Tugas I
Tugas I
PENDAHULUAN
Kota selalu berkembang dari waktu ke waktu, perkembangan yang dalam hal ini
menyangkut aspek-aspek politik, sosial, budaya, teknologi, ekonomi dan fisik (Yunus,
2000),yang kemudian menyisakan berbagai elemen kota sebagai saksi dari perkembangan
yang terjadi. Elemen-elemen yang dimaksud adalah berbagai peninggalan atau aset
bersejarah yang dapat berupa bangunan bersejarah, monumen atau benda bersejarah
lainnya. Peninggalan atau aset bersejarah tersebut merupakan kekayaan yang tidak dapat
tergantikan dan akan memberikan citra terhadap masing-masing kota atau kawasan
Kawasan Benteng Keraton Buton selain merupakan kawasan bersejarah, juga dikenal
kawasan mengikuti gaya arsitektur tradisional Buton, hal ini merupakan salah satu ciri
1
khas kawasan yang membedakannya dengan kawasan lain di Kota Bau-bau. Dari sinilah
Kota Bau-Bau atau Baubau adalah sebuah pemerintahan kota di Pulau Buton,
Sulawesi Tenggara. Bau-Bau memperoleh status kota pada tanggal 21 Juni 2001
berdasarkan UU No. 13 Tahun 2001. Kota Baubau didirikan pada tanggal 17 Oktober
1541.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Pada mulanya, Baubau merupakan pusat Kerajaan Buton (Wolio) yang berdiri pada
awal abad ke-15 (1401 – 1499). Buton mulai dikenal dalam Sejarah Nasional karena telah
tercatat dalam naskah Negara Kertagama Karya Prapanca pada Tahun 1365 Masehi dengan
menyebut Buton atau Butuni sebagai Negeri (Desa) Keresian atau tempat tinggal para resi
dimana terbentang taman dan didirikan lingga serta saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia
Mahaguru. Cikal bakal negeri Buton untuk menjadi sebuah Kerajaan pertama kali dirintis
oleh kelompok Mia Patamiana (si empat orang) Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo,
Sijawangkati yang oleh sumber lisan di Buton mereka berasal dari Semenanjung Tanah
Nama Buton berasal dari kata Butuni, artinya tempat persinggahan. Letaknya strategis
diujung tenggara Sulawesi, maka sejak dulu Pulau Buton merupakan jalur lintas niaga. Letak
Kerajaan Buton di Sulawesi Tenggara, tepatnya di kota Baubau. Wilayahnya meliputi Pulau
Buton dan pulau-pulau di sekitar Sulawesi Tenggara. Kerajaan yang kemudian menjadi
Kesultanan ini, memiliki sejarah sistim pemerintahan monarki parlementer selama tujuh
abad.
3
Empat orang (Mia Patamiana) tersebut terbagi dalam dua kelompok: Sipanjonga dan
palolang pada bulan Syaban 634 Hijriyah (1236 M). Dalam perjalanan itu, mereka singgah
pertama kalinya di pulau Malalang, terus ke Kalaotoa dan akhirnya sampai di Buton,
yang disebut bendera Longa-Longa. Ketika Buton berdiri, bendera Longa-Longa ini dipakai
diceritakan mendarat di Teluk Bumbu, sekarang masuk dalam daerah Wakarumba. Pola
saudara Simalui dan memiliki seorang putera yang bernama Betoambari. Setelah dewasa,
Betoambari menikah dengan Wasigirina, putri Raja Kamaru. Dari perkawinan ini, kemudian
lahir seorang anak bernama Sangariarana. Seiring perjalanan, Betoambari kemudian menjadi
penguasa daerah Peropa, dan Sangariarana menguasai daerah Baluwu. Dengan terbentuknya
desa Peropa dan Baluwu, berarti telah ada empat desa yang memiliki ikatan kekerabatan,
yaitu: Gundu-Gundu, Barangkatopa, Peropa dan Baluwu. Keempat desa ini kemudian disebut
Empat Limbo, dan para pimpinannya disebut Bonto. Kesatuan keempat pemimpin desa
(Bonto) ini disebut Patalimbona. Mereka inilah yang berwenang memilih dan mengangkat
seorang Raja.
Selain empat Limbo di atas, di pulau Buton juga telah berdiri beberapa kerajaan kecil
yaitu: Tobe-Tobe, Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga. Seiring perjalanan sejarah,
kerajaan-kerajaan kecil dan empat Limbo di atas kemudian bergabung dan membentuk
4
sebuah kerajaan baru, dengan nama kerajaan Buton. Saat itu, kerajaan-kerajaan kecil tersebut
dilanjutkan raja Bataraguru, raja Tuarade, raja Rajamulae, dan terakhir raja Murhum.
