Anda di halaman 1dari 39

ADVANCED LIFE SUPPORT

Adalah usaha yang dilakukan setelah dilakukan usaha hidup dasar dengan memberikan
obat-obatan yang dapat memperpanjang hidup pasien.
Bantuan hidup lanjut berhubungan dengan teknik yang ditujukan untuk memperbaiki
ventilasi dan oksigenasi korban dan pada diagnosis serta terapi gangguan irama utama selama
henti jantung. Bantuan hidup dasar memerlukan peralatan khusus dan penggunaan obat. Harus
segera dimulai bila diagnosis henti jantung atau henti nafas dibuat dan harus diteruskan sampai
bantuan hidup lanjut diberikan. Setelah dilakukan ABC RJP dan belum timbul denyut jantung
spontan, maka resusitasi diteruskan dengan langkah DEF.
1. Drug and Fluid (Obat dan Cairan)
Tanpa menunggu hasil EKG dapat diberikan :
a. Adrenalin : 0,5 – 1,0 mg dosis untuk orang dewasa, 10 mcg/ kg pada anak- anak.
Cara pemberian : iv, intratrakeal lewat pipa trakeal (1 ml adrenalin diencerkan dengan 9
ml akuades steril, bukan NaCl, berarti dalam 1 ml mengandung 100 mcg adrenalin).
Jika keduanya tidak mungkin : lakukan intrakardial (hanya oleh tenaga yang sudah
terlatih). Di ulang tiap 5 menit dengan dosis sama sampai timbul denyut spontan atau mati
jantung.
b. Natrium Bikarbonat : dosis mula 1 mEq/ kg (bila henti jantung lebih dari 2 menit) kemudian
dapat diulang tiap 10 menit dengan dosis 0,5 mEq/ kg sampai timbul denyut jantung spontan atau
mati jantung.
Penggunaan natrium bikarbonat tidak lagi dianjurkan kecuali pada resusitasi yang lama,
yaitu pada korban yang diberi ventilasi buatan yang lama dan efisien, sebab kalau tidak asidosis
intraseluler justru bertambah dan tidak berkurang. Penjelasan untuk keanehan ini bukanlah hal
yang baru. CO2 yang tidak dihasilkan dari pemecahan bikarbonat segera menyeberangi membran
sel jika CO2 tidak diangkut oleh respirasi.
2. EKG
Meliputi fibrilasi ventrikuler, asistol ventrikuler dan disosiasi elektro mekanis.
3. Fibrilation Treatment (Terapi Fibrilasi)
Elektroda dipasang disebelah kiri puting susu kiri disebelah kanan sternum atas,
defibrilasi luar arus searah:
a. 200 – 300 joule pada dewasa.
b. 100 – 200 joule pada anak.

c. 50 – 100 joule pada bayi.


BANTUAN HIDUP LANJUT (
ADVANCED LIFE SUPPORT
)
Bantuan hidup lanjut dilakukan di fasilitas kesehatan. Tindakan bantuan hidup dasartetap
dipertahankan dan dilengkapi oleh bantuan hidup lanjut. Tujuan utama adalah
untukmengembalikan sirkulasi spontan dan stabilitas sistem kardiovaskular, yaitu
dengan pemberian cairan dan obat

obat. Diperlukan juga pemeriksaan EKG untuk melihat bagaimana irama jantungnya
I.

Drug and fluid


Pemasangan infus dua tempat bersamaan dengan dilakukannya RJP. Bilamemungkinkan dilakukan
pemasangan kateter untuk memonitor
central venous pressure
(CVP).Pemberian obat melaului
tracheal tube
tidak lagi direkomendasikan. Jika pemberiansecara IV tidak memungkinkan, maka pemberian obat diberikan
secara
intraosseous.

Pada
cardiacarrest
dengan etiologi VT / VF:
a.

1mg adrenalin diberikan setelah 3 kali syok dan kemudian setiap 3 – 5 menit(selama siklus RJP berlangsung).
b.

Amiodarone 300mg juga diberikan setelah 3 kali syok.


c.

Atropin sudah tidak direkomendasikan lagi pemakaiannya dalam


asystole
atau
pulseless electrical activity
(PEA).

Untuk mengatasi hipotensi diberikan dopamine 200mg dilarutkan dalam 250 – 500 mlgaram fisiologis. Untuk
mengatasi
asidosis metabolic
yang biasanya timbul beberapa menitsetelah henti jantung, diberikan Na
-
bikarbonat. Dosis awal yang dianjurkan adalah1mEq/kgBB i.v. atau 1 ampul 50ml (7.5%)
yang mengandung 44,6 mEq ion Na.
Macam
-
Macam Obat yang Digunakan

a.

Obat vasoaktifGolongan obat vasoaktif mempunyai efek vasopresor, inotropik, dan vasodilator. Obat
vasopresor mempunyai aktifitas adrenergik α1 yang mengakibatkan konstriksi
arteriol, peningkatan tahanan vaskuler sistemik, peningkatan tekanan darah. Obatinotropik akan
meningkatkan kontraktilitas jantun
akibat efek adrenergik β1.

EpinefrinEpinefrin tersedia dengan konsentrasi 1:10.000 dan 1:1000


SESUSITASI JANTUNG PARU VERSI BARU DAN BANTUAN HIDUP LANJUT DEWASA

Setelah membaca artikel ini diharapkan pembaca mampu ;

1. Melakukan Penanganan shockable rhythms (VF/VT)

2. Melakukan dan mengetahui keefektifan Precordial Thump

3. Mampu melakukan penanganan PEA

4. Mampu melakukan penanganan Asisitol

5. Mampu mengenal Penyebab reversible dari cardiac arrest dan mampu menanganinya

6. Mengetahui perangkat jalan nafas alternative dan kegunaan masing masing.

7. Mengetahui jalur akses intra vaskular

8. Mengetahui macam-macam jenis RKP Mekanis

9. Perubahan Pedoman

Algoritma ALS
Shockable Rhythms/ Irama Yang Dapat Dikejut (VF/VT)
Pada 25% kasus serangan jantung diluar maupun didalam RS, irama pertama
yang terekam adalah VF/VT. Pada pasien serangan jantung dengan irama asistol
maupun PEA, VF/VT juga dapat terjadi pada beberapa tahap saat resusitasi.
Penanganan shockable rhythms (VF/ VT)
1. Konfirmasi serangan jantung – periksa tanda kehidupan atau bila terlatih periksa
pernafasan dan denyut secara simultan.
2. Panggil tim resusitasi.
3. Lakukan kompresi dada tanpa jeda/interupsi sambil memasang pad monitor atau
defibrilasi – satu dibawah klavikula kanan dan lainnya pada posisi V6 pada garis
midaksilaris.
4. Rencanakan tindakan terlebih dahulu sebelum menghentikan CPR untuk menganalisa
irama dan komunikasikan pada tim.
5. Hentikan kompresi dada; konfirmasi VF dari ECG.
6. Segera kembali melakukan kompresi dada; secara simultan, kemudian pilih energi yang
tepat pada defibrilator (150-200 J bifasik untuk kejut pertama dan 150-360 J bifasik
untuk kejut selanjutnya) lalu tekan tombol charge.
7. Saat defibrilator sedang mengisi, ingatkan semua penolong untuk berdiri menjauh, dan
melepas semua alat oksigenasi. Pastikan hanya orang yang melakukan kompresi saja
yang menyentuh pasien.
8. Saat defibrilator terisi, minta penolong yang melakukan kompresi bebas gangguan, lalu
berikan kejut.
9. Tanpa menilai irama ataupun merasakan denyut, segera lakukan kembali CPR dengan
rasio 30:2, dimulai dengan kompresi dada.
10. Lanjutkan CPR selama 2 menit; pemimpin tim menyiapkan tim untuk jeda berikutnya
pada CPR.
11. Berhenti sejenak untuk memeriksa monitor.
12. Jika VF/VT, ulangi langkah 6-11 dan lakukan kejut kedua.
13. Jika VF/VT menetap, ulangi langkah 6-8 dan lakukan dan lakukan kejut ketiga. Segera
lakukan kembali kompresi dada dan berikan adrenaline 1 mg IV dan amiodarone 300
mg IV sementara melakukan CPR lanjutan selama 2 menit.
14. Lakukan CPR 2 menit – periksa irama/denyut – lakukan defibrilasi bila terdapat VF/VT
yang menetap.
15. Berikan adrenaline 1 mg IV setelah kejut lanjutan (kira-kira setiap 3-5 menit).

