TUGAS KELOMPOK 10 Akidah Akhlak - Odt
TUGAS KELOMPOK 10 Akidah Akhlak - Odt
2. Rumusan Masalah
Makalah ini dirumuskan pada:
1. Apa pengertian wahdatul wujud?
2. Siapakah tokoh yang mengembangkan wahdatul wujud?
3. Apakah Tujuan dari wahdatul wujud?
BAB II
PEMBAHASAN
وﻤﺎﺍﻠوﺠﻪﺍﻻوﺍﺤﺪﻏﻴﺮﺍﻨﻪﺍﺬﺍﺍﻨﺖﺍﻋﺪﺪﺖﺍﻠﻤﺮﺍﺒﺎﺘﻌﺪﺪﺍ
“wajah sebenarnya satu, tetapi jika engkau perbanyak cermin ia menjadi banyak”
Menurut paham ini tiap-tiap yang mempunyai dua aspek, yaitu aspek luar yang disebut
al-khalq (makhluk) al’arad (accident-kenyatan luar), jahir (luar-tampak), dan aspek dalam
yang disebut al-haqq. (tuhan), al-jauhar (substance-hakikat), dan al-bathin (dalam).
Aspek terpenting dan dua hal tersebut ialah aspek hak yang merupakan batin jauhar
(substance) dan hakekat tiap-tiap yang berwujud. Dan aspek khalaq yang merupakan ‘ard,
sesuatu yang mendatang. Karena itulah alam di pandang sebagai cermin bagi tuhan. Semua
benda-benda yang ada alam bagaikan gambar pada cermin yang esensinya telah terdapat pada
sipat-sifat tuhan.
Sebagai poko persoalan ”Whahdatul Al-wujud” adalah yang sebenarnya mempunyai
wujud hanyalah satu, yaitu tuhan. Dan wujud selain tuhan adalah bayangan. pemikiran
filsafat demikian berkembang dan membias pada konsep insan kamil atau manusia sempurna.
Yang di maksud manusia sempurna menurut Abdul Karim Al-jili (wafat 1428 M) adalah
manusia cerminan tuhan atau manusia kopian tuhan.
Insan kamil Artinya manusia yang sempurna. Adapun yang dimaksudkan dengan
manusia sempurna adalah sempurna dalam hidupnya. Seseorang dianggap sempurna dalam
hidupnya apabila memenuhi kriteria-kriteria tertentu.
Umat islam sepakat bahwa di antara manuasia sepakat bahwa diantara manusia, Nabi
Muhammad Saw, manusia yang telah mencapai derajad kesempurnaan dalam hidupnya.
Selama hayatnya, segenap perikehidupan beliau menjadi tumpuan perhatian masyarakat,
karena segala sifat terpuji terhimpun dalam dirinya, bahkan beliau merupakan lautan budi
yang tidak pernah kering airnya. Pola hidup dan kehidupan Rasulullah yang sangat ideal itu
menjadi suri tuladan bagi para shahabatnya, baik bagi shahabat dekat maupun shabat yang
jauh.
Tuhan adalah maha suci, yang maha suci yang tidak dapat didekati kecuali oleh yang
suci, dan pensucian roh ini dapat dilakukan dengan meninggalkan hidup kematerian dan
mendekatkan diri kepada tuhan sedekat mungkin, dan kalau bisa hendaknya bersatu dengan
tuhan semasih berada dalam hidup ini.
Untuk dapat mencapai macam insan kamil, seseorang lebih senang menempuh cara
hidup seorang sufi. kehidupan seoarang sufi lebih menonjolkan segi kerohaniannya dalam
hidupnya. Tentu prinsip ajaran yang berkaitan dengan hidup kerohanian akan senantiasa di
ukur dengan Al-qur’an dan sunnah nabi SAW.
Hasan Al-Basri (21 H-110 H) adalah seorang jahid dan rohanian besar, beliaulah mula-
mula memperbincangkan berbagai macam yang berkaitan hidup kerohanian tentang ilmu
akhlak yang erat hubungannya dengan mensucikan jiwa dan membersihkan hati dari sifat-
sifat tercela.
