Anda di halaman 1dari 93

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Angka Kematian Bayi (AKB) adalah jumlah kematian bayi dalam usia 28 hari

pertama kehidupan per 1000 kelahiran hidup. Angka kematian bayi merupakan

salah satu indikator yang sangat penting untuk mengukur keberhasilan berbagai

program kesehatan ibu dan anak sebab angka kematian bayi ini berkaitan erat

dengan tingkat kesehatan anak. Tingginya kematian bayi menunjukkan masih

rendahnya kualitas sektor kesehatan di negara tersebut.(1)

Angka Kematian Bayi (AKB) menurut World Health Organization (WHO)

tahun 2015 AKB di dunia 34 per 1.000 kelahiran hidup.(2) Angka kematian bayi di

Negara ASEAN (Association of South East Asia Nations) seperti Singapura 3 per

1000 kelahiran hidup, Thailand 17 per 1000 kelahiran hidup, Malaysia 5,5 per 1000

kelahiran hidup, Vietnam 18 per 1000 kelahiran hidup dan Indonesia 27 per 1000

kelahiran hidup. Angka kematian bayi di Indonesia masih tinggi dari Negara

ASEAN lainnya, jika dibandingkan dengan target dari MDGs (Millenium

Development Goals) tahun 23 per 1000 kelahiran hidup.(1)

Provinsi NTT adalah salah satu provinsi di Indonesia dengan angka kematian

neonatus yang cukup tinggi yaitu 26 per 1000 kelahiran hidup angka ini sedikit

lebih tinggi jika dibandingkan dengan nasional yaitu 20 per 1000 kelahiran hidup.(3)

Hal ini menjadi tantangan yang berat baik bagi pemerintah daerah maupun semua

instansi terkait di NTT dalam upaya menurunkan angka kematian bayi dan

kesejahteraan penduduk di masa yang akan datang.(4)


2

Sekitar 98% dari 5 juta kematian neonatal terjadi di negara berkembang.

Penyebab kematian bayi baru lahir 0-6 hari di Indonesia adalah gangguan

pernapasan 36,9%, prematuritas 32,4%, sepsis 12%, hipotermi 6,8%, kelainan

darah/ikterus 6,6% dan lain-lain. Penyebab kematian bayi 7-28 hari adalah sepsis

20,5%, kelainan kongenital 18,1%, pneumonia 15,4%, prematuritas dan bayi berat

lahir rendah (BBLR) 12,8%, dan respiratory distress syndrome (RDS) 12,8%.(1)

Berdasarkan penjelasan tersebut diketahui bahwa kematian bayi paling

banyak terjadi karena gangguan pernapasan. Gangguan pada sistem pernapasan

dapat mengakibatkan terjadinya kekurangan oksigen (hipoksia) pada tubuh, oleh

karena itu diberikan terapi oksigen pada bayi untuk mengoptimalkan oksigenasi

jaringan untuk memfasilitasi terjadinya metabolisme aerob jaringan,

mempertahankan PaO2> 40 mmHg atau SaO2> 88 % sehingga dapat mencegah dan

mengatasi hipoksemia / hipoksia serta mempertahankan oksigenasi jaringan yang

adekuat , mengurangi kerja otot pernapasan terhadap hipoksemia serta kerja otot –

otot tambahan pernapasan dan menurunkan beban kerja miokardium dimana

jantung berusaha mengatasi gangguan distribusi oksigen melalui peningkatan

peningkatan laju pompa jantung yang adekuat.(5)

Terapi oksigen pada neonatus telah lama digunakan dalam dunia kesehatan,

beberapa penelitian masih menunjukkan hasil prognosis yang kontroversial antara

neonatus yang mendapat terapi oksigen dan yang tidak. Hal yang kontroversial

adalah apabila pemberian oksigen secara berlebihandapat memberikan dampak

toksisitas terhadap tubuh bayi baru lahir, terutama bayi prematur.Sejalan dengan

penelitian Lofaso,dkk dari Hospital Raymond Poincare, Garches, Prancis


3

melaporkan penelitian hewan coba pada bayi-bayi tikus yang lahir prematur dan

dibantu dengan terapi oksigen. Keadaan hiperoksia justru meningkatkan

kemungkinan terjadinya apnea, bila keadaan ini terjadi pada bayi manusia yang

baru lahir, akan memperbesar risiko meninggal.(6)

Mengingat manfaat terapi oksigen dalam meringankan gejala dan beban

kardiorespirasi dalam keadaan akut sehingga perlunya pemahaman yang baik akan

target terapi, cara dan teknik pemberian, serta bagaimana evaluasi dan pemantauan

yang benar. Keadaan hiperoksia pada neonatus sering menyebabkan stres oksidatif

yang merupakan suatu keadaan yang terjadi karena adanya ketidakseimbangan

antara produksi radikal bebas dengan sistem pertahanan antioksidan di dalam tubuh.

Stres Oksidatif menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid membran dan sitosol

yang mengakibatkan terjadinya kerusakan membran dan organel sel.(7) Peristiwa ini

mengakibatkan dilepaskannya Malondialdehide (MDA) yang dapat menyebabkan

kerusakan sel. Mediator MDA digunakan sebagai biomarker biologis peroksidasi

lipid dan dapat menggambarkan derajat stres oksidatif.(8)

Beberapa peneliti telah meneliti hubungan antara kadar MDA dengan stres

oksidatif. Penelitian Rahardjani, dkk mengenai hubungan antara kadar MDA

dengan Hasil Luaran Sepsis Neonatorum didapatkan kesimpulan bahwa terdapat

hubungan antara kadar MDA serum dengan hasil luaran sepsis neonatorum.(8)

Vento meneliti kadar antioksidan pada bayi yang mendapatkan resusitasi dengan

udara biasa (21%) dibandingkan dengan bayi yang mendapat oksigen 100%,

didapatkan hasil sampai pada hari ke-28 perawatan kenaikan antioksidan tidak

dapat mengatasi terjadinya stres oksidatif.(9)


4

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

dengan judul “Kadar Malondialdehide (MDA) pada Neonatus yang Mendapat

Terapi Oksigen dan Neonatus yang Tidak Mendapat Terapi Oksigen di NICU

(Neonatal Intensive Care Unit)/NHCU (Neonatal High Care Unit) RSUD Prof.Dr.

W.Z. Johannes Kupang”. Pemeriksaan kadar MDA pada penelitian ini diukur

menggunakan metode TBARS (Thibarbituric Acid Reactive Substance) dengan

ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay).

1.2 Rumusan Masalah


Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah:

“Adakah perbedaan kadar MDA pada neonatus yang mendapatkan terapi

oksigen dan yang tidak mendapatkan terapi oksigen?”

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.3.1 Tujuan Umum


Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

perbedaan kadar MDA pada neonatus yang mendapat terapi oksigen dan

neonatus yang tidak mendapat terapi oksigen.

1.3.2 Tujuan Khusus


Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah

a. Untuk mengetahui kadar MDA pada neonatus yang mendapatkan terapi

oksigen

b. Untuk mengetahui kadar MDA pada neonatus yang tidak mendapatkan

terapi oksigen.
5

1.4 Manfaat Penelitian


Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.4.1 Bagi Penulis


a. Menambah pengetahuan mengenai kadar MDA neonatus yang

mendapatkan terapi oksigen dan yang tidak mendapatkan terapi

oksigen

1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan


a. Dapat dijadikan referensi penelitian berikutnya

1.4.3 Bagi Pembaca


a. Dapat dijadikan sebagai bahan bacaan untuk menambah pengetahuan

pembaca mengenai kadar MDA neonatus yang mendapatkan terapi

oksigen dan yang tidak mendapatkan terapi oksigen

1.4.4 Bagi RSUD Prof.DR.W.Z.Johannes Kupang

a. Memberikan data tentang perbedaan kadar MDA neonatus yang

mendapat terapi oksigen dan neonatus yang tidak mendapat terapi

oksigen

b. Dapat dijadikan sebagai bahan bacaan untuk menambah kepustakaan

mengenai kadar MDA neonatus yang mendapat terapi oksigen dan

neonatus yang tidak mendapat terapi oksigen

c. Memberikan informasi tentang kadar MDA neonatus yang mendapat

terapi oksigen dan neonatus yang tidak mendapat terapi oksigen

sehingga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk pemberian

terapi oksigen kepada neonatus


6

d. Dapat dijadikan pertimbangan untuk dijadikan salah satu pemeriksaan

biokimia tambahan untuk menilai keadaan stres oksidatif tubuh

1.4.5 Bagi Orang Tua Subyek Penelitian

a. Sebagai sumber informasi tentang kadar MDA didalam tubuh anak

terkait pemberian terapi oksigen

b. Memberikan informasi mengenai kadar MDA didalam tubuh, terkait

pemberian terapi oksigen sehingga dapat mengetahui pengaruh

pemberian terapi oksigen tersebut terhadap tubuh anak

c. Mendapat pemeriksaan tambahan berupa pemeriksaan biokimia

tambahan untuk menilai keadaan stres oksidatif tubuh anak


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Neonatus
2.1.1 Definisi Neonatus
Neonatus adalah bayi baru lahir yang berusia 0-28 hari. Bayi baru lahir

normal adalah bayi yang lahir dengan umur kehamilan 37 minggu sampai 42

minggu dan berat lahir 2500 gram sampai 4000 gram.(10) Bayi baru lahir

normal adalah berat lahir antara 2500 – 4000 gram, cukup bulan, lahir

langsung menangis dan tidak ada kelainan kongenital (cacat bawaan) yang

berat.(11)

2.1.2 Klasifikasi Neonatus


Bayi baru lahir atau neonatus di bagi dalam beberapa kasifikasi,

yaitu:(12)

1. Neonatus menurut masa gestasinya :

a. Kurang bulan (preterm infant) :< 259 hari (37 minggu)

b. Cukup bulan (term infant) : 259-293 hari (37-42 minggu)

c. Lebih bulan (postterm infant) :> 294 hari (42 minggu atau lebih)

2. Neonatus menurut berat badan lahir :

a. Berat Lahir Amat Sangat Rendah : <1000 gram

b. Berat Lahir Sangat Rendah : 1000 -1500 gram

c. Berat Lahir rendah : < 2500 gram tanpa memandang masa gestasi

d. Berat Lahir cukup : 2500-4000 gram

e. Berat Lahir lebih : > 4000 gram


8

3. Neonatus menurut berat lahir terhadap masa gestasi (masa gestasi dan

ukuran berat lahir yang sesuai untuk masa kehamilan) : (12)

a. Bayi kecil untuk masa kehamilan disebut juga “Small for

gestational age/SGA” yaitu bayi dilahirkan dengan berat (<10

persentil) dari usia masa gestasi menurut grafik Lubchenco

b. Bayi besar untuk masa kehamilan disebut juga “Large for

gestational age/LGA” yaitu bayi dilahirkan dengan berat (>10

persentil) dari usia masa gestasi menurut grafik Lubchenco

2.1.3 Ciri – Ciri Neonatus


Bayi baru lahir normal mempunyai ciri-ciri berat badan lahir 2500-4000

gram, umur kehamilan 37-40 minggu, bayi segera menangis, bergerak aktif,

kulit kemerahan, menghisap air susu ibu (ASI) dengan baik dan tidak ada

cacat bawaan.(13)

Bayi baru lahir normal memiliki panjang badan 48-52 cm, lingkar dada

30-38 cm, lingkar lengan 11-12 cm, frekuensi denyut jantung 120-160

x/menit, pernapasan 40-60 x/menit, lanugo tidak terlihat dan rambut kepala

tumbuh sempurna, kuku agak panjang dan lemas, nilai APGAR >7, refleks-

refleks sudah terbentuk dengan baik (rooting, sucking, morro, grasping),

organ genitalia pada bayi laki-laki testis sudah berada pada skrotum dan penis

berlubang, pada bayi perempuan vagina dan uretra berlubang serta adanya

labia minora dan mayora, mekonium sudah keluar dalam 24 jam pertama

berwarna hitam kecokelatan.(14)


9

2.1.4 Penatalaksanaan Neonatus


Kehidupan pada masa bayi baru lahir (BBL) sangat rawan oleh karena

memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di luar kandungan dapat hidup

sebaik-baiknya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka kesakitan dan

angka kematian BBL. Diperkirakan 2/3 kematian bayi dibawah umur 1 tahun

terjadi pada masa BBL.(15) Semua bayi diperiksa segera setelah lahir untuk

mengetahui apakah transisi dari kehidupan intrauterine ke ekstrauterine

berjalan dengan lancar dan tidak ada kelainan. Pemeriksaan medis

komprehensif dilakukan dalam 24 jam pertama kehidupan. Pemeriksaan rutin

pada bayi baru lahir harus dilakukan, tujuannya untuk mendeteksi kelainan

atau anomali kongenital yang muncul pada setiap kelahiran dalam 10-20 per

1000 kelahiran, pengelolaan lebih lanjut dari setiap kelainan yang terdeteksi

pada saat antenatal, mempertimbangkan masalah potensial terkait riwayat

kehamilan ibu dan kelainan yang diturunkan, dan memberikan promosi

kesehatan, terutama pencegahan terhadap sudden infant death syndrome

(SIDS).(16)

Tujuan utama perawatan bayi segera sesudah lahir adalah untuk

membersihkan jalan napas, memotong dan merawat tali pusat,

mempertahankan suhu tubuh bayi, identifikasi, dan pencegahan infeksi.(17)

2.2 Terapi Oksigen pada Neonatus


2.2.1 Definisi Terapi Oksigen
Terapi oksigen didefinisikan oleh Standar Pelayanan di ICU, Dep.Kes. RI

sebagai proses memasukkan oksigen tambahan dari luar ke paru melalui saluran

pernafasan dengan menggunakan alat sesuai kebutuhan. Terapi oksigen adalah


10

pemberian oksigen dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari yang ditemukan

dalam atmosfir lingkungan. Pada ketinggian air laut konsentrasi oksigen dalam

ruangan adalah 21 %.(18)

Penelitian observasional pada bayi cukup bulan setelah persalinan tanpa

komplikasi dan inisasi pernapasan, menunjukkan secara normal dibutuhkan waktu

beberapa menit sampai lebih dari 10 menit untuk mencapai saturasi 90%.(19)

Penelitian pada bayi kurang bulan belum ada datanya, tetapi penggunaan oksigen

tambahan harus hati-hati untuk terjadinya hiperoksia. Beberapa penelitian pada

bayi baru lahir yang meneliti penggunaan oksigen 100% dan udara kamar 21%

memberikan hasil yang berbeda-beda.(20,21)

Pada neonatus terapi oksigen diberikan untuk mencapai tekanan oksigen

(PO2) 40-80 mmHg dan atau tingkat saturasi oksigen (SpO2) 88 – 92%. Terapi

oksigen pada neonatus tanpa penilaian tekanan oksigen arteri dan saturasi oksigen

sangat berbahaya. Oleh karena itu, untuk menjamin keamanan dan efektifitas terapi

oksigen, harus diperhatikan cara pemberian, flow rate, lama pemberian dan

pemantauan terapi.(22)

2.2.2 Tujuan Terapi Oksigen


Efek langsung pemberian oksigen dengan konsentrasi lebih dari 21%

ialah peningkatan tekanan oksigen alveolar, pengurangan usaha napas untuk

mempertahankan oksigen alveolar dan penuruan kerja miokardium untuk

mempertahankan tekanan oksigen arteri. Oleh karena itu tujuan terapi oksigen

adalah :(22)

1. Mencegah dan mengatasi hipoksemia / hipoksia serta mempertahankan

oksigenasi jaringan yang adekuat.