Jika didapatkan aktivitas elektrik yang seirama dengan cardiac output selama
pemeriksaan irama, cari bukti kembalinya sirkulasi spontan (return of
spontaneous circulation/ROSC) :
 Cek denyut sentral dan jejak end-tidal CO2 jika tersedia
 Jika didapatkan bukti ROSC, mulai penanganan post-resusitasi
 Jika tidak didapatkan tanda ROCS, lanjutkan CPR dan pindah ke algoritme non-
shockable.

Jika terlihat asistol, lanjutkan CPR dan pindah ke algoritme non-shockable.


 Interval antara dihentikannya kompresi dan pemberian kejut harus diminimalisasikan
dan tidak boleh melebihi beberapa detik (idealnya kurang dari 5 detik).
 Jika irama teratur terlihat selama 2 menit CPR, jangan menghentikan kompresi dada
untuk meraba denyut kecuali jika pasien menunjukkan tanda kehidupan (seperti
peningkatan end-tidal CO2 [ETCO2] jika terdapat monitor) yang mengindikasikan
adanya ROSC.
 Jika ragu akan adanya denyut pada irama yang teratur, kembali lakukan CPR. Jika
pasien menunjukkan ROSC, mulai lakukan penanganan post-resusitasi.

Precordial Thump
 tingkat kesuksesan yang rendah
 biasanya hanya berhasil bila dilakukan dalam beberapa detik pertama onset irama
shockable
 Precordial thump harus dilakukan segera setelah cardiac arrest dipastikan dan hanya
dilakukan oleh petugas kesehatan yang terlatih melakukan tekniknya.
 Menggunakan tepi ulnar kepalan tangan,
 berikan benturan/pukulan pada setengah sternum bagian bawah dari ketinggian kira-
kira 20 cm
 tarik kembali kepalan sesegera mungkin untuk menciptakan stimulus yang menyerupai
impuls.

Non-shockable rhytms (PEA dan asistole)


Pulseless electrical activity (PEA)
Pulseless electrical activity (PEA) didefinisikan sebagai hilangnya semua denyut
yang dapat dipalpasi sementara terdapat aktivitas elektris jantung yang tampaknya
menghasilkan cardiac output. Pasien ini seringkali mempunyai kontraksi mekanis
miokardial namun terlalu lemah untuk menghasilkan denyut atau tekanan darah yang
dapat teraba – kadang disebut sebagai ‘pseudo-PEA’. PEA dapat disebabkan oleh
kondisi reversible yang dapat diatasi jika diidentifikasi dan dikoreksi. Kelangsungan
hidup serangan jantung asistol atau PEA tidak memungkinkan, kecuali jika penyebab
reversible dapat ditemukan dan ditangani secara efektif.

Langkah penanganan PEA


 Lakukan CPR 30 : 2
 Berikan adrenalin 1 mg segera setelah didapatkan akses intravena
 Lanjutkan CPR 30 : 2 sampai jalan nafas aman, lalu lanjutkan kompresi dada tanpa
berhenti selama ventilasi
 Temukan kemungkinan-kemungkinan penyebab reversible PEA dan koreksi penyebab
yang teridentifikasi
 Periksa kembali pasien setelah 2 menit
 Jika masih belum ada denyut dan tidak ada perubahan pada ECG
 Lanjutkan CPR
 Periksa kembali pasien setelah 2 menit dan lanjutkan sesuai kondisi
 Berikan adrenaline 1 mg setiap 3-5 menit (alternate loops)
 Jika VF/VT, ganti ke algoritme shockable
 Jika ada denyut, mulai penanganan post-resusitasi

Tahap penanganan asistol


 Mulai CPR 30 : 2
 Tanpa menghentikan CPR, periksa apakah lead terpasang dengan baik
 Berikan adrenaline 1 mg segera setelah akses intravaskuler didapatkan
 Lanjut CPR 30 : 2 sampai jalan nafas aman, lalu lanjutkan kompresi dada tanpa
berhenti selama ventilasi
 Temukan kemungkinan-kemungkinan penyebab reversible PEA dan koreksi penyebab
yang teridentifikasi
 Periksa kembali pasien setelah 2 menit
 Jika VF/VT, ganti ke algoritme shockable
 Berikan adrenaline 1 mg setiap 3-5 menit (alternate loops)

Kapanpun diagnosis asistol dibuat, periksa ECG untuk melihat adanya gelombang
P karena pasien dapat berespon terhadap pemacuan jantung bila adaventricular
standstill dengan gelombang P kontinu. Upaya memacu true asistol tidak bernilai.

Atropin
Atropin merupakan antagonis dari neurotransmitter parasimpatis asetilkolin pada
reseptor muscarinik. Atropin memblok efek nervus vagus pada nodus sinoatrial (SA)
dan nodus atrioventricular (AV), meningkatkan rasio sinus dan memfasilitasi konduksi
AV node.
Pedoman 2005 merekomendasikan pemberian atropine 3 mg dosis tunggal untuk
asistol dan PEA lambat (< 60 min-1) Beberapa studi gagal menunjukkan manfaat
atropine dalam cardiac arrest, sehingga penggunaan atropine untuk asistol dan PEA
tidak lagi direkomendasikan.

Selama CPR
Selama penanganan VF/VT atau PEA/asistol yang persisten, harus ditekankan
pemberian kompresi dada yang berkualitas diantara pemberian defibrilasi, sambil
mengenali dan menangani penyebab reversible (4H dan 4T), serta sambil
mengamankan jalan nafas serta memperoleh akses intravena.

Penyebab reversible yang potensial


Penyebab potensial atau factor pencetus yang membutuhkan penanganan khusus
harus dicari selama terjadi cardiac arrest. Untuk memudahkan mengingat, maka dibagi
menjadi 4H 4T :
 Hipoxia
 Hipovolemi
 Hiperkalemi, hipokalemi, hipokalsemia, acidemia, dan gangguan metabolik lainnya
 Hipotermia
 Tension pneumothorax
 Tamponade
 Toxic substances
 Tromboembolism (pulmonary embolus/coronary thrombosis)

Penggunaan ultrasound pada ALS


Beberapa studi telah mempelajari penggunaan ultrasound selama cardiac arrest
untuk mendeteksi penyebab reversible potensial. Walaupun belum ada studi yang
menunjukkan penggunaan pencitraan ini memperbaiki hasil, tidak diragukan lagi peran
ultrasound dalam memberikan informasi yang membantu penyebab cardiac arrest yang
reversible (tamponade jantung, emboli paru, iskemi (gerak dinding regional yang
abnormal), diseksio aorta, hipovolemi, pneumotohorax). Bila ultrasound serta klinis
terlatih tersedia, maka dapat digunakan sebagai alat untuk melacak dan menangani
penyebab reversible potensial cardiac arrest. Integrasi ultrasound pada ALS
membutuhkan pelatihan lanjut untuk memastikan minimalnya interupsi pada kompresi
dada. Posisi sub-xiphoid telah direkomendasikan. Penempatan probesesaat sebelum
jeda kompresi dada untuk menilai irama memungkinkan operator untuk mendapatkan
gambar selama 10 detik.
Cairan intravena
Hipovolemi merupakan penyebab reversibel cardiac arrest yang potensial : segera
infus cairan jika diduga hipovolemia. Pada tahap awal resusitasi tidak ada keuntungan
yang jelas untuk menggunakan koloid : gunakan 0,9% sodium klorida atau Hartman’s
solution. Hindari dextrose; karena akan di redistribusi keluar dari intravascular secara
cepat dan menyebabkan hiperglikemia, yang dapat memperburuk kondisi neurologis
setelah serangan jantung. Pastikan selalu dalam kondisi normovolemia, namun bila
tidak terjadi hipovolemia, infuse cairan yang berlebih dapat membahayakan selama
CPR. Gunakan cairan intravena untuk mendorong obat yang diinjeksi di perifer menuju
ke sirkulasi sentral.

Kompresi open-chest
Kompresi open-chest diindikasikan pada pasien serangan jantung yang
disebabkan oleh trauma, pada waktu sesaat setelah operasi cardio-thoracic atau pada
saat dada atau abdomen terbuka, contoh selama operasi akibat trauma.

