Anda di halaman 1dari 15

TUGAS KELOMPOK DOSEN PEMBIMBING

AKIDAH AKHLAK SYARIFUDDIN


MAKALAH

UIN SUSKA RIAU


KELOMPOK 10 :

1. IQBAL SAHPUTRA NS 11551104966


2. IMAM ALFARIQI

JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Tasawuf atau Sufisme ( bahasa Arab : ‫ ) تصوف‬adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana
cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlaq, membangun zhahir dan batin, untuk
memperoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud
(menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi
mistisme Islam. Tarekat (pelbagai aliran dalam Sufi) sering dihubungkan dengan Syiah,
Sunni, cabang Islam yang lain, atau kombinasi dari beberapa tradisi. Pemikiran Sufi muncul
di Timur Tengah pada abad ke-8, sekarang tradisi ini sudah tersebar ke seluruh belahan dunia.
Dari berbagai pemahaman dalam ilmu tasawuf ada yang secara langsung membahas ke
dasar-dasarnya atau pun secara khusus seperti; tasawuf akhlaqi, tasawuf ‘Amali, tasawuf
falsaffi, Al-wahdat As-syuhud ataupun wujud dan banyak lagi pembahasan lain mengenai
ilmu tasawuf.
Kita ambil satu sample pembahasan ilmu tasawuf seperti Paham Kesatuan Wujud,
Paham ini berisi keyakinan bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan. Penganut paham
kesatuan wujud ini mengambil dalil Al Quran yang dianggap mendukung penyatuan antara
ruh manusia dengan Ruh Allah dalam penciptaan manusia pertama, Nabi Adam AS:
“...Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh Ku;
maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya (As Shaad; 72)”
Kalau Kita lihat sepintas Sejarah Paham banyak pendapat pro dan kontra mengenai
asal-usul ajaran tasawuf, apakah ia berasal dari luar atau dari dalam agama Islam sendiri.
Sebagian pendapat mengatakan bahwa paham tasawuf merupakan paham yang sudah
berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah. Dan orang-orang Islam baru di
daerah Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang sebelumnya merupakan orang-orang yang
memeluk agama non Islam atau menganut paham-paham tertentu. Meski sudah masuk Islam,

2. Rumusan Masalah
Makalah ini dirumuskan pada:
1. Apa pengertian wahdatul wujud?
2. Siapakah tokoh yang mengembangkan wahdatul wujud?
3. Apakah Tujuan dari wahdatul wujud?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Wahdat Al-Wujud


Kata “wahdat al-wujud” berarti kesatuan wujud. Dalam kata bahasa Inggris
unity of existence. Sebagai pokok persoalan” wahdad al-wujud” adalah yang sebenarnya
berhak mempunyai wujud hanyalah satu, yaitu Tuhan. Dan wujud selain dari Tuhan adalah
wujud bayangan.
Konsep dasar pertama dari filasafat Ibnu al Arabi adalah pengakuan bahwa
hanya ada Zat Tunggal saja, dan tidak ada sesuatu yang mewujud selain itu. Istilah Arab
untuk mewujud adalah wujud, yang dapat disamakan dengan keperiadaan (eksisten). Ada
lima tahapan dalam proses pengaturan diri dari zat yang biasa dikenal hadrat khams, yaitu:
1. Tahap pertama
Zat dengan pengaturan dirinya adalah mutlak tunggal (ahad). Pada tahap ini zat disebut
sebagai Ahadiyyah, kesatuan mutlak.
2. Tahap kedua
Wahdah atau ketunggalan, yakni ketika perbedaan batini muncul dalam zat. Ini terjadi
manakala zat mengada pada diri sendiri dari diri sendiri, (yaitu pada) gagasan-gagasan
tentang segala sesuatu yang muncul dari dunia dimasa depan.
3. Tahap ketiga
Wahidiyah atau kesatuan, yakni ketika zat menentukan sendiri eksistesialitas dalam
objek-objek berkenaan dengan prototipe idealnya yakni a’yan tsabitah.
4. Tahap keempat
Penentuan yang dikhususkan dari zat didalam jiwa yang disebut ta’ayun ruhi,yaitu
penentuan rohaniah; dalam bentuk simbolis disebut ta’ayun mitsali atau penentuan simbolis.
5. Tahap kelima
Ta’ayun jasadi atau penentuan jasadi. Penentuan eksistensial adalah tertentu, sebagaii
kebalikkan dari penentuan idel yang tidak-terbatas.
Diantara pengajaran Ibnu ‘Arabi tentang Tuhan dan alam adalah bahwa Allah
(Tuhan) itu mawjud (ada) dengan dzat-Nya dan karena dzat-Nya sendiri. Dia adalah wujud
yag mutlak, tidak terbatas oleh yang lain, bukan ma’lul (akibat) dari sesuatu, bukan pula
‘illah (sebab) bagi sesuatu. Dia adalah pencipta bagi sebab-sebab dan akibat-akibat. Dia
adalah raja Kudus yang senatisa ada. Konsekuensi dari dokrin Zat Tunggal (wahdat al-wujud)
seperti yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Arabi diatas adalah bahwa segala subjek dari setiap
prediket adalah Tuhan, bahkan apabila subjek yang nampak adalah berbeda, sebagai zat
manusia ataupun bukan manusia. Tuhan adalah yang mengetahui dan yang diketahui, yang
maha kuasa, dan objek kekuasaan, yang berkehendak dan yang dikendaki, penggerak dan
yang digerakkan, dan lain-lainnya. Ibnu arabi menukilkan dalam sebuah syairnya yaitu;
“Wahai pencipta segala sesuatu dalam diri-Mu, pada-Mu terhimpun segala yang
Engkau jadikan, Engkau ciptakan apa yang ada dengan tidak terbatas dalam diri-Mu sebab
Engkau adalah yang unik tetapi meliputi seluruhnya”
Wahdatul wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu Wahdat artinya
sendiri, tunggal, atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demikian, Wahdatul
wujud memiliki arti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk arti yang
bermacam-macam. Di kalangan ulama klasik ada yang mengartikan wahdah sebagai sesuatu
yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Selain itu, al-wahdah
digunakan pula oleh para ahli filsafat dan sulfistik sebagai suatu kesatuan antara makhluk dan
roh, lahir dan batin, antara alam dan Allah, karena pada hakikatnya alam adalah Qadim dan
berasal dari Allah.
Paham wahdatul wujud merubah sifat nasuf yang ada dalam Hulul menjadi
Khalaq ( ‫ ﻤﺨﻠوﻖ‬: makhluk) dan sifat Lahut menjadi Haq (‫ ﺤﻕ‬: Tuhan). Keduanya (Khalaq dan
Haq) menjadi suatu aspek, dimana Khalaq sebagai aspek disebelah luar, dan Haq sebagia
aspek sebelum dalam. Kata Khalaq dan Haq merupakan sinonim dari “Al-‘ard” dan “Al-
Jauhar” dan juga dari “Al-Zahir”(lahir, dalam) dan ”Al-Batin” (batin, dalam).Aspek ‘Ard dan
khalaq mempunyai sifat kemakhlukan, dan Al-Jauhar dan haq mempunyai arti ketuhanan.
Sehingga setiap yang berwujud pasti memunyai sifat kemakhlukan dan sifat ketuhanan.
Selanjutnya paham ini juga mengambil pendirian bahwa dari kedua aspek
tersebut yang terpenting adalah aspek batin atau Al-Haqq yang merupakan hakikat essensi
dan substansi. sedangkan aspek Al-Khalq, luar danyang tampak merupakan bayangan yang
ada karena aspek yang pertama (Al-Haqq). Paham ini selanjutnya membawa kepada
timbulnya paham bahwa antara makhluk dan tuhan sebenarnya satu kesatuan dari wujud
tuhanyang, dan yang sebenarnya ada adalah wujud tuhan itu. Paham ini dibangun dari suatu
dasar pemikiran bahwa Allah sebagai diterangkan dalam Al-hulul, ingin melihat diriNya
diluar diriNya, dan oleh karena itu dijadikannya alam ini. Dengan demikian alam ini
merupakan cermin Allah. Paham ini juga mengatakan seperti bahwa yang ada di alam ini
terlihat banyak, namun pada dasarnya hanya satu. Hal ini sama halnya jika seseorang
bercermin dalam beberapa kaca. Ia melihat dirinya terlihat banyak, namun sebenarnya hanya
satu. Dalam Fushush Al-Hikam sebagai dijelaskan oleh Al-Qashimi dan dikutip oleh Harun
Nasution, pandangan wahdatul wujud ini terlihat dalam ungkapan hadist:

