Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu penyakit menular yang ada adalah penyakit yang
disebabkan oleh bakteri Mycrobacterium tuberculosis (TB), sebagian
besar TB umumnya menyerang paru-paru namun juga dapat menyerang
organ lainnya. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam,
sehingga dikenal dengan Basil Tahan Asam (BTA). Penyakit ini dapat
menyerang pada semua orang, baik anak-anak maunpun orang dewasa.
Penyakit ini sangat mudah ditularkan pada orang lain, bakteri
Microbacterium tuberculosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui
udara pernapasan kedalam paru, kemudian bakteri tersebut dapat
menyebar dari paru-paru ke bagian tubuh lain melalui peredaran darah,
sistem saluran limfe, saluran napas (bronkus) atau menyerang langsung ke
bagian tubuh lainnya.
Di Indonesia, diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000 kasus TB
baru dengan kematian sekitar 91.000 orang. Angka prevalensi TB di
Indonesia pada tahun 2009 adalah 100 per 100.000 penduduk dan TB
terjadi pada lebih dari 70% usia produktif. Laporan WHO tentang angka
kejadian TBC evaluasi selama 3 tahun dari 2008, 2009, 2010
menunjukkan bahwa kejadian TBC Indonesia mencapai 189 per 100.000
penduduk. Secara global, angka kejadian kasus kejadian TBC 128 per
100.000 penduduk. Data ini menunjukkan bahwa kasus TBC berada di
sekitar kita.
Daya penularan dari seorang penderita TB ditentukan oleh
banyaknya kuman yang terdapat dalam paru penderita. Persebaran dari
kuman-kuman tersebut dalam udara serta yang dikeluarkan bersama dahak
berupa droplet dan berada diudara disekitar penderita TB.
Pemerintah mengupayakan strategi untuk menanggulanginya
seperti dengan mencanangkan program DOTS (Directly Observed
Treatment Short-course) yang mana fokus utama dari program ini adalah

1
penemuan dan penyembuhan pasien, dengan prioritas diberikan kepada
pasien TB tipe menular.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat ditarik rumusan masalah :
1. Bagaimana Epidemiologi Penyakit Tuberculosis Paru Di Indonesia
Dan Kalteng ?
2. Bagaimana Penatalaksanaan Penyakit Tuberculosis Paru ?
3. BagaimanaKebijakan Pemerintah Tentang Pencegahan Dan
Pengendalian Penyakit Tuberculosis Paru?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Agar mahasiswa dapat mengetahui, mengenal serta memahami
tentang trend dan isu penyakit tuberculosis paru.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Epidemiologi Penyakit Tuberculosis Paru Di Indonesia Dan Kalteng.
2. Penatalaksanaan Penyakit Tuberculosis Paru.
3. Kebijakan Pemerintah Tentang Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit
Tuberculosis Paru
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan yaitu para pembaca khususnya bagi tenaga
kesehatan, dapat lebih mengetahui dan memahamitentang trend dan isu
penyakit tuberculosis paru. Dengan mengenali dan memahami kita dapat
melakukan tindakan pengobatan secara cepat dan tepat.

1.5 Metode Penulisan


Metode penulisan makalah ini yaitu dengan studi kepustakaan dan
mencari data-data penunjang di internet.

2
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 Epidemiologi Penyakit Tuberculosis Paru Di Indonesia Dan Kalteng


TB merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia. Pada
tahun 1993 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan TB sebagai
Global Emergency. WHO dalam Annual Report on Global TB Control 2011
menyatakan bahwa terdapat 22 negara dikategorikan sebagai high burden
countries terhadap TB, termasuk Indonesia. Pada tahun 2010 diperkirakan
terdapat 8,8 juta kasus TB, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam)
positif serta 1,4 juta orang meninggal di seluruh dunia akibat TB termasuk 0,35
juta orang dengan penyakit HIV.
Tahun 2010, Indonesia menempati peringkat ke-4 negara dengan insidensi
TB tertinggi di dunia sebanyak 0,37 – 0,54 juta setelah India (2,0 – 2,5 juta), Cina
(0,9 – 1,2 juta), Afrika Selatan (0,40 – 0,59 juta) (WHO 2011). Pada tahun 2004,
diperkirakan angka prevalensi kasus TB di Indonesia 130/100.000 penduduk,
setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan jumlah kematian sekitar 101.000 orang
pertahun serta angka insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110/100.000
penduduk. Penyakit ini merupakan penyebab kematian terbesar ke-3 setelah
penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran pernapasan serta merupakan nomor
satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi.

