Anda di halaman 1dari 44

Daftar Isi

Infeksi Menular Seksual ........................................................................................................ 2


Anamnesis ......................................................................................................................... 2
Pemeriksaan Fisik ............................................................................................................. 3
Infeksi Menular Seksual dengan Gejala Duh Tubuh ............................................................. 7
Gonore............................................................................................................................... 7
Infeksi Genital Non-Spesifik ............................................................................................ 9
Trikomoniasis ................................................................................................................... 12
Kandidiasis Genitalis ........................................................................................................ 14
Bakterial Vaginosis ........................................................................................................... 16
Infeksi Menular dengan bentuk benjolan ............................................................................... 19
Kondiloma Akuminata ...................................................................................................... 19
Limfogranuloma Venerum................................................................................................ 21
Infeksi Menular Berbentuk Ulkus .......................................................................................... 24
Sifilis ................................................................................................................................. 24
Ulkus Molle ...................................................................................................................... 31
Herpes Simpleks Genitalis ................................................................................................ 35
Daftar Pustaka ........................................................................................................................ 42

1
INFEKSI MENULAR SEKSUAL

Infeksi menular seksual (IMS) ialah infeksi yang ditularkan terutama melalui
hubungan seksual, baik dengan pasangan heteroseksual maupun homoseksual. Cara lain yang
dapat menularkan IMS yaitu dari ibu hamil yang menderita IMS kepada bayi dalam
kandungannya atau melalui darah yang telah tercemar IMS. Organisme penyebab IMS, dapat
dibagi dalam kelompok:1

1. Bakteri : misalnya penyebab gonore, infeksi non-gonore, sifilis 


2. Virus: misalnya penyebab herpes genital, kondilomata akuminata, 
 HIV/AIDS,

Moluskum kontagiosum, hepatitis B 


3. Protozoa: misalnya penyebab trikomoniasis 


4. Jamur: misalnya penyebab kandidiasis vaginalis 


5. Ektoparasit: misalnya penyebab kutu kelamin, skabies 


Berbagai cara hubungan seksual yang dapat menyebabkan IMS, yaitu :1 


1. Kelamin dengan kelamin (genito-genital) 


2. Mulut dengan kelamin (oro-genital) 


3. Anus dengan kelamin (ano-genital) 


4. Tangan dengan kelamin (mano-genital) 
 


ANAMNESIS
Anamnesis adalah data seorang pasien yang diperoleh dengan cara wawancara
mengenai keluarga, kejadian sekarang maupun riwayat terdahulu. Ada dua macam
anamnesis, yaitu heteroanamnesis dan autoanamnesis.
Pada umumnya seorang penderita infeksi menular seksual yang datang ke tempat
pelayanan kesehatan merasa malu untuk mengutarakan perihal sakitnya dan merasa tabu
untuk menceritakan kebiasaan yang berhubungan dengan hubungan seksual apalagi bila
sudah menyangkut pemeriksaan genitalia. Oleh karena itu, dokter dan paramedic harus
melakukan wawancara dengan benar dan cern=mat agar mendapatkan anamnesis yang

2
lengkap sehingga dapat menunjang penegakan diagnosis yang tepat, namun dengan tetap
memperhatikan kepentingan pasien.

Anamnesis pasien dengan dugaan IMS harus mencakup:1

1. Keluhan dan gejala yang dirasakan. 


2. Pengobatan yang telah diberikan, baik topikal ataupun sistemik. 
 Tanyakan tentang

penggunaan antibiotika, serta riwayat alergi obat. 


3. Riwayat seksual penting untuk menentukan ”risiko” pasien: 


a) Adakah koitus suspektus; apakah berganti-ganti dengan banyak pasangan 


b) Adakah kontak seksual setelah mengalami gejala infeksi 


4. Cara hubungan seksual: genito-genital, oro-genital atau ano-genital 


5. Orientasi seksual: hetero-seksual, homoseksual atau biseksual 


6. Tanyakan riwayat pemakaian kondom

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan penyakit menular seksual antara lain:1
1. Pemeriksaan fisik umum

2. Pemeriksaan genitalia eksterna 


Pasien perempuan, dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan inspekulo dan bimanual 


3. Pemeriksaan anoskopi dapat dilakukan atas indikasi 


Pemeriksaan Fisik Umum1

1. Perhatikan keadaan umum tampak sakit /tidak, lemah, obesitas/gemuk/kurus. 


2. Periksa kulit seluruh tubuh, terutama telapak tangan, telapak kaki. 


3. Periksa kelenjar getah bening superfisial, adakah pembesaran dan rasa nyeri 
 


3
Pemeriksaan Fisik pasien Laki-Laki1 


Pemeriksaan dilakukan di ruang khusus yang terjaga privasinya. Sebelum diperiksa


pasien diminta untuk melepas celana dan menurunkannya hingga ke lutut. Pasien dalam
posisi berdiri atau berbaring. Pemeriksaan meliputi inspeksi dan palpasi. Daerah kelamin dan

sekitarnya harus terbuka, sehingga memudahkan pemeriksaan.1


1. Inspeksi genital eksterna


a. Laporkan adakah ulkus/erosi atau lesi lain (vesikel, tonjolan/ kutil).
b. Periksa dan raba seluruh kelenjar getah bening supefisial, perhatikan konsistensi,
ukuran, nyeri/ tidak, tanda radang pada kulit di atas/sekitar.
2. Inspeksi skrotum
laporkan adakah asimetri, kemerahan, kemudian raba testis dan epididimis ; laporkan

adakah pembengkakan, atau rasa nyeri 


3. Inspeksi penis
Dilakukan dari dasar/pangkal sampai ujung. Inspeksi daerah subprepusium (pada pasien
yang tidak disirkumsisi), perhatikan daerah sulkus koronarius dan kelenjar Tyson :

laporkan tanda inflamasi dan membesar/tidak. 


4. Inspeksi muara uretra


Adakah tanda inflamasi. Bila tidak tampak duh tubuh uretra, lakukan pengurutan searah

(pasien harus menahan miksi minimal 3 jam). 


5. Inspeksi muara kelenjar parauretra


Apakah ada tanda- radang atau tidak.

Pemeriksaan fisik pada pasien perempuan1

1. Pasien berbaring dalam posisi litotomi 


2. Pemeriksaan dimulai dari daerah inguinal dan sekitarnya, genitalia eksterna dan
introitus vagina.
3. Bila duh tubuh banyak, bersihkan dengan kain kasa, periksa labia mayora, dan labia

minora. Periksa dan laporkan apakah terdapat ulkus/erosi, kutil, vesikel, atau lesi lain 


4
4. Lakukan palpasi pada kelenjar Bartholin, lihat muara duktus, adakah duh tubuh dan

pembengkakan. 


5. Bila terdapat sarana spekulum, lakukan pemeriksaan inspekulo, inspeksi daerah serviks,
adakah duh tubuh, tanda inflamasi, ulkus/erosi, mudah berdarah atau ada benjolan.
Kemudian lihat dinding vagina, adakah duh tubuh, atau lesi lain. Lakukan sekaligus
pengambilan spesimen untuk pemeriksaan laboratorium; dari serviks, forniks posterior

dan dinding vagina. 


Pemeriksaan daerah anus untuk pasien laki-laki dan perempuan 1


1. Posisi pasien tidur miring dengan menekuk lutut atau dengan posisi sujud; membelakangi

pemeriksa. 


2. Perhatikan daerah sekitar anus, laporkan adakah luka atau benjolan atau cairan yang

keluar dari lubang anus. Lakukan pengambilan spesimen dengan swab anus. 


Prosedur pemeriksaan anoskopi1


1. Sebelum melakukan pemeriksaan anoskopi, lakukan inspeksi daerah anus dan sekitarnya,
kemudian lakukan pemeriksaan rektum dengan jari tangan (digital rectal examination).
2. Bila menggunakan anoskop dengan bagian obturator yang dapat dilepaskan, pastikan
bahwa obturator telah terpasang dengan benar.
3. Beri pelumas sepanjang badan anoskop dengan pelumas standard atau lidokain
4. Masukkan anoskop secara perlahan, dengan sedikit tekanan untuk melawan tahanan
akibat kontraksi otot sfingter anus eksterna. Terus dorong alat anoskop sampai mencapai

anorektum .


Pada pemeriksaan duh tubuh genital, perhatikan:1

Jumlah, warna, konsistensi dan bau.


Pada pemeriksaan ulkus atau luka di daerah genital, perhatikan:1


1. Lokasi
2. Jumlah
3. Bentuk
4. Ukuran

5
5. Batas / tepi

6. Dinding


7. Dasar luka
8. Rasa nyeri

Pengambilan spesimen untuk pemeriksaan laboratorium1


Siapkan sarana yang digunakan untuk pengambilan spesimen:
1. Spekulum steril

2. Kaca objek yang telah diberi tanda asal spesimen (misalnya U=uretra; 
 V=vagina; S

atau C=serviks) 


3. Kaca objek yang telah ditetesi larutan NaCl fisiologis untuk 
 pemeriksaan sediaan basah

4. Kaca tutup 


5. Sengkelit steril sekali pakai atau kapas lidi kapas steril 


Langkah pengambilan spesimen, dalam keadaan spekulum terpasang:


1. Sediaan apus serviks:

a. Bersihkan serviks dari cairan vagina yang menutupinya, dengan kasa steril 


b. Masukkan lidi kapas steril atau sengkelit steril sekali pakai ke dalam endoserviks 


c. Apuskan ke atas kaca objek yang telah diberi diberi tanda S atau C 


d. Lakukan pengambilan ulang dengan sengkelit lain untuk pemeriksaan biakan Thayer-

Martin atau PCR (dengan swab khusus) bila tersedia. 


2. Sediaan apus vagina:

a. Apuskan lidi kapas steril atau sengkelit steril sekali pakai ke 
 dinding vagina 


b. Apuskan ke atas kaca objek yan elah diberi tanda V 


3. Sediaan dari forniks posterior untuk sediaan basah

a. Ambil cairan vagina yang tergenang di daerah forniks posterior 
 menggunakan

sengkelit steril sekali pakai 


6
b. Oleskan/campurkan dengan 1-2 tetes larutan NaCl fisiologis yang 
 telah disiapkan di

atas kaca objek. Tutup dengan kaca tutup


4. Pemeriksaan pH vagina
a. Tempelkan kertas pH pada dinding vagina, lihat perubahan warna yang terjadi.

Sesuaikan warna tersebut dengan warna yang ada pada penuntun pH. 


b. Keluarkan spekulum secara hati-hati. 


c. Cairan vagina yang menempel pada spekulum ditetesi dengan larutan 
 KOH 10%,

kemudian cium bau yang dihasilkan dari campuran 
 tersebut (tes amin atau tes

whiff). 


d. Ambil cairan dari uretra dengan sengkelit steril sekali pakai, kemudian 
 apuskan di

atas kaca objek yang bertanda U. 


e. Semua spesimen dikirim ke laboratorium untuk dilakukan pewarnaan 
 Gram,

sedangkan sediaan basah langsung dibaca di bawah mikroskop 


Pada perempuan yang status belum menikah atau pada anak-anak, spesimen diambil tanpa
menggunakan spekulum, sehingga hanya di dapatkan dari vagina dan uretra.

Pemeriksaan bimanual, dilakukan dengan cara:

1. Pakai sarung tangan steril. 


2. Masukkan dua jari (telunjuk dan jari tengah) ke dalam vagina, sambil 
 tangan yang lain

meraba dan menekan dinding perut. 


3. Catat ukuran, mobilitas dan konsistensi uterus; adakah nyeri goyang 
 serviks, adakah

nyeri tekan adneksa. 


Langkah pengambilan spesimen pasien laki-laki

7
1. Bila duh tubuh uretra banyak, ostium atau muara uretra dibersihkan dengan kain kasa

steril dan kering. 