Perubahan Buton menjadi kesultanan terjadi pada tahun 1542 M (948 H), bersamaan dengan
pelantikan Lakilaponto sebagai Sultan Buton pertama, dengan gelar Sultan Murhum
Kaimuddin Khalifatul Khamis. Setelah Raja Lakilaponto masuk Islam, kerajaan Buton
semakin berkembang dan mencapai masa kejayaan pada abad ke 17 M. Ikatan kerajaan
dengan agama Islam sangat erat, terutama dengan unsur-unsur sufistik. Undang-undang
Kerajaan Buton disebut dengan Murtabat Tujuh, suatu terma yang sangat populer dalam
tasawuf. Undang-undang ini mengatur tugas, fungsi dan kedudukan perangkat kesultanan. Di
masa ini juga, Buton memiliki relasi yang baik dengan Luwu, Konawe, Muna dan Majapahit.
Kerajaan Buton didirikan atas kesepakatan tiga kelompok atau rombongan yang
datang secara bergelombang. Gelombang pertama berasal dari kerajaan Sriwijaya. Kelompok
berikutnya berasal dari Kekaisaran Cina dan menetap di Buton. Kelompok ketiga berasal dari
5
Berikut ini daftar raja dan sultan yang pernah berkuasa di Buton. Gelar raja
menunjukkan periode pra Islam, sementara gelar sultan menunjukkan periode Islam.
Raja-raja:
2. Rajaputri Bulawambona
3. Raja Bataraguru
4. Raja Tuarade
5. Rajamulae
6. Raja Murhum
Sultan-sultan:
6
10. Sultan La Simbata (1664-1669 M)
7
29. Sultan Muh. Idrus (1824-1851 M)
Buton dihapus oleh pemerintahan Republik Indonesia atas nama NKRI. Saat itu Kesultanan
Kejayaan masa Kerajaan Buton (Wolio) sampai Kesultanan Buton sejak berdiri pada
tahun 1332 sampai dengan 1960 telah banyak meninggalkan warisan masa lalu yang
gemilang. Sampai saat ini masih dapat disaksikan berupa peninggalan sejarah, budaya seperti
8
naskah kuno yg tersimpan pada garis keturunan Laode dan Waode di pulau buton, sedangkan
naskah lain masih banyak yg dibawa ke belanda oleh bangsa belanda sendiri pada saat
penjajahan mereka dan arkeologi seperti kuburan raja dan sultan, benteng pertahanan
keraton,pintu gerbang yg disebut lawa, meriam tua dan masih banyak lagi yg lainnya. Saat ini
wilayah bekas Kesultanan Buton telah berdiri beberapa kabupaten dan kota, yaitu: Kabupaten
2.2 Benteng Keraton Buton (Buton Hill Fort), Bau Bau. 1597
Benteng Keraton Buton merupakan salah satu objek wisata bersejarah di Bau-bau,
Sulawesi Tenggara. Benteng peninggalan Kesultanan Buton tersebut dibangun pada abad ke-
16 oleh Sultan Buton III bernama La Sangaji yang bergelar Sultan Kaimuddin (1591-1596).
Pada awalnya, benteng tersebut hanya dibangun dalam bentuk tumpukan batu yang disusun
mengelilingi komplek istana dengan tujuan untuk mambuat pagar pembatas antara komplek
istana dengan perkampungan masyarakat sekaligus sebagai benteng pertahanan. Pada masa
pemerintahan Sultan Buton IV yang bernama La Elangi atau Sultan Dayanu Ikhsanuddin,
benteng berupa tumpukan batu tersebut dijadikan bangunan permanen. Pada masa kejayaan
pemerintahan Kesultanan Buton, keberadan Benteng Keraton Buton memberi pengaruh besar
terhadap eksistensi Kerajaan. Dalam kurun waktu lebih dari empat abad, Kesultanan Buton
Benteng yang merupakan bekas ibukota Kesultanan Buton ini memiliki bentuk arsitek
yang cukup unik, terbuat dari batu kapur/gunung. Benteng yang berbentuk lingkaran ini
dengan panjang keliling 2.740 meter. Benteng Keraton Buton mendapat penghargaan dari
Museum Rekor Indonesia (MURI) dan Guiness Book Record yang dikeluarkan bulan
september 2006 sebagai benteng terluas di dunia dengan luas sekitar 23,375 hektar. Panjang
9
keliling benteng tersebut 3 kilometer dengan tinggi rata-rata 4 meter dan lebar (tebal) 2
meter. Bangunannya terdiri atas susunan batu gunung bercampur kapur dengan bahan perekat
dari agar-agar, sejenis rumput laut. Luas seluruh kompleks keraton yang dikitari benteng
meliputi 401.911 meter persegi. Benteng ini memiliki 12 pintu gerbang yang disebut Lawa
dan 16 emplasemen meriam yang mereka sebut Baluara. Karena letaknya pada puncak bukit
terjal memungkinkan tempat ini sebagai tempat pertahanan terbaik di zamannya. Dari tepi
benteng yang sampai saat ini masih berdiri kokoh anda dapat menikmati pemandangan kota
Bau-Bau dan hilir mudik kapal di selat Buton dengan jelas dari ketinggian,suatu
pemandangan yang cukup menakjukkan. Selain itu, di dalam kawasan benteng dapat
dijumpai berbagai peninggalan sejarah Kesultanan Buton. Benteng ini terdiri dari tiga
BALIDI (MERIAM) Obyek wisata ini merupakan meriam yang terbuat dari besi tua
yang berukuran 2 sampai 3 depa. Meriam ini bekas persenjataan Kesultanan Buton
peninggalan Portugis dan Belanda yang dapat ditemui hampir pada seluruh benteng di Kota
Bau-Bau.
