Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang sangat mudah memberikan suatu
manifestasi klinis apabila timbul gangguan pada tubuh. Salah satu gangguan tersebut dapat
disebabkan oleh reaksi alergi terhadap suatu obat. Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption
itu sendiri ialah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang teijadi sebagai akibat
pemberian obat dengan cara sistemik.
Pemberian dengan cara sistemik berarti obat tersebut masuk melalui mulut, hidung,
rektum, vagina, dan dengan suntikan atau infus. Sedangkan reaksi alergi yang disebabkan oleh
penggunaan obat dengan cara topikal, yaitu obat yang digunakan pada permukaan tubuh
mempunyai istilah sendiri yang disebut dermatitis kontak alergi.
Tidak semua obat dapat mengakibatkan reaksi alergi ini. Hanya beberapa golongan obat
yang 1% hingga 3% dari seluruh pemakainya akan mengalami erupsi obat alergi atau erupsi
obat. Obat-obatan tersebut yaitu; obat anti inflamasi non steroid (OA1NS), antibiotik; misalnya
penisilin dan derivatnya, sulfonamid, dan obat-obatan antikonvulsan.
Mernirut WHO, sekitar 2% dan seluruh jenis erupsi obat yang timbul tergolong ‘serius’
karena reaksi alergi obat yang timbul tersebut memerlukan perawatan di rumali sakit bahkan
mengakibatkan kematian. Sindrom Steven-Johnson (SSJ) dan Nekrolisis Epidermal Toksis
(NET) adalah beberapa bentuk reaksi serius tersebut.
Erupsi obat dapat terjadi akibat pemakaian obat, yaitu obat yang diberikan oleh dokter
dalam resep, atau obat yang dijual bebas, termasuk campuran jamu-jamuan; yang dimaksud
dengan obat ialah zat yang dipakai untuk menegakan diagnosis, profilaksis, dan pengobatan.
Pemberian obat secara topikal dapat pula menyebabkan alergi sistemik, akibat penyerapan obat
oleh kulit. Erupsi obat berkisar antara erupsi ringan sampai erupsi berat yang mengancam jiwa
manusia.
Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi klinis yang sangat
luas. Kortikosteroid sering disebut sebagai life saving drug. Manfaat dan preparat ini cukup besar
tetavi karena efek samping yang tidak diharapkan cukup banyak, maka dalam oenunaannva
dibatasi termasuk dalam bidana dermatoIoi kortikosteroid merupakan pengobatan yang paling
sering diberikan kepada pasien. Kortikosteroid adalah derivat dari hormon kortikosteroid yang
dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Hormon ini dapat mempengaruhi volume dan tekanan darah,
kadan gula darah, otot dan resistensi tubuh
Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu
glukokortikoid dan mineralokortikoid. Berbagai jenis kortikosteroid sintetis telah dibuat dengan
tujuan utama untuk mengurangi aktivitas mineralokortikoidnya dan meningkatkan aktivitas
antiinflamasinya, misalnya deksametason yang mempunyai efek antiinflamasi 30 kali lebih kuat
dan efek retensi natrium lebth kecil dibandingkan dengan kortisol. Berdasarkan cara
penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua yaitu kortikosteroid sistemik dan kortikosteroid
topikal. Kortikosteroid topikal adalah obat yang digunakan di kulit pada tempat tertentu dan
merupakan terapi topikal yang memberi pilihan untuk para ahli kulit dengan menyediakan
banyak pilihan efek pengobatan yang diinginkan, diantaranya termasuk melembabkan kulit,
melicinkan, atau mendinginkan area yang dirawat.
Sebagian besar khasiat yang diharapkan dati pemakaian kortikosteroid adalah sebagai
antiinflamasi, antialergi atau imunosupresif. Karena khasiat inilah kortikosteroid banyak
digunakan dalam bidang dermatologi. Dibidang dermatologi pada umumnya lebth ditekankan
sebagai obat antialergi.Terapi dengan obat ini bukan merupakan terapi kausal melainkan terapi
pengendalian atau paliatif saja, kecuali pada insufisiensi korteks adrenal.Sejak kortikosteroid
digunakan dalam bidang dermatologi, obat tersebut sangat menolong penderita. Berbagai
penyakit yang dahulu lama penyembuhannya dapat dipersingkat, misalnya dermatitis, penyakit
berat yang dahulu dapat menyebabkan kematian, misalnya pemfigus, angka kematiannya dapat
ditekan berkat pengobatan dengan kortikosteroid, demikian pula sindrom Stevens-Johnson yang
berat dan nekrolisis epidermal toksik.
Pengobatan berbagai penyakit kulit dengan menggiinakan kortikosteroid sudah menjadi
kegiatan sehari-hari di setiap poliklinik penyakit kulit. Sejak salap hidrokortison asetat pertama
kali dilaporkan penggunaannya oleh Sulzberger pada tahun 1952, perkembangan pengobatan
dengan kortikosteroid beijalan dengan pesat. Semakin maju ilmu pengetahuan semakin banyak
pula ditemukan berbagai jenis kortikosteroid yang dapat digunakan dengan berbagai keunggulan
dan efek samping yang semakin sedikit. Hal ini berkat kemajuan dalam pengetahuan mengenai
mekanisme kerja serta pemahaman patogenesis berbagai penyakit, khususnya mengenai
peradangan kulit. Dengan berbagai kemajuan in pemakaian kortikosteroid menjadi semakin
rasional dan efektif.
BAB II
TERAPI KORTIKOSTEROID DALAM ERUPSI ALERGI OBAT

2.1. DEFINISI

Alergi adalah reaksi yang diberikan oleh tubuh karena adanya kontak langsung dengan
bahan-bahan penyebab alergi (alergen) Alergen terdiri dari berbagai macam di antaranya
makanan, perubahan cuaca, seperti terlalu panas atau terlalu dingin; benang sari bunga, debu,
serangga, bulu binatang, obat, hingga stres. Obat yang ada pada umumnya hanya untuk
mencegah atau mengurangi gejala yang timbul akibat alergi. Alergi obat adalah respon abnormal
seseorang terhadap bahan obat atau metabolitnya melalui reaksi imunologi yang dikenal sebagai
reaksi hipersensitivitas yang terjadi selama atau setelah pemakaian obat.
Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption itu sendiri ialah reaksi alergi pada kulit
atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik.
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian
korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang
dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada
tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan
inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah
laku.
Kelenjar adrenal terdiri dan 2 bagian yaitu bagian korteks dan medulla, sedangkan bagian
korteks terbagi lagi menjadi 2 zona yaitu fasikulata dan glomerulosa. Zona fasikulata
mempunyai peran yang lebih besar dibandingkan zona glomerulosa. Zona fasikulata
menghasilkan 2 jenis hormon yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Golongan
glukokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya terhadap penyimpanan glikogen hepar
dan khasiat anti-inflamasinya nyata, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan
elektrolit kecil atau tidak berarti. Prototip untuk golongan ini adalah kortisol dan kortison, yang
merupakan glukokortikoid alam. Terdapat juga glukokortikoid sintetik, inisalnya prednisolon,
triamsinolon, dan betametason.
Golongan mineralokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya terhadap
keseimbangan air dan elektrolit menimbulkan efek retensi Na dan deplesi K, sedangkan
pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen hepar sangat kecil. Oleh karena itu
mineralokortikoid jarang digunakan dalam terapi. Prototip dan golongan ini adalah
desoksikortikosteron.Umumnya golongan ini tidak mempunyai khasiat anti-inflamasi yang
berarti, kecuali 9 a-fluorokortisol, meskipun demikian sediaan ini tidak pernah digunakan
sebagai obat anti-inflamasi karena efeknya pada keseimbangan air dan elektrolit terlalu besar.
Berdasarkan cara penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua yaitu kortikosteroid sistemik
dan kortikosteroid topikal.

