Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Coronary Artery Disease (CAD) adalah penyakit yang terjadi akibat
penurunan suplai darah dan oksigen ke miokardium yang disebabkan oleh
penyempitan dan penyumbatan arteri koronaria (Ashley & Niebauer, 2004).
Terdapat beberapa nama lain dari CAD yakni panyakit jantung koroner (PJK),
Coronary Heart Disease (CHD), Atherosclerotic Heart Disease (AHD), dan
Ischemic Heart Disease (IHD). Kesemuanya menyatakan tentang penyumbatan
pembuluh darah koroner sehingga aliran darah yang menyuplai oksigen ke otot
jantung terhambat (Grech, 2003)
CAD merupakan penyakit yang progresif dan pada perjalanan penyakitnya
sering terjadi perubahan secara tiba-tiba dari keadaan stabil menjadi akut yang
dikenal dengan Sindrom Koroner Akut (SKA). Mekanisme terjadinya perubahan
secara tiba-tiba dihubungkan dengan terjadinya thrombosis akut pada plak
aterosklerosis yang mengalami erosi, fisur, atau rupture (Beltrame, Rachel, &
Tavella, 2012)
CAD saat ini menjadi penyebab kematian utama di seluruh dunia, angka
kejadiannya terus meningkat dan telah menjadi sebuah pendemi tanpa mengenal
batas. World Health Organization (WHO) pada 2002 mencatat lebih dari 11,7 juta
orang meninggal akibat CAD. Angka ini terus meningkat pada 2005 CAD
menyebabkan 17,5 juta kematian di dunia, diperkirakan angka ini akan meningkat
terus hingga 2030 menjadi 23,4 juta kematian di dunia (WHO, 2008).
Di Indonesia angka kematian akibat CAD juga meningkat setiap tahunnya.
Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga Nasional (SKRT) pada tahun 1975,
penyakit jantung menyebabkan kematian sebesar 5,9 %, tahun 1981 meningkat
menjadi 9,1 %, tahun 1986 meningkat menjadi 16%, tahun 1995 meningkat
menjadi 19 dan tahun 2001 meningkat menjadi 26,4 % (Depkes RI, 2003). Angka
kejadian CAD di Kalimantan Timur berdasarkan data rekam medis RSUD AW

1
Sjahranie tahun 2012 menunjukkan PJK menjadi penyebab kematian nomor 3
setelah stroke dan penyakit ginjal kronik.
Penyebab dasar terjadinya CAD adalah aterosklerosis. Proses
aterosklerosis dimulai pada usia anak-anak dan berkembang cepat pada remaja
dan dewasa (Cotran, Kumar, & Robbins, 2007). Aterosklerosis merupakan istilah
generik untuk penebalan dan hilangnya elastisitas dinding arteri karena
pembentukan deposit-deposit plak kekuningan yang mengandung kolesterol, dan
bahan lipid lainnya di tunika intima dan tunika media interna pada arteri besar dan
sedang (Cotran, Kumar, & Robbins, 2007).
Faktor risiko utama aterosklerosis adalah dislipidemia. Faktor risiko
inilah yang dapat mengganggu fungsi endotel sehingga menyebabkan terjadinya
disfungsi endotel (Anwar, 2004). Disfungsi endotel dapat terjadi secara lokal dan
akut dengan perubahan kronik yang menyebabkan peningkatan permeabilitas
plasma lipoprotein, pengurangan bioavibilitas Nitric Oxide (NO), hiperadesi
lekosit, gangguan keseimbangan zat vasoaktif, zat perangsang dan penghambat
pertumbuhan, zat pro dan antitrombotik. Hal ini merupakan permulaan proses
proliferatif pada dinding arteria yang akan berkembang menjadi plak
aterosklerotik (Mughni, 2007). Untuk mempelajari CAD lebih mendalam maka
dilakukan sebuah laporan kasus pada pasien rawat inap di RSUD AW Sjahranie.

1.2 Tujuan
1. Untuk mempalajari mengenai CAD dari segi teori mencakup definisi, etiologi,
epidemiologi, patofisiologi,gejala, diagnosis, penatalaksanaan ; serta
mempelajari kasusnya langsung dari pasien rawat inap RSUD A.W. Sjahranie
Samarinda.
2. Tujuan dari pembuatan laporan kasus ini adalah memenuhi syarat dalam
menjalani kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam serta sebagai
penambah wawasan dan ilmu khususnya tentang Sindrom Arteri Koroner.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Jantung
2.1.1. Anatomi
Jantung merupakan organ yang berfungsi memompa darah ke seluruh
tubuh, bentuknya seperti kerucut dan besarnya sedikit lebih besar dari
kepalan tangan. Letak jantung berada di ruang mediastinum, diantara kedua
paru-paru dan di atas diafragma (Phibbs, 2007; Snell, 2006).

Gambar 2.1. Anatomi Jantung (Snell, 2006)

Jantung terbagi menjadi empat ruangan yakni atrium dextra, atrium


sinistra, ventrikel dextra, dan ventrikel sinistra. Atrium akan mengalirkan
darah ke ventrikel dan setelah di ventrikel maka darah akan diedarkan ke
sirkulasi pulmonal atau sirkulasi perifer (Jones, 2008).

3
Ventrikel memiliki otot yang lebih tebal dari atrium dan ventrikel kiri
memiliki otot yang lebih tebal daripada ventrikel kanan. Diantara atrium dan
ventrikel terdapat katup yang berfungsi mencegah aliraha darah balik
selama jantung berkontraksi. Katup ini disebut katup atrioventrikel (AV).
Katup AV memisahkan atrium dextra dan ventrikel dextra disebut katup
trikuspidalis, katup AV sinistra disebut katup mitral (Moore, Dalley, & Agur,
2010).
Katup AV sinistra disebut katup mitral, katup AV terbuka saat kontraksi
atrium untuk melakukan pengisian ventrikel saat tekanan intraarterial lebih
besar daripada tekanan intraventrikuler. Saat ventrikel mulai berkontraksi,
katup AV menutup (Moore, Dalley, & Agur, 2010)
Katup yang lain di jantung ialah katup semilunar. Katup ini mencegah
aliran balik ke ventrikel setelah berkontraksi. Kedua katup semilunar adalah
katup pulmonal yang terletak di saluran ventrikel kanan ke arteri pulmonalis
dan katup aorta antara ventrikel kiri dan aorta (Moore, Dalley, & Agur,
2010).
Jantung memiliki dinding yang terdiri dari beberapa lapisan. Lapisan
pertama merupakan lapisan yang menyelubungi jantung yakni perikardium.
Perikardium terdiri dari lapisan parietal dan viseral, diantara lapisan ini ada
rongga perikardial yang berisi sejumlah kecil pelumas cairan untuk
mencegah gesekan selama kontraksi jantung. Lapisan dinding jantung
sendiri terdiri dari beberapa lapisan yakni epikardium, miokardium, dan
endokardium (Jones, 2008).

Gambar 2.2 Vaskularisasi Jantung (Snell, 2006)

4
Jantung mendapatkan suplai darah dari arteri koronaria dextra dan
sinistra, yang berasal dari aorta senden tepat di atas valva aorta. Arteri
koronaria dextra memperdarahi pada atrium dextra, ventrikel dextra, dan
sebagian dari atrium sinistra serta sebagian dari atrium sinistra dan ventrikel
sinistra. Arteri koronaria sinistra memperdarahi sebagian besar jantung
termasuk sebgaian besar atrium sinistra, ventrikel sinistra, dan septum
ventrikel (Snell, 2006).
Ada 3 jenis pembuluh darah dalam tubuh, yaitu arteri, vena, dan kapiler.
Arteri merupakan pembuluh darah yang membawa darah dari jantung
menuju ke jaringan. Sedangkan vena merupakan pembuluh daarah yang
membawa darah dari jaringan kembali ke jantung. Pembuluh darah lainnya
adalah kapiler. Pembuluh ini merupakan satu-satunya tempat yang bisa
terjadi pertukaran zat-zat yang dibutuhkan jaringan dan diganti dengan hasil
dari metabolisme jaringan (Guyton & Hall, 2007).

Gambar 2.3 Susunan Arteri (Guyton & Hall, 2007)

5
2.1.2. Fisiologi
Siklus jantung dimulai atrium kanan yang menerima darah dari vena
kava superior dan vena kava inferior. Darah melewati atrium kanan
melintasi katup trikuspidalis ke ventrikel kanan lalu darah dipompa ke arteri
pulmonalis melalui katup pulmonalis. Arteri pulmonalis mendistribusikan
darah ke paru-paru untuk pertukaran darah gas di kapiler paru. Darah yang
mengandung banyak oksigen kembali ke atrium kiri melalui vena
pulmonalis. Setelah melalui katup mitral darah memasuki ventrikel kiri,
dimana darah akan dipompa melintasi katup aorta dan masuk ke sirkulasi
sistemik melalui aorta (Jones, 2008).
Kontraksi atrium kanan dan kiri pada siklus ini terjadi sebelum
kontraksi ventrikel. Sebagian besar aliran darah ke ventrikel terjadi karena
gravitasi tetapi kontraksi atrium diperlukan untuk pengisian kapasitas
maksimum. Ventrikel kiri dan kanan berkontraksi bersamaan setelah atrium
relaksasi. Tekanan yang dihasilkan membuat katup AV menutup, katup aorta
dan pulmonal membuka dan mendorong darah ke dalam paru dan sirkulasi
sistemik. Tahap kontraksi dari siklus jantung disebut sistol, yang umumnya
mengacu pada kontraksi ventrikel dibandingkan atrium. Diastol adalah fase
relaksasi dari siklus jantung yang terjadi ketika ventrikel dalam keadaan
pengisian. Fase ini lebih lama daripada sistol. Jumlah darah yang
dikeluarkan dari kedua ventrikel dengan satu kontraksi disebut sebagai
stroke volume . Stroke volume dipengaruhi oleh preload, afterload, dan
kontraktilitas jantung (Jones, 2008).
2.2. Coronary Artery Disease
2.2.1. Definisi
Coronary Artery Disease memiliki beberapa nama lain seperti
Coronary Heart Disease (CHD). Atherosclerotic Heart Disease (AHD),
DAN Ischemic Heart Disease (IHD). Semua istilah ini menyatakan
tentang penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah koroner sehingga
aliran darah yang menyuplai oksigen ke otot jantung terhambat (Grech,
2003). Penyempitan serta penyumbatan di pembuluh darah terjadi akibat