Tanda kehidupan
Jika tanda kehidupan (seperti usaha bernafas yang regular, batuk, gerakan yang
bertujuan, mata membuka) muncul selama CPR, atau hasil baca monitor pasien
(seperti, peningkatan tiba-tiba pada ETCO2 atau tekanan darah pada kanula arteri)
sesuai dengan ROSC, hentikan CPR dan periksa monitor secara cermat. Bedakan
dengan respirasi agonal (gasping), yang merupakan hal yang sering pada beberapa
detik setelah cardiac arrest atau selama CPR yang berkualitas. Jika muncul irama
jantung yang teratur, periksa denyut. Jika denyut dapat diraba, lanjutkan perawatan
post-resusitasi, penanganan peri-arrest aritmia atau keduanya. Jika denyut tidak teraba,
lanjutkan CPR.

Penanganan jalan nafas dan ventilasi


Manuver jalan dasar dan tambahan
Nilai jalan nafas. Gunakan head tilt dan chin lift, atau jaw thrust untuk membuka
jalan nafas. Jalan nafas tambahan yang sederhana (jalan nafas orofaringeal atau
nasofaringeal) seringkali membantu, dan kadang penting dalam menjaga jalan nafas
yang terbuka.

Ventilasi
Sediakan ventilasi buatan sesegera mungkin pada pasien yang tidak dapat atau
tidak cukup melakukan ventilasi spontan. Ventilasi udara ekspirasi (pertolongan nafas)
efektif namun konsentrasi oksigen ekspirasi seorang penolong hanya 16-17%, sehingga
mesti diganti dengan ventilasi kaya oksigen sesegera mungkin. Pocket resuscitation
mask memungkinkan ventilasi mulut-ke-masker dan memungkinkan pemberian oksigen
tambahan. Gunakan teknik dua tangan untuk meminimalkan celah pada wajah pasien.
Kantong yang self-inflating (mengembang sendiri) dapat dihubungkan dengan face
mask, tracheal tube, atau supraglottic airway device(SAD). Teknik dua orang untuk
ventilasi bag-mask lebih baik. Berikan setiap nafas selama sekitar 1 detik dan berikan
voume yang sama dengan pergerakan dada yang normal; memberikan volume yang
cukup, meminimalisasikan resiko inflasi lambung, dan menyediakan waktu yang cukup
untuk kompresi dada. Selama CPR dengan jalan nafas yang tidak terlindungi, berikan
dua ventilasi setelah setiap 30 kompresi dada. Jika tracheal tube atau SAD telah
dimasukkan, berikan ventilasi paru dengan rasio 10 nafas per menit dan lanjutkan
kompresi dada tanpa ada jeda selama ventilasi.

Perangkat jalan nafas alternatif


Tracheal tube umumnya telah dianggap sebagai metode yang optimal dalam
menangani jalan nafas pada cardiac arrest. Namun ada bukti bahwa tanpa pelatihan
dan pengalaman yang cukup, insidensi komplikasi, seperti intubasi esophageal (6-17%
pada beberapa studi yang melibatkan paramedis) meningkat. Upaya intubasi trakea
yang berkepanjangan dapat merugikan; penghentian kompresi dada selama ini akan
mengganggu perfusi koroner dan otak. Beberapa perangkat jalan nafas alternative
telah dipertimbangkan untuk penanganan jalan nafas selama CPR. ada studi yang
dipublikasikan mengenai penggunaan Combitube selama CPR, masker jalan nafas
laryngeal classic / classic laryngeal mask airway (cLMA), laryngeal tube(LT) dan i-gel,
namun tidak satupun dari penelitian ini telah didukung secara memadai untuk
memungkinkan kelangsungan hidup untuk dipelajari sebagai primary endpoint.
Sebagian besar penelitian mempelajari tentang tingkat kesuksesan insersi dan ventilasi.
SAD lebih mudah dimasukkan dibanding tracheal tube dan tidak seperti intubasi trakea,
SAD dapat dimasukkan tanpa mengganggu kompresi dada. Tidak ada data yang
mendukung penggunaan rutin dari setiap pendekatan khusus untuk penanganan
saluran napas selama cardiac arrest. Teknik terbaik tergantung pada keadaan yang
tepat dari cardiac arrest dan kompetensi dari penolong. Combitube, jarang digunakan
dan tidak lagi dimasukkan dalam pedoman ini.
Laryngeal mask airway (LMA)
Laryngeal mask airway relatif gampang untuk dimasukkan, dan ventilasi
menggunakan LMA lebih efisien dan lebih mudah bila dibandingkan dengan bag-mask.
Jika kebocoran gas berlebih, kompresi dada harus diinterupsi untuk memungkinkan
ventilasi. Walaupun LMA tidak melindungi jalan nafas sebaik trachela tube, aspirasi
pulmonal jarang terjadi pada penggunaan LMA selama cardiac arrest.

Prosedur pemasangan LMA


Persiapan untuk insersi LMA
 Langkah 1: Pilih ukuran LMA
Patokan ukuran LMA:

 Size 1: kurang dari 5 kg


 Size 1.5: 5 sampai 10 kg
 Size 2: 10 sampai 20 kg
 Size 2.5: 20 sampai 30 kg
 Size 3: 30 kg atau dewasa muda
 Size 4: Dewasa
 Size 5: Dewasa tua atau tidak cocok dengan ukuran 4

 Langkah 2: Periksa LMA


o Periksa adanya kebocoran atau kelaianan lain pada LMA
o Periksa tube LMA untuk memastikan bebas dari sumbatan atau benda asing
o Kempiskan balon LMA untuk memastikan tekanan negatif dalam balon LMA.
o Kembangkan balon LMA untuk memastikan adanya kebocoran.

 Langkah 3: Cek kembang kempis balon LMA

 Kembangkan sedikit balon LMA untuk memberikan bentuk pada LMA sehingga
memudahkan LMA melewati belakang lidah dan epiglottis.
 Selama inflasi maksimum jumlah udara tidak boleh melewati
Size 1: 4 ml
Size 1.5: 7 ml
Size 2: 10 ml
Size 2.5: 14 ml
Size 3: 20 ml
Size 4: 30 ml
Size 5: 40 ml
 Langkah 4: Lumasi LMA
• Gunakan lumbrikan water soluble untuk lubrikasi LMA
• Lubrikasi LMA hanya dilakukan sebelum memasukkan LMA
• Lubrikasi hanya pada bagian belakang mask LMA
Peringatan penting:
• Hindari penggunaan lubrikan secara berlebihan
– Pada permukaan anterior balon LMA atau
– Pada cekungan mask LMA

 Langkah 5: Posisikan jalan nafas


• Extensikan kepala dan fleksikan leher
• Hindari LMA terlipat:
– Asisten menarik mandibulla ke bawah.
– Visualisasi bagian belakang rongga mulut.
– Pastikan LMA tidak terlipat di dalam rongga mulut saat dimasukkan.

Insersi
Langkah 1.
 Pegang tube LMA seperti memegang pena sedekat mungkin dengan ujung mask LMA.
 Tempatkan ujung LMA berlawanan dengan permukaan dalam gigi atas pasien.
Langkah 2
 Dengan pengelihatan langsung:
– Tekan ujung mask LMA keatas melawan palatum durum, agar tidak terlipat.
– Gunakan jari telunjuk, untuk menekan kearah atas, sambil memasukkan mask ke
dalam faring untuk memastikan ujung LMA tidak terlipat, dan hindari lidah.

Langkah 3
 Pastikan leher tetap fleksi dan kepala ektensi:
• Tekan mask LMA ke dalam dinding posterior faring menggunakan jari telunjuk.

Langkah 4
 Tetap tekan kebawah menggunkan jari telunjuk.
– Pandu mask LMA untuk masuk kebawah sesuai posisi.

Langkah 5
 Pegang tube LMA dengan tangan yang lain
– Keluarkan jari telunjuk dari dalam faring
– Tekan secara lembut kebawah dengan tangan yang lain untuk memastikan LMA
terpasang dengan sempurna.