2. Duh tubuh uretra diambil dengan sengkelit yang dimasukkan ke dalam uretra sampai

fossa navikularis atau sekitar 1- 2 cm, 


3. Kemudian oleskan pada kaca obyek bersih, untuk dilakukan pewarnaan Gram. 


Infeksi Menular Seksual dengan Gejala Duh Tubuh

Gonore

Defenisi
Gonore merupakan semua penyakit yang disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae1

Etiologi dan Morfologi


Gonore disebabkan oleh gonokokus yang ditemukan oleh Neisser pada tahun 1879.
Kuman ini masuk dalam kelompok Neisseria sebagai N.gonorrhoeae bersama dengan 3
spesies lainnya yaitu, N.meningitidis, N.catarrhalis dan N.pharyngis sicca. Gonokok
termasuk golongan diplokokus berbentuk biji kopi dengan lebar 0,8 u dan pajang 1,6 u.
Kuman ini bersifat tahan asam, gram negatif, dan dapat ditemui baik di dalam maupun di luar
leukosit. Kuman ini tidak dapat bertahan hidup pada suhu 39 derajat Celcius, pada keadaan
kering dan tidak tahan terhadap zat disinfektan. Gonokok terdiri atas 4 tipe yaitu tipe 1, tipe
2, tipe 3 dan tipe 4. Namun, hanya gonokok tipe 1 dan tipe 2 yang bersifat virulen karena
memiliki pili yang membantunya untuk melekat pada mukosa epitel terutama yang bertipe
kuboidal atau lapis gepeng yang belum matur dan menimbulkan peradangan.2

Patogenesis
Gonococcus akan menembus sel epitel, menyebabkan adanya inflamasi submucosa
dengan reaksi leukosit polimorfonuklear (PMN) dengan cairan purulen. Sebagian besar tanda
dan gejala infeksi menular adalah manifestasi pembentukan kompleks imun dan deposisi.3

Gejala klinis1
Masa tunas gonore sangat singkat yaitu sekitar 2 hingga 5 hari pada pria. Sedangkan

8
pada wanita, masa tunas sulit ditentukan akibat adanya kecenderungan untuk bersifat
asimptomatis pada wanita. Keluhan subjektif yang paling sering timbul adalah rasa gatal,
disuria, polakisuria, keluar duh tubuh mukopurulen dari ujung uretra yang kadang-kadang
dapat disertai darah dan rasa nyeri pada saat ereksi. Pada pemeriksaan orifisium uretra
eksternum hiperemis, edema, ekstropion dan pasien merasa panas. Pada beberapa kasus
didapati pula pembesaran kelenjar getah bening inguinal unilateral maupun bilateral.
Gambaran klinis dan perjalanan penyakit pada wanita berbeda dari pria. Pada wanita,
umumnya berlangsung tanpa keluhan, karena infeksi awal terjadi pada serviks. Bila ada
keputihan, biasanya berwarna putih, kuning kehijauan, agak kental. Bila infeksi mengenai
saluran kemih, timbul rasa nyeri saat berkemih. Bila infeksi mengenai kelenjar Bartholin
dapat timbul abses. Infeksi yang tidak diobati dapat menjalar ke alat dalam rongga pelvis dan
menimbulkan rasa perut bagian bawah (tanda salpingitis atau adneksitis). Bila berlanjut,
dapat menimbulkan komplikasi pada saluran telur atau indung telur (keadaan ini dapat
menimbulkan kehamilan di luar kandungan ataupun kemandulan). Kemudian pada
pemeriksaan ditemukan tampak serviks dengan hiperemis, kadang- kadang erosi dan sekret
mukopurulen, tampak mengalir dari dalam serviks. Kadang-kadang disertai rasa nyeri perut
bagian bawah.

Pemeriksaan1

1. Pemeriksaan sediaan apus duh tubuh uretra atau serviks yang 
 diwarnai dengan

pewarnaan Gram, ditemukan:

a. diplokokus negatif-Gram intraselular 


b. lekosit polimorfonuklear pada sediaan hapus serviks perempuan >30/lpb, pada

sediaan hapus uretra laki-laki >5/lpb 


2. Bila fasilitas memungkinkan, dilakukan biakan pada media Thayer- Martin atau
Modifikasi Thayer-Martin dilanjutkan pemeriksaan resistensi.

Pengobatan1
1. Gonore Akut tanpa Komplikasi
Dapat diberikan Cefixime 400mg per oral atau Ceftriaxone 250mg injeksi intramuscular,
atau kanamisin 2 gram injeksi intramuskular.
2. Gonore dengan Komplikasi

9
Dapat diberikan Cefixime 400mg/hari per oral selama 5 hari atau Ceftriaxone 250mg/hari
injeksi intramuscular selama 3 hari atau Kanamisin 2 gram injeksi intramuscular selama 3
hari.

Infeksi Genital Non-Spesifik (IGNS)

Defenisi
Merupakan infeksi traktus genital dengan penyebab yang tidak spesifik. Paling sering

disebabkan oleh Chlamydia trachomatis dan Ureaplasma urealyticum.
 Istilah ini lebih

sering dipakai untuk perempuan, sedangkan untuk laki- laki dipakai istilah uretritis
nonspesifik (UNS).1

Epidemiologi
Di dunia, WHO memperkirakan terdapat 140 juta kasus yang terjadi akibat infeksi
C.trachomatis. Terdapat 1,1 juta kasus dilaporkan di Amerika Serikat dengan prevalensi
tertinggi terjadi pada wanita diusia 15-24 tahun pada tahun 2007. Sedangkan di Indonesia,
dari data yang diambil dari poliklinik IMS RS dr.Pirngadi Medan didapatkan prevalensi UNG
sebesar 54% pada tahun 1990-1991. Di RSUP Denpasar prevalensi UNG/IGNS sebesar
13,8% pada tahun 1993-1994. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan terhadap kelompok
pramuwaria di Jakarta mendapatkan data prevalensi klamidia sebesar 35,48% dari 62 orang
yang diperiksa sedangkan pada pemeriksaan terhadap WTS di Medan menunjukkan
prevalensi sebesar 45%.2

Etiologi dan morfologi


Penyebab 30% hingga 50% kasus IGNS adalah Chamydia trachomatis, sedangkan
kasus selebihnya umumnya disebabkan oleh Ureaplasma urealyticum. Chlamydia
trachomatis, imunotipe D sampai dengan K, ditemukan pada 35 – 50 % dari kasus uretritis

10
non gonokokus. Klamidia yang menyebabkan penyakit pada manusia diklasifikasikan
menjadi tiga spesies, yaitu:
1. Chlamydia psittaci, penyebab psittacosis.
2. C. trachomatis, termasuk serotipe yang menyebabkan trachoma infeksi alat kelamin,
Chlamydia conjunctivitis dan pneumonia anak dan serotipe lain yang menyebabkan
Lymphogranuloma venereum.
3. C. pneumoniae, penyebab penyakit saluran pernapasan termasuk pneumonia dan
merupakan penyebab penyakit arteri koroner.2

Gejala klinis
Penting untuk mengetahui adanya koitus suspektus yang biasanya terjadi 1 hingga 5
minggu sebelum timbulnya gejala. Juga penting untuk mengetahui apakah telah melakukan
hubungan seksual dengan istri pada waktu keluhan sedang berlangsung, mengingat hal ini
dapat menyebabkan fenomena penularan pingpong Menurut Pedoman Penatalaksanaan
Infeksi Menular Seksual Depkes RI, infeksi melalui hubungan seksual ini pada pria muncul
sebagai uretritis dan pada wanita sebagai servisitis mukopurulen. Manifestasi klinis dari
uretritis kadang sulit dibedakan dengan gonorrhea dan termasuk adanya discharge
mukopurulen dalam jumlah sedikit atau sedang, terutama pada pagi hari (morning drops) dan
dapat pula berupa bercak di celana dalam, gatal pada uretra dan rasa panas ketika buang air
kecil. Infeksi tanpa gejala bisa ditemukan pada 1-25% pria dengan aktivitas seksual aktif.
Pada wanita, manifestasi klinis mungkin sama dengan gonorrhea, dan seringkali muncul
sebagai discharge endoservik mukopurulen, disertai dengan pembengkakan, eritema dan
mudah mengakibatkan perdarahan endoservik disebabkan oleh peradangan dari epitel
kolumner endoservik. Namun, 70 % dari wanita dengan aktivitas seksual aktif yang
menderita klamidia, biasanya tidak menunjukkan gejala. Infeksi kronis tanpa gejala dari
endometrium dan saluran tuba bisa memberikan hasil yang sama. Manifestasi klinis lain
namun jarang terjadi seperti bartolinitis, sindroma uretral dengan disuria dan pyuria,
perihepatitis (sindroma Fitz-Hugh-Curtis) dan proktitis. Infeksi yang terjadi selama
kehamilan bisa mengakibatkan ketuban pecah dini dan menyebabkan terjadinya kelahiran
prematur, serta dapat menyebabkan konjungtivitis dan radang paru pada bayi baru lahir.
Infeksi klamidia endoserviks meningkatkan risiko terkena infeksi HIV. Infeksi klamidia bisa
terjadi bersamaan dengan gonorrhea, dan tetap bertahan walaupun gonorrhea telah sembuh.

11
Oleh karena servisitis yang disebabkan oleh gonokokus dan klamidia sulit dibedakan secara
klinis maka pengobatan untuk kedua mikroorganisme ini dilakukan pada saat diagnosa pasti
telah dilakukan. Namun pengobatan terhadap gonorrhea tidak selalu dilakukan jika diagnosa
penyakit disebabkan C. trachomatis.

Pemeriksaan
Diagnosa Uretritis Non Gonokokus (UNG) atau diagnosa servisitis non gonokokus
ditegakkan biasanya didasarkan pada kegagalan menemukan Neisseria gonorrhoeae melalui
sediaan apus dan kultur. Klamidia sebagai penyebab dipastikan dengan pemeriksaan preparat
apus yang diambil dari uretra atau endoserviks atau dengan tes IF langsung dengan antibodi
monoklonal, EIA, Probe DNA, tes amplifikasi asam nukleus (Nucleic Acid Amplification
Test, NAAT), atau dengan kultur sel. NAAT bisa dilakukan dengan menggunakan spesimen
urin. Organisme intraseluler sulit sekali dihilangkan dari discharge.
Pada pemeriksaan sekret uretra dengan pewarnaan Gram ditemukan leukosit lebih
dari 5 pada pemeriksaan mikroskop dengan pembesaran 1000 kali. Pada pemeriksaan
mikroskopik sekret serviks dengan pewarnaan Gram didapatkan leukosit lebih dari 30 per
lapangan pandang dengan pembesaran 1000 kali. Tidak dijumpai diplokokus negatif gram,
serta pada pemeriksaan sediaan basah tidak didapati parasit Trichomonas vaginalis
Pembiakan C.trachomatis yang bersifat obligat intraseluler harus dilakukan pada sel
hidup. Sel hidup ini dibiakkan dalam gelas kaca yang disebut biakan monolayer seperti Mc
Coy dan BHK yang dapat dilihat hasil pertumbuhannya pada hari ketiga.1,2

Penatalaksanaan
Pada penyakit ini dapat diberikan pengobatan dengan doksisiklin 2x100mg per hari
per oral selama 7 hari. Dapat juga diberikan azitromisin 1 gram per oral atau tetrasiklin
4x500mg per hari per oral selama 7 hari dan dapat juga diberikan eritromisin 4x500mg per
hari per oral selama 7 hari.1

12
Trikomoniasis
Definisi
Trikomoniasis adalah salah satu tipe dari Vaginitis, merupakan penyakit infeksi
protozoa yang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis, biasanya ditularkan melalui hubungan
seksual, terutama sebagai Penyakit Menular Sexual (PMS) dan sering menyerang traktus
urogenitalis bagian bawah yang dapat bersifat akut atau kronik dan pada wanita maupun pria,
namun pada pria peranannya sebagai enyebab penyakit masih diragukan. Trikomoniasis
adalah PMS yang dapat diobati yang paling banyak terjadi pada perempuan muda dan aktif
seksual. Diperkirakan, 5 juta kasus baru terjadi pada perempuan dan laki-laki.4