‫وﻤﺎﺍﻠوﺠﻪﺍﻻوﺍﺤﺪﻏﻴﺮﺍﻨﻪﺍﺬﺍﺍﻨﺖﺍﻋﺪﺪﺖﺍﻠﻤﺮﺍﺒﺎﺘﻌﺪﺪﺍ‬
“wajah sebenarnya satu, tetapi jika engkau perbanyak cermin ia menjadi banyak”

Sebagai pokok persoalan wahdatul wujud adalah yang sebenarnya berhak


mempunyai wujud hanyalah satu, yaitu Tuhan. dan wujud dari selain tuhan hanyalah wujud
bayangan-Nya. Pemikiran filasafat demikian berkembang dan membias pada konsep insane
kamil atau manusia sempurna. yang dimaksud manusia sempurna menurut Abdul Karim Al-
Jili (w.1428 M) adalah manusia cerminan Tuhan. Yang dimaksud manusia sempurna adalah
sempurna dalam hidupnya. Seseorang dianggap sempurna dalam hidupnya apabila memenuhi
aakriteria-kriteria tertentu.
Tuhan adalah maha suci, Yang Maha Suci tidak dapat didekati kecuali oleh yang
suci. Dan pensucian roh ini dapat dilakukan dengan meninggalkan hidup kematerian dan
dengan mendekatkan diri dengan Tuhan sedekat mungkin, dan jika bisa hendaknya bersatu
dengan Tuhan semasih hidup. Untuk mencapai macam insane kamil, seseorang lebih senang
dengan menempuh cara hidup sebagai seorang hidup sebagai seorang sufi. Kehidupan
seorang sufi lebih menonjolkan segi kerohaniannya dalam kehidupannya. Tentu prinsip ajaran
yang berkaitan dengan hidup kerohaniannya akan senaniasa diukur dengan Al-Quran dan
sunah Nabi SAW.
Dalam dunia yang masyarakatnya berkembang, seringkali menghadapi problema
seperti kesenjangan antara nilai duniawiyah dengan nilai ukhrawiyah. Dalam situasi demikian
tasawuf merupakan solusi pilihan untuk mengatasi masalah ini.
Dalam kalangan generasi muda yang tertarik menempuh jalan tasawuf lebih
memilih ajaran tasawuf yang dapat memadukan keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi.
Maka saat-saat kontemplasi diinterpretasikan bukan sebagai saat untuk mengisolisir diri dari
masyarakat, tetapi lebih untuk merenung, menyusun konsep, dan berinovasi untuk melakukan
perubahan sosial dengan acuan Al-Quran dan hadist.
Inti ajaran tasawuf Wahdatul wujud diterangkan ibnu Arabi dengan menekankan
pengertian kesatuan keberadaan hakikat (unity of existence). Maksudnya, seluruh yang ada,
walaupun tampaknya, sebenarnya tidak ada dan kebenarannya bergantung pada tuhan sang
pencipta. Yang tampak hanya bayang-bayang dari yang satu (tuhan). Seandainya tuhan, yang
merupakan sumber bayang-bayang, tidak ada, yang lainpun tidak ada karena seluruh alam ini
tidak memiliki wujud. Yang sebenarnya memiliki wujud hanya tuhan. Dengan kata lain, yang
ada hanya satu wujud, yaitu wujud tuhan, sedangkan yang lainnya hanya merupakan bayang-
bayang.
Wahdatul Wujud adalah suatu ilmu yang tidak disebarluaskan ke orang awam.
Sekalipun demikian, para wali-lah yang mencetuskan hal tersebut. Karena sangat
dikhawatirkan apabila ilmu wahdatul wujud disebarluaskan akan menimbulkan fitnah dan
orang awam akan salah menerimanya. Wali yang mencetuskan tersebut contohnya adalah Al
Hallaj dan Ibn Arabi. Meskipun demikian, para wali tersebut tidak pernah mengatakan
dirinya adalah tuhan. Dan mereka tetap dikenal sebagai ulama alim.

