Anda di halaman 1dari 66

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kota selalu berkembang dari waktu ke waktu, perkembangan yang dalam hal ini

menyangkut aspek-aspek politik, sosial, budaya, teknologi, ekonomi dan fisik (Yunus,

2000),yang kemudian menyisakan berbagai elemen kota sebagai saksi dari perkembangan

yang terjadi. Elemen-elemen yang dimaksud adalah berbagai peninggalan atau aset

bersejarah yang dapat berupa bangunan bersejarah, monumen atau benda bersejarah

lainnya. Peninggalan atau aset bersejarah tersebut merupakan kekayaan yang tidak dapat

tergantikan dan akan memberikan citra terhadap masing-masing kota atau kawasan

tersebut. (Widayati, 2000:88)

Pola penggunaan lahan (fungsi bangunan), langgam arsitektur, dan aktivitas

kehidupan masyarakat merupakan variabel yang membentuk karakter suatu kawasan

menjadi berbeda dan unik (Ebbe dalam Kwanda, 2004: 2).

Kawasan Benteng Keraton Buton merupakan kawasan bersejarah eks pusat

pemerintahan Kesultanan Buton yang menyimpan banyak peninggalan sejarah

Kesultanan Buton baik berupa bangunan maupun situs bersejarah.

Kawasan Benteng Keraton Buton selain merupakan kawasan bersejarah, juga dikenal

sebagai kawasan permukiman yang memiliki kekhasan, yaitu bangunan hunian di

kawasan mengikuti gaya arsitektur tradisional Buton, hal ini merupakan salah satu ciri

1
khas kawasan yang membedakannya dengan kawasan lain di Kota Bau-bau. Dari sinilah

awal terbentuknya Kota Baubau hingga menjadi seperti sekarang.

Kota Bau-Bau atau Baubau adalah sebuah pemerintahan kota di Pulau Buton,

Sulawesi Tenggara. Bau-Bau memperoleh status kota pada tanggal 21 Juni 2001

berdasarkan UU No. 13 Tahun 2001. Kota Baubau didirikan pada tanggal 17 Oktober

1541.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Awal Terbentuknya Kota Baubau

Pada mulanya, Baubau merupakan pusat Kerajaan Buton (Wolio) yang berdiri pada

awal abad ke-15 (1401 – 1499). Buton mulai dikenal dalam Sejarah Nasional karena telah

tercatat dalam naskah Negara Kertagama Karya Prapanca pada Tahun 1365 Masehi dengan

menyebut Buton atau Butuni sebagai Negeri (Desa) Keresian atau tempat tinggal para resi

dimana terbentang taman dan didirikan lingga serta saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia

Mahaguru. Cikal bakal negeri Buton untuk menjadi sebuah Kerajaan pertama kali dirintis

oleh kelompok Mia Patamiana (si empat orang) Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo,

Sijawangkati yang oleh sumber lisan di Buton mereka berasal dari Semenanjung Tanah

Melayu pada akhir abad ke – 13.

Nama Buton berasal dari kata Butuni, artinya tempat persinggahan. Letaknya strategis

diujung tenggara Sulawesi, maka sejak dulu Pulau Buton merupakan jalur lintas niaga. Letak

Kerajaan Buton di Sulawesi Tenggara, tepatnya di kota Baubau. Wilayahnya meliputi Pulau

Buton dan pulau-pulau di sekitar Sulawesi Tenggara. Kerajaan yang kemudian menjadi

Kesultanan ini, memiliki sejarah sistim pemerintahan monarki parlementer selama tujuh

abad.

3
Empat orang (Mia Patamiana) tersebut terbagi dalam dua kelompok: Sipanjonga dan

Sijawangkati; Simalui dan Sitamanajo. Kelompok pertama beserta para pengikutnya

menguasai daerah Gundu-Gundu; sementara kelompok kedua dengan para pengikutnya

menguasai daerah Barangkatopa.Sipanjongan dan para pengikutnya meninggalkan tanah asal

di Semenanjung Melayu menuju kawasan timur dengan menggunakan sebuah perahu

palolang pada bulan Syaban 634 Hijriyah (1236 M). Dalam perjalanan itu, mereka singgah

pertama kalinya di pulau Malalang, terus ke Kalaotoa dan akhirnya sampai di Buton,

mendarat di daerah Kalampa. Kemudian mereka mengibarkan bendera Kerajaan Melayu

yang disebut bendera Longa-Longa. Ketika Buton berdiri, bendera Longa-Longa ini dipakai

sebagai bendera resmi di kerajaan Buton.Sementara Simalui dan para pengikutnya

diceritakan mendarat di Teluk Bumbu, sekarang masuk dalam daerah Wakarumba. Pola

hidup mereka berpindah-pindah hingga akhirnya berjumpa dengan kelompok Sipanjonga.

Akhirnya, terjadilah percampuran melalui perkawinan. Sipanjonga menikah dengan Sibaana,

saudara Simalui dan memiliki seorang putera yang bernama Betoambari. Setelah dewasa,

Betoambari menikah dengan Wasigirina, putri Raja Kamaru. Dari perkawinan ini, kemudian

lahir seorang anak bernama Sangariarana. Seiring perjalanan, Betoambari kemudian menjadi

penguasa daerah Peropa, dan Sangariarana menguasai daerah Baluwu. Dengan terbentuknya

desa Peropa dan Baluwu, berarti telah ada empat desa yang memiliki ikatan kekerabatan,

yaitu: Gundu-Gundu, Barangkatopa, Peropa dan Baluwu. Keempat desa ini kemudian disebut

Empat Limbo, dan para pimpinannya disebut Bonto. Kesatuan keempat pemimpin desa

(Bonto) ini disebut Patalimbona. Mereka inilah yang berwenang memilih dan mengangkat

seorang Raja.

Selain empat Limbo di atas, di pulau Buton juga telah berdiri beberapa kerajaan kecil

yaitu: Tobe-Tobe, Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga. Seiring perjalanan sejarah,

kerajaan-kerajaan kecil dan empat Limbo di atas kemudian bergabung dan membentuk

4
sebuah kerajaan baru, dengan nama kerajaan Buton. Saat itu, kerajaan-kerajaan kecil tersebut

memilih seorang wanita yang bernama Wa Kaa Kaa sebagai raja.

Tahun 1332 berdiri kerajaan Buton. Yang

menarik adalah, awal pemerintahan dipimpin

seorang perempuan bergelar Ratu Wa kaa Kaa.

Kemudian raja kedua pun perempuan yaitu Ratu

Bulawambona. Selama masa pra Islam, di Buton

telah berkuasa enam orang raja, dua di antaranya

perempuan antara lain Ratu Wa kaa Kaa. Kemudian

raja kedua pun perempuan yaitu Ratu

Bulawambona. Setelah dua raja perempuan, Wilayah Kekuasaaan Buton

dilanjutkan raja Bataraguru, raja Tuarade, raja Rajamulae, dan terakhir raja Murhum.

Perubahan Buton menjadi kesultanan terjadi pada tahun 1542 M (948 H), bersamaan dengan

pelantikan Lakilaponto sebagai Sultan Buton pertama, dengan gelar Sultan Murhum

Kaimuddin Khalifatul Khamis. Setelah Raja Lakilaponto masuk Islam, kerajaan Buton

semakin berkembang dan mencapai masa kejayaan pada abad ke 17 M. Ikatan kerajaan

dengan agama Islam sangat erat, terutama dengan unsur-unsur sufistik. Undang-undang

Kerajaan Buton disebut dengan Murtabat Tujuh, suatu terma yang sangat populer dalam

tasawuf. Undang-undang ini mengatur tugas, fungsi dan kedudukan perangkat kesultanan. Di

masa ini juga, Buton memiliki relasi yang baik dengan Luwu, Konawe, Muna dan Majapahit.

Kerajaan Buton didirikan atas kesepakatan tiga kelompok atau rombongan yang

datang secara bergelombang. Gelombang pertama berasal dari kerajaan Sriwijaya. Kelompok

berikutnya berasal dari Kekaisaran Cina dan menetap di Buton. Kelompok ketiga berasal dari

kerajaan Majapahit. Berikut adalah skema pendiri kerajaan Buton.

5
Berikut ini daftar raja dan sultan yang pernah berkuasa di Buton. Gelar raja

menunjukkan periode pra Islam, sementara gelar sultan menunjukkan periode Islam.