Etiologi
Penyebab trikomoniasis ialah Trichomonas vaginalis yang merupakan satu-satunya
spesies Trichomonas yang bersifat patogen pada manusia dan dapat dijumpai pada traktus
urogenital.(4) Pertama kali ditemukan oleh Donne pada tahun 1836 dan untuk waktu yang
lama sejak ditemukannya dianggap sebagai komensal. Trichomonas vaginalis merupakan
flagelata berbentuk filiformis, berukuran 15-18 mikron, mempunyai 4 flagela, dan bergerak
seperti gelombang. Mempunyai membran undulans yang pendek, tidak mencapai dari
setengah badannya. Pada sediaan basah mudah terlihat karena gerakan yang terhentak-hentak.
Membentuk koloni trofozoit pada permukaan sel epitel vagina dan uretra pada wanita; uretra,
kelenjar prostat dan vesikula seminalis pada pria.4
Parasit ini berkembang biak secara belah pasang memanjang dan dapat hidup dalam
suasana pH 5-7,5. Pada suhu 50°C akan mati dalam beberapa menit, tetapi pada suhu 0°C
dapat bertahan sampai 5 hari. Cepat mati bila mengering, terkena sinar matahari, dan terpapar
air selama 35-40 menit. Ada dua spesies lainnya yang dapat ditemukan pada manusia, yaitu

13
Trichomonas tenax yang hidup di rongga mulut dan Pentatrichomonas hominis yang hidup
dalam kolon, yang pada umumnya tidak menimbulkan penyakit.4

Patogenesis
Trichomonas vaginalis mampu menimbulkan peradangan pada dinding saluran
urogenital dengan cara invasi sampai mencapai jaringan epitel dan subepitel. Masa tunas rata-
rata 4 hari sampai 3 minggu. Pada kasus yang lanjut terdapat bagian-bagian dengan jaringan
granulasi yang jelas. Nekrosis dapat ditemukan di lapisan subepitel yang menjalar sampai di
permukaan epitel. Di dalam vagina dan uretra parasit hidup dari sisa-sisa sel, kuman-kuman,
dan benda lain yang terdapat dalam sekret.4
Gejala Klinis
Masa inkubasi sukar untuk dipastikan, berkisar antara beberapa hari sampai 4 minggu.
Penyakit ini sering tanpa gejala. Tetapi jika ada, biasanya berupa duh tubuh vagina yang
banyak dan berbau busuk, warna kuning hijau, kadang- kadang berbusa. Duh tubuh yang
banyak menimbulkan kelughan gatal dan perih pada vulva dan kulit di sekitarnya. Keluhan
lain dapat berupa dyspareunia, perdarahan pasca koitus dan perdarahan diantara haid. Pada
keadaan akut, pemeriksaan didapatkan labia mayora dan minora tampak hiperemis dan udem.
Pada daerah forniks posterior tampak duh tubuh seropurulen, jumlah banyak dan tergenang
serta berbusa. Daerah serviks tampak bintik-bintik perdarahan (strawberry cervix) yang
menunjukkan inflamasi berat.1

Pemeriksaan Laboratotium
1. Pada sediaan basah dengan larutan NaCl fisiologis, dari bahan duh tubuh yang diambil
dari forniks posterior, ditemukan Trichomonas vaginalis yang ditandai dengan

pergerakannya yang khas 


2. pH vagina >5.0 


3. Pemeriksaan kultur, bila fasilitas memungkinkan 


Penatalaksanaan
Pengobatan dapat diberikan metronidazole 2 gram per oral dosis tunggal atau
2x500mg/hari per oral selama 7 hari atau dapat diberikan tinidazole 2 gram per oral dosis
tunggal.1

14
Pengobatan Pada Kehamilan
Kehamilan pada trimester pertama merupakan kontra indikasi pemberian
metronidazol. Sehubungan telah banyak bukti-bukti yang menunjukkan adanya kaitan antara
infeksi T. vaginalis dengan pecahnya ketuban sebelum waktunya, maka metronidazol dapat
diberikan dengan dosis efektif yang paling rendah pada trimester kedua dan ketiga.4

Infeksi Pada Neonatus


Bayi dengan trikomoniasis simtomatik atau dengan kolonisasi T. vaginalis melewati
umur 4 bulan, harus diobati dengan metronidazol 5 mg/kgBB/oral, 3 x sehari selama 5 hari.4

Kandidiasis genitalis

Definisi
Kandidiasis genitalis adalah infeksi jamur Candida albicans pada genitalia. Jamur
Candida albicans merupakan penyebab yang sering dijumpai pada genitalia dan daerah
perigenital wanita. Penyakit yang ditimbulkan oleh jamur tersebut dikenal sebagai
kandidiasis atau kandidosis Candida albicans tumbuh subur di tempat-tempat hangat, gelap,
dan basah. Candida albicans sebenarnya adalah mikroflora normal yang ada di dalam tubuh
manusia. Namun jika keseimbangan mengalami gangguan akibat beberapa faktor maka akan
menyebabkan Candida albicans tumbuh melebihi batas dan akhirnya menyebabkan infeksi.4

Epidemiologi
Candida albicans dapat ditemukan pada manusia di seluruh dunia, terutama
menimbulkan penyakit pada golongan usia lanjut, kaum wanita dan bayi. Candida albicans
pada tubuh manusia dapat bersifat dua macam yaitu sebagai saprofit yang terdapat pada
tubuh manusia tanpa menimbulkan gejala apapun, baik objektif maupun subjektif. Atau
sebagai parasit yang dapat menimbulkan infeksi primer atau sekunder terhadap kelainan yang
telah ada. Sebagai saprofit, Candida albicans pada tubuh manusia dapat dijumpai di kulit,
selaput lendir mulut, saluran pencernaan, saluran pernapasan, vagina dan kuku. Candida
albicans menimbulkan penyakit pada kulit dan mukosa, kadang-kadang pada keadaan yang
berat yaitu resistensi tubuh penderita menurun, misalnya pada penyakit-penyakit keganasan
(malignant diseases), tranplantasi organ, pengobatan dengan imunosupresif dan antibiotik
spektrum luas yang dapat menimbulkan kandidiasis sistemik, septikemi, endokarditis dan

15
meningitis. Infeksi Candida albicans pada genitalia juga dapat mengakibatkan balanitis,
kadang-kadang uretritis pada pria dan vulvovaginitis pada wanita. Diabetes mellitus berperan
penting sebagai latar belakang penyakit-penyakit tersebut.4
Kandidiasis genitalis pada umumnya ditularkan melalui hubungan kelamin, karena itu
digolongkan juga dalam penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan kelamin. Telah
lama diketahui bahwa para ibu yang menderita vulvo-vaginit menimbulkan dispareunia
sehingga menyulitkan pemeriksaan dengan spekulum. Vulvo-vaginitis akibat kandida perlu
dibedakan dari gonore, di sini perasaan nyeri kurang, disertai sekret dalam jumlah tidak
begitu banyak dan berwarna kuning kehijauan. Pada pria Balanitis disebabkan oleh kandida.
Kandidiasis genitalis pada pria, secara klinis tampak sebagai balanopostitis dengan rasagatal-
gatal dan panas pada glands penis dan preputium. Pada pemeriksaan tampak glands penis dan
preputium eritematous disertai vesikel-vesikel, ulsera superfisial dan pseudomembran
adheren yang terdiri atas zat seperti keju. Kadang-kadang keluar sekret dari uretra seperti air
atau mukoid.4
Pada kasus yang berat terutama penderita diabetes mellitus dapat timbul erosi dan
ulkus pada glands penis serta edema preputium. Tanpa pengobatan akan terjadi fimosis dan
terdapat sekret seperti air di bawah preputium. Lesi-lesi dapat menyebar kedaerah sekitarnya,
terutama ke daerah skrotum, regio inguinal dan lipatan gluteal, tempat terdapatnya lesi-lesi
eritematous dengan skuama yang terasa gatal . Kandidiasis genitalia pada pria dapat
berlangsung tanpa gejala (asymptomatik). Gejala-gejala terutama timbul pada penderita yang
tidak mengalami sirkumsisi. Candida albicans dapat ditemukan di bawah preputium. Sebagai
diagnosis diferensial, dapat disebutkan dermatitis kontak yang disertai edema dan fimosis.4

Gejala Klinis
Masa inkubasi sukar diketahui oleh karena penyakit ini mempunyai factor
predisposisi yaitu kehamilan, diabetes mellitus, pemakaian obat-obatan (golongan
imunosupresif, antibiotika, kontrasepsi hormonal). Gejala yang dikeluhkan biasanya adanya
rasa gatal disertai keputihan berbau asam. Pada wanita, pemeriksaan ditemukan adanya duh
tubuh berwarna putih susu, bergumpal. Daerah vulva atau vagina hiperemis disertai maserasi,
fisura dan kadang tampak adanya lesi satelit (papulopustular). Pada laki-laki, pemeriksaan
ditemukan sulkus koronarius dan glans penis hiperemis hingga maserasi.1

Pemeriksaan1

16
1. Dengan pemeriksaan mikroskopik dari duh tubuh vagina atau apusan dari glans penis
dengan sediaan basah KOH 10% atau dengan pewarnaan Gram. Tampak elemen jamur

berupa : blastospora dan atau pseudohifa. 


2. pH vagina < 4,5 


Pengobatan5
1. mikonazol/klotrimazol 200mg intravaginal per hari selama 3 hari
2. klotrimazol 500mg intravaginal dosis tunggal
3. nystatin 100.000 IU intravaginal perhari selama 14 hari
4. tablet ketokonazol 2x1 tablet/hari selama 7 hari

Bakterial Vaginosis

Definisi
Vaginosis bakterial ialah gejala klinis berupa keputihan pada wanita akibat pergantian
Lactobacillus spp. yang merupakan flora normal vagina, dengan bakteri anaerob dalam
konsentrasi tinggi.1

Etiologi
Penyebab dari BV masih belum diketahui dengan pasti, tetapi berdasarkan
epidemiologi kumpulan gejala yang timbul pada BV berhubungan dengan aktivitas seksual.
BV merupakan infeksi vagina tersering pada wanita yang aktif secara seksual. Penyebab BV
bukan organisme tunggal. Pada suatu analisis dari data flora vagina memperlihatkan ada 4
jenis bakteri vagina yang berhubungan dengan BV yaitu : Gardnerella vaginalis, Bacteroides
Spp, Mobiluncus Spp, Mycoplasma hominis.4
1. Gardnerella vaginalis
Selama 30 tahun terakhir observasi Gardner dan Dukes’ bahwa G.vaginalis sangat
erat hubungannya dengan BV. Meskipun demikian dengan media kultur yang sensitif
G.vaginalis dapat diisolasi dalam konsentrasi yang tinggi pada wanita tanpa tanda-tanda
infeksi vagina. G.vaginalis dapat diisolasi pada sekitar 95% wanita dengan BV dan 40-
50% pada wanita tanpa gejala vaginitis atau pada penyebab vaginitis lainnya. Sekarang
diperkirakan bahwa G.vaginalis berinteraksi melalui cara tertentu dengan bakteri anaerob
dan mycoplasma genital menyebabkan BV.