LAWA dalam bahasa Wolio berarti pintu gerbang. Lawa berfungsi sebagai
Terdapat 12 lawa pada benteng keraton. Angka 12 menurut keyakinan masyarakat mewakili
jumlah lubang pada tubuh manusia, sehingga benteng keraton diibaratkan sebagai tubuh
10
manusia. Ke-12 lawa memiliki masing-masing nama sesuai dengan gelar orang yang
mengawasinya, penyebutan lawa dirangkai dengan namanya. Kata lawa diimbuhi akhiran 'na'
menjadi 'lawana'. Akhiran 'na' dalam bahasa Buton berfungsi sebagai pengganti kata milik
"nya". Setiap lawa memiliki bentuk yang berbeda-beda tapi secara umum dapat dibedakan
baik bentuk, lebar maupun konstruksinya ada yang terbuat dari batu dan juga dipadukan
dengan kayu, semacam gazebo diatasnya yang berfungsi sebagai menara pengamat. 12 Nama
lawa diantaranya : lawana rakia, lawana lanto, lawana labunta, lawana kampebuni, lawana
BALUARA Kata baluara berasal dari bahasa portugis yaitu 'baluer' yang berarti
bastion. Baluara dibangun sebelum benteng keraton didirikan pada tahun 1613 pada masa
pembangunan 'godo' (gudang). Dari 16 baluara dua diantaranya memiliki godo yang terletak
diatas baluara tersebut. Masing-masing berfungsi sebagai tempat penyimpanan peluru dan
mesiu. Setiap baluara memiliki bentuk yang berbeda-beda, disesuaikan dengan kondisi lahan
dan tempatnya. Nama-nama baluara dinamai sesuai dengan nama kampung tempat baluara
tersebut berada. Nama kampung tersebut ada di dalam benteng keraton pada masa Kesultanan
baluarana wandailolo, baluarana baluwu, baluarana dete, baluarana kalau, baluarana godona
batu, baluarana lantongau, baluarana gundu-gundu, baluarana siompu dan baluarana rakia.
11
Lawa
Baluara
Balidi
Keraton Buton yang didirikan oleh sekelompok orang yang berasal dari semenanjung
1977).
Periode ini ditandai dengan munculnya dua area permukiman baru, yaitu kampung
Siompu dan Dete, sehingga di kawasan terdapat empat kampung. (Zahari, 1977)
12
5.13 Periode tahun 1332 – 1511
Periode ini ditandai dengan berdirinya kerajaan Buton. Sejak awal terbentuknya
tinggi kerajaan serta bangunan penting lainnya, juga dibangun pasar untuk keperluan
terdiri atas permukiman, pasar, serta makam dan RTH. Adapun kondisi sirkulasi saat
Periode ini ditandai dengan terbentuknya Kesultanan Buton, yaitu pada saat
pelantikan Raja Buton ke VI menjadi Sultan Buton pertama (Sultan Murhum) pada
tahun 1511. Setelah terbentuknya Kesultanan Buton kawasan ini tetap berfungsi
Buton dalam beberapa distrik. Adapun jumlah distrik keseluruhan yang merupakan
terbagi menjadi 9 (sembilan) distrik, yang masing-masing dipimpin oleh satu orang
pegawai kerajaan yang disebut limbo. Sembilan distrik tersebut meliputi distrik
Periode ini ditandai dengan dibangunnya benteng Keraton Buton yang mengelilingi
Sultan Buton III. Pada masa itu Sultan membangun benteng pertahanan untuk
13
melindungi kawasan sebagai pusat pemerintahan dari serangan musuh. Pada periode
ini distrik Baadia telah berkembang menjadi area permukiman penduduk sehingga di
Kawasan Benteng Keraton Buton terbagi menjadi 10 (sepuluh) distrik. (Zahari, 1977)
Periode ini diawali dengan pembangunan jaringan jalan pertama di kawasan yang
pembangunan jaringan jalan dilakukan dengan pemberian perkerasan aspal pada jalan
tanah yang terdapat di kawasan, sehingga pola jaringan jalan di kawasan tidak
lebar jalan. Pembangunan jaringan jalan juga dilakukan di sekitar kawasan untuk
dengan kawasan pelabuhan yang merupakan pusat kegiatan perdagangan pada masa
itu. (Zahari,1977)
Pada tahun 1945 setelah berakhirnya Kesultanan Buton, Kawasan Benteng Keraton
Buton kemudian masuk dalam wilayah desa Melai Kabupaten Buton, pada tahun 2001
setelah terbentuk Kota Bau-bau, kawasan ini kemudian termasuk dalam wilayah
Kelurahan Melai Kota Bau-bau, dan terbagi atas 4 (empat) lingkungan, yaitu
lingkungan Dete, Baluwu, Peropa dan Baadia. Perubahan yang terjadi di kawasan
meliputi perkembangan jaringan jalan, bangunan, sarana prasarana dan fasilitas umum
14
PERIODE PERKEMBANGAN KAWASAN BENTENG KERATON BUTON
15
PETA PERSEBARAN BANGUNAN KAWASAN BENTENG KERATON BUTON
16
2.2.2 Tinjauan Kawasan Keraton Kesultanan Buton
Kesultanan.