Raja-raja:

1. Rajaputri Wa Kaa Kaa

2. Rajaputri Bulawambona

3. Raja Bataraguru

4. Raja Tuarade

5. Rajamulae

6. Raja Murhum

Sultan-sultan:

1. Sultan Murhum (1491-1537 M)

2. Sultan La Tumparasi (1545-1552)

3. Sultan La Sangaji (1566-1570 M)

4. Sultan La Elangi (1578-1615 M)

5. Sultan La Balawo (1617-1619)

6. Sultan La Buke (1632-1645)

7. Sultan La Saparagau (1645-1646 M)

8. Sultan La Cila (1647-1654 M)

9. Sultan La Awu (1654-1664 M)

6
10. Sultan La Simbata (1664-1669 M)

11. Sultan La Tangkaraja (1669-1680 M)

12. Sultan La Tumpamana (1680-1689 M)

13. Sultan La Umati (1689-1697 M)

14. Sultan La Dini (1697-1702 M)

15. Sultan La Rabaenga (1702 M)

16. Sultan La Sadaha (1702-1709 M)

17. Sultan La Ibi (1709-1711 M)

18. Sultan La Tumparasi (1711-1712M)

19. Sultan Langkariri (1712-1750 M)

20. Sultan La Karambau (1750-1752 M)

21. Sultan Hamim (1752-1759 M)

22. Sultan La Seha (1759-1760 M)

23. Sultan La Karambau (1760-1763 M)

24. Sultan La Jampi (1763-1788 M)

25. Sultan La Masalalamu (1788-1791 M)

26. Sultan La Kopuru (1791-1799 M)

27. Sultan La Badaru (1799-1823 M)

28. Sultan La Dani (1823-1824 M)

7
29. Sultan Muh. Idrus (1824-1851 M)

30. Sultan Muh. Isa (1851-1861 M)

31. Sultan Muh. Salihi (1871-1886 M)

32. Sultan Muh. Umar (1886-1906 M)

33. Sultan Muh. Asikin (1906-1911 M)

34. Sultan Muh. Husain (1914 M)

35. Sultan Muh. Ali (1918-1921 M)

36. Sultan Muh. Saifu (1922-1924 M)

37. Sultan Muh. Hamidi (1928-1937 M)

38. Sultan Muh. Falihi (1937-1960 M).

Sepanjang era kesultanan, ada 38 sultan yang memerintah.Tahun 1960 Kesultanan

Buton dihapus oleh pemerintahan Republik Indonesia atas nama NKRI. Saat itu Kesultanan

Buton dipimpin oleh Sultan Muhamad Falihi Kaimuddin.

Sultan Falihi Kaimuddin

Kejayaan masa Kerajaan Buton (Wolio) sampai Kesultanan Buton sejak berdiri pada

tahun 1332 sampai dengan 1960 telah banyak meninggalkan warisan masa lalu yang

gemilang. Sampai saat ini masih dapat disaksikan berupa peninggalan sejarah, budaya seperti

8
naskah kuno yg tersimpan pada garis keturunan Laode dan Waode di pulau buton, sedangkan

naskah lain masih banyak yg dibawa ke belanda oleh bangsa belanda sendiri pada saat

penjajahan mereka dan arkeologi seperti kuburan raja dan sultan, benteng pertahanan

keraton,pintu gerbang yg disebut lawa, meriam tua dan masih banyak lagi yg lainnya. Saat ini

wilayah bekas Kesultanan Buton telah berdiri beberapa kabupaten dan kota, yaitu: Kabupaten

Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Wakatobi,Kabupaten Bombana, Kabupaten Buton Utara

dan Kota Bau-Bau.

2.2 Benteng Keraton Buton (Buton Hill Fort), Bau Bau. 1597

Benteng Keraton Buton merupakan salah satu objek wisata bersejarah di Bau-bau,

Sulawesi Tenggara. Benteng peninggalan Kesultanan Buton tersebut dibangun pada abad ke-

16 oleh Sultan Buton III bernama La Sangaji yang bergelar Sultan Kaimuddin (1591-1596).

Pada awalnya, benteng tersebut hanya dibangun dalam bentuk tumpukan batu yang disusun

mengelilingi komplek istana dengan tujuan untuk mambuat pagar pembatas antara komplek

istana dengan perkampungan masyarakat sekaligus sebagai benteng pertahanan. Pada masa

pemerintahan Sultan Buton IV yang bernama La Elangi atau Sultan Dayanu Ikhsanuddin,

benteng berupa tumpukan batu tersebut dijadikan bangunan permanen. Pada masa kejayaan

pemerintahan Kesultanan Buton, keberadan Benteng Keraton Buton memberi pengaruh besar

terhadap eksistensi Kerajaan. Dalam kurun waktu lebih dari empat abad, Kesultanan Buton

bisa bertahan dan terhindar dari ancaman musuh.

Benteng yang merupakan bekas ibukota Kesultanan Buton ini memiliki bentuk arsitek

yang cukup unik, terbuat dari batu kapur/gunung. Benteng yang berbentuk lingkaran ini

dengan panjang keliling 2.740 meter. Benteng Keraton Buton mendapat penghargaan dari

Museum Rekor Indonesia (MURI) dan Guiness Book Record yang dikeluarkan bulan

september 2006 sebagai benteng terluas di dunia dengan luas sekitar 23,375 hektar. Panjang

9
keliling benteng tersebut 3 kilometer dengan tinggi rata-rata 4 meter dan lebar (tebal) 2

meter. Bangunannya terdiri atas susunan batu gunung bercampur kapur dengan bahan perekat

dari agar-agar, sejenis rumput laut. Luas seluruh kompleks keraton yang dikitari benteng

meliputi 401.911 meter persegi. Benteng ini memiliki 12 pintu gerbang yang disebut Lawa

dan 16 emplasemen meriam yang mereka sebut Baluara. Karena letaknya pada puncak bukit

yang cukup tinggi dengan lereng yang cukup

terjal memungkinkan tempat ini sebagai tempat pertahanan terbaik di zamannya. Dari tepi

benteng yang sampai saat ini masih berdiri kokoh anda dapat menikmati pemandangan kota

Bau-Bau dan hilir mudik kapal di selat Buton dengan jelas dari ketinggian,suatu

pemandangan yang cukup menakjukkan. Selain itu, di dalam kawasan benteng dapat

dijumpai berbagai peninggalan sejarah Kesultanan Buton. Benteng ini terdiri dari tiga

komponen yaitu Badili, Lawa, dan Baluara.

BALIDI (MERIAM) Obyek wisata ini merupakan meriam yang terbuat dari besi tua

yang berukuran 2 sampai 3 depa. Meriam ini bekas persenjataan Kesultanan Buton

peninggalan Portugis dan Belanda yang dapat ditemui hampir pada seluruh benteng di Kota

Bau-Bau.

LAWA dalam bahasa Wolio berarti pintu gerbang. Lawa berfungsi sebagai

penghubung keraton dengan kampung-kampung yang berada disekeliling benteng keraton.

Terdapat 12 lawa pada benteng keraton. Angka 12 menurut keyakinan masyarakat mewakili

jumlah lubang pada tubuh manusia, sehingga benteng keraton diibaratkan sebagai tubuh

10
manusia. Ke-12 lawa memiliki masing-masing nama sesuai dengan gelar orang yang

mengawasinya, penyebutan lawa dirangkai dengan namanya. Kata lawa diimbuhi akhiran 'na'

menjadi 'lawana'. Akhiran 'na' dalam bahasa Buton berfungsi sebagai pengganti kata milik

"nya". Setiap lawa memiliki bentuk yang berbeda-beda tapi secara umum dapat dibedakan

baik bentuk, lebar maupun konstruksinya ada yang terbuat dari batu dan juga dipadukan

dengan kayu, semacam gazebo diatasnya yang berfungsi sebagai menara pengamat. 12 Nama

lawa diantaranya : lawana rakia, lawana lanto, lawana labunta, lawana kampebuni, lawana

waborobo, lawana dete, lawana kalau, lawana wajo/bariya, lawana burukene/tanailandu,

lawana melai/baau, lawana lantongau dan lawana gundu-gundu.

BALUARA Kata baluara berasal dari bahasa portugis yaitu 'baluer' yang berarti

bastion. Baluara dibangun sebelum benteng keraton didirikan pada tahun 1613 pada masa

pemerintahan La Elangi/Dayanu Ikhsanuddin (sultan buton ke-4) bersamaan dengan

pembangunan 'godo' (gudang). Dari 16 baluara dua diantaranya memiliki godo yang terletak

diatas baluara tersebut. Masing-masing berfungsi sebagai tempat penyimpanan peluru dan

mesiu. Setiap baluara memiliki bentuk yang berbeda-beda, disesuaikan dengan kondisi lahan

dan tempatnya. Nama-nama baluara dinamai sesuai dengan nama kampung tempat baluara

tersebut berada. Nama kampung tersebut ada di dalam benteng keraton pada masa Kesultanan

Buton. 16 Nama Baluara : baluarana gama, baluarana litao, baluarana barangkatopa,

baluarana wandailolo, baluarana baluwu, baluarana dete, baluarana kalau, baluarana godona

oba, baluarana wajo/bariya, baluarana tanailandu, baluarana melai/baau, baluarana godona

batu, baluarana lantongau, baluarana gundu-gundu, baluarana siompu dan baluarana rakia.

11
Lawa

Baluara

Balidi

2.2.1 Tinjauan Sejarah Dan Perkembangan Kawasan Benteng Keraton Buton

5.11 Periode tahun 1226 – 1246

Periode ini ditandai dengan dibangunnya permukiman awal di Kawasan Benteng

Keraton Buton yang didirikan oleh sekelompok orang yang berasal dari semenanjung

Melayu, mereka terbagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama mendirikan

perkampungan di sebelah utara (kampung Barangkatopa) dan kelompok kedua

mendirikan perkampungan di sebelah selatan (kampung Gundu-gundu). (Zahari,

1977).