17
2. Bakteri anaerob
Bacteroides Spp diisolasi sebanyak 76% dan Peptostreptococcus sebanyak 36% pada
wanita dengan BV. Pada wanita normal kedua tipe anaerob ini lebih jarang ditemukan.
Penemuan species anaerob dihubungkan dengan penurunan laktat dan peningkatan
suksinat dan asetat pada cairan vagina. Setelah terapi dengan metronidazole, Bakteroides
dan Peptostreptococcus tidak ditemukan lagi dan laktat kembali menjadi asam organik
predominan dalam cairan vagina. Spiegel menyimpulkan bahwa, bakteri anaerob
berinteraksi dengan G.vaginalis untuk menimbulkan vaginosis. Peneliti lain memperkuat
adanya hubungan antara bakteri anaerob dengan BV. Mikroorganisme anaerob lain yaitu
Mobiluncus Spp. merupakan batang anaerob lengkung yang juga ditemukan pada vagina
bersama-sama dengan organisme lain yang dihubungkan dengan BV. Mobiluncus Spp.
tidak pernah ditemukan pada wanita normal, 85% wanita dengan BV mengandung
organisme ini.
3. Mycoplasma hominis
Berbagai peneliti menyimpulkan bahwa Mycoplasma hominis juga harus
dipertimbangkan sebagai agen etiologik untuk BV, bersama-sama dengan G.vaginalis dan
bakteri anaerob. Prevalensi tiap mikroorganisme ini meningkat pada wanita dengan BV.
Organisme ini terdapat dengan konsentrasi 100-1000 kali lebih besar pada wanita dengan
BV mengandung organisme ini.4

Patofisiologi
Banyak penelitian telah menunjukkan hubungan Gardnerella vaginalis dengan bakteri
lain dalam menyebabkan BV. BV dikenal sebagai infeksi polymicrobic sinergis. Beberapa
bakteri yang terkait termasuk spesies Lactobacillus, Prevotella, dan anaerob, termasuk
Mobiluncus, Bacteroides, Peptostreptococcus, Fusobacterium, Veillonella, dan spesies
Eubacterium. Mycoplasma hominis, Ureaplasma urealyticum, dan Streptococcus viridans
juga mungkin memainkan peran dalam BV. Atopobium vaginae sekarang dikenal sebagai
patogen yang berhubungan dengan BV.5
Bukti untuk mendukung hubungan sinergis meliputi: (1) Gardner dan Dukes
melakukan penanaman kultur murni G.vaginalis ke dalam vagina wanita sehat dan gagal
untuk menghasilkan gejala BV, (2) inokulasi cairan vagina dari pasien BV ke dalam vagina
wanita sehat menghasilkan gejala BV, (3) pengobatan untuk BV, antibiotik antianaerobic
(metronidazol), tidak efektif melawan G.vaginalis, dan (4) produk-produk volatil diuraikan
dari tes bau adalah produk anaerob, bukan dari G.vaginalis. Pada BV, flora vagina diubah

18
melalui mekanisme yang bisa menyebabkan peningkatan pH lokal. Ini mungkin hasil dari
penurunan hidrogen peroksida memproduksi lactobacilli. Lactobacilli adalah organisme
berbentuk batang besar yang membantu menjaga pH asam dari vagina yang sehat dan
menghambat mikroorganisme anaerob lain melalui elaborasi hidrogen peroksida. Biasanya,
lactobacilli yang ditemukan dalam konsentrasi tinggi dalam vagina yang sehat. BV
menyebabkan populasi lactobacilli sangat berkurang, sementara populasi berbagai anaerob
dan G.vaginalis meningkat. G.vaginalis membentuk biofilm pada vagina. Beberapa studi
menunjukkan bahwa biofilm ini mungkin resisten terhadap beberapa bentuk perawatan
medis. Dominan pada G.vaginalis biofilm telah terbukti bertahan dalam hidrogen peroksida
(H2O2), asam laktat, dan antibiotik tingkat tinggi. Ketika biofilm menjadi sasaran di
laboratorium untuk pembubaran enzimatik, kerentanan terhadap H2O2 dan asam laktat
dipulihkan. Temuan ini dapat menyebabkan pengembangan terapi baru masa depan yang
melibatkan degradasi enzimatik biofilm. Tidak ada produk tersebut saat ini di pasaran.4
Dalam studi yang dipublikasikan oleh Fredricks et al, G.vaginalis dideteksi dengan
PCR pada 96% subyek dengan BV dan 70% dari mereka yang tidak BV. Beberapa jenis
bakteri lainnya yang ditemukan oleh PCR dalam penelitian ini. Studi Fredricks 'menegaskan
sifat polimikrobial BV dan keberadaan G.vaginalis sebagai salah satu agen penyebab.4
Meskipun BV tidak dianggap sebagai penyakit menular seksual, aktivitas seksual
telah dikaitkan dengan perkembangan infeksi ini. Pengamatan dalam mendukung ini
meliputi: (1) kejadian BV meningkat dengan peningkatan jumlah pasangan seksual, (2)
pasangan seksual baru dapat berhubungan dengan BV, dan (3) pasangan pria wanita dengan
BV mungkin memiliki kolonisasi uretra oleh organisme yang sama, tetapi pada laki-laki
adalah asimtomatik. Bukti yang tidak mendukung peran menular seksual eksklusif BV adalah
kejadian BV pada wanita perawan yaitu dari rektum pada perawan anak laki-laki dan
perempuan.4

Gejala Klinis
Gejala klinis yang dapat ditemukan adalah terdapat duh vagina homogen berwarna
putih keabu-abuan, melekat pada dinding vagina. Tidak dijumpai peradangan pada vagina
dan vulva.1

Pemeriksaan
Pada pemeriksaan didapatkan:

19
1. pH vagina > 4,5
2. tes amin positif
3. pada pemeriksaan mikroskopik, sediaan basah atau sediaan yang diwarnai dengan
pewarnaan Gram ditemukan Clue Cells.

Pengobatan6
1. Obat pilihan:
- Metronidazole 2x500mg/hari selama 7 hari atau
- Metronidazole 2 gram per oral dosis tunggal
2. Obat alternative:
- Klindamisin 2 x 300mg/ hari per oral selama 7 hari
Infeksi Menular Seksual Berbentuk Tonjolan

Kondiloma Akuminata

Definisi
Kondilomata akuminata ialah infeksi menular seksual yang disebabkan oleh human
papillomavirus (HPV)3 Dengan kelainan berupa fibroepitelioma pada kulit dan mukosa3

Etiologi
Penyebabnya adalah Human papilloma virus(HPV). HPV adalah DNA papovavirus
yang berkembang di nukleus sel epitel yang terinfeksi Lebih dari 20 jenis HPV dapat
menginfeksi saluran kelamin. Yang paling umum adalah tipe 6 dan 11. Tipe 16, 18, 31, 33,
dan 35 sangat terkait dengan displasia anogenital dan karsinoma. Pada orang dengan banyak
pasangan seks, infeksi subklinis dengan beberapa jenis HPV biasa terjadi.5

Patofisiologi
Sel basal merupakan tempat pertama infeksi HPV sehingga setelah inokulasi melalui
trauma kecil, virion HPV akan masuk sampai lapisan sel basal epitel. Agar dapat
menimbulkan infeksi, HPV harus mencapai epitel yang berdiferensiasi sedangkan sel basal
relatif undifferentiated, mereka hanya terstimulasi untuk membelah secara cepat sehingga
disini hanya terjadi ekspresi gen HPV. Sesuai dengan pembelahan sel basal, virion HPV akan
bergerak ke lapisan epidermis yang lebih atas. Dan hanya lapisan epidermis di atas lapisan
basal yang berdiferensiasi pada tahap lanjut, yang dapat mendukung replikasi virus. Ekspresi

20
gen virus pada lapisan ini diperlukan untuk menghasilkan kapsid protein dan kumpulan
partikel virus. Sesudah itu terjadi pelepasan virus bersama dengan sel epitel yang deskuamasi,
kemudian virus baru akan menginfeksi lapisan basal lain. Waktu yang dibutuhkan mulai dari
infeksi HPV sampai pelepasan virus baru adalah 3 minggu (masa inkubasi kondiloma
akuminata 3 minggu sampai 8 bulan).7
Pada infeksi virus pertahanan tubuh diperankan oleh T helper dan T sitotoksik.
Antigen yang dipresentasikan sel dendritik, akan dikenali oleh T helper melalui MHC II dan
dikenali oleh T sitotoksik melalui MHC I, kemudian T helper membantu aktivasi T sitotoksik
yang akan melisiskan protein virus pada sel terinfeksi. Pada infeksi HPV, karena virus non
litik maka antigen akan dilepaskan dengan lambat dan sel dendritik tidak diaktifkan. Ada
yang berpendapat bahwa kemungkinan respons tidak berperan pada infeksi HPV, tetapi
penelitian menunjukkan lesi yang berhubungan dengan HPV lebih lama, mudah kambuh, dan
lebih lebar pada penderita imunodefisiensi terutama imunitas seluler. Selain itu pada infeksi
HPV yang berperan adalah respon Th1 dengan adanya IL-12, yang menginduksi IFN
membantu aktivasi T sitotoksik dan meningkatkan aktivitas NK cell sitotidal. Ada penemuan
yang tidak diduga, dengan dihasilkannya IL-12 mungkin memiliki efek antivirus, selain itu
didapatkan infiltrasi limfosit terutama makrofag dan CD4, dengan demikian terdapat aktivitas
sistem imun pada infeksi HPV terutama respons Th1.7

Gejala klinis
Masa inkubasi seringkali sukar ditentukan secara tepat dan dapat bervariasi antara 3
minggu – 8 bulan (rata-rata 3 bulan). Gambaran klinik sangat bervaiasi, berupa suatu vegetasi
bertangkai dengan permukaan yang berjonjot-jonjot (eksofitik) dengan permukaan runcing
seperti jari (verukosa) dan beberapa bergabung membentuk lesi yang lebih besar sehingga
tampak seperti kembang kol; atau berupa papula dengan permukaan yag halus dan licin
dengan diameter 1-2mm yang bergabung menjadi plakat lebar.5
Pada pemeriksaan tampak vegetasi dengan permukaan yang runcing-runcing seperti
jari(verukosa) atau papul dengan permukaan datar, multiple dan tersebar diskret.1

Pemeriksaan
1. Pada lesi yang meragukan/subklinis: dapat dilakukan tes asam asetat 5% dibubuhkan
pada lesi yang dicurigai selama 5 menit. Hasil: lesi akan berubah warna menjadi putih

(acetowhite positif). 


21
2. Bila ada fasilitas, dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan kolposkopi atau

histopatologi 


Penatalaksanaan1
- Tinktura podofilin 10-25% atau
- Larutan asam trikloro-asetat 80-90% atau
- Salep asam salisilat 20-40% atau
- Imiquimod 5% atau
-
Tindakan bedah scalpel/bedah beku/bedah listrik/bedah laser

Limfogranuloma Venereum

Definisi
Limfogranuloma venereum (LGV) atau bubo ialah infeksi yang mengenai sistem
saluran pembuluh limfe dan kelenjar limfe daerah genital, yang disebabkan oleh Chlamydia

trachomatis serovar L1, L2 dan L3.
 Saat ini kasus sudah sangat jarang ditemukan.1

Etiologi
LGV disebabkan oleh Chlamydia trachomatis, yang merupakan organisme bersifat
seperti bakteri dalam pembelahan sel, metabolism, struktur, maupun kepekaan terhadap
antibiotika dan kemoterapi, dan sebagian lagi bersifat seperti virus yaitu memerlukan sel
hidup untuk berkembang biaknya (parasite obligat intrasel). Terdapat >20 serovar
(immunotype): Trachoma : Serovar A, B, Ba, dan C. Mucosal PHS: Serovar D-K (paling
sering pada PHS bacterial). Invasive PHS: Serovar L1, L2, L3.3

Patofisiologi
Chlamydia tidak dapat menembus kulit, tapi dapat masuk melalui laserasi atau abrasi
pada kulit. Proses patofisiologis melalui trombolimfangitis dan perilimfangitis dengan
penyebaran proses inflamasi dari limfe nodus yang terinfeksi ke jaringan sekitar. Limfangitis
ditandai dengan adanya proliferasi sel endotel pada pembuluh limfe dan saluran limfe di
dalam limfe nodus.3
Proses inflamasi berlangsung beberapa minggu sampai bulan. Proses penyembuhan
melalui fibrosis, dimana struktur normal dari nodus limfe akan dirusak terjadi obstruksi

22
pembuluh limfe. Edema kronik dan fibrosis menyebabkan indurasi dan pembesaran daerah
yang terkena. Fibrosis juga mengganggu suplai darah ke kulit dan mukosa didaerah tersebut
sehingga terjadi ulkus.3
LGV dapat mengenai satu atau dua limfe nodes, organisme menyebar secara
hematogen dan dapat masuk ke SSP. Tapi penyebaran bergantung dari imunitas hospes.3

Gejala Klinis8
LGV merupakan penyakit sistemik yang primer menyerang system limfatik, dengan
manifestasi klinik dapat berupa akut, subakut, atau kronik, dengan komplikasi pada stadium
lanjut. Terdapat perbedaan gambarang klinis antara pria dan wanita. Pada wanita jarang
didapatkan lesi primer dan bubo inguinal. Perjalanan penyakit LGV secara umum dapat
dibagi dalam 3 stadium:

1. Lesi Primer
Tahap ini terjadi 3-30 hari setelah inokulasi. LGV primer dimulai sebagai
papula kecil atau tanpa rasa sakit yang dapat menyebabkan ulser herpetiform kecil
tanpa gejala yang biasanya sembuh dengan cepat tanpa jaringan parut. Tempat infeksi
yang paling umum untuk pria meliputi sulkus koronal, preputium, glans, dan skrotum.
Gejala uretritis jarang terjadi. Tempat infeksi yang paling umum pada wanita
termasuk dinding vagina posterior, serviks posterior, fourchette, dan vulva. Lesi awal,
terutama pada wanita, seringkali tidak diketahui oleh pasien.
2. Lesi Sekunder
LGV sekunder dimulai 2-6 minggu setelah lesi primer. Tahap kedua ini terdiri
dari limfadenopati regional yang menyakitkan (biasanya di kelenjar getah bening
inguinal dan / atau femoralis). Kelenjar getah bening yang membengkak akan
menyatu membentuk bubo, yang bisa ruptur pada sepertiga pasien. Apabila tidak
rupture, maka perlahan akan membaik.
Limfadenopati inguinal terjadi hanya pada 20-30% wanita dengan LGV;
mereka biasanya memiliki iliaka yang dalam atau nodus perirectal dan mungkin
hanya memiliki gejala yang tidak spesifik seperti nyeri abdomen atau punggung.
Tahap ini sangat terlihat dan mudah di diagnosis pada laki-laki. Pada wanita
seringkali tidak terdiagnosis pada stadium ini karena limfadenopati inguinalis kurang
terlihat. Gejala konstitusional yang terkait dengan tahap kedua meliputi demam,
menggigil, myalgia, dan malaise.