3
Sumber: WHO 2011

Gambar 1 Perkiraan tingkat insidensi TB tahun 2010

Tuberkulosis menjadi salah satu penyakit yang pengendaliannya menjadi


komitmen global dalam MDGs. Beban penyakit yang disebabkan oleh
tuberkulosis dapat diukur dengan insiden (didefinisikan sebagai jumlah kasus baru
dan kasus kambuh tuberkulosis yang muncul dalam periode waktu tertentu,
biasanya dinyatakan dalam satu tahun), prevalensi (didefinisikan sebagai jumlah
kasus tuberkulosis pada suatu titik waktu tertentu) dan mortalitas/kematian
(didefinisikan sebagai jumlah kematian akibat tuberkulosis dalam jangka waktu
tertentu).

1. Kasus baru dan prevalensi BTA positif di Indonesia

Jumlah kasus baru BTA positif di Indonesia pada tahun 2012 sebanyak
202.301 kasus. Jumlah tersebut sedikit lebih rendah bila dibandingkan kasus baru
BTA positif yang ditemukan tahun 2011. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan

4
terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang tinggi yaitu Jawa Barat, Jawa
Tengah, dan Jawa Timur. Kasus baru di tiga provinsi tersebut sekitar 40% dari
jumlah seluruh kasus baru di Indonesia.

Menurut jenis kelamin, kasus BTA positif pada laki-laki hampir 1,5 kali
dibandingkan kasus BTA positif pada wanita. Sebesar 59,4% kasus BTA positif
ditemukan pada laki-laki dan 40,6% kasus pada perempuan. Seluruh kasus di 33
provinsi di Indonesia lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Disparitas paling tinggi antara laki-laki dan perempuan terjadi di Aceh, kasus
pada laki-laki hampir 3/2 dari kasus perempuan, yaitu 66,1% penderita laki-laki
dan 33,9%-nya merupakan penderita perempuan.

Menurut kelompok umur, kasus baru yang ditemukan paling banyak pada
kelompok umur 25 – 34 tahun yaitu sebesar 21,72% diikuti kelompok umur 35 -
44 tahun sebesar 19,38% dan pada kelompok umur 45 – 54 tahun sebesar 19,26%.
Proporsi kasus baru BTA positif menurut kelompok umur dapat dilihat pada
Gambar 2. Kasus baru BTA positif kelompok umur 0 – 14 tahun merupakan
proporsi yang paling rendah. Pada Gambar 2 terlihat bahwa kasus tuberkulosis
rata-rata terjadi pada usia dewasa.

5
Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI 2013

Gambar 1 Proporsi kasus baru BTA positif menurut kelompok umur tahun 2012

2. Proporsi pasien baru BTA positif di antara semua kasus

Proporsi pasien baru BTA positif di antara semua kasus adalah persentase
pasien baru BTA positif di antara semua pasien TB paru tercatat. Indikator ini
menggambarkan prioritas penemuan pasien TB yang menular di antara seluruh
pasien TB paru yang diobati. Angka ini diharapkan tidak lebih rendah dari 65%.
Apabila proporsi pasien baru BTA positif di bawah 65% maka hal itu
menunjukkan mutu diagnosis yang rendah dan kurang memberikan prioritas untuk
menemukan pasien yang menular (pasien BTA positif).

