BHL (Advanced Life Support
BHL (Advanced Life Support
Adalah usaha yang dilakukan setelah dilakukan usaha hidup dasar dengan memberikan
obat-obatan yang dapat memperpanjang hidup pasien.
Bantuan hidup lanjut berhubungan dengan teknik yang ditujukan untuk memperbaiki
ventilasi dan oksigenasi korban dan pada diagnosis serta terapi gangguan irama utama selama
henti jantung. Bantuan hidup dasar memerlukan peralatan khusus dan penggunaan obat. Harus
segera dimulai bila diagnosis henti jantung atau henti nafas dibuat dan harus diteruskan sampai
bantuan hidup lanjut diberikan. Setelah dilakukan ABC RJP dan belum timbul denyut jantung
spontan, maka resusitasi diteruskan dengan langkah DEF.
1. Drug and Fluid (Obat dan Cairan)
Tanpa menunggu hasil EKG dapat diberikan :
a. Adrenalin : 0,5 – 1,0 mg dosis untuk orang dewasa, 10 mcg/ kg pada anak- anak.
Cara pemberian : iv, intratrakeal lewat pipa trakeal (1 ml adrenalin diencerkan dengan 9
ml akuades steril, bukan NaCl, berarti dalam 1 ml mengandung 100 mcg adrenalin).
Jika keduanya tidak mungkin : lakukan intrakardial (hanya oleh tenaga yang sudah
terlatih). Di ulang tiap 5 menit dengan dosis sama sampai timbul denyut spontan atau mati
jantung.
b. Natrium Bikarbonat : dosis mula 1 mEq/ kg (bila henti jantung lebih dari 2 menit) kemudian
dapat diulang tiap 10 menit dengan dosis 0,5 mEq/ kg sampai timbul denyut jantung spontan atau
mati jantung.
Penggunaan natrium bikarbonat tidak lagi dianjurkan kecuali pada resusitasi yang lama,
yaitu pada korban yang diberi ventilasi buatan yang lama dan efisien, sebab kalau tidak asidosis
intraseluler justru bertambah dan tidak berkurang. Penjelasan untuk keanehan ini bukanlah hal
yang baru. CO2 yang tidak dihasilkan dari pemecahan bikarbonat segera menyeberangi membran
sel jika CO2 tidak diangkut oleh respirasi.
2. EKG
Meliputi fibrilasi ventrikuler, asistol ventrikuler dan disosiasi elektro mekanis.
3. Fibrilation Treatment (Terapi Fibrilasi)
Elektroda dipasang disebelah kiri puting susu kiri disebelah kanan sternum atas,
defibrilasi luar arus searah:
a. 200 – 300 joule pada dewasa.
b. 100 – 200 joule pada anak.
Pada
cardiacarrest
dengan etiologi VT / VF:
a.
1mg adrenalin diberikan setelah 3 kali syok dan kemudian setiap 3 – 5 menit(selama siklus RJP berlangsung).
b.
Untuk mengatasi hipotensi diberikan dopamine 200mg dilarutkan dalam 250 – 500 mlgaram fisiologis. Untuk
mengatasi
asidosis metabolic
yang biasanya timbul beberapa menitsetelah henti jantung, diberikan Na
-
bikarbonat. Dosis awal yang dianjurkan adalah1mEq/kgBB i.v. atau 1 ampul 50ml (7.5%)
yang mengandung 44,6 mEq ion Na.
Macam
-
Macam Obat yang Digunakan
a.
Obat vasoaktifGolongan obat vasoaktif mempunyai efek vasopresor, inotropik, dan vasodilator. Obat
vasopresor mempunyai aktifitas adrenergik α1 yang mengakibatkan konstriksi
arteriol, peningkatan tahanan vaskuler sistemik, peningkatan tekanan darah. Obatinotropik akan
meningkatkan kontraktilitas jantun
akibat efek adrenergik β1.
5. Mampu mengenal Penyebab reversible dari cardiac arrest dan mampu menanganinya
9. Perubahan Pedoman
Algoritma ALS
Shockable Rhythms/ Irama Yang Dapat Dikejut (VF/VT)
Pada 25% kasus serangan jantung diluar maupun didalam RS, irama pertama
yang terekam adalah VF/VT. Pada pasien serangan jantung dengan irama asistol
maupun PEA, VF/VT juga dapat terjadi pada beberapa tahap saat resusitasi.
Penanganan shockable rhythms (VF/ VT)
1. Konfirmasi serangan jantung – periksa tanda kehidupan atau bila terlatih periksa
pernafasan dan denyut secara simultan.
2. Panggil tim resusitasi.
3. Lakukan kompresi dada tanpa jeda/interupsi sambil memasang pad monitor atau
defibrilasi – satu dibawah klavikula kanan dan lainnya pada posisi V6 pada garis
midaksilaris.
4. Rencanakan tindakan terlebih dahulu sebelum menghentikan CPR untuk menganalisa
irama dan komunikasikan pada tim.
5. Hentikan kompresi dada; konfirmasi VF dari ECG.
6. Segera kembali melakukan kompresi dada; secara simultan, kemudian pilih energi yang
tepat pada defibrilator (150-200 J bifasik untuk kejut pertama dan 150-360 J bifasik
untuk kejut selanjutnya) lalu tekan tombol charge.
7. Saat defibrilator sedang mengisi, ingatkan semua penolong untuk berdiri menjauh, dan
melepas semua alat oksigenasi. Pastikan hanya orang yang melakukan kompresi saja
yang menyentuh pasien.
8. Saat defibrilator terisi, minta penolong yang melakukan kompresi bebas gangguan, lalu
berikan kejut.
9. Tanpa menilai irama ataupun merasakan denyut, segera lakukan kembali CPR dengan
rasio 30:2, dimulai dengan kompresi dada.
10. Lanjutkan CPR selama 2 menit; pemimpin tim menyiapkan tim untuk jeda berikutnya
pada CPR.
11. Berhenti sejenak untuk memeriksa monitor.
12. Jika VF/VT, ulangi langkah 6-11 dan lakukan kejut kedua.
13. Jika VF/VT menetap, ulangi langkah 6-8 dan lakukan dan lakukan kejut ketiga. Segera
lakukan kembali kompresi dada dan berikan adrenaline 1 mg IV dan amiodarone 300
mg IV sementara melakukan CPR lanjutan selama 2 menit.