23
3. Lesi Tertier
LGV tersier disebut juga sindrom genitoanorektal. Kondisi ini lebih sering
terjadi pada wanita. Keterlibatan rektal lebih sering terjadi pada pria yang
berhubungan seks dengan pria (LSL) dan pada wanita yang melakukan hubungan seks
anal reseptif.
LGV tersier ditandai dengan proktokolitis. Meskipun infeksi proktitis lebih sering
dikaitkan dengan inglammatory bowel isease, penyakit menular seksual (PMS) harus
dipertimbangkan dalam upaya diagnosis ini, terutama pada LSL. Pada populasi pasien
ini, kejadian proctitis menular yang disebabkan PMS semakin meningkat.
Pemeriksaan penunjang
1. Tes Frei
Frei memperkenalkan tes ini pertama kali pada tahun 1925. Bahan diambil ari aspirasi
bubo yang belum pecah.8 Caranya :
Disuntikan 0.1 ml antigen intradermal pada lengan bawah dengan control lengan
lainnya. Reaksi dibaca setelah 48-72 jam, positif bila tampak papul eritem dikelilingi
daerah yang infiltrate dengan diameter >6 mm, dan daerah control negative
Hasil positif dalam waktu 2 minggu sampai beberapa minggu setelah infeksi dan akan
teteap positif untuk jangka waktu lama.8
2. Tes Serologi
Tes serologi terdiri dari: complement fixation test (CFT), radio isotope presipitation
(RIP), dan immunofluorescence (micro-if) typing.8 Pada CFT digunakan antigen spesifik,
sensitivitas lebih tinggi dan lebih dapat dipercaya dibanding tes Frei. Terdapat reaksi
silang antara Chlamydia yang lain dan antibody dapat tetap positif dengan titer tinggi atau
rendah sampai beberapa tahun. Penggunaan titer rendah dapat digunakan untuk
menunjukan keberhasilan terapi. Titer rendah biasa didapatkan pada kasus-kasus inaktif
atau infeksi Chlamydia lain.8 Pada tes RIP dan Micto IF typing lebih spesifik dan
sensitive dari CFT dan dapat membedakan serotype Chlamydia termasuk ketiga serotype
penyebab LGV.8

Penatalaksanaan
Dapat diberikan doksisiklin 2x100mg/hari selama 14 hari atau tetrasiklin 4x500mg/hari
selama 14 hari atau eritromisin 4x500mg/hari selama 14 hari.1

Komplikasi Infeksi Menular Seksual

24
1. Penyakit Radang Panggul
2. Nyeri dan Pembengkakan Skrotum

Infeksi Menular Seksual Berbentuk Ulkus

Sifilis

Definisi
Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum yang sangat
kronis dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir seluruh alat tubuh,
dapat menyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten dan dapat ditularkan dari ibu ke
janin.9

Etiologi
Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan Hoffman ialah
Treponema pallidum, yang termasuk ordo Spirochaetales, familia Spirochaetaceae, dan genus
Treponema. Bentuknya sebagai spiral teratur, panjangnya antara 6-15 um, lebar 0,15 um,
terdiri atas delapan sampai dua puluh empat lekukan. Gerakannya berupa rotasi sepanjang
aksis dan maju seperti gerakan pembuka botol. Membiak secara pembelahan melintang, pada
stadium aktif terjadi setiap tiga puluh jam. Pembiakan pada umumya tidak dapat dilakukan
diluar badan. Diluar badan kuman tersebut cepat mati, sedangkan dalam darah untuk
transfusi dapat hidup tujuh puluh dua jam.9

25
Gambar 1. Histopatologis gambaran Treponema pallidum; mikroskop elektron dengan
pengecatan Steiner silver
Sumber : https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Treponema_pallidum_01.png

Klasifikasi
Sifilis dapat dikelompokkan sebagai berikut
1. Sifilis kongenital (bawaan) : dini ( sebelum 2 tahun ), lanjut ( sesudah 2 tahun ) dan
stigmata
2. Sifilis Akuisita (didapat)
Pada sifilis juga dikelompokkan berdasarkan gambaran klinis dan epidemiologis, menurut
WHO, yaitu :
1. Stadium dini menular (dalam satu tahun sejak infeksi) : terdiri atas SI, SII, Stadium
rekuren dan stadium laten dini.
2. Stadium lanjut tak menular (setelah satu tahun sejak infeksi), tediri atas stadium laten
lanjut dan SIII.

Patogenesis
1. Stadium Dini
T. pallidum masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau selaput lendir, biasanya
melalui sanggama. Kuman tersebut membiak jaringan bereaksi dengan membentuk
infiltrat yang terdiri atas sel-sel limfosit dan sel- sel plasma, terutama di perivaskular,
pembuluh- pembuluh darah kecil berproliferasi di kelilingi oleh T. pallidum dan sel-sel

26
radang. Treponema tersebut terletak di antara endotelium kapiler dan jaringan
perivaskular disekitarnya. Kehilangan pendarahan akan menyebabkan erosi, pada
pemeriksaan klinis tampak sebagai S1. Sebelum S1 terlihat, kuman telah mencapai
kelenjar getah bening regional secara limfogen dan membiak. Pada saat itu terjadi pula
penjalaran hematogen dan menyebar kesemua jaringan di badan, tetapi manifestasinya
akan tampak kemudian.9
Multiplikasi ini diikuti oleh reaksi jaringan sebagai SII, yang terjadi enam sampai
delapan minggu sesudah S1. S1 akan sembuh perlahan-lahan karena kuman di tempat
tersebut jumlahnya berkurang, kemudian terbentuklah fibroblas-fibroblas dan akhirnya
sembuh berupa sikatriks. SII juga mengalami regresi perlahan-lahan dan lalu menghilang.
Tibalah stadium laten yang tidak disertai gejala, meskipun infeksi yang aktif masih
terdapat. Sebagai contoh pada stadium ini seorang ibu dapat melahirkan bayi dengan
sifilis kongenital. Kadang-kadang proses imunitas gagal mengontrol infeksi sehingga
T.pallidum membiak lagi pada tempat S I dan menimbulkan lesi rekuren atau kuman
tersebut menyebar melalui jaringan menyebabkan reaksi serupa dengan lesi rekuren S II,
yang terakhir ini lebih sering terjadi daripada yang terdahulu. Lesi menular tersebut dapat
timbul berulang-ulang, tetapi pada umumnya tidak melebihi 2 tahun.4

2. Stadium Lanjut
Stadium laten dapat berlangsung bertahun-tahun dan keadaan treponema dalam
keadaan dorman. Meskipun demikian antibodi tetap ada dalam serum penderita.
Keseimbangan antara treponema dan jaringan dapat berubah karena sebabnya belum
jelas, kemungkinan trauma merupakan salah satu faktor presipitasi. Pada saat itu
munculah S III berbentuk guma. Meskipun pada guma tersebut tidak dapat ditemukan T.
pallidum namun reaksinya hebat karena bersifat destruktif dan berlangsung bertahun-
tahun. Setelah mengalami masa laten yang bervariasi guma tersebut timbul di tempat-
tempat lain. Treponema mencapai sistem kardiovaskular dan sistem saraf pada waktu
dini, tetapi kerusakan menjadi perlahan-lahan sehingga memerlukan waktu bertahun-
tahun untuk menimbulkan gejala klinis. Penderita dengan guma biasanya tidak mendapat
gangguan saraf dan kardiovaskular, demikian pula sebaliknya. Kira-kira dua pertiga kasus
dengan stadium laten tidak memberi gejala.9

Manifestasi Klinis
1. Sifilis Primer (SI)

27
Sifilis primer biasanya ditandai oleh tukak tunggal (disebut chancre), tetapi bisa juga
terdapat tukak lebih dari satu. Tukak dapat terjadi dimana saja di daerah genitalia eksterna
yaitu 3 minggu setelah kontak. Lesi awal biasanya berupa papul yang mengalami erosi,
teraba keras karena terdapat indurasi. Permukaan dapat tertutup krusta dan terjadi
ulserasi. Ukurannya bervariasi dari beberapa mm sampai dengan 1-2 cm. Bagian yang
mengelilingi lesi meninggi dan keras. Bila tidak disertai infeksi bakteri lain, maka akan
berbentuk khas dan hampir tidak ada rasa nyeri. Kelainan tersebut dinamakan afek
primer. Pada pria tempat yang sering dikenai ialah sulkus koronarius, sedangkan pada
wanita di labia minor dan mayor. Selain itu juga dapat di ekstragenital, misalnya di lidah,
tonsil, dan anus. Pada pria selalu disertai pembesaran kelenjar limfe inguinal medial
unilateral/bilateral. Seminggu setelah afek primer, biasanya terdapat pembesaran kelenjar
getah bening regional di inguinalis medialis. Keseluruhannya disebut kompleks primer.
Kelenjar tersebut solitar, indolen, tidak lunak, besarnya biasanya lentikular, tidak
supuratif, dan tidak terdapat periadenitis. Kulit di atasnya tidak menunjukkan tanda-tanda
radang akut. Afek primer tersebut sembuh sendiri antara tiga sampai sepuluh minggu.
Istilah syphilis d'emblee dipakai, jika tidak terdapat afek primer. Kuman masuk ke
jaringan yang lebih dalam, misalnya pada transfuse darah atau suntikan.9,10

Gambar 2. Sifilis primer; Lesi pada penis- nodul pada glans penis-chancre pada tepi lidah
Sumber : Section 30th Sexually Trasmitted Diseases. In: Freedberg IM, Eizen AZ, Wollf K, Austen
KF, Goldsmith LA, Katz SI, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York :
Mc. Graw Hill ; 2017. p. 752-82

2. Sifilis Sekunder (SII)


Biasanya S II timbul setelah enam sampai delapan minggu sejak S I dan sejumlah
sepertiga kasus masih disertai S I. Lama S II dapat sampai sembilan bulan. Berbeda
dengan S I yang tanpa disertai gejala konstitusi, pada S II dapat disertai gejala tersebut
yang terjadi sebelum atau selama S II. Gejalanya umumnya tidak berat, berupa anoreksia,
turunnya berat badan, malaise, nyeri kepala, demam yang tidak tinggi, dan artralgia.

28
Manifestasi klinis sifilis sekunder dapat berupa berbagai ruam pada kulit, selaput lendir,
dan organ tubuh serta dapat disertai demam dan malaise. Juga adanya kelainan kulit dan
selaput lendir dapat diduga sifilis sekunder, bila ternyata pemeriksaan serologis reaktif.