6
dari penimbunan lemak, kolesterol, kalsium, dan substansi lain pada
permukaan intima pembuluh darah sehingga menyebabkan gangguan pada
kelenturan dari pembuluh darah sehingga pembuluh darah menjadi kaku
dan tidak mendapatkan suplai nutrisi untuk memompa darah ke seluruh
tubuh sehingga terjadilah penurunan dan kegagalan fungsi jantung
(Cotran, Kumar, & Robbins, 2007)
2.2.2. Epidemiologi
Penyakit kardiovaskular termasuk CAD, stroke, dan penyakit arteri
perifer lainnya, adalah penyebab kematian utama di Amerika, dengan
jumlah lebih dari 900.000 orang meninggal. Kemungkinan terjadinya CAD
meningkat seiring dengan peningkatan usia seseorang atau seseorang pada
usia muda dengan riwayat memiliki penumpukan lemak, akan memiliki
risiko yang sama besar dengan orang yang usianya sudah dewasa (Roger,
2011).
Pria memiliki kemungkinan lebih besar dari wanita karena hormon
estrogen pada wanita, yang menginduksikan HDL tinggi, yang menyerap
kelebihan kolesterol pada pembuluh darah. Ketika seorang wanita
mengalami menopause dengan jumlah estrogen yang menurun,
kemungkinan terjadinya CAD akan meningkat. Pada usia 40 tahun, usia
kemungkinan terjadinya CAD mencapai 49% untuk pria dan 32% untuk
wanita. Walaupun jumlah rata-rata kematian telah menurun sebanyak 25%
pada 30 tahun terakhir ini, namun rata-rata kemunduran mulai melambat
sejak tahun 1990 (Bender et al, 2011).
Berdasarkan data epidemiologi diketahui, pada pasien dengan
tingkat kolesterol dan kadar lipoprotein yang tinggi memiliki kemungkinan
menderita penyakit kardiovaskular. Sekitar 14 juta penduduk Amerika
serikat menderita CAD disertai gejala. Jumlah ini belum termasuk
penderita CAD tanpa gejala (Roger, 2011).
Cara pencegahan CAD yang umum digunakan adalah dengan
mengatur faktor risiko seperti merokok, mencegah hipertensi, obestitas,
dan diabetes. Cara pencegahan ini terbukti sukses dengan adanya

7
pengurangan jumlah mortilitas pada penderita. Penting bagi pasien dengan
penyakit kardiovaskular yang memiliki faktor risiko lebih dari satu, untuk
mengetahui pengaturan yang tepat untuk mengoptimalkan penurunan
faktor risiko (Bender et al, 2011).

2.2.3. Patogenesis
Proses terjadinya PJK diawali dengan aterosklerosis melalui tahap
pertama yakni kerusakan dinding sel endotel dan penumpukan kolesterol
dalam jumlah besar yang bersirkulasi dalam pembuluh darah. Proses
terjadinya penumpukan itu dimulai dari penumpukan lemak biasanya
diperankan oleh kolesterol yang diangkut oleh Low Density Lipoprotein
(LDL). LDL akan menembus dinding dalam endotel dan melakukan
oksidasi di sana. Hasil dari oksidasi LDL menghasilkan radikal bebas yang
akan merusak dinding endotel dengan cara menghilangkan kelenturan dari
dinding endotel dan menghilangkan kemampuan endotel untuk dapat
menghasilkan prostasiklin untuk menangkal terbentuknya agregasi
trombosit (Nicole et al, 2011).
Kerusakan ini menyebabkan sel endotel menghasilkan cell adhesion
molecule seperti sitokin (interleukin -1, (IL-1); tumor nekrosis faktor alfa,
(TNF-alpha), kemokin (monocyte chemoattractant factor 1, (MCP-1; IL-
8), dan growth factor (platelet derived growth factor, (PDGF); basic
fibroblast growth factor, (bFGF). Sel inflamasi seperti monosit dan
Limfosit T masuk ke permukaan endotel dan migrasi dari endotelium ke
sub endotel. Monosit kemudian berdiferensiasi menjadi makrofag dan
mengambil LDL teroksidasi yang bersifat lebih atherogenik dibanding
LDL. Makrofag ini kemudian membentuk sel busa (Kumar, Robbins, &
Cotran, 2010).

8
Gambar 2.4 Tahap aterosklerosis (StaryHC, Chandler, &
Glagov, 1995)
Ketika makrofag memfagositosis LDL, ia akan membentuk suatu
badan yang disebut dengan foam cell’s. Foam cell’s ini sendiri melakukan
oksidasi dengan tujuan untuk dapat melisiskan LDL. Namun, akibat dari
oksidasi foam cell’s ini sendiri akan membentuk radikal bebas dan
memanggil lebih banyak makrofag serta mencetuskan pemanggilan faktor
pertumbuhan (Nicole et al, 2011).
Faktor pertumbuhan berupa TNF dan IL-1 akan merangsang
proliferasi dari jaringan fibroblast guna untuk menutupi endotel yang
rusak. Pada akhirnya akan terbentuk fibrous cap yang tidak lentur karena
merupakan jaringan parut dan pengecilan lumen pembuluh darah akibat
desakan dari foam cell’s yang membesar (Nicole et al, 2011). Plak yang
terjadi dapat menjadi stabil tetapi juga bisa tidak stabil (vulnerable) dan
mengalami ruptur serta membentuk trombus. Berdasarkan luas oklusi yang
ditimbulkan maka manifestasi yang muncul bisa berupa sindrom koroner
akut yang terdiri dari angina pektoris tidak stabil, Non ST-Elevation
Myocardial (NSTEMI) atau ST- Elevation Myocardial Infarction (STEMI)
dimana ketika terjadi oklusi total maka sudah terjadi STEMI. Diagnosis

9
kerja awal sindrom koroner akut tanpa elevasi segmen ST berdasarkan
enzim jantung troponin (Antman & Braunwald, 2008).

Gambar 2.5 Spektrum sindrom koroner akut (Fuster, Walsh, &


Harrington, 2011)

2.2.4. Faktor Risiko


Berdasarkan Framingham Heart Study , CAD bukanlah penyakit
penyakit manusia lanjut usia (manula) atau nasib buruk yang tidak dapat
dihindari. Dalam hal ini dikenal adanya faktor risiko dari CAD yaitu faktor
yang berkaitan dengan meningkatnya risiko timbulnya CAD. Faktor risiko
tersebut dibagi menjadi faktor yang dapat dikendalikan (modifable risk
factor) dan yang tidak dapat dikendalikan (non modifable risk factor).
Faktor yang tidak dapat dikendalikan antara lain keturunan, usia, dan jenis
kelamin. Sedangkan faktor yang dapat dikendalikan antara lain tekanan
darah tinggi, merokok, dislipidemia, diabetes mellitus, obesitas, stress, dsb.
Jenis kelamin
Morbiditas akibat PJK pada laki-laki lebih besar dibandingkan pada
perempuan dan kondisi ini terjadi hampir 10 tahun lebih dini pada laki-laki
daripada perempuan. Estrogen endogen bersifat protektif pada perempuan,
namun setelah menapouse insidensi PJK meningkat dengan cepat dan

10
sebanding dengan insidensi pada laki-laki akibat penurunan estrogen setelah
menapouse dapat menimbulkan perkembangan yang cepat dari penyakit
jantung koroner. Pikiran ini didukung oleh penemuan kolesterol serum total
dan kolesterol LDL meningkat pada menopause dan kadar ini berkurang
dengan terapi estrogen eksogen Tetapi pada kedua jenis kelamin dalam usia
60 sampai 70-an frekuensi PJK menjadi setara (Guilliams, 2011).
Riwayat PJK dalam Keluarga
Riwayat penyakit jantung pada keluarga tingkat pertama merupakan
faktor risiko independen seseorang terkena PJK. Studi epidemiologi
mengatakan bahwa riwayat PJK pada keluarga tingkat pertama
meningkatkan 2,5 sampai 7 kali lipat menderita PJK dibandingkan dengan
seseorang tanpa riwayat PJK pada keluarga (Clarkson, Celermajer, Powe,
Donald, Henry, & Deanfield, 2000).
Beberapa faktor risiko utama PJK memang sudah diketahui
diturunkan secara genetik, seperti diabetes dan hiperlipidemia, dan beberapa
faktor risiko lain seperti homosistein dan fibrinogen. Selain itu interaksi
genetik dapat mengubah dinding arteri dan kerentanan rusak akibat faktor
risiko. Sebuah penelitian kohort yang dilakukan pada subjek berusia muda
tanpa faktor risiko PJK, namun memiliki riwayat PJK pada keluarga tingkat
pertama, menunjukkan hasil bahwa telah terjadi kerusakan endotel secara
dini (Clarkson, Celermajer, Powe, Donald, Henry, & Deanfield, 2000).

Dislipidemia
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan
peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi
lipid yang paling utama adalah kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol
LDL, trigliserida serta penurunan kadar kolesterol HDL. Dalam proses
terjadinya aterosklerosis semuanya mempunyai peran yang penting (Bahri,
2004).
Penelitian menyatakan kadar kolesterol HDL yang rendah merupakan
salah satu faktor risiko terjadinya PJK. Penurunan kadar kolesterol HDL

11
menyebabkan gangguan transportasi dan eksresi kolesterol dan trigliserida
dari dalam endotel sehingga terjadi penumpukan lipid yang menyebabkan
terbentuknya aterosklerosis. Penurunan ini disebabkan oleh kebiasaan
merokok, aktivitas kurang, dan obesitas (Laine & Goldmann, 2007).
Peningkataan kadar kolesterol LDL mengakibatkan penumpukan
kolesterol di dalam endotel. LDL sering disebut “kolesterol jahat” karena
efeknya yang atherogenik (mudah melekat pada dinding pembuluh darah),
sehingga dapat menyebabkan penimbunan lemak dan penyempitan
pembuluh darah. Kadar kolesterol darah yang tinggi disebabkan oleh
kebiasaan merokok, genetik, diet tinggi lemak, obesitas, dan aktivitas
kurang. Kadar LDL yang tinggi juga dapat disebabkan oleh konsumsi
alkohol atau obat-obatan, seperti steroid atau pil kontrasepsi (Laine &
Goldmann, 2007).
Tabel 2.1 Klasifikasi kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol
HDL dan trigliserid menurut NCEP ATP III
Klasifikasi kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan trigliserid
menurut NCEP ATP III (2002; update 2004)
Kolesterol total Kolesterol HDL
< 200 Optimal < 40 Rendah
200 – 239 Batas tinggi > 60 Tinggi
> 240 Tinggi
Kolesterol LDL Trigliserid
< 100 Optimal < 150 Normal
100 – 129 Mendekati 150 – 199 Batas tinggi
optimal 200 – 499 Tinggi
130 – 159 Batas tinggi > 500 Sangat tinggi
160 – 189 Tinggi
> 190 Sangat tinggi
Sumber: (National Heart, Lung and Blood Institute, 2002)

Kolesterol dapat menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah


arteri,sehingga lumen dari pembuluh darah tersebut menyempit dan proses
ini disebut aterosklerosis. Penyempitan pembuluh darah ini akan
menyebabkan aliran darah menjadi lambat bahkan dapat tersumbat sehingga
aliran derah pada pembuluh darah koroner yang berfungsi memberi oksigen

12
ke jantung menjadi berkurang sehingga otot jantung menjadi lemah, sakit
dada, serangan jantung bahkan kematian (Bahri, 2004).