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI 2013

Gambar 3 Proporsi BTA positif di antara seluruh kasus TB paru di Indonesia


tahun 2007 – 2012

Pada Gambar 3, terlihat bahwa sejak tahun 2007 sampai dengan tahun
2012 proporsi pasien baru BTA positif di antara seluruh kasus belum mencapai
target yang diharapkan meskipun tidak terlalu jauh berada di bawah target
minimal (yang sebesar 65%). Hal itu mengindikasikan kurangnya prioritas

6
menemukan kasus BTA positif. Namun, menurut provinsi, terdapat beberapa
provinsi yang telah mencapai target tersebut seperti yang terlihat pada Gambar 4.

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI 2013

Gambar 4 Proporsi BTA positif di antara seluruh kasus menurut provinsi di


Indonesia tahun 2012

Proporsi BTA positif pada tahun 2012 di antara seluruh kasus TB paru
tertinggi dicapai oleh Provinsi Sulawesi Tenggara (94%), Sulawesi Utara dan
Jambi masing-masing 92%. Sedangkan capaian terendah yaitu Provinsi Papua
Barat (31%), DKI Jakarta (33%) dan Papua (38%). Sebanyak 21 dari 33 provinsi
(63,6%) telah mencapai target minimal 65%.

3. Angka notifikasi kasus atau case notification rate (CNR)

Angka notifikasi kasus adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien


baru yang ditemukan dan tercatat di antara 100.000 penduduk di suatu wilayah
tertentu. Angka ini apabila dikumpulkan serial akan menggambarkan

7
kecenderungan penemuan kasus dari tahun ke tahun di wilayah tersebut. Angka
ini berguna untuk menunjukkan kecenderungan (trend) meningkat atau
menurunnya penemuan pasien pada wilayah tersebut.

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI 2013

Gambar 5 Angka notifikasi kasus BTA positif dan seluruh kasus per 100.000
penduduk t

ahun 2007 – 2012

Gambar 5 menunjukkan angka notifikasi kasus baru TB paru BTA positif dari
tahun 2007 – 2011 mengalami peningkatan kecuali tahun 2012 yang sedikit
menurun menjadi 82 per 100.000 penduduk. Sedangkan angka notifikasi seluruh
kasus BTA positif semenjak 2007 sampai 2012 cenderung meningkat.

8
Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI 2013

Gambar 6 Angka notifikasi kasus TB paru BTA positif per 100.000 penduduk
menurut provinsi di Indonesia tahun 2012

Gambar 6 menunjukkan besarnya angka notifikasi atau case notification


rate (CNR) semua kasus tuberkulosis per provinsi tahun 2012 yang secara
nasional terjadi peningkatan dibandingkan dengan tahun 2011. Sebaliknya, CNR
kasus baru TB BTA positif pada tahun 2012 mengalami penurunan dibandingkan
tahun 2011. Provinsi dengan angka notifikasi kasus TB BTA positif tertinggi yaitu
Sulawesi Utara sedangkan yang terendah DI Yogyakarta.

4. Angka penemuan kasus

Salah satu indikator yang digunakan dalam pengendalian TB adalah Case


Detection Rate (CDR), yaitu proporsi jumlah pasien baru BTA positif yang
ditemukan dan diobati terhadap jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan
ada dalam wilayah tersebut. Berikut ini ditampilkan angka penemuan kasus tahun
2006 – 2012 (Gambar 7).

9
Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI 2013

Gambar 7 Angka penemuan kasus (case detection rate) TB paru BTA positif di
Indonesia tahun 2006 – 2012

Pada Gambar 7 terlihat kecenderungan peningkatan angka penemuan


kasus BTA positif sejak 2007 sampai tahun 2012. WHO menetapkan standar
angka penemuan kasus sebesar 70%. Dengan demikian sejak tahun 2006 sampai
tahun 2012, Indonesia telah mencapai standar tersebut. Sedangkan Kemenkes
menetapkan target Renstra minimal 80% untuk angka penemuan kasus pada tahun
2012. Berdasarkan hal tersebut, capaian angka penemuan kasus tahun 2012 yang
sebesar 82,3% juga telah memenuhi target Renstra.