Menurut paham ini tiap-tiap yang mempunyai dua aspek, yaitu aspek luar yang disebut
al-khalq (makhluk) al’arad (accident-kenyatan luar), jahir (luar-tampak), dan aspek dalam
yang disebut al-haqq. (tuhan), al-jauhar (substance-hakikat), dan al-bathin (dalam).
Aspek terpenting dan dua hal tersebut ialah aspek hak yang merupakan batin jauhar
(substance) dan hakekat tiap-tiap yang berwujud. Dan aspek khalaq yang merupakan ‘ard,
sesuatu yang mendatang. Karena itulah alam di pandang sebagai cermin bagi tuhan. Semua
benda-benda yang ada alam bagaikan gambar pada cermin yang esensinya telah terdapat pada
sipat-sifat tuhan.
Sebagai poko persoalan ”Whahdatul Al-wujud” adalah yang sebenarnya mempunyai
wujud hanyalah satu, yaitu tuhan. Dan wujud selain tuhan adalah bayangan. pemikiran
filsafat demikian berkembang dan membias pada konsep insan kamil atau manusia sempurna.
Yang di maksud manusia sempurna menurut Abdul Karim Al-jili (wafat 1428 M) adalah
manusia cerminan tuhan atau manusia kopian tuhan.
Insan kamil Artinya manusia yang sempurna. Adapun yang dimaksudkan dengan
manusia sempurna adalah sempurna dalam hidupnya. Seseorang dianggap sempurna dalam
hidupnya apabila memenuhi kriteria-kriteria tertentu.
Umat islam sepakat bahwa di antara manuasia sepakat bahwa diantara manusia, Nabi
Muhammad Saw, manusia yang telah mencapai derajad kesempurnaan dalam hidupnya.
Selama hayatnya, segenap perikehidupan beliau menjadi tumpuan perhatian masyarakat,
karena segala sifat terpuji terhimpun dalam dirinya, bahkan beliau merupakan lautan budi
yang tidak pernah kering airnya. Pola hidup dan kehidupan Rasulullah yang sangat ideal itu
menjadi suri tuladan bagi para shahabatnya, baik bagi shahabat dekat maupun shabat yang
jauh.
Tuhan adalah maha suci, yang maha suci yang tidak dapat didekati kecuali oleh yang
suci, dan pensucian roh ini dapat dilakukan dengan meninggalkan hidup kematerian dan
mendekatkan diri kepada tuhan sedekat mungkin, dan kalau bisa hendaknya bersatu dengan
tuhan semasih berada dalam hidup ini.
Untuk dapat mencapai macam insan kamil, seseorang lebih senang menempuh cara
hidup seorang sufi. kehidupan seoarang sufi lebih menonjolkan segi kerohaniannya dalam
hidupnya. Tentu prinsip ajaran yang berkaitan dengan hidup kerohanian akan senantiasa di
ukur dengan Al-qur’an dan sunnah nabi SAW.
Hasan Al-Basri (21 H-110 H) adalah seorang jahid dan rohanian besar, beliaulah mula-
mula memperbincangkan berbagai macam yang berkaitan hidup kerohanian tentang ilmu
akhlak yang erat hubungannya dengan mensucikan jiwa dan membersihkan hati dari sifat-
sifat tercela.
Hidup sufi merupakan jalan yang di laluai oleh para ahli sufi untuk menyempurnakan
hidupnya di hadapa tuhan, namun demikian cara hidup sufi yang dilalui atau di jalani oleh
para ahli sufi satu satu lainnya tidak serupa. Misalnya Rabiah Ad-Dawiah (seorang sufi
perempuan) yang telah menghias lembaran sejarah sufi dalam abad kedua hijriah. Ajaran
tasawuf yang di bawanya adalah dikenal dengan istilah “Al-Mahabbah”, atau cinta. Dia hidup
dalam keadaan juhud dan hanya ingin berada dekat tuhan. Segala hidupnya di peruntukkan
kepada tuhannya dengan sadar dan rasa cinta (Mahabbah).
Hasan Al-Basri dalam menyempurnakan hidup sufinya didasarkan pada rasa takut dan
harapan. Hidup kerohanian beliau di jalani dengan cara hidup zuhud terhadap dunia, menolak
akan kemegahannya, semata menuju kepada Allah, tawakkal, khauf (takut) dan raja
(mengharap) keridhaan Allah. Di antara kata-kata hikmah yang beliau ucapkan ialah
“perasaan takutmu sehingga bertemu dengan hati tenteram lebih baik dan perasaan
tenterammu dan menimbulkan rasa takut”
Pendirian hidup dan pengalaman tasawuf Hasan Al-Basri itu di jadikan pedoman bagi
seluruh ahli tasawuf dalam usahanya untuk mencapai kesempurnaan hidup. Ajaran Mahabbah
yang di bawa oleh rabiah Ad-dawiah merupakan lanjutan dari tingkatan kehidupan zuhud
yang di kembangkan oleh Hasan Al-basri. Cinta yang murni itu lebih tinggi dari pada takut
atau pengharapan.
Lain halnya dengan Hasan Al-Basri dan Rabiah Ad-dawiah. Lain pula dengan zunnun
Al-Basri yang hidup tahun 156 H-245 H. selain sebagai seorang sufi, beliau juga seorang
filosof. Ajaran tasawuf yang di bawa oleh beliau dikenal dengan istilah Ma’rifat. Menurutnya
makrifaf adalah cahaya yang di limpahkan tuhan kedalam hati seorang sufi.
Dalam dunia yang masyarakatnya tempat berkembang seringkali menghadapi problema
seperti kesenjangan antara nilai-nilai duniawiyah dengan nilai-nilai ukhwariyah. Dalam
situasi demikian tasawuf merupakan kendaraan pilihan untuk mengatasi masalah ini.
Dalam kalangan generasi muda yang tertarik menempuh jalan tasawuf lebih mencari
ajaran tasawuf yang lebih dapat memadukan keseimbangan antara urusan duniawi dan
ukhrawi. Maka saat-saat kontemplasi diinterpretasikan bukan sebagai saat untuk mengisolir
diri dari masyarakat, tetapi lebih dari itu merupakan saat untuk merenung, menyusun konsep
dan berinovasi untuk kemudian melakukan perubahan sosial dengan acuan Al-qur’an dan
Hadits.

