seperti:

Hormon Pengaruh
Aldosteron  Reabsorbsi: NaCl dan H2O
 Sekresi: K+
Aldosteron II  Reabsorbsi: NaCl dan H2O
 Sekresi: H+
Hormone antidiuretik  Reabsorbsi: H2O
Peptida natriuretik atrium  Reabsorbsi: NaCl
Hormon paratiroid  Reabsorbsi: Ca2+
 Reabsorbsi: PO43-

c. Sekresi tubulus
Sekresi tubulus memiliki kesamaan dengan reabsorbsi tubulus,
hanya dengan arah yang berbeda. Beberapa zat disekresikan di tubulus
dengan cara transport aktif sekunder dengan melibatkan counter-
transport zat dengan ion lain misalnya ion natrium. Sekresi asam-basa
organik dilakukan di tubulus proksimal sebagai hasil akhir metabolisme
yang harus segera dibuang. Zat lain yang disekresikan oleh ginjal antara

18
lain obat dan toksin yang berpotensi membahayakan tubuh serta ion
kalium yang akan direabsorbsi kembali untuk menyekresikan ion
hidrogen.
Pengaturan reabsorbsi tubulus yaitu: keseimbangan
glomerulotubulus (kemampuan tubulus untuk meningkatkan kecepatan
reabsorbsi sebagai respon terhadap peningkatan beban tubulus), tekanan
arteri, aktivasi system saraf simpatis, dan pengendalian hormone seperti:

Hormon Pengaruh
Aldosteron  Reabsorbsi: NaCl dan H2O
 Sekresi: K+
Aldosteron II  Reabsorbsi: NaCl dan H2O
 Sekresi: H+

2.4. Mekanisme rasa haus12


Pengaturan osmolaritas dilakukan dengan cara mengatur air.
Sumber air dalam tubuh antara lain air yang diminum, air dalam makanan
yang dimakan, serta air yang diproduksi dari proses metabolisme.
Sedangkan sumber output air dalam tubuh kita antara lain berupa insensible
water loss, keringat, feses dan urin.11 Berkeringat bukanlah mekanisme
normal tubuh untuk mengatur pembuangan air di dalam tubuh, karena
berkeringat lebih karena proses tubuh untuk mengatur suhu dan bukan cara
tubuh untuk mengatur status hidrasi. Pengeluaran air melalui insensible
water loss juga tidak dapat kendalikan oleh tubuh. Begitu pula pengeluaran
feses juga tidak dimaksudkan untuk mengatur status hidrasi tubuh. dengan
demikian tubuh mengatur jumlah air melalui kerja ginjal dan mekanisme
haus.14

Peningkatan osmolaritas cairan ekstraselular akan dideteksi oleh


osmoreseptor di hipotalamus, yang kemudian akan merangsang neuron
hipotalamus sehingga menimbulkan rasa haus dan akan meningkatkan
sekresi hormon vasopresin. Rangkaian peristiwa tadi juga dapat terjadi
ketika terjadi penurunan volume cairan ekstraselular. Rasa haus yang timbul

19
akan menyebabkan seseorang lebih banyak minum air, sehingga akan
menyebabkan penurunan osmolaritas cairan ekstraselular. Penurunan
osmolaritas ekstraselular sebagai cara tubuh untuk mengkompensasi
peningkatan osmolaritas juga dilakukan oleh hormon vasopresin.14 Hormon
vasopresin akan menyebabkan protein aquaporin (AQP) menempatkan
dirinya di membran sel tubulus koligentes, sehingga permeabilitas membran
terhadap air meningkat.

