TB Paru Trend Dan Isu Kelompok 3
TB Paru Trend Dan Isu Kelompok 3
PENDAHULUAN
1
penemuan dan penyembuhan pasien, dengan prioritas diberikan kepada
pasien TB tipe menular.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat ditarik rumusan masalah :
1. Bagaimana Epidemiologi Penyakit Tuberculosis Paru Di Indonesia
Dan Kalteng ?
2. Bagaimana Penatalaksanaan Penyakit Tuberculosis Paru ?
3. BagaimanaKebijakan Pemerintah Tentang Pencegahan Dan
Pengendalian Penyakit Tuberculosis Paru?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Agar mahasiswa dapat mengetahui, mengenal serta memahami
tentang trend dan isu penyakit tuberculosis paru.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Epidemiologi Penyakit Tuberculosis Paru Di Indonesia Dan Kalteng.
2. Penatalaksanaan Penyakit Tuberculosis Paru.
3. Kebijakan Pemerintah Tentang Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit
Tuberculosis Paru
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan yaitu para pembaca khususnya bagi tenaga
kesehatan, dapat lebih mengetahui dan memahamitentang trend dan isu
penyakit tuberculosis paru. Dengan mengenali dan memahami kita dapat
melakukan tindakan pengobatan secara cepat dan tepat.
2
BAB 2
TINJAUAN TEORI
3
Sumber: WHO 2011
Jumlah kasus baru BTA positif di Indonesia pada tahun 2012 sebanyak
202.301 kasus. Jumlah tersebut sedikit lebih rendah bila dibandingkan kasus baru
BTA positif yang ditemukan tahun 2011. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan
4
terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang tinggi yaitu Jawa Barat, Jawa
Tengah, dan Jawa Timur. Kasus baru di tiga provinsi tersebut sekitar 40% dari
jumlah seluruh kasus baru di Indonesia.
Menurut jenis kelamin, kasus BTA positif pada laki-laki hampir 1,5 kali
dibandingkan kasus BTA positif pada wanita. Sebesar 59,4% kasus BTA positif
ditemukan pada laki-laki dan 40,6% kasus pada perempuan. Seluruh kasus di 33
provinsi di Indonesia lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Disparitas paling tinggi antara laki-laki dan perempuan terjadi di Aceh, kasus
pada laki-laki hampir 3/2 dari kasus perempuan, yaitu 66,1% penderita laki-laki
dan 33,9%-nya merupakan penderita perempuan.
Menurut kelompok umur, kasus baru yang ditemukan paling banyak pada
kelompok umur 25 – 34 tahun yaitu sebesar 21,72% diikuti kelompok umur 35 -
44 tahun sebesar 19,38% dan pada kelompok umur 45 – 54 tahun sebesar 19,26%.
Proporsi kasus baru BTA positif menurut kelompok umur dapat dilihat pada
Gambar 2. Kasus baru BTA positif kelompok umur 0 – 14 tahun merupakan
proporsi yang paling rendah. Pada Gambar 2 terlihat bahwa kasus tuberkulosis
rata-rata terjadi pada usia dewasa.
5
Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI 2013
Gambar 1 Proporsi kasus baru BTA positif menurut kelompok umur tahun 2012
Proporsi pasien baru BTA positif di antara semua kasus adalah persentase
pasien baru BTA positif di antara semua pasien TB paru tercatat. Indikator ini
menggambarkan prioritas penemuan pasien TB yang menular di antara seluruh
pasien TB paru yang diobati. Angka ini diharapkan tidak lebih rendah dari 65%.
Apabila proporsi pasien baru BTA positif di bawah 65% maka hal itu
menunjukkan mutu diagnosis yang rendah dan kurang memberikan prioritas untuk
menemukan pasien yang menular (pasien BTA positif).