Langkah 6
 Kembangkan balon LMA sesuai dengan volume yang direkomendasikan.
 Jangan kembangkan balon LMA secara berlebihan.
 Jangan sentuh tube LMA selama masih dikembangakan, kecuali berada dalam posisi
yang tidak stabil.
– Normalnya mask boleh ditarik sedikit keluar dari hipofaring selama mask LMA masih
dikembangkan untuk mencari posisi yang tepat.
Langkah 7
 Hubungkan LMA dengan Bag-Valve Mask atau ventilator bertekanan rendah.
 Ventilasi pasien sambil maemastikan bunyi nafas terdengar sama pada semua
lapangan paru dan tidak ada bunyi ventilasi pada epigastrium.
 Insersi bite-block atau gulungan has untuk mencegah oklusi tube akibat gigitan pasien.
 Sekarang LMA dapat diamankan dengan teknik yang sama digunakan untuk
mengamankan ETT.
i-gel
cuff i-gel terbuat dari gel elastomer thermoplastic dan tidak membutuhkan inflasi;
stem/batang dari i-gel menggabungkan bite block dan tube drainase esofageal yang
kecil. Biasanya digunakan untuk menjaga jalan nafas selama anastesi. Kemudahan
insersi i-gel dan tekanan kebocoran yang rendah membuatnya secara teoritis sangat
menarik sebagai perangkat resusitasi jalan napas bagi mereka yang berpengalaman
dalam intubasi trakea. Penggunaan gel i-selama serangan jantung telah dilaporkan
namun masih perlu data yang lebih tentang penggunaannya dalam keadaan seperti ini.
Laryngeal Tube
Laryngeal tube (LT) pertama kali diperkenalkan pada tahun 2001.
Versidisposable dari laryngeal tube (LT_D) sudah tersedia dan telah digunakan selama
resusitasi pada serangan jantung yang terjadi diluar rumah sakit. LT tidak terlalu sering
digunakan di Inggris.
Intubasi Trachea
Pro dan kontra intubasi trakea telah dibahas dalam bab pra-rumah sakit. Seperti
pada intubasi trakea pra-rumah sakit, intubasi di rumah sakit harus dilakukan hanya
oleh petugas yang terlatih yang mampu melakukan prosedur dengan kemampuan yang
sangat tinggi. Upaya intubasi tidak boleh mengganggu kompresi dada lebih dari 10
detik; jika intubasi tidak tercapai, gunakan ventilasi bag-mask. Setelah intubasi,
konfirmasi posisi tube dan amankan posisi tube.
Penilaian utama meliputi pengamatan ekspansi dada bilateral, auskultasi atas
bidang paru bilateral di aksila (bunyi nafas harus sama dan didengar dengan jelas) dan
diatas epigastrium (bunyi nafas tidak boleh didengar didaerah ini). Tanda klinis dari
penempatan tabung yang benar (kondensasi tabung, pengembangan dada, suara nafas
pada auskultasi paru, dan tidak terdengarnya bunyi gas yang masuk ke perut) tidak
sepenuhnya dapat diandalkan. Konfirmasi sekunder penempatan tabung trakea melalui
ekhalasi karbon dioksida (CO2) atau perangkat deteksi esofagus dapat mengurangi
risiko intubasi esofagus yang belum diakui tetapi kinerja perangkat yang tersedia
bervariasi. Selain itu, tidak ada teknik konfirmasi sekunder yang akan membedakan
antara tabung ditempatkan dalam bronkus utama dan satu ditempatkan dengan benar
dalam trakea, sehingga berhati-hati dalam melakukan penilaian utama untuk
memastikan ekspansi yang sama dari kedua paru-paru dan suara napas yang masing-
masing sama jelas tetap penting.
Tidak ada data yang cukup untuk mengidentifikasi metode yang optimal untuk
memastikan penempatan tabung selama serangan jantung, dan semua perangkat
harus dipertimbangkan sebagai tambahan untuk teknik konfirmasi lainnya. Tidak ada
data yang mengukur kemampuan dalam mmemantau posisi tabung setelah
penempatan awal.
Perangkat detektor karbon dioksida mengukur konsentrasi ekhalasi karbon
dioksida dari paru. Bertahannya ekhalasi CO2 setelah ventilasi ke enam menunjukkan
penempatan tabung trakea dalam trakea atau bronkus utama. Selama serangan
jantung aliran darah paru mungkin sangat rendah sehingga ekhalasi CO2 tidak cukup,
sehingga Detektor CO2 tidak mengidentifikasi dengan benar penempatan tabung
trakea. Ketika ekhalasi CO2 terdeteksi selama serangan jantung dapat diandalkan
untuk menunjukkan bahwa tabung dalam trakea atau bronkus utama. Berbagai
elektronik sederhana, murah, detektor kolorimetri CO2 tersedia untuk penggunaan di
dalam dan diluar rumah sakit rumah sakit. Detektor End-tidal CO2 yang mencakup
tampilan grafik berbentuk gelombang (capnographs) adalah yang paling dapat
diandalkan untuk verifikasi posisi tabung trakea selama serangan jantung.
Berdasarkan data yang tersedia, keakuratan detektor kolormetrik CO2, perangkat
detektor oesophageal dan non-gelombang capnometers tidak melebihi akurasi
auskultasi dan inspeksi langsung untuk mengkonfirmasi posisi tabung trakea pada
pasien serangan jantung. Bentuk gelombang kapnografi adalah cara yang paling
sensitif dan spesifik untuk mengkonfirmasi dan terus memonitor posisi tabung trakea
pada pasien serangan jantung dan sebagai tambahan dalam penilaian klinis (auskultasi
dan inspeksi dari tabung trakea melewati pita suara). Bentuk gelombang kapnografi
tidak dapat membedakan antara penempatan tabung trakea dan bronkial sehingga
perlu auskultasi yang hati-hati. Monitor portabel yang ada membuat konfirmasi awal
capnographic dan pemantauan terus menerus dari posisi layak tabung trakea di hampir
semua pengaturan di mana intubasi dilakukan, termasuk diluar rumah sakit, bagian
gawat darurat, dan di lokasi rumah sakit. Dengan tidak adanya suatu gelombang
capnograph mungkin lebih baik menggunakan perangkat saluran napas supraglotik bila
ada indikasi penanganan jalan napas lebih lanjut.
Cricothyroidotomy
Jika tidak memungkinkan untuk ventilasi pada pasien apnoe dengan bag-mask,
atau untuk melewati tabung trakea atau perangkat saluran napas alternatif, pemberian
oksigen melalui kanula atau bedah krikotiroidotomi dapat menyelamatkan jiwa. Bedah
krikotiroidotomi menyediakan jalan napas definitif yang dapat digunakan untuk ventilasi
paru pasien sampai intubasi semi-elektif atau trakeostomi dilakukan. Jarum
krikotiroidotomi merupakan prosedur sementara hanya menyediakan oksigenasi jangka
pendek.

BANTUAN SIRKULASI

Akeses intravascular
Pemberian obat via vena perifer versus vena sentral
Kanulasi vena perifer lebih cepat, mudah dan aman. Setiap pemberian obat dari
vena perifer harus diikuti dengan pemberian cairan sekurangnya 20 mL. Pemasangan
akses vena sentral sebaiknya dilakukan hanya oleh orang yang sudah terlatih dan
kompeten dan proses pemasangan harus dilakukan dengan interupsi minimal pada
kompresi dada.
Jalur intraosseus
Bila akses intravena tidak didapat dalam 2 menit pertama resusitasi,
pertimbangkan untuk pemasangan akses intraosseus. Akses intraosseus biasanya
digunakan pada anak-anak karena sulitnya mendapatkan akses intravena, namun
teknik ini telah diaangap sebagai jalur yang aman dan efektif untuk pemberian obat dan
cairan bagi orang dewasa juga. Daerah yang dapat diakses diantaranya daerah tibia
dan humerus. Pemberian obat-obat resusitasi melalui jalur ini akan mencapai
konsentrasi plasma yang adekuat.

Jalur trakea
Obat-obat resusitasi juga dapat diberikan melalui pipa trakea, namun konsentrasi
plasma obat yang diberikan melalui jalur ini sangat bervariasi dan secara umum
dianggap lebih rendah daripada pemberian melalui jalur intravena dan intraosseus,
terutama adrenalin. Cairan intratrakeal dalam jumlah besar akan mengganggu
pertukaran gas. Karena akses IO yang lebih mudah dan kurang efisiennya pemberian
obat via jalur trakea, maka teknik ini tidak lagi direkomendasikan.

RKP Mekanis
RKP manual standar dapat membuat perfusi koroner dan serebral paling baik
sebesar 30%. Beberapa teknik dan peralatan RKP dapat meningkatkan hemodinamik
atau angka kelangsungan hidup jangka pendek bila digunakan oleh petugas terlatih
pada kasus-kasus tertentu. Namun, keberhasilan setiap teknik dan peralatan
bergantung pada edukasi dan pelatihan semua petugas. Meskipun kompresi dada
manual kadang dilakukan dengan buruk, namun tidak ada alat yang secara konsisten
lebih baik daripada RKP manual.