kamali berupa rumah tradisional Buton namun, yang memiliki ciri khusus yang
b) Masjid; Terdapat dua buah masjid di Kawasan Benteng Keraton Buton, yaitu masjid
agung dan masjid kuba. Keberadaan masjid ini berkaitan erat dengan fungsi kawasan
yang selain sebagai pusat pemerintahan, kawasan juga merupakan pusat penyebaran
17
d) Baruga; Bangunan yang digunakan sebagai tempat pelaksanaan upacara adat dan
rakyat.
e) Pasar; terdapat pasar tradisional yang terletak tidak jauh dari masjid agung keraton.
2. Karakteristik sirkulasi
pada ruas jalan yang ada antara pejalan kaki, kendaraan (mobil dan sepeda motor) dan
angkutan umum. Jalur sirkulasi utama dari dan menuju kawasan adalah di jalan
Labuke V, jalan Labuke IX dan jalan Baadia. Kondisi sirkulasi pada hari-hari biasa
18
tergolong lancar dan tidak terjadi kemacetan, kecuali pada saat tertentu, yaitu pada
saat hari raya Idul fitri dan pada waktu dilaksanakan kegiatan budaya (upacata adat)
terjadi kemacetan pada beberapa ruas jalan, yaitu jalan Labuke I dan jalan Labuke IX.
untuk parkir kendaraan wisatawan yang berkunjung ke kawasan dan parkir kendaraan
masyarakat pada momen tertentu, yaitu pada saat pelaksanaan kegiatan budaya
(upacara adat) serta pada pelaksanaan shalat idul fitri, hingga saat ini area parkir yang
a. Usia Bangunan
b. Fungsi Bangunan
(85%), museum dan sarana peribadatan (masjid). Sebagian besar bangunan tidak
19
c. Status Kepemilikan
perubahan fisik.
20
e. Karakteristik sosial dan budaya masyarakat
Kawasan Benteng Keraton Buton merupakan pusat kegiatan budaya di Kota Bau-
adat, seperti upacara qunut, bongkaana tao, pekande-kandea, goraana oputa dan
sebagainya.
dengan panjang 2.740 meter dan luasnya 401.900 m2. Benteng yang dibangun selama
13 tahun ini, memiliki 12 pintu gerbang (lawa) dan 16 pos jaga/kubu pertahanan
(bastion) yang dalam bahasa Buton disebut Baluara. Tiap-tiap pintu gerbang dan pos
jaga dikawal 4-6 meriam peninggalan Portugis, jumlah keseluruhan meriam 52 buah.
Tembok benteng memiliki ketebalan 1-2 meter dengan ketinggian antara 2-8 meter.
masa Kesultanan Buton dan sebagian kecil dibangun setelah masa kemerdekaan.
Jumlah rumah saat ini sebanyak 328 rumah dengan perinciaan 1 buah berupa
Kamali/Malige, 260 rumah Banua Kambero, 57 buah Banua Tada, Sekolah Dasar 2
21
Buah, Kantor Kelurahan 1 buah, Kantor Dinas Pariwisata 1 buah, Kantor Cagar
Budaya 1 Buah, Balairung (Baruga) 3 buah, Mesjid 1 buah, posyandu 1 buah (profil
faktor politik. Kondisi politik di Sulawesi pada periode abad ke-17 sampai awal abad
ke-20 ditandai oleh terjadinya konflik internal antar kerajaan di Sulawesi Selatan
seperti Kerajaan Gowa dengan Bone. Konflik ini juga terjadi antara kerajaan (Gowa
dan Bone) dengan Belanda dan Ternate. Situasi inilah yang menyebabkan Sulawesi
Tenggara, khususnya Buton menjadi tujuan para pengungsi dari Sulawesi Selatan
karena wilayah ini selain mudah dijangkau, juga karena dianggap aman (La Ode
Rabani, 2004).