2.2. EPIDEMIOLOGI

Belum didapatkan angka kejadian yang tepat terhadap kasus erupsi alergi obat, tetapi
berdasarkan data yang berasal dan rumah sakit, studi epidemiologi, uji klinis terapeutik obat dan
laporan dari dokter, diperkirakan kejadian alergi obat adalah 2% dan total pemakaian
obat-obatan atau sebesar 15-20% dan keseluruhan efek samping pemakaian obat-obatan.
Hasil survei prospektif sistematik yang dilakukan oleh Boston Collaborative Drug
Surveillance Program menunjukkan bahwa reaksi kulit yang timbul terhadap pemberian obat
adalah sekitar 2,7% dan 48.000 pasien yang dirawat pada bagian penyakit dalam dan tahun 1974
sampai 1993. Sekitar 3% seluruh pasien yang dirawat di rumah sakit ternyata mengalami erupsi
kulit setelah mengkonsumsi obat-obatan. Selain itu, data di Amerika Serikat menunjukkan lebih
dan 100.000 jiwa mernnggal setiap tahunnya disebabkan erupsi obat yang serius. Beberapajenis
erupsi obat yang sering timbul adalah:
o Eksantem makulopapuler sebanyak 9 1,2%,
o Urtikania sebanyak 5,9%, dan
o Vaskulitis sebanyak 1,4%

Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbnlnya erupsi obat adalah:

1. Jenis kelamin
Wanita mempunyai risiko untuk mengalami gangguan ini jauh lebth tinggi jika
dibandingkan dengan pria. Walaupun demikian, belum ada satupun abli yang mampu
menjelaskan mekanisme ini.
2. Sistem imunitas
Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalaini penurunan sistem
imun. Pada penderita AIDS misalnya, penggunaan obat sulfametoksazol justru meningkatkan
risiko timbulnya erupsi eksantematosa 10 sampai 50 kali dibandingkan dengan populasi
normal.

3. Usia
Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama pada anak-anak dan orang
dewasa. Pada anak-anak mungkin disebabkan karena perkembangan sistim immunologi yang
belum sempurna. Sebaliknya, pada orang dewasa disebabkan karena lebih seringnya orang
dewasa berkontak dengan bahan antigenik. Umur yang lebih tua akan memperlambat munculnya
onset erupsi obat tetapi menimbulkan mortalitas yang Iebih tinggi bila terkena
reaksi yang berat.

4. Dosis
Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan timbulnya
sensitisasi. Tetapi jika sudah melalui fase induksi, dosis yang sangat kecil sekalipun sudah dapat
menimbulkan reaksi alergi. Semakin sering obat digunakan, Semakin besar pula kemungkinan
timbulnya reaksi alergi pada penderita yang peka.

5. Infeksi dan keganasan


Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi obat berat yang disertai
dengan keganasan. Reaktivasi dan infeksi virus laten dengan human herpes virus (HHV)
umumnya ditemukan pada mereka yang mengalami sindrom hipersensitifitas obat.

6. Atopik
Faktor risiko yang bersifat atopi ini masih dalam perdebatan. Walaupun demikian,
berdasarkan studi komprehensif terhadap pasien yang dirawat di rumah sakit menunjukkan
bahwa timbulnya reaksi obat ini ternyata tidak menunjukkan angka yang signifikan bila
dihubungkan dengan umur, penyakit penyebab, atau kadar urea nitrogen dalam darah saat
menyelesaikan perawatannya.
11.2. FARMAKOLOGI

Semua hormon steroid sama-sama mempunyai rumus bangun


sikiopenranoperhidrofenantren 17-karbon dengan 4 buah cincin yang diberi label A — D.
Modifikasi dan struktur cincin dan struktur luar akan mengakibatkan perubahan pada efektivitas
dan steroid tersebut. Atom karbon tambahan dapat ditambahkan pada posisi 10 dan 13 atau
sebagai rantai samping yang terikat pada C l7. Semua steroid termasuk glukokortikosteroid
mempunyai struktur dasar 4 cincin kolestrol dengan 3 cincin heksana dan 1 cincin pentana.
Hormon steroid adrenal disintesis dari kolestrol yang terutama berasal dan plasma.
Korteks adrenal mengubah asetat menjadi kolesterol, yang kemudian dengan bantuan enzim
diubah lebih lanjut menjadi kortikosteroid dengan 21 atom karbon dan androgen lemah dengan
19 atom karbon. Sebagian besar kolesterol yang digunakan untuk steroidogenesis ini berasal dan
luar (eksogen), baik pada keadaan basal maupun setelah pemberian ACTH.
Dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus disintesis terus
menerus. Bila biosintesis berhenti, meskipun hanya untuk beberapa menit saja, jumlah yang
tersedia dalam kelenjar adrenal tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan normal.Oleh karenanya
kecepatan biosintesisnya disesuaikan dengan kecepatan sekresinya. Berikut adalah tabel yang
menunjukkan kecepatan sekresi dan kadar plasma kortikosteroid terpenting pada manusia
didapat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Kecepatan Sekresi Dan Kadar Plasma Kortikosteroid Utama Pada Manusia

Kecepatan sekresi dalam


Kadar Plasma (µg/l00ml)
keadaan optimal (mg/hari)
Jam 8.00 Jam 16.00
Kortisol 20 16 4
Aldosteron 0,125 0,01 -

Pada pemeriksaan sampel dengan tes saliva sebanyak 4 kali dalam satu hari yaitu
sebelum sarapan pagi han, siang, sore hari dan pada malam hari sebelum tidur. Pada pagi hari
kadar kortisol yang paling tinggi dibandingkan waktu lainnya yang membuat orang menjadi
lebih semangat dalam menjalani aktivitasnya. Orang yang sehat pengeluaran kortisol mengikuti
kurva dimana dapat dibuat grafik mulai menurunnya kadar kortisol hingga kadar terendali yaitu
pada pukul 11 malam dibuktikan dengan seseorang yang dapat beristirahat dengan cukup.