Impedance Threshold Device (ITD)


ITD adalah sebuah katup yang membatasi jumlah udara yang masuk ke paru-paru
saat dada mengembang (di antara 2 kompresi dada). Hal ini menurunkan tekanan
intratoraks dan meningkatkan aliran balik vena ke jantung. Sebuah metaanalisa terbaru
menunjukkan bahwa dengan penggunaan ITD ini kembalinya sirkulasi spontan dan
kelangsungan hidup jangka pendek meningkat tapi dalam hal kelangsungan hidup
hingga keluar rumah sakit atau keutuhan status neurologis tidak meningkat secara
signifikan bila digunakan pada kasus henti jantung di luar rumah sakit. Karena tidak ada
data yang menunjukkan bahwa ITD dapat meningkatkan kelangsungan hidup hingga
keluar rumah sakit, maka penggunaannya secara rutin dalam penanganan serangan
jantung tidak direkomendasikan.

RKP Lund University cardiac arrest system (LUCAS)


LUCAS adalah alat kompresi sternum yang digerakkan oleh gas dan dihubungkan
dengan suction cup untuk dekompresi aktif. Meskipun percobaan pada binatang
menunjukkan penggunaan RKP LUCAS dapat meningkatkan hemodinamik dan
kelangsungan hidup jangka pendek, namun belum ada penelitian pada manusia yang
membandingkan RKP LUCAS dan RKP standar.

RKP Load-distributing band (AutoPulse)


LDB adalah alat kompresi dada melingkar yang terdiri dari constricting band(yang
dijalankan secara pneumatic) dan backboard. Meskipun RKP LDB dapat meningkatkan
hemodinamik, namun hasil penelitian berlawanan.

Status terkini LUCAS dan Auto Pulse


Saat ini, sedang dilakukan 2 penelitian prospektif untuk mengevaluasi LDB
(Autopulse) dan LUCAS. Hasil penelitian ini sangat dinanti. Di rumah sakit, alat mekanis
telah digunakan secara efektif dalam membantu pasien yang menjalani Intervensi
Koroner Primer (IKP) dan CT Scan dan juga saat resusitasi yang lama (misalnya
hipotermia, keracunan, thrombolisis untuk emboli paru, transpor yang lama) dimana
kelelahan penolong dapat mengganggu efektivitas kompresi dada. Peran alat mekanis
dalam segala situasi butuh evaluasi lebih lanjut sebelum direkomendasikan
penggunaannya secara luas.

Perubahan Pedoman
Defibrilasi
 Pentingnya kompresi dada dengan interupsi yang minimal selama intervensi ALS
sangat ditekankan: kompresi dada dapat berhenti sejenak hanya untuk memungkinkan
intervensi yang spesifik.
 Rekomendasi waktu spesifik resusitasi jantung paru (CPR) sebelum dilakukan
defibrilasi diluar lingkup rumah sakit, akibat adanya cardiac arrest yang tidak disaksikan
oleh petugas medis kegawatdaruratan (EMS), kini telah dihapus.
 Kini, kompresi dada tetap dilanjutkan selama pengisian defibrillator – ini akan
meminimalisasikan waktu jeda pre-shock.
 Peran precordial thump kini tidak terlalu ditekankan.
 Penggunaan lebih dari tiga quick successive (stacked) shocks kini direkomendasikan
untuk ventrikel fibrilasi/pulseless ventrikel tachycardia (VF/VT) yang terjadi pada
kateterisasi jantung atau pada periode post-operative sesaat setelah operasi jantung.

Obat
 Pemberian obat melalui tube tracheal kini tidak direkomendasikan lagi – jika jalur intra
vena (IV) tidak didapatkan maka obat diberikan melalui jalur intraosseus (IO).
 Saat menangani cardiac arrest VF/VT, pemberian adrenaline 1 mg diberikan setelah
kompresi dada telah berulang setelah third shock/kejutan ketiga, selanjutnya diberikan
tiap 3-5 menit (selama peralihan siklus CPR). Pada pedoman 2005, adrenalin diberikan
sesaat sebelum third shock/kejutan ketiga. Perubahan waktu pemberian adrenalin ini
untuk memisahkan waktu pemberian obat dari defibrilasi. Diharapkan agar hal ini
menghasilkan pemberian shock/kejut yang lebih efisien dan meminimalkan interupsi
pada kompresi dada.
 Atropin tidak lagi direkomendasikan untuk pemakaian rutin pada asistol ataupulseless
electrical activity (PEA).

Airway / Jalan Nafas


 Intubasi trakeal dini tidak terlalu ditekankan lagi, kecuali dilakukan oleh individu yang
sangat terampil dengan interupsi kompresi dada yang minimal.
 Penggunaan capnography untuk memastikan dan memonitor secara kontinu
pemasangan tube trakeal, kualitas CPR serta pemberian indikasi awal return of
spontaneuous circulation (RSOC)/kembalinya sirkulasi spontan, kini lebih ditekankan.

Ultrasound
 Mulai dipertimbangkan peran potensial ultrasound dalam ALS.

Perawatan Post-Resusitasi
 Bahaya potensial yang diakibatkan oleh hiperoksemia setelah tercapai ROSC kini telah
diketahui : setelah tercapai ROSC dan saturasi oksigen darah arteri (SaO2) dapat
dimonitor dengan baik (melalui pulse oximetry dan/atau analisa gas darah), oksigen
inspirasi dititrasi untuk mencapai kadar SaO2 94-98% .
 Penanganan post-cardiac arrest syndrome kini lebih detail dan lebih ditekankan.
 Implementasi protokol penanganan post resusitasi yang terstruktur dan komprehensif
dapat meningkatkan keselamatan pasien serangan jantung setelah ROSC.
 Penggunaan intervensi koroner perkutanues primer pada pasien yang sesuai, namun
dalam keadaan koma, pasien dengan ROSC yang terjaga setelah serangan jantung,
kini lebih ditekankan.
 Revisi dalam rekomendasi kontrol glukosa : pada orang dewasa dengan ROSC yang
terjaga setelah serangan jantung, kadar glukosa darah >10 mmol l-1 harus diatasi
namun keadaan hipoglikemi harus dihindari.
 Hipotermia terapeutik kini digunakan untuk pasien komatosa setelah serangan jantung
dengan ritme non-shockable maupun ritme shockable. Tingkat evidensi lebih rendah
untuk penggunaan pada serangan jantung dengan ritme non-shockable.
 Diketahui bahwa banyak prediktor hasil yang jelek pada penderita komacardiac
arrest/serangan jantung tidak dapat dipercaya, utamanya jika pasien telah ditangani
dengan hipotermia terapeutik.
PELATIHAN BANTUAN HIDUP JANTUNG
LANJUTAN
Kegawatdaruratan pasien bisa terjadi kapan saja dan dimana saja sehingga
sebagai tenaga kesehatan diharapkan perawat mampu mengetahui dan
menangani hal tersebut.
Pelayanan kegawatdaruratan harus memperhatikan dua komponen utama yaitu
Bantuan Hidup Jantung Dasar dan Bantuan Hidup Jantung Lanjut.
Bantuan Hidup Jantung Dasar merupakan dasar tindakan penyelamatan jiwa
setelah terjadi keadaan henti jantung dengan tujuan awal memperbaiki sirkulasi
sistemik yang hilang pada penderita henti jantung mendadak dengan melakukan
RJP ( Resusitasi Jantung Paru ).
Ketepatan dan kecepatan pertolongan yang diberikan pada pasien yang
mengalami kegawatdaruratan berdampak pada keberhasilan pertolongan
selanjutnya.
Untuk meningkatkan kompetensi dan keterampilan perawat RS Pluit, semua
perawat diberikan pelatihan Bantuan Hidup Dasar ( BHD ) dan Bantuan Hidup
Jantung Lanjut ( BHJL ) sehingga diharapkan semua perawat dapat menangani
pasien yang mengalami kegawatdaruratan.
Bantuan Hidup Jantung Lanjut (ACLS)
21 November 2017 13:35:15

Kematian Medadak. Paling banyak akibat jantung sehingga disebut Kematian Jantung Mendadak berkaitan
penyakit jantung koroner,irama jantung yang paling sering fibrilasi ventrikel 75-80% kasus, sedangkan bradiaritmia
hanya terjadi sekitar 5-10%. PERKI memberikan kesempatan pada dokter umum /spesialis mendapat pelatihan
Resusitasi orang/pasien dengan henti jantung.