11

2. Mengurangi kerja otot pernapasan dimana tubuh berespon terhadap

keadaan hipoksemia melalui peningkatan laju dan dalamnya

pernapasan serta adanya kerja otot – otot tambahan pernapasan.

3. Menurunkan beban kerja miokardium dimana jantung berusaha

mengatasi gangguan distribusi oksigen melalui peningkatan

peningkatan laju pompa jantung yang adekuat.

2.2.3 Indikasi Terapi Oksigen pada Neonatus


Indikasi terapi oksigen pada neonatus adalah:(23)

1. Distress pernapasan yang menyebabkan hipoksemia / hipoksia.

Hipoksemia adalah yaitu suatu keadaan dimana tekanan parsial

oksigen (PaO2) di dalam darah arteri <40 mmHg atau saturasi oksigen

(SaO2) kurang dari 88%. Hipoksemia dibedakan menjadi ringan sedang

dan berat berdasarkan nilai PaO2 dan SaO2. Hipoksemia ringan

dinyatakan pada keadaan PaO2 60-79 mmHg dan SaO2 90-92%,

hipoksemia sedang PaO2 40-60 mmHg, SaO2 75%-89% dan

hipoksemia berat bila PaO2 kurang dari 40 mmHg dan SaO2kurang dari

75%. Sedangkan hipoksia adalah kekurangan oksigen ditingkat

jaringan.(23)

Keadaan hipoksemia pada neonatus menyebabkan beberapa

perubahan fisiologi yang bertujuan untuk mempertahankan oksigenasi

ke jaringan yang memadai. Bila tekanan oksigen arteriol (PaO2)

dibawah 55 mmHg, kendali nafas akan meningkat, sehingga tekanan

oksigen arteriol (PaO2) meningkat dan sebaliknyatekanan

karbondioksida arteri (PaCO2) menurun. Pembuluh darah yang


12

mensuplai darah di jaringan hipoksia mengalami vasodilatasi, juga

terjadi kompensasi takikardi yang akan meningkatkan cardiac

output sehingga oksigenasi jaringan dapat diperbaiki. Hipoksia alveolar

menyebabkan kontraksi pembuluh pulmoner sebagai respon untuk

memperbaiki rasio ventilasi perfusi di area paru yang terganggu,

kemudian akan terjadi peningkatan sekresi eritropoitin ginjal sehingga

mengakibatkan eritrositosis dan terjadi peningkatan sekresi eritropoitin

ginjal sehingga terjadi peningkatan kapasiti transfer oksigen. Kontraksi

pembuluh darah pulmoner, eritrositosis dan peningkatan cardiac

output akan menyebabkan hipertensi pulmoner, gagal jantung kanan

bahkan dapat menyebabkan kematian.(23)

Tanda –tanda klinis hipoksemia dan hipoksia pada neonatus dapat

dijumpai adanya :(24)

a. Peningkatan frekuensi napas > 60 kali/menit dihitung 60 detik (1

menit) penuh yang dipengaruhi usia kehamilan, malnutrisi,

ketinggian, anemia dan demam.

b. Tarikan dinding dada yang dalam dapat dilihat adanya retraksi

subkostal, retraksi interkostal atau retraksi substernal


13

Gambar 2.1. Retraksi Dada


Sumber : Hipoksemi, Indikasi Pemberian Oksigen, Metode Pemberian Oksigen pada
Anak, dan Humidifikasi, dr. Darmawan B. Setyanto, Sp.A (K), 2016

c. Ketidakmampuan untuk minum atau menyusu termasuk pada

neonatus dengan refleks hisap yang terlalu lemah

d. Kepala terangguk-angguk (head nodding) ke arah dada setiap kali

anak menghirup napas, merintih, atau napas cuping

hidung menggambarkan penggunaan otot-otot aksesoris saat

bernapas

Gambar 2.2 Napas Cuping Hidung


Sumber : Hipoksemi, Indikasi Pemberian Oksigen, Metode Pemberian Oksigen pada
Anak, dan Humidifikasi, dr. Darmawan B. Setyanto, Sp.A (K), 2016

e. Sianosis sentral karena eritrosit tidak sepenuhnya teroksigenisasi

membuat kulit dan membran mukosa tampak biru. Hal ini

dipastikan dengan pemeriksaan lidah dan gusi (bukan bibir) di

bawah sinar matahari atau cahaya lampu neon putih (cool day
14

light) kemudian bandingkan warna lidah anak dengan lidah ibu.

Biru pada dasar kuku atau bibir menandakan sianosis perifer

f. Bunyi napas abnormal seperti krepitasi atau ronki basah kasar

serta mengi atau ekspirasi memanjang

g. Kejang lama (kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit)

memiliki risiko hipoksemia yang berarti, letargi atau koma.

2. Membantu resorpsi pneumotoraks pada bayi cukup bulan

Pneumotoraks yang paling lazim adalah inflasi berlebihan yang

mengakibatkan robekan alveolar.Kebocoran udara terjadi selama 24-36

jam pertama pada neonatus dengan aspirasi mekonium, pneumonia, dan

penyakit membran hialin bila kelenturan paru berkurang dan kemudian

selama fase penyembuhan penyakit membran hialin jika tekanan

inspirasi dan positive end- expiratory pressure (PEEP) tidak dikurangi

secara simultan dengan adanya perbaikan pernapasan. Pernapasan

dengan oksigen 100% mempercepat resorpsi udara bebas pleura ke

dalam darah dan mengurangi tekanan nitrogen dalam darah, tetapi

manfaatnya harus dibandingkan dengan resiko toksisitas oksigen.(23)

3. Serangan apnea pada bayi prematur.

4. Hyperoxic test pada tersangka penyakit sianotik.

2.2.4 Kontraindikasi Terapi Oksigen pada Neonatus


Tidak ada kontra indikasi absolute untuk pemberian terapi oksigen pada

neonatus namun untuk menjamin keamanan dan efektifitas terapi oksigen,


15

harus diperhatikan cara pemberian, flow rate, lama pemberian dan

pemantauan terapi.(22)

2.2.5 Metode Pemberian Terapi Oksigen pada Neonatus


Pada prinsipnya, terapi oksigen pada neonatus harus diberikan dengan

cara sesederhana mungkin dan fraksi insipirasi oksigen (FiO2) yang serendah

mungkin, namun tetap dapat mempertahankan nilai PaO2 > 40 mmHg dan

SaO2 > 88%.(23)

Direkomendasikan pemberian terapi oksigen pada neonatus dapat

dilakukan dengan cara melalui:(23)

1. Inkubator

Metode pemberian oksigen non-invasif dengan menggunakan

inkubator memiliki beberapa keuntungan yaitu FiO2 aktual dapat

ditentukan secara tepat dengan oxygen analyser yang ditempatkan

dekat mulut bayi. Tidak ada peningkatan risiko obstruksi jalan napas

oleh mukus. Tidak ada peningkatan risiko terjadinya distensi

lambung dan humidifikasi tidak diperlukan.(23)

2. Headbox

Metode pemberian oksigen dengan headbox memberikan

keuntungan neonatus mendapatkan konsentrasi oksigen yang stabil,

perkembangan bayi dapat diamati dan didapatkan akses yang luas dari

tubuh neonatus. Metode ini direkomendasikan untuk neonatus dengan

kebutuhan FiO2 < 0,40. (23)

Penggunaan headbox tidak membuat peningkatan risiko

obstruksi jalan napas oleh mukus dan risiko distensi lambung.(23)


16

Gambar 2.3 Penggunaan Headbox


Sumber : Terapi Oksigen pada Neonatus, dr. Rinawati Rohsiswatmo, Sp.A, 2010

Namun penggunaan headbox dapat mengakibatkan retensi

CO2 yang menyebabkan toksisitas karena laju aliran O2 tidak adekuat

(penentuan laju aliran terlalu rendah, selang terlipat/terlepas) sehingga

diperlukan kecepatan O2 yang tinggi. Aliran gas 2-3 L/menit diperlukan

untuk mencegah rebreathing CO2, selain itu terkadang kotak di leher

bayi terlalu ketat, adanya intervensi proses pemberian makan serta

memerlukan aliran O2 yang tinggi sehingga mahal dan boros.(23)

Estimasi FiO2 pada head box :


17

Tabel 2.1 Estimasi FiO2 Headbox


Flow O2 (L/min) FiO2 (%)
4 43, 7
5 50,7
6 58,7
7 64,7
8 67,8
9 68,7
10 72,5
Sumber : Hipoksemi, Indikasi Pemberian Oksigen, Metode Pemberian Oksigen pada
Anak, dan Humidifikasi, dr. Darmawan B. Setyanto, Sp.A (K), 2016

Kecepatan aliran yang sering digunakan 5 – 7 L/menit. Kecepatan

alitan yang > 7 L/menit meningkatkan kadar O2, berisik dan bayi dapat

muntah.

3. Nasal Kanul Low Flow

Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan oksigen

kontinyu dengan aliran ≤ 2 liter/menit (biasanya 0,5 L/mnt untuk

neonatus) dengan konsentrasi oksigen yaitu 24 % - 44%.(23)

Gambar 2.4 Penggunaan Nasal Kanul Flow


Sumber : Hipoksemi, Indikasi Pemberian Oksigen, Metode Pemberian Oksigen pada
Anak, dan Humidifikasi, dr. Darmawan B. Setyanto, Sp.A (K), 2016
Persentase O2 pasti tergantung ventilasi per menit pasien.

Pemberian oksigen dengan nasal kanula jalan nafas harus paten,

dapat digunakan pada pasien dengan pernafasan mulut.(23)

Estimasi FiO2 :
18

Tabel 2.2 Estimasi FiO2 Nasal Kanul Flow


Flow O2 (L/min) FiO2 (%)
1 24
2 28
3 32
4 36
5 40
6 44
Sumber : Hipoksemi, Indikasi Pemberian Oksigen, Metode Pemberian Oksigen pada
Anak, dan Humidifikasi, dr. Darmawan B. Setyanto, Sp.A (K), 2016

Keuntungan menggunakan nasal kanul adalah pemberian oksigen

stabil dengan volume tidal dan laju pernafasan teratur, pemasangannya

mudah, murah, disposibel, neonatus bebas makan. Digunakan pada

pasien dengan pernafasan mulut, bila pasien bernapas melalui mulut,

menyebabkan udara masuk pada waktu inhalasi dan akan mempunyai

efek venturi pada bagian belakang faring sehingga

menyebabkan oksigen yang diberikan melalui kanula hidung

terhirup melalui hidung.(23)

Kerugiannya tidak dapat memberikan konsentrasi oksigen lebih

dari 44%, suplai oksigen berkurang bila klien bernafas melalui

mulut, mudah lepas karena kedalaman kanul hanya 1/1,5 cm,

tidak dapat diberikan pada pasien dengan obstruksi nasal. Kecepatan

aliran lebih dari 4 liter/menit jarang digunakan, sebab pemberian flow

rate yang lebih dari 4 liter tidak akan menambah FiO2, bahkan hanya

pemborosan oksigen dan menyebabkan mukosa kering dan mengiritasi

selaput lendir. Hal tersebut menyebabkan kerusakan kulit diatas telinga

dan di hidung akibat pemasangan yang terlalu ketat.(18)

4. Continous Positive Airway Pressure


19

Gambar 2.5 Continous Positive Airway Pressure (CPAP)


Sumber : Terapi Oksigen pada Neonatus, 2010

Continous Positive Airway Pressure (CPAP) merupakan pemberian

oksigen tekanan positif untuk seluruh siklus respirasi neonatus (inspirasi dan

ekspirasi) pada saat bernapas secara spontan. Oksigen dengan tekanan positif

kontinyu pertama kali dilakukan pada tahun 1971, CPAP diperkenalkan

pertama kali sebagai terapi utama RDS (Respiratory Distress Syndrome) oleh

Gregory dkk yang menunjukkan penurunan yang nyata untuk angka kematian

akibat RDS.(26)

Pemberian oksigen dengan CPAP mulai dipasang pada tekanan sekitar

5-7 cmH2O melalui prong nasal, pipa nasofaringeal atau pipa endotrakheal.