Tabel 2.2 Klasifikasi disipidemia menurut EAS


(European Atherosclerosis Society)
Peningkatan
Lipoprotein Lipid Plasma
Hiperkolesterolemia LDL Kolesterol ≥ 240 mg/dl
Dislipidemia campuran LDL + VLDL Trigliserida ≥200
mg/dl + Kolesterol ≥
240 mg/dl
Hipertrigliseridemia VLDL Trigliserida ≥ 200
md/dl

Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko utama penyebab terjadinya PJK.
Pada penelitian Framingham, Individu dengan tekanan darah diatas 160/95
memiliki risiko 2-3 kali lebih besar untuk timbulnya penyakit jantung
daripada individu dengan tekanan darah normal. Bila seseorang menderita
tekanan darah tinggi, lapisan dari dinding pembuluh darah menebal sebagai
usaha untuk melakukan kompensasi terhadap tekanan darah yang tinggi. Hal
ini menyebabkan penyempitan lumen untuk aliran darah yang mengalir di
dalam arteri dengan tekanan yang meningkat, akibat adanya kerusakan lebih
lanjut pada arteri dan tekanan darah yang makin meningkat. (Hull, 1996)
The seventh report of the joint national committee on detection,
evaluation and treatment of high blood pressure (JNC-VII) telah
memperbaharui klasifikasi, definisi, serta stratifikasi risiko untuk
menentukan prognosis jangka panjang hipertensi (Chobanian, et al., 2003).

13
Tabel 2.3 Klasifikasi Hipertensi menurut JNC VII

Kategori Tekanan darah


Normal <120/80
Prehypertension 120-139 / 80-89
Hypertension >140/90
Stage 1 140-159/90-99
Stage 2 ≥160/100
(Chobanian, et al., 2003)
Merokok
Merokok merupakan faktor risiko mayor untuk terjadinya penyakit
jantung, termasuk serangan jantung dan stroke, dan juga memiliki hubungan
kuat untuk terjadinya PJK sehingga dengan berhenti merokok akan
mengurangi risiko terjadinya serangan jantung. Merokok menaikkan risiko
serangan jantung sebanyak 2 sampai 3 kali. Sekitar 24 % kematian akibat
PJK pada laki-laki dan 11 % pada perempuan disebabkan kebiasaan
merokok (Roger, et al., 2011).
Rokok berperan dalam patogenesis PJK melalui beberapa mekanisme,
diantaranya :
a. Merusak lapisan endotel pembuluh darah
b. Meningkatkan plak kolesterol
c. Meningkatkan bekuan darah
d. Meningkatkan kadar LDL dan menurunkan HDL
e. Menyebabkan spasme arteri koroner
f. Nikotin meningkatkan frekuensi denyut jantung dan tekanan darah
(Mackay & Mensah, ND).
Perokok pada garis besarnya dibagi menjadi dua yaitu perokok aktif
dan perokok pasif. Perokok aktif adalah orang yang langsung menghisap
asap rokok dari rokoknya, sedangkan perokok pasif adalah orang-orang
yang tidak merokok, namun ikut menghisap asap sampingan selain asap
utama yang dihembuskan oleh perokok. (WHO, 2000)
Menurut WHO, perokok adalah seseorang yang masih merokok saat
dilakukan survey baik harian (daily smoker) maupun hanya sesekali saja

14
(occasional smoker). Daily smoker adalah seseorang yang merokok paling
sedikit satu batang perhari (seseorang yang merokok setiap hari tetapi
berhenti karena alasan agama seperti puasa tetap diklasifikasikan sebagai
perokok harian). Occasional smoker adalah seseorang yang merokok tetapi
tidak setiap hari, occasional smoker terdiri dari reducers, continuing
occasional smokers atau experimenter. Reducer adalah seseorang yang
dulunya merokok setiap hari tetapi sekarang sudah tidak. Continuing
occasional smoker adalah seseorang yang tidak merokok setiap hari tapi
telah merokok lebih dari 100 batang rokok. Experimenter adalah seseorang
yang merokok kurang dari 100 batang rokok dan saat ini kadang-kadang
merokok. (Tolonen, Wolf, Jakovljevic, & Kuulasmaa, 2002)
Bukan perokok adalah seseorang yang saat dilakukan survey tidak
merokok sama sekali. Bukan perokok bisa jadi ex-smoker, never smoker,
atau ex-occasional smoker. Ex-smoker adalah seseorang yang dulunya
merokok setiap hari tetapi saat ini tidak merokok sama sekali. never smoker
adalah seseorang yang tidak pernah merokok sama sekali dan tidak pernah
menjadi perokok harian dan hanya merokok kurang dari 100 batang rokok
seumur hidupnya. Ex-occasional smoker adalah seseorang yang dulunya
kadang-kadang merokok tapi tidak pernah menjadi perokok harian dan
sudah merokok lebih dari 100 batang rokok selama hidupnya. (Tolonen,
Wolf, Jakovljevic, & Kuulasmaa, 2002)
Menurut Smet (1994), klasifikasi perokok menurut banyaknya rokok
yang dihisap adalah:
1. Perokok ringan: yang menghisap 1-4 batang rokok dalam sehari
2. Perokok sedang: yang menghisap 5-14 batang rokok dalam sehari
3. Perokok berat: yang menghisap lebih dari 15 rokok dalam sehari
Obesitas
Terdapat saling keterkaitan antara obesitas dengan risiko peningkatan
PJK, hipertensi, angina, stroke, diabetes dan merupakan beban penting pada
kesehatan

15
jantung dan pembuluh darah. Data dari Framingham menunjukkan
bahwa apabila setiap individu mempunyai berat badan optimal, akan terjadi
penurunan insiden PJK sebanyak 25 % dan stroke/cerebro vascular accident
sebanyak 3,5 % (Goya, Shaper, & Walker, 2005).
Penurunan berat badan diharapkan dapat menurunkan tekanan darah,
memperbaiki sensitivitas insulin, pembakaran glukosa dan menurunkan
dislipidemia. Hal tersebut ditempuh dengan cara mengurangi asupan kalori
dan menambah aktifitas fisik. Disamping pemberian daftar komposisi
makanan , pasien juga diharapkan untuk berkonsultasi dengan pakar gizi
secara teratur (Montaya, Baquerd, & Backer, 2002).

Tabel 2.4 Klasifikasi berat badan (BB) berdasarkan indeks massa


tubuh
No InIndeks Massa Tubuh (IMT) Kategori
1. <18.5 Kurus
2. ≥18.5 - 24.9 BB Normal
3. ≥25 - 26.9 BB Lebih
4. ≥27.0 Obesitas
(Departemen Kesehatan R.I, 2008)

Diabetes melitus
Penderita diabetes menderita PJK yang lebih berat, lebih progresif,
lebih kompleks, dan lebih difus dibandingkan kelompok kontrol dengan usia
yang sesuai. Diabetes melitus berhubungan dengan perubahan fisik patologi
pada sistem kardiovaskuler. Diantaranya dapat berupa disfungsi endotelial
dan gangguan pembuluh darah yang pada akhirnya meningkatkan risiko
terjadinya PJK. Kondisi ini dapat mengakibatkan terjadinya mikroangiopati,
fibrosis otot jantung, dan ketidaknormalan metabolisme otot jantung
(Bauters, Lamblln, McFadden, Belle, Millare, & Groote, 2003).
Pada diabetes tergantung insulin (NIDDM), penyakit koroner dini
dapat dideteksi pada studi populasi sejak dekade keempat, dan pada usia 55
tahun hingga sepertiga pasien meninggal karena komplikasi PJK, adanya
mikroalbuminemia atau nefropati diabetik meningkatkan risiko PJK secara

16
bermakna. Risiko terjadinya PJK pada pasien dengan NIDDM adalah dua
hingga empat kali lebih tinggi daripada populasi umum. Sumber lain
mengatakan bahwa, pasien dengan diabetes melitus berisiko lebih besar
(200%) untuk terjadinya penyakit kardiovaskular dari pada individu yang
tidak diabet (Liu, Sempos, & Donahue, 2005).

2.2.5. Manifestasi Klinis


1. Angina Pektoris Stabil (APS): Rasa tidak enak di dada menjalar ke
lengan kiri, leher, rahang, punggung, dan jari-jari bagian ulnar. Nyeri
dipicu oleh aktifitas fisik, stress emosional, udara dingin dan setelah
makan. Nyeri dada ini hanya terjadi selama kurang dari 10 menit dan
dapat berkurang bila istirahat atau oleh obat nitrogliserin.
2. Angina Prinzmetal: Nyeri dada disebabkan oleh spasme arteri
koronaria, sering timbul pada waktu istirahat, tidak berkaitan dengan
kegiatan jasmani dan kadang-kadang siklik (pada waktu yang sama
tiap harinya).
3. Sindroma Koroner Akut (SKA):
a) Angina pektoris tidak stabil (APTS, unstable angina): ditandai
dengan nyeri saat istirahat, lebih berat, serangannya lebih lama
(lebih dari 20 menit) dan lebih sering.
b) Infark miokard akut (IMA): Nyeri angina pada infark jantung
akut umumnya lebih berat dan lebih lama (30 menit atau lebih).
Nyeri timbul tanpa dipicu aktifitas fisik dan tidak dapat
berkurang dengan istirahat atau nitrogliserin. Walau demikian
infark jantung dapat terjadi tanpa nyeri dada (20 sampai 25%).
IMA bisa nonQ MI (NSTEMI) dan gelombang Q MI (STEMI).
(Antman & Braunwald, 2008)
2.2.6. Diagnosis
Anamnesis
Nyeri dada pada angina pektoris (AP) stabil berlangsung kurang
dari sepuluh menit. Nyeri dada terletak di substernal dan menjalar ke
leher, rahang, dan lengan kiri. Sifat nyeri angina pektoris stabil biasanya