14. Lakukan CPR 2 menit – periksa irama/denyut – lakukan defibrilasi bila terdapat VF/VT
yang menetap.
15. Berikan adrenaline 1 mg IV setelah kejut lanjutan (kira-kira setiap 3-5 menit).
Jika didapatkan aktivitas elektrik yang seirama dengan cardiac output selama
pemeriksaan irama, cari bukti kembalinya sirkulasi spontan (return of
spontaneous circulation/ROSC) :
Cek denyut sentral dan jejak end-tidal CO2 jika tersedia
Jika didapatkan bukti ROSC, mulai penanganan post-resusitasi
Jika tidak didapatkan tanda ROCS, lanjutkan CPR dan pindah ke algoritme non-
shockable.
Precordial Thump
tingkat kesuksesan yang rendah
biasanya hanya berhasil bila dilakukan dalam beberapa detik pertama onset irama
shockable
Precordial thump harus dilakukan segera setelah cardiac arrest dipastikan dan hanya
dilakukan oleh petugas kesehatan yang terlatih melakukan tekniknya.
Menggunakan tepi ulnar kepalan tangan,
berikan benturan/pukulan pada setengah sternum bagian bawah dari ketinggian kira-
kira 20 cm
tarik kembali kepalan sesegera mungkin untuk menciptakan stimulus yang menyerupai
impuls.
Kapanpun diagnosis asistol dibuat, periksa ECG untuk melihat adanya gelombang
P karena pasien dapat berespon terhadap pemacuan jantung bila adaventricular
standstill dengan gelombang P kontinu. Upaya memacu true asistol tidak bernilai.
Atropin
Atropin merupakan antagonis dari neurotransmitter parasimpatis asetilkolin pada
reseptor muscarinik. Atropin memblok efek nervus vagus pada nodus sinoatrial (SA)
dan nodus atrioventricular (AV), meningkatkan rasio sinus dan memfasilitasi konduksi
AV node.
Pedoman 2005 merekomendasikan pemberian atropine 3 mg dosis tunggal untuk
asistol dan PEA lambat (< 60 min-1) Beberapa studi gagal menunjukkan manfaat
atropine dalam cardiac arrest, sehingga penggunaan atropine untuk asistol dan PEA
tidak lagi direkomendasikan.
Selama CPR
Selama penanganan VF/VT atau PEA/asistol yang persisten, harus ditekankan
pemberian kompresi dada yang berkualitas diantara pemberian defibrilasi, sambil
mengenali dan menangani penyebab reversible (4H dan 4T), serta sambil
mengamankan jalan nafas serta memperoleh akses intravena.
Kompresi open-chest
Kompresi open-chest diindikasikan pada pasien serangan jantung yang
disebabkan oleh trauma, pada waktu sesaat setelah operasi cardio-thoracic atau pada
saat dada atau abdomen terbuka, contoh selama operasi akibat trauma.
Tanda kehidupan
Jika tanda kehidupan (seperti usaha bernafas yang regular, batuk, gerakan yang
bertujuan, mata membuka) muncul selama CPR, atau hasil baca monitor pasien
(seperti, peningkatan tiba-tiba pada ETCO2 atau tekanan darah pada kanula arteri)
sesuai dengan ROSC, hentikan CPR dan periksa monitor secara cermat. Bedakan
dengan respirasi agonal (gasping), yang merupakan hal yang sering pada beberapa
detik setelah cardiac arrest atau selama CPR yang berkualitas. Jika muncul irama
jantung yang teratur, periksa denyut. Jika denyut dapat diraba, lanjutkan perawatan
post-resusitasi, penanganan peri-arrest aritmia atau keduanya. Jika denyut tidak teraba,
lanjutkan CPR.
Ventilasi
Sediakan ventilasi buatan sesegera mungkin pada pasien yang tidak dapat atau
tidak cukup melakukan ventilasi spontan. Ventilasi udara ekspirasi (pertolongan nafas)
efektif namun konsentrasi oksigen ekspirasi seorang penolong hanya 16-17%, sehingga
mesti diganti dengan ventilasi kaya oksigen sesegera mungkin. Pocket resuscitation
mask memungkinkan ventilasi mulut-ke-masker dan memungkinkan pemberian oksigen
tambahan. Gunakan teknik dua tangan untuk meminimalkan celah pada wajah pasien.
Kantong yang self-inflating (mengembang sendiri) dapat dihubungkan dengan face
mask, tracheal tube, atau supraglottic airway device(SAD). Teknik dua orang untuk
ventilasi bag-mask lebih baik. Berikan setiap nafas selama sekitar 1 detik dan berikan
voume yang sama dengan pergerakan dada yang normal; memberikan volume yang
cukup, meminimalisasikan resiko inflasi lambung, dan menyediakan waktu yang cukup
untuk kompresi dada. Selama CPR dengan jalan nafas yang tidak terlindungi, berikan
dua ventilasi setelah setiap 30 kompresi dada. Jika tracheal tube atau SAD telah
dimasukkan, berikan ventilasi paru dengan rasio 10 nafas per menit dan lanjutkan
kompresi dada tanpa ada jeda selama ventilasi.
Kembangkan sedikit balon LMA untuk memberikan bentuk pada LMA sehingga
memudahkan LMA melewati belakang lidah dan epiglottis.
Selama inflasi maksimum jumlah udara tidak boleh melewati
Size 1: 4 ml
Size 1.5: 7 ml
Size 2: 10 ml
Size 2.5: 14 ml
Size 3: 20 ml
Size 4: 30 ml
Size 5: 40 ml
Langkah 4: Lumasi LMA
• Gunakan lumbrikan water soluble untuk lubrikasi LMA
• Lubrikasi LMA hanya dilakukan sebelum memasukkan LMA
• Lubrikasi hanya pada bagian belakang mask LMA
Peringatan penting:
• Hindari penggunaan lubrikan secara berlebihan
– Pada permukaan anterior balon LMA atau
– Pada cekungan mask LMA
Insersi
Langkah 1.