Pada beberapa bayi dengan derajat sakit sedang, CPAP mungkin dapat

mencegah kebutuhan untuk pemakaian ventilator mekanik.(27)

Indikasi penggunaan nasal CPAP :

a. Neonatus preterm dengan respiratory distress syndrome ( RDS )

b. Neonatus dengan transient tachypnea of the newborn ( TTN )

c. Neonatus dengan meconium aspiration syndrome (MAS )

d. Neonatus preterm dengan apnea berulang dan bradikardi


20

e. Neonatus dengan paralisis diagfragma

f. Neonatus dengan penyakit saluran napas seperti trakeomalasia dan

bronchiolitis

CPAP nasal disebut gagal bila tingkat FiO2 < 60%, PaCO2 > 60 mmHg,

asidosis metabolik menetap, retraksi yang jelas saat terapi CPAP dan sering

terjadi episode apnea dan atau bradikardi sehingga segera gunakan

ventilator.(28) Untuk memilih metode pemberian terapi oksigen yang tepat

pada neonatus dapat menggunakan downe’s score seperti tabel di bawah :(26)

Tabel 2.3 Downe’s Score


0 1 2
Frekuensi < 60/menit 60 – 80 /menit >80/menit
Nafas
Retraksi Tidak Ada Retraksi Ringan Retraksi Berat
Retraksi
Sianosis Tidak Sianosis Sianosis Hilang Sianosis meski
dengan O2 diberi O2
Jalan Udara masuk Penurunan ringan Tidak ada udara
Masuk bilateral baik udara masuk masuk
Udara
Grunting Tidak ada Dapat didengar Dapat didengar
grunting oleh stetoskop tanpa alat bantu
Sumber : Buku Ajar Neonatologi, IDAI, 2012
Interpretasi Downe’s Score

a. Skor < 4 (Distress pernapasan ringan)

b. Skor 4 – 5 (Distress pernapasan sedang )

c. Skor > 6 (Distress pernapasan berat dan diperlukan analisis gas darah)

Metode pemberian terapi oksigen yang biasa diberikan pada neonatus

adalah :(26)

a. Distress pernapasan ringan menggunakan O2 nasal


21

b. Distress pernapasan sedang perlu Nasal CPAP

2.2.6 Efek Toksik Pemberian Terapi Oksigen pada Neonatus

Belum diketahui ambang konsentrasi dan waktu paparan untuk

menimbulkan toksisitas FiO2. Toksisitas ini muncul tergantung dari banyak

faktor, seperti dosis dan lama pemberian oksigen, maupun faktor toleransi

masing-masing pasien. (22)

Oksigen yang berlebihan akan dipecah menjadi radikal bebas yang

merusak sel – sel tubuh, selain itu oksigen yang berlebihan juga menghambat

penghantaran glukosa (gula darah) dan asam amino ke jaringan. Toksisitas

oksigen disebabkan karena peningkatan radikal bebas akibat penggunaan

oksigen dengan durasi yang lama ditambah pertahanan antioksidan pada

neonatus yang kurang.Radikal bebas dari oksigen akan menghancurkan

membrane lipid peroksida, menginaktifkan enzim, mendenaturasi protein dan

merusak rantai DNA.(29)

Pencegahan agar efek toksik oksigen tidak muncul adalah dengan

pemakaian konsentrasi oksigen serendah mungkin yang dapat

mempertahankan PaO2> 60 mmHg, selain itu diperlukan juga monitoring

dengan pemeriksaan analisis gas darah.(22)

2.3 Stres Oksidatif


2.3.1 Definisi Stres Oksidatif
22

Stres oksidatif dapat terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara

produksi radikal bebas dengan sistem pertahanan antioksidan di dalam

tubuh.(8)

Stres oksidatif merupakan penyebab kerusakan metabolisme dan

kematian sel. Stres oksidatif terjadi apabila ROS(Reactive Oxygen Spesies)

tidak cukup dinetralisir oleh antioksidan. Nilai SOD (Superoxide Dismutase)

adalah indikator dari status antioksidan, sedangkan nilai MDA adalah

indikator dari peroksidasi lipid. Kadar MDA bisa digunakan sebagai indikator

stres oksidatif yang diukur dari serum. Apabila nilai MDA meningkat, maka

hal ini mengindikasikan tingginya kondisi stres oksidatif.(29)

2.3.2 Radikal Bebas


Radikal bebas merupakan spesies kimiawi dengan satu elektron tak

berpasangan di orbital terluarnya.Keadaan kimiawi tersebut sangat tidak

stabil dan mudah bereaksi dengan zat kimia organik atau anorganik, saat

dibentuk didalam sel, radikal bebas menyerang dan mendegradasi asam

nukleat serta berbagai molekul membran. Selain itu radikal bebas

menginisiasi reaksi autokatalitik, sebaliknya molekul yang bereaksi dengan

radikal bebas diubah menjadi radikal bebas sehingga semakin memperbanyak

rantai kerusakan sel.(30)

ROS yang paling penting secara biologis dan paling banyak

berpengaruh pada sistem reproduksi antara lain superoxide anion (O2· - ),

hydroxyl radicals (OH·), peroxyl radicals (RO2·) dan hydrogen peroxide

(H2O2).(31) Bentuk radikal bebas yang lain adalah hydroperoxyl (HO2·),


23

alkoxyl (RO·), carbonate (CO3·-), carbon dioxide (CO2·-), atomic chlorine

(Cl·) dan nitrogen dioxide (NO2·).(29)

2.3.3 Antioksidan
Radikal bebas dan senyawa oksigen reaktif yang diproduksi dalam

jumlah yang normal penting untuk fungsi biologis tubuh, seperti sel darah

putih yang menghasilkan H2O2 untuk membunuh beberapa jenis bakteri dan

jamur serta pengaturan pertumbuhan sel. H2O2 tidak menyerang sasaran

secara spesifik sehingga juga dapat menyerang asam lemak tidak jenuh ganda

dari membran sel, organel sel, atau DNA. Hal tersebut dapat menyebabkan

kerusakan struktur dan fungsi sel.(32)

Tubuh dilengkapi oleh seperangkat sistem pertahanan untuk menangkal

serangan radikal bebas atau oksidan sehingga dapat membatasi kerusakan

yang diakibatkan oleh radikal bebas. Sistem pertahanan tersebut adalah

antioksidan. Antioksidan ini antara lain adalah enzim Superoxide Dismutase

(SOD) yang terdapat di mitokondria dan sitosol, Glutathione Peroxidase

(GPX), Glutathione reductase, dan catalase. Terdapat juga sistem pertahanan

atau antioksidan yang berupa mikronutrien yaitu β-karoten, vitamin C dan

vitamin E.(24) Sistem pertahanan ini bekerja dengan beberapa cara antara lain

berinteraksi langsung dengan radikal bebas, oksidan, atau oksigen tunggal,

mencegah pembentukan senyawa oksigen reaktif, atau mengubah senyawa

reaktif menjadi kurang reaktif.(32)

Produksi radikal bebas atau senyawa oksigen reaktif pada waktu

tertentu dapat melebihi sistem pertahanan tubuh, kondisi ini disebut sebagai
24

stres oksidatif. Pada kondisi stres oksidatif keseimbangan normal antara

produksi radikal bebas atau senyawa oksigen reaktif dengan kemampuan

antioksidan alami tubuh untuk mengeliminasinya mengalami gangguan

sehingga menggoyahkan rantai reduksi-oksidasi normal, sehingga

menyebabkan kerusakan oksidatif jaringan. Kerusakan jaringan ini juga

tergantung pada beberapa faktor, antara lain: target molekuler, tingkat stres

yang terjadi, mekanisme yang terlibat, serta waktu dan sifat alami dari sistem

yang diserang.(32)

2.3.4 Stres Oksidatif pada Neonatus


Pada neonatus, stres oksidatif sering terjadi karena terkena oksigen

konsentrasi tinggi, memiliki infeksi atau peradangan, kadar besi bebas dalam

darah yang tinggi, pertahanan antioksidan yang kurang, bayi premature,

BBLR dan dengan kelainan kongenital. Stres oksidatif biasa dihubungkan

dengan beberapa kondisi kegawatan yang sering dialami oleh neonatus

sehingga biasa disebut sebagai penyakit radikal oksigen pada neonatus.(6)

Selain itu keadaan hiperbilirubinemia juga dapat menyebabkan stres

oksidatif pada neonatus. Kadar bilirubin bayi baru lahir dipengaruhi oleh usia

kehamilan, berat lahir dan asupan ASI, serta apabila terdapat inkompatibilitas

golongan darah, abnormalitas struktur eritrosit dan defisiensi enzim

G6PD.(33,34) Hiperbilirubinemia sebagian besar merupakan bilirubin fisiologis

umumnya meningkat sampai melebihi 2 mg/dL pada hari-hari pertama

kehidupan, mencapai puncak rata-rata pada kadar 5-6 mg/dL pada hari ke 3-

4 dan kemudian menurun setelah usia satu minggu pada bayi cukup bulan.(35)
25

Konsumsi obat – obat hemolisis juga dapat menyebabkan stres oksidatif

pada neonatus. Hemolisis ini dapat disebabkan oleh penggunaan obat. Obat

dapat menyebabkan terjadinya hemolisis melalui tiga mekanisme berbeda,

yaitu (1) Antibodi yang ditujukan pada kompleks membran eritrosit (misal :

penisilin, ampisilin); (2) Deposisi komplemen melalui kompleks obat-protein

(antigen)-antibodi pada permukaan eritrosit (misal : Kuinidin, rifampisin); (3)

Hemolitik autoimun sejati, yaitu keadaan dimana peran obat tidak jelas (misal

: metildopa, fludarabin).(37)

Neonatus preterm juga memiliki resiko mengalami stres oksidatif.

Berdasarkan beberapa penelitian diketahui bahwa peningkatan peroksidasi

lipid akibat spesies oksigen reaktif (SOR) diyakini sebagai mekanisme

patogenik pada bayi prematur. Hal ini dikenal dengan istilah penyakit terkait

stres oksidatif pada prematuritas. SOR dihasilkan dari dalam tubuh melalui

proses fisiologis dan patologis. Munculnya aksi SOR pada bayi premature

disebabkan oleh rendahnya sistem antioksidan sehingga aktivitasnya dalam

menangkal aksi SOR tersebut menjadi kurang sempurna. Rendahnya sistem

pertahanan antioksidan ini disebabkan oleh adanya keterbatasan penyediaan

antioksidan oleh berbagai organ tubuh akibat proses pematangan yang tidak

lengkap, selain itu, beberapa senyawa yang utamanya ditranspor melalui

plasenta, baru terjadi pada trimester ke-tiga mengakibatkan terjadinya stres

oksidatif dan kerusakan oksidatif akan berlangsung dalam tubuh.(6)

Pada bayi yang lahir dengan berat lahir rendah (<2500 gram) dan

seringkali mengalami beberapa masalah yang timbul diantaranya yaitu


26

gangguan metabolik, gangguan imunitas seperti ikterus, gangguan

pernapasan seperti asfiksia, paru belum berkembang sehingga belum kuat

melakukan adaptasi dari intrauterine ke ekstrauterin. Gangguan imunitas pada

bayi BBLR dapat meningkatkan risiko terjadinya stres oksidatif pada bayi

tersebut.(12)

2.3.5 Peroksidasi Lipid


Lipid merupakan salah satu molekul yang paling sensitif terhadap

serangan radikal bebas sehingga terbentuk lipid peroksida.Peroksidasi lipid

adalah reaksi yang terjadi antara radikal bebas dengan asam lemak tak jenuh

majemuk (Polysaturated Fatty Acid, PUFA) yang sedikitnya memiliki tiga

ikatan rangkap. Ikatan ganda pada asam lemak tak jenuh (Polysaturated Fatty

Acid, PUFA) mudah terkena serangan radikal bebas yang berasal dari

oksigen. Umumnya peroksidasi lipid dapat melalui tiga tahap reaksi, yaitu

inisiasi, propagasi dan terminasi.(30)

Reaksi peroksidasi lipid diawali dengan pemisahan sebuah atom

hydrogen oleh radikal bebas dari suatu grup metilena (-CH2-) PUFA. Radikal

tersebut menghasilkan pembentukan suatu radikal karbon (-*CH-) pada

PUFA. Radikal karbon ini dapat distabilkan melalui suatu pengaturan ulang

ikatan rangkap yang mneghasilkan pembentukan diena terkonjugasi. Bila

diena terkonjugasi bereaksi dengan O2 akan terbentuk radikal peroksida lipid

(ROO*).(30)

Tahap selanjutnya radikal peroksida lipid dapat juga menghilangkan

sebuah atom hydrogen dari molekul lipid dan juga membentuk

hidroperoksida lipid dan juga membentuk radikal karbon lainnya. Jika radikal
27

karbon lain tersebut bereaksi lagi dengan oksigen maka reaksi peroksidan

lipid akan terus berlanjut. Pembentukan endoperoksida lipid pada PUFA yang

mengandung sedikitnya tiga ikatan rangkap akan mendorong pembentukan

MDA sebagai produk dari reaksi peroksidasi tersebut.(37)

2.4 Kadar Malondialdehide (MDA)


2.4.1 Malondialdehide (MDA) Sebagai Produk Peroksidasi Lipid
Lipid peroksida atau lipid hidroperoksida merupakan suatu molekul

yang stabil pada suhu fisiologis atau suhu tubuh.Kadar lipid peroksida dapat

diukur dengan metode asam tiobarbiturat (TBA) yang mengukur adanya

MDA. Asam tiobarbiturat (TBA) akan bereaksi dengan dua molekul TBA

sehingga membentuk senyawa kompleks berwarna merah. Terbentuknya

warna merah tersebut akan diukur serapannya dengan Elisa reader dengan

panjang gelombang 560 nm yang sebanding dengan tingkat oksidasi lipid.