2.3. MEKANISME KERJA

Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul


hormon memasuki janingan melalui membran plasma secara difusi pasif di jaringan target,
kemudian bereaksi dengan reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan bentuk, lalu
bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi
RNA dan sintesis protein spesifik. lnduksi sintesis protein ini merupakan perantara efek
fisiologis steroid. Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang
transkripsi dan sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan flbroblas
hormon steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel-
sel limfoid, hat ini menimbulkan efek katabolik.
Metabolisme kortikosteroid sintetis sama dengan kortikosteroid alami. Kortisol (juga
disebut hydrocortison) memiliki berbagai efek fisiologis, termasuk regulasi metabolisme
perantara, fungsi kardiovaskuler, pertumbuhan dan imunitas. Sintesis dan sekresinya diregulasi
secara ketat oleh sistem saraf pusat yang sangat sensitif terhadap umpan balik negatif yang
ditimbulkan oleh kortisol dalam sirkulasi dan glukokortikoid eksogen (sintetis). Pada orang
dewasa normal, disekresi 10-20 mg kortisol setiap han tanpa adanya stres. Pada plasma, kortisol
terikat pada protein dalam sirkulasi. Dalam kondisi normal sekitar 90% berikatan dengan
globulin-[]2 (CBG/ corticosteroid-binding globulin), sedangkan sisanya sekitar 5-10% terikat
lemah atau bebas dan tersedia untuk digunakan efeknya pada sel target. Jika kadar plasma
kortisol melebihi 20-30%, CBG menjadi jenuh dan konsentrasi kortisol bebas bertambah dengan
cepat. Kortikosteroid sintetis seperti dexametason terikat dengan albumin dalam jumlah besar
dibandingkan CBG.
Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi, normalnya sekitar 60-90 menit, waktu paruh dapat
meningkat apabila hydrocortisone (preparat farmasi kortisol) diberikan dalam jumlah besar, atau
pada saat terjadi stres, hipotiroidisme atau penyakit hati. Hanya 1% kortisol diekskresi tanpa
perubahan di urin sebagai kortisol bebas, sekitar 20% kortisol diubah menjadi kortison di ginjal
dan jaringan lain dengan reseptor mineralokortikoid sebelum mencapai hati. Perubahan struktur
kimia sangat mempengaruhi kecepatan absoipsi, mula kerja dan lama kerja juga mempengaruhi
afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein. Prednison adalah prodrug yang dengan cepat
diubah menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam tubuh.
Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala inflamasi
akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik, atau alergen. Secara mikroskopik obat ini
menghambat fenomena inflamasi dini yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi
leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis. Selain itu juga dapat menghambat
manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu proliferasi kapiler dan fibroblast, pengumpulan
kolagen dan pembentukan sikatriks. Hal ini karena efeknya yang besar terhadap konsentrasi,
distribusi dan fungsi leukosit perifer dan juga disebabkan oleh efek supresinya terhadap cytokyne
dan chemokyne inflamasi serta mediator inflamasi lipid dan glukolipid lainnya. Inflamasi, tanpa
memperhatikan penyebabnya, ditandai dengan ekstravasasi dan infiltrasi leukosit kedalam
jaringan yang mengalami inflamasi. Peristiwa tersebut diperantarai oleh serangkaian interaksi
yang komplek dengan molekul adhesi sel, khususnya yang berada pada sel endotel dan dihambat
oleh glukokortikoid. Sesudah pemberian dosis tunggal glukokortikoid dengan masa kerja
pendek, konsentrasi neutrofil meningkat, sedangkan limfosit, monosit dan eosinofil dan basofil
dalam sirkulasi tersebut berkurang jumlahnya. Perubahan tersebut menjadi maksimal dalam 6
jam dan menghilang setelah 24 jam. Peningkatan neutrofil tersebut disebabkan oleh peningkatan
aliran masuk ke dalam darah dan sum-sum tulang dan penurunan migrasi dan pembuluh darah,
sehingga menyebabkan penurunanjumlah sel pada tempat inflamasi.
Glukokortikoid juga menghainbat fungsi makrofag jaringan dan sel penyebab antigen
lairinya.Kemanipuan sd tersebut untuk bereaksi terhadap antigen dan mitogen diturunkan. Efek
terhadap makrofag tersebut terutama menandai dan membatasi kemampuannya untuk
memfagosit dan membunuh mikroorgamsme serta menghasilkan tumor nekrosis factor-a,
interleukin-1, metalloproteinase dan activator plasminogen. Selain efeknya terhadap fungsi
leukosit, glukokortikoid mempengaruhi reaksi inflamasi dengan cara menurunkan sintesis
prostaglandin, leukotrien dan platelet-activating factor.
Efek katabolik dari kortikosteroid bisa dilihat pada kulit sebagai gambaran dasar dan
sepanjang penyembuhan luka. Konsepnya berguna untuk memisahkan efek ke dalam sel atau
struktur-struktur yang bertanggungjawab pada gambaran klinis ; keratinosik (atropi epidermal,
re-epitalisasi lambat), produksi fibrolas mengurangi kolagen dan bahan dasar (atropi dermal,
striae), efek vaskuler kebanyakan berhubungan dengan jaringan konektif vasculer (telangiekiasis,
purpura), dan kerusakan angiogenesis (pembentukan jaringan granulasi yang lambat). Khasiat
glukokortikoid adalah sebagal anti radang setempat, anti proliferatif, dan imunosupresif. Melalui
proses penetrasi, glukokortikoid masuk ke dalam inti sel—sel lesi, berikatan dengan kromatin
gen tertentu, sehingga aktivitas sel-sel tersebut mengalami perubahan. Sel-sel ini dapat
menghasilkan protein baru yang dapat membentuk atau menggantikan sel-sel yang tidak
berfungsi, menghambat mitosis (anti-proliferatif), bergantung pada jenis dan stadium proses
radang. Glukokotikoid juga dapat mengadakan stabilisasi membran lisosom, sehingga enzim-
enzim yang dapat merusak jaringan tidak dikeluarkan.
Glukokortikoid topikal adalah obat yang paling banyak dan tersering dipakai. Efektifitas
kortikosteroid topikal bergantung pada jenis kortikosteroid dan penetrasi. Potensi kortikosteroid
ditentukan berdasarkan kemampuan menyebabkan vasokontriksi pada kulit hewan percobaan
dan pada manusia. Jelas ada hubungan dengan struktur kimiawi. Kortison, misalnya, tidak
berkhasiat secara topikal, karena kortison di dalam tubuh mengalami transformasi menjadi
dihidrokortison, sedangkan di kulit tidak menjadi proses itu. Hidrokortison efektif secara topikal
mulai konsentrasi 1%. Sejak tahun 1958, molekul hidrokortison banyak mengalami perubahan.
Pada umumnya molekul hidrokortison yang mengandung fluor digolongkan kortikosteroid poten.
Penetrasi perkutan lebih baik apabila yang dipakai adalah vehikulum yang bersifat tertutup. Di
antara jenis kemasan yang tersedia yaitu krem, gel, lotion, salep, fatty ointment (paling balk
penetrasinya). Kortikosteroid hanya sedikit diabsorpsi setelah pemberian pada kulit normal,
misalnya, kira-kira 1% dan dosis larutan hidrokortison yang diberikan pada lengan bawah ventral
diabsorpsi. Dibandingkan absorpsi di daerah lengan bawah, hidrokortison diabsorpsi 0,14 kali
yang melalui daerahtelapak kaki, 0,83 kali yang melalui daerah telapak tangan, 3,5 kali yang
melalui tengkorak kepala, 6 kali yang melalui dahi, 9 kali melalui vulva, dan 42 kali melalui
kulit scrotum. Penetrasi ditingkatkan beberapa kali pada daerah kulit yang terinfeksi dermatitis
atopik ; dan pada penyakit eksfoliatif berat, seperti psoriasis eritodermik, tampaknya sedikit
sawar untuk penetrasi.
Efektivitas kortisteroid bisa akibat dari sifat immunosupresifnya. Mekanisme yang
terlibat dalam efek ini kurang diketahui. Beberapa studi menunjukkan bahwa kortikosteroid bisa
menyebabkan pengurangan sel mast pada kulit. Hal ini bisa menjelaskan penggunaan
kortikosteroid topikal pada terapi urtikaria pigmentosa. Mekanisme sebenarnya dari efek
antiinflamasi sangat kompleks dan kurang dimengerti. Dipercayai bahwa kortikosteroid
menggunakan efek anti-inflamasinya dengan menginhibisi pembentukan prostaglandin dan
derivat lain pada jalur asam arakidonik. Mekanisme lain yang turut memberikan efek
antiinflamasi kortikosteroid adalah menghibisi proses fagositosis dan menstabilisasi membran
lisosom dan sel-sel fagosit.