Pegang tube LMA seperti memegang pena sedekat mungkin dengan ujung mask LMA.
Tempatkan ujung LMA berlawanan dengan permukaan dalam gigi atas pasien.
Langkah 2
Dengan pengelihatan langsung:
– Tekan ujung mask LMA keatas melawan palatum durum, agar tidak terlipat.
– Gunakan jari telunjuk, untuk menekan kearah atas, sambil memasukkan mask ke
dalam faring untuk memastikan ujung LMA tidak terlipat, dan hindari lidah.
Langkah 3
Pastikan leher tetap fleksi dan kepala ektensi:
• Tekan mask LMA ke dalam dinding posterior faring menggunakan jari telunjuk.
Langkah 4
Tetap tekan kebawah menggunkan jari telunjuk.
– Pandu mask LMA untuk masuk kebawah sesuai posisi.
Langkah 5
Pegang tube LMA dengan tangan yang lain
– Keluarkan jari telunjuk dari dalam faring
– Tekan secara lembut kebawah dengan tangan yang lain untuk memastikan LMA
terpasang dengan sempurna.
Langkah 6
Kembangkan balon LMA sesuai dengan volume yang direkomendasikan.
Jangan kembangkan balon LMA secara berlebihan.
Jangan sentuh tube LMA selama masih dikembangakan, kecuali berada dalam posisi
yang tidak stabil.
– Normalnya mask boleh ditarik sedikit keluar dari hipofaring selama mask LMA masih
dikembangkan untuk mencari posisi yang tepat.
Langkah 7
Hubungkan LMA dengan Bag-Valve Mask atau ventilator bertekanan rendah.
Ventilasi pasien sambil maemastikan bunyi nafas terdengar sama pada semua
lapangan paru dan tidak ada bunyi ventilasi pada epigastrium.
Insersi bite-block atau gulungan has untuk mencegah oklusi tube akibat gigitan pasien.
Sekarang LMA dapat diamankan dengan teknik yang sama digunakan untuk
mengamankan ETT.
i-gel
cuff i-gel terbuat dari gel elastomer thermoplastic dan tidak membutuhkan inflasi;
stem/batang dari i-gel menggabungkan bite block dan tube drainase esofageal yang
kecil. Biasanya digunakan untuk menjaga jalan nafas selama anastesi. Kemudahan
insersi i-gel dan tekanan kebocoran yang rendah membuatnya secara teoritis sangat
menarik sebagai perangkat resusitasi jalan napas bagi mereka yang berpengalaman
dalam intubasi trakea. Penggunaan gel i-selama serangan jantung telah dilaporkan
namun masih perlu data yang lebih tentang penggunaannya dalam keadaan seperti ini.
Laryngeal Tube
Laryngeal tube (LT) pertama kali diperkenalkan pada tahun 2001.
Versidisposable dari laryngeal tube (LT_D) sudah tersedia dan telah digunakan selama
resusitasi pada serangan jantung yang terjadi diluar rumah sakit. LT tidak terlalu sering
digunakan di Inggris.
Intubasi Trachea
Pro dan kontra intubasi trakea telah dibahas dalam bab pra-rumah sakit. Seperti
pada intubasi trakea pra-rumah sakit, intubasi di rumah sakit harus dilakukan hanya
oleh petugas yang terlatih yang mampu melakukan prosedur dengan kemampuan yang
sangat tinggi. Upaya intubasi tidak boleh mengganggu kompresi dada lebih dari 10
detik; jika intubasi tidak tercapai, gunakan ventilasi bag-mask. Setelah intubasi,
konfirmasi posisi tube dan amankan posisi tube.
Penilaian utama meliputi pengamatan ekspansi dada bilateral, auskultasi atas
bidang paru bilateral di aksila (bunyi nafas harus sama dan didengar dengan jelas) dan
diatas epigastrium (bunyi nafas tidak boleh didengar didaerah ini). Tanda klinis dari
penempatan tabung yang benar (kondensasi tabung, pengembangan dada, suara nafas
pada auskultasi paru, dan tidak terdengarnya bunyi gas yang masuk ke perut) tidak
sepenuhnya dapat diandalkan. Konfirmasi sekunder penempatan tabung trakea melalui
ekhalasi karbon dioksida (CO2) atau perangkat deteksi esofagus dapat mengurangi
risiko intubasi esofagus yang belum diakui tetapi kinerja perangkat yang tersedia
bervariasi. Selain itu, tidak ada teknik konfirmasi sekunder yang akan membedakan
antara tabung ditempatkan dalam bronkus utama dan satu ditempatkan dengan benar
dalam trakea, sehingga berhati-hati dalam melakukan penilaian utama untuk
memastikan ekspansi yang sama dari kedua paru-paru dan suara napas yang masing-
masing sama jelas tetap penting.
Tidak ada data yang cukup untuk mengidentifikasi metode yang optimal untuk
memastikan penempatan tabung selama serangan jantung, dan semua perangkat
harus dipertimbangkan sebagai tambahan untuk teknik konfirmasi lainnya. Tidak ada
data yang mengukur kemampuan dalam mmemantau posisi tabung setelah
penempatan awal.
Perangkat detektor karbon dioksida mengukur konsentrasi ekhalasi karbon
dioksida dari paru. Bertahannya ekhalasi CO2 setelah ventilasi ke enam menunjukkan
penempatan tabung trakea dalam trakea atau bronkus utama. Selama serangan
jantung aliran darah paru mungkin sangat rendah sehingga ekhalasi CO2 tidak cukup,
sehingga Detektor CO2 tidak mengidentifikasi dengan benar penempatan tabung
trakea. Ketika ekhalasi CO2 terdeteksi selama serangan jantung dapat diandalkan
untuk menunjukkan bahwa tabung dalam trakea atau bronkus utama. Berbagai
elektronik sederhana, murah, detektor kolorimetri CO2 tersedia untuk penggunaan di
dalam dan diluar rumah sakit rumah sakit. Detektor End-tidal CO2 yang mencakup
tampilan grafik berbentuk gelombang (capnographs) adalah yang paling dapat
diandalkan untuk verifikasi posisi tabung trakea selama serangan jantung.