Terdapat sejumlah senyawa lain yang juga bereaksi dengan TBA pada reaksi

ini. Senyawa – senyawa itu diantaranya adalah glukosa < 0,4 mg (2,2µmol)

dan sukrosa <8,56 (25,0µmol). Uji TBA ini merupakan uji yang spesifik

untuk hasil oksidasi asam lemak tak jenuh dan baik diterapkan untuk uji

terhadap lemak pangan yang mengandung asam lemak tak jenuh.(38)

Malondialdehide (MDA) adalah senyawa yang memiliki tiga rantai

karbon, dengan rumus molekul C3H4O2, Malondialdehide (MDA) juga

merupakan produk dekomposisi dari asam amino, karbohidrat kompleks,

pentose dan heksosa. Selain itu, MDA juga merupakan produk yang

dihasilkan oleh radikal bebas melalui reaksi ionisasi dalam tubuh dan produk
28

sampah biosintesis prostaglandin yang merupakan produk akhir oksidasi lipid

membran.(29) Konsentrasi MDA yang tinggi menunjukkan adanya proses

oksidasi dalam membran sel. Status antioksidan yang tinggi biasanya diikuti

oleh penurunan kadar MDA.(29)

2.4.2 Pemeriksaan Malondialdehide (MDA)


Metode TBARS menggunakan teknik kolorimetri dengan melihat

perubahan warna, tetapi mempunyai hasil yang tidak spesifik, oleh karena itu

juga terukur aldehid yang lain. Reaksi TBA-MDA mempunyai hasil yang

lebih baik dengan menggunakan metode high performance liquid

chromatography (HPLC) dan memenuhi kriteria akurasi, spesifisitas dan

sensitivitas dan metode ini sebagai pilihan untuk evaluasi status stres

oksidatif.(8)

Skema 2.1 Reaksi antara Malondialdehide (MDA) dengan asam tiobarbiturat


(TBA)
Sumber : Helliwel dan Gutteridge, 1994

Metode spektrofotometri dapat ditentukan kadar MDA serum yang

menunjukkan secara spesifik kadar MDA total dan memberikan hasil yang

serupa dengan kadar MDA yang didiapat menggunakan metode HPLC,


29

dengan koofisien variasi 1,2 – 3,4%. Kadar MDA dengan metode TBARS

adalah 1,04 ± 0,43µmol/l.(40)

Perbedaan pengukuran kadar MDA dengan metode TBARS dan

metode HPLC adalah pada sensitivitas dan spesifitas. Sensitivitas dan

spesifitas pada metode HPLC lebih akurat dibandingkan dengan metode

TBARS. Namun kelemahan dari metode HPLC adalah metode ini

membutuhkan kondisi asam dengan suhu tinggi sehingga tetap ada

kemungkinan terbentuknya MDA yang bukan karena peroksidasi lipid. Oleh

karena itu banyak penelitian yang menggunakan metode TBARS karena

dinilai lebih mudah untuk dilakukan.(37)

2.5 Hubungan Kadar Malondialdehide (MDA), Stres Oksidatif dan Terapi


Oksigen pada Neonatus
Stres oksidatif merupakan suatu keadaan dimana proses oksidasi

melampaui sistem pertahanan antioksidan di dalam tubuh sehingga terjadi

ketidakseimbangan pada sistem tersebut.(41)

Stres oksidatif merupakan penyebab kerusakan metabolisme dan

kematian sel. Stres oksidatif terjadi apabila ROS tidak cukup dinetralisir oleh

antioksidan. Nilai SOD (Superoxide Dismutase) adalah indikator dari status

antioksidan, sedangkan nilai MDA (Malondialdehide) adalah indikator dari

peroksidasi lipid. Kadar MDA bisa digunakan sebagai indikator stres

oksidatif yang diukur dari serum. Apabila nilai MDA meningkat, maka hal

ini mengindikasikan tingginya kondisi stres oksidatif.(29)


30

Gangguan pernapasan pada neonatus biasanya dikaitkan dengan stres

oksidatif. Paru-paru bayi baru lahir sangat rentan terhadap kerusakan

oksidatif yang disebabkan oleh spesies oksigen reaktif dan spesies nitrogen

reaktif. Keadaan ini sering terjadi pada bayi karena bayi terkena oksigen

konsentrasi tinggi, memiliki infeksi atau peradangan, pertahanan antioksidan

yang kurang, memiliki kadar besi bebas yang tinggi yang dapat meningkatkan

generasi radikal beracun, bayi premature, BBLR dan dengan kelainan

kongenital.(6)

Perawatan di rumah sakit, bayi sering terpajan berbagai kondisi yang

merupakan sumber stres oksidatif.Stres oksidatif biasa dihubungkan dengan

beberapa kondisi yang sering dialami oleh neonatus sehingga biasa

dihubungkan juga sebagai penyakit radikal oksigen pada neonatologi.(6)

Toksisitas oksigen disebabkan karena peningkatan radikal bebas akibat

penggunaan oksigen dengan durasi yang lama ditambah pula pertahanan

antioksidan pada neonatus yang kurang. Radikal bebas dari oksigen akan

menghancurkan membran lipid peroksida, menginaktifkan enzim,

mendenaturasi protein dan merusak rantai DNA.(29)

Beberapa penyakit yang biasanya terjadi pada bayi berkaitan dengan

stres oksidatif adalah Retinopathy of Prematurity (ROP), Intraventrikular

Hemorrage (IVH) dan Periventricular Leukomalasia (PVL).(6)


31

2.6 Kerangka Teori

Neonatus

Terapi Oksigen

↑Oksidan ↓Antioksidan

Tidak seimbang

↑Radikal Bebas

↑Stres Oksidatif

↑Peroksidasi Lipid
32

Skema 2.2 Kerangka Teori

2.7 Hipotesis
Adapun hipotesis yang digunakan pada penelitian ini adalah:

H0 : Tidak terdapat perbedaan kadar malondialdehide (MDA) pada

neonatus yang mendapatkan terapi oksigen dengan neonatus yang

tidak mendapatkan terapi oksigen.

H1 : Terdapat perbedaan kadar malondialdehide (MDA) pada neonatus

yang mendapatkan terapi oksigen dengan neonatus yang tidak

mendapatkan terapi oksigen.


33
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep


Berdasarkan uraian tinjauan pustaka pada bab sebelumnya, peneliti

mengamati perbedaan kadar MDA pada neonatus yang mendapatkan terapi oksigen

dengan neonatus yang tidak mendapatkan terapi oksigen.

Terapi Oksigen

Kadar
Neonatus
MDA

Tanpa Terapi Oksigen

Neonatus dengan
hiperbilirubinemia
BBLR
Sepsis
Ibu HbSAg Positif
Post Neonatal Fit
Asfiksia Ringan
Skema 3.1 Kerangka Konsep

Keterangan :
: Variabel Bebas
: Variabel Terikat
: Variabel Perancu
35

3.2 Identifikasi Variabel


Adapun variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah :

1. Variabel Bebas

Variabel Bebas yang digunakan pada penelitian ini adalah terapi

oksigen yang diberikan dan tidak diberikan pada neonatus.

2. Variabel Terikat

Variabel Terikat yang digunakan pada penelitian ini adalah kadar

MDA.

3. Variabel Perancu

Variabel Perancu yang berhubungan dengan variabel bebas dan

variabel terikat namun bukan merupakan variabel antara. Pada

penelitian ini variabel perancu adalah neonatus dengan

hiperbilirubinemia, BBLR, sepsis, post neonatal fit, ibu dengan HbSAg

positif dan asfiksia ringan.


36

3.3 Definisi Operasional


Adapun definisi operasional yang digunakan pada penelitian ini adalah

sebagai berikut :

Tabel 3.1 Definisi Operasional


Definisi
No Variabel Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional
1. Terapi Oksigen Tata cara Nasal kanul Diberi Nominal
pemberian (low flow terapi
bantuan gas atau high Oksigen : 1
oksigen pada flow),Nasal Tanpa
penderita CPAP terapi
yang (continuous Oksigen : 0
mengalami positive
gangguan airway
pernapasan pressure),
kedalam paru Nasal
melalui Intermittent
saluran Positive
pernafasan Pressure
dengan Ventilation
menggunaka (NIPPV),
n alat khusus

Produk akhir Metode Meningkat Ordinal


peroksidasi TBARS (>1,04
lipid yang dengan µmol/L) :1
digunakan sampel Normal((1,0
sebagai serum darah 4 ± 0,43
biomarker neonatus µmol/L) : 2
2. Kadar MDA yang Menurun(<
biologis
peroksidasi diambil di 0,43
lipid dan Vena µmol/L) : 3
menggambar sebanyak
kan derajat 1cc
stres oksidatif
37

3.4 Jenis dan Rancangan Penelitian


Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah Observational Analitik

dengan metode pendekatan Cross Sectional.

3.5 Lokasi dan Waktu


Penelitian ini dilakukan di ruang perawatan NICU/NHCU RSUD

Prof.Dr.W.Z. Johannes Kupang. Penelitian ini dlaksanakan mulai 8 Agustus

– 8 Oktober 2017.

3.6 Populasi dan Sampel


3.6.1 Populasi
Populasi yang akan diteliti adalah semua neonatus yang di ruang

perawatan NICU/NHCU RSUD Prof.Dr.W.Z.Johannes Kupang yang

memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.

3.6.2 Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel serum darah

neonatus yang di rawat di ruang perawatan NICU/NHCU di RSUD

Prof.Dr.W.Z.Johannes Kupang dan memenuhi kriteria inklusi.

Sampel yang diambil berasal dari darah vena. Sampel diambil oleh

enumerator yang memenuhi kriteria enumerator. Sampel diambil

sebanyak 1cc dengan aboquet atau wing needle dan disimpan ditabung

vacutainer dan disentrifus lalu dipindahkan ke tabung eppendorf lalu

disimpan di suhu <-20˚C.

Pengambilan sampel sebagai subyek penelitian dilakukan dengan

menggunakan metode consecutive sampling, yaitu setiap neonatus yang


38

memenuhi kriteria penelitian dimasukkan kedalam penelitian sampai

kurun waktu tertentu sampai jumlah sampel terpenuhi.

Penentuan besar sampel minimal pada penelitian ini menggunakan

rumus cross sectional dengan data numerik untuk beda rerata dua

kelompok yang tidak berpasangan. Rumus yang digunakan adalah

sebagai berikut:

[𝑍𝛼 + 𝑍𝛽𝑥𝑆𝐷]2
𝑛1 = 𝑛2 = 2
𝑥1 − 𝑥2
2
(1,96 + 0,842)16,1
𝑛1 = 𝑛2 = 2 [ ]
13,3
𝑛1 = 𝑛2 = 26
Keterangan :

n1 = n2 = Besar sampel

Zα = Tingkat Kesalahan tipe I 0,05% (1,960)

Zβ = Tingkat Kesalahan tipe II 20% (0,842)

x1 – x2 = Selisih minimal yang dianggap bermakna (13,3)

S = Simpangan Baku (16,1)

Dari perhitungan diatas diperoleh jumlah minimal sebanyak 26

responden untuk kelompok kasus dan 26 responden untuk kelompok

kontrol.

Pada penelitian ini digunakan 30 responden untuk kelompok

kasus dan 30 responden untuk kelompok kontrol.