B. Tokoh Wahdatul wujud dan Ajarannya


Al- Hallaj
Nama lengkapnya adalah Abu al-Mughits al-Husain ibn Manshur ibn Muhammad al-
Badawi. Beliau lahir di kota Thur, sebelah timur laut Baida, Persia atau sekarang dikenal
dengan Iraq. Dilahirkan pada sekitar tahun 244 H (857 M) dan meninggal pada tahun 309 H
(922 M). Seorang guru, sufi, yang sangat mashyur di zamannya, yaitu saat al-Hallaj berumur
kurang lebih 20 tahun, adalah Syeikh Amral al-Maliki. Dari Syekh ini al-Hallaj mulai
mempelajari tasawuf. Beberapa tahun berguru pada syekh al-Maliki, al-Hallaj memilih untuk
melanjutkan menuntutut ilmu kepada syekh selanjutnya, iaitu Syekh al-Junaid al-Baghdadi.
Dari Syekh Al-Maliki, Al-Hallaj mengenal tasawuf dan zuhud dan kemudian
melaksanakan kehidupan zuhud yang sesungguhnya, namun pemikiran politik yang berbeza
antara al-Hallaj dan syekh al-Maliki membuat mereka harus berpisah. Yang memotivasikan
al-Hallaj hingga menemui syekh al-Baghdadi di Baghdad adalah rasa kehampaan selama
melaksanakan zuhud, al-Hallaj merasakan bahwa ada sesuatu yang belum dia temukan dan
wajib untuk dicari. Melalui syekh al-Baghdadi, al-Hallaj menemukan jalan untuk
melepaskan dahaga rohaninya, al-Baghdadi menyuruhnya untuk menunaikan ibadah haji.
Disaat melaksanakan ibadah haji, Al-Hallaj menemukan sebuah ilham, bukan inspirasi, yang
membawanya pada kesadaran "penyatuan” antara dia dan Allah. Ilham itu sudah tentunya
merupakan hal pribadi yang tak tersentuh oleh orang yang tidak mengalaminya.Intisari dari
ilham yang dia temukan itulahyang disebut Wahdatul Wujud, untuk pertama kalinya.
Dengan kata lain, Wahdatul Wujud lahir pertama kali di Tanah Suci, di saat al-Hallaj
menunaikan ibadah haji. Sepulang dari ibadah haji, al-Hallaj mengemukakan pengalaman
kerohaniannya, dalam sebuah konsep yang disebut dengan Hulul. Hulul artinya bahwa Tuhan
mengambil tempat dalam diri manusia ketika manusia itu mengalami Fana’, sebuah proses
peleburan indrawi basyariyah.
Tanpa pemahaman apa-apa tentang hal ini, tanpa membuatperbincangan, golongan
Mu’tazilah dan Syi’ah kemudian menggelar akbar bahwa al-Hallaj telah menyebarkan
kesesatan terhadap umat Islam, khususnya tentang ketauhidan. Apa yang disampaikan oleh
al-Hallaj merupakan apa yang dia ilhami dari proses tafakkurnya
Dan apa yang ditentang oleh kaum Mu’tazilah dan Syi’ah adalah bahwa tidak benar
Tuhan menempati diri manusia; tentu saja, jika manusia masih dengan kesadarannya sebagai
manusia, dan terutama karena mereka belum faham apa yang dimaksud oleh al-Hallaj.
Lagi pula, menurut beberapa bacaaan, semua ini hanyalah sebuah alasan untuk
mengeliminasi al-Hallaj dari pemunculan politik saat itu. Al-Hallaj dicurigai dan dituduh
bersekongkol dengan sekelompok orang dalam upaya menjat uhakan pemerintah. Al-Hallaj
merupakan pemerhati moral politik, suatu saat ada sekelompok besar yang melakukan
demonstrasi menuntut adanya reformasi moral politik, dan masa ini mengaku mendapatkan
dukungan dari al-Hallaj, dan hal inimenyebabkan al-Hallaj dipenjara selama kurang lebih
sembilan tahun.
Al-Hallaj, pendek kata dipenjara karena alasan politik, al-Hallaj dianggap tokoh yang
paling berbahaya karena berupaya menggulingkan pemerintahan; anehnya, al-Hallaj
sebenarnya menghabiskan waktunya untuk zuhud dan berdakwah, dan tidak ada keuntungan
baginya untuk menggulingkan kekuasaan siapapun karena dia tidak tergolong orang yang
cinta dunia.
Al-Hallaj kemudian dijatuhi hukuman mati, walaupun dari pihak kerajaan sudah
meminta ampun untuk beliau, mengingat jasanya saat mengobati putra mahkota kerajaan.
Pada tahun 922 M, al-Hallaj disalib dan dipukuli dengan batu hingga darahnya bercucuran
dari kepala. Al-Hallaj dibiarkan separuh mati selama sehari, dan akhirnya al-Hallaj dipenggal
kepalanya .Ajaran al-Hallaj dikenal dengan kata al-Hulul. Menurut al-Hallaj diantara hamba
dan Tuhan terdapat garis pemisah yang menegaskan hakikat masing-masing. Garis pemisah
itu sangat dekat, yaitu yang menyembah dan yang disembah (al-Abid wal Ma’bud). Pada
keadaan dimana ingatan hanya tertuju kepada Allah semata-mata, dan menolak selain Allah,
termasuk diri sendiri, maka al-Abid pun lenyap, dan tinggallah al-Ma’bud. Kebaqaan al-
Ma’bud merupakan hasil dari fana’nya al-Abid. Pada titik inilah garis pemisah dan pembeza
hakikat pun hilang, sehingga pada hakikatnya yang menyembah dan yang disembah adalah
satu.
Hanya saja, orang tidak memahami bahwa yang dimaksud oleh al-Hallaj adalah al-Abid
melebur masuk kedalam al-Ma’bud, dan bukan al-Ma’bud merasuki tubuh al-Abid. Jika
kesadaran al-Abid masih zahir, maka tidak fana’lah dia, dan jika fana’ maka al-Ma’bud
lahyang zahir dan al-Abid menjadi batin atau rahasia yang tersembunyi dibalik kebesaran
Allah Swt.