2.5. Renal clearance4


Renal plasma clearance (pembersihan plasma ginjal) adalah volume
darah yang “dibersihkan” dari suatu zat setiap unit waktu, biasanya
ditunjukkan dalam milliliter per menit. Renal plasma clearance yang tinggi
menunjukkan ekskresi suatu zat dalam urin yang efisien; clearance yang
rendah menunjukkan ekskresi yang tidak efisien. Contohnya, clearance dari
glukosa normalnya adalah nol karena glukosa sepenuhnya direabsorbsi;
maka, glukosa tidak diekskresikan sama sekali. Pentingnya mengetahui
clearance suatu obat adalah untuk menentukan jumlah dosis yang benar.
Jika clearance tinggi (contohnya penicillin), maka dosisnya harus tinggi,
dan obat tersebut harus diberikan beberapa kali dalam sehari untuk menjaga
tingkat terapeutik yang cukup dalam darah.
Rumus yang digunakan untuk menghitung clearance adalah:
𝑈𝑥𝑉
𝑆=( )
𝑃
dimana U adalah konsentrasi dari zat dalam urin dan dan P adalah
konsentrasi dalam plasma yang masing-masing diekspresikan dalam mg/ml,
dan V adalah laju aliran urin dalam ml/menit.
Clearance zat terlarut tergantung pada tiga proses dasar nefron:
filtrasi glomelurus, reabsorbsi tubulus, dan sekresi tubulus. Suatu zat yang
difiltrasi namun tidak direabsorbsi ataupun disekeresikan, maka clearance-
nya sama dengan filtrasi glomelurus karena semua molekulnya yang
melewati membran filtrasi ada di dalam urin. Ini terjadi pada polisakarida
tumbuhan inulin yang dengan mudah melewati membran filtrasi, tidak

20
direabsorbsi, dan tidak disekresikan. Umumnya, clearance dari inulin
adalah sekitar 125 ml/menit, setara dengan GFR (Glomerular Filtration
Rate).

2.6. Homeostasis cairan tubuh15


Air di dalam tubuh manusia didistribusikan ke dua kompartemen
yaitu ruang ekstraselular dan intraselular. dua pertiga dari total cairan tubuh
berada dalam ruang intraselular, lebih banyak dibandingkan yang berada
dalam ruang ekstraselular (sepertiga dari total cairan tubuh). Cairan
ekstraselular terdiri dari plasma dan cairan interstitial, di mana cairan
interstitial lebih banyak jumlahnya (4/5 dari cairan ekstraselular)
dibandingkan plasma (/5 dari cairan intraselular). Sebenarnya cairan
ekstraselular juga terdapat ditempat lain tetapi jumlahnya sangat sedikit,
yaitu cairan serebrospinal, cairan intraokular, cairan sendi, cairan
perikardial, cairan intrapleura, cairan intraperitoneal, dan cairan
pencernaan. Keseimbangan cairan merupakan bagian dari kontrol tubuh
untuk mempertahankan homeostasis. Homeostasis cairan dapat
dipertahankan oleh tubuh dengan cara mengatur cairan ekstraselular, yang
selanjutnya akan `mempengaruhi cairan intraselular. Agar tubuh dapat
mencapai keseimbangan cairan yang dibutuhkan maka tubuh harus
mengatur agar input cairan sama dengan out put cairan (balance concept).
Tubuh juga dapat mengalami perubahan keseimbangan cairan, yaitu
keseimbangan positif (input lebih banyak daripada ouput) atau
keseimbangan negatif (output lebih banyak daripada input). Terdapat dua
faktor yang diatur tubuh untuk mempertahankan keseimbangan cairan, yaitu
volume dan osmolaritas cairan ekstraselular. Volume cairan ekstraselular
penting dipertahankan keseimbangannya karena dapat mempengaruhi
tekanan darah sedangkan osmolaritas cairan ekstraselular penting
dipertahankan untuk mencegah sel mengerut ataupun membengkak. Tubuh
dapat mempertahankan volume cairan ekstraselular dengan cara mengatur
garam (natrium), dan dapat mempertahankan osmolaritas cairan
ekstraselular dengan cara mengatur air di dalam tubuh.

21
a. Pengaturan Volume Cairan Ekstraselular

Sebelum mendalami mekanisme tubuh mempertahankan


keseimbangan volume cairan ekstraselular perlu diketahui sumber input
dan output garam yang ada dalam tubuh kita, karena dengan mengatur
garam maka tubuh dapat mengatur volume cairan ekstraselular.Sumber
input garam berasal dari garam yang masuk melalui saluran pencernaan,
sedangkan output garam berasal dari pengeluaran secara obligat pada
keringat dan feses serta pengeluaran garam secara terkontrol melalui
ginjal.Jumlah garam yang masuk ke dalam tubuh sebanyak 0,5 g/hari,
sedangkan pengeluarannya adalah 0,5 g/hari melalui keringat dan feses
serta 0 g/hari pengeluaran yang terkontrol dari ginjal.