Gambar 3. Sifilis sekunder; Lesi papuloskuamosa


th
Sumber : Section 30 Sexually Trasmitted Diseases. In: Freedberg IM, Eizen AZ, Wollf K, Austen
KF, Goldsmith LA, Katz SI, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York :
Mc. Graw Hill ; 2017. p. 752-82
Lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa makula, papul, folikulitis, papula skuomosa,
dan pustule, jarang dijumpai keluhan gatal. Lesi vesikobulosa dapat ditemukan pada
sifilis kongenital. Kelainan kulit dapat menyerupai berbagai penyakit kulit sehingga
disebut the great imitator. Selain memberi kelainan pada kulit, SII dapat juga memberi
kelainan pada mukosa, kelenjar getah bening, mata, hepar, tulang, dan saraf. Gejala
lainnya adalah merasa tidak enak badan (malaise), kehilangan nafsu makan, mual, lelah,
demam dan anemia.9,10
3. Sifilis Laten Dini
Laten berarti tidak ada gejala klinis dan kelainan, termasuk alat-alat dalam, tetapi
infeksi masih ada dan aktif. Tes serologik darah positif, sedangkan tes
likuorserebrospinal negatif. Tes yang dianjurkan ialah VDRL dan TPHA. Sifilis laten
merupakan stadium sifilis tanpa gejala klinis, akan tetapi pemeriksaan serologis reaktif.
Dalam perjalanan penyakit sifilis selalu melalui tingkat laten, selama bertahun-tahun atau
seumur hidup. Akan tetapi bukan berarti penyakit akan berhenti pada tingkat ini, sebab
dapat berjalan menjadi sifilis lanjut, berbentuk gumma, kelainan susunan syaraf pusat dan
kardiovaskuler. Fase ini bisa berlangsung bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun atau
bahkan sepanjang hidup penderita. Pada awal fase laten kadang luka yang infeksius
kembali muncul.
4. Stadium Rekuren

29
Relaps dapat terjadi baik secara klinis berupa kelainan kulit mirip SII, maupun
serologik yang telah negatif menjadi positif terutama pada sifilis yang tidak diobati atau
yang mendapat pengobatan tidak cukup. Umumnya bentuk relaps ialah SII, kadang-
kadang SI. Kadang-kadang relaps terjadi pada tempat afek primer dan disebut
monorecidive.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis sifilis ada 3 :
1. Pemeriksaan T.Pallidum
Cara pemeriksaan adalah dengan mengambil serum dari lesi kulit dan dilihat bentuk
dan pergerakannya dengan microskop lapangan gelap. Pemeriksaan dilakukan tiga hari
berturut-turut. Jika hasil pada hari I dan II negatif. Sementara itu lesi dikopres dengan
larutan garam faal. Bila negatif bukan selalu berarti diagnosisnya bukan sifilis, mungkin
kumannya terlalu sedikit. Treponema tampak berwarna putih pada latar belakang gelap.
Pergerakannya memutar terhadap sumbunya, bergerak perlahan-lahan melintasi lapangan
pada pandangan, jika tidak bergerak cepat seperti Borrelia vincentii penyebab stomatitis.
Pemeriksaan lain dengan pewarna menurut Buri, tidak dapat dilihat pergerakannya karena
treponema tersebut telah mati, jadi hanya tampak bentuknya saja. Sementara itu lesi
dikompres dengan larutan garam faal setiap hari. 9,10,11

2. Tes Serologik Sifilis (TSS)


T.S.S. atau Serologic Tests for Sypilis (S.T.S) merupakan pembantu diagnosis yang
penting bagi sifilis. S I pada mulanya memberi hasil T.S.S. negatif (seronegatif),
kemudian menjadi positif (seropositif) dengan titer rendah, jadi positif lemah. Pada S II
yang masih dinireaksi menjadi positif agak kuat, yang akan menjadi sangat kuat pada S II
lanjut. PadaS III reaksi menurut lagi menjadi positif lemah atau negatif. T.S.S. dibagi
menjadi dua berdasarkan antigen yang dipakai, yaitu :
a) Nontreponemal (Tes Reagin)
Pada tes ini digunakan antigen tidak spesifik yaitu kardiolipin yang dikombinasikan
dengan lesitin dan kolestrol, karena itu tes ini dapat memberi Reaksi Biologik Semu
(RBS) atau Biologic Fase Positive (BFP). Antibodinya disebut reagin, yang terbentuk
setelah infeksi dengan T.pallidum, tetapi zat tersebut terdapat pula pada berbagai penyakit
lain dan selama kehamilan. Reagin ini dapat bersatu dengan suspensi ekstrak lipid dari
binatang atau tumbuhan, menggumpal membentuk masa yang dapat dilihat pada

30
tesflokulasi. Massa tersebut juga dapat bersatu dengan komplemen yang merupakan dasar
bagi tes ikatan komplemen.10,11 Contoh tes nontreponemal tes fiksasi komplemen :
Wasserman (WR), Kolmer. Tes flokulasi : VDRL (Venereal Disease Research
Laboratories), Kahn, RPR (Rapid Plasma Reagin), ART (Automated Reagin Test), dan
RST (Reagin Screen Test).

b) Tes Treponemal
Tes ini bersifat spesifik karena antigennnya ialah treponema atau ekstraknyadan dapat
digolongkan menjadi empat kelompok :
 Tes Imobilisasi : TPI (Treponemal pallidum Imobilization Test).
 Tes fiksasi komplemen : RPCF (Reiter Protein Complement FixationTest).
 Tes Imunofluoresen : FTA-Abs (Fluorecent Treponemal Antbody Absorption
Test), ada dua : lgM, lgG; FTA-Abs DS (FluorescentTreponemal Antibody-
Absorption Double Staining).
 Tes hemoglutisasi : TPHA (Treponemal pallidum Haemoglutination Assay),
19SlgM SPHA (Solid-phase Hemabsorption Assay), HATTS (Hemagglutination
Treponemal Test for Syphilis), MHA-TP (Microhemagglutination Assay for
Antibodies to Treponema pallidum).
TPI merupakan tes yang paling spesifik, tetapi mempunyai kekurangan yaitu
biasanya mahal, teknis sulit, membutuhkan waktu banyak. Selain itu juga reaksinya
lambat , baru positif pada akhir stadium primer, tidak dapat digunakan untuk menilai
hasil pengobatan, hasil dapat negatif pada sifilis dini dan sangat lanjut. RPCF sering
digunakan untuk tes screening karena biayanya murah; kadang-kadang didapatkan
reaksi positif semu. FTA-Abs paling sensitif (90%), terdapat dua macam yaitu untuk
lgM dan lgG sudah positif pada waktu timbuk kelainan S I. lgM sangat reaktif pada
sifilis dini, pada terapi yang berhasil titer lgM cepat turun, sedangkan lgG lambat.
lgM penting untuk mendiagnosis sifilis kongenital. TPHA merupakan tes treponemal
yang dianjurkan karena teknis dan pembacaan hasilnya mudah, cukup spesifik dan
sensitif, menjadi reaktifnya cukup dini. Kekurangannya tidak dapat dipakai untuk
menilai hasil terapi, karena tetap reaktif dalam waktu yang lama. Tes ini sudah dapat
dilakukan di Indonesia. Bila hasil tes serologik tidak sesuai dengan klinis, tes tersebut
peru diulangi, karena mungkin terjadi kesalahan teknis.

31
Kalau perlu di laboratorium lain. Demikian pula jika hasil tes yang satu
dengan yang lain tidak sesuai, misalnya titer VDRL rendah (1/4), sedangkan titer
TPHA tinggi (1/1024) Pemeriksaan mikroskopis lapangan gelap terhadap lesi kulit,
merupakan pemeriksaan yang paling spesifik untuk diagnosis sifilis. Kuman
spirochaeta hidup berbentuk khas seperti sekrup, dapat terlihat pada pemeriksaan slide

Pengobatan SIFILIS STD 1 & 2 SIFILIS LATEN


Benzatin penisilin 2,4 juta IU, IM dosis Benzatin penisilin 2.4 juta unit IM, 1 x
tunggal ATAU seminggu, selama 3 minggu berturut-turut
ATAU
Penisilin-G prokain dalam akua 600.000 Penisilin-G prokain dalam akua 600.000 IU
IU/hari IM selama 10 hari IM, 1 x sehari selama 30 hari

eksudat secara mikroskopis. Uji absorpsi antibodi treponema menggunakan


fluoresensi akan mendeteksi antigen T.pallidum yang terdapat pada jaringan, cairan
mata, LCS, secret trakeobronkial dan eksudat pada lesi. Pemeriksaan ini sangat
sensitif untuk mendeteksi sifilis pada berbagai tahap. Sekali reaktif, ia akan tetap
reaktif. 4,6,9,12

Penatalaksanaan
Pada pengobatan jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga diobati, dan selama
belum sembuh penderita dilarang bersanggama. Pengobatan dimulai sedini mungkin, makin
dini hasilnya makin baik.

32
Bila alergi penisilin
Tetrasiklin* 4 x 500 mg/hari per oral selama Tetrasiklin* 4 x 500 mg/hari per oral selama
30 hari ATAU >30 hari ATAU
Doksisiklin* 2 x 100 mg/hari per oral Doksisiklin* 2 x 100 mg/hari per oral selama
selama 30 hari ATAU >30 hari ATAU
Eritromisin 4 x 500 mg/hari per oral selama Eritromisin 4 x 500 mg/hari per oral selama
30 hari >30 hari

Ulkus Mole

Definisi
Ulkus mole (ulcus molle) atau sering disebut Choncroid, ialah penyakit infeksi
ulseratif akut, biasanya terjadi di genitalia, dapat inokulasi sendiri (auto-inoculable),
disebabkan oleh Haemophilus ducreyi, basil gram negatif yang juga bersifat anaerob
fakultatif, yang membutuhkan hemin (faktor x) untuk pertumbuhannya.9,12

Gambar 4 . Chancroid
th
Sumber : Section 30 Sexually Trasmitted Diseases. In: Freedberg IM, Eizen AZ, Wollf K, Austen
KF, Goldsmith LA, Katz SI, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York :
Mc. Graw Hill ; 2017. p. 752-82

Epidemiologi
Lebih banyak di diagnosis pada laki-laki dengan perbandingan rasio antara laki-laki
dan perempuan adalah antara 3:1 sampai 25:1 atau lebih tinggi. Laki – laki yang tidak
disirkumsisi memiliki risiko 2 kali lebih tinggi daripada laki-laki yanng disirkumsisi.
Prevalensi ulkus mole tinggi pada kelompok sosial ekonomi rendah, terutama pada pekerja
seks dan tampaknya pekerja seks menjadi reservoir pada semua laporan epidemi penyakit ini.
Di antara pekerja seks komersial kelas bawah, prevalensi ulkus genital antara 5-35% dan H.
ducreyi dapat dikultur dari kira-kira 50% dari ulkus tersebut.

Etiologi

33
Penyebab ulkus mole ialah Haemophilus ducreyi yang merupakan basil gram negatif
yang juga bersifat anaerob fakultatif, yang membutuhkan hemin (faktor x) untuk
pertumbuhannya. Basil ini juga dapat mereduksi nitrat menjadi nitrat dan mengandung 0,38
mol DNA guanosin plus cytosine. Organisme ini kecil, tidak bergerak, tidak membentuk
spora dan memperlihatkan rantai streptobasilaris yang khas pada pewarnaan gram, terutama
pada kultur. Haemophilus ducreyi tidak membutuhkan faktor Nikotinamide Adenin
Dinucleotide (NAD, faktror V) untuk mencerna hemin, dan tidak menghasilkan H2S, katalase
dan indole. H. ducreyi juga membutuhkan zat besi yang didapat dari intraselular dengan cara
menginvasi atau merusak sel tersebut.