5.12 Periode tahun 1246 – 1332

Periode ini ditandai dengan munculnya dua area permukiman baru, yaitu kampung

Siompu dan Dete, sehingga di kawasan terdapat empat kampung. (Zahari, 1977)

12
5.13 Periode tahun 1332 – 1511

Periode ini ditandai dengan berdirinya kerajaan Buton. Sejak awal terbentuknya

kerajaan Buton, kawasan ini berfungsi sebagai pusat pemerintahan/ibukota kerajaan.

Di kawasan selain terdapat kediaman raja beserta keluarganya, kediaman pegawai

tinggi kerajaan serta bangunan penting lainnya, juga dibangun pasar untuk keperluan

kerajaan dan masyarakat di sekitar kawasan. Jenis penggunaan lahan di kawasan

terdiri atas permukiman, pasar, serta makam dan RTH. Adapun kondisi sirkulasi saat

itu masih menggunakan jalan tanah. (Zahari, 1977)

5.14 Periode tahun 1511-1634

Periode ini ditandai dengan terbentuknya Kesultanan Buton, yaitu pada saat

pelantikan Raja Buton ke VI menjadi Sultan Buton pertama (Sultan Murhum) pada

tahun 1511. Setelah terbentuknya Kesultanan Buton kawasan ini tetap berfungsi

sebagai pusat pemerintahan. Sultan Murhum kemudian membagi wilayah Kesultanan

Buton dalam beberapa distrik. Adapun jumlah distrik keseluruhan yang merupakan

wilayah Kesultanan Buton adalah sebanyak 92 distrik. Di kawasan keraton sendiri

terbagi menjadi 9 (sembilan) distrik, yang masing-masing dipimpin oleh satu orang

pegawai kerajaan yang disebut limbo. Sembilan distrik tersebut meliputi distrik

Barangkatopa, Gundu-gundu, Dete, Siompu, Baluwu, Peropa, Rakia, Melai dan

Gama. (Zahari, 1977)

5.15 Periode tahun 1634 – 1928

Periode ini ditandai dengan dibangunnya benteng Keraton Buton yang mengelilingi

kawasan keraton Kesultanan Buton yang dilaksanakan pada masa pemerintahan

Sultan Buton III. Pada masa itu Sultan membangun benteng pertahanan untuk

13
melindungi kawasan sebagai pusat pemerintahan dari serangan musuh. Pada periode

ini distrik Baadia telah berkembang menjadi area permukiman penduduk sehingga di

Kawasan Benteng Keraton Buton terbagi menjadi 10 (sepuluh) distrik. (Zahari, 1977)

5.16 Periode tahun 1928 – 1945

Periode ini diawali dengan pembangunan jaringan jalan pertama di kawasan yang

dilaksanakan pada masa pemerintahan Sultan Muh.Hamid (Sultan Buton ke-37),

pembangunan jaringan jalan dilakukan dengan pemberian perkerasan aspal pada jalan

tanah yang terdapat di kawasan, sehingga pola jaringan jalan di kawasan tidak

mengalami perubahan, yang mengalami perubahan hanyalah perkerasan jalan dan

lebar jalan. Pembangunan jaringan jalan juga dilakukan di sekitar kawasan untuk

menghubungkan Kawasan Benteng Keraton Buton sebagai pusat pemerintahan

dengan kawasan pelabuhan yang merupakan pusat kegiatan perdagangan pada masa

itu. (Zahari,1977)

5.17 Periode tahun 1945 – 2010

Pada tahun 1945 setelah berakhirnya Kesultanan Buton, Kawasan Benteng Keraton

Buton kemudian masuk dalam wilayah desa Melai Kabupaten Buton, pada tahun 2001

setelah terbentuk Kota Bau-bau, kawasan ini kemudian termasuk dalam wilayah

Kelurahan Melai Kota Bau-bau, dan terbagi atas 4 (empat) lingkungan, yaitu

lingkungan Dete, Baluwu, Peropa dan Baadia. Perubahan yang terjadi di kawasan

meliputi perkembangan jaringan jalan, bangunan, sarana prasarana dan fasilitas umum

antara lain sekolah dasar dan perkantoran pemerintah.

14
PERIODE PERKEMBANGAN KAWASAN BENTENG KERATON BUTON

15
PETA PERSEBARAN BANGUNAN KAWASAN BENTENG KERATON BUTON

16
2.2.2 Tinjauan Kawasan Keraton Kesultanan Buton

Kawasan Benteng Keraton

Buton pada masa lampau merupakan

Kawasan Keraton Kesultanan

Buton. Sebagaimana halnya kawasan

keratin lainnya di nusantara, kawasan

ini memiliki beberapa komponen

kawasan yang terdiri atas

Kamali/kediaman Sultan Buton,

masjid, benteng, baruga, pasar,

permukiman kerabat dan pegawai

Kesultanan.

Skema Kawasan Benteng Keraton Buton Tahun 1927/


Masa Pemerintahan Sultan Muh. Hamid

a) Kamali; merupakan tempat tinggal/kediaman Sultan dan keluarganya. Bangunan

kamali berupa rumah tradisional Buton namun, yang memiliki ciri khusus yang

membedakannya dengan bangunan lainnya yang terdapat di kawasan.

b) Masjid; Terdapat dua buah masjid di Kawasan Benteng Keraton Buton, yaitu masjid

agung dan masjid kuba. Keberadaan masjid ini berkaitan erat dengan fungsi kawasan

yang selain sebagai pusat pemerintahan, kawasan juga merupakan pusat penyebaran

Islam di Pulau Buton.

c) Benteng; Kawasan dikelilingi oleh sebuah benteng sebagai media pertahanan,

dibangun pada masa pemerintahan Sultan Kaimuddin.

17
d) Baruga; Bangunan yang digunakan sebagai tempat pelaksanaan upacara adat dan

tempat pegawai Kesultanan Buton menyampaikan pengumuman penting kepada

rakyat.

e) Pasar; terdapat pasar tradisional yang terletak tidak jauh dari masjid agung keraton.

f) Permukiman kerabat dan pegawai Kesultanan.

2.2.3 Karakteristik Kawasan Benteng Keraton Buton

1. Karakteristik penggunaan lahan

Penggunaan lahan di wilayah studi

terdiri atas permukiman, perkantoran

pemerintah, perdagangan dan jasa,

ruang terbuka dan fungsi budaya. Guna

lahan yang paling dominan adalah

permukiman dan ruang terbuka.

2. Karakteristik sirkulasi

Pola sirkulasi di Kawasan Benteng Keraton Buton bercampur menjadi satu

pada ruas jalan yang ada antara pejalan kaki, kendaraan (mobil dan sepeda motor) dan

angkutan umum. Jalur sirkulasi utama dari dan menuju kawasan adalah di jalan

Labuke V, jalan Labuke IX dan jalan Baadia. Kondisi sirkulasi pada hari-hari biasa

18
tergolong lancar dan tidak terjadi kemacetan, kecuali pada saat tertentu, yaitu pada

saat hari raya Idul fitri dan pada waktu dilaksanakan kegiatan budaya (upacata adat)

terjadi kemacetan pada beberapa ruas jalan, yaitu jalan Labuke I dan jalan Labuke IX.

Area parkir di Kawasan Benteng Keraton Buton sehari-hari umumnya digunakan

untuk parkir kendaraan wisatawan yang berkunjung ke kawasan dan parkir kendaraan

masyarakat pada momen tertentu, yaitu pada saat pelaksanaan kegiatan budaya

(upacara adat) serta pada pelaksanaan shalat idul fitri, hingga saat ini area parkir yang

tersedia masih mampu menampung kendaraan pengunjung maupun masyarakat.

3. Karakteristik bangunan kuno

Bangunan kuno-bersejarah di Kawasan Benteng Keraton Buton memiliki gaya

arsitektur tradisional Buton.

a. Usia Bangunan

Usia bangunan di wilayah studi berkisar antara 59 hingga 400 tahun.

Benteng Keraton Buton Kamali kara


Usia ± 400 tahun Usia ± 100 tahun

b. Fungsi Bangunan

Bangunan bersejarah di wilayah studi memiliki fungsi sebagai rumah tinggal

(85%), museum dan sarana peribadatan (masjid). Sebagian besar bangunan tidak

mengalami perubahan fungsi.

19
c. Status Kepemilikan

Bangunan bersejarah milik pemerintah berjumlah 11 bangunan dan bangunan

kunobersejarah milik individu berjumlah 61 bangunan.

d. Kondisi fisik bangunan

Sebagian besar bangunan bersejarah di diwilayah studi telah mengalami

perubahan fisik.