Mekanisme pengaturan volume cairan ekstraselular oleh ginjal


dapat lebih mudah dipahami melalui contoh keadaan dimana terjadi
penurunan jumlah natrium tubuh. Jika natrium dalam tubuh menurun,
maka volume cairan ekstraselular akan menurun, yang menyebabkan
tekanan darah juga menurun. Tekanan darah yang menurun
menyebabkan laju filtrasi glomerulus menurun, hal ini menyebabkan
natrium yang difiltrasi juga menurun, sehingga terjadi penurunan
jumlah natrium yang dieksresi oleh ginjal. Tekanan darah yang menurun
juga menyebabkan peningkatan sekresi aldosteron yang kemudian akan
bekerja di ginjal dengan cara meningkatkan reabsorpsi natrium. Karena
kerja dari aldosteron di ginjal maka natrium yang diekskresi akan
menurun, menambah efek dari GFR yang menurun.

b. Pengaturan Osmolaritas Cairan Ekstraselular

Pengaturan osmolaritas dilakukan dengan cara mengatur air.


Sumber air dalam tubuh antara lain air yang diminum, air dalam
makanan yang dimakan, serta air yang diproduksi dari proses
metabolisme. Sedangkan sumber output air dalam tubuh kita antara lain
berupa insensible water loss, keringat, feses dan urin. Berkeringat
bukanlah mekanisme normal tubuh untuk mengatur pembuangan air di
dalam tubuh, karena berkeringat lebih karena proses tubuh untuk

22
mengatur suhu dan bukan cara tubuh untuk mengatur status hidrasi.
Pengeluaran air melalui insensible water loss juga tidak dapat
kendalikan oleh tubuh. Begitu pula pengeluaran feses juga tidak
dimaksudkan untuk mengatur status hidrasi tubuh. Dengan demikian
tubuh mengatur jumlah air melalui kerja ginjal dan mekanisme haus.
Peningkatan osmolaritas cairan ekstraselular akan dideteksi oleh
osmoreseptor di hipotalamus, yang kemudian akan merangsang neuron
hipotalamus sehingga menimbulkan rasa haus dan akan meningkatkan
sekresi hormon vasopresin. Rangkaian peristiwa tadi juga dapat terjadi
ketika terjadi penurunan volume cairan ekstraselular. Rasa haus yang
timbul akan menyebabkan seseorang lebih banyak minum air, sehingga
akan menyebabkan penurunan osmolaritas cairan ekstraselular.
Penurunan osmolaritas ekstraselular sebagai cara tubuh untuk
mengkompensasi peningkatan osmolaritas juga dilakukan oleh hormon
vasopresin. Hormon vasopresin akan menyebabkan protein aquaporin
(AQP) menempatkan dirinya di membran sel tubulus koligentes,
sehingga permeabilitas membran terhadap air meningkat.

2.7. Hubungan produksi urin terhadap


2.7.1. Aktivitas fisik16
Aktivitas fisik adalah aktivitas yang terjadi sebagai akibat dari
kontraksi otot dengan menggunakan energi secara proporsional, yang
sangat erat kaitannya dengan kebugaran fisik. Ketika kita aktif beraktifitas
fisik (intensitas tinggi), otomatis semakin banyak pula kita merilbatkan otot-
otot pada tubuh dan berimbas pada meningkatnya energi yang dibutuhkan.
Oleh karena itu cairan tubuh akan lebih banyak digunakan untuk
pembentukan energi agar dapat menyesuaikan dengan aktivitas fisik yang
tinggi (dikeluarkan lebih banyak dalam bentuk keringat). Yang akhirnya
berpengaruh terhadap produksi urin yang akan menjadi lebih pekat dan
lebih sedikit dibanding dengan ketika aktivitas fisik rendah.

23
2.7.2. Konsumsi cairan11
Air adalah komponen tubuh yang paling banyak rata-rata
membentuk 60% berat tubuh tetapi berkisar dari 40-80%. Kandungan H2O
sesesorang relatif tidak berubah terutama karena ginjal secara efisien
mengatur keseimbangan H2O, tetapi persentase H2O tubuh bervariasi dari
orang ke orang.