Berdasarkan data yang tersedia, keakuratan detektor kolormetrik CO2, perangkat
detektor oesophageal dan non-gelombang capnometers tidak melebihi akurasi
auskultasi dan inspeksi langsung untuk mengkonfirmasi posisi tabung trakea pada
pasien serangan jantung. Bentuk gelombang kapnografi adalah cara yang paling
sensitif dan spesifik untuk mengkonfirmasi dan terus memonitor posisi tabung trakea
pada pasien serangan jantung dan sebagai tambahan dalam penilaian klinis (auskultasi
dan inspeksi dari tabung trakea melewati pita suara). Bentuk gelombang kapnografi
tidak dapat membedakan antara penempatan tabung trakea dan bronkial sehingga
perlu auskultasi yang hati-hati. Monitor portabel yang ada membuat konfirmasi awal
capnographic dan pemantauan terus menerus dari posisi layak tabung trakea di hampir
semua pengaturan di mana intubasi dilakukan, termasuk diluar rumah sakit, bagian
gawat darurat, dan di lokasi rumah sakit. Dengan tidak adanya suatu gelombang
capnograph mungkin lebih baik menggunakan perangkat saluran napas supraglotik bila
ada indikasi penanganan jalan napas lebih lanjut.
Cricothyroidotomy
Jika tidak memungkinkan untuk ventilasi pada pasien apnoe dengan bag-mask,
atau untuk melewati tabung trakea atau perangkat saluran napas alternatif, pemberian
oksigen melalui kanula atau bedah krikotiroidotomi dapat menyelamatkan jiwa. Bedah
krikotiroidotomi menyediakan jalan napas definitif yang dapat digunakan untuk ventilasi
paru pasien sampai intubasi semi-elektif atau trakeostomi dilakukan. Jarum
krikotiroidotomi merupakan prosedur sementara hanya menyediakan oksigenasi jangka
pendek.
BANTUAN SIRKULASI
Akeses intravascular
Pemberian obat via vena perifer versus vena sentral
Kanulasi vena perifer lebih cepat, mudah dan aman. Setiap pemberian obat dari
vena perifer harus diikuti dengan pemberian cairan sekurangnya 20 mL. Pemasangan
akses vena sentral sebaiknya dilakukan hanya oleh orang yang sudah terlatih dan
kompeten dan proses pemasangan harus dilakukan dengan interupsi minimal pada
kompresi dada.
Jalur intraosseus
Bila akses intravena tidak didapat dalam 2 menit pertama resusitasi,
pertimbangkan untuk pemasangan akses intraosseus. Akses intraosseus biasanya
digunakan pada anak-anak karena sulitnya mendapatkan akses intravena, namun
teknik ini telah diaangap sebagai jalur yang aman dan efektif untuk pemberian obat dan
cairan bagi orang dewasa juga. Daerah yang dapat diakses diantaranya daerah tibia
dan humerus. Pemberian obat-obat resusitasi melalui jalur ini akan mencapai
konsentrasi plasma yang adekuat.
Jalur trakea
Obat-obat resusitasi juga dapat diberikan melalui pipa trakea, namun konsentrasi
plasma obat yang diberikan melalui jalur ini sangat bervariasi dan secara umum
dianggap lebih rendah daripada pemberian melalui jalur intravena dan intraosseus,
terutama adrenalin. Cairan intratrakeal dalam jumlah besar akan mengganggu
pertukaran gas. Karena akses IO yang lebih mudah dan kurang efisiennya pemberian
obat via jalur trakea, maka teknik ini tidak lagi direkomendasikan.
RKP Mekanis
RKP manual standar dapat membuat perfusi koroner dan serebral paling baik
sebesar 30%. Beberapa teknik dan peralatan RKP dapat meningkatkan hemodinamik
atau angka kelangsungan hidup jangka pendek bila digunakan oleh petugas terlatih
pada kasus-kasus tertentu. Namun, keberhasilan setiap teknik dan peralatan
bergantung pada edukasi dan pelatihan semua petugas. Meskipun kompresi dada
manual kadang dilakukan dengan buruk, namun tidak ada alat yang secara konsisten
lebih baik daripada RKP manual.
Perubahan Pedoman
Defibrilasi
Pentingnya kompresi dada dengan interupsi yang minimal selama intervensi ALS
sangat ditekankan: kompresi dada dapat berhenti sejenak hanya untuk memungkinkan
intervensi yang spesifik.
Rekomendasi waktu spesifik resusitasi jantung paru (CPR) sebelum dilakukan
defibrilasi diluar lingkup rumah sakit, akibat adanya cardiac arrest yang tidak disaksikan
oleh petugas medis kegawatdaruratan (EMS), kini telah dihapus.
Kini, kompresi dada tetap dilanjutkan selama pengisian defibrillator – ini akan
meminimalisasikan waktu jeda pre-shock.
Peran precordial thump kini tidak terlalu ditekankan.
Penggunaan lebih dari tiga quick successive (stacked) shocks kini direkomendasikan
untuk ventrikel fibrilasi/pulseless ventrikel tachycardia (VF/VT) yang terjadi pada
kateterisasi jantung atau pada periode post-operative sesaat setelah operasi jantung.
Obat
Pemberian obat melalui tube tracheal kini tidak direkomendasikan lagi – jika jalur intra
vena (IV) tidak didapatkan maka obat diberikan melalui jalur intraosseus (IO).
Saat menangani cardiac arrest VF/VT, pemberian adrenaline 1 mg diberikan setelah
kompresi dada telah berulang setelah third shock/kejutan ketiga, selanjutnya diberikan
tiap 3-5 menit (selama peralihan siklus CPR). Pada pedoman 2005, adrenalin diberikan
sesaat sebelum third shock/kejutan ketiga. Perubahan waktu pemberian adrenalin ini
untuk memisahkan waktu pemberian obat dari defibrilasi. Diharapkan agar hal ini
menghasilkan pemberian shock/kejut yang lebih efisien dan meminimalkan interupsi
pada kompresi dada.
Atropin tidak lagi direkomendasikan untuk pemakaian rutin pada asistol ataupulseless
electrical activity (PEA).