Peta Perubahan Bangunan

Perubahan Bangunan Bersejarah

20
e. Karakteristik sosial dan budaya masyarakat

Kawasan Benteng Keraton Buton merupakan pusat kegiatan budaya di Kota Bau-

bau. Masyarakat di kawasan masih melaksanakan berbagai tradisi dan upacara

adat, seperti upacara qunut, bongkaana tao, pekande-kandea, goraana oputa dan

sebagainya.

Aktivitas Budaya Masyarakat

4. Pemukiman Tradisional Buton

4.1 Gambaran Umum Permukiman Wolio di Kelurahan Melai

Permukiman Wolio terletak di Kelurahan Melai yang dikelilingi oleh benteng

dengan panjang 2.740 meter dan luasnya 401.900 m2. Benteng yang dibangun selama

13 tahun ini, memiliki 12 pintu gerbang (lawa) dan 16 pos jaga/kubu pertahanan

(bastion) yang dalam bahasa Buton disebut Baluara. Tiap-tiap pintu gerbang dan pos

jaga dikawal 4-6 meriam peninggalan Portugis, jumlah keseluruhan meriam 52 buah.

Tembok benteng memiliki ketebalan 1-2 meter dengan ketinggian antara 2-8 meter.

Rumah-rumah di Kelurahan Melai merupakan rumah yang dibangun pada

masa Kesultanan Buton dan sebagian kecil dibangun setelah masa kemerdekaan.

Jumlah rumah saat ini sebanyak 328 rumah dengan perinciaan 1 buah berupa

Kamali/Malige, 260 rumah Banua Kambero, 57 buah Banua Tada, Sekolah Dasar 2

21
Buah, Kantor Kelurahan 1 buah, Kantor Dinas Pariwisata 1 buah, Kantor Cagar

Budaya 1 Buah, Balairung (Baruga) 3 buah, Mesjid 1 buah, posyandu 1 buah (profil

Kelurahan Melai, 2009).

4.2 Perkembangan Permukiman

Muncul dan berkembangnya permukiman baru, juga berkaitan erat dengan

faktor politik. Kondisi politik di Sulawesi pada periode abad ke-17 sampai awal abad

ke-20 ditandai oleh terjadinya konflik internal antar kerajaan di Sulawesi Selatan

seperti Kerajaan Gowa dengan Bone. Konflik ini juga terjadi antara kerajaan (Gowa

dan Bone) dengan Belanda dan Ternate. Situasi inilah yang menyebabkan Sulawesi

Tenggara, khususnya Buton menjadi tujuan para pengungsi dari Sulawesi Selatan

karena wilayah ini selain mudah dijangkau, juga karena dianggap aman (La Ode

Rabani, 2004).

Dampak dari konflik itu adalah ditinggalkannya permukiman asal dan

pembukaan permukiman baru oleh kelompok masyarakat Bugis-Makassar di wilayah

pantai Pulau Buton, dengan nama pulau Makassar. Bukti lain yang menunjukkan

adanya peristiwa itu adalah adanya nama kampung yang disebut dengan kampung

Bone-bone, Wadjo atau Bajo. Nama itu berasal dari sebutan penduduk Bone dan

Wajo di Sulawesi Selatan dan penduduk Bajau yang sekarang dikenal dengan nama

Sama Bajau. Komunitas penduduk lainnya seperti Eropa, Jawa, Melayu, Cina, dan

Arab turut juga menambah heterogenitas penduduk kota Buton. Suku lain yang

tinggal di Buton adalah Tolaki, Muna, Tukang Besi, dan Kabaena (La Ode Rabani,

2004).

22
Setelah berakhirnya masa Kesultanan Buton tahun 1960, maka pemerintah

Indonesia membentuk Kabupaten Buton. Pusat kegiatan Pemerintahan Kabupaten

Buton berpusat di Bau-Bau. Pada masa itu wilayah Wolio di mekarkan menjadi

beberapa desa yang salah satunya desa Melai dan kemudian menjadi Kelurahan

Melai. Perkembangan permukiman di Kelurahan Melai pada saat ini, mulai

berkembang dengan adanya prasarana jalan, listrik, air bersih, telepon, sampah, dan

sanitasi.

Pada masa ini di kelurahan Melai mulai ditetapkan sebagai daerah cagar

budaya berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1992 pasal 15, yang masuk dalam

Undang-undang ini yaitu, Benteng, Mesjid Keraton Buton, Makam dan situs-situs

lainnya. Pembangunan permukiman pada masa ini lebih diutamakan renovasi pada

bangunan yang ada. Pembangunan rumah baru dilakukan oleh masyarakat berupa

rumah panggung sebagai rumah tinggal, dan yang dibangun oleh pemerintah ada

beberapa bangunan yang berfungsi sebagai tempat pendidikan (Sekolah Dasar) dan

Kantor Kelurahan.

4.3 Prasarana Permukiman

Sebagai suatu permukiman, prasarana permukiman menjadi faktor utama untuk

melayani kebutuhan masyarakatnya. Prasarana yang ada di Kelurahan Melai dapat di

uraikan sebagai berikut:

1) Prasarana jalan, jalan berupa jalan aspal yang mengelilingi benteng juga

menghubungan antar RT/RW.

2) Prasarana Persampahan, pada bagian-bagian tertentu telah di tempatkan TPS

yang dalam pengelolaannya dilakukan oleh Dinas Kebersihan.

3) Prasarana Air Bersih, berupa jaringan air bersih yang di kelola oleh PDAM.

23
4) Prasarana Telekomunikasi, berupa jaringan telepon dari Perumtel dan jaringan

telepon Seluler.

5) Prasarana Listrik, berupa jaringan listrik yang dikelola PLN.

6) Prasarana Sanitasi, semua rumah telah memiliki fasilitas sanitasi.

7) Drainase, saluran drainase belum keselurahan hanya berada dibagian jalan

utama hal ini disebabkan oleh kondisi topografi Kelurahan Melai yang berada

di ketinggian dengan kondisi tanah yang cepat menyerap air hujan.

4.4 Ciri-Ciri dan Makna Simbol Rumah adat Buton

Seluruh lambang atau simbol yang dimaksud, melekat cantik di berbagai

benda peninggalan Kesultanan Buton. Salah satu benda yang kaya akan makna

simbolis baik konstruktif maupun dekorasi itu adalah Kamali/Malige. Kamali/Malige

(berarti pula Mahligai) adalah salah satu dari peninggalan arsitektur tradisional Buton,

dapatlah dikatakan sebagai hasil dan kekayaan dari proses budaya (cultural process).

Kamali/Malige merupakan sebuah arsitek yang keberadaannya dapat mengungkap

berbagai sistem kehidupan masyarakat pendukungnya, baik itu mengenai sistim sosial

maupun kepercayaan (religi) yang masih bertahan hingga sekarang.

Menurut Zahari (2002), fungsi dan makna simbolis pada bangunan

Kamali/Malige dipengaruhi oleh pemahaman masyarakat secara keseluruhan tentang

konsep tasawuf (Martabat Tujuh), yang menganggap bahwa pemilik kamali dalam hal

ini Sultan adalah replikasi dari wajah Tuhan (Allah) yang wujudnya dianalogikan

dalam bentuk arsitektur rumahnya (istananya) baik yang bersifat konstruksi maupun

dekorasi. Bentuk lantai dan atapnya yang bersusun menunjukkan kebesaran dan

keagungan Sultan. Bentuk tersebut juga menggambarkan fungsi Sultan sebagai

pimpinan agama, pimpinan kesultanan serta pengayom dan pelindung rakyat.

24
Kamali/Malige dan rumah masyarakat biasa di Buton pada dasarnya adalah

sama sebab berasal dari satu konstruksi yang sama yang disebut banua tada. Rumah

dikatakan sebagai istana/kamali jika bangunan tersebut di huni oleh pejabat

kesultanan yang ditandai dengan menambahkan tiang penyangga di setiap sisi

bangunan, berfungsi sebagai dekorasi konstruksi yang disebut kipas (kambero), dan

kemudian rumah inilah yang di sebut dengan banua tada kambero. Simbol-simbol

inilah yang membedakannya dengan rumah masyarakat biasa yang cukup disebut

dengan banua tada.

Menurut Zahari (2002), satu hal yang menarik pada rumah pejabat kesultanan

dan rumah masyarakat biasa adalah peninggian lantai rumah yang berbeda-beda.

Lantai rumah bagian kanan lebih tinggi dibanding bagian kiri, peninggian lantai setiap

ruangan ini merupakan pola awal konstruksi yang sudah menjadi aturan pokok jika

ingin membangun sebuah rumah di Buton.

Ruangan semakin kebelakang semakin tinggi sama dengan badan perahu

antara haluan dan buritan atau posisi sujud dalam shalatnya seorang Islam. Sedangkan

pembagiannya tergantung luas dan besar bangunan. Untuk fungsi dapur dan WC

harus terpisah dengan induk bangunan, dan susunan lantainya lebih rendah dari lantai

bangunan utama.

Pada Kamali/Malige bangunan untuk dapur dan WC di bangun terpisah dan

hanya di hubungkan oleh satu tangga. Dapur dan WC secara simbolis adalah dunia

luar yang keberadaannya jika dianalogikan pada tubuh manusia adalah pembuangan.