Hidup sufi merupakan jalan yang di laluai oleh para ahli sufi untuk menyempurnakan
hidupnya di hadapa tuhan, namun demikian cara hidup sufi yang dilalui atau di jalani oleh
para ahli sufi satu satu lainnya tidak serupa. Misalnya Rabiah Ad-Dawiah (seorang sufi
perempuan) yang telah menghias lembaran sejarah sufi dalam abad kedua hijriah. Ajaran
tasawuf yang di bawanya adalah dikenal dengan istilah “Al-Mahabbah”, atau cinta. Dia hidup
dalam keadaan juhud dan hanya ingin berada dekat tuhan. Segala hidupnya di peruntukkan
kepada tuhannya dengan sadar dan rasa cinta (Mahabbah).
Hasan Al-Basri dalam menyempurnakan hidup sufinya didasarkan pada rasa takut dan
harapan. Hidup kerohanian beliau di jalani dengan cara hidup zuhud terhadap dunia, menolak
akan kemegahannya, semata menuju kepada Allah, tawakkal, khauf (takut) dan raja
(mengharap) keridhaan Allah. Di antara kata-kata hikmah yang beliau ucapkan ialah
“perasaan takutmu sehingga bertemu dengan hati tenteram lebih baik dan perasaan
tenterammu dan menimbulkan rasa takut”
Pendirian hidup dan pengalaman tasawuf Hasan Al-Basri itu di jadikan pedoman bagi
seluruh ahli tasawuf dalam usahanya untuk mencapai kesempurnaan hidup. Ajaran Mahabbah
yang di bawa oleh rabiah Ad-dawiah merupakan lanjutan dari tingkatan kehidupan zuhud
yang di kembangkan oleh Hasan Al-basri. Cinta yang murni itu lebih tinggi dari pada takut
atau pengharapan.
Lain halnya dengan Hasan Al-Basri dan Rabiah Ad-dawiah. Lain pula dengan zunnun
Al-Basri yang hidup tahun 156 H-245 H. selain sebagai seorang sufi, beliau juga seorang
filosof. Ajaran tasawuf yang di bawa oleh beliau dikenal dengan istilah Ma’rifat. Menurutnya
makrifaf adalah cahaya yang di limpahkan tuhan kedalam hati seorang sufi.
Dalam dunia yang masyarakatnya tempat berkembang seringkali menghadapi problema
seperti kesenjangan antara nilai-nilai duniawiyah dengan nilai-nilai ukhwariyah. Dalam
situasi demikian tasawuf merupakan kendaraan pilihan untuk mengatasi masalah ini.
Dalam kalangan generasi muda yang tertarik menempuh jalan tasawuf lebih mencari
ajaran tasawuf yang lebih dapat memadukan keseimbangan antara urusan duniawi dan
ukhrawi. Maka saat-saat kontemplasi diinterpretasikan bukan sebagai saat untuk mengisolir
diri dari masyarakat, tetapi lebih dari itu merupakan saat untuk merenung, menyusun konsep
dan berinovasi untuk kemudian melakukan perubahan sosial dengan acuan Al-qur’an dan
Hadits.
Ibnu Arabi
Ibnu Arabi merupakan salah seorang sufi termasyhur di zamannya, di Andalusia
(Spanyol). Beliau lahir di kota Mursiyah pada tahun 560 H (1165 M) dan meninggal dunia
pada tahun 1240 M. Nama asalnya adalah Abu Bakr Muhammad bin Ali, dan panggilan
akrabnya adalah Ibnu Arabi.Hasil pencarian jati diri dan pengalaman mistiknya,
menyimpulkan sebuah kesadaran kerohanian, yang kelak mendapatkan tantangan keras
sebagaimana yang dialami oleh al-Hallaj, yakni tidak ada yang maujud selain Allah.