2.4. KLASIFIKASI

Meskipun kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktivitas biologik, umumnya


potensi sediaan alamiah maupun yang sintetik ditentukan oleh besarnya efek retensi natrium dan
penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat anti-inflamasinya.Kortikosteroid terdiri
atas 2 sediaan yaitu kortikosterojd sistemik dan sediaan kortikosteroid topikal. Sediaan
kortikosteroid sistemik dapat dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan masa kerjanya,
potensi glukokortikoid, dosis ekuivalen dan potensi mineralokortikoid.7’8”12”6

2.5. KONTRA INDIKASI

Kontraindikasi pada kortikosteroid terdiri dari kontraindikasi mutlak dan relatif. Pada
kontraindikasi absolut, kortikosteroid tidak boleh diberikan pada keadaan infeksi jamur yang
sistemik, herpes simpleks keratitis, hipersensitivitas biasanya kortikotropin dan preparat
intravena. Sedangkan kontraindikasi relatif kortikosteroid dapat diberikan dengan alasan sebagai
life saving drugs. Kortikosteroid diberikan disertai dengan monitor yang ketat pada keadaan
hipertensi, tuberculosis aktif, gagal jantung, riwayat adanya gangguan jiwa, positive purified
derivative, glaucoma, depresi berat, diabetes, ulkus peptic, katarak, osteoporosis, kehamilan.
BAB III
KORTIKOSTEROID SISTEMIK DAN TOPIKAL

3.1. KORTIKOSTEROID SISTEMIK

3.1.1 Pendahuluan

Kortikosteroid sistemik banyak digunakan dalam bidang dermatologi karena obat


tersebut mempunyai efek imunosupresan dan antiinflamasi. Sejak kortikosteroid digunakan
dalam bidang dermatologi, obat tersebut sangat menolong penderita. Berbagai penyakit yang
dahulu lama penyembuhannya dapat dipersingkat, misalnya dermatitis. Penyakit berat yang
dahulu dapat menyebabkan kematian, misalnya pemfigus, angka kematiannya dapat ditekan
berkat pengobatan dengan kortikosteroid, demikian pula sindrom Stevens Johnson yang berat
dan nekrolisis epidermal toksik.

3.1.2 Cara Pengobatan

Kortikosteroid secara sistemik dapat diberikan secara intralesi, oral, intramuskular,


intravena. Pemilihan preparat yang digunakan tergantung dengan keparahan penyakit. Pada suatu
penyakit dimana kortikosteroid digunakan karena efek samping seperti pada alopesia areata,
kortikosteroid yang diberikan adalah kortikosteroid dengan masa kerja yang panjang.
Kortikosteroid biasanya digunakan setiap hari atau selang sehari. Initial dose yang digunakan
untu mengontrol penyakit rata-rata dari 2,5 mg hingga beberapa ratus mg setiap hari. Jika
digunakan kurang dan 3 – 4 minggu, kortikosteroid diberhentikan tanpa tapering off. Dosis yang
paling kecil dengan masa keija yang pendek dapat diberikan setiap pagi untuk meminimal efek
samping karena kortisol mencapai puncaknya sekitar jam 08.00 pagi dan terjadi umpan balik
yang maksimal dari sekresi ACTH. Sedangkan pada malam hari kortikosteroid level yang rendah
dan dengan sekresi ACTH yang normal sehingga dosis rendah dari prednison (2,5 sampai 5mg)
pada malam han sebelum tidur dapat digunakan untuk memaksimalkan supresi adrenal pada
kasus akne maupun birsustisme.
Pada pengobatan dengan kortikosteroid hendaknya jangan lupa mencari penyebabnya.
Kortikosteroid yang banyak dipakai ialah prednison karena telah lama digunakan dan harganya
murah. Bila ada gangguan hepar digunakan prednisolon karena prednison dimetabolisme dihepar
menjadi prednisolon. Pada penderita dengan hipertensi, gangguan kor, atau keadaan lain yang
retensi garam merupakan masalah, maka dipilih kortikosteroid yang efek kortikosteroidnya
sedikit/tidak ada, lebih-lebih bila diperlukan dosis kortikosteroid yang tinggi.
Kortikosteroid yang memberi banyak efek mineralokortikoid jangan dipakai pada
pemberian jangka panjang (lebih dan pada sebulan). Triamsinolon lebih sering memberi efek
samping berupa miopati dan anoreksia sehingga berat badan menurun. Pada penyakit berat dan
sukar menelan, misalnya toksik epidermal nekrolisis dan sindroma steven johnson harus
diberikan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Biasanya yang digunakan yaitu deksametason i.v
karena lebih praktis. Jika masa kritis telah diatasi dan penderita telah dapat menelan diganti
dengan tablet prednison.
Pada pengobatan berbagai dermatosis dengan kortikosteroid, bila telah mengalami
perbaikan dosisnya diturunkan berangsur-angsur agar penyakitnya tidak mengalami eksaserbasi,
tidak terjadi supresi korteks kelenjar adrenal dan sindrom putus obat. Jika terjadi supresi korteks
kelenjar adrenal, penderita tidak dapat melawan stress. Supresi terjadi kalau dosis prednison
meebihi 5 mg per han dan kalau lebih dan sebulan. Pada sindrom putus obat terdapat keluhan
lemah, lelah, anoreksia dan demam ringan yang jarang melebihi 39°C.
Pada pengobatan penyakit autoimun diperlukan kortikosteroid dalam jangka waktu yang
lama dan dicani dosis pemelihanaan. Dosis pemeliharaan ditentukan dengan menurunkan
dosisnya berangsur-angsur. Untuk mencegah terjadinya supresi korteks kelenjar adrenal
kortikosteroid dapat diberikan selang sehari sebagai dosis tunggal pada pagi han (jam8), karena
kadar kortisol tertinggi dalam darah pada pagi hari. Keburukan pemberian dosis selang sehari
ialah pada hari bebas obat penyakit dapat kambuh. Untuk mencegahnya, pada hari yang
seharusnya bebas obat masih diberikan kortikosteroid dengan dosis yang lebih rendah danipada
dosis pada han pemberian obat. Kemudian perlahan-lahan dosisnya diturunkan. Bila dosis telah
mencapi 7,5 mg prednison, selanjutnya pada hari yang seharusnya bebas obat tidak diberikan
kortikosteroid lagi. Alasannya ialah bila diturunkan berarti hanya 5 mg dan dosis ini merupakan
dosis fisiologik. Seterusnya dapat diberikan selang sehari.
Terjadinya efek samping tergantung pada dosis, lama pengobatan dan macam
kortikosterid. Pada pengobatan jangka pendek (beberapa hari / minggu) umumnya tidak terjadi
efek samping yang gawat. Sebaliknya pada pengobatan jangka panjang (beberapa bulan / tahun)
harus diadakan tindakan untuk mencegah terjadinya efek tersebut, yaitu:
1. Diet tinggi protein dan rendah garam.
2. Pemberian KC1 3x500 mg sehari untuk orang dewasa, jika terjadi defisiensi Kalium
3. Obat anabolik
4. ACTH diberikan 4 minggu sekali, yang biasanya diberikan ialah ACTH sintetik, yaitu
synacthen depot sebanyak 1 mg (100 IU), pada pemberian kortikosteroid dosis tinggi
dapat diberikan seminggu sekali.
5. Antibiotik perlu diberikan, jika dosis prednison melebihi 40 mg sehari
6. Antasida

3.1.3 Efek Samping

Tabel 2. Berikut efek samping kortikosteroid sistemik secara umum.