3.7 Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi


3.7.1 Kriteria Inklusi
39

Adapun kriteria inklusi yang digunakan pada penelitian ini adalah

sebagai berikut :

A. Kriteria Inklusi Diberi Terapi Oksigen


1. Neonatus yang dirawat di ruang perawatan NICU/NHCU

RSUD Prof.Dr.W.Z. Johannes Kupang

2. Neonatus yang mendapatkan terapi oksigen

3. Neonatus Aterm(8)

4. Neonatus dengan berat ≥ 1500 gram

5. Orangtua menyetujui untuk ikut dalam penelitian

B. Kriteria Inklusi Tanpa Terapi Oksigen


1. Neonatus yang dirawat di ruang perawatan NICU/NHCU

RSUD Prof.Dr.W.Z. Johannes Kupang

2. Neonatus yang tidak mendapatkan terapi oksigen

3. Neonatus Aterm

4. Neonatus dengan berat ≥ 1500 gram

5. Orangtua menyetujui untuk ikut dalam penelitian

3.7.2 Kriteria Eksklusi


Adapun kriteria eksklusi yang digunakan pada penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Neonatus dengan kelainan kongenital

2. Neonatus mendapatkan transfusi darah

3.7.3 Kriteria Enumerator


40

1. Perawat NICU/NHCU

2. Bidan yang bertugas di NICU/NHCU

3.8 Alur Penelitian dan Cara Kerja


3.8.1 Alur Penelitian

Menentukan Populasi

Pengambilan besar sampel sesuai dengan kriteria inklusi


dan kriteria eksklusi

Pengambilan darah vena neonatus oleh tenaga


enumerator sebanyak 1 cc kedalam tabung EDTA

Pemisahan serum darah dengan


menggunakan sentrifus

Melakukan pengukuran kadar


Malondialdehide (MDA) dibantu oleh
Tenaga Analis Kesehatan

Kelompok Kasus Kelompok Kontrol

Pengelolaan dan Analisis Data

Penyajian Data dalam Laporan Penelitian

Skema 3.2 Alur Penelitian

3.8.2 Cara Kerja


41

A. Alat Penelitian
Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Elisa Reader

2. Elisa Well Plate

3. Sentrifus

4. Water bath

5. Micropipette

6. Sampel tube

7. Sampel : Serum Darah

8. Reagen : Quantichrom TBARS Assay Kit (DTBA-100) terdiri

dari:

a. Reagen TBA

b. Asam trikloroasetat 10%

c. Standar MDA 6 M

9. Aquadest

B. Cara Pengukuran Kadar Malondialdehide (MDA)


Sampel didapat dengan dibantu oleh tenaga enumerator yaitu

bidan atau perawat NICU/NHCU RSUD Prof.Dr.W.Z. Johannes

Kupang. Sampel darah yang diambil berupa darah vena sebanyak 1cc

dan dimasukkan kedalam tabung EDTA. Sampel tersebut kemudian

disentrifus untuk mendapatkan serumnya dan disimpan kedalam tabung

eppendorf dan disimpan di suhu <20˚C, setelah semua sampel

terkumpul pemeriksaan kadar MDA dilakukan Politeknik Kemenkes


42

Program Studi Analis Kesehatan Kupang. Pemeriksaan kadar MDA

dibantu oleh Tenaga Analis.

1. Persiapan Sampel

Tujuan untuk deproteinisasi sampel serum (menghilangkan

protein dalam sampel serum dengan mempresipitatkan protein)

a. Pipet sebanyak 100 µL sampel serum ke dalam sampel tube

b. Tambahkan sebanyak 200 µL asam trikloroasetat 10% dalam

keadaan dingin

c. Inkubasi selama 5 menit dalam keadaan dingin

d. Sentrifus selama 12 menit pada kecepatan 6000 RPM

e. Pindahkan sebanyak 200 µL supernatan kedalam sampel tube

yang baru

f. Faktor pengenceran pada masing-masing sampel adalah 3 (n=3)

2. Pembuatan Standar

a. Sentrifus tabung standar berisi 4 µL MDA 6 M agar pellet MDA

terkumpul pada dasar tabung

b. Tambahkan sebanyak 2.396 µL aquades kedalam 4 µL MDA 6

M untuk menghasilkan standar MDA dengan konsentrasi 10mM

MDA

c. Pipet sebanyak 3 µL dari standar 10mM MDA ditambah 997 µL

aquades untuk menghasilkan standar MDA dengan konsentrasi

30 µM MDA
43

d. Lakukan pengenceran terhadap standar dengan seri seperti yang

tertera pada tabel dibawah :

No 30 µM MDA + Aquades Vol (µL) MDA (µM)


1. 300 µL + 0 µL 300 30.0
2. 180 µL + 120 µL 300 18.0
3. 90 µL + 210 µL 300 9.0
4. 0 µL + 300 µL 300 0.0
Tabel 3.2 Pengenceran standar
Sumber :QuantichromTMTBARSAssay Kit (DTBA-100)

e. Pindahkan larutan standar sebanyak 200 µL ke dalam sampel tube

yang baru

3. Pemeriksaan

a. Kedalam masing-masing tabung yang berisi 200 µL sampel

maupun standar tambahkan sebanyak 200 µL reagen TBA

b. Campurkan larutan tersebut dan inkubasi dalam water bath pada

suhu 1000C selama 60 menit.

c. Dinginkan sampai suhu ruangan kemudian sentrifus selama 3

menit pada 3000 RPM.

d. Pipet sebanyak 100 µL sampel dan standar kedalam Elisa well

plate

e. Tempatkan pada Elisa Reader, dibaca pada panjang gelombang

560 nm. Print hasil pembacaan Optical Density (OD =

Absorbansi)

4. Perhitungan Kadar

a. Membuat kurva regresi linier berdasarkan hasil pemeriksaan OD

larutan standar yang telah diketahui konsentrasinya


44

b. Lakukan perhitungan kadar dengan rumus sebagai berikut :

𝑅𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 − 𝑅𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘
µM MDA = 𝑥𝑛 (𝑓𝑎𝑘. 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛)
𝑆𝑙𝑜𝑝𝑒 (µM)

Rsampel = OD Sampel

Rblank = OD Blanko

3.9 Analisis Data


3.9.1 Identifikasi Data
Berdasarkan sumber datanya maka data yang dikumpulkan dibagi

menjadi dua yaitu:

1. Data primer

Data primer yang diambil meliputi data identitas neonates dan

kadar MDA.

2. Data sekunder

Data sekunder merupakan data-data pendukung yang didapatkan

di ruang perawatan NICU/NHCU RSUD Prof.Dr.W.Z.Johannes

Kupangdan darah vena neonatus.

3.9.2 Jenis Pengolahan Data


1. Pengolahan Data
a. Editing

Editing merupakan tahap untuk memeriksa kejelasan dan

kelengkapan data untuk dimasukkan ke tahap selanjutnya.

b. Coding

Proses identifikasi dan klasifikasi dari setiap pertanyaan

yang terdapat dalam pengumpulan data menurut variabel


45

c. Tabulasi Data

Data yang telah terkumpul dimasukkan dalam bentuk tabel

induk penelitian

d. Entry Data

Memasukkan data dalam program computer

2. Analisis Data
Data dianalisa dan diinterpretasikan dengan menggunakan

program computer dengan tahapan :

a. Analisis Univariat

Analisis ini untuk mengetahui frekuensi masing-

masing variabel tunggal diantaranya adalah: terapi oksigen

dan kadar MDA.

b. Analisis Bivariat

Pada analisis bivariat ini peneliti akan mengolah data

dengan aplikasi pengolahan data statistika dan diuji dengan

menggunakan uji Mann-Whitney


46

BAB IV

HASIL DAN BAHASAN

4.1 HASIL
4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan diruang perawatan NICU/NHCU RSUD

Prof.Dr.W.Z. Johannes Kupang.RSUD Prof.Dr.W.Z. Johannes Kupang

merupakan rumah sakit tipe B non pendidikan dan rujukan di Nusa Tenggara

Timur (NTT) yang terletak di Jl. Moh. Hatta No. 19, Kelurahan Oetete,

Kecamatan Oebobo, Kupang, NTT. Pembacaan hasil penelitian dilakukan di

Poltekkes Kemenkes Kupang Program Studi Analis Kupang, NTT.

4.1.2 Gambaran Karakteristik Responden

1. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin


Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel

berikut:

Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Diberi Terapi Tanpa Terapi


Jenis Rerata
No. Oksigen Oksigen
Kelamin
Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah %
1. Laki-laki 15 50 21 70 36 60

2. Perempuan 15 50 9 30 24 40

Total 30 100 30 100 60 100


Sumber: Rekam Medis RSUD Prof.DR.W.Z.Johannes Kupang

Berdasarkan tabel 4.1 diatas dapat diketahui bahwa distribusi

responden dengan diberi terapi oksigen berdasarkan jenis kelamin

didapatkan proporsi yang sama yaitu laki – laki 50% dan perempuan
47

50%.Sedangkan distribusi responden tanpa terapi oksigen berdasarkan jenis

kelamin lebih banyak adalah laki-laki yaitu 70% dan lebih sedikit adalah

perempuan yakni 30%. Rerata distribusi responden berdasarkan jenis

kelamin pada kelompok dengan terapi oksigen dan tanpa terapi oksigen

adalah laki-laki 60% dan perempuan 40%.

2. Distribusi Responden Berdasarkan Usia Kehamilan


Distribusi responden berdasarkan usia kehamilan dapat dilihat pada

tabel berikut:

Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Usia Kehamilan


Usia Diberi Terapi Tanpa Terapi
Rerata
Kehamilan Oksigen Oksigen
(minggu) Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah %
37 3 10 5 16,67 8 13,33
38 17 56,66 10 33,32 27 45
16,67 8 13,33
39 3 10 5

16,67 10 16,67
40 5 16,67 5
16,67 7 11,67
41 2 6,67 5
Total 30 100 30 100 60 100
Sumber: Rekam Medis RSUD Prof.DR.W.Z.Johannes Kupang

Berdasarkan tabel 4.2 di atas dapat diketahui bahwa distribusi

responden untuk kelompok dengan terapi oksigen berdasarkan usia

kehamilan paling banyak adalah 38 minggu yaitu 56,66% danpaling sedikit

adalah 41 minggu yakni 6,67%, sedangkan distribusi responden tanpa terapi

oksigen berdasarkan usia kehamilan paling banyak adalah 38 minggu yakni

33,32% dan paling sedikit adalah 37,39,40 dan 41 yakni 16,67% Rerata

distribusi responden berdasarkan usia kehamilan pada kelompok dengan


48

terapi oksigen dan tanpa terapi oksigen paling banyak 38 minggu yaitu 45%

danpaling sedikit 41 minggu yaitu 11.67%.

3. Distribusi Responden Berdasarkan Berat Badan


Distribusi responden berdasarkan berat badan dapat dilihat pada tabel

berikut:

Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Berat Badan


Diberi Terapi Tanpa Terapi
Berat Badan Oksigen Rerata
Oksigen
(Gram)
Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%)
1.500 – 2.000 gram 7 23,33 5 16,67 12 20
2.100−2.500 gram 7 23,33 6 20 13 21,67
2.600−3.000 gram 5 16,67 9 30 14 23,33
3.100−3.500 gram 7 23,33 6 20 13 21,67
3.600−4.000 gram 2 6,68 3 10 5 8,33
4.100−4.500 gram 1 3,33 1 3,33 2 3,33
4.600−5.000 gram 1 3,33 0 0 1 1,67
Total 30 100 30 100 60 100
Sumber: Rekam Medis RSUD Prof.DR.W.Z.Johannes Kupang

Berdasarkan tabel 4.3 di atas dapat diketahui bahwa distribusi

responden untuk kelompok terapi oksigen berdasarkan berat badan paling

banyak adalah responden dengan rentang 1.500-2.000 gram, 2.100-2.500

gram dan 3.100-3.500 gram yaitu 23,33% dan paling sedikit adalah

responden dengan rentang 4.100-5.000 gram dan 4.600−5.000 gram yaitu

3,33%. Sedangkan distribusi responden untuk kelompok tanpa terapi

oksigen berdasarkan berat badan paling banyak adalah responden dengan

rentang 2.600-3.000 gram yaitu 30%, sedangkan paling sedikit adalah

responden dengan rentang 4.600-5.000 gram yaitu 0%. Rerata distribusi

responden berdasarkan berat badan pada kelompok dengan terapi oksigen


49

dan tanpa terapi oksigen paling banyak pada rentang 2.600-3.000 gram yaitu

23.33% dan paling sedikit pada rentang 4.600-5.000 gram.

4. Distribusi Responden Berdasarkan Diagnosis

Distribusi responden berdasarkan diagnosis dapat dilihat pada tabel


berikut:
Tabel 4.4 Distribusi Responden dengan Terapi Oksigen Berdasarkan
Diagnosis

MDA
Diagnosis Jumlah % Mean
(µmol/L)

Asfiksia 9 30 10,22 µmol/L


Respiratory Distress
19 63,33 11,73 µmol/L
of Syndrome 9,73µmol/L
Aspirasi Mekonium 2 6,67 5,5 µmol/L
Total 30 100
Sumber : Rekam Medis RSUD Prof.DR.W.Z.Johannes Kupang

Berdasarkan tabel 4.4 diatas, dapat diketahui bahwa distribusi


responden berdasarkan diagnosis pada kelompok yang diberi terapi oksigen
paling banyak adalah RDS (Respiratory Distress Syndrome) yaitu 63,33%
dan yang paling sedikit adalah Aspirasi Mekonium yaitu 6,67%. Kadar
MDA pada kelompok dengan terapi oksigen paling tinggi dengan diagnosis
RDS (Respiratory Distress Syndrome) yaitu 11,73 µmol/L dan paling
sedikit dengan Aspirasi Mekonium 5,5µmol/L. Rata-rata kadar MDA pada
responden dengan terapi oksigen adalah 9,73µmol/L.
Tabel 4.5 Distribusi Responden dengan Tanpa Terapi Oksigen
Berdasarkan Diagnosis

MDA
Diagnosis Jumlah % Mean
(µmol/L)

6,62
Post Neonatal Fit 8 26,67
µmol/L
8,55
Sepsis 20 66,67 8,533µmol/L
µmol/L
Ibu HbSAg+ 2 6,67 1,5 µmol/L
Total 30 100
Sumber :Rekam Medis RSUD Prof.DR.W.Z.Johannes Kupang
50

Berdasarkan tabel 4.5 diatas, dapat diketahui bahwa distribusi


responden berdasarkan diagnosis pada kelompok tanpa terapi oksigen
paling banyak adalah sepsis yaitu 66,67% dan yang paling sedikit adalah ibu
HbSAg+ yaitu 6,67%. Kadar MDA pada kelompok tanpa terapi oksigen
yang paling tinggi dengan diagnosis Sepsis yaitu 8.55µmol/L dan paling
sedikit dengan ibu HbSAg positif 1.5µmol/L. Rata-rata kadar MDA pada
responden tanpa terapi oksigen adalah 8.53µmol/L.
5. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Terapi O2
Distribusi responden berdasarkan jenis terapi O2 dapat dilihat pada tabel

berikut:

Tabel 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Terapi O2


No. Jenis Terapi O2 Jumlah Persentase (%)
1. Nasal Kanul 4 13,3
2. JR 24 80
3. CPAP 2 6,7
Total 30 100
Sumber: Rekam Medis RSUD Prof.DR.W.Z.Johannes Kupang

Berdasarkan tabel 4.6 di atas, dapat diketahui bahwa distribusi

responden berdasarkan jenis terapi O2paling banyak adalah yang

menggunakan JR (Jackson-Reese) yaitu 80%, sedangkan yang paling

sedikit adalah yang menggunakan CPAP (Continuous Positive Airway

Pressure) yakni 6,7%.

6. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah O2

Distribusi responden berdasarkan jumlah O2 dapat dilihat pada tabel

berikut:

Tabel 4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah O2


No. Jumlah O2 (L/Menit) Jumlah (%)
1. 1 4 13,3
2. 5 24 80
3. 7 2 6,7
Total 30 100
Sumber: Rekam Medis RSUD Prof.DR.W.Z.Johannes Kupang
51

Berdasarkan tabel 4.7 di atas, dapat diketahui bahwa distribusi

responden berdasarkan jumlah O2 paling banyak adalah 5 L/Menit yaitu

80%, sedangkan yang palingsedikit adalah 7 L/Menit yakni 6,7%.

7. Distribusi Responden Berdasarkan Lama Pemberian O2

Distribusi responden berdasarkan lama pemberian O2 dapat dilihat pada

tabel berikut:

Tabel 4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Lama Pemberian Terapi


O2
Lama Pemberian O2 MDA
Jumlah (%)
(Hari) (µmol/L)
1 Hari 7 23,33 5,71µmol/L
2 Hari 15 50 9,53 µmol/L
3 Hari 8 26,67 13,12 µmol/L
Total 30 100
Sumber: Rekam Medis RSUD Prof.DR.W.Z.Johannes Kupang

Berdasarkan tabel 4.8 di atas, dapat diketahui bahwa distribusi

responden berdasarkan lama pemberian terapi O2 paling banyak adalah 2

hari yaitu 50%, sedangkan yang paling sedikit adalah 1 hari yaitu 23,33%

.
52

4.1.3 Analisis Univariat


1. Distribusi Responden BerdasarkanKadar Malondialdehide (MDA)
Distribusi responden berdasarkan kadar malondialdehide (MDA) dapat

dilihat pada grafik berikut:

Grafik 4.1 Distribusi Responden Kelompok Dengan Terapi Oksigen


dan Tanpa Terapi Oksigen BerdasarkanKadar
Malondialdehide (MDA)
30
27

25
22

20

15 Diberi Terapi Oksigen


Tanpa Terapi Oksigen
10
7

5
1 1 1
0
Meningkat Normal Menurun

Sumber: Data Primer

Berdasarkan grafik 4.1 dapat diketahui bahwa kadar MDA pada

kelompok dengan diberi terapi oksigen paling banyak adalah meningkat

yaitu 27 responden dan paling sedikit adalah normal 1 responden dan

menurun 1 responden. Sedangkan kadar MDA pada kelompok tanpa terapi

oksigen paling banyak meningkat yaitu 22 responden dan paling sedikit

adalah normal yaitu 1 responden. Rata – rata kadar MDA pada neonatus

yang diberi terapi oksigen adalah 9.73µmol/L. Rata-rata kadar MDA pada

neonatus yang tidak mendapat terapi oksigen adalah 8.53 µmol/L.


53

4.1.4 Analisis Bivariat

1. Uji Mann-WhitneyKadar MDA dengan Penggunaan Terapi O2


Analisis uji Mann-WhitneyKadar MDA dengan penggunaan terapi O2

dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.9Uji Mann-Whitney Test pada Kadar MDA


Terapi Oksigen
Diberi Tanpa N % P
terapi Terapi
Menurun 2 7 9 15
MDA
(µmol/L) Normal 1 1 2 3,3
0,088
Meningkat 27 22 49 81,7
Total 30 30 60 100
Sumber : Data Primer

Berdasarkan tabel 4.9 dapat diketahui bahwa hasil analisis uji Mann-

Whitney Test kadar MDA dengan penggunaan terapi oksigen dengan derajat

kepercayaan 95% menunjukkan bahwa nilai p sebesar 0,088. Oleh karena

nilai p 0,08 > 0,05 maka varians datanya diasumsikan sama dan dapat

disimpulkan bahwa H0 diterima dan tidak terdapat perbedaan kadar MDA

pada neonatus yang diberi terapi oksigen dengan neonatus yang tanpa terapi

oksigen. Rata-rata (mean) kadar MDA kategori diberi terapi oksigen sebesar

9,73µmol/L dan kadar MDA untuk kategori tanpa terapi oksigen sebesar 8,53

µmol/L.
54

4.2 PEMBAHASAN

Pada tabel 4.1 diatas dapat diketahui bahwa distribusi responden dengan

diberi terapi oksigen berdasarkan jenis kelamin didapatkan proporsi yang sama

yaitu laki – laki 50% dan perempuan 50%, sedangkan distribusi responden tanpa

terapi oksigen berdasarkan jenis kelamin lebih banyak adalah laki-laki yaitu 70%

dan lebih sedikit adalah perempuan yakni 30%. Rerata distribusi responden

berdasarkan jenis kelamin pada kelompok dengan terapi oksigen dan tanpa terapi

oksigen adalah laki-laki 60% dan perempuan 40%.

Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin dilakukan tanpa randomisasi

sehingga peluang untuk terjadi proporsi laki-laki lebih banyak atau sama dengan

perempuan dapat terjadi. Penelitian lain oleh Rakhmahayu, dkk pada tahun 2016

didapatkan distribusi responden berdasarkan jenis kelamin lebih banyak bayi laki-

laki yaitu 15 responden yang mengalami gangguan pernapasan.(42) Hal tersebut

diduga terkait dengan perbedaan steroid gonad in utero sehingga kemampuan fetus

laki-laki menghadapi stres lebih rendah.(43)

Pada tabel 4.2 di atas dapat diketahui bahwa distribusi responden untuk

kelompok dengan terapi oksigen berdasarkan usia kehamilan paling banyak adalah

38 minggu yaitu 56,66% dan paling sedikit adalah 41 minggu yakni 6,67%,

sedangkan distribusi responden tanpa terapi oksigen berdasarkan usia kehamilan

paling banyak adalah 38 minggu yakni 33,32% dan paling sedikit adalah 37,39,40

dan 41 yakni 16,67%. Rerata distribusi responden berdasarkan usia kehamilan pada
55

kelompok dengan terapi oksigen dan tanpa terapi oksigen paling banyak 38 minggu

yaitu 45% danpaling sedikit 41 minggu yaitu 11.67%.

Penelitian lain oleh Ekasari, dkk pada tahun 2015 distribusi responden

berdasarkan usia kehamilan didapatkan hasil lebih banyak bayi aterm sebanyak 62

responden (77,5%) dan lebih sedikit bayi preterm sebanyak 18 responden (22,5%)

dengan gangguan pernapasan berupa asfiksia.(44) Persalinan preterm merupakan

persalinan dengan masa gestasi kurang dari 259 hari atau kurang dari 37 minggu.

Persalinan aterm merupakan persalinan dengan masa gestasi 259-293 hari atau 37-

42 minggu. Serotinus merupakan persalinan melewati 294 hari atau lebih dari 42

minggu (kehamilan lewat waktu). Bayi dikatakan lahir cukup bulan apabila masa

gestasinya 37-42 minggu.(12)

Semakin muda masa gestasi saat bayi dilahirkanorgan vitalnya belum

berkembang sempurna sehingga sering mengalami kegagalan adaptasi yang

menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada bayi baru lahir tersebut semakin

tinggi.Semakin tua masa gestasi saat bayi dilahirkan maka terjadi penurunan fungsi

plasenta yang meningkatkan kejadian gawat janin dengan risiko 3 kali dari

persalinan aterm.(45)(17) Bayi cukup bulan (37-42 minggu) juga dapat mengalami

gangguan pernapasan yang disebabkan oleh faktor lain seperti bayi berat lahir

rendah, faktor ibu seperti penyakit penyerta dalam kehamilan (penyakit jantung,

penyakit paru-paru, atau penyakit berat lainnya).(44)

Pada tabel 4.3 di atas dapat diketahui bahwa distribusi responden untuk

kelompok terapi oksigen berdasarkan berat badan paling banyak adalah responden

dengan rentang 1.500-2.000 gram, 2.100-2.500 gram dan 3.100-3.500 gram yaitu
56

23,33%, dan paling sedikit adalah responden dengan rentang 4.100-5.000 gram dan

4.600−5.000 gram yaitu 3,33%, sedangkan distribusi responden untuk kelompok

tanpa terapi oksigen berdasarkan berat badan paling banyak adalah responden

dengan rentang 2.600-3.000 gramyaitu 30%, sedangkan paling sedikit adalah

responden dengan rentang 4.600-5.000 gram yaitu 0%. Rerata distribusi responden

berdasarkan berat badan pada kelompok dengan terapi oksigen dan tanpa terapi

oksigen paling banyak pada rentang 2.600-3.000 gram yaitu 23,33% dan paling

sedikit pada rentang 4.600-5.000 gram.

Berdasarkan teori, berat lahir bayi normal adalah 2.500-4.000 gram. Pada

bayi <2.500 gram disebut BBLR dan bayi > 4.000 gram disebut makrosomia. Bayi

dengan berat lahir rendah (BBLR) seringkali mengalami gangguan metabolik,

gangguan imunitas seperti ikterus, gangguan pernapasan seperti asfiksia, paru

belum berkembang sehingga belum kuat melakukan adaptasi dari intrauterine ke

ekstrauterin. Hal ini yang menyebabkan bayi BBLR dapat mengalami stres

oksidatif.(46)

Gangguan pernapasan pada juga dapat terjadi pada bayi dengan berat lahir

normal. Penelitian Ekasari,dkk pada tahun 2015 distribusi responden dengan

gangguan pernapasan berupa asfiksia paling banyak pada bayi dengan berat lahir

normal (77,5%). Hal ini dapat dipengaruhi karena faktor umur ibu yang berisiko

tinggi atau paritas yang tinggi sehingga berpengaruh pada suplai oksigen dari ibu

ke janin sehingga dapat terjadi asfiksia, sedangkan pada bayi makrosomia dapat

meningkatkan risiko trauma lahir, asfiksia dan persalinan dengan section caesar.(44)
57

Pada tabel 4.4 diatas, dapat diketahui bahwa distribusi responden berdasarkan

diagnosis pada kelompok yang diberi terapi oksigen paling banyak adalah RDS

(Respiratory Distress Syndrome) yaitu 63,33% dan yang paling sedikit adalah

Aspirasi Mekonium yaitu 6,67%. Kadar MDA pada kelompok dengan terapi

oksigen paling tinggi dengan diagnosis RDS (Respiratory Distress Syndrome) yaitu

11,73µmol/L dan paling sedikit dengan Aspirasi Mekonium 5,5µmol/L. Rata-rata

kadar MDA pada responden dengan terapi oksigen adalah 9,73µmol/L.

RDS (Respiratory Distress Syndrome) atau sindrom gawat napas merupakan

suatu sindrom yang sering ditemukan pada neonatus dan menjadi penyebab utama

morbiditas pada bayi berat lahir rendah (BBLR).(26) Faktor yang meningkatkan

risiko terjadinya RDS pada neonatus adalah usia kehamilan, BBLR, jenis kelamin

laki-laki, riwayat keluarga dengan RDS, persalinan SC (Sectio Cesario), asfiksia

perinatal, suku ras caucasian, bayi pada ibu diabetic, kehamilan ganda, kelahiran

cepat (rapidlabor), korioamnionitis dan paritas.(47)

Kegawatan pernafasan dapat menimbulkan dampak yang berat bagi bayi

yaitu kerusakan otak atau bahkan kematian. Akibat dari gangguan pernafasan

adalah terjadinya hipoksia pada tubuh.(48) Pada level seluler, hipoksia dapat

mengakibatkan stres oksidatif pada sel. Sel menghasilkan energi melalui reduksi O2

menjadi H2O. Stres oksidatif ini menyebabkan kerusakan pada sel endotel

pembuluh darah yang disebut disfungsi endotel.(49)

Asfiksia pada bayi baru lahir menurut IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia)

adalah kegagalan nafas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat

setelah lahir.(50) Penilaian derajat asfiksia pada neonatus menggunakan skor


58

APGAR dengan patokan klinis yang dinilai yaitu frekuensi jantung, usaha

bernapas, tonus otot, refleks rangsangan dan warna kulit. Berdasarkan skor

APGAR, asfiksia neonatorum dibagi menjadi asfiksia ringan (skor APGAR 7-10),

sedang (skor APGAR 4-6) dan asfiksia berat (skor APGAR 0-3).(45) Keadaan

asfiksia disertai dengan hipoksia yang progresif, disertai penimbunan CO2 dan

asidosis yang jika berlangsung lama dapat menyebabkan kerusakan sel, otak bahkan

kematian. Hipoksia yang berlangsung lama akan memicu terjadinya stres oskidatif.