Ibnu Arabi
Ibnu Arabi merupakan salah seorang sufi termasyhur di zamannya, di Andalusia
(Spanyol). Beliau lahir di kota Mursiyah pada tahun 560 H (1165 M) dan meninggal dunia
pada tahun 1240 M. Nama asalnya adalah Abu Bakr Muhammad bin Ali, dan panggilan
akrabnya adalah Ibnu Arabi.Hasil pencarian jati diri dan pengalaman mistiknya,
menyimpulkan sebuah kesadaran kerohanian, yang kelak mendapatkan tantangan keras
sebagaimana yang dialami oleh al-Hallaj, yakni tidak ada yang maujud selain Allah.
Ibnu Arabi menegaskan bahwa Allah adalah kenyataan dari segala sesuatu. Hal ini
kemudian ditafsirkan sebagai kekeliruan mistik, padahal yang dimaksud dengan "Allah
adalah kenyataan dari segala sesuatu” adalah bahwa Allah yang menjadikan segala sesuatu itu
nyata, sehingga Allah-lah kenyataan mutlak yang harus dfahami. Perumpamaan yang boleh
diambil dari Wahdatul Wujud Ibnu Arabia adalah bahwa segala sesuatu ini dapat terindrai
karena cahaya dan udara ,cahaya membuat segala sesuatu terlihat dan udara membuat segala
sesuatu terdengar. Kita akan menolak bahwa cahaya dan udara merupakan kenyataan mutlak,
namun kita tidak menolak bahwa keberadaan cahaya dan suara untuk "menyatakan” segala
sesuatu adalah mutlak sifatnya. Begitu juga dengan Allah Swt, sudah barang tentu Allah
Maha Nyata (Ad-Zaahir), mana kala keberadaanNya membuat nyata segala sesuatu
(termasuk diri anda) maka apakah anda keberatan untuk menerima pandangan Ibnu Arabi di
atas? Titik Wahdatul Wujud Ibnu Arabi terletak pada kemesraan Allah dan segala kewujudan
yang ada di dunia ini.
Hanya saja saya perlu meluruskan pandangan anda tentang hal ini, bahwa yang
dimaksudkan dengan "tidak ada yang maujud kecuali ujud Allah” adalah bahwa Ujud Allah
merupakan kemutlakan yang wajib untuk menyatakan segala yang maujud. Jika Allah tidak
ada, maka kita tidak ada. Untuk mengatakan bahwa pepohonan merupakan Ujud Allah itu
sangat naif, kesadaran kerohanian tidak demikian, tetapi sesungguhnya yang membuat
pepohonan itu berwujud adalah adanya kewujud an Allah, sekaligus kewujudan dan kita yang
mengamati dan menyaksikan kenyataan pepohonan tersebut. Ini bukanlah ramalan filsafat, ini
merupakan misal-misal bagi anda yang suka salah faham dan salah tuduh.
Segala sesuatu yang ada di alam semesta ini merupakan misal tentang kekuasaan Allah,
bagi orang-orang yang berfikir. Tidak benar bahwa Ibnu Arabi menemukan bahwa "wujud
selain Allah adalah wujud bayangan”, karena sesungguhnya dengan Ujud Allah maka wujud
selainnya menjadi berwujud, Bukankah segala sesuatu berasal dari kehendakNya? Sehingga
yang ada itu hanya berasal dari kehendak dan kehendak berasal dari yang Berkehendak. Jika
kita hanya wujud bayangan, maka tidak dikenakan hukum apapun, karena bayangan hanya
mengikuti gerak Ujud Allah. Tetapi Wujud merupakan kenyataan Ujud. Alam semesta,
termasuk manusia, merupakan kenyataan Ujud Allah; dengan kata lain, Wujud selain Allah
merupakan bukti nyata Ujud Allah Ada pergerakan pemahaman Wahdatul Wujud antara al-
Hallaj dan IbnuArabi, jika al-Hallaj menemukan bahwa Allah mengambil tempat pada diri
manusia ketika manusia tersebut fana’, maka Ibnu Arabi menemukan bahwa bukan hanya
manusia, tetapi alam semesta. Namun Ibnu Arabi menegaskan pada aspek "kenyataan” dan
bukan aspek "penempatan” sebagaimana Hulul-nya al-Hallaj. Al-Hallaj menegaskan
kesadaran , yaitukesadaran dalaman kerohanian seorang hamba dalam keadaan fana bahwa
Allah adalah satu-satunya Ujud; sedangkan Ibnu Arabi menegaskan bahwa Ujud Allah
merupakan kenyataan mutlak bagi Wujud selain Allah.
Abu Yazid al-Busthami
Nama beliau adalah Abu Yazid Taifur ibn Isa al-Bustami. Beliau dilahirkan di Bistam,
Persia (Iraq) pada tahun 804 M. Menurut beberapali bacaan, Abu Yazid merupakan pencetus
pertama konsep fana’ dan baqa’. Salah satu teorinya adalah al-Ittihad. Abu Yazid berguru
kepada salah seorang Syekh yang bernama Syekh Shaddiq yang mengajarkan beliau prinsip-
prinsip dasar tasawuf. Dari Syekh Shaddiq, Abu Yazid mempelajari bahwa syariat dan
hakikat merupakan pasangan yang tak terpisah antara satu dan yang lain ;begitu pula
sebaliknya, syariat dan hakikat.
Persoalan fana dan baqa akan saya paparkan pada bagian kemudian secara ringkas.
Ittihad, sebagaimana Hulul-nya al-Hallaj, merupakan kesadaran rohani "bersatunya” hakikat
Allah dan hakikat hamba dalam prosesfana. Bahkan, penyatuan yang dimaksud bukanlah
pernyatuan rohani, apalagi jasmani. Penyatuan yang dimaksud adalah peleburan hakikat
hamba kepada hakikat Allah, laksana setetes air laut terjatuh ke dalam samudra; atau dengan
kacamata Ibnu Arabi kenyataan hamba yang hanya merupakan titik melebur pada kenyataan
Allah yang "menyamudra.”Pandangan Abu Yazid ini dianggap menyesatkan, karena
meniscayakanadanya penyatuan Allah dan hamba. Ini dianggap sebagai menrunkan
derajatAllah yang maha Mulia; menganggap Allah sederajat dengan hamba merupakan
pelecehan terhadap Allah.
Disinilah kesalah tafsiran para ulama pada saat itu (hingga saat ini). Yang dimaksud
dengan Hulul dan Ittihad bukanlah menyamakan derajat Allah dan hamba, melainkan justru
meniadakan hamba sehingga yang ada hanyalah Allah semata. Diri sendiri merupakan
sesuatu yang boleh menghalangi kita sampai kepada Allah, sehingga untuk menyatakan Ujud
Allah, maka Wujud diri harus melebur, atau disebut dengan fana.