pantai Pulau Buton, dengan nama pulau Makassar. Bukti lain yang menunjukkan
adanya peristiwa itu adalah adanya nama kampung yang disebut dengan kampung
Bone-bone, Wadjo atau Bajo. Nama itu berasal dari sebutan penduduk Bone dan
Wajo di Sulawesi Selatan dan penduduk Bajau yang sekarang dikenal dengan nama
Sama Bajau. Komunitas penduduk lainnya seperti Eropa, Jawa, Melayu, Cina, dan
Arab turut juga menambah heterogenitas penduduk kota Buton. Suku lain yang
tinggal di Buton adalah Tolaki, Muna, Tukang Besi, dan Kabaena (La Ode Rabani,
2004).
22
Setelah berakhirnya masa Kesultanan Buton tahun 1960, maka pemerintah
Buton berpusat di Bau-Bau. Pada masa itu wilayah Wolio di mekarkan menjadi
beberapa desa yang salah satunya desa Melai dan kemudian menjadi Kelurahan
berkembang dengan adanya prasarana jalan, listrik, air bersih, telepon, sampah, dan
sanitasi.
Pada masa ini di kelurahan Melai mulai ditetapkan sebagai daerah cagar
budaya berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1992 pasal 15, yang masuk dalam
Undang-undang ini yaitu, Benteng, Mesjid Keraton Buton, Makam dan situs-situs
lainnya. Pembangunan permukiman pada masa ini lebih diutamakan renovasi pada
bangunan yang ada. Pembangunan rumah baru dilakukan oleh masyarakat berupa
rumah panggung sebagai rumah tinggal, dan yang dibangun oleh pemerintah ada
beberapa bangunan yang berfungsi sebagai tempat pendidikan (Sekolah Dasar) dan
Kantor Kelurahan.
1) Prasarana jalan, jalan berupa jalan aspal yang mengelilingi benteng juga
3) Prasarana Air Bersih, berupa jaringan air bersih yang di kelola oleh PDAM.
23
4) Prasarana Telekomunikasi, berupa jaringan telepon dari Perumtel dan jaringan
telepon Seluler.
utama hal ini disebabkan oleh kondisi topografi Kelurahan Melai yang berada
benda peninggalan Kesultanan Buton. Salah satu benda yang kaya akan makna
(berarti pula Mahligai) adalah salah satu dari peninggalan arsitektur tradisional Buton,
dapatlah dikatakan sebagai hasil dan kekayaan dari proses budaya (cultural process).
berbagai sistem kehidupan masyarakat pendukungnya, baik itu mengenai sistim sosial
konsep tasawuf (Martabat Tujuh), yang menganggap bahwa pemilik kamali dalam hal
ini Sultan adalah replikasi dari wajah Tuhan (Allah) yang wujudnya dianalogikan
dalam bentuk arsitektur rumahnya (istananya) baik yang bersifat konstruksi maupun
dekorasi. Bentuk lantai dan atapnya yang bersusun menunjukkan kebesaran dan
24
Kamali/Malige dan rumah masyarakat biasa di Buton pada dasarnya adalah
sama sebab berasal dari satu konstruksi yang sama yang disebut banua tada. Rumah
bangunan, berfungsi sebagai dekorasi konstruksi yang disebut kipas (kambero), dan
kemudian rumah inilah yang di sebut dengan banua tada kambero. Simbol-simbol
inilah yang membedakannya dengan rumah masyarakat biasa yang cukup disebut
Menurut Zahari (2002), satu hal yang menarik pada rumah pejabat kesultanan
dan rumah masyarakat biasa adalah peninggian lantai rumah yang berbeda-beda.
Lantai rumah bagian kanan lebih tinggi dibanding bagian kiri, peninggian lantai setiap
ruangan ini merupakan pola awal konstruksi yang sudah menjadi aturan pokok jika
antara haluan dan buritan atau posisi sujud dalam shalatnya seorang Islam. Sedangkan
pembagiannya tergantung luas dan besar bangunan. Untuk fungsi dapur dan WC
harus terpisah dengan induk bangunan, dan susunan lantainya lebih rendah dari lantai
bangunan utama.
hanya di hubungkan oleh satu tangga. Dapur dan WC secara simbolis adalah dunia
luar yang keberadaannya jika dianalogikan pada tubuh manusia adalah pembuangan.