Ultrasound
Mulai dipertimbangkan peran potensial ultrasound dalam ALS.
Perawatan Post-Resusitasi
Bahaya potensial yang diakibatkan oleh hiperoksemia setelah tercapai ROSC kini telah
diketahui : setelah tercapai ROSC dan saturasi oksigen darah arteri (SaO2) dapat
dimonitor dengan baik (melalui pulse oximetry dan/atau analisa gas darah), oksigen
inspirasi dititrasi untuk mencapai kadar SaO2 94-98% .
Penanganan post-cardiac arrest syndrome kini lebih detail dan lebih ditekankan.
Implementasi protokol penanganan post resusitasi yang terstruktur dan komprehensif
dapat meningkatkan keselamatan pasien serangan jantung setelah ROSC.
Penggunaan intervensi koroner perkutanues primer pada pasien yang sesuai, namun
dalam keadaan koma, pasien dengan ROSC yang terjaga setelah serangan jantung,
kini lebih ditekankan.
Revisi dalam rekomendasi kontrol glukosa : pada orang dewasa dengan ROSC yang
terjaga setelah serangan jantung, kadar glukosa darah >10 mmol l-1 harus diatasi
namun keadaan hipoglikemi harus dihindari.
Hipotermia terapeutik kini digunakan untuk pasien komatosa setelah serangan jantung
dengan ritme non-shockable maupun ritme shockable. Tingkat evidensi lebih rendah
untuk penggunaan pada serangan jantung dengan ritme non-shockable.
Diketahui bahwa banyak prediktor hasil yang jelek pada penderita komacardiac
arrest/serangan jantung tidak dapat dipercaya, utamanya jika pasien telah ditangani
dengan hipotermia terapeutik.
PELATIHAN BANTUAN HIDUP JANTUNG
LANJUTAN
Kegawatdaruratan pasien bisa terjadi kapan saja dan dimana saja sehingga
sebagai tenaga kesehatan diharapkan perawat mampu mengetahui dan
menangani hal tersebut.
Pelayanan kegawatdaruratan harus memperhatikan dua komponen utama yaitu
Bantuan Hidup Jantung Dasar dan Bantuan Hidup Jantung Lanjut.
Bantuan Hidup Jantung Dasar merupakan dasar tindakan penyelamatan jiwa
setelah terjadi keadaan henti jantung dengan tujuan awal memperbaiki sirkulasi
sistemik yang hilang pada penderita henti jantung mendadak dengan melakukan
RJP ( Resusitasi Jantung Paru ).
Ketepatan dan kecepatan pertolongan yang diberikan pada pasien yang
mengalami kegawatdaruratan berdampak pada keberhasilan pertolongan
selanjutnya.
Untuk meningkatkan kompetensi dan keterampilan perawat RS Pluit, semua
perawat diberikan pelatihan Bantuan Hidup Dasar ( BHD ) dan Bantuan Hidup
Jantung Lanjut ( BHJL ) sehingga diharapkan semua perawat dapat menangani
pasien yang mengalami kegawatdaruratan.
Bantuan Hidup Jantung Lanjut (ACLS)
21 November 2017 13:35:15
Kematian Medadak. Paling banyak akibat jantung sehingga disebut Kematian Jantung Mendadak berkaitan
penyakit jantung koroner,irama jantung yang paling sering fibrilasi ventrikel 75-80% kasus, sedangkan bradiaritmia
hanya terjadi sekitar 5-10%. PERKI memberikan kesempatan pada dokter umum /spesialis mendapat pelatihan
Resusitasi orang/pasien dengan henti jantung.
Kematian Medadak. Penyebab kematian mendadak ini yang paling banyak disebabkan masalah jantung sehingga
sering disebut Kematian Jantung Mendadak. Penyebab kematian jantung mendadak yang paling utama di negara-
negara industri adalah penyakit jantung koroner. yang paling banyak berkaitan dengan irama jantung dan yang
paling sering adalah fibrilasi ventrikel 75-80% kasus, sedangkan bradiaritmia hanya terjadi sekitar 5-10%. Insiden
kematian jantung mendadak dilaporkan 0.36 sampai 1.28 per 1000 penduduk di negara barat per tahun. Penelitian-
penelitian ini hanya mencatat penderita yang mengalami kematian jantung mendadak yang dilakukan resusitasi oleh
petugas emergensi. atau diketahui oleh masyarakat sekitar, sehingga angka ini masih di bawah dari angka yang
diharapkan di masyarakat. Resusitasi orang/pasien dengan henti jantung, dalam upaya mengembalikan sirkulasi ke
sirkulasi spontan dengan tekanan darah yang adekwat secara langsung berkaitan dengan jantung dan pembuluh
darah (Kardiovaskuler). PERKI sebagai Perhimpunan dokter Kardiovaskuler Indonesia berkewajiban untuk
Pengembangan, pengawasan, pelaksanaan ilmu resusitasi dalam kalangan dokter dan masyarakat, dibawah komisi
kegawat-daruratan kakardiovakuler PERKI. Hal ini dilakukan dengan menimbang pentingnya Ilmu tersebut untuk
kalangan dokter dan masyarakat, dan menghindari persepsi yang berbeda dari profesi dokter diluar bidang
kardiovaskuler. PERKI memberikan kesempatan pada dokter umum /spesialis mendapat pelatihan Resusitasi orang
/pasien dengan henti jantung. Untuk itu secara rutin PERKI mengadakan pelatihan Bantuan Hidup Jantung Lanjut
(ACLS) bagi teman sejawat dokter. Disamping itu PERKI memberi kesempatan bagi institusi yang terkait yang ingin
bekerjasama dengan PERKI untuk menelenggarakan kegiatan pelatihan ini. .