17
digambarkan pasien seperti diperas, ditindih benda berat, terbakar dan
rasa tidak nyaman. Nyeri jarang digambarkan sebagai nyeri yang tajam
dan ditusuk. Nyeri dipicu oleh akitifitas fisik atau stress emosional dan
membaik dengan istirahat atau pemberian sublingual nitrogliserin. Nyeri
biasanya tidak dipengaruhi oleh posisi pasien atau respirasi. Pasien lebih
senang untuk duduk, istirahat atau berhenti berjalan selama nyeri dada
berlangsung (ACCF/AHA, 2012).
APTS didefinisikan sebagai angina pektoris yang memiliki ciri-
ciri salah satu dari kriteria berikut: (1) Nyeri dada terjadi saat istirahat,
dan nyeri berlangsung > 20 menit; (2) Pasien angina baru dalam waktu
kurang dari 2 bulan; atau (3) Serangan menjadi lebih berat, lebih lama,
atau lebih sering dari sebelumnya. Pasien dengan APTS yang memiliki
bukti nekrosis miokard, seperti troponin T atau I dan CKMB kemudian
didiagnosis menjadi NSTEMI (Cannon & Braunwald, 2008).
Nyeri dada pada STEMI lebih parah, lebih lama (> 30 menit),
dapat timbul saat istirahat dan tidak membaik walaupun aktifitas fisik
dihentikan. Rasa nyeri biasanya digambarkan seperti rasa ditekan, rasa
terbakar, ditindih benda berat, ditusuk, diperas atau dipelintir. Lokasi
nyeri biasanya retrosternal atau bisa juga muncul di epigastrium lalu
menjalar ke dada bagian depan, bahu, leher, rahang dan tangan kiri.
Selain itu bisa muncul gejala lain seperti mual, muntah, lemah, pusing,
jantung berdebar-debar, keringat dingin dan pasien merasa seolah-olah
akan mati (Fuster, Walsh, & Harrington, 2011).
Pemeriksaan Fisik
Pada pasien AP stabil sering kali tidak didapatkan kelainan
khusus atau hal-hal spesifik pada pemeriksaan fisik. Namun dapat
ditemukan kelainan pada kondisi yang menyertai seperti gagal
jantung, penyakit katup jantung atau perbesaran otot jantung. Suara
gesekan yang terdengar pada auskultasi menunjukkan adanya penyakit
pada perikardium atau pleura. Tanda adanya aterosklerosis antara lain
bruit pada arteri karotis, aneurisma abdominal, nadi dorsum pedis

18
tidak teraba, hipertensi, xantoma dan eksudasi retina. (ACCF/AHA,
2012).
Pada APTS/NSTEMI dapat ditemukan tanda-tanda iskemia
seperti diaforesis, kulit yang dingin dan pucat, sinus takikardi, suara
jantung ketiga atau keempat dan basilar rales pada pemeriksaan paru.
Pada beberapa pasien dengan iskemia miokardium yang luas bisa
terjadi hipotensi (Cannon & Braunwald, 2008).
Pada pasien IMA dari inspeksi pasien terlihat cemas, gelisah,
ekstremitasnya pucat, keringat dingin, kerap kali penderita meletakkan
telapak tangan di atas sternum yang disebut sebagai ”Levine’s sign”.
Tekanan darah dan pulsasi nadi pasien IMA seringkali normal, tetapi
bisa juga didapatkan takikardi dan/atau hipertensi maupun bradikardi
dan/atau hipotensi. Suhu pasien meningkat >38° C 1-2 jam setelah
serangan IMA. Pada palpasi dinding dada tidak didapatkan kelainan,
tetapi pada pasien STEMI transmural didapatkan pulsasi presistolik.
Palpasi pulsasi arteri karotis yang melemah menunjukkan penurunan
stroke volume, sedangkan pulsasi yang tajam menandakan adanya
regurgitasi mitral. Pada auskultasi didapatkan bunyi jantung ketiga
(S3) dan keempat (S4) atau murmur sistolik akibat regurgitasi mitral.
Precordial friction rub terdengar pada pasien IMA transmural
(Antman & Braunwald, 2008).

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Beberapa pemeriksaan terhadap faktor risiko koroner seperti
total kolesterol, LDL, HDL, trigliserida, serum kreatinin dan
pemeriksaan gula darah perlu dilakukan. Beberapa petanda biokimia
juga telah dilaporkan berpengaruh terhadap kejadian PJK antara lain,
lipoprotein(a), apoprotein B dan LDL densitas rendah. Homosistein
juga berhubungan proses aterogenesis. Bila nyeri dada mirip dengan
angina pektoris tidak stabil maka perlu dilakukan pemeriksaan

19
biomarker nekrosis seperti enzim troponin dan CKMB (Morrow &
Gersh, 2008).
b. Elektrokardiografi (EKG)
Kelainan EKG 12 sadapan yang khas adalah perubahan ST-T
yang sesuai dengan iskemia miokardium. EKG istirahat waktu sedang
nyeri dada dapat ditemukan adanya iskemia sampai 50% lagi.
Kelainan yang paling sering muncul adalah depresi segmen ST,
sedangkan perubahan-perubahan lain seperti takikardi, BBB, blok
fasikular apalagi yang kembali normal pada waktu nyeri hilang sesuai
pula untuk iskemia (Morrow & Gersh, 2008).
APTS / NSTEMI didefinisikan oleh EKG sebagai depresi
segmen ST atau inversi gelombang T yang jelas dan atau biomarker
nekrosis (misal, troponin) yang positif pada saat tidak ditemukan
elevasi segmen ST dan pada keadaan klinis tertentu (rasa tidak
nyaman di dada atau angina equivalent) (ACC/AHA, 2007). EKG
merupakan alat stratifikasi risiko APTS / NSTEMI yang kuat, adanya
ST depresi > 0,5 Mv meningkatkan risiko kematian yang sangat tajam.
Seseorang dengan inversi gelombang T memiliki prognosis yang lebih
baik daripada seseorang dengan depresi segmen ST (Fuster, Walsh, &
Harrington, 2011).
STEMI didefinisikan oleh European Society of Cardiology /
ACCF /AHA / World Heart Federation sebagai ST elevasi baru pada J
Point setidaknya pada 2 sadapan ≥ 2 mm (0,2 mV) pada pria atau ≥
1,5 mm (0.15mV) pada wanita di lead V2-V3 dan / atau ≥ 1 mm (0,1
mV) di sadapan yang lain (ACCF/AHA, 2013). Oklusi total arteri
akan menunjukkan elevasi segmen ST pada rekaman EKG. Sebagian
besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST akan
mengalami evolusi menjadi gelombang Q sedangkan sebagian kecil
menetap menjadi infark non Q. Jika obstruksi trombus tidak total,
obstruksi bersifat sementara, atau ditemukan banyak kolateral,
biasanya tidak ditemukan segmen ST dan pasien dikatakan mengalami

20
angina pektoris tak stabil atau NSTEMI. Pada sebagian besar pasien
tanpa elevasi ST akan berkembang menjadi infark non Q. Gelombang
Q patologis menunjukkan nekrosis miokardium, sedangkan R
menunjukkan miokardium yang masih hidup.
c. Treadmill test
Suatu tes pembebanan yang digunakan untuk mendiagnosa dan
memperkirakan prognosis PJK dan sangat berguna untuk pasien yang
dicurigai PJK tapi pada EKG istirahat tidak ditemukan adanya
kelainan. Treadmill test juga digunakan untuk pasien yang telah stabil
dengan terapi medikamentosa dan menunjukkan tanda risiko tinggi.
Interpretasi hasil tes ini didasarkan antara lain pada: gelombang Q
yang abnormal, segmen S-T yang abnormal dan gelombang T
abnormal. Dari interpretasi tersebut disimpulkan adanya
negatif/positif respons. Bila negatif, keadaan suplai darah ke otot
jantung dianggap normal, dan bila positif berarti lebih-lebih bila
didapatkan depresi segmen ST yang dalam, dianjurkan untuk
dilakukan pemeriksaan angiografi koroner, untuk menilai keadaan
pembuluh koronernya apakah perlu tindakan revaskularisasi karena
risiko terjadinya komplikasi kardiovaskuler dalam waktu mendatang
cukup besar (Cannon & Braunwald, 2008).
d. Foto toraks
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai ukuran jantung pasien
dan kalsifikasi koroner atau katup jantung, juga tanda-tanda lain
seperti gagal jantung, penyakit jantung katup, perikarditis, aneurisma
dissekan, dekompensasi kordis dengan atau tanpa oedem pulmonal.
Jika ditemukan adanya kardiomegali maka PJK yang diderita sudah
parah dengan riwayat infark miokard akut (IMA) sebelumnya,
preexisting hipertensi atau berhubungan dengan kondisi non iskemia
seperti penyakit katup jantung atau kardiomiopati (Morrow & Gersh,
2008).
e. Ekokardiografi

21
Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menentukan luasnya
iskemia saat nyeri dada berlangsung. Pemeriksaan ini bermanfaat
untuk melihat adanya gangguan faal ventrikel kiri, insufisiensi mitral,
fungsi miokardium segmental dan abnormalitas gerakan dinding
regional jantung. Bila ekokardiografi dilakukan dalam waktu sampai
30 menit dari serangan angina, masih dapat memperlihatkan segmen
miokardium yang mengalami disfungsi karena iskemia akut. Selain itu
juga dapat mengidentifikasi komplikasi seperti regurgitasi mitral akut,
ruptur ventrikel kiri atau efusi perikardium (Morrow & Gersh, 2008).
Stres ( latihan atau dobutamin ) ekokardiografi dapat
menyebabkan munculnya daerah akinesis atau diskinesis yang tidak
hadir pada saat istirahat. Stress ekokardiografi lebih sensitif
dibandingkan exercise electrocardiography dalam diagnosis iskemia
miokard (Fauci, et al., 2012).
f. Angiografi
Pemeriksaan ini digunakan untuk melihat lumen arteri koroner.
Angiografi dilakukan pada pasien AP stabil kronik yang gejalanya
masih timbul meskipun sudah dilakukan terapi medis dan sedang
dipertimbangkan untuk revaskularisasi yakni percutaneous coronary
intervention (PCI) atau coronary artery bypass grafting (CABG),
pasien dengan gejala yang tidak jelas sehingga kesulitan untuk
menegakkan dan menyingkirkan diagnosa PJK, pasien angina pektoris
yang selamat dari cardiac arrest, bukti iskemia pada pasien angina
berdasarkan pemeriksaan non invasif atau hasil laboratorium yang
menandakan disfungsi ventrikel dan pasien yang dinilai memiliki
risiko tinggi. Angiografi bermanfaat untuk stratifikasi prognostik yang
berkolerasi dengan jumlah pembuluh darah yang mengalami stenosis
(Fauci, et al., 2012).
g. Biomarker kerusakan jantung
Biomarker yang sering digunakan dalam praktek klinik yaitu
troponin dan CKMB. Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai

22
normal menunjukkan nekrosis miokardium. Creatine Phospokinase
(CK) meningkat dalam 4-8 jam, mencapai dalam 10-24 jam dan
kembali normal dalam 48-72 jam. CK kurang spesifik untuk IMA
karena dapat meningkat juga pada trauma otot skeletal. Isoenzim MB
dari CK (CKMB) lebih bernilai diagnostic daripada total CK karena
CKMB tidak ditemukan dalam konsentrasi yang signifikan pada
jaringan di luar jantung sehingga lebih spesifik untuk penanda
kerusakan jantung. Cardiac- specific troponin I (cTnI) dapat
meningkat 20 kali lebih tinggi setelah IMA. Konsentrasi troponin ini
meningkat setelah 2 jam IMA dan mencapai puncak dalam 10-24 jam.
cTnI tetap bertahan selama 7-10 hari setelah IMA, dan cTnT selama
10-14 hari (Cannon & Braunwald, 2008).
Myoglobin dilepaskan kedalam darah hanya dalam beberapa jam
setelah onset IMA. Myoglobin dapat dideteksi 1 jam setelah IMA dan
mencapai puncak dalam 4-8 jam. Myoglobin kurang spesifik untuk
jantung, dan juga dieksresikan dengan cepat melalui urin sehingga
kadarnya kembali normal dalam 24 jam. Lactic Dehydrogenase
(LDH) meningkat setelah 24-48 jam setelah IMA, mencapai puncak 3-
6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari (Cannon & Braunwald,
2008).
Troponin T atau I merupakan petanda nekrosis miokard yng
lebih disukai, karena lebih spesifik daripada enzim jantung seperti CK
dan CKMB. CKMB kurang spesifik untuk diagnosis karena juga
ditemukan di otot skeletal, tapi berguna untuk diagnosis infark akut
dan akan meningkat dalam beberapa jam dan kembali normal dalam
48 jam (Cannon & Braunwald, 2008).