Tempat Macam efek samping


1 Saluran cerna Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster, ulkus
peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis regional, kolitis ulseratif.
2 Otot Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu
3 Susunan saraf pusat Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah, mudah
tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis, kecendrungan
bunuh diri), nafsu makan bertambah.
4 Tulang Osteoporosis, fraktur, kompresi vertebra, skoliosis, fraktur
tulang panjang.
5 Kulit Hirsutisme, hipotropi, striae atrofise, dermatosis akneiformis,
purpura,
6 Mata Glaukoma dan katarak subkapsular posterior
7 Darah Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit
8 Pembuluh darah Kenaikan tekanan darah
9 Kelenjar adrenal bagian Atrofi, tidak bisa melawan stres
kortek
10 Metabolisme protein, Kebilangan protein (efek katabolik), hiperlipidemia, gula
KH dan lemak meninggi, obesitas, buffalo hump, perlemakan hati.
11 Elektrolit Retensi Na/air, kehilangan kalium.(astenia, paralisis,
tetani, aritmia kor)
12 Sistem immunitas Menurun, rentan terhadap infeksi, reaktivasi Th herpes simplek,.
dan keganasan dapat timbul

Efek samping pada tulang terjadi umumnya pada manula dan wanita saat menopause.
Efek samping lain adalah sindrom Cushing yang terdiri atas moon face, buffalo hump, penebalan
lemak suprakavikula, obesitas sentral, striae atrofise, purpura, dermatosis akneformis dan
hirsustisme. Selain itu juga gangguan menstruasi, nyeri kepala, pseudotumor serebri, impotensi,
hiperhidrosis, flushing, vertigo, hepatomegali dan keadaan ateroskierosis dipercepat. Pada anak
memperlambat pertumbuhan.

Tabel 3. Mengenal lama kerja, potensi glukokortikoid, dosis ekuivalen, dan potensi
mineralokortikoid
Macam Kortikosteroid Potensi glukokortikoid Dosis ekuivalen (mg) Potensi mineralokortikoid
1. Kerja singkat
a. Hidrokortison 1 20,0 2+
b. Kortison 0,8 25,0 2+
2. Kerjasedang
a. Meprednison 4-5 4,0 0
b. Metilprednisolon 5 4,0 0
c. Prednisolon 4 5,0 1+
d. Prednison 4 5,0 1+
e. Triamsinolon 5 4,0 0
3. Kerjalama
a. Betametason 20-30 0,60 0
b. Deksametason 20-30 0,75 0
c. Parametason 10 2,0 0
Keteragan:
Masa paruh biologik kortikostreroid
Kerja singkat : 8-12 jam
Kerja sedang : 12-36 jam
Kerja lama : 36-72 jam

Pada tabel diatas terlihat bahwa triamsinolon, parametason, betametason, dan


deksametason tidak mempunyai efek mineralokortikoid. Hampir semua golongan kortikosteroid
mempunyai efek glukokortikoid. Pada tabel ini obat disusun menurut kekuatan (potensi) dan
yang paling lemah sampai yang paling kuat. Parametason, betametason, dan deksametason
mempunyai potensi paling kuat dengan waktu paruh 36-72 jam. Sedangkan kortison dan
hidrokortison mempunyai waktu paruh paling singkat yaitu kurang dari 12 jam. Harus diingat
semakin kuat potensinya semakin besar efek samping yang terjadi.

3.1.4 Monitor

Dasar evaluasi yang digunakan sebelum dilakukan pengobatan kortikosteroid untuk mengurangi
potensi terjadinya efek samping adalah riwayat personal dan keluarga dengan perhatian khusus
kepada penderita yang memiliki predisposisi diabetes, hipertensi, hiperlipidemia, glaukoma dan
penyakit yang terpengaruh dengan pengobatan steroid. Tekanan darah dan berat badan harusrus
tetap di ukur. Jika dilakukan pengobatan jangka lama perlu dilakukan pemeriksaan mata, test
PPD, pengukuran densitas tulang spinal dengan menggunakan computed tomography (CT), dual-
photon absorptiometry, atau dual-energy x ray absorptiometry (DEXA).
Sedangakan selama penggunaan kortikosteroid tetap perlu dilakukan evaluasi diantaranya
menanyakan kepada pasien terjadinya poliuri, polidipsi, nyeri abdomen, demam, gangguan tidur
dan efek psikologi. Penggunaan glukokortikoid dosis besar mempunyai kemungkinan terjadi
efek yang serius terhadap afek bahkan psikosis. Berat badan dan tekanan darah tetap selalu di
monitor. Elektrolit serum, kadar gula darah puasa, kolesterol, dan trigliserida tetap diukur dengan
regular. Pemeriksaan tinja perlu dilakukan pada kasus darah yang menggumpal. Selain itu,
pemeriksaan lanjut pada mata karena ditakutkan terjadinya katarak dan glaukoma
Tabel 4. Berikut hal - ha1 yang perlu di monitor selama penggunaan glukokortikoid
jangka panjang

No Efek samping Monitor


1 Hipertensi Tekanan darah
2 Berat badan meningkat Berat badan
3 Reaktivasi infeksi PPD, (12 han setelah pemakaian prednison)
4 Abnormalitas metabolik Elektrolit, lipid, glukosa (t.u penderita diabetes
dan hiperlipidemia)
5 Osteoporosis Densitas tulang
6 Mata
Katarak  Pemeriksaan slit lamp (setiap 6 sampai 12 bulan)
Glaukoma  Tekanan intraokular (saat bulan pertama dan ke
enam)
7 Ulkus peptik Pertimbangkan pengunaan antagonis H2 atau proton
pump inhibitor
8 Supresi kelenjar adrenal Dosis tunggal di pagi hari, periksa serum kortisol
pada jam 8 pagi sebelum tapering off.