Tampak konstruksi umum bangunan terbagi 3 (tiga) sebagai ciri 3 (tiga) alam

kosmologi yakni, alam atas (atap), alam tengah atau badan rumah dan alam bawah

atau kaki/kolong. Masing-masing bagian tersebut dapat diselesaikan sendiri-sendiri

tetapi satu sama lain dapat membentuk suatu struktur yang kompak dan kuat dimana

25
keseluruhan elemennya saling kait-mengkait dan berdiri diatas tiang-tiang yang

menumpu pada pondasi batu alam, dalam bahasa Buton di sebut Sandi. Sandi tersebut

tidak di tanam, hanya di letakkan begitu saja tanpa perekat. Sandi berfungsi

meletakkan tiang bangunan, antara sandi dan tiang bangunan di antarai oleh satu atau

dua papan alas yang ukurannya disesuaikan dengan diameter tiang dan sandi.

Fungsinya untuk mengatur keseimbangan bangunan secara keseluruhan. Penggunaan

batu alam tersebut bermakna simbol prasejarah dan pemisahan alam (alam dunia dan

alam akherat) konsep dualisme, walaupun sebenarnya jika ditinjau dari fungsinya

lebih bersifat pondasi.

Konstruksi lainnya adalah balok penghubung sebagai tiang yang harus diketam

halus adalah penggambaran budi pekerti orang beriman, sebagai analogi bagi

penghuni istana. Menurut Zahari (2002), makna simbolis pada konstruksi

Kamali/Malige diantaranya adalah:

1) Atap yang disusun sebagai analogi susunan atau letaknya posisi kedua tangan

dalam shalat, tangan kanan berada di atas tangan kiri. Pada sisi kanan kiri atap

terdapat kotak memanjang berfungsi bilik atau gudang. Bentuk kotak tersebut

menunjukkan adanya tanggungjawab Sultan terhadap kemaslahatan rakyat.

2) Balok penghubung yang harus diketam halus adalah penggambaran budi

pekertinya orang beriman, sebagai analogi bagi penghuni istana.

3) Tiang Istana di bagi menjadi 3 (tiga) yang pertama disebut Kabelai (tiang

tengah), disimbolkan sebagai ke-Esa-an Tuhan yang pencerminannya

diwujudkan dalam pribadi Sultan. Kabelai ditandai dengan adanya kain putih

pada ujung bagian atas tiang. Penempatan kain putih harus melalui upacara

adat (ritual) karena berfungsi sakral. Berikutnya adalah tiang utama sebagai

tempat meletakkan tada (penyangga). Bentuk tada melambangkan strata sosial

26
atau kedudukan pemilik rumah dalam Kesultanan. Tiang lainnya adalah tiang

pembantu, bermakna pelindung, gotong royong dan keterbukaan kepada

rakyatnya. Ketiga tiang ini di analogikan pula sebagai simbol kamboru-mboru

talu palena, yang maksudnya ditujukan kepada tiga keturunan (Kaomu/kaum)

pewaris jabatan penting yakni Tanailandu, Tapi-Tapi dan Kumbewaha.

4) Tangga dan Pintu mempunyai makna saling melengkapi. Tangga depan

berkaitan dengan posisi pintu depan, sebagai arah hadap bangunan yang

berorientasi timur-barat bermakna posisi manusia yang sedang shalat.

Pemaknaan ini berkaitan dengan perwujudan Sultan sebagai pencerminan

Tuhan yang harus di hormati, dan secara simbolis mengingatkan pada

perjalanan manusia dari lahir, berkembang dan meninggal dunia. Berbeda

dengan tangga dan pintu belakang yang menghadap utara disimbolkan sebagai

penghargaan kepada arwah leluhur (nenek moyang/asal-usul).

5) Lantai yang terbuat dari kayu jati melambangkan status sosial bahwa sultan

adalah bangsawan dan melambangkan pribadi sultan yang selalu tenang dalam

menghadapi persoalan.

6) Dinding sebagai penutup atau batas visual maupun akuistis melambangkan

kerahasian ibarat alam kehidupan dan alam kematian. Dinding dipasang rapat

sebagai upaya untuk mengokohkan dan prinsip Islam pada diri Sultan sebagai

khalifah.

7) Jendela (bhalo-bhalo bamba) berfungsi sebagai tempat keluar masuknya

udara. Pada bagian atasnya terdapat bentuk hiasan balok melintang member

kesan adanya pengaruh Islam yang mendalam. Begitu pula pada bagian

jendela lain yang menyerupai kubah.

27
Struktur bangunan rumahnya tersebut sangat kompleks seperti kosmos pada tubuh

manusia, seluruh sambungan rumah tidak memakai paku seperti pada sambungan

tulang manusia. Persambungan antar kayu dibuat dengan sambungan pasak yang

saling terkait satu sama lainnya.

Menurut Zahari (2002), makna simbolis pada dekorasi Kamali/Istana Malige terbagi

dua yakni yang berbentuk hiasan flora dan fauna, diantaranya adalah:

1) Nenas merupakan simbol kesejahteraan yang ditumbuhkan dari rakyat. Secara

umum simbol ini menyiratkan bahwa masyarakat Buton agar mempunyai sifat

seperti nenas, yang walaupun penuh duri dan berkulit tebal tetapi rasanya

manis.

2) Bosu-bosu adalah buah pohon Butun merupakan simbol keselamatan,

keteguhan dan kebahagiaan yang telah mengakar sejak masa pra-Islam. Pada

pemaknaan yang lain sesuai arti bahasa daerahnya bosu-bosu adalah tempat air

menuju pada perlambangan kesucian mengingat sifat air yang suci.

3) Ake merupakan hiasan yang bentuknya seperti patra (daun). Pada Istana

Malige Ake dimaksudkan sebagai wujud kesempurnaan dan lambang

bersatunya antara Sultan (manusia) dengan Khalik (Tuhan). Konsepsi ini

banyak dikenal pada ajaran tasawuf, khususnya Wahdatul Wujud.

4) Kembang (Kamba) yang berbentuk kelopak teratai melambangkan kesucian.

Karena bentuknya yang mirip pula matahari, orang Buton biasa pula

menyebutnya lambang Suryanullah (surya=matahari, nullah=Allah). Bentuk

ini adalah tempat digambarkannya sejak masa klasik dan merupakan

pengembangan kerajaan Majapahit pada masa Pra Islam di Buton,

5) Terdapatnya Naga pada bumbungan atap, melambangkan kekuasaan dan

pemerintahan. Naga adalah binatang mitos yang berada di langit, bukan

28
muncul dari dalam Bumi. Keberadaan Naga mengisahkan pula asal-usul

bangsa Wolio yang di yakini datang dari daratan Cina.

6) Terdapatnya tempayan/guci di depan rumah yang melambangkan kesucian.

Tempayan ini mutlak harus ada di setiap bangunan kamali maupun rumah

rakyat biasa.

Kamali/Malige dalam penataan struktur bangunannya, didasari oleh konsep

kosmologis sebagai wujud keseimbangan alam dan manusia. Disisi lain

keberadaannya merupakan media penyampaian untuk memahami kehidupan

masyarakat pada jamannya (kesultanan) dan sebagai alat komunikasi dalam

memahami bentuk struktur masyarakat, status sosial, ideologi dan gambaran struktur

pemerintahan yang dapat dipelajari melalui pemaknaan lambang-lambang, simbol

maupun ragam hiasnya secara detail.

29
30
4.5 Banua Tada sebagai Rumah Masyarakat

Awal terbentuknya permukiman Wolio di Baluwu dan Peropa dimulai dengan

terbangunnya rumah-rumah panggung, sebagai pendatang bentuk rumah yang

dibangun masih sangat sederhana yang kemudian rumah tersebut dikenal sebagai

Banua Tada yang kemudian dijadikan bentuk rumah masyarakat umum pada masa

Kerajaan dan Kesultanan Buton.

Bentuk dan ciri banua tada untuk masyarakat berupa rumah panggung dengan ciri-ciri

sebagai berikut :

1) Jumlah petak rumah dua atau 3 petak.

2) Tidak ada simbol-simbol pada bangunan rumah. Atap rumah satu susun. Guci

di tempatkan depan rumah

Dengan bentuk yang sangat sederhana, penghuni banua tada tidak

mempermasalakan bentuk rumah dan ornamen yang melekat dikontruksi rumah

mereka. Masyarakat yang menempati rumah tersebut umumnya mempunyai pekerjaan

sebagai petani, buruh, tukang kayu, tukang batu ataupun nelayan. Harapan mereka

dapat tinggal dengan tenang dan kehidupannya dapat berjalan dengan damai dan

aman di bawah pemerintahan Kesultanan Buton. Jumlah rumah ini di dalam benteng

Keraton Buton tidak banyak dan saat ini jumlah mulai berkurang di ganti dengan

bentuk rumah yang menyerupai bentuk rumah pejabat. Dari hasil observasi jumlah

rumah yang ada 328 rumah terdapat 57 rumah masyarakat biasa, yang terbagi di

ketiga wilayah Kelurahan Melai.