23
Gambar 2.8 Biomarker Jantung pada Infark Miokardium
(Trisnohadi, 2009)

2.2.7. Penatalaksanaan
Pasien NSTEMI harus istirahat di tempat tidur dengan pemantauan EKG
untuk deviasi segmen ST dan irama jantung. Empat komponen utama
terapi harus dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI, yaitu :
- Terapi Antiiskemia
- Terapi Antiplatelet
- Terapi Invasif
- Perawatan Sebelum Meninggalkan RS dan Sesudah Perawatan RS
(Trisnohadi, 2009).

Terapi Iskemia

24
Untuk menghilangkan nyeri dada dan mencegah nyeri dada
berulang, dapat diberikan terapi awal mencakup nitrat dan penyekat beta.
Terapi ini terdiri dari nitrogliserinsub lingual dan dapat dilanjutkan dengan
intravena dan penyekat beta oral. Antagonis kalsium
nondihidropiridindiberikan pada pasien dengan iskemia refrakter atau yang
tidak toleran dengan obat penyekat beta (Trisnohadi, 2009).

Nitrat
Nitrat pertama kali diberikan sublingual atau spray bukal jika pasien
mengalami nyeri dada iskemia. Jika nyeri menetap setelah diberikan nitrat
sublingual 3 kali dengan interval 5 menit, direkomendasikan pemberian
nitrogliserin intravena (mulai 5-10 ug/menit). Laju infuse dapat
ditingkatkan 10ug/menit tiap 3-5 menit sampai keluhan menghilang atau
tekanan darah sistolik < 100 mmHg. Setelah nyeri dada hilang dapat
digantikan dengan nitral oral atau dapat menggantikan nitrogliserin
intravena jika pasien sudah bebas nyeri selama 12-24 jam. Kontraindikasi
absolute adalah hipotensi atau penggunaan sildenafil dalam 24 jam
sebelumnya(Trisnohadi, 2009).
Penyekat Beta
Penyekat beta oral diberikan dengan target frekuensi jantung 50-60
kali/menit. Antagonis kalsium yang mengurangi frekuensi jantung seperti
verapamil atau diltiazem direkomendasikan pada pasien dengan nyeri dada
persisten atau rekuren setelah terapi nitrat dosis penuh dan penyekat beta
dan pada pasien dengan kontraindikasi penyekat beta. Jika nyeri dada
menetap walaupun dengan pemberian nitrogliserin intravena, morfin sulfat
dengan dosis 1-5 mg dapat diberikan tiap 5-30 menit sampai dosis total
20mg (Trisnohadi, 2009).
Terapi Antitrombotik
Oklusi thrombus sub total pada koroner mempunyai peran utama
dalam pathogenesis NSTEMI dan keduanya mulai dari agregrasi platelet
dan pembentukan thrombin-activated fibrin bertanggung jawab atas

25
perkembangan klot. Oleh karena itu terapi antiplatelet dan anti thrombin
menjadi komponen kunci dalam perawatan (Trisnohadi, 2009).

Terapi Antiplatelet
Aspirin
Peran penting aspirin adalah menghambat siklooksigenase-1 yang
telah dibuktikan dari penelitian klinis multiple dan beberapa meta-analisis,
sehingga aspirin menjadi tulang punggung dalam pelaksanaan UA atau
NSTEMI. Pasien dengan resisitensi aspirin mempunyai resiko tinggi
kejadian rekuren. Walaupun penelitian prosprektif secara acak belum
pernah dilaporkan, adalah logis untuk memberikan terapi klopidogrel,
walaupun aspirin sebaiknya juga tidak dihentikan(Trisnohadi, 2009).
Klopidogrel
Thienopyridine ini memblok reseptor adenosine diphospate P2Y12
pada permukaan platelet dan dengan demikian menginhibisi aktivasi
platelet. Penggunaanya pada UA/NSTEMI terutama berdasarkan
penelitian Clopidogrel in Unstable Angina to Prevent Recurrent Ischemic
Events (CURE) dan Clopidogrel for the Reduction of Events During
Observation (CREDO). Dilakukan randomisasi terhadap 12.562 pasien
dengan UA/NSTEMI (semuanya mendapat terapi aspirin) ditambahkan
klopidogrel (dosis awal 300 mg dilanjutkan dengan 75 mg/hari) atau
plasebo. Setelah dipantau rata-rata 9 bulan, hard end point, menuurun
secara bermkana yaitu 20. Efek bermanfaat ditemukan pada semua
kelompok, termasuk kelompok tanpa deviasi segmen ST atau pelepasan
troponin dan kelompok yang memiliki skor resiko TIMI
rendah(Trisnohadi, 2009).
Berdasarkan hasil – hasil penelitian tersebut, maka klopidogrel
dirokemendasikan sebagai obat lini pertama pa UA/NSTEMI dan
ditambahkan aspiri pada pasien UA/NSTEMI, kecuali mereka dengan resiko
tinggi perdarahan dan pasien yang memiliki CABG segera. Klopidogrel
sebaiknya digunakan pada pasien UA/NSTEMI pada pasien – pasien :

26
 Yang direncanakan untuk mendapat penekann non invasive dini
 Yang diketahui tidak merupakan kandidat operasi koroner segera
berdasarkan pengetahuan sebelumnya tentang anantomi koroner/ memiliki
kontraindikasi untu operasi
 Kateterisasi ditunda / ditangguhkan selama > 24-36 jam.

Resiko perdarahan berlebihan dapat ditoleransi pada pasien yang belum


dilakukan angiografi, dan dapat mencegah kejadian iskemia selama periode
menunggu. Pandangan ini didukung oleh pengamatan pada penelitian
CREDO bahwa terapi sebelumnya >6 hari sebelum PCI cendeung
memperkuat manfaat obatnya dan kombinasi klopidogrel dan inhibitor GP
IIb/IIIa tampaknya menambah manfaat tanpa meningkatkan resiko
perdarahan(Trisnohadi, 2009).

Antagonis GP IIb/IIIa
Antagonis GP IIb/IIIa terbukti kuat mengurangi insidensi kematian
pad pasien UA/NSTEMI yang menjalani PCI dan penggunaanya pada
keadaan ini diindikasikan dengan jelas. Guideline ACC/AHA menetapkan
pasien-pasien resiko tinggi terutama pasien dengan troponin-positif yang
menjalani angiografi, mungkin sebaiknya mendapatkan antagonis IIb/IIIa.
Pada penelitian GUSTO-IV ACS, abciximab tidak diindikasikan kepada
pasien yang tidak dalam rencana PCI. Tak ada satupun antagonis ini terlihat
efektif atau diindikasikan secara rutin untuk penatalaksanaan pasien resiko
rendah, pasien-pasien dengan troponin-negatif yang tidak menjalani
angiografi dini.
Berdasarkan pengamatan pada penelitian PCI-CURE dan CREDO,
klopidegrol tidak terlihat menambah resiko perdarahan terhadap antagonis
GP IIb/IIIa tampaknya perlu ditambahkan dan terapi p;atelet tripel (aspirin,
klopidogrel, dan antagonis IIa/IIIb) diindikasikan pada pasien resiko tinggi
yang direncanakan untuk menjalani PCI dan tidak mempunyai resiko
perdarahan berlebihan(Trisnohadi, 2009).

27
TERAPI ANTIKOAGULAN

UFH (Unfaractionated Heparin)


Manfaat UFH jika ditambah aspirin telah dibuktikan dalam tujuh
penelitian acak dan kombinasi UFH dan aspirin telah digunakan dalam
tatalaksana UA/NSTEMI untuk lebih dari 15 tahun. Namun demikian
terdapat banyak kerugian UFH, termasuk di dalamnya ikatan yang non-
spesifik dan menyebabkan inaktivasi platelet, endotel vascular, fibrin,
platelet factor 4 dan sejumlah protein sirkulasi. Produksi antibody
antiheparin mungkin berhubungan dengan heparin-induced
thrombocytopenia. Ikatan ini menimbulkan efek antikoagulan yang tak
menentu, memerlukan monitor lebih sering terhadap activated partial
thromboplastin time (aPTT ), pengaturan dosis dan membutuhkn infus
intravena kontinu (Trisnohadi, 2009).

LMWH (Low Molecular Weight Heparin)


LMWH adalah inhibitor utama pada sirkulasi trombin dan juga
pada factor Xa sehingga obat ini tidak hanya mempengaruhi kinerja
trombin dalam sirkulasi tapi juga mengurangi pembenukan trombin.
Keuntungan lainnya ialah absorbsi yang cepat dn dapat diprediksi setelah
pemberian subcutan. Karena ditemukan kesulitan dalam menentukan level
antikoagulan, maka perlu dipikirkan dosis LMWH yang sesuai untuk
paien-pasien yang menjalani PCI dan kemanan LMWH pada pasien yang
mendapat terapi inhibitor GP IIb/IIIa. (Trisnohadi, 2009).

2.2.8. Prognosis
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca infark
miokardium. Pertama menggunakan klasifikasi Killip berdasarkan
pemeriksaan fisis bedside sederhana; S3 gallop, kongesti paru dan syok
kardiogenik(Trisnohadi, 2009).
Tabel 2.5 Klasifikasi Killip (Trisnohadi, 2009)

28
Klas Definisi Mortalitas (%)
I Tak ada tanda gagal jantung kongestif 6
II + S3 dan/atau ronki basah 17
III Edema paru 30-40
IV Syok kardiogenik 60-80

29
BAB III
LAPORAN KASUS

Identitas pasien
Nama : Ny.SR
Umur : 45 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : kilo 26 Samboja
Agama : Islam
Suku : Jawa
Tanggal masuk : 11 Januari 2016
RM : 2016.130393

3.1 Anamnesis
Keluhan Utama : Nyeri dada kiri
Keluhan penyerta : Nyeri ulu hati.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh nyeri dada sebelah kiri 4 jam sebelum masuk rumah
sakit. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk, tembus ke belakang, dan menjalar
ke lengan kiri. Nyeri dada muncul saat beristirahat maupun saat beraktivitas.
Nyeri terasa terus menerus setiap waktu. Nyeri dada makin lama makin terasa
berat. Nyeri terasa dibarengi rasa panas di dada.Nyeri dada seperti ini sering
hilang timbul sejak 6 tahun SMRS. Pasien merasa sesak napas. Dada terasa
berdebar-debar.