Kematian Medadak. Penyebab kematian mendadak ini yang paling banyak disebabkan masalah jantung sehingga
sering disebut Kematian Jantung Mendadak. Penyebab kematian jantung mendadak yang paling utama di negara-
negara industri adalah penyakit jantung koroner. yang paling banyak berkaitan dengan irama jantung dan yang
paling sering adalah fibrilasi ventrikel 75-80% kasus, sedangkan bradiaritmia hanya terjadi sekitar 5-10%. Insiden
kematian jantung mendadak dilaporkan 0.36 sampai 1.28 per 1000 penduduk di negara barat per tahun. Penelitian-
penelitian ini hanya mencatat penderita yang mengalami kematian jantung mendadak yang dilakukan resusitasi oleh
petugas emergensi. atau diketahui oleh masyarakat sekitar, sehingga angka ini masih di bawah dari angka yang
diharapkan di masyarakat. Resusitasi orang/pasien dengan henti jantung, dalam upaya mengembalikan sirkulasi ke
sirkulasi spontan dengan tekanan darah yang adekwat secara langsung berkaitan dengan jantung dan pembuluh
darah (Kardiovaskuler). PERKI sebagai Perhimpunan dokter Kardiovaskuler Indonesia berkewajiban untuk
Pengembangan, pengawasan, pelaksanaan ilmu resusitasi dalam kalangan dokter dan masyarakat, dibawah komisi
kegawat-daruratan kakardiovakuler PERKI. Hal ini dilakukan dengan menimbang pentingnya Ilmu tersebut untuk
kalangan dokter dan masyarakat, dan menghindari persepsi yang berbeda dari profesi dokter diluar bidang
kardiovaskuler. PERKI memberikan kesempatan pada dokter umum /spesialis mendapat pelatihan Resusitasi orang
/pasien dengan henti jantung. Untuk itu secara rutin PERKI mengadakan pelatihan Bantuan Hidup Jantung Lanjut
(ACLS) bagi teman sejawat dokter. Disamping itu PERKI memberi kesempatan bagi institusi yang terkait yang ingin
bekerjasama dengan PERKI untuk menelenggarakan kegiatan pelatihan ini. .
buatlah impian dan jadikan kenyataan

stay updated via rss

 MAU LIHAT TULISAN-TULISAN YANG LAIN?


mau lihat tulisan-tulisan yang lain?

 RATING TERTINGGI
Posts | Pages | Comments
All | Today | This Week | This Month
o KATARAK
5/5 (3 votes)
o KELAINAN DIDAPAT SALURAN PENCERNAAN PADA ANAK DAN DEWASA
5/5 (1 vote)
o BANTUAN HIDUP DASAR DAN LANJUTAN – RESUSITASI KARDIO PULMONAL (RKP)/ CARDIO PULMONARY
RESCUCITATION (CPR)
4/5 (7 votes)
o OKLUSI ARTERI SENTRALIS RETINA (CRAO) DAN OKLUSI VENA SENTRAL RETINA ( CRVO )
4/5 (6 votes)
o GLAUKOMA
4/5 (7 votes)

 CARI DI SINI…
search this site

 CEK JADWAL ANDA HARI INI…


S S R K J S M

Okt »

1 2 3 4 5

6 7 8 9 10 11 12

13 14 15 16 17 18 19

20 21 22 23 24 25 26

27 28 29 30

September 2010
 FOLLOW YA…

o Hey Team!! Just Say Cheese...


#bedahsarafui #neurosurgery #residentlife#fkui #rscm #dinnerparty…twitter.com/i/web/status/1… 11 hours ago
o #DukungBersama #AsianGames2018#GeloraOborRun #VirtualRunID#mascotKaka #16408 @
Jakartainstagram.com/p/Bkr7HhjlU6G/…2 days ago
o one person followed me // automatically checked by fllwrs.com 2 weeks ago
o Fokus sama si baju pink yang ekspresif banget..… instagram.com/p/BkAalrXlEDI/…2 weeks ago
o one person followed me // automatically checked by fllwrs.com 1 month ago

 BLOG STATS
o 496,921 hits

 KLIK TERTINGGI
o marse…
o marse…
o marse…
oIklanmarse…
Report this ad

BANTUAN HIDUP DASAR DAN LANJUTAN – RESUSITASI


KARDIO PULMONAL (RKP)/ CARDIO PULMONARY
RESCUCITATION (CPR)
Posted: September 15, 2010 in Uncategorized

7 Votes

Oleh
Rhudy Marseno*

*mahasiswa fakultas Kedokteran Universitas Andalas

DEFENISI

RKP adalah suatu usaha untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan fungsi sirkulasi serta mengatasi akibat berhentinya fungsi-

fungsi tersebut pada orang-orang yang tidak diharapkan mati pada saat itu.1 RKP merupakan salah satu tindakan Bantuan Hidup

Dasar (BHD). Tujuannya adalah untuk membantu atau mengembalikan oksigenasi, ventilasi, dan sirkulasi yang efektif hingga

kembalinya sirkulasi spontan atau hingga intervensi Bantuan Hidup Lanjut (BHJL) dapat mulai dilakukan. 3 Resusitasi mencegah

agar sel-sel tidak rusak akibat kekurangan oksigen.2

Sekedar informasi, mati ada tiga macam. Yang pertama disebut dengan istilah Mati Klinis, yaitu berhentinya nafas dan jantung.

Yang kedua adalah Mati Biologis, yaitu mati klinis yang gagal ditolong. Yang ketiga adalah Mati Sosial, yaitu fungsi pernafasan

dan jantung kembali baik tetapi fungsi otak terganggu karena hipoksia yang lebih dari 10 menit. 1

Keberhasilan RKP ditentukan oleh kecepatan dan ketepatan RKP diberikan. Jika Apneu dan Cardiac Arrest terjadi selama 4

menit, angka keberhasilan RKP lebih dari 65 % tanpa gejala sisa (sakit kepala-pusing, amnesia retrograde, dll).1

INDIKASI RKP

Henti Napas

Henti Napas primer ( respiratory arrest ) dapat disebabkan oleh sumbatan jalan nafas dan depresi pernapasan sentral dan perifer.

Sumbatan jalan nafas seperti benda asing, aspirasi, lidah yang jatuh ke belakang, pipa trakeal terlipat, kanula trakeal tersumbat,

kelainan akut glottis dan sekitarnya ( sembab glottis, perdarahan).Depresi pernapasan sentral seperti karena obat-obatan,

intoksikasi, paO2 rendah, paCO2 tinggi, setelah henti jantung, tumor otak, tenggelam. Depresi pernapasan perifer seperti karena

obat pelumpuh otot, penyakit miastenia gravis, poliomyelitis.4

Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi, pemberian O 2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup

sampai beberapa menit. Kalau henti napas mendapat pertolongan segera (seperti BHD-RKP.pen), maka pasien akan

terselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan berakibat henti jantung yang mungkin menjadi fatal. 2

Henti Jantung
Henti jantung primer (cardiac arrest) adalah ketidaksanggupan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen ke otak dan

organ vital lainnya secara mendadak dan dapat balik normal jika dilakukan tindakan yang tepat atau akan menyebabkan kematian

dan kerusakan otak menetap jika tindakan tidak adekuat. Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh ventricle fibrillation atau

takikardia tanpa denyutan (80-90%) terutama kalau terjadinya di luar rumah sakit, asistol ventricle (+/- 10%) dan electro-

mechanical dissociation (+/- 5%).2

Penyebab henti jantung adalah sebagai berikut.4

1. Penyakit kardiovaskular, seperti penyakit jantung iskemik, infark miokardial akut, embolus paru, fibrosis pada system konduksi

(penyakit Lenegre, Sindrom Adams-Stokes, noda sinus sakit)

2. Kekurangan oksigen akut, seperti henti nafas, benda asing di jalan nafas, sumbatan jalan nafas oleh sekresi

3. Kelebihan dosis obat, seperti digitalis, quinidin, antidepresan trisiklik, propoksifen, adrenalin, isoprenalin.

4. Gangguan asam-basa/elektrolit, seperti kalium serum yang tinggi atau rendah, magnesium serum rendah, kalsium serum tinggi,

asidosis.

5. Kecelakaan, seperti syok listrik dan tenggelam.

6. Reflex vagal, seperti peregangan sfingter ani, penekanan/penarikan bola mata.

7. Anesthesia dan pembedahan

8. Terapi dan tindakan diagnostic medis

9. Syok (hipovolemik, neurogenik, toksik, anafilaksis)

Henti Jantung ditandai dengan denyut nadi besar tak teraba (a.karotis, femoralis dan radialis pada dewasa dan a.brakhialis

pada bayi), disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali, pernapasan berhenti atau satu-satu ( gasping, apnu), terlihat seperti

mati ( death like appearance ), dilatasi pupil tak bereaksi dengan rangsangan cahaya ( 45 detik setelah henti jantung ) dan

pasien berada dalam keadaan tidak sadar.2,4

Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar hemoglobin (Hb), saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan.