Pada Gambar 3, terlihat bahwa sejak tahun 2007 sampai dengan tahun
2012 proporsi pasien baru BTA positif di antara seluruh kasus belum mencapai
target yang diharapkan meskipun tidak terlalu jauh berada di bawah target
minimal (yang sebesar 65%). Hal itu mengindikasikan kurangnya prioritas
6
menemukan kasus BTA positif. Namun, menurut provinsi, terdapat beberapa
provinsi yang telah mencapai target tersebut seperti yang terlihat pada Gambar 4.
Proporsi BTA positif pada tahun 2012 di antara seluruh kasus TB paru
tertinggi dicapai oleh Provinsi Sulawesi Tenggara (94%), Sulawesi Utara dan
Jambi masing-masing 92%. Sedangkan capaian terendah yaitu Provinsi Papua
Barat (31%), DKI Jakarta (33%) dan Papua (38%). Sebanyak 21 dari 33 provinsi
(63,6%) telah mencapai target minimal 65%.
7
kecenderungan penemuan kasus dari tahun ke tahun di wilayah tersebut. Angka
ini berguna untuk menunjukkan kecenderungan (trend) meningkat atau
menurunnya penemuan pasien pada wilayah tersebut.
Gambar 5 Angka notifikasi kasus BTA positif dan seluruh kasus per 100.000
penduduk t
Gambar 5 menunjukkan angka notifikasi kasus baru TB paru BTA positif dari
tahun 2007 – 2011 mengalami peningkatan kecuali tahun 2012 yang sedikit
menurun menjadi 82 per 100.000 penduduk. Sedangkan angka notifikasi seluruh
kasus BTA positif semenjak 2007 sampai 2012 cenderung meningkat.
8
Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI 2013
Gambar 6 Angka notifikasi kasus TB paru BTA positif per 100.000 penduduk
menurut provinsi di Indonesia tahun 2012
9
Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI 2013
Gambar 7 Angka penemuan kasus (case detection rate) TB paru BTA positif di
Indonesia tahun 2006 – 2012
10
2.2 Penatalaksanaan Penyakit Tuberculosis Paru
1. Penatalaksanaan Medis
Kebanyakan individu dengan TB aktif yang baru didiagnosa tidak di rawat
di rumah sakit. Jika TB paru terdiagnosa pada individu yang sedang di rawat,
klien mungkin akan tetap di rawat sampai kadar obat terapeutik telah ditetapkan.
Beberapa klien dengan TB aktif mungkin di rawat di rumah sakit karena alasan:
1) Mereka sakit akut
2) Situasi kehidupan mereka dianggap berisiko tinggi
3) Mereka diduga tidak patuh terhadap program pengobatan
4) Terdapat riwayat TB sebelumnya dan penyakit aktif kembali
5) Terdapat penyakit lain yang bersamaan dan bersifat akut
6) Tidak terjadi perbaikan sesudah terapi, dan
7) Mereka resisten terhadap pengobatan yang biasa, membutuhkan
obat garis ke-2 dan ke-3. Dalam situasi seperti ini, perawat singkat di rumah sakit
diperlukan untuk memantau keefektifan terapi dan efek samping obat-obat yang
diberikan.
Klien dengan diagnosa TB aktif biasanya mulai diberikan tiga jenis
medikasi atau lebih untuk memastikan bahwa organisme yang resisten telah
disingkirkan. Dosis dari beberapa obat mungkin cukup besar karena basil sulit
untuk dibunuh. Pengobatan berlanjut cukup lama untuk menyingkirkan atau
mengurangi secara substansial jumlah basil dorman atau semidorman. Terapi
jangka panjang yang tak terputus merupakan kunci sukses dalam pengobatan TB.
Medikasi yang digunakan untuk TB mungkin dibagi menjadi preparat
primer dan preparat baris kedua. Preparat primer hampir selalu diresepkan
pertama kali sampai laporan hasil kultur dan labolatorium memberikan data yang
pasti. Klien dengan riwayat TB yang tidak selesai mungkin mempunyai
organisme yang menjadi resisten dan preparat sekunder harus digunakan.