10
2.2 Penatalaksanaan Penyakit Tuberculosis Paru
1. Penatalaksanaan Medis
Kebanyakan individu dengan TB aktif yang baru didiagnosa tidak di rawat
di rumah sakit. Jika TB paru terdiagnosa pada individu yang sedang di rawat,
klien mungkin akan tetap di rawat sampai kadar obat terapeutik telah ditetapkan.
Beberapa klien dengan TB aktif mungkin di rawat di rumah sakit karena alasan:
1) Mereka sakit akut
2) Situasi kehidupan mereka dianggap berisiko tinggi
3) Mereka diduga tidak patuh terhadap program pengobatan
4) Terdapat riwayat TB sebelumnya dan penyakit aktif kembali
5) Terdapat penyakit lain yang bersamaan dan bersifat akut
6) Tidak terjadi perbaikan sesudah terapi, dan
7) Mereka resisten terhadap pengobatan yang biasa, membutuhkan
obat garis ke-2 dan ke-3. Dalam situasi seperti ini, perawat singkat di rumah sakit
diperlukan untuk memantau keefektifan terapi dan efek samping obat-obat yang
diberikan.
Klien dengan diagnosa TB aktif biasanya mulai diberikan tiga jenis
medikasi atau lebih untuk memastikan bahwa organisme yang resisten telah
disingkirkan. Dosis dari beberapa obat mungkin cukup besar karena basil sulit
untuk dibunuh. Pengobatan berlanjut cukup lama untuk menyingkirkan atau
mengurangi secara substansial jumlah basil dorman atau semidorman. Terapi
jangka panjang yang tak terputus merupakan kunci sukses dalam pengobatan TB.
Medikasi yang digunakan untuk TB mungkin dibagi menjadi preparat
primer dan preparat baris kedua. Preparat primer hampir selalu diresepkan
pertama kali sampai laporan hasil kultur dan labolatorium memberikan data yang
pasti. Klien dengan riwayat TB yang tidak selesai mungkin mempunyai
organisme yang menjadi resisten dan preparat sekunder harus digunakan.
Lamanya pengobatan beragam, beberapa program mempunyai pendekatan dua
fase:
1) Fase intensif yang menggunakan dua atau tiga jenis obat, ditujukan untuk
menghancurkan sejumlah besar organisme yang berkembang baik dengan
cepat, dan

11
2) Fase rumatan, biasanya dengan dua obat, diarahkan pada pemusnahan
sebagian besar basil yang masih tersisa.
Program pengobatan dasar yang direkomendasikan bagi klien yang
sebelumnya belum diobati adalah dosis harian isoniazid, rifampin, dan
pirazinamid selama 2 bulan. Pengobatan ini diikuti dengan isoniazid dan rifampin
selama 4 bulan. Kultur sputum digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan
terapi. Jika kepatuhan terhadap pendosisan harian menjadi masalah, maka
diperlukan protokol TB yang memberikan medikasi dua atau tiga kali seminggu.
Program ini biasanya diberikan di klinik untuk memastikan klien menerima obat
yang di haruskan.
Jika medikasi yang digunakan tampak tidak efektif (misalnya:
memburuknya gejala, peningkatan infiltrat, atau pembentukan kavitas), program
harus dievakuasi kembali, dan kepatuhan klien harus dikaji. Setidaknya dua
medikasi (tidak pernah hanya satu) ditambahkan pada program terapi TB yang
gagal.
Medikasi yang digunakan untuk mengobati TB mempunyai efek samping
serius, bergantung pada obat spesifik yang diresepkan. Toleransi obat, efek obat,
dan toksisitas obat bergantung pada faktor-faktor seperti usia, dosis obat, waktu
sejak obat terakhir yang digunakan, formula kimia dari obat, fungsi ginjal dan
usus, dan kepatuhan klien. Klien penderita TB yang tidak membaik atau yang
tidak mampu menoleransi medikasi mungkin membutuhkan pengkajian dan
pengobatan pada fasilitas medis yang mengkhususkan dalam pengobatan TB paru
berkomplikasi.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Tentukan apakah pasien pernah terpajan pada individu dengan TB atau
tidak. Sering kali “sumber” dari infeksi tidak diketahui dan mungkin tidak pernah
ditemukan. Pada saat yang sama, kontak erat pasien harus diidentifikasi sehingga
mereka dapat menjalani “follow-up” untuk menentukan apakah mereka terinfeksi
dan mempunyai penyakit aktif atau tes tuberculin positif. Keluhan pasien yang
paling umum adalah batuk produktif dan berkeringat malam hari.
Data yang harus dikumpulkan untuk mengkaji pasien dengan TB
mencakup batuk produktif, kenaikan suhu tubuh siang hari, reaksi tuberkulin