Resusitasi Kardio Pulmonal (RKP) diperlukan jika O2 ke Otak tidak cukup, sehingga otak tidak dapat menjalankan fungsinya

dengan baik. Iskemia melebihi 3-4 menit pada suhu normal akan menyebabkan korteks serebri rusak menetap, walaupun setelah

itu kita dapat membuat jantung berdenyut kembali. Kerusakan otak pasca resusitasi akibat terlambat memulainya.
Kapan memulai RKP3

Siapapun yang mempunyai pengetahuan dan kemampuan resusitasi dapat melakukan RKP ketika berhadapan dengan kasus henti

jantung. Namun ada hal-hal yang perlu diperhatikan saat RKP tidak perlu dilakukan, yaitu:

Saat kejadian henti jantung yang disaksikan

Jika menyaksikan sendiri terjadinya henti jantung, sudah seharusnya segera memulai RKP, kecuali:

1. Ada bukti permintaan keluar untuk tidak melakukannya

2. Usaha RKP akan membahayakan nyawa si penolong

3. Kemungkinan RKP untuk mengembalikan sirkulasi spontan dengan kualitas hidup yang diterima sangat kecil

4. Henti jantung yang terjadi setelah usaha terapi yang maksimal untuk proses penyakit terminal.

Saat kejadian henti jantung yang tidak disaksikan

Penolong tidak mengetahui berapa lama henti jantung itu sudah berlangsung. Untuk hal seperti ini tidak perlu mulai melakukan

RKP jika mendapati keadaan sebagai berikut:

1. Ada tanda kematian yang tidak berubah seperti rigor mortis atau lebam mayat

2. Sudah mulai ada tanda-tanda pembusukan

3. Penderita mengalami trauma yang tidak bisa diselamatkan, seperti hangus terbakar, dekapitasi atau hemikorporektomi.

Kapan menghentikan RKP

Beberapa alasan kuat bagi penolong untuk menghentikan RKP antara lain: 3,4

1. Telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif

2. Upaya resusitasi telah diambil alih oleh orang lain yang bertanggung jawab meneruskan resusitasi (bila tak ada dokter)

3. Seorang dokter mengambil alih tanggung jawab (bila tak ada dokter sebelumnya).

4. Korban dinyatakan mati


5. Penolong sudah memberikan secara penuh, yakni bantuan hidup dasar dan bantuan hidup lanjut.

6. Penolong sudah mempertimbangkan apakah pada pasien terdapat hipotermia

7. Penolong sudah mempertimbangkan apakah pasien terpapar bahan beracun atau mengalami overdosis obat yang akan

menghambat system syaraf pusat.

8. Penolong sudah merekam melalui monitor adanya asistol yang menetap selama 10 menit atau lebih

9. Interval waktu usaha resusitasi pada henti jantung disaksikan yang tidak dapat mengembalikan sirkulasi spontan adalah 25

sampai 30 menit

10. Penolong sudah lelah. Ingat jangan menambah korban.

ALGORITMA RKP

Bila anda melihat seorang yang tidak sadar:

 Pertama-tama anda harus berteriak untuk meminta tolong (cari saksi)

 Dekati pasien tersebut dan pastikan korban benar-benar tidak sadar (check responsiveness) dengan memanggil-manggil

(rangsangan suara.pen), menyentuh lembut atau memberikan rangsangan nyeri (rangsangan nyeri.pen), atau dengan

memberikan bau-bauan yang cukup menyengat (rangsangan bau.pen). Perhatian, hati-hati menyentuh pasien yang terkena

sengatan listrik, jangan sampai anda menjadi korban kedua.

 Bila tidak sadar, minta bantuan orang lain agar menelepon ambulans atau rumah sakit terdekat agar segera datang dengan alat

bantuan yang lebih lengkap (call for help).

 Ubah posisi korban, posisikan dengan posisi tidur terlentang di tempat yang datar dan keras sebagai persiapan untuk melakukan

RKP. Selanjutnya lakukan RKP dengan langkah-langkah A,B,C,D,E,F,G,H,I.1,4

1. A=Airway Control. Tujuannya untuk membuka dan mengamankan jalan nafas. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut.
 Penolong berlutut di dekat kepala sebelah kanan korban.

 Jika terdapat trauma pada leher sebelah atas sampai kepala dan dicurigai terdapat trauma cervical, lakukan fiksasi pada leher

dan kepala korban dengan memasang collar neck atau benda keras apapun sebagai pengganti yang cocok.

 Jika tonus otot korban hilang, lidah akan menyumbat faring dan epiglottis akan menyumbat laring, hal ini menjadi penyebab

utama tersumbatnya jalan napas pada pasien tidak sadar.2 Oleh sebab itu, lakukan tindakan Angkat Dagu Tengadah Kepala

(Head Tilt- Chin Lift Maneuver.red) dengan mengangkat dagu ke

atas dan mendorong kepala atau dahi ke belakang. Pada korban dengan trauma muka atau kepala dan dada yang dicurigai

mengalami cedera servikal, lakukan teknik penarikan rahang tanpa kepala (jaw thrust Maneuver.red)

 Lihat apakah ada cairan atau benda asing. Bila terdapat cairan, miringkan kepala penderita agar cairan dapat keluar

(memiringkan kepala hanya dilakukan pada penderita yang tidak ada cedera tulang servikal) atau dilakukan penghisapan cairan

bila peralatan tersebut tersedia. Bila terdapat benda asing maka segera keluarkan benda tersebut, salah satunya dengan teknik
hentakan abdomen (Hemlich maneuver/ abdominal thrust) dan hentakan dada ( chest thrust ). Jika

sumbatan jalan napas masih terjadi, dapat dicoba pemasangan pipa jalan nafas ( oropharyngeal airway atau nasopharyngeal

airway ). Jika usaha ini masih belum berhasil, perlu dilakukan tracheal intubation, jika tidak bisa dilakukan maka sebagai

alternative adalah cricotirotomy atau cricotiroid membrane punction dengan jarum berlumen besar (missal dengan kanula

intravena 14 G).4

 Perhatikan apakah korban bernafas atau tidak dengan melakukan :lihat, dengar, rasakan (look,listen, feel).

Dekatkan telinga anda ke mulut korban dan mata melihat ke

arah dada. Lihat apakah ada pergerakan dinding dada seperti orang bernafas umumnya (look), dengarkan suara pernafasannya

(listen), dan rasakan hembusan nafasnya (feel).Bila tidak bernafas, lakukan langkah B.

2. B=Breathing Support. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut.

 Pasanglah alat bantu jalan nafas orofaring (bila ada) pada penderita, kemudian pasang kantung nafas sungkup muka. Bila

terjadi di lapangan dan tanpa peralatan, lakukan dengan manipulasi dengan cara mulu ke mulut ( the kiss of life, mouth-to-

mouth ), mulut ke hidung ( mouth-to-nose ) pada trauma maksilo-fasial dan saat mulut korban sulit dibuka atau mulut ke stoma

trakeostomi. Letakkan tangan kanan penolong di dagudan tangan kiri penolong memencet kedua lubang hidung korban,

sehingga lobang hidung tertutup rapat. Dengan demikian keadaan korban menjadi “mulut menganga, dagu terangkat, kepala

fleksikan”.
 Lakukan nafas buatan sebanyak 2 kali secara perlahan, tiap ventilasi waktunya sekitar 2 detik.

 Lihat apakah udara yang dipompakan dapat masuk dengan mudah, apakah dinding dada tampak naik ketika udara dipompakan,

dan apakah ada udara yang keluar saat ekspirasi pasif. Bila udara tidak dapat masuk dengan mudah dan dinding dada tidak

bergerak naik, pikirkan kemungkinan adanya obstruksi jalan nafas. Atasi obstruksi segera!

 Raba denyut arteri carotis paling lama 10 detik. Bila tidak ada denyut, berarti pasien Cardiac Arrest dan lanjutkan langkah C.

Bila berdenyut, lanjutkan pemberian nafas buatan dengan frekuensi 12-20 kali/menit.5

3. C=Circulation Treatment. Langkah-langkahnya sebagai berikut.

Lakukan Pijat Jantung Luar (PJL) sebanyak 7 kali dan diikuti nafas buatan sebanyak 1 kali ( menurut ACLS 2008, PJL sebanyak

30 kali dan nafas buatan sebanyak 2 kali.red). Yang penting PJL dilakukan sebanyak +/- 80 kali/menit dan nafas buatan sebanyak

+/- 12 kali/menit. Dengan demikian pasien terhindar dari Hipoxia Lanjut.