Tampak konstruksi umum bangunan terbagi 3 (tiga) sebagai ciri 3 (tiga) alam
kosmologi yakni, alam atas (atap), alam tengah atau badan rumah dan alam bawah
tetapi satu sama lain dapat membentuk suatu struktur yang kompak dan kuat dimana
25
keseluruhan elemennya saling kait-mengkait dan berdiri diatas tiang-tiang yang
menumpu pada pondasi batu alam, dalam bahasa Buton di sebut Sandi. Sandi tersebut
tidak di tanam, hanya di letakkan begitu saja tanpa perekat. Sandi berfungsi
meletakkan tiang bangunan, antara sandi dan tiang bangunan di antarai oleh satu atau
dua papan alas yang ukurannya disesuaikan dengan diameter tiang dan sandi.
batu alam tersebut bermakna simbol prasejarah dan pemisahan alam (alam dunia dan
alam akherat) konsep dualisme, walaupun sebenarnya jika ditinjau dari fungsinya
Konstruksi lainnya adalah balok penghubung sebagai tiang yang harus diketam
halus adalah penggambaran budi pekerti orang beriman, sebagai analogi bagi
1) Atap yang disusun sebagai analogi susunan atau letaknya posisi kedua tangan
dalam shalat, tangan kanan berada di atas tangan kiri. Pada sisi kanan kiri atap
terdapat kotak memanjang berfungsi bilik atau gudang. Bentuk kotak tersebut
3) Tiang Istana di bagi menjadi 3 (tiga) yang pertama disebut Kabelai (tiang
diwujudkan dalam pribadi Sultan. Kabelai ditandai dengan adanya kain putih
pada ujung bagian atas tiang. Penempatan kain putih harus melalui upacara
adat (ritual) karena berfungsi sakral. Berikutnya adalah tiang utama sebagai
26
atau kedudukan pemilik rumah dalam Kesultanan. Tiang lainnya adalah tiang
berkaitan dengan posisi pintu depan, sebagai arah hadap bangunan yang
dengan tangga dan pintu belakang yang menghadap utara disimbolkan sebagai
5) Lantai yang terbuat dari kayu jati melambangkan status sosial bahwa sultan
adalah bangsawan dan melambangkan pribadi sultan yang selalu tenang dalam
menghadapi persoalan.
kerahasian ibarat alam kehidupan dan alam kematian. Dinding dipasang rapat
sebagai upaya untuk mengokohkan dan prinsip Islam pada diri Sultan sebagai
khalifah.
udara. Pada bagian atasnya terdapat bentuk hiasan balok melintang member
kesan adanya pengaruh Islam yang mendalam. Begitu pula pada bagian
27
Struktur bangunan rumahnya tersebut sangat kompleks seperti kosmos pada tubuh
manusia, seluruh sambungan rumah tidak memakai paku seperti pada sambungan
tulang manusia. Persambungan antar kayu dibuat dengan sambungan pasak yang
Menurut Zahari (2002), makna simbolis pada dekorasi Kamali/Istana Malige terbagi
dua yakni yang berbentuk hiasan flora dan fauna, diantaranya adalah:
umum simbol ini menyiratkan bahwa masyarakat Buton agar mempunyai sifat
seperti nenas, yang walaupun penuh duri dan berkulit tebal tetapi rasanya
manis.
keteguhan dan kebahagiaan yang telah mengakar sejak masa pra-Islam. Pada
pemaknaan yang lain sesuai arti bahasa daerahnya bosu-bosu adalah tempat air
3) Ake merupakan hiasan yang bentuknya seperti patra (daun). Pada Istana
Karena bentuknya yang mirip pula matahari, orang Buton biasa pula
28
muncul dari dalam Bumi. Keberadaan Naga mengisahkan pula asal-usul
Tempayan ini mutlak harus ada di setiap bangunan kamali maupun rumah
rakyat biasa.