Syekh Siti Jenar


Biografi Syekh Siti Jenar masih merupakan kontroversi hingga saat ini, bahkan ada atau
tidaknya beliau masih merupakan misteri. Sebuah bacaan menyebutkan bahwa beliau lahir
pada tahun 1426 M di Cirebon dan meninggal pada tahun 1517 M. Bapak beliau bernama
Syekh Datuk Shaleh dan beliau masih tergolong keturunan Sayidina Ali bin Abi Thalib .
Syekh Siti Jenar memiliki sejumlah nama (sebutan), beliau hampir memiliki satu nama
di setiap tempat di mana beliau menjalankan dakwahnya. Nama yang sangat jelas, selain Siti
Jenar, adalah Syekh Abdul Jalil dan SyekhLemah Abang. Syekh Siti Jenar tumbuh remaja di
sebuah rumha Giri AmparanJati, milik bapak saudaranya beliau. Rumah ini berada di atas
Gunung Jati. Pada usia 15 tahun, Syekh Siti Jenar berhasrat untuk "turun gunung” untuk
melihat keadaan luar.
Disinilah perjalanan kerohanian Syekh Siti Jenar bermula. Syekh Siti Jenar berangkat
ke Baghdad (Iraq) untuk memperdalam agama Islamnya. Dia berkenalan dengan seorang sufi
masyhur, yang kemudian menjadi gurunya mengenai tasawuf, yakni Syekh Ahmad Tawalud.
Syekh Ahmad memiliki puluhan kitab ma’rifat yang merupakan peninggalan Syekh Abdul
Mubdi al-Baghdadi.Syekh Siti Jenar diperbolehkan untuk tinggal di rumah Syekh Ahmad,
dan dari sekian banyak kitab ma’rifat yang ada di rumah itu, beberapa diantaranya adalah
kitab milik al-Hallaj, yang dipelajari secara sangat hati-hati oleh Syekh Siti Jenar. Bukan
hanya itu, kitab-kitab Ibnu Arabi dan al-Ghazali juga dipelajari sama hati-hatinya. Syekh Siti
Jenar juga melaksanakan perjalanan menuntu ilmu di India, dan kembali ke Ceribon pada
tahun 1463 M.
Syekh Siti Jenar menjadikan Wahdatul Wujud sebagai pedomannya, namun sama sekali
bukan sebuah keputusan yang benar bahwa beliau membelangkangkan syariat. Kembalinya
dia ke Cirebon membawa dia kepada suatu posisi dalam Wali Songo, beliau menjadi salah
satu penyebar agama Islam di Jawa, di Indonesia. Sebagai salah satu anggota penyebar Islam,
Syekh Siti Jenar dipercayakan untuk mengajarkan Syahadat (Persaksian). Pemikiran Syekh
Siti jenar yang didominasi oleh hakikat itu kemudian membawanya kepada sebuah penjelasan
bagaimana mengalami hal tersebut, karena Syekh SitiJenar tahu betul bahwa santrinya masih
baru .
Ajaran Syekh Siti Jenar memang sangat kuat dengan hakikat dan tasawuf yang pada
saat itu boleh dikira baru, karena para wali, meskipun menguasai hal yang sama, tetapi sama
sekali tidak mengajarkan hal tersebut. Ini dapat dimaklumi, karena tugas yang diberikan
adalah berbeza-beza. Apa yang harus diajarkan lagi jika tugas yang diberikan adalah
mengajarkan Syahadat? SebuahHadits menyebutkan bahwa "Awal dari Agama adalah
mengenal Allah.” Dan ini merupakan titik tolak Syekh Siti Jenar, bahwa jika mereka tidak
ma’rifat maka mereka sebenarnya tidak menyembah Allah, melainkan menyembah
budisemata. Menyadari hal ini, Syekh Siti Jenar kemudian mengajarkan kepada para
santrinya tentang hakikat ketuhanan, baik dari sumber-sumber yang dipelajarinya, maupun
dari hasil perjalanan kerohaniannya. Ini dikatakan oleh para wali dan pemerintah setempat
sebagai upaya penyesatan, namun sekali lagi, ini tidak benar.
Sunan Kalijaga sendiri memahami apa yang diajarkan oleh SyekhSiti Jenar, hanya saja
Sunan Kalijaga keberatan jika manunggaling Kawula Gusti diwejang kepada para santri yang
masuh "bodoh” itu. Syekh Siti Jenar menolak apa yang disebut-sebut oleh para wali
sebagai"sesat” itu. Karena dia tahu benar bahwa apa yang dia ajarkan itu penting, demi
benarnya arah peribadatan para santri. Lucunya, apa yang dialami oleh al-Hallaj kembali