Ibnu Arabi menegaskan bahwa Allah adalah kenyataan dari segala sesuatu. Hal ini
kemudian ditafsirkan sebagai kekeliruan mistik, padahal yang dimaksud dengan "Allah
adalah kenyataan dari segala sesuatu” adalah bahwa Allah yang menjadikan segala sesuatu itu
nyata, sehingga Allah-lah kenyataan mutlak yang harus dfahami. Perumpamaan yang boleh
diambil dari Wahdatul Wujud Ibnu Arabia adalah bahwa segala sesuatu ini dapat terindrai
karena cahaya dan udara ,cahaya membuat segala sesuatu terlihat dan udara membuat segala
sesuatu terdengar. Kita akan menolak bahwa cahaya dan udara merupakan kenyataan mutlak,
namun kita tidak menolak bahwa keberadaan cahaya dan suara untuk "menyatakan” segala
sesuatu adalah mutlak sifatnya. Begitu juga dengan Allah Swt, sudah barang tentu Allah
Maha Nyata (Ad-Zaahir), mana kala keberadaanNya membuat nyata segala sesuatu
(termasuk diri anda) maka apakah anda keberatan untuk menerima pandangan Ibnu Arabi di
atas? Titik Wahdatul Wujud Ibnu Arabi terletak pada kemesraan Allah dan segala kewujudan
yang ada di dunia ini.
Hanya saja saya perlu meluruskan pandangan anda tentang hal ini, bahwa yang
dimaksudkan dengan "tidak ada yang maujud kecuali ujud Allah” adalah bahwa Ujud Allah
merupakan kemutlakan yang wajib untuk menyatakan segala yang maujud. Jika Allah tidak
ada, maka kita tidak ada. Untuk mengatakan bahwa pepohonan merupakan Ujud Allah itu
sangat naif, kesadaran kerohanian tidak demikian, tetapi sesungguhnya yang membuat
pepohonan itu berwujud adalah adanya kewujud an Allah, sekaligus kewujudan dan kita yang
mengamati dan menyaksikan kenyataan pepohonan tersebut. Ini bukanlah ramalan filsafat, ini
merupakan misal-misal bagi anda yang suka salah faham dan salah tuduh.
Segala sesuatu yang ada di alam semesta ini merupakan misal tentang kekuasaan Allah,
bagi orang-orang yang berfikir. Tidak benar bahwa Ibnu Arabi menemukan bahwa "wujud
selain Allah adalah wujud bayangan”, karena sesungguhnya dengan Ujud Allah maka wujud
selainnya menjadi berwujud, Bukankah segala sesuatu berasal dari kehendakNya? Sehingga
yang ada itu hanya berasal dari kehendak dan kehendak berasal dari yang Berkehendak. Jika
kita hanya wujud bayangan, maka tidak dikenakan hukum apapun, karena bayangan hanya
mengikuti gerak Ujud Allah. Tetapi Wujud merupakan kenyataan Ujud. Alam semesta,
termasuk manusia, merupakan kenyataan Ujud Allah; dengan kata lain, Wujud selain Allah
merupakan bukti nyata Ujud Allah Ada pergerakan pemahaman Wahdatul Wujud antara al-
Hallaj dan IbnuArabi, jika al-Hallaj menemukan bahwa Allah mengambil tempat pada diri
manusia ketika manusia tersebut fana’, maka Ibnu Arabi menemukan bahwa bukan hanya
manusia, tetapi alam semesta. Namun Ibnu Arabi menegaskan pada aspek "kenyataan” dan
bukan aspek "penempatan” sebagaimana Hulul-nya al-Hallaj. Al-Hallaj menegaskan
kesadaran , yaitukesadaran dalaman kerohanian seorang hamba dalam keadaan fana bahwa
Allah adalah satu-satunya Ujud; sedangkan Ibnu Arabi menegaskan bahwa Ujud Allah
merupakan kenyataan mutlak bagi Wujud selain Allah.