memahami bentuk struktur masyarakat, status sosial, ideologi dan gambaran struktur
29
30
4.5 Banua Tada sebagai Rumah Masyarakat
dibangun masih sangat sederhana yang kemudian rumah tersebut dikenal sebagai
Banua Tada yang kemudian dijadikan bentuk rumah masyarakat umum pada masa
Bentuk dan ciri banua tada untuk masyarakat berupa rumah panggung dengan ciri-ciri
sebagai berikut :
2) Tidak ada simbol-simbol pada bangunan rumah. Atap rumah satu susun. Guci
sebagai petani, buruh, tukang kayu, tukang batu ataupun nelayan. Harapan mereka
dapat tinggal dengan tenang dan kehidupannya dapat berjalan dengan damai dan
aman di bawah pemerintahan Kesultanan Buton. Jumlah rumah ini di dalam benteng
Keraton Buton tidak banyak dan saat ini jumlah mulai berkurang di ganti dengan
bentuk rumah yang menyerupai bentuk rumah pejabat. Dari hasil observasi jumlah
rumah yang ada 328 rumah terdapat 57 rumah masyarakat biasa, yang terbagi di
32
34
BAB IV
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti proses, cara, dan
Revitalisasi sebagai upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian
makro dan mikro. Proses revitalisasi sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek
fisik, aspek ekonomi dan aspek sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu
Kegiatan konservasi bisa berbentuk preservasi dan pada saat yang sama
revitalisasi dan atau penggunaan untuk fungsi baru suatu aset masa lalu. Untuk
penyelesaian keindahan fisik saja, tapi juga harus dilengkapi dengan peningkatan
sekedar ikut serta untuk mendukung aspek formalitas yang memerlukan adanya
partisipasi masyarakat, selain itu masyarakat yang terlibat tidak hanya masyarakat di
lingkungan kawasan tertata, tapi masyarakat dalam arti luas. Untuk itu, perlu
36
mekanisme yang jelas. Aspek lain yang penting dan sangat berperan dalam
Kegiatan revitalisasi dapat dilakukan dari aspek keunikan lokasi dan tempat
bersejarah. Demikian juga, revitalisasi juga dilakukan dalam rangka untuk mengubah
Skala upaya revitalisasi bisa terjadi pada tingkatan mikro kawasan, seperti
pada sebuah jalan, atau bahkan skala bangunan, akan tetapi juga bisa mencakup
kawasan yang lebih luas. Apapun skalanya tujuannya adalah sama, yaitu memberikan
kehidupan baru yang produktif yang akan mampu memberikan kontribusi positif pada
Berikut adalah beberapa hal mengapa suatu kawasan perlu direvitalisasi, sebagai
berikut:
kenyataan bahwa kawasan tertata merupakan lokasi yang paling efisien dan
sebagainya.
2. Dengan persediaan lahan yang semakin terbatas, maka gejala kenaikan harga
lahan tak terhindarkan lagi. Lahan telah menjadi suatu komoditas yang
37
3. Lahan (topos) merupakan sumber daya utama kawasan yang sangat kritikal,
lahan yang ada agar dapat memberikan manfaat yang lebih besar lagi bagi
kelangsungan hidup kawasan yang lebih baik. Maka lahirlah upaya untuk
jatidiri masyarakat.
bersejarahnya.
4. Menjembatani kolaborasi lintas sektor, bidang ilmu dan keahlian yang sangat
masyarakat.
38
4.4 Klasifikasi Kawasan Revitalisasi
39
c) Revitalisasi sosial/institusional, keberhasilan revitalisasi sebuah kawasan akan
Kawasan :
(Constantinos Doxiadis)
c) Place (Space With Human Value) And Space (Artefact Value) (R. Trancyk)
Budaya
40
5.1 Arahan pelestarian Kawasan Benteng Keraton Buton
ciri khas dan karakter kawasan sebagai kawasan peninggalan sejarah Kesultanan
pendirian bangunan baru dengan desain dan konstruksi yang dinilai tidak
bersejarah.
41
bersejarah, diharapkan melalui penyuluhan ini dapat mengubah cara pandang
dicegah.
42
d) Pemberian insentif kepada pemilik bangunan yang telah berperan serta
retribusi.
pemeliharaan bangunan.
perawatan.
43
Nama Nama Tahun Arsitek Lokasi Gambar Terakhir Gambar Tertua
Resmi Sebelumn
Terakhir ya
Masjid Masigi 1538 M pelopor 5°28'25.6"S
Agung Ogena atau 948 pembangunan 122°36'07.4"
Wolio Wolio H nya adalah E
Syekh Abdul
Wahid, di
bantu para
pejabat tinggi
kerajaan
seperti sultan
Murhum,
Sangia, La
Ulo
Kasulana Kasulana Abad 17 5°28'24.8"S
Tombi Tombi M 122°36'07.3"
E
44
Malige Kamali 1929 5°27'28.0"S
122°36'26.0"
E
45
BAB V
a. Letak Geografis
Buton, terletak pada 502’ - 5033’ LS dan diantara 122030’ -122047’ BT.
Posisi geografis yang strategis menjadikan Kota Bau-Bau sebagai kota transit
laut. Posisi ini juga menjadikan Bau-Bau berkembang sebagai pusat aktifitas
Secara fisik Kota Bau-Bau terletak pada Selat Buton yang mempunyai
Dari sisi letak secara nasional, Kota Bau-Bau merupakan kota yang memiliki
b. Wilayah Administrasi
tahun 1960, kesultanan ini meliputi pulau-pulau utama Buton, Muna dan
Kabaena, dan Tukang Besi (sekarang Waka-tobi) serta dua daerah di bagian
Pada tahun 1960, kesultanan yang berusia lebih dari empat abad itu
terletak di utara Muna dan Buton, dan Kabupaten Buton meliputi bagian-
bagian lain dari bekas wilayah kesultanan. Pemekaran wilayah dimulai sejak
tahun 2001, perubahan status Kota administratif Bau-Bau menjadi Kota Bau-
Bau (61.110 ha) yang terpisah dari Kabupaten Buton (Undang-Undang No.