12
dengan indurasi 10 mm atau lebih dan rotgen dada yang menunjukkan infiltrat
pulmonal (Niluh dan Christie, 2003).
3. Penatalaksanaan Diet
Terapi diet bertujuan untuk memberikan makanan secukupnya guna
memperbaiki dan mencegah kerusakan jaringan tubuh lebih lanjut serta
memperbaiki status gizi agar penderita dapat melakukan aktivitas normal.
Terapi diet untuk penderita kasus Tuberculosis paru adalah:
1) Energi diberikan sesuai dengan keadaan penderita untuk mencapai berat
badan normal
2) Protein yang tinggi untuk mengganti sel-sel yang rusak meningkatkan kadar
albumin serum yang rendah (75-100 gram)
3) Lemak cukup 15-25 % dari kebutuhan energy total
4) Karbohidrat cukup sisa dari kebutuhan energy total
5) Vitamin dan mineral cukup sesuai kebutuhan total
Macam diet untuk penyakit TBC:
1) Diet Tinggi Energi Tinggi Protein I (TETP I)
Energy: 2600 kkal, protein 100 gram (2/kg BB)
2) Diet Tinggi Energi Tinggi Protein II (TETP II)
Energy: 3000 kkal, protein 125 gram (2,5 gr/kg BB)
Perhitungan kebutuhan energi dan zat gizi makro dapat disesuaikan dengan
kondisi tubuh penderita (BB dan TB) dan penderita dapat diberikan salah satu dari
dua macam diet tinggi energi tinggi protein (TETP) sesuai tingkat penyakit
penderita (Denny Indra, 2010).
Dapat dilihat di bawah ini bahan makanan yang dianjurkan dan tidak
diancurkan pada penderita TB paru:
Yang Tidak
Bahan Makanan Dianjurkan
Dianjurkan
Nasi, roti macaroni dan
Sumber karbohidrat hasil olahan tepung
seperti cake, pudding.
Daging sapi, ayam, Dimasak dengan
Sumber protein
telur, ikan, susu dan banyak minyak kelapa

13
hasil olahan sepeti atau santan kental
yogurt dan keju
Semua jenis kacang-
kacang dan hasil Dimasak hanya dengan
Sumber protein nabati
olahannya seperti minyak kelapa
temped an keju
Semua jenis sayuran
Sayuran seperti: bayam, buncis,
daun singkong
Semua jenis segar,
Buah-buahan seperti: papaya,
semangka, melon
Soft drink, madu,
Minuman sirup, teh dan kopi Minuman rendah kalori
encer
Minyak goreng,
Lemak dan minyak mentega, margarine, Santan kental
santan encer, salat
Bumbu tidak tajam
Bumbu yang tajam
Bumbu seperti bawang merah,
seperti cabe dan lada
bawang putih, laos

HIV/AIDS dan Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS)


Jumlah kasus baru HIV/AIDS dari tahun ke tahun terus meningkat dari
tahun 2005 hanya ditemukan 1 kasus, dan sampai tahun 2012 sudah ditemukan 96
kasus baru HIV dan 14 kasus baru AIDS di Kalteng yang sebagian besar kasus
ditemukan pada kelompok jenis kelamin perempuan sebanyak 63 orang untuk
kasus HIV dan 10 orang perempuan untuk kasus AIDS. Jumlah kasus AIDS yang
meninggal ditemukan sebanyak 11 kasus. Selain kasus HIV/AIDS pada tahun
2012 kasus Infeksi Menular Lainnya sebanyak 913 kasus. Kasus IMS terbanyak
pada kelompok jenis kelamin perempuan sebesar 785 kasus, (Lampiran Tabel:
14). Data jumlah kasus AIDS seperti pada gambar 4.5 berikut.