buatlah impian dan jadikan kenyataan
RATING TERTINGGI
Posts | Pages | Comments
All | Today | This Week | This Month
o KATARAK
5/5 (3 votes)
o KELAINAN DIDAPAT SALURAN PENCERNAAN PADA ANAK DAN DEWASA
5/5 (1 vote)
o BANTUAN HIDUP DASAR DAN LANJUTAN – RESUSITASI KARDIO PULMONAL (RKP)/ CARDIO PULMONARY
RESCUCITATION (CPR)
4/5 (7 votes)
o OKLUSI ARTERI SENTRALIS RETINA (CRAO) DAN OKLUSI VENA SENTRAL RETINA ( CRVO )
4/5 (6 votes)
o GLAUKOMA
4/5 (7 votes)
CARI DI SINI…
search this site
Okt »
1 2 3 4 5
6 7 8 9 10 11 12
13 14 15 16 17 18 19
20 21 22 23 24 25 26
27 28 29 30
September 2010
FOLLOW YA…
BLOG STATS
o 496,921 hits
KLIK TERTINGGI
o marse…
o marse…
o marse…
oIklanmarse…
Report this ad
7 Votes
Oleh
Rhudy Marseno*
DEFENISI
RKP adalah suatu usaha untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan fungsi sirkulasi serta mengatasi akibat berhentinya fungsi-
fungsi tersebut pada orang-orang yang tidak diharapkan mati pada saat itu.1 RKP merupakan salah satu tindakan Bantuan Hidup
Dasar (BHD). Tujuannya adalah untuk membantu atau mengembalikan oksigenasi, ventilasi, dan sirkulasi yang efektif hingga
kembalinya sirkulasi spontan atau hingga intervensi Bantuan Hidup Lanjut (BHJL) dapat mulai dilakukan. 3 Resusitasi mencegah
Sekedar informasi, mati ada tiga macam. Yang pertama disebut dengan istilah Mati Klinis, yaitu berhentinya nafas dan jantung.
Yang kedua adalah Mati Biologis, yaitu mati klinis yang gagal ditolong. Yang ketiga adalah Mati Sosial, yaitu fungsi pernafasan
dan jantung kembali baik tetapi fungsi otak terganggu karena hipoksia yang lebih dari 10 menit. 1
Keberhasilan RKP ditentukan oleh kecepatan dan ketepatan RKP diberikan. Jika Apneu dan Cardiac Arrest terjadi selama 4
menit, angka keberhasilan RKP lebih dari 65 % tanpa gejala sisa (sakit kepala-pusing, amnesia retrograde, dll).1
INDIKASI RKP
Henti Napas
Henti Napas primer ( respiratory arrest ) dapat disebabkan oleh sumbatan jalan nafas dan depresi pernapasan sentral dan perifer.
Sumbatan jalan nafas seperti benda asing, aspirasi, lidah yang jatuh ke belakang, pipa trakeal terlipat, kanula trakeal tersumbat,
kelainan akut glottis dan sekitarnya ( sembab glottis, perdarahan).Depresi pernapasan sentral seperti karena obat-obatan,
intoksikasi, paO2 rendah, paCO2 tinggi, setelah henti jantung, tumor otak, tenggelam. Depresi pernapasan perifer seperti karena
Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi, pemberian O 2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup
sampai beberapa menit. Kalau henti napas mendapat pertolongan segera (seperti BHD-RKP.pen), maka pasien akan
terselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan berakibat henti jantung yang mungkin menjadi fatal. 2
Henti Jantung
Henti jantung primer (cardiac arrest) adalah ketidaksanggupan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen ke otak dan
organ vital lainnya secara mendadak dan dapat balik normal jika dilakukan tindakan yang tepat atau akan menyebabkan kematian
dan kerusakan otak menetap jika tindakan tidak adekuat. Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh ventricle fibrillation atau
takikardia tanpa denyutan (80-90%) terutama kalau terjadinya di luar rumah sakit, asistol ventricle (+/- 10%) dan electro-
1. Penyakit kardiovaskular, seperti penyakit jantung iskemik, infark miokardial akut, embolus paru, fibrosis pada system konduksi
2. Kekurangan oksigen akut, seperti henti nafas, benda asing di jalan nafas, sumbatan jalan nafas oleh sekresi
3. Kelebihan dosis obat, seperti digitalis, quinidin, antidepresan trisiklik, propoksifen, adrenalin, isoprenalin.
4. Gangguan asam-basa/elektrolit, seperti kalium serum yang tinggi atau rendah, magnesium serum rendah, kalsium serum tinggi,
asidosis.
Henti Jantung ditandai dengan denyut nadi besar tak teraba (a.karotis, femoralis dan radialis pada dewasa dan a.brakhialis
pada bayi), disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali, pernapasan berhenti atau satu-satu ( gasping, apnu), terlihat seperti
mati ( death like appearance ), dilatasi pupil tak bereaksi dengan rangsangan cahaya ( 45 detik setelah henti jantung ) dan
Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar hemoglobin (Hb), saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan.
Resusitasi Kardio Pulmonal (RKP) diperlukan jika O2 ke Otak tidak cukup, sehingga otak tidak dapat menjalankan fungsinya
dengan baik. Iskemia melebihi 3-4 menit pada suhu normal akan menyebabkan korteks serebri rusak menetap, walaupun setelah
itu kita dapat membuat jantung berdenyut kembali. Kerusakan otak pasca resusitasi akibat terlambat memulainya.
Kapan memulai RKP3
Siapapun yang mempunyai pengetahuan dan kemampuan resusitasi dapat melakukan RKP ketika berhadapan dengan kasus henti
jantung. Namun ada hal-hal yang perlu diperhatikan saat RKP tidak perlu dilakukan, yaitu:
Jika menyaksikan sendiri terjadinya henti jantung, sudah seharusnya segera memulai RKP, kecuali:
3. Kemungkinan RKP untuk mengembalikan sirkulasi spontan dengan kualitas hidup yang diterima sangat kecil
4. Henti jantung yang terjadi setelah usaha terapi yang maksimal untuk proses penyakit terminal.
Penolong tidak mengetahui berapa lama henti jantung itu sudah berlangsung. Untuk hal seperti ini tidak perlu mulai melakukan