Pasien juga mengeluh nyeri ulu hati. Nyeri ulu hati terasa bersamaan
dengan nyeri dada. Nyeri ulu hati terasa seperti ditusuk-tusuk namun tidak
menjalar. Nyeri ulu hati terasa memberat setelah makan. Nyeri terasa terus
menerus dan makin lama dirasa makin berat.

30
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat Hipertensi sejak 18 tahun yang lalu.
- Riwayat Penyakit Jantung Koroner sejak 6 tahun yang lalu.
- Riwayat Diabetes Melitus (baru saja diketahui)
- Gout Artritis sejak 1 tahun yang lalu.

Riwayat Obat
- Pertama kali kena PJK obat yang dikonsumsi adalah Bisoprolol dan
Isosobid dinitrat.
- Obat rutin untuk DM yang diderita: Metformin x500 mg
- Obat rutin gaout arthritis Meloxicam 2x15 mg dan Allupurinol 2x100 mg.

Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat Hipertensi, Diabetes Mellitus, dan Penyakit Jantung Koroner
disangkal.

Riwayat Kebiasaan dan Psikososial


- Riwayat merokok (-).
- Riwayat alcohol (-).
- Pasien jarang berolahraga.
- Pekerjaan: IRT + penjual makanan.
- Riwayat gizi: Pola makan pasien baik 3 kali sehari
dengan komposisi nasi, sayur, dan lauk pauk; memenuhi
komposisi gizi seimbang. Pasien mengaku suka mengonsumsi
gorengan, jeroan, dan minuman manis berperisa sejak muda,
namun semenjak sakit kebiasaan mengonsumsi makanan dan
minuman ini dikurangi.

3.2 Pemeriksaan fisik


- Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

31
- Kesadaran : Compos mentis
- Tekanan Darah : 140/100 mmHg
- Nadi : 66x/menit
- Pernafasan : 20x/menit
- Suhu : 36,3 oC
- Keadaan Gizi : BB = 85 kg, TB = 156 cm

Indeks Massa Tubuh (IMT): BB (kg) : TB (m)2


= 80 = 32,87 (Obesitas grade II)
1,562

Tabel 3.1 Kategori IMT pada Ras Asia Dewasa


Kategori IMT Pengertian Keterangan
< 18,5 Berat Badan Kurang Kurus
18,5-22,9 Berat Badan Normal Normal
≥ 23 Berat Badan Lebih
23-24,9 Gemuk
25-29,9 Obesitas I
≥ 30 Obesitas II

Kepala/leher
 Umum
Ekspresi : sakit sedang
Rambut : tidak ada kelainan
Kulit muka : tidak terlihat kuning dan tidak pucat
 Mata
Palpebra : edema (-/-)
Konjungtiva : anemis (-)
Sclera : ikterus (-)
Pupil : isokor diameter 3mm/3mm, refleks cahaya (+/+)
 Hidung
Septum deviasi (-)

32
Sekret (-)
Nafas cuping hidung (-)
 Telinga
Bentuk : normal
Lubang telinga : normal, sekret (-)
Proc. Mastoideus : nyeri (-/-)
Pendengaran : normal
 Mulut
Nafas : fetor hepatikum (-)
Bibir : pucat (-), sianosis (-)
Gusi : perdarahan (-)
Mukosa : hiperemis (-), pigmentasi (-)
Lidah : makroglosia (-), mikroglosia (-)
Faring : hiperemis (-)
 Leher
Umum : simetris, tumor (-)
Kelenjar limfe : membesar (-)
Trakea : di tengah, deviasi (-)
Tiroid : membesar (-)
Distensi vena jugular (-)

Thorax
Umum
Bentuk dan pergerakan dada simetris
Ruang interkostalis (ICS) tidak tampak jelas
Retraksi (-)

Pulmo:
Inspeksi : bentuk simetris, gerakan simetris, retraksi ICS (-)
Palpasi : fremitus raba dekstra = sinistra
Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru

33
Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor:
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : Kanan : ICS III parasternal dekstra
Kiri : ICS V midclavicular sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen:
Inspeksi : Bentuk cembung, kulit normal
Palpasi : Soefl, Nyeri tekan (-), massa (-), hepar/lien/ginjal tidak teraba,
defans muscular (-)
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-), Asites (-)
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal

Ekstremitas:
 Superior
- Ekstremitas hangat
- Edema (-)
- Eritematosa (-)
- Sianosis (-)
- Clubbing finger (-)
- Palmar eritema (-)
- Kekuatan otot : Kanan = Kiri (5=5)
 Inferior
- Ekstremitas hangat
- Edema tungkai (+)
- Sianosis (-)
- Kekuatan otot : Kanan = Kiri (5=5)
- Tes nyeri dan sensorik halus (+)

Hasil laboratorium
Darah Lengkap (11 Januari 2016)

34
- Leukosit : 11.400/µl
- Hemoglobin : 13,2 gr/dl
- Hematokrit : 39%
- Mean Cospuscular Volume: 84,7 fl
- Mean Cospuscular Hemoglobin: 28,7 pg
- Mean Cospuscular Hemoglobin Concentration: 33,9 g/dl
- Trombosit : 282.000/ µl
Kimia Darah (12 Januari 2016)
- Glukosa Darah Sewaktu : 158 mg/dl
- Ureum : 33,0 mg/dl
- Kreatinin : 0,8 mg/dl

Elektrolit Darah (12 Januari 2016)


- Natrium : 142 mmol/L
- Kalium : 3,9 mmol/L
- Chloride : 108 mmol/L

35
Elektrokardiografi

36
37
38
Interpretasi EKG:
-Heart rate = 1500/kotak kecil
= 1500/20
= 75 kali/menit
- Irama Sinus, Reguler
- Aksis Normal
- Gelombang P normal (tinggi 1 kotak kecil, lebar 2 kotak kecil)
- Interval PR normal (4 kotak kecil)
- Gelombang Q normal ( lebar <1 kotak kecil, dalamnya <2 kotak kecil)
- Gelombang R normal (tingginya <27 kotak kecil)
- Gelombang S normal (tidak ada di v6)
- Komplek QRS abnormal pada lead I, II, avR, dan V6 , nampak melebar
lebih dari 0,1 detik.
- Segmen ST normal (isoelektrik)
- Gelombang T normal

39
- Interval QT normal (8 kotak kecil atau kurang dari ½ interval R-R)
Kesimpulan: Ventrikular ekstrasistol

3.3 Diagnosis Kerja Sementara


Coronary Artery Disease (CAD) + Syn.Dispepsia Tipe Ulkus

3.4 Penatalaksanaan
Isosorbid dinitrat 3x5 mg
Telmisartan 1x80 mg
Bisoprolol 1x2,5 mg
Aspirin 1x80 mg
Furosemid 40 mg 1-1-0
Ranitidin 2x150 mg
Sukralfat 3 x CI
3.5 Prognosa
Vitam : Dubia ad bonam
Functionam : Dubia ad bonam

40
FOLLOW UP HARIAN

Tanggal S O A P
11 Nyeri dada TD: 140/80 mmHg CAD - Telmisa
Januari menjalar ke kiri N 66x/i rtan 1x 80
2016 (+) Sesak (+), RR 18x/i mg
Ane (-|-), ikt (-|-) whz (-|-), - Bisopro
rho (-|-), s1s2 tunggal lol 1x2,5 mg
regular, abdomen BU (+)N, - Isosorb
NT (-), edema ekstremitas id Dinitrat
sup (-|-). Inf (-|-). 3x5 mg
- Aspirin
1x80 mg
12 Nyeri dada (+), TD: 140/90 mmHg CAD + - Telmisa
Januari Sesak <<, N 76x/i Syn.dispepsia rtan 1x 80
2016 Demam (+), RR 22x/i tipe ulkus mg
nyeri ulu hati (+) Ane (-|-), ikt (-|-) whz (-|-), - Bisopro
rho (-|-), s1s2 tunggal lol 1x2,5 mg
regular, abdomen BU (+)N, - Isosorb
NTE (+),edema ekstremitas id Dinitrat
sup (-|-). Inf (-|-). 3x5 mg
- Aspirin
1x80 mg
- Ranitid
in 2x150 mg
- Sukralf
at syrup 3xCI
13 Sesak napas <<, TD: 140/80 mmHg CAD + - Telmisa

41
Januari nyeri dada (+), N 72x/i Syn.dispepsia rtan 1x 80
2016 nyeri ulu hati RR 20x/i tipe ulkus mg
(+), demam (-) Ane (-|-), ikt (-|-) whz (-|-), - Bisopro
rho (-|-), s1s2 tunggal lol 1x2,5 mg
regular, abdomen BU (+)N, - Isosorb
NTE (+), edema ekstremitas id Dinitrat
sup (-|-). Inf (-|-). 3x5 mg
- Aspirin
1x80 mg
- Ranitid
in 2x150 mg
- Sukralf
at syrup 3xCI
14 Sesak <<, TD: 140/90 mmHg CAD + - Telmisa
Januari nyeri dada <<, N 60x/i Syn.dispepsia rtan 1x 80
2016 nyeri ulu hati RR 18x/i tipe ulkus mg
<< Ane (-|-), ikt (-|-) whz (-|-), - Bisopro
rho (-|-), s1s2 tunggal lol 1x2,5 mg
regular, abdomen BU (+)N, - Isosorb
NTE (+), edema ekstremitas id Dinitrat
sup (-|-). Inf (-|-). 3x5 mg
- Aspirin
1x80 mg
- Furose
mid 40 mg 1-
1-0
- Ranitid
in 2x150 mg
- Sukralf
at syrup 3xCI
15 - Sesak TD: 130/80 mmHg CAD + - Telmisa
Januari <<, nyeri dada N 76x/i Syn.dispepsia rtan 1x 80
2016 <<, nyeri ulu RR 22x/i tipe ulkus mg
hati << Ane (-|-), ikt (-|-) whz (-|-), - Bisopro

42
rho (-|-), s1s2 tunggal lol 1x2,5 mg
regular, abdomen BU (+)N, - Isosorb
NTE (+), edema ekstremitas id Dinitrat
sup (-|-). Inf (-|-). 3x5 mg
- Aspirin
1x80 mg
- Furose
mid 40 mg 1-
1-0
- Ranitid
in 2x150 mg
- Sukralf
at syrup 3xCI
16 - Sesak TD: 120/80 mmHg CAD + - Telmisa
Januari <<, nyeri dada N 60 x/i Syn.dispepsia rtan 1x 80
2016 <<, nyeri ulu RR 16 x/i tipe ulkus mg
hati << Ane (-|-), ikt (-|-) whz (-|-), - Bisopro
rho (-|-), s1s2 tunggal lol 1x2,5 mg
regular, abdomen BU (+)N, - Isosorb
NTE (-),edema ekstremitas id Dinitrat
sup (-|-). Inf (-|-). 3x5 mg
- Aspirin
1x80 mg
- Furose
mid 40 mg 1-
1-0
- Ranitid
in 2x150 mg
- Sukralf
at syrup 3xCI

43
BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, Pasien Ny.SR umur 45


tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat RSU AWS Samarinda pada 4 September
2014 dengan keluhan nyeri dada kiri dan sesak. Diagnosis masuk dan diagnosis
kerja pasien ini adalah Coronary Artery Disease. Diagnosa ini ditegakkan
berdasarkan hasil dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium.