terulang, dengan alasan politik, Syekh Siti Jenar akhirnya dihukum penggal. Misteri
kematiannya juga sampai saat ini belum terlerai dengan jelas.
Para pejabat kerajaan Demak Bintoro menjadi gelisah, mereka khawatir jika ajaran
Syekh Siti Jenar ini menimbulkan pemberontakan terhadap pemerintah. Salah satu murid
Syekh Siti jenar adalah Ki Ageng Pengging yang Wahdatul Wujud Sebagai Kesadaran
kerohanian dan Bukan Spekulasi Filsafat
Dari apa yang telah dipaparkan secara singkat diatas, sudah barang tentu Wahdatul
Wujud merupakan salah satu kesadaran kerohanian yang ditemukan atau terangkat ke
permukaan hati melalui perjalanan kerohanian, dan bukan hasil pemikiran semata-mata.
Adapun upaya untuk menjabarkannya dengan kata-kata dan fikiran bukanlah sebuah alasan
untuk mengatakan bahwa Wahdatul Wujud adalah spekulasi filsafat. Meskipun demikian,
memangnya apa yang salah jika para filsuf (baik muslim maupun yang non-muslim)
menemukan sesuatu yang sama melalui pemikiran? Bukankah ilmu dan akal mereka juga
merupakan rahmat Allah? Bukankah Allah memerintahkan kepada manusia untuk
merenungi, memikirkan, mentafakkuri apa yang ada di langit dan di bumi? Dan Allah tidak
mendegradasi mereka yang non-muslim; surat al-Maidah ayat 69 menyatakan hal tersebut.
Hanya saja, keimanan merupakan faktor yang menyebabkan pertolakan antara kita dan
mereka, tetapi persoalan ilmu lain lagi ceritanya, ilmu, amal dan iman tidak dapat disamakan.
Mereka memiliki ilmu,namun tidak memiliki iman dan amal, maka ilmunya bermanfaat.
Yang penting untuk saya sampaikan bahwa Wahdatul Wujud bukan merupakan hasil
spekulasi para sufi dengan filsafat Yunani tentang kewujudan. Wahdatul Wujud merupakan
hasil atau buah dari perjalanan kerohanian, dan bila perlu saya akan mengatakan bahwa para
sufi seperti al-Hallaj, Ibnu Arabi, AbuYazid al-Busthami, Syekh Siti Jenar, al-Ghazali, dan
lain-lainnya, merupakan para filsuf Islam yang dalam istilah kita disebut mutakallimin (pakar
ilmu kalam). Hasil pemikiran mereka merupakan ilmu, namun sekali lagi, WahdatulWujud
bukan ditemukan lewat berfilsafat tetapi berhakikat dan bertarikat.Adapun istilah yang
nantinya dirumuskan seperti Fana’, Baqa’, Ittihad, Hulul, Manunggaling kawula Gusti,
merupakan istilah untuk mengidentifikasi apa yang mereka alami; pengistilahan dan
pengkonsepan itu menjadi penting karena jika tidak maka tidak ada cara lain untuk
mengajarkannya kepada ummat.
Akan tetapi kenyataan jadi lain, ketika para pembaca dan peneliti Wahdatul Wujud
lebih menitik beratkan pada proses konsepsinya yang terkesanfilosofis, mereka tidak
memperhatikan dan tidak menyadari bahwa konsep-konsep tersebut merupakan upaya untuk
pengalaman kerohanian para sufi tersebut. Ibaratnya mereka tidak melihat plot cerita dengan
baik, sehingga mereka hanya menyalahkan seorang pendakwah dengan "filsafatnya” tanpa
melihat asal-usulnya sebagai sebuah kesadaran kerohanian. Sangat penting untuk disadari
bahwa mula-mula para sufi melakukanapa yang diistilahkan dengan takhalli atau penyucian
jiwa, sebahagian menyebutnya tazkiyatunnafs. Kemudian tahalli, yakni menghiasi diri
dengan amal shalih. Takhalli bagi para sufi adalah zuhud dan tahalli adalah bertarikat.
Bertarikat dan berzuhud merupakan esensi dari kehidupan sufi. Mereka berzuhud demi
menolak segala sesuatu selain Allah, dan bertarikat demi mendekatkan diri kepada Allah,
dengan melalui amal shalih tentunya. Akan tetapi tingkatan beramal mereka bukan pada
tataran menggugurkan kewajiban semata, melainkan karena cinta dan kerinduan kepada
Allah. Sebagai hasilnya adalah tahalli, atau ma’rifat