1. Ada tanda kematian yang tidak berubah seperti rigor mortis atau lebam mayat
3. Penderita mengalami trauma yang tidak bisa diselamatkan, seperti hangus terbakar, dekapitasi atau hemikorporektomi.
Beberapa alasan kuat bagi penolong untuk menghentikan RKP antara lain: 3,4
2. Upaya resusitasi telah diambil alih oleh orang lain yang bertanggung jawab meneruskan resusitasi (bila tak ada dokter)
3. Seorang dokter mengambil alih tanggung jawab (bila tak ada dokter sebelumnya).
7. Penolong sudah mempertimbangkan apakah pasien terpapar bahan beracun atau mengalami overdosis obat yang akan
8. Penolong sudah merekam melalui monitor adanya asistol yang menetap selama 10 menit atau lebih
9. Interval waktu usaha resusitasi pada henti jantung disaksikan yang tidak dapat mengembalikan sirkulasi spontan adalah 25
sampai 30 menit
ALGORITMA RKP
Dekati pasien tersebut dan pastikan korban benar-benar tidak sadar (check responsiveness) dengan memanggil-manggil
(rangsangan suara.pen), menyentuh lembut atau memberikan rangsangan nyeri (rangsangan nyeri.pen), atau dengan
memberikan bau-bauan yang cukup menyengat (rangsangan bau.pen). Perhatian, hati-hati menyentuh pasien yang terkena
Bila tidak sadar, minta bantuan orang lain agar menelepon ambulans atau rumah sakit terdekat agar segera datang dengan alat
Ubah posisi korban, posisikan dengan posisi tidur terlentang di tempat yang datar dan keras sebagai persiapan untuk melakukan
1. A=Airway Control. Tujuannya untuk membuka dan mengamankan jalan nafas. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut.
Penolong berlutut di dekat kepala sebelah kanan korban.
Jika terdapat trauma pada leher sebelah atas sampai kepala dan dicurigai terdapat trauma cervical, lakukan fiksasi pada leher
dan kepala korban dengan memasang collar neck atau benda keras apapun sebagai pengganti yang cocok.
Jika tonus otot korban hilang, lidah akan menyumbat faring dan epiglottis akan menyumbat laring, hal ini menjadi penyebab
utama tersumbatnya jalan napas pada pasien tidak sadar.2 Oleh sebab itu, lakukan tindakan Angkat Dagu Tengadah Kepala
atas dan mendorong kepala atau dahi ke belakang. Pada korban dengan trauma muka atau kepala dan dada yang dicurigai
mengalami cedera servikal, lakukan teknik penarikan rahang tanpa kepala (jaw thrust Maneuver.red)
Lihat apakah ada cairan atau benda asing. Bila terdapat cairan, miringkan kepala penderita agar cairan dapat keluar
(memiringkan kepala hanya dilakukan pada penderita yang tidak ada cedera tulang servikal) atau dilakukan penghisapan cairan
bila peralatan tersebut tersedia. Bila terdapat benda asing maka segera keluarkan benda tersebut, salah satunya dengan teknik
hentakan abdomen (Hemlich maneuver/ abdominal thrust) dan hentakan dada ( chest thrust ). Jika
sumbatan jalan napas masih terjadi, dapat dicoba pemasangan pipa jalan nafas ( oropharyngeal airway atau nasopharyngeal
airway ). Jika usaha ini masih belum berhasil, perlu dilakukan tracheal intubation, jika tidak bisa dilakukan maka sebagai
alternative adalah cricotirotomy atau cricotiroid membrane punction dengan jarum berlumen besar (missal dengan kanula
intravena 14 G).4
Perhatikan apakah korban bernafas atau tidak dengan melakukan :lihat, dengar, rasakan (look,listen, feel).
arah dada. Lihat apakah ada pergerakan dinding dada seperti orang bernafas umumnya (look), dengarkan suara pernafasannya
(listen), dan rasakan hembusan nafasnya (feel).Bila tidak bernafas, lakukan langkah B.
Pasanglah alat bantu jalan nafas orofaring (bila ada) pada penderita, kemudian pasang kantung nafas sungkup muka. Bila
terjadi di lapangan dan tanpa peralatan, lakukan dengan manipulasi dengan cara mulu ke mulut ( the kiss of life, mouth-to-
mouth ), mulut ke hidung ( mouth-to-nose ) pada trauma maksilo-fasial dan saat mulut korban sulit dibuka atau mulut ke stoma
trakeostomi. Letakkan tangan kanan penolong di dagudan tangan kiri penolong memencet kedua lubang hidung korban,
sehingga lobang hidung tertutup rapat. Dengan demikian keadaan korban menjadi “mulut menganga, dagu terangkat, kepala
fleksikan”.
Lakukan nafas buatan sebanyak 2 kali secara perlahan, tiap ventilasi waktunya sekitar 2 detik.
Lihat apakah udara yang dipompakan dapat masuk dengan mudah, apakah dinding dada tampak naik ketika udara dipompakan,
dan apakah ada udara yang keluar saat ekspirasi pasif. Bila udara tidak dapat masuk dengan mudah dan dinding dada tidak
bergerak naik, pikirkan kemungkinan adanya obstruksi jalan nafas. Atasi obstruksi segera!
Raba denyut arteri carotis paling lama 10 detik. Bila tidak ada denyut, berarti pasien Cardiac Arrest dan lanjutkan langkah C.
Bila berdenyut, lanjutkan pemberian nafas buatan dengan frekuensi 12-20 kali/menit.5
Lakukan Pijat Jantung Luar (PJL) sebanyak 7 kali dan diikuti nafas buatan sebanyak 1 kali ( menurut ACLS 2008, PJL sebanyak
30 kali dan nafas buatan sebanyak 2 kali.red). Yang penting PJL dilakukan sebanyak +/- 80 kali/menit dan nafas buatan sebanyak
1) Letakkan satu telapak tangan di atas permukaan dinding dada pada 1/3 processus xypoideus (bagian ujung sternum).
2) Dengan jari-jari terkunci, lengan lurus dan kedua bahu tepat di atas sternum korban, beri tekanan ventrikal ke bawah
dengan kedalaman sekitar 3-5 cm untuk dewasa. Tekanan berasal dari bahu bukan dari tangan, sehingga tangan dan siku korban
lurus dan tegak lurus dengan dada korban. Tindakan ini akan memeras jantung yang letaknya dijepit oleh dua bangunan tulang
yang keras yaitu tulang dada dan tulang punggung. Pijatan jantung yang baik akan menghasilkan denyut nadi pada arteri carotis
3) Pada gerakan penekanan, usahakan penekanan sternum ke bawah selama ½ detik dan lepaskan dengan cepat tetapi kedua
tangan tidak boleh diangkat dari dada korban dan tunggu ½ detik kemudian agar jantung dan pembuluh darah terisi cukup
4) Kompresi harus teratur, halus dan continue. Dalam kondisi apapun kompresi tidak boleh berhenti lebih dari 5 detik.