Abu Yazid al-Busthami
Nama beliau adalah Abu Yazid Taifur ibn Isa al-Bustami. Beliau dilahirkan di Bistam,
Persia (Iraq) pada tahun 804 M. Menurut beberapali bacaan, Abu Yazid merupakan pencetus
pertama konsep fana’ dan baqa’. Salah satu teorinya adalah al-Ittihad. Abu Yazid berguru
kepada salah seorang Syekh yang bernama Syekh Shaddiq yang mengajarkan beliau prinsip-
prinsip dasar tasawuf. Dari Syekh Shaddiq, Abu Yazid mempelajari bahwa syariat dan
hakikat merupakan pasangan yang tak terpisah antara satu dan yang lain ;begitu pula
sebaliknya, syariat dan hakikat.
Persoalan fana dan baqa akan saya paparkan pada bagian kemudian secara ringkas.
Ittihad, sebagaimana Hulul-nya al-Hallaj, merupakan kesadaran rohani "bersatunya” hakikat
Allah dan hakikat hamba dalam prosesfana. Bahkan, penyatuan yang dimaksud bukanlah
pernyatuan rohani, apalagi jasmani. Penyatuan yang dimaksud adalah peleburan hakikat
hamba kepada hakikat Allah, laksana setetes air laut terjatuh ke dalam samudra; atau dengan
kacamata Ibnu Arabi kenyataan hamba yang hanya merupakan titik melebur pada kenyataan
Allah yang "menyamudra.”Pandangan Abu Yazid ini dianggap menyesatkan, karena
meniscayakanadanya penyatuan Allah dan hamba. Ini dianggap sebagai menrunkan
derajatAllah yang maha Mulia; menganggap Allah sederajat dengan hamba merupakan
pelecehan terhadap Allah.
Disinilah kesalah tafsiran para ulama pada saat itu (hingga saat ini). Yang dimaksud
dengan Hulul dan Ittihad bukanlah menyamakan derajat Allah dan hamba, melainkan justru
meniadakan hamba sehingga yang ada hanyalah Allah semata. Diri sendiri merupakan
sesuatu yang boleh menghalangi kita sampai kepada Allah, sehingga untuk menyatakan Ujud
Allah, maka Wujud diri harus melebur, atau disebut dengan fana.
BAB III
PENUTUP
Allah mutlak dengat keterbatasan dan terbatas dengan kemutlakannya dengan
kata lain Allah mutlak dari segi dzatnya yang maha suci dari segala sifat dan terbatas dalam
kemutlakan dengan nama-nama, sifat-sifat, dan fenomena-fenomena alam. Jadi, penampakan-
Nya itu sendiri tidak terbatas karena kalimatnya tidak pernah habis, inilah yang disebut lautan
tak bertepi. Dialah yang Maha Esa dalam banyak rupa dan rupa yang banyak yang pada
hakikatnya wajah-wajah dari dzat yang Esa. Dialah penghimpun segalanya yang
membedakan segalanya dalam berbagai rupa. Aspek keindahan mewakili Tasybih dan aspek
keagungan mewakili Tanzih. Keduanya itu mewujudkan kesempurnaan pada dzatnya, namun
keseluruhannya itu menunjukan kemutlakan yang tak terhingga.
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin. 1996. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mustofa, Akhmad. 1997. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia.
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983),
cet.III, hlm.92.
Prof. Dr. Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II, UI Press,
1997, hal. 72
Drs. Abuddin Nata, M.A, Ilmu kalam, Filsafat dan Tasawuf, Rajawali press, 1993, hal.
164.
Prof. Dr. Hamka, Tasawuf perkembangan dan pemurniannya, PT. pustaka Panjimas,
Jakarta, 1984, hal. 29.
Mohd. Musthafachelmi, Ibn al-Faridh wa al-Hubb al-Ilahi, Dar al-Ma’arif Kairo, 1971 :
53-55
Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tasawuf al-Islam, Dar al-
Tsaqodat, Kairo, 1974 ; 162