14
Gambar 10. Jumlah Kasus AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin dan Tahun
Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2005 – 2012

Dari gambar diatas jumlah kasus AIDS sedikit ada penurunan bila
dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebanyak 21 kasus. Namun perlu ada
perhatian pada penderita HIV positif karena pada tahun 2012 jumlah kasus HIV
positif sebanyak 96 kasus dari beberapa kasus HIV positif tentunya adanya yang
memasuki fase AIDS sehingga jumlah kasus baru AIDS di tahun-tahun
mendatang akan mengalami peningkatan. Meningkatnya kasus HIV-AIDS di
Kalimantan Tengah disebabkan masih rendahnya pengetahuan masyarakat tentang
HIV/AIDS. Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010 di Provinsi Kalimantan
Tengah bahwa persentase umur ≥15 tahun dengan pengetahuan komprehensif
tentang HIV/AIDS dan persentase penduduk umur ≥15 tahun dengan yang pernah
mendengar HIV/ADIS masih dibawah 57,5%.
2.3 Kebijakan Pemerintah Tentang Pencegahan Dan Pengendalian
Penyakit Tuberculosis Paru

Pengendalian Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung sejak


zaman penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah
perang kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru
Paru (BP-4). Sejak tahun 1969 pengendalian dilakukan secara nasional melalui
Puskesmas. Obat anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan adalah paduan standar
INH, PAS dan Streptomisin selama satu sampai dua tahun. Asam Para
Amino Salisilat (PAS) kemudian diganti dengan Pirazinamid. Sejak 1977 mulai

15
digunakan paduan OAT jangka pendek yang terdiri dari INH, Rifampisin,
Pirazinamid dan Ethambutol selama 6 bulan.Pada tahun 1995, program nasional
pengendalian TB mulai menerapkan strategi DOTS dan dilaksanakan di
Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara
Nasional di seluruh Fasyankes terutama Puskesmas yang di integrasikan dalam
pelayanan kesehatan dasar.

Fakta menunjukkan bahwa TB masih merupakan masalah utama


kesehatan masyarakat Indonesia, antara lain:
1) Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-5 di
dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan dan.Nigeria (WHO, 2009).
Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% dari total jumlah
pasien TB didunia. Diperkirakan, setiap tahun ada 429.730 kasus baru dan
kematian 62.246 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 102 per
100.000 penduduk.
2) Pada tahun 2009, prevalensi HIV pada kelompok TB di Indonesia sekitar
2.8% Kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug resistance
= MDR) diantara kasus TB baru sebesar 2%, sementara MDR diantara
kasus penobatan ulang sebesar 20%. (WHO, 2009)
3) Tahun 1995, hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor tiga
(3) setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada
semua kelompok usia, dan nomor satu (1) dari golongan penyakit infeksi.
4) Hasil Survey Prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan
bahwa angka prevalensi TB BTA positif secara Nasional 110 per 100.000
penduduk. Secara Regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia
dikelompokkan dalam 3 wilayah, yaitu: 1) wilayah Sumatera angka prevalensi
TB adalah 160 per 100.000 penduduk; 2) wilayah Jawa dan Bali angka
prevalensi TB adalah 110 per 100.000 penduduk; 3) wilayah Indonesia Timur
angka prevalensi TB adalah 210 per 100.000 penduduk. Khusus untuk
propinsi DIY dan Bali angka prevalensi TB adalah 68 per 100.000 penduduk.
Mengacu pada hasil survey prevalensi tahun 2004, diperkirakan penurunan
insiden TB BTA positif secara Nasional 3-4 % setiap tahunnya.