Kontrol keseimbangan H2O bebas penting untuk meregulasi


osmolaritas cairan ekstraseluler. Karena peningkatan H2O bebas
menyebabkan cairan ekstraseluler menjadi terlalu encer dan kekurangan
H2O bebas menyebabkan cairan ekstraseluler menjadi terlalu terkonsentrasi,
osmolaritas cairan ekstraseluler harus segera diperbaiki dengan
mengembalikan keseimbangan H2O bebas untuk menghindari perpindahan
osmotik cairan yang ke dalam atau keluar sel yang berbahaya.

Untuk menjaga keseimbangan H2O yang stabil, input H2O harus


seimbang dengan output H2O.

Salah satu dari sumber input H2O adalah melalui oral. Lebih dari
seliter air masuk ke dalam tubuh dengan meminum cairan. Sedangkan salah
satu sumber output H2O adalah dengan melalui ekskresi urin. Ekskresi urin
merupakan mekanisme pengeluaran cairan yang paling penting dengan
memproduksi ,5 l urin setiap harinya.

24
Dari berbagai mekanisme input dan output H2O, hanya dua yang
bisa diregulasi untuk menjaga keseimbangan H2O. Pada sisi input, rasa haus
mempengaruhi jumlah asupan cairan dan pada sisi output, ginjal dapat
mengatur jumlah urin yang diproduksi.

2.7.3. Jenis kelamin11


Presentase H2O tubuh dipengaruhi oleh jenis kelamin dan usia
individu. Wanita memiliki persentase H2O yang lebih rendah daripada pria,
trutama karena hormon seks wanita, esterogen, mendorong pengendapan
lemak di payudara, bokong, dan tempat lain. Hal ini tidak saja menghasilkan
bentuk tubuh wanita tetapi juga memberi wanita proporsi jaringan lemak
yang lebih banyak dan karenanya proporsi H2O yang lebih kecil, sehingga
mempengaruhi jumlah dari urin yang dikeluarkan.

2.7.4. Usia4
Pada seseorang dengan usia tua, ukuran ginjalnya mengalami
penyusutan, terjadi penurunan aliran darah, sehingga darah yang difiltrasi
pun berkurang. Perubahan yang berkaitan dengan usia dalam ukuran dan
fungsi ginjal ini tampaknya terkait dengan pengurangan progresif dalam
suplai darah ke ginjal seiring bertambahnya usia seseorang; misalnya,
pembuluh darah seperti glomeruli menjadi rusak atau berkurang jumlahnya.
Massa dari dua ginjal menurun dari rata-rata hampir 300 g pada usia 20
tahun menjadi kurang dari 200 g pada usia 80. Demikian pula aliran darah
ginjal dan laju filtrasi menurun 50% antara usia 40 dan 70. Pada usia 80,
sekitar 40% glomeruli tidak berfungsi; dengan demikian filtrasi, reabsorpsi,
dan sekresi menurun.

Karena sensasi haus berkurang seiring bertambahnya usia, individu


yang lebih tua juga rentan terhadap dehidrasi. Perubahan kandung kemih
urin yang terjadi dengan penuaan termasuk pengurangan ukuran dan
kapasitas dan melemahnya otot. Infeksi saluran kemih lebih sering terjadi
pada orang tua, seperti poliuria (produksi urin berlebihan), nokturia (buang
air kecil berlebihan di malam hari), peningkatan frekuensi buang air kecil,

25
disuria (buang air kecil yang menyakitkan), retensi urin atau inkontinensia,
dan hematuria (darah dalam urin )

2.8. Karakteristik urin normal17,18


1. Warna: bening hingga kuning bening
2. Busa: ketika di kocok terdapat busa putih yang langsung hilang
3. Kandungan: ion mineral (Na+, Cl-, K+), produk pembuangan nitrogen
(ammonia, urea, asam urat), dan pewarna urin (urochrome/ produk
metabolisme bilirubin)
4. Aroma: sedikit berbau
5. pH: 4,6-8,0 (rata-rata 6,0)
6. Volume sekitar 600-800 mL/hari

2.9. Dehidrasi
2.9.1. Definisi19
Secara definisi, dehidrasi adalah suatu keadaan penurunan total air
di dalam tubuh karena hilangnya cairan secara patologis, asupan air tidak
adekuat, atau kombinasi keduanya. Dehidrasi terjadi karena pengeluaran air
lebih banyak daripada jumlah yang masuk, dan kehilangan cairan ini juga
disertai dengan hilangnya elektrolit. Pada dehidrasi terjadi keseimbangan
negatif cairan tubuh akibat penurunan asupan cairan dan meningkatnya
jumlah air yang keluar (lewat ginjal, saluran cerna atau insensible water
loss/IWL), atau karena adanya perpindahan cairan dalam tubuh.