Pada pengobatan jangka panjang harus waspada terhadap efek samping, hendaknya
diperiksa tensi, berat badan (seminggu sekali), EKG (sebulan sekali) terutama pada usia di atas
40 tahun, dan pemeriksaan laboratorium: Hb, jumlah leukosit, hitung jenis, LED, urin lengkap,
kadar Na dan K dalam darah, gula darah (seminggu sekali), foto toraks, apakah ada tuberkulosis
paru (3 bulan sekali).
Efek samping yang juga berat ialah osteoporosis yang dapat menyebabkan fraktur. Pada
pemberian kortikosteroid yang jangka panjang, misalnya pada penyakit autoimun hendaknya
sejak semula diusahakan pencegahannya. Penderita dikonsultasikan ke sub bagian ortopedi. Pada
wanita saat menopouse dikonsultasikan ke bagian kebidanan untuk kemungkinan terapi
hormonal, karena pada masa tersebut rentan mendapat osteoporosis.
3.1.5 Indikasi Dan Dosis

Indikasi kortikosteroid ialah dermatosis alergik atau yang dianggap mempunyai dasar
alergik, Pada tabel dibawah lni dicantumkan berbagai penyakit yang dapat diobati dengan
kortikosteroid serta dosisnya.

Tabel 5. Dosis inisial kortikosteroid sistemik sehari untuk orang dewasa pada
berbagai dermatosis

Nama penyakit Macam kortikosteroid dan dosisnya sehari

Dermatitis Prednison 4x5 mg atau 3xl0 mg

Erupsi alergi obat ringan Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg

SSJ berat dan NET Deksametason 6x5 mg

Eritroderma Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg

Reaksi lepra Prednison 3x10 mg

LED Prednison 3x10 mg

Pemfigoid bulosa Prednison 40-80 mg

Pemfigus vulgaris Prednison 60-150 mg

Pemfigus foliaseus Prednison 3x20 mg

Pemfigus eritematosa Prednison 3x20 mg

Psoriasis pustulosa Prednison 4x 10 mg

Reaksi Jarish-Herxheimer Prednison 20-40 mg

Dosis yang tertulis ialah dosis patokan untuk orang dewasa menurut pengalaman, tidak
bersifat mutlak karena bergantung pada respons penderita. Dosis untuk anak disesuaikan dengan
berat badan / umur. Jika setelah beberapa hari belum tampak perbaikan, dosis ditingkatkan
sampai ada perbaikan.
3.2. KORTIKOSTEROID TOPIKAL
3.2.1. Pendahuluan

Pada tahun 1952 SULZBERGER dan WITTEN memperkenalkan hidrokortison dan


hidrokortison asetat sebagai obat topikal pertama dan golongan kortikosteroid. Hal im
merupakan kemajuan yang sangat besar dalam pengobatan penyakit kulit karena kortikosteroid
mempunyai khasiat yang sangat luas yaitu anti inflamasi, anti alergi, anti pruritus, anti mitotik,
dan vasokontriksi. Pada penyelidikan ternyata bahwa kortison dan adreno cortico trophic
hormone (ACTH) tidak efektif sebagai obat topikal.
Pada perkembangan selanjutnya, pada tahun 1960 diperkenalkan kortikosteroid yang
lebih poten dari pada hidrokortison, yaitu kortikosteroid yang bersenyawa halogen yang dikenal
sebagai fluorinated corticosteroid. Penambahan 1 atom F pada posisi 6 dan 9 dan satu rantai
samping pada posisi 16 dan 17, menghasilkan bentuk yang mempunyai potensi tinggi. Zat-zat ini
pada konsentrasi 0,025% sampai 0,1% memberikan pengaruh anti inflamasi yang kuat, yang
termasuk golongan ini ialah, antara lain ; betametason, betametason valerat, betametason
benzoat, fluosinolon asetonid dan triamsinolon asetonid.

3.2.2 Penggolongan

Kortikosteroid topikal bagi menjadi 7 golongan besar, diantaranya berdasarkan anti


inflamasi dan anti mitotik, Golongan 1 yang paling kuat daya anti inflamasi dan anti mitotiknya
(superpoten). Sebaliknya golongan VII yang terlemah (potensi lemah).

Tabel 6. Penggolongan kortikosteroid topikal berdasarkan potensi kilnis:


Kiasifikasi Nama Dagang Nama Generik
Golongan 1: (super poten) Diprolene ointment 0,05% betamethason dipropionate
Diprolene AF cream
Psorcon ointment 0,05% diflorasone diacetate
Temovate ointment 0,05% clobetasol propionate
Temovate cream
Olux foam
Ultravate ointment 0,05% halobetasol propionate
Ultravate cream
Golongan II: (potensi tmggi) Cyclocort ointment 0,1% ameinonide
Diprosone ointment 0,05% betamethasoiie dipropionate
Elocon ointment 0,01% mometasone fuorate
Florone ointment 0,05% diflorasone diacetate
Halog ointment 0,01% halcinonide
Halog cream
Halog solution
Lidex ointment 0,05% fluocinonide
Lidex cream
Lidex gel
Lidex solution
Maxiflor ointment 0,05% diflorasone diacetate
Maxivate ointment 0,05% betamethasone dipropionate
Maxivate cream
Topicort ointment 0,25% desoximetasone
Topicort cream
Topicort gel 0,05% desoximetasone
Golongan III: (potensi finggi) Aristocort A ointment 0,1% triamcinolone acetonide
Cultivate ointment 0,005% fluticasone propionate
Cyclocort cream 0,1 amcinonide
Cyclocort lotion
Diprosone cream 0,05% betamethasone dipropionate
Flurone cream 0,05% diflorosone diacetate
Lidex E cream 0,05% fluocmomde
Maxiflor cream 0,05% diflorosone diacetate
Maxivate lotion 0,05% betamethasone dipropionate
Topicort LP cream 0,05% desoxitnetasone
Valisone ointment 0,01% betamethasone valerate
Golongan IV: (potensi medium) Aristocort omtment 0,1% traamcinolone acetomde
Cordran ointment 0,05% flurandrenolide
Elocon cream 0,1% mometasone furoate
Elocon lotion
Kenalog ointment 0,1% triamcinolone acetonide
Kenalog cream
Synalar ointment 0,025% fluocinolone acetonide
Westcort ointment 0,2% hydrocortisone valerate
Golongan V: (potensi medium) Cordran cream 0,05% flurandrenolide
Cutivate cream 0,05% fluticasone propionate
Dermatop cream 0,1% prednicarbate
Diprosone lotion 0,05% betamethasone dipropionate
Kenalog lotion 0,1% triamcinolone acetonide
Locoid ointment 0,1% hydrocortisone butyrate
Locoid cream
Synalar cream 0,025% fluocinolone acetonide
Tridesilon ointment 0,05% desonide
Valisone cream 0,1% betamethasone valerate
Westcort cream 0,2% hydrocortisone valerate
Golongan VI: (potensi medium) Aclovate ointment 0,05% aclometasone
Aclovate cream
Aristocort cream 0,1% triamcinolone acetonide
Desowen cream 0,05% desonide
Kenalog cream 0,025% triamcinolone acetonide
Kenalog lotion
Locoid solution 0,1% hydrocortisone butyrate
Synalar cream 0,01% fluocinolone acetonide
Synalar solution
Tridesilon cream 0,05% desonide
Valisone lotion 0,1% betamethasone valerate
Golongan VII: Potensi lemah) Obat topical dengan
hidrokortison,
dekametason,
glumetalone,
prednisolone, dan
metilprednisolone