Stres oksidatif ini menyebabkan kerusakan pada sel endotel pembuluh darah yang

disebut disfugsi endotel.(49) Semakin berat derajat asfiksia semakin besar kadar

MDA pada neonatus.(49)

Sindroma aspirasi mekonium merupakan sekumpulan gejala yang

diakibatkan oleh terhisapnya cairan amnion mekonial ke dalam saluran pernapasan

bayi. Kandungan mekonium antara lain adalah sekresi gastrointestinal, hepar dan

pankreas janin, debris seluler, cairan amnion serta lanugo. Aspirasi mekonium

disebut sebagai keadaan fetal distress. Aspirasi mekonium dapat menyebabkan

janin mengalami distress dan menderita hipoksia intra-uterine. Hipoksia tersebut

menyebabkan terjadinya peningkatan aktivitas usus disertai dengan melemasnya

sphincter anal sehingga mekonium keluar kedalam cairan amnion.(51)

Pada tabel 4.5 diketahui bahwa distribusi responden berdasarkan diagnosis

pada kelompok tanpa terapi oksigen paling banyak adalah sepsis yaitu 66,67% dan

yang paling sedikit adalah ibu HbSAg positif yaitu 6,67%. Kadar MDA pada

kelompok tanpa terapi oksigen yang paling tinggi dengan diagnosis Sepsis yaitu
59

8,55µmol/L dan paling sedikit dengan ibu HbSAg positif 1,5µmol/L. Rata-rata

kadar MDA pada responden tanpa terapi oksigen adalah 8,53µmol/L.

Berdasarkan teori, stres oksidatif pada sepsis menyebabkan kerusakan

membran fosfolipid sel dengan pengolahan lipid peroksidasi sehingga

menyebabkan terjadinya serangkaian proses imunoinflamasi yang menyebabkan

peningkatan permeabilitas vaskuler hingga terjadi kebocoran kapiler difus,

menurunkan tonus vaskuler dan terjadi ketidakseimbangan antara perfusi dan

peningkatan kebutuhan metabolik yang dapat memperberat sepsis.(52,53) Hal ini

sesuai dengan penelitian Arkhaesi,dkk pada tahun 2008 mengenai kadar MDA

serum sebagai indikator prognosis keluaran pada sepsis neonatorum hasil analisis

menunjukkan bahwa kadar MDA serum pada sepsis neonatorum lebih tinggi bila

dibandingkan dengan kadar MDA neonatus tanpa sepsis, namun perbedaan tersebut

tidak bermakna (p=0,9). (37)

Masalah yang sering timbul sebagai komplikasi sepsis neonatorum adalah

meningitis, hipotermi, hiperbiliruinemia dan gangguan minum.(54) Penelitian

sebelumnya yang dilakukan oleh Har, dkk pada tahun 2012 di Hacettepe University

Hospital terhadap 58 neonatus aterm dengan hiperbilirubinemia didapatkan kadar

MDA serum lebih tinggi pada bayi hiperbilirubinemia dengan hemolisis dibanding

dengan kontrol.(5) Proses hemolisis merupakan petunjuk adanya peningkatan stres

oksidatif dan petunjuk meningkatnya kadar bilirubin. Etiologi hemolisis meliputi

proses imun, infeksi, defek membran dan defek enzim eritrosit.(8)

Hemolisis dapat menyebabkan terjadinya hiperbilirubinemia oleh karena

proses pemecahan sel darah merah yang berlebihan. Hiperbilirubinemia akibat


60

hemolisis dapat terjadi karena penyakit hemolisis rhesus yang terjadi pada janin

rhesus positif yang mendapat antibodi dari ibu yang bergolongan darah rhesus

negatif. Hemolisis juga dapat terjadi pada inkompatibilitas ABO dimana antibodi

ibu golongan darah O menembus plasenta dan menyebabkan hemolisis pada janin

bergolongan darah A atau B. Adapula defisiensi G6PD (glucose 6-phosphate

dehidrogenase)diakibatkan oleh tidak adanya enzim G6PD yang berfungsi

menghambat reaksi oksidasi pada sel darah merah sehingga menyebabkan

pemecahan sel darah merah yang berlebihan. Sepsis juga dapat menyebabkan

terjadinya hemolisis pada neonatus yang diakibatkan oleh aktivasi komplemen yang

dipicu oleh reaksi inflamasi sebagai respon terhadap invasi mikroba.(8)

Transmisi vertikal dari ibu yang berstatus HbSAg positif memegang peranan

penting terhadap bayi yang dilahirkan. Transmisi vertikal yaitu bayi mendapat

infeksi dari ibunya yang dapat terjadi pada masa intra uterine, perinatal dan

postnatal. Infeksi pada masa intrauterine terjadi apabila ada kebocoran atau robekan

plasenta. Infeksi pada masa perinatal yaitu infeksi yang terjadi pada atau segera

setelah lahir. Ibu dengan HbSAg+ terjadi kerusakan sel hepar yang terjadi pada

asam lemak tak jenuh fosfolipid membran sel, sehingga terbentuk peroksida lipid.

Kondisi ini disebabkan oleh stres oksidatif yang berhubungan dengan

ketidakseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan.(55)

Pada tabel 4.6 dapat diketahui bahwa distribusi responden berdasarkan jenis

terapi O2 paling banyak adalah yang menggunakan JR (Jackson-Rees) yaitu 80%,

sedangkan yang paling sedikit adalah yang menggunakan CPAP (Continuous

Positive Airway Pressure) yakni 6,7%. Jackson-Rees merupakan modifikasi dari


61

Mapleson E. Alat ini terdiri dari kantong karet yang elastis.Jackson-reese biasa

gunakan sebagai pengganti T-piece resuscitator pada sarana kesehatan dengan

fasilitas yang terbatas.Jumlah oksigen yang diberikan melalui Jackson-reese adalah

5L/menit. Penggunaan JR biasa digunakan pada pasien dengan downe’s score<4

namun dapat disesuaikan dengan kesediaan alat di fasilitas kesehatan yang ada.(56)

CPAP (Continuous Positive Airway Pressure)

Continous Positive Airway Pressure (CPAP) merupakan pemberian oksigen

tekanan positif untuk seluruh siklus respirasi neonatus (inspirasi dan ekspirasi) pada

saat bernapas secara spontan.Pemberian oksigen dengan CPAP mulai dipasang

pada tekanan sekitar 5-7 cmH2O melalui prong nasal, pipa nasofaringeal atau pipa

endotrakheal. Pada beberapa bayi dengan derajat sakit sedang, CPAP mungkin

dapat mencegah kebutuhan untuk pemakaian ventilator mekanik.(27) CPAP biasa

digunakan pada pasien dengan downe’s score 4-5 namun dapat disesuaikan dengan

ketersediaan alat yang ada.(56)

Pada tabel 4.7 diketahui bahwa distribusi responden berdasarkan jumlah O2

paling banyak adalah 5 L/Menit yaitu 80%, sedangkan yang paling sedikit adalah 7

L/Menit yakni 6,7%. Penentuan jumlah pemberian O2 disesuaikan dengan jenis

pemberian terapi oksigen. Nasal kanul dengan jumlah O2 1-2 L/menit, JR dengan

5L/menit dan CPAP dengan 7L/menit.

Pada tabel 4.8 diketahui bahwa distribusi responden berdasarkan lama

pemberian terapi O2 paling banyak adalah 2 hari yaitu 50%, sedangkan yang paling

sedikit adalah 1 hari yaitu 23.33%. Semakin lama pemberian terapi oksigen

semakin tinggi kadar MDA pada neonatus dengan terapi oksigen.


62

Pada grafik 4.1 dapat diketahui bahwa kadar MDA pada kelompok dengan

diberi terapi oksigen paling banyak adalah meningkat yaitu 27 responden dan paling

sedikit adalah normal 1 responden dan menurun 1 responden. Kadar MDA pada

kelompok tanpa terapi oksigen paling banyak meningkat yaitu 22 responden dan

paling sedikit adalah normal yaitu 1 responden. Rata – rata kadar MDA pada

neonatus yang diberi terapi oksigen adalah 9.73µmol/L. Rata - rata kadar MDA

pada neonatus yang tidak mendapat terapi oksigen adalah 8.53 µmol/L.

Kadar MDA serum diperoleh dari 30 neonatus yang mendapat terapi oksigen

dan 30 neonatus yang tidak mendapat terapi oksigen. Hasil analisis bivariat pada

penelitian inimenunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kadar MDA yang

signifikan pada neonatus yang diberi terapi oksigen dengan neonatus tanpa terapi

oksigen dengan nilai p 0,08>0,05. Tidak adanya perbedaan ini didukung dengan

nilai rata-rata (mean) untuk penggunaan terapi O2 kategori diberi terapi oksigen

sebesar 9,73 µmol/L dan untuk penggunaan terapi O2 kategori tanpa terapi oksigen

sebesar 8,53 µmol/L.

Sesuai dengan penelitian Mohan, dkk pada tahun 2008 melaporkan bahwa

produksi radikal bebas dengan oksigen yang lebih besar pada neonatus

menyebabkan terjadinya peningkatan kadar MDA, namun belum ada penelitian

yang menjelaskan tentang seberapa besar jumlah oksigen yang dapat menyebabkan

peningkatan kadar MDA.(57)

Radikal bebas diproduksi secara terus-menerus didalam tubuh sebagai hasil

sampingan dari proses metabolisme sel normal, namun beberapa kondisi diketahui

dapat mengganggu keseimbangan antara produksi radikal bebas dan mekanisme


63

pertahanan sel.(58) Ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dan

mekanisme pertahanan sel oleh antioksidan disebut sebagai stres oksidatif.(59)

Stres oksidatif menyebabkan peroksidasi lipid yaitu proses dimana radikal

bebas mengambil elektron pada lipid membran sel yang menyebabkan terjadinya

kerusakan sel. Peroksidasi lipid mengakibatkan dilepaskannya senyawa aldehide

yang dikenal sebagai MDA. Sehingga semakin tinggi kadar MDA dalam tubuh

menandakan semakin tinggi stres oksidatif yang terjadi didalam tubuh.(8)

Stres oksidatif merupakan peristiwa fisiologis yang terjadi akibat

perpindahan periode fetal ke neonatal. Stres oksidatif terlibat pada berbagai proses

patologis pada neonatus.(60) Berdasarkan teori, pajanan oksigen konsentrasi tinggi

meskipun bermanfaat dapat memicu stres oksidatif. Derajat stres oksidatif tidak

hanya bergantung pada asupan oksigen, tetapi melibatkan berbagai proses

penghasil SOR. Stres oksidatif pada neonatus dapat disebabkan oleh beberapa

keadaan yaitu bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), bayi premature, bayi

dengan kelainan kongenital, terkena oksigen konsentrasi tinggi, terdapat infeksi

atau peradangan dan pertahanan antioksidan yang kurang.(61)

Oleh karena banyak faktor yang menyebabkan terjadinya stres oksidatif

dengan menggunakan metode TBARS yang sensitif namun tidak spesifik sehingga

senyawa aldehid selain MDA dapat bereaksi dengan TBARS. Hal ini dapat

menyebabkan positif palsu yang berakibat nilai duga rendah. Metode pemeriksaan

lain yaitu dengan menggunakan High Performance Liqiud Chromatography

(HPLC) dilaporkan dapat meningkatkan spesifisitas pada pemeriksaan kadar MDA


64

serum, namun karena metode HPLC mahal membuat metode HPLC jarang

digunakan dalam lingkup penelitian yang terbatas.(8)

Semua faktor tersebut menjelaskan bahwa banyak hal yang dapat

berpengaruh terhadap kadar MDA. Sehingga pada hasil analisis menunjukkan

bahwa tidak terdapat perbedaan kadar MDA pada neonatus yang diberi terapi

oksigen dengan neonatus yang tanpa terapi oksigen dengan nilai p 0,088> 0,05.

Rata-rata (mean) kadar MDA kategori diberi terapi oksigen sebesar 9,73µmol/L dan

untuk kadar MDA kategori tanpa terapi oksigen sebesar 8,53 µmol/L.

4.3 Keterbatasan Penelitian

Adapun keterbatasan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Belum ada batasan terapi oksigen yang dapat menyebabkan stres

oksidatif pada neonatus

2. Metode TBARS yang digunakan pada penelitian ini memiliki

sensitifitas yang tinggi dan spesifisitas yang rendah sehingga dapat

mendeteksi senyawa aldehid lain selain MDA.

3. Penelitian dilakukan di ruang NICU/NHCU RSUD

PROF.DR.W.Z.Johannes Kupang sehingga distribusi responden

berdasarkan penyakit dengan terapi oksigen dan tanpa terapi oksigen

bervariasi.

4. Banyak faktor perancu yang dapat mempengaruhi stres oksidatif


65

BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan
66

Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di RSUD Prof. Dr. W.Z.

Johannes Kupang Tahun 2017 diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Tidak terdapat perbedaan kadar MDA pada neonatus yang diberi terapi

oksigen dengan neonatus yang tanpa terapi oksigen dengan nilai p 0,088>

0,05

2. Rata-rata (mean) kadar MDA pada neonatus yang diberi terapi oksigen

sebesar 9,73µmol/L

3. Rata-rata (mean) kadar MDA pada neonatus yang tanpa terapi oksigen

sebesar 8,53µmol/L

5.2 Saran

5.2.1. Bagi Peneliti Lain

1. Peneliti selanjutnya dapat memberikan batasan tentang jumlah ataupun

jenis terapi oksigen yang digunakan dalam penelitian sehingga dapat

menggambarkan batasan terapi oksigen yang dapat menyebabkan stres

oksidatif pada neonatus

2. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat melanjutkan penelitian ini

dengan menggunakan metode HPLC dengan sensitifitas tinggi dan

spesifitas tinggi agar hasil penelitian lebih baik.

3. Peneliti yang ingin melanjutkan penelitian ini akan lebih baik jika

penelitian dilakukan diruang NICU/NHCU untuk pasien sakit dan

ruang rawat gabung untuk pasien sehat agar hasil yang didapatkan lebih

baik dan signifikan.