Lamanya pengobatan beragam, beberapa program mempunyai pendekatan dua
fase:
1) Fase intensif yang menggunakan dua atau tiga jenis obat, ditujukan untuk
menghancurkan sejumlah besar organisme yang berkembang baik dengan
cepat, dan
11
2) Fase rumatan, biasanya dengan dua obat, diarahkan pada pemusnahan
sebagian besar basil yang masih tersisa.
Program pengobatan dasar yang direkomendasikan bagi klien yang
sebelumnya belum diobati adalah dosis harian isoniazid, rifampin, dan
pirazinamid selama 2 bulan. Pengobatan ini diikuti dengan isoniazid dan rifampin
selama 4 bulan. Kultur sputum digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan
terapi. Jika kepatuhan terhadap pendosisan harian menjadi masalah, maka
diperlukan protokol TB yang memberikan medikasi dua atau tiga kali seminggu.
Program ini biasanya diberikan di klinik untuk memastikan klien menerima obat
yang di haruskan.
Jika medikasi yang digunakan tampak tidak efektif (misalnya:
memburuknya gejala, peningkatan infiltrat, atau pembentukan kavitas), program
harus dievakuasi kembali, dan kepatuhan klien harus dikaji. Setidaknya dua
medikasi (tidak pernah hanya satu) ditambahkan pada program terapi TB yang
gagal.
Medikasi yang digunakan untuk mengobati TB mempunyai efek samping
serius, bergantung pada obat spesifik yang diresepkan. Toleransi obat, efek obat,
dan toksisitas obat bergantung pada faktor-faktor seperti usia, dosis obat, waktu
sejak obat terakhir yang digunakan, formula kimia dari obat, fungsi ginjal dan
usus, dan kepatuhan klien. Klien penderita TB yang tidak membaik atau yang
tidak mampu menoleransi medikasi mungkin membutuhkan pengkajian dan
pengobatan pada fasilitas medis yang mengkhususkan dalam pengobatan TB paru
berkomplikasi.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Tentukan apakah pasien pernah terpajan pada individu dengan TB atau
tidak. Sering kali “sumber” dari infeksi tidak diketahui dan mungkin tidak pernah
ditemukan. Pada saat yang sama, kontak erat pasien harus diidentifikasi sehingga
mereka dapat menjalani “follow-up” untuk menentukan apakah mereka terinfeksi
dan mempunyai penyakit aktif atau tes tuberculin positif. Keluhan pasien yang
paling umum adalah batuk produktif dan berkeringat malam hari.
Data yang harus dikumpulkan untuk mengkaji pasien dengan TB
mencakup batuk produktif, kenaikan suhu tubuh siang hari, reaksi tuberkulin
12
dengan indurasi 10 mm atau lebih dan rotgen dada yang menunjukkan infiltrat
pulmonal (Niluh dan Christie, 2003).
3. Penatalaksanaan Diet
Terapi diet bertujuan untuk memberikan makanan secukupnya guna
memperbaiki dan mencegah kerusakan jaringan tubuh lebih lanjut serta
memperbaiki status gizi agar penderita dapat melakukan aktivitas normal.
Terapi diet untuk penderita kasus Tuberculosis paru adalah:
1) Energi diberikan sesuai dengan keadaan penderita untuk mencapai berat
badan normal
2) Protein yang tinggi untuk mengganti sel-sel yang rusak meningkatkan kadar
albumin serum yang rendah (75-100 gram)
3) Lemak cukup 15-25 % dari kebutuhan energy total
4) Karbohidrat cukup sisa dari kebutuhan energy total
5) Vitamin dan mineral cukup sesuai kebutuhan total
Macam diet untuk penyakit TBC:
1) Diet Tinggi Energi Tinggi Protein I (TETP I)
Energy: 2600 kkal, protein 100 gram (2/kg BB)
2) Diet Tinggi Energi Tinggi Protein II (TETP II)
Energy: 3000 kkal, protein 125 gram (2,5 gr/kg BB)
Perhitungan kebutuhan energi dan zat gizi makro dapat disesuaikan dengan
kondisi tubuh penderita (BB dan TB) dan penderita dapat diberikan salah satu dari
dua macam diet tinggi energi tinggi protein (TETP) sesuai tingkat penyakit
penderita (Denny Indra, 2010).