Tabel 4.1 Perbandingan Teori dan Kasus dari Anamnesis

Teori Kasus
 Laki-laki > wanita  Wanita
 Usia >40 tahun  Usia 49 tahun, pertama
kemungkinan CAD 49% kali keluhan saat usia 43
untuk pria dan 32% untuk tahun
wanita.  Memiliki riwayat
 Faktor risiko hipertensi sejak 18
 Merokok tahun yang lalu.
 Dislipidemia  Memiliki riwayat
 Hipertensi Diabetes Mellitus, baru
 Diabetes Mellitus saja diketahui.
 Faktor predisposisi  Pasien mengaku sangat
 Kurang aktivitas fisik jarang pernah
 Riwayat Keluarga berolahraga.
memiliki penyakit  Pasien mengalami
jantung keluhan nyeri dada
 Nyeri dada menjalar ke dirasakan seperti
lengan kiri, leher, rahang, ditusuk-tusuk, tembus
punggung, dan bagian jari- ke belakang, dan
jari ulnar. menjalar ke lengan kiri.

Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien merupakan wanita berusia 49


tahun dan pertama kali mengalami nyeri dada seperti ditusuk di bagian dada kiri
sejak 6 tahun yang lalu yaitu saat pasien berusia 43 tahun.

44
Berdasarkan literatur, manifestasi klinis utama Coronary Artery Disease
adalah nyeri pada dada kiri, yang sering tampak pada usia dia atas 40 tahun dan
lebih banyak mengenai pada laki-laki dibandingkan perempuan. Nyeri dada pada
pasien ini juga berlangsung selama pasien beristirahat dan tidak dipicu oleh
aktivitas fisik, nyeri makin lavma dirasakan makin berat dan makin lama.

Pemeriksaan fisik lainnya dari kepala tidak diapati adanya kelainan dari
inspeksi dan palpasi. Pasien mengaku awalnya datang dengan keluhan nyeri pada
dada kiri seperti ditusuk-tusuk menjalar ke lengan kiri dan dan menebus ke
punggung. Pada fase awal nyeri muncul hanya pada saat beraktivitas saja, namun
kini makin lama nyeri dada dirasa makin memberat dan juga muncul saat pasien
kerap beristirahat.Nyeri dada berlangsung lama (lebih dari 30 menit) tidak
membaik dengan istirahat. Nyeri tidak dipengaruhi posisi pasien atau respirasi,
Pasien lebih suka berbaring saat nyeri dada berlangsung.

Tabel 4.2 Perbandingan Teori dan Kasus dari Pemeriksaan Fisik


Teori Kasus
o Levine’s sign o Pasien nampak cemas, gelisah,
o Kulit dingin dan pucat ekstremitasnya pucat, keringat
o Tekanan darah bisa normal tetapi dingin, dan meletakkan tangan
bisa juga didapatkan sinus diatas sternum (Levine’s sign)
takikardi dan/atau hipertensi selama pemeriksaan.
maupun bradikardi dan/atau o Tekanan darah pasien tergolong
hipotensi. hipertensi grade II
o Suhu meninngkat 380C setelah o Suhu badan pasien normal
serangan (36,3oC) , namun pemeriksaan
o Palpasi dinding dada didapatkan suhu badan tidak dilakukan saat
pulsasi presistolik (pada STEMI). baru selesai serangan.
o Suara jantung 3 atau 4 o Pada auskultasi suara jantung
o Basilar rates didapatkan suara jantung 1 dan 2
tunggal regular.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan melalui inspeksi pasien nampak cemas,


gelisah, ekstremitas pucat, keringat dingin, dan salah satu tanda yang khas yakni
pasien meltakkan tangannya di atas sternum, tanda ini disebut sebagai Levines
sign yang biasanya muncul pada Coronary Artery Disease pada fase akut seperti

45
pada infark miokardium. Pada pasien ini didapati bahwa tekanan darahnya di atas
nilai normal yakni 140/100 dan memenuhi kategori hipertensi stage II.
Pemeriksaan tanda-tanda vital lainnya dalam batas normal, salah satunya suhu
(36,3oC).

Pada pasien CAD terkadang terjadi peningkatan tekanan darah yang


memang merupakan faktor risiko dari penyakit ini. Bila seseorang menderita
hipertensi, lapisan dari dinding pembuluh darah menebal sebagai usaha untuk
melakukan kompensasi terhadap tekanan darah yang tinggi, hal ini menyebabkan
penyempitan lumen untuk aliran darah yang mengalir di dalam arteri dengan
tekanan yang meningkat. Pada penelitian Framingham, individu dengan tekanan
darah yang tinggi memiliki risiko 2-3 kali lebih besar untuk timbulnya penyakit
jantung dibandingkan pada pada individu dengan tekanan darah normal. Hal ini
sesuai karena pasien ini memiliki riwayat hipertensi sejak 18 tahun yang lalu.

Tabel 4.3 Perbandingan Teori dan Kasus dari segi Pemeriksaan Penunjang
Teori Kasus
o Pemeriksaan laboratorium : LDL, o Pemeriksaan laboratorium yang
HDL, trigliserida, serum dilakukan:
kreatinin, dan pemeriksaan gula - Ureum: 33,0 mg/dl (10-40)
darah perlu dilakukan - Creatinin : 0,8 mg/dl (0,5-1,5)
o Elektrokardiografi :normal pada - Glukosa sewaktu: 158 mg/dl
angina pectoris tidak stabil dan (60-150)
NSTEMI, sedangkan pada - Natrium : 142 mmol/L (135-
STEMI didapatkan elevasi dari 155)
ST segmen. - Kalium: 3,9 mmol/L (3,6-5,5)
o Treadmill test : gelombang Q, - Chloride: 108 mmol/L (95-
segmen ST, dan gelombang T 108)
abnormal. o Elektrokardiografi
o Foto thorax: mencari apakah ada - Hasil EKG dalam batas
pembesaran jantung, kalsifikasi normal
koroner atau katup jantung. o Belum dilakukan pemeriksaan
o Ekokardiografi treadmill test.
o Angiografi o Belum dilakukan pemeriksaan
o Biomarker kerusakan jantung foto thorax
(CKMB dan troponin) o Belum dilakukan pemeriksaan
peningkatan nilai enzim 2 kali di ekokardiografi
atas nilai normal menunjukkan o Belum dilakukan pemeriksaan
adanya lerusakan miokardium. angiografi

46
o Belum dilakukan pemeriksaan
biomarker jantung.
Hasil pemeriksaan penunjang pada pasien ini dari pemeriksaan
laboratorium menunjukkan hasil gula darah dalam batas normal yakni 158 mg/dL.
Pasien memiliki riwayat Diabetes Mellitus baru-baru saja, dan telah mengonsumsi
Metformin 3x500 mg. Diabetes Mellitus memiliki kaitan dengan CAD sebagai
faktor risiko utama dari penyakit ini.

Pemeriksaan selanjutnya yang dilakukan pada pasienini adalah


elektrokardiografi. Elektrokardiografi dilakukan satu kali pada saat pasien baru
MRS. Hasil elektrokardiografi secara khas menunjukkan kompleks QRS lebar,
dan dapat muncul dalam segala bentuk. Ventrikular ekstrasistol lazim terjadi dan
biasanya tidak penting. Namun bila terjadi pada gelombang T denyut sebelumnya,
ventrikel ekstrasistol dapat merangsang terjadinya fibrilasi ventrikel. Pada CAD
kelainan EKG 12 sadapan yang khas adalah perubahan ST-T yang sesuai dengan
iskemia miokardium. APTS / NSTEMI didefinisikan oleh EKG sebagai depresi
segmen ST atau inversi gelombang T yang jelas dan atau biomarker nekrosis
(misal, troponin) yang positif pada saat tidak ditemukan elevasi segmen ST dan
pada keadaan klinis tertentu (rasa tidak nyaman di dada atau angina equivalent).
STEMI didefinisikan oleh European Society of Cardiology / ACCF /AHA / World
Heart Federation sebagai ST elevasi baru pada J Point setidaknya pada 2 sadapan
≥ 2 mm (0,2 mV) pada pria atau ≥ 1,5 mm (0.15mV) pada wanita di lead V2-V3
dan / atau ≥ 1 mm (0,1 mV) di sadapan yang lain.

Pemeriksaan treadmill test belum dilakukan pada pasien ini. Pemeriksaan


treadmill test digunakan untuk pasien yang telah stabil dengan terapi
medikamentosa dan menunjukkan tanda risiko tinggi. Interpretasi hasil tes ini
didasarkan antara lain pada: gelombang Q yang abnormal, segmen S-T yang
abnormal dan gelombang T abnormal. Dari interpretasi tersebut disimpulkan
adanya negatif/positif respons.

Pemeriksaan foto thorax belum dilakukan. Pemeriksaan ini digunakan


untuk menilai ukuran jantung pasien dan kalsifikasi koroner atau katup jantung,

47
juga tanda-tanda lain seperti gagal jantung, penyakit jantung katup, perikarditis,
aneurisma dissekan, dekompensasi kordis dengan atau tanpa oedem pulmonal.

Pemeriksaan ekokardiografi belum dilakukan. Pemeriksaan ini dapat


digunakan untuk menentukan luasnya iskemia saat nyeri dada berlangsung.
Pemeriksaan ini bermanfaat untuk melihat adanya gangguan faal ventrikel kiri,
insufisiensi mitral, fungsi miokardium segmental dan abnormalitas gerakan
dinding regional jantung.

Pemeriksaan angiografi belum dilakukan. Angiografi dilakukan pada


pasien AP stabil kronik yang gejalanya masih timbul meskipun sudah dilakukan
terapi medis dan sedang dipertimbangkan untuk revaskularisasi yakni
percutaneous coronary intervention (PCI) atau coronary artery bypass grafting
(CABG), pasien dengan gejala yang tidak jelas sehingga kesulitan untuk
menegakkan dan menyingkirkan diagnosa PJK, pasien angina pektoris yang
selamat dari cardiac arrest, bukti iskemia pada pasien angina berdasarkan
pemeriksaan non invasif atau hasil laboratorium yang menandakan disfungsi
ventrikel dan pasien yang dinilai memiliki risiko tinggi.