Patogenesis

Haemophillus ducreyi

Resistensi mekanisme Menembus lapisan Produksi


pertahanan tubuh epitel kulit exotoxin

Infeksi mukosa kelamin

Infeksi kelenjar getah bening Limfadenitis

24 jam

Mikropustul di epidermis
48 jam

Mikropustul di epidermis
dan dermis

Sel leukosit PMN, Makrofag,


kolagen, fibrin3,5

Manifestasi klinis
Masa inkubasi berkisar antara 4 sampai 7 hari dan jarang yang kurang dari 3 hari atau
lebih dari 10 hari. Lesi kebanyakan multiple, jarang soliter, biasanya pada daerah genital,

34
jarang pada daerah ekstragenital. Tidak disertai gejala prodromal. Pembentukan ulkus mole,
mula-mula kelainan kulit berupa papula lunak dengan kulit yang eritema sekelilingnya. Tidak
ditemukan adanya vesikel pada tiap tingkat perjalanan penyakit. Dalam 24 sampai 48 jam,
papula akan berubah menjadi pustula, kemudian mengalami erosi dan ulserasi. Pinggir ulkus
tidak teratur dan bergaung, dasar ulkus biasanya ditutupi jaringan nekrotik dan eksudat yang
berwarna abu-abu kekuningan di atas jaringan granulasi yang mudah berdarah. Ulkus mole
biasanya lunak dan sering kali multiple. 9,12,13
Tempat predileksi pada laki-laki ialah permukaan mukosa preputium, sulkus
koronarius, frenulum penis, dan batang penis. Dapat juga timbul lesi di uretra, skrotum,
perineum, atau anus. Pada perempuan ialah labia, klitoris, fourchette, vestibuli, anus, dan
serviks. Boleh juga terjadi lesi ekstragenital, terdapat pada lidah, jari tangan,bibir, payudara,
umbilikus dan konjungtiva. Beberapa variasi ulkus mole telah dilaporkan, di antaranya ialah
ulkus mole folikularis, dwarf chancroid, transient chancroid, papular chancroid, giant
chancroid, phagedenic chancroid dan tipe serpiginosa

Pemeriksaan penunjang
1. Mikroskopis
Diambil bahan pemeriksaan dari tepi ulkus yang tergaung, dibuat apusan pada gelas
alas, kemudian dibuat pewarnaan gram, Unna-Pappenhein, Wright, atau Giemsa.
Haemophilus ducreyi ini muncul sebagai bakteri berbentuk batang gram-negatif. Namun
pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan spesifitas yang rendah, hanya sekitar 30-50%
kasus ditemukan basil berkelompok atau berderet seperti rantai, sehingga tidak cukup
menganjurkan untuk tujuan diagnostik.9,12,13

Gambar 5 . gram-negative bacterium Haemophilus ducreyi


Sumber : https://courses.lumenlearning.com/microbiology/chapter/bacterial-infections-of-
the-reproductive-system

2. Kultur / Biakan Kuman

35
Bahan diambil dari pus bubo atau lesi ditanam pada perbenihan/pelat agar khusus
yang ditambahkan darah kelinci yang sudah didefibrinasi. Sampel kultur harus diambil
menggunakan kapas dengan cara swab dari dasar ulkus yang terkikis setelah sebelumnya
dibersihkan dengan cara dibilas menggunakan larutan salin steril. Inkubasi membutuhkan
waktu 48 jam. Medium yang mengandung gonococcal medium base, ditambah dengan
hemoglobin 1%, Iso-Witalex 1%, dan vankomisin 3mcg/ml akan mengurangi
kontaminasi yang timbul. Kultur bakteri Haemophilus ducreyi ini sangat teliti dan selektif
yang kaya akan media kultur yang diperlukan untuk isolasi. Beberapa media yang
berbeda digunakan untuk mengisolasi bakteri Haemophilus ducreyi dari spesimen klinis.2,

Penatalaksanaan
1. Siprofloksasin* 2 x 500 mg per oral, dosis tunggal selama 3 hari atau
2. Azitromisin 1 gram per oral, dosis tunggal atau
3. Eritromisin 4 x 500 mg per oral, selama 7 hari atau
4. Seftiakson 250 mg injeksi intramuskular, dosis tunggal
Catatan : * tidak boleh diberikan kepada ibu hamil.
Pengobatan lokal untuk ulkus dapat dilakukan dengan kompres atau rendam dalam
larutan salin sehingga dapat menghilangkan debris nekrotik dan mempercepat
penyembuhan ulkus. Aspirasi jarum dianjurkan pada bubo 5cm atau lebih, dengan
fluktuasi ditengah, untuk menghindari pecahnya bubo.
Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada penderita ulkus mole ialah adenitis inguinal, fimosis
dan parafimosis, fisura uretra, fistel rektovagina, mixed chancre dan infeksi campuran dengan
organisme Vincentii.
Herpes Simpleks Genitalis

Definisi
Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabakan oleh virus Herpes simplex (virus
herpes hominis) tipe I atau tipe II yang ditandai oleh adanya vesikel yang berkelompok diatas
kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah dekat mukokutan, sedangkan infeksi dapat
berlangsung baik primer maupun rekurens.(1) Infeksi herpes Simpleks Virus (HSV) sangat
umum dan disebabkan oleh 2 tipe HSV yang berhubungan dekat. Manifestasi klinis utamanya
adalah infeksi mukokutaneus, dengan HSV tipe 1 (HSV-1) yang hampir selalu dihubungkan

36
dengan penyakit-penyakit orofasial, sedangkan HSV tipe 2 (HSV-2) biasanya dihubungkan
dengan infeksi perigenital.14

Etiologi
HSV merupakan bagian dari famili Herpesviridae, grup dari “lipid-enveloped double-
stranded DNA virus” yang bertanggung jawab untuk berbagai macam infeksi yang umum
pada manusia. Kedua serotipe HSV terkait erat dengan Varicella-Zoster Virus (VZV), adalah
anggota dari subfamili virus α-Herpesviridae. α-Herpesviridae menginfeksi beberapa jenis sel
dalam kultur, tumbuh pesat, dan efisien menghancurkan sel inang.14
Kedua tipe HSV baik tipe 1 maupun tipe 2 didapatkan melalui kontak langsung, droplet,
adanya sekret infeksius yang masuk melalui kulit atau membran mukosa, dimana infeksi
primernya tampak jelas. Infeksi primer tipe 1 terjadi terutama pada bayi dan anak-anak ,
dimana pada umumnya kasus ini bersifat minimal atau kadang-kadang subklinis. Infeksi tipe
2 terjadi terutama saat setelah pubertas, dan kadang transmisinya melalui hubungan seksual.
Infeksi HSV tipe 2 primer umumnya lebih sering bersifat simptomatik.14
Pada kebanyakan kasus dari herpes labialis dan fasialis yang disebabkan oleh HSV-1
didapatkan pada masa anak-anak sebelum berumur 4 tahun. Infeksi awal mungkin berasal
dari kontak droplet dan dalam bentuk gingivostomatitis virus. Herpes genital pada umumnya
disebabkan oleh HSV-2, dan biasanya didapatkan karena aktivitas seksual. Infeksi primer
mungkin dalam bentuk vulvovaginitis berat pada pasien wanita.14

Patogenesis
Secara in vivo, infeksi HSV dapat dibagi dalam 3 tahap, yaitu infeksi akut, latensi dan
reaktivasi virus. Selama fase infeksi akut, virus bereplikasi di tempat inokulasinya yaitu pada
permukaan mukokutaneus, yang menyebabkan adanya lesi primer dimana virus ini dengan
cepat menyebar dan menginfeksi saraf sensoris terminal, yang akan menjalar ke nukleus
neuronal pada ganglion saraf sensoris regional. Pada bagian neuron yang terinfeksi ini,
infeksi laten terjadi sebagai episom dan ekspresi gen HSV tidak tampak. Pada tahap akhir,
replikasi tereaktivasi seiring dengan transpor aksonal anterograde dari replikasi virus yang
baru ke perifer, pada port of entry lesi awal atau di dekatnya.15,16
HSV-1 tereaktivasi lebih sering berasal dari ganglia trigeminal, sedangkan HSV-2
teraktivasi terutama yang berasal dari ganglia sakralis. Kecepatan reaktivasi HSV ini
dipengaruhi oleh kuantitas dari virus DNA yang laten pada ganglion saraf. Selain itu, faktor
host sangat mempengaruhi reaktivasi HSV ini. Eksperimen pada hewan percobaan hewan

37
yang sakit, reaktivasi ini terinduksi oleh adanya paparan iradiasi ultraviolet, hipertermia,
trauma lokal dan oleh stressor fisologis lainnya. Hal ini juga umumnya berdampak sama pada
manusia.

Manifestasi Klinis
Infeksi dari penyakit ini dapat dibagi menjadi 3 tingkat yaitu infeksi primer, fase laten, dan
infeksi rekurens.
1. Infeksi Primer
Setelah masa inkubasi 3-5 hari (rentang 1-40 hari), vesikel kecil muncul pada alat
kelamin, sering dikaitkan dengan gejala yang mirip dengan flu. Vesikel tersebut segera
pecah meninggalkan ulkus kecil yang akhirnya dapat bergabung untuk menghasilkan area
ulserasi yang cukup luas dan sangat nyeri. Lesi mulai sembuh setelah sekitar 12 hari.
Herpes dapat menyebabkan uretritis yang ditandai dengan disuria. 90% wanita memiliki
servisitis dan menghasilkan sekret vagina berlebihan. Gambaran klinis lainnya termasuk
nyeri limfadenopati inguinal, sakit kepala dan fotofobia (meningitis aseptik), retensi urin
(radiculopathy sacral), faringitis, dan lesi ekstra genital (di jari, bibir, bokong).14,15,16
2. Fase Laten
Pada fase ini berarti tidak ditemukan gejala klinis pada penderita, tetapi HSV dapat
ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis.(1) Pada fase ini, episode
klinis pertama dari herpes simpleks terjadi pada pasien-pasien dengan riwayat paparan
virus sebelumnya (tipe 1 atau tipe 2). 14,15,16
3. Infeksi Rekuren
Infeksi ini berarti HSV pada ganglion dorsalis yang dalam tidak aktif, dengan faktor
pencetus menjadi aktif dan mencapai kulit sehingga menimbulkan gejala klinis. Faktor
pencetus itu dapat berupa trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur, hubungan seksual,
dan sebagainya) trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi) dan dapat pula timbul
akibat jenis makanan dan minuman yang merangsang.
Gejala klinis yang timbul lebih ringan dari pada infeksi primer dan berlangsung kira-
kira 7 sampai 10 hari. Sering ditemukan gejala prodromal lokal sebelum timbul vesikel
berupa rasa panas, gatal, dan nyeri. Infeksi rekuren ini dapat timbul pada tempat yang
sama (loco), atau tempat lain/tempat di sekitarnya (non loco).1

38
Gambar 6. Herpes simpleks pada penis dan vulva
Sumber : Section 30th Sexually Trasmitted Diseases. In: Freedberg IM, Eizen AZ, Wollf K,
Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th
ed. New York : Mc. Graw Hill ; 2017. p. 752-82

Gambar 7. Herpes rekuren pada penis dan vulva


Sumber : Section 30th Sexually Trasmitted Diseases. In: Freedberg IM, Eizen AZ, Wollf K,
Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th
ed. New York : Mc. Graw Hill ; 2017. p. 752-82

Kira-kira 90% pasien dengan herpes genital tipe 2 akan mengalami rekurensi dalam
satu tahun sejak serangan pertama. Sedangkan pada HSV tipe 1 55% kemungkinan pasien
akan mengalami rekurensi. Frekuensi dan rekurensi ini juga berbeda, dimana rata-rata
pada HSV-2 terjadi 3-4 kali serangan per tahun dibandingkan dengan HSV-1 yaitu 2 kali
dalam setahun. Gejala herpes genital yang rekuren ini kadang-kadang ringan. Sekitar 55%
dari pasien akan mengalami gejala prodromal seperti “pins and needles” genital, nyeri
tajam pada bokong dan tungkai, atau rasa tidak nyaman pada inguinal yang dihubungkan
dengan limfadenopati. Gejala neuralgia sakralis merupakan kasus yang paling menyita
perhatian pada kasus rekurensi ini pada beberapa pasien.
Manifestasi klinis infeksi HSV tergantung dimana lokasi dan status imunologis dari
penderita. Infeksi primer dengan HSV, dinamakan demikian karena terjadi pada orang
yang tidak pernah memiliki kekebalan tubuh sebelumnya baik terhadap HSV-1 atau