Teknik melakukan PJL adalah sebagai berikut.5

1) Letakkan satu telapak tangan di atas permukaan dinding dada pada 1/3 processus xypoideus (bagian ujung sternum).

Tangan yang lain diletakkan di atas tangan pertama.

2) Dengan jari-jari terkunci, lengan lurus dan kedua bahu tepat di atas sternum korban, beri tekanan ventrikal ke bawah

dengan kedalaman sekitar 3-5 cm untuk dewasa. Tekanan berasal dari bahu bukan dari tangan, sehingga tangan dan siku korban

lurus dan tegak lurus dengan dada korban. Tindakan ini akan memeras jantung yang letaknya dijepit oleh dua bangunan tulang
yang keras yaitu tulang dada dan tulang punggung. Pijatan jantung yang baik akan menghasilkan denyut nadi pada arteri carotis

dan curah jantung sekitar 10-15% dari normal.2

3) Pada gerakan penekanan, usahakan penekanan sternum ke bawah selama ½ detik dan lepaskan dengan cepat tetapi kedua

tangan tidak boleh diangkat dari dada korban dan tunggu ½ detik kemudian agar jantung dan pembuluh darah terisi cukup

4) Kompresi harus teratur, halus dan continue. Dalam kondisi apapun kompresi tidak boleh berhenti lebih dari 5 detik.

5) Lakukan pemberian nafas sebanyak 2 kali tiap setelah 30 kali pijatan atau penekanan pada dada (jantung) dengan

perbandingan 30:2.

6) Lakukan sebanyak 5 siklus, kemudian cek kembali arteri carotis korban. Jika tetap tidak berdenyut, lanjutkan pemberian

PJL.

Di lapangan, saat korban menunjukkan respon yang positif terhadap pemberian Bantuan Hidup Dasar ( langkah A-B-C), maka

tindakan RKP dihentikan dan letakkan korban pada posisi mantap. Caranya adalah sebagai berikut. 4

1) Fleksikan tungkai yang terdekat dengan anda

2) Letakkan tangan yang terdekat dengan anda di bawah bokongknya

3) Dengan lembut gulingkan pasien pada sisinya

4) Ekstensikan kepalanya dan pertahankan mukanya lebih rendah.


5) Letakkan tangan pasien sebelah atas di bawah pipi sebelah bawah untuk mempertahankan ekstensi kepala dan mencegah

pasien berguling ke depan. Lengan sebelah bawah yang berada di punggungnya mencegah pasien terguling ke belakang.

4. D=Drugs and Fluid Intravenous Infusion

Pada tahap ini diberikan obat dan cairan tanpa menunggu hasil EKG.Obat yang diberikan adalah.

1) Adrenalin

Pertama yang diberikan adalah adrenalin 0,5-1,0 mg I.V dosis untuk dewasa, 10 mcg/kg pada anak-anak. Cara pemberian: IV,

intratrakeal lewat pipa trakeal (1 ml adrenalin 10/00 diencerkan dengan 9 ml akuades steril, bukan NaCl) atau bila keduanya tidak

mungkin: intrakardiak (hanya oleh tenaga yang sudah terlatih). Diulang tiap 5 menit dengan dosis sama sampai timbul denyut

jantung spontan atau mati jantung.4 Walaupun cardiac arrestnya fibrilasi ventrikel, namun adrenalin tetap diberikan sebagai obat

pilihan pertama karena fungsi adrenalin selain sebagai notropic dan chronotropic, adrenalin juga meningkatkan sensitivity otot

jantung sehingga ventricle fibrillation mudah kembali ke irama sinus dengan defibrillator listrik pada jantung yang telah

diberikan adrenalin.1

2) Natrium Bikarbonat

Dosis mula 1 mEq/kg (bila henti jantung lebih dari 2 menit) kemudian dapat diulang tiap 10 menit dengan dosis 0,5 mEq/kg

sampai timbul denyut jantung spontan atau mati jantung. Cara pemberian hanya IV. 4

Dipasang infuse intravena sesuai indikasi.

5. E=EKG

6. F=Fibrilation Treatment

Elektroda dipasang di sebelah kiri putting susu kiri dan di sebelah kanan sternum atas. Defibrilasi luar: arus searah: 100-360

Wsec (Joule) (dewasa); 100-200 Wsec (anak); 50-100 Wsec (bayi).

7. G=Gough (cari sebab Cardiac Arrest)

Pada tahap ini, menentukan dan member terapi penyebab kematian dan menilai sampai sejauh mana pasien dapat diselamatkan.

8. I=Intensive Care Unit

Post Cardiac Arrest, korban harus dirawat di ICU


TEKNIK PADA BAYI DAN ANAK-ANAK

Prinsip Bantuan Hidup Dasar pada bayi dan anak adalah sama dengan pada orang dewasa. Akan tetapi karena ketidaksamaan

ukuran, diperlukan modifikasi teknik yang disebutkan di atas yaitu sebagai berikut. 4

1. Ekstensi kepala yang berlebihan dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas pada bayi dan anak kecil. Kepala hendaknya dijaga

dalam posisi netral selama diusahakan membuka jalan napas pada kelompok ini.

2. Pada bayi dan anak kecil, ventilasi mulut-ke-mulut dan hidung lebih sesuai daripada ventilasi mulut-ke-mulut atau mulut-ke-

hidung. Pemberian ventilasi harus lebih kecil volumnya dan frekuensi ventilasi harus ditingkatkan menjadi 1 ventilasi tiap 3

detik untuk bayi dan 1 ventilasi tiap 4 detik untuk anak-anak.

3. Pukulan punggung dengan pangkal tangan dapat diberikan pada bayi di antara 2 skapula dengan korban telungkup dan

mengangkang pada lengan penolong dan hentakan dada diberikan dengan bayi terlentang, kepala terletak dibawah melintang

pada paha penolong. Pukulan punggung pada anak yang lebih besar dapat diberikan dengan korban telungkup melintang di atas

paha penolong dengan kepala lebih rendah dari badan, dan hentakan dada dapat diberikan dengan anak terlentang di atas lantai.

4. Karena jantung terletak sedikit lebih tinggi dalam rongga toraks pada pasien-pasien muda, kompresi dada luar hendaknya

diberikan dengan 2 jari pada 1 jari di bawah titik potong garis putting susu dengan sternum pada bayi dan pada tengah

pertengahan bawah sternum pada anak. Penekanan sternum 1,5-2,5 cm efektif untuk bayi, tetapi pada anak diperlukan

penekanan 2,5-4 cm. pada anak yang lebih besar hendaknya digunakan pangkal telapak tangan untuk kompresi dada luar.

5. Selama henti jantung, pemberian komprsi dada luar harus minimal 100 kali permenit pada bayi dan 80 kali permenit pada anak-

anak. Perbandingan kompresi terhadap ventilasi selalu 5:1.

Usaha tindakan RKP pada langkah-langkah ABC (Bantuan Hidup Dasar) yang dilakukan pada korban yang mengalami henti

jantung dapat memberi beberapa kemungkinan hasil, yaitu sebagai berikut. 4

1. Korban menjadi sadar kembali

2. Korban dinyatakan mati. Ini bisa disebabkan karena terlambatnya pemberian tindakan RKP atau salah dalam pelaksanaannya.

3. Korban belum dapat dinyatakan mati dan belum timbul denyut jantung spontan. Dalam hal ini perlu diberikan pertolongan

lebih lanjut.
4. Denyut jantung spontan timbul, tetapi korban belum pulih kesadarannya. Ventilasi spontan bisa ada bisa tidak.

REFERENSI

1. Zaidulfar. (2010) Cardio Pulmonary Rescucitation. Proceedings of skill lab training of medical student of Block 16th of

Andalas University, Indonesia

2. Latief, Said A.dkk. (2002) Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

3. Karo, Santoso.dkk. (2009) Buku Panduan Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut ACLS (Advanced Cardiac Life Support)

Indonesia. Jakarta:PERKI-2008

4. Muhiman, Muhardi.dkk. (1989) Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia

5. HET (2010) Materi Diklat Medis, KAT serta Pengabdian Masyarakat Angkatan XXI. Padang: Hippocrates Emergency Team

FK Unand 2010

Anda mungkin juga menyukai