3.2.3 Penggunaan Klinik

Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat pilihan untuk
suatu penyakit kulit. Perlu diperhatikan bahwa kortikosteroid topikal bersifat paliatjf dan supresjf
terhadap penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan kausal. Biasanya pada kelainan akut
dipakai kortikosteroid dengan potensi lemah contohnya pada anak-anak dan usia lanjut,
sedangkan pada kelainan subakut digunakan kortikosteroid sedang contonya pada dermatitis
kontak alergik, dermatitis seboroik dan dermatitis intertriginosa. Jika kelainan kronis dan tebal
dipakai kortikosteroid potensi kuat contohnya pada psoriasis, dermatitis atopik, dermatitis
dishidrotik, dan dermatitis numular.
Pada dermatitis atopik yang penyebabnya belum diketahui, kortikosteroid dipakai dengan
harapan agar remisi lebih cepat terjadi. Yang harus diperhatikan adalah kadar kandungan
steroidnya. Dermatosis yang kurang responsif terhadap kortikosteroid ialah lupus eritematosus
diskoid, psoriasis di telapak tangan dan kaki, nekrobiosis lipiodika diabetikorum, vitiligo,
granuloma anulare, sarkoidosis, liken planus, pemfigoid, eksantema fikstum. Erupsi eksematosa
biasanya diatasi dengan salep hidrokortison 1%. Pada penyakit kulit akut dan berat serta pada
eksaserbasi penyakit kulit kronik, kortikosteroid diberikan secara sistemik.
Pengobatan kortikosteroid pada bayi dan anak harus dilakukan dengan lebih hati-hati.
Penggunaan pada anak-anak memiliki efektifitas yang tinggi dan sedikit efek samping terhadap
pemberian kortikosteroid topikal dengan potensi lemah dan dalam jangka waktu yang singkat.
Sedangkan pada bayi memiliki risiko efek samping yang tinggi karena kulit bayi masih belum
sempurna dan fungsinya belum berkembang seutuhnya. Secara umum, kulit bayi lebih tipis,
ikatan sel-sel epidermisnya masih longgar, lebih cepat menyerap obat sehingga kemungkinan
efek toksis lebih cepat terjadi serta sistem imun belum berfungsi secara sempurna Pada bayi
prematur lebih berisiko karena kulitnya lebih tipis dan angka penetrasi obat topikal sangat tinggi.
Pada geriatri memiliki kulit yang tipis sehingga penetrasi steroid topikal meningkat. Selain itu,
pada geriatric juga telah mengalami kulit yang atropi sekunder karena proses penuaan.
Kortikosteroid topikal harus digunakan secara tidak sering, waktu singkat dan dengan
pengawasan yang ketat.
Kortikosteroid topikal tidak seharusnya dipakai sewaktu hamil kecuali dinyatakan perlu
atau sesuai oleh dokter untuk wanita yang hamil. Pada kasus kelahiran prematur, sering
digunakan steroid untuk mempercepat kematangan paru-paru janin (SOP). Percobaan pada
hewan menunjukkan penggunaan kortikosteroid pada kulit hewan hamil akan menyebabkan
abnormalitas pada pertumbuhan fetus. Percobaan pada hewan tidak ada kaitan dengan efek pada
manusia, tetapi mungkin ada sedikit resiko apabila steroid yang mencukupi di absorbsi di kulit
memasuki aliran darah wanita hamil terutama pada penggunaan dalam jumlah yang besar, jangka
waktu lama dan steroid potensi tinggi. Analisis yang baru saja dilakukan memperlihatkan
hubungan yang kecil tetapi penting antara kehamilan terutama trisemester pertama dengan bibir
sumbing. Kemungkinannya 1 % dapat terjadi cleft lip atau cleft palate saat penggunaan steroid
selama kehamilan. Kortikosteroid sistemik yang biasa digunakan pada saat kehamilan adalah
prednison dan kortison. Sedangkan untuk topikal biasa digunakan hidrokortison dan
betametason. Begitu juga pada waktu menyusui, penggunaan kortikosteroid topikal harus
dihindari dan diperhatikan. Belum diketahui dengan pasti apakah steroid topikal diekskresi
melalui ASI, tetapi sebaiknya tidak digunakan pada wanita sedang menyusui.
Kortikosteroid dapat menyebabkan gangguan mental bagi penggunanya. Rata-rata dosis
yang dapat menyebabkan gangguan mental adalah 60 mg/ hari, sedangkan dosis dibawah 30
mg/hari tidak bersifat buruk pada mental penggunanya. Bagi pengguna yang sebelumnya
memiliki gangguan jiwa dan sedang menggunakan pengobatan kortikosteroid sekitar 20% dapat
menginduksi timbulnya gangguan mental sedangkan 80% tidak.

3.2.4 Indikasi

Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat pilihan untuk
suatu penyakit kulit (MARKS 1985). Harus selalu diingat bahwa kortikosteroid topikal bersifat
paliatif dan supresif terhadap penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan kausal.
Dermatosis yang responsif dengan kortikosteroid topikal ialah psoriasis, dermatitis
atopik, dermatitis kontak, dermatitis seboroik, neurodermatitis sirkumskripta, dermatitis
numularis, dermatitis stasis, dermatitis venenata, dermatitis intertriginosa dan dermatitis solaris
(fotodermatitis).
Dermatosis yang kurang responsif ialah lupus eritematosus diskoid, psoriasis ditelapak
tangan dan kaki, nekrobiosis lipoidika diabetikorum, vitiligo, granuloma anulare, sarkoidosis.
liken planus, pemfigoid, eksantema fikstum.
Dermatosis yang responsif dengan kortikosteroid intralesi ialah keloid, jaringan parut
hipertrofik, alopesia areata, akne berkista, prurigo nodularis, morfea, dermatitis dengan
likenifikasi, liken amiloidosis, dan vitiligo sebagian responsif).
Disamping kortikosteroid topikal tersebut ada pula kortikosteroid yang disuntikan intralesi,
misalnya triamsinolon asetonid.

3.2.5 Pemilihan Jenis Kortikosteroid Topikal

Pada saat memilih kortikosteroid topikal yang sesuai, aman, efek samping sedikit dan
harga murah, disamping itu ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan yaitu jenis penyakit
kulit, jenis vehikulum, kondisi penyakit, yaitu stadium penyakit, luas atau tidaknya lesi, dalam
atau dangkalnya lesi, dan lokalisasi lesi. Perlu juga dipertimbangkan umur penderita.
Steroid topikal terdiri dan berbagai macam vehikulum dan bentuk dosis. Salep (ointments)
ialah bahan berlemak atau seperti lemak, yang pada suhu kamar berkonsistensi seperti mentega.
Bahan dasar biasanya vaselin, tetapi dapat pula lanolin atau minyak. Jenis ini merupakan yang
terbaik untuk pengobatan kulit yang kering karena banyak mengandung pelembab. Selain itu
juga baik untuk pengobatan pada kulit yang tebal contoh telapak tangan dan kaki. Salep mampu
melembabkan stratum komeum sehingga meningkatkan penyerapan dan potensi obat. Krim
adalah suspensi minyak dalam air. Krim meniiliki komposisi yang bervaniasi dan biasanya lebih
berminyak dibandingkan ointments tetapi berbeda pada daya hidrasi terhadap kulit. Banyak
pasien lebih mudah menemukan krim untuk kulit dan secara kosmetik lebih baik dibandingkan
ointments. Meskipun itu, krim terdiri dari emulsi dan bahan pengawet yang mempermudah
terjadi reaksi alergi pada beberapa pasien. Lotion (bedak kocok) tediri atas campuran air dan
bedak, yang biasanya ditambah dengan gliserin sebagai bahan perekat, lotion mirip dengan krim.
Lotion terdiri dan agents yang membantu melarutkan kortikosteroid dan lebih mudah menyebar
ke kulit. Solution tidak mengandung minyak tetapi kandungannya terdini dan air, alkohol dan
propylene glycol. Gel komponen solid pada suhu kamar tetapi mencair pada saat kontak dengan
kulit. Lotion, solution, dan gel memiliki daya penyerapan yang lebih rendah dibandingkan
ointment tetapi berguna pada pengobatan area rambut contoh pada daerah scalp dimana lebih
berminyak dan secara kosmerik lebih tidak nyaman pada pasien.