2.9.2. Klasifikasi20
Kehilangan cairan tubuh biasanya disertai gangguan keseimbangan
elektrolit. Dehidrasi dapat dikategorikan berdasarkan osmolaritas dan
derajat keparahannya. Kadar natrium serum merupakan penanda
osmolaritas yang baik selama kadar gula darah normal.
Berdasarkan perbandingan jumlah natrium dengan jumlah air yang
hilang, dehidrasi dibedakan menjadi tiga tipe yaitu dehidrasi isotonik,
dehidrasi hipertonik, dan dehidrasi hipotonik. Variasi kadar natrium

26
mencerminkan jumlah cairan yang hilang dan memiliki efek patofisiologi
berbeda.
1. Dehidrasi isotonik (isonatremik). Tipe ini merupakan yang paling sering
(80%). Pada dehidrasi isotonik kehilangan air sebanding dengan jumlah
natrium yang hilang, dan biasanya tidak mengakibatkan cairan ekstrasel
berpindah ke dalam ruang intraseluler. Kadar. natrium dalam darah pada
dehidrasi tipe ini 35-45 mmol/L dan osmolaritas efektif serum 275-295
mOsm/L.
2. Dehidrasi hipotonik (hiponatremik). Natrium hilang yang lebih banyak
daripada air. Penderita dehidrasi hipotonik ditandai dengan rendahnya
kadar natrium serum (kurang dari 35 mmol/L) dan osmolalitas efektif
serum (kurang dari 270 mOsml/L). Karena kadar natrium rendah, cairan
intravaskuler berpindah ke ruang ekstravaskuler, sehingga terjadi
deplesi cairan intravaskuler. Hiponatremia berat dapat memicu kejang
hebat; sedangkan koreksi cepat hiponatremia kronik (2 mEq/L/jam)
terkait dengan kejadian mielinolisis pontin sentral,
3. Dehidrasi hipertonik (hipernatremik). Hilangnya air lebih banyak
daripada natrium. Dehidrasi hipertonik ditandai dengan tingginya kadar
natrium serum (lebih dari 45 mmol/L) dan peningkatan osmolalitas
efektif serum (lebih dari 295 mOsm/L). Karena kadar natrium serum
tinggi, terjadi pergeseran air dari ruang ekstravaskuler ke ruang
intravaskuler. Untuk mengkompensasi, sel akan merangsang partikel
aktif (idiogenik osmol) yang akan menarik air kembali ke sel dan
mempertahankan volume cairan dalam sel. Saat terjadi rehidrasi cepat
untuk mengoreksi kondisi hipernatremia, peningkatan aktivitas osmotik
sel tersebut akan menyebabkan infl uks cairan berlebihan yang dapat
menyebabkan pembengkakan dan ruptur sel; edema serebral adalah
konsekuensi yang paling fatal. Rehidrasi secara perlahan dalam lebih
dari 48 jam dapat meminimalkan risiko ini.

27
2.9.3. Manifestasi20
Persentase
Kehilangan
Derajat Keadaan
Air Tubuh Mata Mulut Turgor
Dehidrasi Umum
berdasarkan
BB
Tanpa
Normal Baik Biasa Biasa Baik
Dehidrasi
Dehidrasi
4%
Ringan
Lesu/haus Cekung Kering Kurang
Dehidrasi
6%
Sedang
Gelisah, lemas,
Dehidrasi Sangat Sangat
8% mengantuk Jelek
Berat cekung kering
hingga shock

Derajat
Defisit Cairan Hemodinamik Jaringan Urin SSP
Dehidrasi
Tanpa
Normal Normal Biasa Normal Baik
Dehidrasi
Lidah
Dehidrasi Takikardi kering
3-5% Pekat Mengantuk
Ringan Nadi lemah Turgor
turun
Takikardi
Nadi sangat
Lidah
lemah
Dehidrasi keriput Jumlah
6-8% Volume Apatis
Sedang Turgor turun
kolaps
kurang
Hipotensi
orostatik
Takikardi
Nadi tak Atonia
Dehidrasi Oliguria
>0% teraba Turgor Koma
Berat kering
Akral dingin, buruk
sianosis