Dapat dilihat di bawah ini bahan makanan yang dianjurkan dan tidak
diancurkan pada penderita TB paru:
Yang Tidak
Bahan Makanan Dianjurkan
Dianjurkan
Nasi, roti macaroni dan
Sumber karbohidrat hasil olahan tepung
seperti cake, pudding.
Daging sapi, ayam, Dimasak dengan
Sumber protein
telur, ikan, susu dan banyak minyak kelapa
13
hasil olahan sepeti atau santan kental
yogurt dan keju
Semua jenis kacang-
kacang dan hasil Dimasak hanya dengan
Sumber protein nabati
olahannya seperti minyak kelapa
temped an keju
Semua jenis sayuran
Sayuran seperti: bayam, buncis,
daun singkong
Semua jenis segar,
Buah-buahan seperti: papaya,
semangka, melon
Soft drink, madu,
Minuman sirup, teh dan kopi Minuman rendah kalori
encer
Minyak goreng,
Lemak dan minyak mentega, margarine, Santan kental
santan encer, salat
Bumbu tidak tajam
Bumbu yang tajam
Bumbu seperti bawang merah,
seperti cabe dan lada
bawang putih, laos
14
Gambar 10. Jumlah Kasus AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin dan Tahun
Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2005 – 2012
Dari gambar diatas jumlah kasus AIDS sedikit ada penurunan bila
dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebanyak 21 kasus. Namun perlu ada
perhatian pada penderita HIV positif karena pada tahun 2012 jumlah kasus HIV
positif sebanyak 96 kasus dari beberapa kasus HIV positif tentunya adanya yang
memasuki fase AIDS sehingga jumlah kasus baru AIDS di tahun-tahun
mendatang akan mengalami peningkatan. Meningkatnya kasus HIV-AIDS di
Kalimantan Tengah disebabkan masih rendahnya pengetahuan masyarakat tentang
HIV/AIDS. Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010 di Provinsi Kalimantan
Tengah bahwa persentase umur ≥15 tahun dengan pengetahuan komprehensif
tentang HIV/AIDS dan persentase penduduk umur ≥15 tahun dengan yang pernah
mendengar HIV/ADIS masih dibawah 57,5%.
2.3 Kebijakan Pemerintah Tentang Pencegahan Dan Pengendalian
Penyakit Tuberculosis Paru
15
digunakan paduan OAT jangka pendek yang terdiri dari INH, Rifampisin,
Pirazinamid dan Ethambutol selama 6 bulan.Pada tahun 1995, program nasional
pengendalian TB mulai menerapkan strategi DOTS dan dilaksanakan di
Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara
Nasional di seluruh Fasyankes terutama Puskesmas yang di integrasikan dalam
pelayanan kesehatan dasar.
16
5) Sampai tahun 2009, keterlibatan dalam program Pengendalian TB
dengan Strategi DOTS meliputi 98% Puskesmas, sementara rumah sakit
umum, Balai Keseatan Paru Masyarakat mencapai sekitar 50%.
17
manajemen program, yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring
dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana,tenaga, sarana
dan prasarana).
2) Pengendalian TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS
dan memperhatikan strategi Global Stop TB partnership
3) Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan komitmen
daerah terhadap program pengendalian TB.
4) Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan
terhadap peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan
dan pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya MDR-TB.
5) Penemuan dan pengobatan dalam rangka pengendalian TB dilaksanakan oleh
seluruh Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes), meliputi
Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah Balai/Klinik Pengobatan, Dokter
Praktek Swasta (DPS) dan fasilitas kesehatan lainnya.
6) Pengendalian TB dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama
dan kemitraan diantara sektor pemerintah, non pemerintah, swasta
dan masyarakat dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian
TB (Gerdunas TB).
7) Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan ditujukan
untuk peningkatan mutu dan akses layanan.
8) Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk pengendalian TB diberikan
secara cuma-cuma dan dikelola dengan manajemen logistk yang efektif
demi menjamin ketersediaannya.
9) Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai
untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program
10) Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok
rentan lainnya terhadap TB.
11) Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya.
12) Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalam MDGs.
18
1) Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu
2) Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan
kebutuhan masyarakat miskin serta rentan lainnya
3) Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat (sukarela),
perusahaan dan swasta melalui pendekatan Public-Private Mix dan menjamin
kepatuhan terhadap International Standards for TB Care
4) Memberdayakan masyarakat dan pasien TB.
5) Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan manajemen
program pengendalian TB
6) Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB
7) Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi strategis.
5. Kegiatan
a. Tatalaksana dan Pencegahan TB
1) Penemuan Kasus Tuberkulosis
2) Pengobatan Tuberkulosis
3) Pemantauan dan Hasil Pengobatan Tuberkulosis
4) Pengendalian Infeksi pada sarana layanan
5) Pencegahan Tuberkulosis
b. Manajemen Program TB
1) Perencanaan program Tuberkulosis
2) Monitoring dan Evaluasi Program Tuberkulosis
3) Manajemen Logistik Program Tuberkulosis
4) Pengembangan Ketenagaan Program Tuberkulosis
5) Promosi program Tuberkulosis
c. Pengendalian TB komprehensif
1) Penguatan Layanan Laboratorium Tuberkulosis
2) Public – Private Mix (Pelibatan Semua Fasilitas Pelayanan Kesehatan)
3) Kolaborasi TB-HIV
4) Pemberdayaan Masyarakat dan Pasien TB
5) Pendekatan kolaborasi dalam kesehatan paru
6) Manajemen TB Resist Obat
19
7) Penelitian tuberkulosis
6. Organisasi Pelaksanaan
Aspek manajemen program
1) Tingkat Pusat
Upaya pengendalian TB dilakukan melalui Gerakan Terpadu
Nasional Pengendalian Tuberkulosis (Gerdunas-TB) yang merupakan
forum kemitraan lintas sektor dibawah koordinasi Menko Kesra. Menteri
Kesehatan R.I. sebagai penanggung jawab teknis upaya pengendalian TB.
Dalam pelaksanaannya program TB secara Nasional dilaksanakan oleh
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, cq. Sub
Direktorat Tuberkulosis.
2) Tingkat Propinsi
Di tingkat propinsi dibentuk Gerdunas-TB Propinsi yang terdiri dari
Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan
kebutuhan daerah.
Dalam pelaksanaan program TB di tingkat propinsi dilaksanakan Dinas Kesehatan
Propinsi.
3) Tingkat Kabupaten/Kota
Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Gerdunas-TB kabupaten / kota yang
terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi
disesuaikan dengan kebutuhan kabupaten / kota.
Dalam pelaksanaan program TB di tingkat Kabupaten/Kota dilaksanakan
oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
20
keadaan geografis yang sulit, dapat dibentuk Puskesmas
Pelaksana Mandiri (PPM) yang dilengkapi tenaga dan fasilitas pemeriksaan
sputum BTA.
2) Rumah Sakit
Rumah Sakit Umum, Balai/Baiali Besar Kesehatan Paru Masyarakat
(B/BKPM),
dan klinik lannya dapat melaksanakan semua kegiatan tatalaksana pasien TB.
3) Dokter Praktek Swasta (DPS) dan fasilitas layanan lainnya.
Secara umum konsep pelayanan di Balai Pengobatan dan DPS sama
dengan pelaksanaan pada rumah sakit dan Balai Penobatan (klinik).
21
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Dalam menyusun Asuhan Keperawatan pasien dengan glaukoma ini.
Saya harapkan dari para pembaca kritik dan sarannya yang bersifat
membangun, sehingga Asuhan Keperawatan dengan glaukoma ini dapat
berguna dan bermanfaat bagi para pembaca.
22
DAFTAR PUSTAKA
23