Belum dilakukan pemeriksaan biomarker jantung. Biomarker yang sering


digunakan dalam praktek klinik yaitu troponin dan CKMB. Peningkatan nilai
enzim di atas 2 kali nilai normal menunjukkan nekrosis miokardium. Creatine
Phospokinase (CK) meningkat dalam 4-8 jam, mencapai dalam 10-24 jam dan
kembali normal dalam 48-72 jam. CK kurang spesifik untuk IMA karena dapat
meningkat juga pada trauma otot skeletal. Isoenzim MB dari CK (CKMB) lebih
bernilai diagnostic daripada total CK karena CKMB tidak ditemukan dalam
konsentrasi yang signifikan pada jaringan di luar jantung sehingga lebih spesifik
untuk penanda kerusakan jantung. Cardiac- specific troponin I (cTnI) dapat
meningkat 20 kali lebih tinggi setelah IMA. Konsentrasi troponin ini meningkat
setelah 2 jam IMA dan mencapai puncak dalam 10-24 jam. cTnI tetap bertahan
selama 7-10 hari setelah IMA, dan cTnT selama 10-14 hari.

48
Tabel 4.4 Perbandingan Teori dan Kasus tentang Penatalaksanaan

Teori Kasus
Anti Iskemia o Isosorbid dinitrat 3x5 mg
o Nitrat o Bisoprolol 1x2,5 mg
o Penyekat beta o Telmisartan 1x80 mg
o Antagonis Calcium o Aspirin 1x80 mg
Terapi Antitrombolitik o Furosemid 40 mg 1-1-0
o Aspirin
o Klopidogrel

Pemberian Isosorbid dinitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh


vena dan arteriol perifer, dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga
dapat mengurangi wall stress dan kebutuhan oksigen. Isosorbid dinitrat juga
menambah suplai oksigen dengan vasodilatasi pembuluh koroner dan
memperbaiki alian darah kolateral.
Penyekat beta yang digunakan dalam kasus ini adalah Bisoprolol.
Penyekat beta dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek
penurunan denyut jantung dan daya kontraksi miokardium.Semua pasien dengan
angina tak stabil harus diberi penyekat beta kecuali ada kontraindikasi.
Antagonis kalsium tidak diberikan pada kasus ini. Antagonis kalsium
bekerja melalui mekanisme vasodilatasi koroner dan menurunkan tekanan
darah.Antagonis kalsium tidak diberikan pada kasus ini karena dengan penyekat
betasudah cukup mengurangi keluhan.
Aspirin merupakan golongan Non Steroid Anti Inflammatory Drugs
bekerja dengan menghambat ensim siklooksigenase sehingga pembentukan
tromboksan terhambat. Penghambatan ini mencegah terjadinya pembukan darah.
Terapi tambahan pada pasien ini adalah telmisartan dan furosemid.
Telmisartan merupakan golongan angiotensin reseptor blocker yang diberikan
pada pasien ini. Obat ini bekerja sebagai antogonis pada reseptor angiotensin 2
sehingga menyebabkan dilatasi pembuluh darah perifer. Obat kedua yakni
furosemid merupakan loop diuretik yang membantu ekskresi natium, klorida, dan
kalium dengan aksi langsung pada ascending limb loop of henle. Pemberian kedua
obat ini efektif membantu menurunkan tekanan darah pada pasien ini.

49
BAB V
KESIMPULAN

1. CAD merupakan penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah koroner


sehingga aliran darah yang menyuplai oksigen ke otot jantung terhambat.
2. CAD diawali oleh ateroslerosis akibat kerusakan dinding sel endotel dan
penumpukan kolesterol dalam jumlah besar yang bersirkulasi dalam
pembuluh darah.
3. Faktor risiko CAD dibagi menjadi faktor yang dapat dikendalikan
(modifiable risk factor) dan yang tidak dapat dikendalikan (non modifiable
risk factor). Faktor yang tidak dapat dikendalikan antara lain keturunan,
usia, dan jenis kelamin. Sedangkan faktor yang dapat dikendalikan antara
lain, tekanan darah tinggi, merokok, dislipidemia, diabetes melitus,
obesitas, stres dsb
4. Manifestasi klinis yang muncul pada CAD ialah angina pektoris stabil,
angina prinzmetal, dan Sindroma Koroner Akut (Angina Pektoris Tak
Stabil, Infark Miokardium Akut dengan atau tanpa ST elevasi).
5. Diagnosis CAD ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
penunjang berupa laboratorium, EKG, treadmill test, foto toraks,
ekokardiografi, angiografi, dan biomarker kerusakan jantung.

50
DAFTAR PUSTAKA

ACC/AHA. (2007). ACC/AHA 2007 Guidelines for the Management of Patients


With Unstable Angina/Non-ST Elevation Myocardial Infarction: A Report
of the American College of Cardiology/ American Heart Association Task
Force on Practice Guidelines. Circulation, 150-280.
ACCF/AHA. (2012). 2012 ACCF/AHA/ACP/AATS/PCNA/SCAI/STS Guideline
for the Diagnosis and Management of Patients With Stable Ischemic Heart
Disease. Circulation, 15-18.
ACCF/AHA. (2013). ACCF/AHA Guideline for the Management of ST-Elevation
Myocardial Infarction. Circulation, 364-425.
Antman, E. M., & Braunwald, E. (2008). ST Elevation Myocardial Infarction. In
E. Braunwald, Braunwalds Heart Disease a Text Book of Cardiovascular
Medicine Volume 2 Eight Edition (p. 1233). Philadelphia: Saunders
Elsevier.
Anwar, B. (2004). Dislipidemia sebagai Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner.
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Ashley, E. A., & Niebauer, J. (2004). Coronary Artery Disease. In E. A. Ashley, &
J. Niebauer, Cardiology Explained (p. 45). Chicago: Remedica.
Bahri, A. (2004). Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner. e-USU Repisitory
Universitas Sumatera Utara, 1-15.
Bauters, C., Lamblln, N., McFadden, E. P., Belle, E. V., Millare, A., & Groote, P.
D. (2003). Influence of Diabetes Mellitus on Heart Failure Risk and
Outcome. Cardiovascular Diabetology.
Beltrame, J. F., Rachel, D., & Tavella, R. (2012). Coronary Artery Disease -
Current Concepts in Epidemiology, Pathophyisiology, Diagnostic and
Treatment. InTech.
Cannon, C. P., & Braunwald, E. (2008). Unstable Angina and Non ST Elevation
Myocardial Infarction. In E. Braunwald, Braunwald Heart Disease a
Textbook of Cardiovascular Medicine Volume 2 Eight Edition (p. 1319).
Philadelphia: Saunders Elsevier.
Chobanian, A. V., George, B. L., Henry, B. R., William, C. C., Lee, G. A., Joseph,
I. L., & Daniel, J. W. (2003). Seventh Report of the Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High
Blood Pressure. JNC 7.
Clarkson, P., Celermajer, D., Powe, A., Donald, A., Henry, R., & Deanfield, J.
(2000). Endothelium-Dependent Dilatation is Impaired in Young Healthy
Subjects with a Family History of Premature Coronary Disease.
Circulation.
Cotran, R., Kumar, V., & Robbins, S. (2007). Buku Ajar Patologi Volume 2 Edisi
7. Jakarta: EGC.
Departemen Kesehatan R.I. (2008). Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta.
Depkes RI. (2003). Survei Kesehatan Nasional : Laporan Studi Mortalitas 2001:
Pola Penyakit Penyebab Kematian di Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan.

51
Fauci, Kasper, Braunwald, Hauser, Longo, Jameson, & Loscalzo. (2012).
Harrison's Principles of Internal Medicine 18th Edition. United States of
America: Mc Graw Hill.
Fuster, V., Walsh, R. A., & Harrington, R. A. (2011). Hurst's The Heart,
Thirteenth Edition. China: McGraw-Hill.
Goya, W., Shaper, G., & Walker, M. (2005). Overweight and Obesity and Weight
Change in Middle Aged Men: Impact on Cardiovascular Disease and
Diabetes. Epidemial Community Health.
Grech, E. (2003). In ABC of Interventional Cardiology : Pathophysiology and
Investigation of Coronary Artery Disease. (pp. 1027-1030). BMJ.
Guilliams, T. G. (2011). Menapouse- A Natural Transition. United States of
America: Point Institute.
Guyton, A., & Hall, J. (2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta:
EGC.
Hull, A. (1996). Penyakit Jantung Hipertensi dan Nutrisi, Edisi Kedua. Jakarta:
Bumi Aksara.
Jones, S. A. (2008). ECG Success : Exercises in ECG Presentation. United States
of America: F.A Davis Company.
Kumar, V., Robbins, S. L., & Cotran, R. S. (2010). Buku Ajar Patologi. Jakarta:
EGC.
Laine, C., & Goldmann, D. (2007). In the Clinical Dyslipidemia. Annals of
Internal medicine.
Liu, J., Sempos, C., & Donahue, R. P. (2005). Joint Distribution of Non- HDL and
LDL Cholesterol and Coronary Heart Disease Risk Prediction Among
Individuals with and without Diabetes. USA.
Mackay, J., & Mensah, G. A. (ND). The Atlas of Heart Disease and Stroke. World
Health Organisation & US Centers for Disease Control and Prevention.
Montaya, M., Baquerd, D., & Backer, G. (2002). Overweight and Obesity: a
Major Challenge for Coronary Heart Disease Secondary Prevention in
Clinical Practice in Europe. European Heart Journal.
Moore, K. L., Dalley, A. F., & Agur, A. M. (2010). Clinically Oriented Anatomy .
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Morrow, D. A., & Gersh, B. J. (2008). Stable Ischemic Heart Disease. In E.
Braunwald, Braunwald Heartd Disease a Textbook of Cardiovascular
Medicine Volume 2 Eight Edition (p. 1383). Philadelphia: Saunders
Elsevier.
Mughni, A. (2007). Pengaruh Puasa Ramadan terhadap Faktor-Faktor Risiko
Atreosklerosis. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
National Heart, Lung and Blood Institute. (2002). Third Report of the National
Cholesterol Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel
III): Final Report.
Phibbs, B. (2007). Human Heart, The: A Basic Guide to Heart Disease, 2nd
edition. Lippincott Williams & Wilkins.

52
Roger, V. L., S, A., Donald, M., Lloyd-Jones, Robert, A. J., Jarett, B. D., & Todd,
B. M. (2011). Heart Disease and Stroke Statistics-2011 Update: A Report
from the American Heart Association. Dallas: American heart association.
Snell, R. (2006). Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta:
EGC.
StaryHC, Chandler, B., & Glagov, S. (1995). A Definition of Initial, Fatty Streak,
and Intermediate Lesions of Atherosclerosis. A Report from the Committee
on Vascular Lesions of the Council on Arteriosclerosis. American Heart
Association. Circulation.
Tolonen, H., Wolf, H., Jakovljevic, D., & Kuulasmaa, K. (2002). Review of
Surveys for Risk Factor of Major Chronic Disease and Comparability of
the Results. European Health Risk Monitoring.
Trisnohadi, H. (2009). Angina Pektoris Tak Stabil. In Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam (pp. 1737-1739). Jakarta: Interna Publishing.
WHO. (2000). Air Quality Guidelines for Europe: Volume 5 - Indoor. WHO
Regional Office for Europe, Copenhagen, Denmark.
WHO. (2008). The Globel Burden Disease. Switzerland: World Health
Organisation.

53

Anda mungkin juga menyukai