28
2.9.4. Tata laksana20
Prinsip tata laksana adalah mengganti cairan yang hilang dan
mengembalikan keseimbangan elektrolit sehingga keseimbangan
hemodinamik tercapai. Pengobatan dilakukan berdasarkan derajat dehidrasi
dan status osmolaritas pasien.

a. Dehidrasi derajat ringan-sedang


Pemberian cairan ORS (oral rehydration solution) untuk
mengembalikan volume intravaskuler dan mengoreksi asidosis. jenis
ORS yang diterima sebagai cairan rehidrasi adalah kandungan glukosa
2-3 g/dL, natrium 45-90 mEq/L, basa 30 mEq, kalium 20-25 mEq/L,
dan osmolaritas 200-30 mOsm/L.
b. Dehidrasi derajat berat
Tahap pertama: mengatasi kedaruratan dehidras, yaitu syok
hypovolemia dengan pemberian cairan kristalois isotonik, seperti RL
(ringer lactate) atau NaCl 0,9% sebesar 20 mL/kgBB.
Tahap kedua: mengatasi defisit, pemberian cairan pemeliharaan dan
penggantian kehilangan yang masih berlangsung. Kebutuhan cairan
pemeliharaan diukur dari jumlah kehilangan cairan (urin, tinja)
ditambah IWL. Jumlah IWL adalah antara 400-500 mL/m2 luas
permukaan tubuh dan dapat meningkat pada kondisi demam dan
kaipnea. Secara kasar kebutuhan cairan berdasarkan berat badan adalah:
 BB < 0 kg = 00 mL/kgBB
 BB 0-20 kg = 000 + 50 mL/kgBB untuk setiap kgBB di atas 0 kg
 BB > 20 kg = 500 + 20 mL/kgBB untuk setiap kgBB di atas 20 kg
c. Dehidrasi isotonik
Defisit natrium pada kondisi ini dapat dikoreksi dengan mengganti
dafisit cairan ditambah dengan cairan pemeliharaan dextrose 5% dalam
NaCl 0,45-0,9%. Kalium (20 mEq/L kalium klorida) dapat ditambahkan
ke dalam cairan pemeliharaan saat produksi urin membaik dan kadar
kalium serum berada dalam rentang aman.

29
d. Dehidrasi hipotonik
Cairan pengganti intravaskuler NaCl 0,9% RL 20 mL/kgBB sampai
perfusi jaringan tercapai. Pada hipoyermia derajat berat (<30 mEq/L)
harus dipertimbangakn penambahan natrium dalam cairan rehidrasi.

Koreksi defisit natrium = (target Na − jumlah Na saat tersebut) 𝑥 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑑𝑖𝑠𝑡𝑟𝑖𝑏𝑢𝑠𝑖 𝑥 𝐵𝐵

e. Dehidrasi hipertonik
Tahap pertama: Cairan pengganti intravaskuler NaCl 0,9% RL 20
mL/kgBB atau RL sampai perfusi jaringan tercapai
Tahap kedua: memulihkan volume intravaskuler dan
mengembalikan kadar natrium serum sesuai rekomendasi, namun tidak
melebihi 0 mEg/L/24 jam.

2.10. Apakah kebiasaan yang dilakukan Danang, laki-laki 2 tahun jika


diteruskan dapat menyebabkan suatu penyakit?11
Kebiasaan danang jika diteruskan akan menyababkan suatu
penyakit, seperti penyakit gagal ginjal. Jika fungsi kedua ginjal terganggu,
yang menyababkan keduanya tidak dapat melaksanakan fungsi regulasi dan
ekskresinya untuk mempertahankan homeostasis, maka timbulah gagal
ginjal. Penyakit ini memiliki banyak sebab seperti:

a. Organisme penginfeksi, organisme ini berasal dari luar tubuh yang dapat
mesuk melalui aliran darah maupun masuk langsung ke saluran kemih
melalui uretra
b. Bahan toksik, merupakan bahan yang berasal dari luar tubuh, misalnya
arsen, timbal, pestisida, atau aspirin dosis tinggi
c. Respon imun yang tidak sesuai, misalnya glomerulonephritis, yang
kadang menyertau infeski steptokokus di tenggorokkan kerena
terbentuknya antigen, sehingga menyebabkan kerusakan inflamtorik
lokal di glomerulus