32
34
BAB IV

REVITALISASI KAWASAN BENTENG KERATON BUTON

4.1 Pengertian Revitalisasi Kawasan

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti proses, cara, dan

perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya.

Revitalisasi sebagai upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian

kawasan yang dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami

kemunduran/degradasi. Menurut Prof. Danisworo, skala revitalisasi ada tingkatan

makro dan mikro. Proses revitalisasi sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek

fisik, aspek ekonomi dan aspek sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu

mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi

dan citra tempat).

Kegiatan konservasi bisa berbentuk preservasi dan pada saat yang sama

melakukan pembangunan atau pengembangan, restorasi, replikasi, reskontruksi,

revitalisasi dan atau penggunaan untuk fungsi baru suatu aset masa lalu. Untuk

melakukannya perlu upaya lintas sektoral, multidimensi dan disiplin serta

berkelanjutan. Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya berorientasi pada

penyelesaian keindahan fisik saja, tapi juga harus dilengkapi dengan peningkatan

ekonomi masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada. Untuk melaksanakan

revitalisasi perlu adanya keterlibatan masyarakat. Keterlibatan yang dimaksud bukan

sekedar ikut serta untuk mendukung aspek formalitas yang memerlukan adanya

partisipasi masyarakat, selain itu masyarakat yang terlibat tidak hanya masyarakat di

lingkungan kawasan tertata, tapi masyarakat dalam arti luas. Untuk itu, perlu

36
mekanisme yang jelas. Aspek lain yang penting dan sangat berperan dalam

revitalisasi, yaitu penggunaan peran teknologi informasi, khususnya dalam mengelola

keterlibatan banyak fihak untuk menunjang kegiatan revitalisasi.

Kegiatan revitalisasi dapat dilakukan dari aspek keunikan lokasi dan tempat

bersejarah. Demikian juga, revitalisasi juga dilakukan dalam rangka untuk mengubah

citra suatu kawasan.

Skala upaya revitalisasi bisa terjadi pada tingkatan mikro kawasan, seperti

pada sebuah jalan, atau bahkan skala bangunan, akan tetapi juga bisa mencakup

kawasan yang lebih luas. Apapun skalanya tujuannya adalah sama, yaitu memberikan

kehidupan baru yang produktif yang akan mampu memberikan kontribusi positif pada

kehidupan sosial-budaya, terutama kehidupan ekonomi kawasan.

4.2 Pentingnya Revitalisasi Kawasan

Berikut adalah beberapa hal mengapa suatu kawasan perlu direvitalisasi, sebagai

berikut:

1. Konsentrasi peran yang besar di kawasan terevitalisasi, tidak terlepas dari

kenyataan bahwa kawasan tertata merupakan lokasi yang paling efisien dan

efektif untuk kegiatan produktif sehubungan dengan ketersediaan sarana dan

prasarana, tersedianya tenaga kerja, tersedianya dana sebagai modal dan

sebagainya.

2. Dengan persediaan lahan yang semakin terbatas, maka gejala kenaikan harga

lahan tak terhindarkan lagi. Lahan telah menjadi suatu komoditas yang

nilainya ditentukan oleh kekuatan pasar.

37
3. Lahan (topos) merupakan sumber daya utama kawasan yang sangat kritikal,

disamping pengadaannya yang semakin sangat terbatas, sifatnya juga tidak

memungkinkan untuk diperluas. Satu-satunya jalan keluar adalah mencari

upaya yang paling sesuai untuk meningkatkan kemampuan daya tampung

lahan yang ada agar dapat memberikan manfaat yang lebih besar lagi bagi

kelangsungan hidup kawasan yang lebih baik. Maka lahirlah upaya untuk

mendaur-ulang (recycle) lahan kawasan yang ada dengan tujuan untuk

memberikan vitalitas baru,

4. Pencagaran (conservation) aset budaya fisik dan non-fisik, sebagai dasar

jatidiri masyarakat.

4.3 Tujuan Revitalisasi Urban

Tujuan Revitalisasi Urban (Adhisakti, 2003) adalah :

1. Membangun kepedulian banyak pihak dalam pelestarian pusaka.

2. Menjadi acuan perencanaan dan pengelolaan pelestarian secara

berkesinambungan dan menyeluruh.

3. Mendorong kemandirian bagi masyarakat untuk mampu mengelola kawasan

bersejarahnya.

4. Menjembatani kolaborasi lintas sektor, bidang ilmu dan keahlian yang sangat

diperlukan dalam pelaksanaan pelestarian.

5. Meningkatkan kualitas lingkungan kawasan bersejarah dan pendapatan

masyarakat.

38
4.4 Klasifikasi Kawasan Revitalisasi

1. Ditinjau dari fungsi kawasan :

a) Revitalisasi Kawasan Perniagaan

b) Revitalisasi Kawasan Perumahan

c) Revitalisasi Kawasan Perindustrian

d) Revitalisasi Kawasan Perkantoran pemerintah

e) Revitalisasi Kawasan Olah Raga, dan Fasilitas sosial lainnya

f) Revitalisasi Kawasan Khusus

2. Ditinjau dari letak kawasan :

a) Revitalisasi Kawasan pegunungan / perbukitan

b) Revitalisasi Kawasan tepian air ( sungai, laut, dan danau)

c) Revitalisasi Kawasan perairan / rawa

d) Revitalisasi Kawasan khusus lainnya

3. Ditinjau dari ke-kuno-an dan kesejarahannya :

a) Revitalisasi Kawasan bersejarah

b) Revitalisasi kawasan baru

4.5 Tahapan dalam Revitalisasi

a) Intervensi fisik, intervensi fisik mengawali kegiatan fisik revitalisasi dan

dilakukan secara bertahap, meliputi perbaikan dan peningkatan kualitas dan

kondisi fisik bangunan, tata hijau, sistem penghubung, sistem tanda/reklame

dan ruang terbuka kawasan;

b) Rehabilitasi ekonomi, revitalisasi yang diawali dengan proses peremajaan

artefak urban harus mendukung proses rehabilitasi kegiatan ekonomi; dan

39
c) Revitalisasi sosial/institusional, keberhasilan revitalisasi sebuah kawasan akan

terukur bila mampu menciptakan lingkungan yang menarik (interesting), jadi

bukan beautiful place.

4.6 Konsep Penataan dan Revitalisasi Kawasan

Sebagai warisan sejarah, kekuatan penataan dan revitalisasi kawasan

Kawasan :

a) People And Buildings (Spiro Kostof)

b) Content (Man & Society) And Container (Shell,Network,Nature )

(Constantinos Doxiadis)

c) Place (Space With Human Value) And Space (Artefact Value) (R. Trancyk)

d) Pembangunan Kawasan dan Sejarah

Kawasan terbangun dalam proses sejarah meninggalkan warisan yang

terseleksi sebagai puncak peradaban (Artefact dn Non Artefact)

e) (Elemen fisik 50 th ke atas merupakan indikasi suatu benda yang telah

“menjadi kekuatan sejarah”, sebagai monumen : “sesuatu yang dihargai “,

yang mempunyai kekuatan : citra, identitas/ciri ) UU RI 5/1992, Benda Cagar

Budaya

40
5.1 Arahan pelestarian Kawasan Benteng Keraton Buton

1. Arahan Pelestarian Kawasan

Arahan pelestarian kawasan ditujukan untuk mempertahankan kondisi fisik,

ciri khas dan karakter kawasan sebagai kawasan peninggalan sejarah Kesultanan

Buton. Arahan pelestarian di Kawasan Benteng Keraton Buton dirumuskan

berdasarkan faktor penyebab perubahan kawasan. Adapun arahan pelestarian

Kawasan Benteng Keraton secara umum adalah sebagai berikut:

a) Penyusunan pedoman desain untuk mengendalikan kemungkinan terjadinya

pendirian bangunan baru dengan desain dan konstruksi yang dinilai tidak

selaras dengan bangunan kuno di sekitarnya. Bagi bangunan baru diarahkan

agar selaras dengan bangunan kuno di sekitarnya, dengan menyesuaikan

ornamen dan bentuk atap mengikuti gaya arsitektur tradisional Buton.

b) Perlindungan kawasan bersejarah melalui pemberian batasan dan penetapan

zona-zona pelestarian khusus. Adanya aturan zonasi ini melindungi kawasan

terhadap kemungkinan terjadinya perubahan fungsi serta pembatasan terhadap

pendirian bangunan baru yang tidak sesuai dengan aturan.

c) Pelaksanaan hukum dan peraturan pelestarian secara tegas dan adil,

pelaksanaan pemberian sanksi bagi yang melanggar, pemberian sanksi yang

tegas dan adil diharapkan mampu mengendalikan perubahan kawasan

bersejarah.

d) Memberikan insentif berupa keringanan retribusi dan bantuan dana perawatan

bangunan, penghargaan bagi masyarakat yang telah berperan aktif dalam

kegiatan pelestarian kawasan bersejarah Benteng Keraton Buton.

e) Memberikan penyuluhan kepada masyarakat baik pemilik bangunan

bersejarah maupun non bersejarah mengenai pentingnya pelestarian kawasan

41
bersejarah, diharapkan melalui penyuluhan ini dapat mengubah cara pandang

masyarakat yang semula memandang negatif terhadap pelestarian kawasan.

f) Pemerintah bekerja sama dengan masyarakat dalam melakukan kegiatan

pelestarian serta hal-hal lain yang berhubungan dengan perlindungan kawasan

dan bangunan bersejarah.

g) Penyusunan Perda yang mengatur tentang pelestarian kawasan bersejarah

Benteng Keraton Buton.