16
5) Sampai tahun 2009, keterlibatan dalam program Pengendalian TB
dengan Strategi DOTS meliputi 98% Puskesmas, sementara rumah sakit
umum, Balai Keseatan Paru Masyarakat mencapai sekitar 50%.

1. Visi Dan Misi


Visi
“Menuju masyarakat bebas masalah TB, sehat, mandiri dan berkeadilan”
Misi
1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan
masyarakat madani dalam pengendalian TB.
2. Menjamin ketersediaan pelayanan TB yang paripurna, merata, bermutu, dan
berkeadilan.
3. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya pengendalian TB.
4. Menciptakan tata kelola program TB yang baik.
2. Tujuan Dan Sasaran
Tujuan
Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka pencapaian
tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat.
Sasaran
Sasaran strategi nasional pengendalian TB ini mengacu pada rencana strategis
kementerian kesehatan dari 2009 sampai dengan tahun 2014 yaitu menurunkan
prevalensi TB dari 235 per 100.000 penduduk menjadi 224 per 100.000
penduduk. Sasaran keluaran adalah: (1) meningkatkan prosentase kasus baru TB
paru (BTA positif) yang ditemukan dari 73% menjadi 90%; (2)
meningkatkan prosentase keberhasilan pengobatan kasus baru TB paru (BTA
positif) mencapai 88%; (3) meningkatkan prosentase provinsi dengan CDR di
atas 70% mencapai 50%; (4) meningkatkan prosentase provinsi
dengan keberhasilan pengobatan di atas 85% dari 80% menjadi 88%.

3. Kebijakan Pengendalian Tuberkulosis Di Indonesia


1) Pengendalian TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas desentralisasi
dalam kerangka otonomi dengan Kabupaten/kota sebagai titik berat

17
manajemen program, yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring
dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana,tenaga, sarana
dan prasarana).
2) Pengendalian TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS
dan memperhatikan strategi Global Stop TB partnership
3) Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan komitmen
daerah terhadap program pengendalian TB.
4) Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan
terhadap peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan
dan pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya MDR-TB.
5) Penemuan dan pengobatan dalam rangka pengendalian TB dilaksanakan oleh
seluruh Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes), meliputi
Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah Balai/Klinik Pengobatan, Dokter
Praktek Swasta (DPS) dan fasilitas kesehatan lainnya.
6) Pengendalian TB dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama
dan kemitraan diantara sektor pemerintah, non pemerintah, swasta
dan masyarakat dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian
TB (Gerdunas TB).
7) Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan ditujukan
untuk peningkatan mutu dan akses layanan.
8) Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk pengendalian TB diberikan
secara cuma-cuma dan dikelola dengan manajemen logistk yang efektif
demi menjamin ketersediaannya.
9) Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai
untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program
10) Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok
rentan lainnya terhadap TB.
11) Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya.
12) Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalam MDGs.

4. Strategi Nasional Pengendalian Tb Di Indonesia 2010 – 2014


Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri dari 7 strategi:

18
1) Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu
2) Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan
kebutuhan masyarakat miskin serta rentan lainnya
3) Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat (sukarela),
perusahaan dan swasta melalui pendekatan Public-Private Mix dan menjamin
kepatuhan terhadap International Standards for TB Care
4) Memberdayakan masyarakat dan pasien TB.
5) Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan manajemen
program pengendalian TB
6) Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB
7) Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi strategis.