5) Lakukan pemberian nafas sebanyak 2 kali tiap setelah 30 kali pijatan atau penekanan pada dada (jantung) dengan
perbandingan 30:2.
6) Lakukan sebanyak 5 siklus, kemudian cek kembali arteri carotis korban. Jika tetap tidak berdenyut, lanjutkan pemberian
PJL.
Di lapangan, saat korban menunjukkan respon yang positif terhadap pemberian Bantuan Hidup Dasar ( langkah A-B-C), maka
tindakan RKP dihentikan dan letakkan korban pada posisi mantap. Caranya adalah sebagai berikut. 4
pasien berguling ke depan. Lengan sebelah bawah yang berada di punggungnya mencegah pasien terguling ke belakang.
Pada tahap ini diberikan obat dan cairan tanpa menunggu hasil EKG.Obat yang diberikan adalah.
1) Adrenalin
Pertama yang diberikan adalah adrenalin 0,5-1,0 mg I.V dosis untuk dewasa, 10 mcg/kg pada anak-anak. Cara pemberian: IV,
intratrakeal lewat pipa trakeal (1 ml adrenalin 10/00 diencerkan dengan 9 ml akuades steril, bukan NaCl) atau bila keduanya tidak
mungkin: intrakardiak (hanya oleh tenaga yang sudah terlatih). Diulang tiap 5 menit dengan dosis sama sampai timbul denyut
jantung spontan atau mati jantung.4 Walaupun cardiac arrestnya fibrilasi ventrikel, namun adrenalin tetap diberikan sebagai obat
pilihan pertama karena fungsi adrenalin selain sebagai notropic dan chronotropic, adrenalin juga meningkatkan sensitivity otot
jantung sehingga ventricle fibrillation mudah kembali ke irama sinus dengan defibrillator listrik pada jantung yang telah
diberikan adrenalin.1
2) Natrium Bikarbonat
Dosis mula 1 mEq/kg (bila henti jantung lebih dari 2 menit) kemudian dapat diulang tiap 10 menit dengan dosis 0,5 mEq/kg
sampai timbul denyut jantung spontan atau mati jantung. Cara pemberian hanya IV. 4
5. E=EKG
6. F=Fibrilation Treatment
Elektroda dipasang di sebelah kiri putting susu kiri dan di sebelah kanan sternum atas. Defibrilasi luar: arus searah: 100-360
Pada tahap ini, menentukan dan member terapi penyebab kematian dan menilai sampai sejauh mana pasien dapat diselamatkan.
Prinsip Bantuan Hidup Dasar pada bayi dan anak adalah sama dengan pada orang dewasa. Akan tetapi karena ketidaksamaan
ukuran, diperlukan modifikasi teknik yang disebutkan di atas yaitu sebagai berikut. 4
1. Ekstensi kepala yang berlebihan dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas pada bayi dan anak kecil. Kepala hendaknya dijaga
dalam posisi netral selama diusahakan membuka jalan napas pada kelompok ini.
2. Pada bayi dan anak kecil, ventilasi mulut-ke-mulut dan hidung lebih sesuai daripada ventilasi mulut-ke-mulut atau mulut-ke-
hidung. Pemberian ventilasi harus lebih kecil volumnya dan frekuensi ventilasi harus ditingkatkan menjadi 1 ventilasi tiap 3
3. Pukulan punggung dengan pangkal tangan dapat diberikan pada bayi di antara 2 skapula dengan korban telungkup dan
mengangkang pada lengan penolong dan hentakan dada diberikan dengan bayi terlentang, kepala terletak dibawah melintang
pada paha penolong. Pukulan punggung pada anak yang lebih besar dapat diberikan dengan korban telungkup melintang di atas
paha penolong dengan kepala lebih rendah dari badan, dan hentakan dada dapat diberikan dengan anak terlentang di atas lantai.
4. Karena jantung terletak sedikit lebih tinggi dalam rongga toraks pada pasien-pasien muda, kompresi dada luar hendaknya
diberikan dengan 2 jari pada 1 jari di bawah titik potong garis putting susu dengan sternum pada bayi dan pada tengah
pertengahan bawah sternum pada anak. Penekanan sternum 1,5-2,5 cm efektif untuk bayi, tetapi pada anak diperlukan
penekanan 2,5-4 cm. pada anak yang lebih besar hendaknya digunakan pangkal telapak tangan untuk kompresi dada luar.
5. Selama henti jantung, pemberian komprsi dada luar harus minimal 100 kali permenit pada bayi dan 80 kali permenit pada anak-
Usaha tindakan RKP pada langkah-langkah ABC (Bantuan Hidup Dasar) yang dilakukan pada korban yang mengalami henti
2. Korban dinyatakan mati. Ini bisa disebabkan karena terlambatnya pemberian tindakan RKP atau salah dalam pelaksanaannya.
3. Korban belum dapat dinyatakan mati dan belum timbul denyut jantung spontan. Dalam hal ini perlu diberikan pertolongan
lebih lanjut.
4. Denyut jantung spontan timbul, tetapi korban belum pulih kesadarannya. Ventilasi spontan bisa ada bisa tidak.
REFERENSI
1. Zaidulfar. (2010) Cardio Pulmonary Rescucitation. Proceedings of skill lab training of medical student of Block 16th of
2. Latief, Said A.dkk. (2002) Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
3. Karo, Santoso.dkk. (2009) Buku Panduan Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut ACLS (Advanced Cardiac Life Support)
Indonesia. Jakarta:PERKI-2008
4. Muhiman, Muhardi.dkk. (1989) Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
5. HET (2010) Materi Diklat Medis, KAT serta Pengabdian Masyarakat Angkatan XXI. Padang: Hippocrates Emergency Team
FK Unand 2010