13 Tahun 2001).
47
Ditinjau dari segi administrasi, wilayah Kota Bau-Bau terdiri dari 7
kecamatan, yakni :
3. Kecamatan Wolio
a. Kelurahan Wale,
b. Kelurahan Bataraguru,
c. Kelurahan Tomba,
d. Kelurahan Wangkanapi,
e. Kelurahan Batulo,
f. Kelurahan Kadolokatapi
g. Kelurahan Bukit Walio
Indah
4. Kecamatan Kokalukuna
a. Kelurahan Lakologou,
b. Kelurahan Liwuto,
c. Kelurahan Sukanaeyo,
d. Kelurahan Kadolomoko,
e. Kelurahan Kadolo
f. Kelurahan Waruruma.
48
5.2 Penggunaan Lahan
a. Jenis
Penggunaan lahan Kota Bau-Bau terdiri dari kawasan lindung dan kawasan budidaya,
50
e. sebagian kecil Liabuku selatan.
Penggunaan lahan Kota Bau-Bau terdiri dari 17 jenis pemanfaatan, yakni : Bandar
udara, cadangan, pengembangan, hutan kota, hutan produksi, industri maritime, in-
wisata.
Jenis guna lahan hutan produksi teridentifikasi memiliki persentase yang paling tinggi
dibanding jenis guna lahan lainnya, sedang jenis guna lahan cadangan pengembangan
tercatat memiliki luas lahan terluas kedua setelah hutan produksi yang mencapai
29,6% dari total luas penggunaan lahan. Jenis guna lahan dengan luas terkecil adalah
pelabuhan yang hanya mencapai 0,02 % dari total luas penggunaan lahan, yang
disusul dengan perdagangan grosir dengan luas lahan yang hanya mencapai 0,04 %
51
52
53
Luas Tiap Jenis Penggunaan Lahan Kota Bau-Bau
Persentase
No Jenis Guna Lahan Luas ( ha )
(%)
1 Bandar Udara 60,461 0,209
2 Cadangan Pengembangan 8.565,482 29,6
3 Hutan Kota 204,561 0,707
4 Hutan Lindung 1483,768 5,128
5 Hutan Produksi 12.722,72 43,97
6 Industri Maritim 326,287 1,128
7 Industri Pengolahan Pertanian 391,445 1,353
8 Pelabuhan 5,582 0,019
9 Pendidikan 66,767 0,231
10 Perdagangan & Jasa 377,04 1,303
11 Perdagangan Grosir 13,213 0,046
12 Perkantoran 59,88 0,207
13 Perkebunan 631,17 2,181
14 Permukiman 1.139,297 3,938
15 Sawah 1.201,136 4,151
16 Tegal/Ladang 1.487,535 5,141
17 Wisata 196,781 0,68
Jumlah 28933.12 100
c. Status Lahan
Status tanah utamanya berpengaruh pada besarnya investasi yang harus dike-luarkan
baik oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat, juga dampak sosial yang
54
56
5.3 Penggunaan Perairan
RI No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
adalah batas transisi ekosistem antara wilayah darat dan wilayah laut. Adapun
kecamatan-kecamatan yang kontak dengan laut Selat Buton adalah sebagai berikut:
perbukitan yang ada di bagian Timur Kota Bau-Bau. Demikian sehingga kategori
wilayah pesisir yang berhadapan dengan laut selat Buton hanya ada 5 kecamatan, dan
2 kecamatan lainnya dianggap sebagai wilayah daratan yang ada di belakang wilayah
pesisir.
58
3. Pantai Bone-Bone, Wamelo, dan Kaobula di Kecamatan Murhum
Kokalukuna
5. Pantai yang memiliki tebing curam dan laut yang dalam adalah:
Kawasan atau zona pemanfaatan Umum di WP3K Kota Bau-Bau terdiri dari:
dari Pulau Makassar masih terdapat danger area (tempat meletakkan bom dan ranjau
59
d. Zona Alur
Tenggara.
3. Pelabuhan Pertamina.
4. Pelabuhan petikemas.
60
62
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Proses terbentuknya Kota Baubau mengalami masa yang sangat panjang untuk
menjadi kota seperti saat ini. Proses tersebut harus melewati masa Kerajaan Buton
hingga akhirnya menjadi Kesultanan Buton dan menjadi bagian resmi dari NKRI pada
tahun 1945.
saat ini yang dibangun oleh Mia Patamiana, kemudian berkembang seiring
berjalannya pergantian raja-raja Buton dari Raja pertama Wa Kaa Kaa hingga raja
sultan yang memimpin saat itu hingga menjadi seperti sekarang ini.
64
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Zahari. Abdul Mulku. 2002. Katalog Naskah Buton. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
Sumber Internet :
http://www.radarbuton.com/index.php?act=rubrik&catid=5
http://www.baubaukota.go.id/statik/23/Sejarah.Kota.Bau.Bau
66