2. Arahan Pelestarian Bangunan

Arahan pelestarian bangunan bersejarah di Kawasan Benteng Keraton Buton

dirumuskan berdasarkan pertimbangan faktor penyebab perubahan fisik bangunan

bersejarah. Adapun arahan pelestarian bangunan bersejarah di Kawasan Benteng

Keraton Buton adalah sebagai berikut:

a) Penyusunan pedoman tata cara pemeliharaan bangunan kuno-bersejarah

termasuk memuat bagian-bagian bangunan yang harus dipertahankan

keasliannya. Hal ini bertujuan agar setiap bangunan bersejarah memiliki

perlindungan yang jelas, sah dan mengikat sehingga apabila terjadi

pergantian kepemilikan, perubahan fisik bangunan oleh pemilik barudapat

dicegah.

b) Pemberian sanksi yang tegas kepada pemilik bangunan yang melakukan

perubahan pada bangunan bersejarah.

c) Memberikan informasi yang jelas mengenai pentingnya pelestarian

bangunan bersejarah secara rutin kepada masyarakat melalui publikasi atau

penyuluhan dan mengajak pemilik bangunan untuk ikut berperan aktif

dalam pelestarian bangunan bersejarah di Kawasan Benteng Keraton Buton.

42
d) Pemberian insentif kepada pemilik bangunan yang telah berperan serta

dalam menjaga kelestarian fisik bangunan dan kawasan, melalui pemberian

bantuan dana perawatan bangunan, subsidi atau pemberian keringanan

retribusi.

e) Pemberian penghargaan dari pemerintah kepada pemilik bangunan atau

masyarakat yang telah berperan aktif dalam pelestarian bangunan

bersejarah, penghargaan dapat berupa piagam, publikasi, subsidi untuk

pemeliharaan bangunan.

f) Membangun dan memperkuat kerjasama antara pemerintah dan masyarakat

dalam pelaksanaan pelestarian bangunan bersejarah di Kawasan Benteng

Keraton Buton, masyarakat dapat ikut mengawasi dan menjadi mitra

pemerintah dalam pelaksanaan tindakan pelestarian bangunan bersejarah.

g) Perubahan atau penambahan fungsi baru untuk bangunan bersejarah yang

memiliki biaya pemeliharaan tinggi, fungsi baru yang dapat membantu

memberikan pemasukan untuk tambahan biaya pemeliharaan bangunan

namun fungsi tersebut diupayakan harus tetap sesuai dengan lingkungan

sekitarnya dan mendukung pelestarian bangunan.

h) Pemerintah dapat mengambil alih kepemilikan serta pengelolaan bangunan

kuno yang terbengkalai atau pemilik tidak mampu lagi melakukan

perawatan.

43
Nama Nama Tahun Arsitek Lokasi Gambar Terakhir Gambar Tertua
Resmi Sebelumn
Terakhir ya
Masjid Masigi 1538 M pelopor 5°28'25.6"S
Agung Ogena atau 948 pembangunan 122°36'07.4"
Wolio Wolio H nya adalah E
Syekh Abdul
Wahid, di
bantu para
pejabat tinggi
kerajaan
seperti sultan
Murhum,
Sangia, La
Ulo
Kasulana Kasulana Abad 17 5°28'24.8"S
Tombi Tombi M 122°36'07.3"
E

44
Malige Kamali 1929 5°27'28.0"S
122°36'26.0"
E

Baluara Baluara <1613 (Salah satu


(Bastion) M baluara)
5°28'26.4"S
122°35'58.0"
E

45
BAB V

PERKEMBANGAN KOTA BAUBAU SEKARANG

5.1 Letak Geografis dan Wilayah Administrasi

a. Letak Geografis

Kota Bau-Bau secara geografis terletak di bagian Selatan Propinsi Sulawesi

Tenggara yang berupa wilayah kepulauan. Kota Bau-Bau berada di Pulau

Buton, terletak pada 502’ - 5033’ LS dan diantara 122030’ -122047’ BT.

Posisi geografis yang strategis menjadikan Kota Bau-Bau sebagai kota transit

yang menghubungkan (Connecting Area) antara Kawasan Barat Indonesia

(KBI) dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI) melalui jalur perhubungan

laut. Posisi ini juga menjadikan Bau-Bau berkembang sebagai pusat aktifitas

penduduk terutama di sektor perdagangan dan jasa.

Secara fisik Kota Bau-Bau terletak pada Selat Buton yang mempunyai

aktifitas kelautan yang sangat tinggi dan dikelilingi oleh kecamatan-

kecamatan dari Kabupaten Buton. Menurut UU No 13 Tahun 2001, batas

administrasi Kota Bau-Bau adalah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kapontori.

2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pasarwajo.

3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Batauga.

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Buton.

Dari sisi letak secara nasional, Kota Bau-Bau merupakan kota yang memiliki

letak strategis. Kota Bau-Bau adalah daerah penghubung (connecting area)


46
antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan Kawasan Timur Indonesia

(KTI). Selain itu bagi masyarakat daerah hinterlandnya (Kabupaten Buton,

Kabupaten Muna, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bombana), Kota Bau-

Bau berperan sebagai daerah akumulator hasil produksi dan distributor

kebutuhan daerah tersebut.

b. Wilayah Administrasi

Kota Bau-Bau adalah sebuah kotamadya atau kota otonom di Pulau

Buton, Sulawesi Tenggara. Kota ini merupakan pemekaran dari Kabupaten

Buton. Sebelum dimekarkan, Kabupaten Buton seluas ± 6.852,86 km2,

wilayahnya diturunkan dari wilayah swapraja Kesultanan Buton. Sebelum

tahun 1960, kesultanan ini meliputi pulau-pulau utama Buton, Muna dan

Kabaena, dan Tukang Besi (sekarang Waka-tobi) serta dua daerah di bagian

tenggara Pulau Sulawesi (Rumbia dan Poleang).

Pada tahun 1960, kesultanan yang berusia lebih dari empat abad itu

dibubarkan dan wilayah kesultanan tersebut dibagi menjadi dua kabupaten

yang sepenuhnya dima-sukan ke dalam wilayah Indonesia. Kabupaten Muna

terletak di utara Muna dan Buton, dan Kabupaten Buton meliputi bagian-

bagian lain dari bekas wilayah kesultanan. Pemekaran wilayah dimulai sejak

tahun 2001, perubahan status Kota administratif Bau-Bau menjadi Kota Bau-

Bau (61.110 ha) yang terpisah dari Kabupaten Buton (Undang-Undang No.

13 Tahun 2001).

47
Ditinjau dari segi administrasi, wilayah Kota Bau-Bau terdiri dari 7
kecamatan, yakni :

1. Kecamatan Betoambari 5. Kecamatan Bungi


a. Kelurahan Lipu, a. Liabuku,
b. Kelurahan Katobengke, b. Waliabuku,
c. Kelurahan Sulaa dan, c. Ngkari-Ngkari,
d. Kelurahan Waborobo. d. Kampeonaho,
e. Tampuna
2. Kecamatan Murhum
6. Kecamatan Lea-Lea
a. Kelurahan Wajo,
b. Kelurahan Melai, a. Kolese,
c. Kelurahan Baadia, b. Lowu-Lowu
d. Kelurahan Lamangga, c. Kalia-Lia
e. Kelurahan Tangana Pada d. Kantalai
f. Kelurahan Bone – Bone, e. Palabusa
g. Kelurahan Kaobula,
7. Kecamatan Sorawolio
h. Kelurahan Tarafu,
i. Kelurahan Wameo, a. Karya Baru,
j. Kelurahan b. Kaisabu Baru,
Nganganaumala, c. Bugi,
k. Kelurahan Lanto. d. Gonda Baru.

3. Kecamatan Wolio
a. Kelurahan Wale,
b. Kelurahan Bataraguru,
c. Kelurahan Tomba,
d. Kelurahan Wangkanapi,
e. Kelurahan Batulo,
f. Kelurahan Kadolokatapi
g. Kelurahan Bukit Walio
Indah
4. Kecamatan Kokalukuna
a. Kelurahan Lakologou,
b. Kelurahan Liwuto,
c. Kelurahan Sukanaeyo,
d. Kelurahan Kadolomoko,
e. Kelurahan Kadolo
f. Kelurahan Waruruma.