39
HSV-2, umumnya memiliki gejala yang lebih berat, dengan gejala dan tanda sistemik,
dan memiliki kemungkinan terjadinya komplikasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
episode rekuren.
1. Herpes Orolabialis
Herpes orolabialis hampir semua disebabkan oleh HSV-1. Pada 1 % kasus atau kurang
pada kasus infeksi baru terjadi gingivostomatitis herpetis, terutama pada anak-anak dan
dewasa muda. Onset biasanya diikuti dengan demam tinggi, limfadenopati regional, dan
malaise. Manifestasi klinis yang paling sering muncul pada orolabialis herpes ini adalah
“cold sore” atau “demam blister”.
2. Herpetic Sycosis
Infeksi herpes simpleks awal atau rekuren (biasanya akibat HSV-1) dapat berdampak
terutama pada folikel rambut. Tampilan klinis mungkin beragam mulai dari papul
folikuler yang tererosi hingga lesi yang luas hingga mencapai janggut. Onset muali dari
sangat akut (beberapa hari) hingga subakut atau kronik.
3. Herpes genitalia
Herpes genital biasanya disebabkan oleh HSV-2, menyebabkan 85 % dari lesi awal dan
lebih dari 98 % lesi rekuren. Herpes genital menyebar melalui kontak kulit, biasanya pada
aktivitas seksual. Masa inkubasinya sekitar 5 hari. Pada hakikatnya semua orang yang
terinfeksi dengan HSV-2 kana mengalami rekurensi, bahkan jika infeksi awal merupakan
subklinis atau asimptomatik. Rekurensi diawali dengan gejala prodromal rasa terbakar,
gatal, atau rasa kesemutan. Biasanya dalam 24 jam, papul merah akan muncul,
berkembang menjadi blister berisi cairan jernih selam 24 jam, dan terjadi erosi 24-36 jam
berikutnya, dan akan membaik dalam 2-3 hari kedepan.
4. Herpes Simpleks intrauterin dan pada neonatus
70 % dari kasus herpes simpleks neonatus disebabkan oleh HSV-2. Infeksi HSV-1
neonatus umumnya didapatkan post natal melalui kontak dengan penyakit orolabial,
tetapi mungkin juga terjadi intrapartum jika ibunya terinfeksi HSV-1. Spektrum klinis
dari herpes simpleks neotaus ini dapat dibagi ke dalam 3 bentuk : infeksi lokal pada kulit,
mata atau mulut (SEM), penyakit sistem saraf pusat (SSP), dan penyakit yang menyebar
(ensefalitis, hepatitis, pneumonia, dan koagulopati).

Pemeriksaan Penunjang
1. Pewarnaan Tzanck

40
Spesimen diperoleh dari dasar blister yang segar dan telah ruptur, dan pewarnaan
dilakukan dengan spesimen diletakkan pada kaca objek dan diwarnai dengan Giemsa atau
pewarna lain yang mirip. Hasil pewarnaan yang positif akan memperlihatkan efek dari
virus herpes yaitu dengan ditemukannya keratinosit dengan inti balon dan sel raksasa
multinuklear dengan perubahannya. Tes ini cepat, murah dan dapat dilakukan dengan
peralatan yang mudah dijangkau. Tingkat sensitivitas pewarnaan yang dilakukan oleh
orang yang berpengalaman dengan menggunakan material yang berasal dari vesikel segar
mencapai lebih dari 70%. Pada lesi pustular, sensitivitasnya menurun. Tes ini tidak dapat
membedakan HSV 1, HSV 2, atau herpes zoster virus.

Gambar 8. Tampak sel raksasa berinti banyak


Sumber : http://www.medthical.com/herpes-simplex-virus.html

2. Biopsi
Biopsi lesi herpes menunjukkan gambaran yang patognomonis tetapi pemeriksaan ini
hanya dilakukan untuk meneliti lesi yang secara klinis atipikal. Biopsi tidak dapat
membedakan HSV 1, HSV 2 dan HZV.
3. Tes Fiksasi Komplemen
Titer akan meningkat secara cepat selama infeksi primer dan akan bernilai jika didapatkan
titer pada fase akut dan fase convalescent. Pada kasus rekurensi, titer memperlihatkan
perubahan yang sedikit dan tidak bermakna. Western Blot dan tes immunoassay enzyme-
linked jika tersedia, sensitif dan dapat membedakan jenis virus.

4. Kultur
Kebanyakan laboratorium sekarang dapat melakukan pembagian tipe herpes.
Kemungkinan mendapatkan kultur yang positif akan sangat tergantung pada tahap lesi:
ulkus melepaskan virus lebih bayak dari lesi krusta. Hal ini perlu dijelaskan kepada
pasien yang mungkin tidak sepenuhnya mengerti mengapa mereka didiagnosis memiliki

41
herpes pada konsultasi awal mereka, dan kemudian satu atau dua minggu kemudian
dikatakan bahwa "tes herpes" mereka adalah negatif. Beberapa laboratorium sekarang
melakukan PCR untuk mendiagnosis infeksi herpes. Hal ini dianggap sebagai metode
yang jauh lebih sensitif dibandingkan dengan diagnosis biakan virus.

5. Tes Rapid Immunofluorescence untuk Herpes


Tes ini memerlukan sistem antibodi monoklonal dan menunjukkan tingkat sensitivitas
sebesar 65%. Selain itu tes ini dapat membedakan HSV 1, HSV 2 dan HZV. Spesimen
yang diambil berasal dari pewarnaan dari blister. Tes ini sangat praktis dan mudah. Hasil
tes ini bisa didapatkan dalam waktu 1 jam atau kurang setelah pengambilan spesimen
dilakukan.
6. Polymerase Chain Reaction (PCR)
Tes PCR yang dilakukan dimana sampel berasal dari spesimen blister yang menunjukkan
sensitivitas 83% dimana tes ini sama dengan kultur. PCR memberikan hasil yang cepat
dan dapat membedakan HZV dan HSV-1 dan HSV-2 dan HZV. Selain itu tes ini juga
positif ketika spesimen diambil dari krusta dan material yang berasal dari lesi dimana
hasil kultur, Tzanck, RIF sulit dinilai. Namun teknologi ini mahal dan tidak tersedia di
semua tempat. PCR sebaiknya dilakukan untuk kasus-kasus yang atipik atau pada
keadaan-keadaan tertentu. Dengan PCR, HCZ dan HSV dapat dibedakan dalam waktu 6
jam.
7. Tes Serologi
Tes serologi yang membedakan antara antobodi HSV tipe 1 dan tipe 2 sekarang tersedia
tetapi harus digunakan secara selektif. Tes serologi tidak dianjurkan dilakukan pada
diagnostik untuk herpes primer. Serologi memiliki peran berguna mungkin pada pasien
dengan ulserasi genital yang berulang dan herpes dengan hasi; kultur negatif. Sebuah
hasil negatif hampir mengeliminasi virus herpes sebagai penyebab ulserasi, meskipun
hasil negatif palsu memang terjadi, sedangkan hasil yang positif untuk antibodi HSV tipe
2 membuat diagnosis herpes genital sangat mungkin.6,7 Serologi juga dapat membantu
dalam pasangan yang salah satunya telah terinfeksi virus herpes genital sebelumnya dan
yang lainnya tidak memberikan riwayat infeksi. Tes serologi HSV tipe 2 yang positif
pada pasangan yang tidak memiliki riwayat klinis herpes menunjukkan infeksi
sebelumnya dan tingkat imunitas, dengan asumsi bahwa pasangan yang terinfeksi telah
menderita infeksi tipe 2.

42
Penatalaksanaan
Terdapat 2 macam cara pengobatan
1. Terapi episodik: obat diberikan setiap episode timbul lesi, baik lesi inisial atau lesi
rekurens.
2. Terapi supresi: bila rekurensi terjadi 6 kali atau lebih dalam setahun, diberi obat selama
1 tahun dengan dosis yang lebih rendah dari dosis episodik.

LESI PRIMER LESI REKURENS


Asiklovir 5 x 200 mg/hari per Gejala ringan: tidak diberikan pengobatan
oral, selama 7 hari ATAU
Asiklovir 3 x 400 mg/hari selama Gejala sedang: dapat diberikan asiklovir
7 hari ATAU krim
Valasiklovir 2 x 500 mg/hari per Gejala berat dan lama:
oral, selama 7 hari. - Asiklovir 5 x 200 mg/hari per oral, selama
5 hari ATAU
- Valasiklovir 2 x 500mg/hari per oral
selama 5 hari.

Bila gejala berat: dapat Terapi supresi, diberikan selama 1 tahun:


diberikan asiklovir 5 mg/kgBB - asiklovir 2-3 x 200 mg perhari ATAU
intravena, setiap 8 jam selama 7 - valasiklovir 1 x 500 mg perhari
hari

Komplikasi
Walaupun herpes labialis, herpers vulvovaginitis, whitlow herpetikum dan herpes
gladiatorum merupakan manifestasi klinis yang umum dari infeksi HSV-1 dan HSV-2, ada
beberapa gambaran dari terlibatnya virus herpes pada eritema multiforme, dermatitis atopik,
dermatitis lichenoid, dan keratosis seboroik. Lichen simpleks kronik (LSC) dan Carpal
Tunnel Syndrome (CTS) yang akut merupakan komplikasi dari virus.

DAFTAR PUSTAKA

1. Daili FS, Indriatmi W,Zubier F, Nilasari H. Infeksi Menular Seksual. Jakarta:


Kementrian Kesehatan RI; 2015.
2. Djuanda Adhi, dkk, (2007). Ilmu penyakit kulit dan kelamin. FKUI. Jakarta

43
3. Wolff K, Johnson RA, Saavedra AP. Fitzpatrick Color Atlas and Synopsis of Clincal
Dermatology. New York: McGraw Hill Education;2013.
4. Cook, G. 2009. Trichomonal Infection. Saunders Elsevier, Amsterdam.
5. Departemen Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNAIR, Atlas Penyakit Kulit dan
Kelamin. Surabaya: FK UNAIR;2009
6. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI). Panduan
Layanan Klinis dokter Spesialis Dermatologi dan Venereologi.2014
7. Ghadishah,Delaram.Reference:Condyloma-Acuminata.
http://emedicine.medscape.com/article/781735-overview
8. ArsoveP.Reference:LymphogranulomaVenereum.
https://emedicine.medscape.com/article/220869-overview
9. Djuanda A, indriatmi W, Nilasari H. Penyakit Kelamin dalam Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Edisi ke-7 cetakan kedua. Jakarta : FKUI; 2016. Hal 455-80
10. Katz KA. Syphilis – Section 30th Sexually Trasmitted Diseases. In: Freedberg IM,
Eizen AZ, Wollf K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, eds. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York : Mc. Graw Hill ; 2017. p. 752-
82
11. Hutapea NO. Sifilis. Dalam: Daili SF. Makes WIB, Zubier F, Judanarso J. Infeksi
menular seksual. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;2005.h.70-88
12. Murtiastutik D, Barakbah J, Hans L. Sunarko M. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual-
Fakultas kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya : Airlangga University Press ;
2008. hal.127-64
13. Sakuma TH, Coimbra DD, Lupi O. Chancroid.Dalam: Gross G, Tyring SK, editor.
Sexually transmitted infection and Sexually transmitted diseases. Berlin: Springer-
Verlag;2011.p.183-9
14. Mindel A. Genital Herpes. Dalam: Gross G, Tyring SK, editor. Sexually transmitted
infection and Sexually transmitted diseases. Berlin: Springer-Verlag;2011.p.217-42
15. Chen S, et al. Seroposivity and Risk Factors for Herpes Simplex Virus Type 2
Infection among Female Sex Workers in Guangxi, China. PubMed Med. J. 2013; Vol
8: p. 1-5
16. Stanberry LR. Genital and perinatal herpes simplex virus infections. Dalam: Stanberry
LR, Rosenthal SL, editor.Sexually transmitted diseases. Vaccines,prevention, and
control. Edisi ke-2. Amsterdam: Academic Press; 2013.p.273-313

44

Anda mungkin juga menyukai