C. Tujuan wahdatul wujud


Setelah dipaparkan pengertian keterkaitan konsep wahdatul wujud yang bertujuan agar
manusia menjadi insan kamil melalui proses sufistis dengan client yang datang kepada
konselor ialah konsep penenangan diri dalam rangka mnemukan masalah yang ia alami
menjadi manusia yang mandiri dan bebas. Prinsip yang khas dan dapat di implementasikan
dari teori ini adalah ketauladanan yang sejati, artinya apa yang konselor lakukan dapat benar-
benar dipahami. Konsep manusia yang sehat menurut tasawuf ini ialah manusia yang sudah
mencapai derajat insan kamil, sebaliknya manusia yang sakit ialah manusia yang ragu
terhadap sang Penciptanya. Apabila semua orang menerapkan maqom ini, dunia mungkin
terlihat aneh, tidak ada aktivitas. Kehidupan akan terasa hampa seperti tidak ada
penghuninya.
Wahdatul wujud sebagai suatu ilmu mempunyai metode, dengan metode itulah fungsi
dan tujuan serta aplikasi yang esensial dari ilmu ini dapat tercapai dengan baik, benar dan
ilmiah. Terhadap seorang konselor pemahaman yang dapat ia terapkan dalam membantu
kliennya maka ia harus mempunyai keyakinan yang dapat diraih melalui: ilmul yaqin ‘ainul
yaqin, haqqul yaqin serta kamalul yaqin.
Adapun prinsip-prinsip yang dapat dipahami dalam tasawuf Ibnu Arabi ini dalam
pelaksanaan konseling maupun psikoterapi Islam ialah prinsip tauhid, prinsip tawakal, prinsip
syukur, prinsip sabar, prinsip taubat nasuha, prinip hidayah Allah dan prinsip zikrullah.
Prinsip-prinsip yang khas dan dapat diimplementasikan dari teori ini adalah sebagai
berikut:
1. Harus ada kesabaran yang tinggi dari konselor.
2. Konselor harus menguasai akar permasalahan dan terapinya dengan baik.
3. Saling menghormati dan menghargai.
4. Bukan tujuan menjatuhkan dan mengalahkan klien tetapi membimbing klien
mencari kebenaran.
5. Rasa persaudaraan dan penuh kasih sayang.
6. Tutur kata dan bahasa yang mudah dipahami dan halus.
7. Tidak menyinggung perasaan klien.
8. Mengemukakan dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah dengan tepat dan jelas.
9. Ketauladanan yang sejati. Artinya apa yang konselor lakukan dalam prose
10. Konseling benar-benar dipahami di implementasikan dan dialami konselor.


BAB III
PENUTUP
Allah mutlak dengat keterbatasan dan terbatas dengan kemutlakannya dengan
kata lain Allah mutlak dari segi dzatnya yang maha suci dari segala sifat dan terbatas dalam
kemutlakan dengan nama-nama, sifat-sifat, dan fenomena-fenomena alam. Jadi, penampakan-
Nya itu sendiri tidak terbatas karena kalimatnya tidak pernah habis, inilah yang disebut lautan
tak bertepi. Dialah yang Maha Esa dalam banyak rupa dan rupa yang banyak yang pada
hakikatnya wajah-wajah dari dzat yang Esa. Dialah penghimpun segalanya yang
membedakan segalanya dalam berbagai rupa. Aspek keindahan mewakili Tasybih dan aspek
keagungan mewakili Tanzih. Keduanya itu mewujudkan kesempurnaan pada dzatnya, namun
keseluruhannya itu menunjukan kemutlakan yang tak terhingga.
DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin. 1996. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mustofa, Akhmad. 1997. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia.

Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990),


hlm.492-494

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983),
cet.III, hlm.92.

Prof. Dr. Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II, UI Press,
1997, hal. 72
Drs. Abuddin Nata, M.A, Ilmu kalam, Filsafat dan Tasawuf, Rajawali press, 1993, hal.
164.
Prof. Dr. Hamka, Tasawuf perkembangan dan pemurniannya, PT. pustaka Panjimas,
Jakarta, 1984, hal. 29.
Mohd. Musthafachelmi, Ibn al-Faridh wa al-Hubb al-Ilahi, Dar al-Ma’arif Kairo, 1971 :
53-55
Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tasawuf al-Islam, Dar al-
Tsaqodat, Kairo, 1974 ; 162

Anda mungkin juga menyukai