48
5.2 Penggunaan Lahan

a. Jenis

Penggunaan lahan Kota Bau-Bau terdiri dari kawasan lindung dan kawasan budidaya,

yakni sebagai berikut :

1. Kawasan lindung yang terdapat di Kota Bau-Bau tersebar di :

a. sepanjang Jalan Kadolokatapi,

b. bagian selatan Liabuku,

c. Kalialia tepi dan Kampeonaho utara.

d. Juga sebagian Desa Gonda Baru dan Bugi.

2. Kawasan budidaya berada di :

a. sebagian besar Kecamatan Betoambari,

b. Kecamatan Wolio kecuali sepanjang jalan Kadolomoko,

c. Kecamatan Bungi kecuali bagian utara Kampeonaho,

d. tepi pantai Kalialia tengah, dan

50
e. sebagian kecil Liabuku selatan.

b. Luas Tiap Jenis Guna Lahan

Penggunaan lahan Kota Bau-Bau terdiri dari 17 jenis pemanfaatan, yakni : Bandar

udara, cadangan, pengembangan, hutan kota, hutan produksi, industri maritime, in-

dustri pengolahan pertanian, pelabuhan, pendidikan, perdagangan dan jasa, perda-

gangan grosir, perkantoran, perkebunan, permukiman, sawah, tegal/ladang, dan

wisata.

Jenis guna lahan hutan produksi teridentifikasi memiliki persentase yang paling tinggi

dibanding jenis guna lahan lainnya, sedang jenis guna lahan cadangan pengembangan

tercatat memiliki luas lahan terluas kedua setelah hutan produksi yang mencapai

29,6% dari total luas penggunaan lahan. Jenis guna lahan dengan luas terkecil adalah

pelabuhan yang hanya mencapai 0,02 % dari total luas penggunaan lahan, yang

disusul dengan perdagangan grosir dengan luas lahan yang hanya mencapai 0,04 %

dari total luas penggunaan lahan Kota Bau-Bau.

51
52
53
Luas Tiap Jenis Penggunaan Lahan Kota Bau-Bau
Persentase
No Jenis Guna Lahan Luas ( ha )
(%)
1 Bandar Udara 60,461 0,209
2 Cadangan Pengembangan 8.565,482 29,6
3 Hutan Kota 204,561 0,707
4 Hutan Lindung 1483,768 5,128
5 Hutan Produksi 12.722,72 43,97
6 Industri Maritim 326,287 1,128
7 Industri Pengolahan Pertanian 391,445 1,353
8 Pelabuhan 5,582 0,019
9 Pendidikan 66,767 0,231
10 Perdagangan & Jasa 377,04 1,303
11 Perdagangan Grosir 13,213 0,046
12 Perkantoran 59,88 0,207
13 Perkebunan 631,17 2,181
14 Permukiman 1.139,297 3,938
15 Sawah 1.201,136 4,151
16 Tegal/Ladang 1.487,535 5,141
17 Wisata 196,781 0,68
Jumlah 28933.12 100

c. Status Lahan

Status tanah utamanya berpengaruh pada besarnya investasi yang harus dike-luarkan

baik oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat, juga dampak sosial yang

ditimbulkan. Berdasarkan status kepemilikannya, di Kota Bau-Bau terdapat :

1. 10.118 unit lahan dengan status hak milik,

2. 646 unit status hak guna bangunan, dan

3. 164 unit tanah dengan status hak pakai.

54
56
5.3 Penggunaan Perairan

a. Kawasan Pantai Ke Arah Darat


Sebagaimana diketahui bahwa wilayah pesisir sesuai dengan Undang-Undang

RI No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

adalah batas transisi ekosistem antara wilayah darat dan wilayah laut. Adapun

kecamatan-kecamatan yang kontak dengan laut Selat Buton adalah sebagai berikut:

1. Kecamatan Lea-Lea, pantai terpanjang

2. Kecamatan Kokalukuna, sepanjang Teluk Bau-Bau

3. Kecamatan Betoambari dengan pantai terpanjang setelah Kecamatan Lea-Lea

4. Kecamatan Wolio lebih pendek pantainya

5. Kecamatan Murhum hampir sama panjang pantainya dengan Kecamatan Wolio

6. Kecamatan Buungi seteh dimekarkan dengan kecamatan Lea-Lea, maka hampir

kecamatan ini tidak memiliki pantai.

Sedangkan Kecamatan Sorawolio berada di wilayah dataran tinggi dan

perbukitan yang ada di bagian Timur Kota Bau-Bau. Demikian sehingga kategori

wilayah pesisir yang berhadapan dengan laut selat Buton hanya ada 5 kecamatan, dan

2 kecamatan lainnya dianggap sebagai wilayah daratan yang ada di belakang wilayah

pesisir.

Wilayah pesisir merupakan kawasan yang relatif padat permukiman

penduduk, tetapi tidak semuanya merupakan warga penduduk yang berorientasi

kehidupannya terhapa laut. Kondisi pesisir menunjukan berbagai bentuk paparan

laut antara lain:

1. Pantai wilayah pesisir yang mempunyai hamparan pasir mencakup:

2. Pantai Nirwana dan pantai Lakeba di Kecamatan Betoambari

58
3. Pantai Bone-Bone, Wamelo, dan Kaobula di Kecamatan Murhum

4. Pantai Batu Ulo, Bure, sebagian Waramusio dan Waruruma di Kecamatan

Kokalukuna

5. Pantai yang memiliki tebing curam dan laut yang dalam adalah:

6. Hampir seluruh pantai Kecataman Lea-Lea

7. Sebagian di Kecamatan Kokalukuna

8. Sebagian di Kecamatan Betoambari

b. Kawasan Budidaya Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K)

Kawasan atau zona pemanfaatan Umum di WP3K Kota Bau-Bau terdiri dari:

1. Sub kawasan penangkapan ikan

2. Sub kawasan budidaya rumput laut

3. Sub kawasan pelabuhan umum, pelabuhan khusus Pertamina, pelabuahan Mutiara

Palabusa, dan pelabuhan rakyat

Untuk kawasan penangkapan ikan, diketahui bahwa tidak terbatas pada

wilayah 4 mil yang menjadi kewenangan pemerintah. Diketahui bahwa produksi

kelautan dan periknan di Kot Bau-Bau

c. Kawasan Strategi Nasional Tertentu

Sebagaimana diketahui bahwa disekitar perairan Palabusa di sebelah Utara

dari Pulau Makassar masih terdapat danger area (tempat meletakkan bom dan ranjau

peninggalan masa penjajahan Jepang). Kawasan tersebut dapat dikelompokan sebagai

kawasan di bawah pengawasan pertahanan dan keamanan dengan sebisa mungkn

tidak digunakan sebagai kawasan budidaya.

59
d. Zona Alur

Zona alur yang ada berupa alur pelayaran dari pelabuhan-pelabuhan.

Mengingat Kota Bau-Bau merupakan simpul transportasi nasional yang

menghubungkan Indonesia bagian Barat - Timur - Utara - dan Selatan. Sebagaimana

telah dijelaskan di atas bahwa kegiatan pelabuhan di Kota Bau-Bau berupa:

1. Pelabuhan umum (Pelni dan Angkutan Barang).

2. Pelabuhan pelayaran rakyat antar pulau di sekitar wilayah Provinsi Sulawesi

Tenggara.

3. Pelabuhan Pertamina.

4. Pelabuhan petikemas.

60
62
BAB III

PENUTUP

1.1 Kesimpulan

Proses terbentuknya Kota Baubau mengalami masa yang sangat panjang untuk

menjadi kota seperti saat ini. Proses tersebut harus melewati masa Kerajaan Buton

hingga akhirnya menjadi Kesultanan Buton dan menjadi bagian resmi dari NKRI pada

tahun 1945.

Awal terbentuknya permukiman berada di kawasan benteng keraton Buton

saat ini yang dibangun oleh Mia Patamiana, kemudian berkembang seiring

berjalannya pergantian raja-raja Buton dari Raja pertama Wa Kaa Kaa hingga raja

terakhir sekaligus sultan pertama Kerajaan Buton yaitu Raja/Sultan Murhum.

Memasuki masa Kesultanan Buton, permukiman juga berkembang diikuti dengan

pembangunan benteng keraton Buton yang mengalami penyempurnaan oleh beberapa

sultan yang memimpin saat itu hingga menjadi seperti sekarang ini.

Sampai pada akhirnya, Kesultanan Buton menjadi bagian dari Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sampai sekarang, kawasan benteng keraton

Buton menjadi kawasan bersejarah yang masih dipertahankan eksistensinya

mengingat awal mula terbentuknya kota Baubau itu sendiri.

64
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Zahari. Abdul Mulku. 2002. Katalog Naskah Buton. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.

Azizu N. Noverty dkk. 2010. Pelestarian Kawasan Benteng Keraton Buton.Malang,

Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya.

RTRW Kota Baubau Tahun 2010-2030

Sumber Internet :

 http://www.radarbuton.com/index.php?act=rubrik&catid=5

 http://www.baubaukota.go.id/statik/23/Sejarah.Kota.Bau.Bau

66

Anda mungkin juga menyukai