5. Kegiatan
a. Tatalaksana dan Pencegahan TB
1) Penemuan Kasus Tuberkulosis
2) Pengobatan Tuberkulosis
3) Pemantauan dan Hasil Pengobatan Tuberkulosis
4) Pengendalian Infeksi pada sarana layanan
5) Pencegahan Tuberkulosis

b. Manajemen Program TB
1) Perencanaan program Tuberkulosis
2) Monitoring dan Evaluasi Program Tuberkulosis
3) Manajemen Logistik Program Tuberkulosis
4) Pengembangan Ketenagaan Program Tuberkulosis
5) Promosi program Tuberkulosis
c. Pengendalian TB komprehensif
1) Penguatan Layanan Laboratorium Tuberkulosis
2) Public – Private Mix (Pelibatan Semua Fasilitas Pelayanan Kesehatan)
3) Kolaborasi TB-HIV
4) Pemberdayaan Masyarakat dan Pasien TB
5) Pendekatan kolaborasi dalam kesehatan paru
6) Manajemen TB Resist Obat

19
7) Penelitian tuberkulosis

6. Organisasi Pelaksanaan
Aspek manajemen program
1) Tingkat Pusat
Upaya pengendalian TB dilakukan melalui Gerakan Terpadu
Nasional Pengendalian Tuberkulosis (Gerdunas-TB) yang merupakan
forum kemitraan lintas sektor dibawah koordinasi Menko Kesra. Menteri
Kesehatan R.I. sebagai penanggung jawab teknis upaya pengendalian TB.
Dalam pelaksanaannya program TB secara Nasional dilaksanakan oleh
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, cq. Sub
Direktorat Tuberkulosis.
2) Tingkat Propinsi
Di tingkat propinsi dibentuk Gerdunas-TB Propinsi yang terdiri dari
Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan
kebutuhan daerah.
Dalam pelaksanaan program TB di tingkat propinsi dilaksanakan Dinas Kesehatan
Propinsi.
3) Tingkat Kabupaten/Kota
Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Gerdunas-TB kabupaten / kota yang
terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi
disesuaikan dengan kebutuhan kabupaten / kota.
Dalam pelaksanaan program TB di tingkat Kabupaten/Kota dilaksanakan
oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Aspek Tatalaksana pasien TB

Dilaksanakan oleh Puskesmas, Rumah Sakit, BP4/Klinik dan Dokter


Praktek Swasta.
1) Puskesmas
Dalam pelaksanaan di Puskesmas, dibentuk kelompok Puskesmas
Pelaksana (KPP) yang terdiri dari Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM),
dengan dikelilingi oleh kurang lebih 5 (lima) Puskesmas Satelit (PS).Pada

20
keadaan geografis yang sulit, dapat dibentuk Puskesmas
Pelaksana Mandiri (PPM) yang dilengkapi tenaga dan fasilitas pemeriksaan
sputum BTA.
2) Rumah Sakit
Rumah Sakit Umum, Balai/Baiali Besar Kesehatan Paru Masyarakat
(B/BKPM),
dan klinik lannya dapat melaksanakan semua kegiatan tatalaksana pasien TB.
3) Dokter Praktek Swasta (DPS) dan fasilitas layanan lainnya.
Secara umum konsep pelayanan di Balai Pengobatan dan DPS sama
dengan pelaksanaan pada rumah sakit dan Balai Penobatan (klinik).

21
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

3.2 Saran
Dalam menyusun Asuhan Keperawatan pasien dengan glaukoma ini.
Saya harapkan dari para pembaca kritik dan sarannya yang bersifat
membangun, sehingga Asuhan Keperawatan dengan glaukoma ini dapat
berguna dan bermanfaat bagi para pembaca.

22
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart. 2002. Keperawatan Medical Bedah. Jakarta : EGC.


Corwin, Elisabeth. J. 2000. Buku Saku Patofisiologi/Elisabeth. EGC J. Cowin.
http://cieayundacitra.blogspot.com/2010/12/askep-pada-lansia-dengan
gangguan.html diakses tanggal 9 November 2015 pukul 15.00 WIB
Jakarta.Doenges, Marilynn. E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : pedoman
untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. EGC:
Jakarta.
Maryam, Siti,dkk. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta :
Salemba Medika
Smeltzer, Suzanne. C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner
& Suddarth. EGC: Jakarta.

23

Anda mungkin juga menyukai