30
d. Obstruksi aliran urin, akibat batu ginjal (jika kebiasaan sedikit minum,
diteruskan); tumor; atau pembesaran batu prostat, dengan tekanana
mengurangi filtrasi glomerulus serta merusak jaringan ginjal
e. Insifisiensi aliran darah ginjal, yang menyababkan kurangnya tekanan
filtrasi, akibat gangguan sekunder sirkulasi, misalnya gagal jantung,
perdarahan, syok, atau penyempitan dan pengerasan arteri renalis oleh
arterosklerosis.
Adapun penyebab gagal ginjal dapat bermanifestasi sebagai gagal
ginjal akut (GGA), yang ditandai oleh kemerosotan produksi urin yang
berlangsung cepat dan muncul mendadak sampai produksi urin <500
ml/hari; atau gagal ginjal kronis (GGK), yang ditandai oleh penurunan
fungsi ginjal yang berlangsung lambat progresif.

31
BAB III
KESIMPULAN

Hipotesis diterima.
Perubahan volume dan warna pada BAK Danang, laki-laki 21 tahun dipengaruhi
oleh aktivitas yang dilakuan dan asupan cairan yang dikonsumsi.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. O’callaghan, Chris. At a Glance Sistem Ginjal Edisi kedua. Jakarta: Erlangga;


2009
2. Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 4th ed. US: Saunders; 2006.
3. Canlon VC, Sanders T. Essential of anatomy and physiology. 5th ed. US: FA
Davis Company; 2007
4. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology. 15th ed.
Amerika Serikat: John Wiley & Sons, Inc; 2017.
5. Junqeira, L.C. & Jose Carneiro. Basic Histology. Lange Medical Publications,
California. 2009
6. Coyle, EA & Prince, RA. Urinary Tract Infection and Prostatitis in 7th
Edition. USA: The McGraw Hill Companies, Inc.; 2005.
7. F. Paulsen & J. Waschke. Atlas Anatomi Manusia “Sobotta”, Edisi 23 Jilid 2.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012
8. Anatriera RA. Aktifitas Spesifik Ginjal. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2009.
9. F. Paulsen & J. Waschke. Atlas Anatomi Manusia “Sobotta”, Edisi 23 Jilid 1.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012
10. Ariputri FA, Witjahjo B. Pengaruh Pemberian Ekstrak Meniran (Phyllanthus
Niruri L.) Dosis Bertingkat Terhadap Gambaran Mikroskopis Ginjal: Studi
pada Mencit Balb/C yang Diinduksi Metanil Yellow (Doctoral dissertation,
Faculty of Medicine).
11. Sherwood L. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. 6th ed. Jakarta: EGC.
2012
12. Silverthorn DU. Human Physiology: An Integrated Approach. 7th ed.
Amerika: Pearson Learning; 203. 650- p
13. Hall J E. Guyton dan Hall: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed. Rev. ke-2.
Elsevier: 206.
14. Barrett KE, Barman SM, Boitano S, Brooks HL. Ganong’s review of medical
physiology. 24thed. Singapore: Mc Graw Hill;202

33
15. William. Fisiologi Keseimbangan Cairan dan Hormon yang Berperan. Jurnal
Kedokteran Meditek. Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida
Wacana: Jakarta. Volume 23. No. 6 .207
16. Soempono, B. Fisiologi olahraga, dalam Soewono (ed) Buku Monograf
Fisiologi Manusia, UGM, Yogyakarta. 993.
17. Brunzel N A. Fundamentals of Urine and Body Fluid Analysis. Ed. 4. Elsevier
Health Science. 206.
18. Thibodeau G A, Patton K T. Struktur & Function of the Body. Ed. 4. Elsevier
Health Science. 203.
19. Thomas DR, Cote TR, Lawhorne L, Levenson S, Rubenstein LZ, Smith DA.
Understanding clinical dehydration and its treatment. J Am Med Dir Assoc.
2008; 9:292-30
20. Leksana E. Strategi Terapi Cairan pada Dehidrasi (Online). CDK-224. 205;
42(): 7.

34

Anda mungkin juga menyukai