3.2.6 Aplikasi KIinis


a. Cara aplikasi
Pada umumnya dianjurkan pemakaian salep 2-3x/hari sampai penyakit tersebut sembuh.
Perlu dipertimbangkan adanya gejala takifilaksis. Takifilaksis ialah menurunnya respons
kulit terhadap glukokortikoid karena pemberian obat yang berulang-ulang berupa toleransi
akut yang berarti efek vasokonstriksinya akan menghilang, setelah diistirahatkan beberapa
hari efek vasokonstriksi akan timbul kembali dan akan menghilang lagi bila pengolesan
obat tetap dilanjutkan.
b. Lama pemakaian steroid topikal
Lama pemakaian kortikosteroid topikal sebaiknya tidak lebih dan 4-6 minggu untuk
steroid potensi lemah dan tidak lebih dan 2 minggu untuk potensi kuat.

3.2.7 Efek Samping

Efek samping terjadi bila:


1. Penggunaan kortikosteroid topikal yang lama dan berlebihan
2. Penggunaan kortikosteroid topilcal dengan potensi kuat atau sangat kuat atau penggunaan
secara okiusif
Harus diingat bahwa makin tinggi potensi kortikosteroid topikal, makin cepat terjadinya efek
samping. Gejala efek samping:
1. Atrofi
2. Strie atrofise
3. Telengiektasis
4. Purpura
5. Dermatosis akneiformis
6. Hipertrikosis setempat
7. Hipopigmentasi
8. Dermatitis perioral
9. Menghambat penyembuhan ulkus
10. Infeksi mudah terjadi dan meluas
11. Gambaran kilnis penyakit infeksi menjadi kabur

Dermatofitosis yang diobati dengan kortikosteroid topikal gambaran klinisnya menjadi tidak
khas karena efek anti inflamasinya. Pinggir yang eritematosa dan berbatas tegas menjadi kabur
dan meluas dikenal sebagai tinea incognito.

3.2.8 Pencegahan Efek Samping

Efek sampmg sistemik jarang sekali terjadi, agar aman dosis yang dianjurkan ialah
jangan melebihi 30 gram sehari .
Pada bayi kulit masih tipis, hendaknya dipakai kortikosteroid topikal yang lemah. Pada
kelainan akut dipakai pula kortikosteroid topikal yang lemah. Pada kelainan subakut digunakan
kortikosteroid topikal sedang. Jika kelainan kronis dan tebal dipakai kortikosteroid topikal kuat.
Bila telah membaik pengolesan dikurangi, yang semula dua kali sehari menjadi sehari sekali atau
diganti dengan kortikosteroid topikal sedang/lemah untuk mencegah efek samping.
Jika hendak menggunakan cara oklusi jangan melebihi 12 jam sehari dan pemakaiannya
terbatas pada lesi yang resisten.
Pada daerah lipatan (inguinal, ketiak) dan wajah digunakan kortikosteroid topikal lemah /
sedang. kortikosteroid topikal jangan digunakan untuk infeksi bakterial, infeksi mikotik, infeksi
virus, dan skabies.
Di sekitar mata hendaknya berhati-bati untuk menghindari timbulnya glaukoma dan
katarak. Terapi intralesi dibatasi I mg pada satu tempat, sedangkan dosis maksimum perkali
10mg.
3.3 PENATALAKSANAAN ERUPSI ALERGI OBAT

Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan alergi obat adalah dengan
menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dan dalam tubuh., epinephrine adalah drug of
choice pada reaksi anafilaksis. Untuk alergi obat jenis lainnya, dapat digunakan pengobatan
simptomatik dengan antihistamin dan kortikosteroid. Penghentian obat yang dicunigai menjadi
penyebab harus dihentikan secepat mungkin. Tetapi, pada beberapa kasus adakalanya pemeriksa
dihadapkan dua pilihan antara risiko erupsi obat dengan manfaat dari obat tersebut.

3.3.1. Penatalaksanaan Umum

 Melindungi kulit. Pemberian obat yang diduga menjadi penyebab erupsi kulit harus
dihentikan segera.
 Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk mendeteksi
kemungkinan timbulnya erupsi yang lebih parah atau relaps setelah berada pada fase
pemulihan.
 Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan tubuhnya. Berikan cairan
via infus bila perlu. Pengaturan keseimbangan cairan / elektrolit dan nutrisi
penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan
tenggorok serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya
berupa glukosa 5% dan larutan Darrow.
 Transfusi darah bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari; khususnya pada
kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula
ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik

3.3.2. Penatalaksanaan Khusus

1. Sistemik
A. Kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat
kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednison. Pada kelainan urtikaria, eritema,
dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodosum, eksantema fikstum, dan PEGA
karena erupsi obat alergi. Dosis standar untuk orang dewasa adalah 3 x 10 mg sampai 4 x
10 mg sehari. Pengobatan eryhema mu1rforme major, SSJ dan TEN pertama kali adalah
menghentikan obat yang diduga penyebab dan pemberian terapi yang bersifat suportif
seperti perawatan luka dan perawatan gizi penderita. Penggunaan glukortikoid untuk
pengobatan SSJ dan TEN masih kontroversial.
Pertama kali dilakukan pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG) terbukti dapat
menurunkan progresifitas penyakit mi dalam jangka waktu 48 jam. Untuk
selanjutnya IVIG diberikan sebanyak 0.2-0.75 g/kg selama 4 han pertama.
B. Antihistamin. Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat rasa
gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika dibandingkan dengan kortikosteroid.

2. Topikal
 Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau basah.
Jika dalarn keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah dengan obat
antipruritus seperti mentol V2-1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika dalam keadaan
basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam salisilat 1%.
 Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada
eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat diberikan krim kortikosteroid,
misalnya hidrokortison 1% sampai 21/2 2%.
 Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan mengalami
skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10% yang dioleskan sebagian-sebagian.
 Terapi topikal untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit
yang erosif dapat dibenkan sofratulle atau krim sulfadiazin perak.

3.4. PROGNOSIS
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat penyebabnya dapat
diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan
kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom Steven Johnson, prognosis sangat tergantung
pada luas kulit yang terkena. Prognosis buruk bila kelainan meliputi 50-70% permukaan
kulit.
Tabel 7. Algotritme Dalam Mendiagnosis Dan Menatalaksana Erupsi Alergi Obat

Anda mungkin juga menyukai