67

4. Membuat variabel perancu pada penelitian ini sebagai kriteria eksklusi

agar hasil yang didapat lebih baik dan signifikan.

5.1.2 Bagi RSUD Prof.DR.W.Z.Johannes Kupang

Peningkatan kadar MDA mengindikasikan tingginya kondisi stres oksidatif

pada neonatus yang dirawat di ruang NICU baik diberi terapi oksigen atau tanpa

diberi terapi oksigen.Oleh karena itu, peneliti menyarankan pihakrumah sakit agar

dapat mempertimbangkan pemeriksaan kadar MDA sebagai pemeriksaan biokimia

tambahan dan menjadi pertimbangan pemberian terapi antioksidan pada neonatus

yang dirawat di ruang NICU/NHCU RSUD Prof.DR.W.Z.Johannes Kupang.

5.1.3 Bagi Institusi Pendidikan

Bagi institusi pendidikan dapat melengkapi hal-hal yang menjadi kekurangan

dan keterbatasan dalam penelitian ini seperti dari segi variabel yang belum diteliti

sehingga dapat memperkaya informasi berkaitan dengan kadar MDA pada

neonatus.

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Hasil Riset Kesehatan


68

Dasar (Riskesdas) Indonesia Tahun 2007. Jakarta; 2008.


2. WHO. Maternal Mortality. 2014.
3. Seran SB A, Salmun. Profil Kesehatan NTT 2010 Edisi Revisi. 2010;
4. Dinas Kesehatan. Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kupang;
2014.
5. Hunt J. Guidelines for the Use of Continuous Positive Airway Pressure
(CPAP) in Adults. Royal United Hospital Bath NHS Trust; 2007.
6. E.Gitto, S.Pellegrino, S.D’Arrigo, Barberi I, Reite RJ. Oxidative stress in
resuscitation and in ventilation of newbornse. 2009;34: 1461–9.
7. Har, Lee W I. Antioxcidant activity, total phenolic and total flavonoid of
syzygium polyanthum(wight)walp leaves. 2012.
8. Rahardjani KB. Hubungan antara Malondialdehyde (MDA) dengan Hasil
Luaran Sepsis Neonatorum. Sari Pediatri; 2010;Vol. 12, N.
9. Vento. Resuscitation of The Term and Preterm Infant. 2009;107:547–64.
10. Karyuni. Buku Saku Masalah Bayi Baru Lahir Panduan Untuk Dokter,
Perawat, dan Bidan. Jakarta: EGC; 2008.
11. Kukuh R. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita dan Anak Prasekolah. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar; 2014.
12. Damanik S. Klasifikasi Bayi Menurut Berat Lahir dan Masa Gestasi. In:
Buku Ajar Neonatologi. Pertama. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2012. p. 12–3.
13. Kementerian Kesehatan RI. Pelayanan kesehatan neonatal esensial: panduan
teknis pelayanan kesehatan dasar. Jakarta; 2010.
14. Dewi VNL. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta: Salemba
Medika; 2010.
15. Suradi R. Pemeriksaan Fisis pada Bayi Baru Lahir. In: Buku Ajar
Neonatologi. Pertama. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012. p. 71–
88.
16. Lissauer A. Selayang Neonatalogi. 2nd ed. Jakarta; 2013. Indeks. 150-6.
17. Saifuddin AB. Buku Acuan Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta: YBPSP; 2009.
18. Hidayat AA. Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Edisi 2. Jakarta:
Salemba Medika; 2007.
69

19. American Heart Association and American Academy of Perdiatrics.


Textbook of Neonatal Resuscitation. In: Nani Dharmasetiawani, editor.
Buku Ajar Neonatologi. Pertama. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2012. p. 114.
20. Lundstrom KE, Pryds O, Greisen G. Ocygen at Birth and Prolonged Cerebral
and Emergency Cardiovascular Care. In: Dhamasetiawani N, editor. Buku
Ajar Neonatologi. Pertama. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012.
21. Davis PG, Tan A, O’Donnel CP, Schulze A. Resuscitation of Newborn infant
with 100% oxygen or ar : A systematic review and meta-analysis. In: Nani
Dharmasetiawani, editor. Buku Ajar Neonatologi. Pertama. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2012.
22. Said M, Daulay R, Naning R, Dadiyanto DW. Prosedur Tindakan pada
Penyakit Respiratorik. In: Buku Ajar Respirologi Anak. Pertama. Jakarta:
UKK Respirologi IDAI; 2015.613–36p.
23. Rohiswatmo R. Terapi Oksigen Pada Neonatus. Jakarta: Divisi Perinatologi
Ilmu Kesehatan Anak FKUI - RSCM; 2010.
24. Matai S, Peel D, Jonathan M, Wandi F, Shubi R, Duke T. Implementingan
oxygen programme in hospitals in Papua New Guine. AnnTropPaediatr;
2008. 28:71 p.
25. Dobson M, Peel D, Khallaf N. Fieldtrial of oxygen concentrators in upper
Egypt. Lancet 1996; 347:1597-1599. p.
26. Kosim Sholeh M. Gangguan Napas pada Bayi Baru Lahir. In: Buku Ajar
Neonatologi. Pertama. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012. p. 138–
9.
27. Davis MA. Respiratory Disorders of The Newborn. In: Kosim MS, editor.
Buku Ajar Neonatologi. Pertama. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2012. p. 139.
28. Kaban RK, Kosim Sholeh M. Prosedur Medik Bayi Baru Lahir : Ventilasi
Mekanik pada Bayi Baru Lahir. In: Buku Ajar Neonatologi. Pertama.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012.
29. Murray RK. Radikal Bebas dan Nutrien Antioksidan. In: Soeharsono R,
Sandra F, Ong HO, editors. Biokimia Harper. Ed. 29. Jakarta: EGC; 2014.
30. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku Ajar Patologi Robbins. Ed.7 ed.
Prasetyo A, Pendit BU, Priliono T, editors. Jakarta: EGC; 2007.
31. Tremallen K. Oxidative Stress and Male Infertility – A Clinical Perspective.
Human Reproduction Update; 2008. 1-16 p.
32. Winarsi H. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas: Potensi dan Aplikasinya
70

dalam Kesehatan. Yogyakarta: Kanisius; 2007.


33. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. Buku Ajar . MS DK, Yunanto A, Dewi R,
Sarosa GI, Usman A P, editors. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2008. h.147- 69. p.
34. Uy CC. Hyperbilirubinemia, indirect (unconjugated hyperbilirubinemia).
Dalam: Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology:
management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs. Edisi ke-6.
New York: Lange Medical Book/McGraw-Hill; p. 498-510.
35. Gilmore MM. Gilmore MM. Hyperbilirubinemia, indirect (unconjugated
hyperbilirubin-emia). Dalam: Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk
KE, penyunting. Neonatology: management, procedures, on-call problems,
diseases, and drugs. Edisi ke-6. New York: Lange Medical Book/McGraw-
Hill; 2009. h.293-301. p.
36. Porter ML DB. Hyperbilirubinemia in the term newborn. Am Fam Phys;
2002. 65:599-606 p.
37. Arkhaesi N. Kadar Malondialdehide (MDA) Serum Sebagai Indikator
Prognosis Keluaran Pada Sepsis Neonatorum. 2008;
38. Taylor A, Vincent HK. Biomarkers and potential mechanisms of obesity -
induced oxidant stress in humans. USA: International Journal of Obesity,
London; 2006. 30(3) : 400-18.
39. Siswonoto S. Correlation of Plasma Malondialdehyde with Clinical
Outcome Acute Ischemic Stroke. Semarang: Bagian Ilmu Bedah Saraf FK
UNDIP; 2008.
40. Asni, Enikarmila. Pengaruh Hipoksia Berkelanjutan terhadap Kadar
Malondialdehid, Glutation Tereduksi dan Aktivitas Katalase Ginjal Tikus.
Indones Sci J. Jakarta; 2009;
41. Yoshikawa, Naito. What is oxidative stress ? JMAJ; 2002. 45: p 271--6.
42. Rakhmahayu A. Hubungan antara asfiksia neonatorum dengan daya reflek
sucking pada bayi baru lahir umur 0 hari di RSUD Karanganyar. Surakarta;
2016.
43. Indra J, Dadang HS, Sjarif HE. Kesesuaian Skor New Ballard terhadap Hari
Pertama Haid Terakhir Ibu pada Bayi Cukup Bulan yang Lahir Asfiksia dan
Tidak Asfiksia. J Indon Med Assoc. 2011;Vol.61:10.
44. Ekasari WU. Pengaruh Umur Ibu, Paritas, Usia Kehamilan dan Berat Lahir
Bayi terhadap Asfiksia Bayi pada Ibu Pre Eklamsia Berat. Surakarta; 2015.
45. Manuaba IB., Manuaba I. C, Manuaba IB. F. Pengantar Kuliah Obstetri.
Jakarta: EGC; 2007.
71

46. Pantiawati. Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah. Yogyakarta: Nuha
Medika; 2010.
47. Cloherty J, Stark A, Eichenwald E. Manual of Neonatal Care. 6th, editor.
Lippincott, Wilkins and Williams; 2008.
48. Marfuah, Barlianto W, Susmarini D. Faktor Risiko Kegawatan Nafas pada
Neonatus di RSD.DR.Haryoto Kabupaten Lumajang Tahun 2013. 2013;1.
49. Agustin L, Tamtomo D, Budihastuti UR. Analisis Multifaktor Yang
Mempengaruhi Asfiksia Neonatorum. Surakarta; 2016.
50. Prambudi R. Penyakit pada Neonatus. In: Neonatologi Praktis. Cetakan Pe.
Bandar Lampung: Anugrah Utama Raja; 2013. p. 57–62.
51. Yeh TF. Core Concepts: Meconium Aspiration Syndrome : pathogenesis and
current management. Am Assoc Ped. 2010;
52. Short M. Linking The Sepsis Triad Inflammation, Coagulation and
Supressed Fibrinolysis to Infants. Adv Neonatal Care. 2004;5:258–73.
53. Goldstein B, Giroir B, Randolph A. Definition of Sepsis and Organ
Dysfunction in Pediatrics. Pediatr Crit Care Med. 2005;6(1)(Member of The
International Consensus Conference in Neonatal Sepsis):2–8.
54. Depkes RI. Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial. Jakarta: Depkes RI;
2007.
55. Widyaningsih W, Sativa R, Primardiana I. Efek Antioksidan Ekstrak Etanol
Ganggang Hijau (Ulva lactuca L.) Terhadap Kadar Malondialdehide (MDA)
dan Aktivitas Enzim Superoksida Dismutase (SOD) Hepar Tikus yang
Diinduksi CCl4. Yogyakarta; 2015.
56. Trihono PP, Widiastuti E, Pardede SO, Endyarni B, Alatas FS. Pelayanan
Kesehatan Anak Terpadu. Cetakan Pe. Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013.
57. Mohan, Priya. Mohan SK and Priya V. Status of Lipid Peroxidation,
Enzymes in Neonatal Jaundice Patients. J Clin Diagnostic Res. 2008;3: 827–
32.
58. Moussa SA. Oxidative Stress in Diabetes Mellitus. 18(3) ed. Romanian J.
Biopshy; 2008.p 225-36.
59. Puspitasari ML, Wulansari TV, Widyaningsih TD, Maligan JM, Nugrahini
NIP. Aktivitas Antioksidan Suplemen Herbal Daun Sirsak (Annona muricata
L) dan Kulit Manggis (Garcinia mangostana L). J Pangan dan Agroindustri.
2016;Vol. 4:283–90.
60. Tsukahara H, Jiang M, Ohta N, Sato S, Tamura S, Hiraoka M. Oxidative
72

Stress in Neonates : Evaluation using spesific biomarkers. Life Sci.


2004;933–8.
61. Powers SK, MJ. Exercise-induced oxidative stress: cellular mechanisms and
impact on muscle force production. Physiol; 2008.

Lampiran 1. Anggaran

Biaya
No Uraian Jumlah Biaya Total
Satuan

Penyewaan Alat
1 60 Sampel Rp. 25.000 Rp. 1.500.000
Metode ELISA
73

Pengukuran Kadar
2 60 Sampel Rp. 20.000 Rp. 1.200.000
MDA

3 Spuit 100 buah Rp. 1.200 Rp. 120.000

4 Tisu 2 pak Rp. 30.000 Rp. 60.000

5 Tabung EDTA 100 buah Rp. 3.500 Rp. 350.000

6 Pipet Tetes 100 buah Rp. 2000 Rp. 200.000

7 Biaya Administrasi Rp. 500.000

8 Transportasi Rp. 500.000

9 Percetakan Rp. 500.000

10 Uji Etik Rp. 150.000

11 Lain-lain Rp. 500.000

Total Anggaran Rp. 5.580.000

Lampiran 2. Jadwal Kegiatan

Waktu Pelaksanaan
No. Kegiatan Jan- Apr Mei Jun Jul Ags Spt Okt Nov Des Jan
Mar
1. Survey
2. Seminar
Proposal
74

3. Kaji Etik
4. Pengumpulan
Data
5. Tabulasi Data
6. Seminar Hasil
7. Ujian Skripsi

Lampiran 3. Lembar Penjelasan Sebelum Penelitian

UNIVERSITAS NUSA CENDANA


FAKULTAS KEDOKTERAN
LEMBAR PENJELASAN SEBELUM PENELITIAN
75

Bapak/ibu yang saya hormati, perkenalkan nama saya Rani Nisaul Karomah,
mahasiswi semester 6 Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana. Saat ini saya
sedang melakukan penelitian yang berjudul “Kadar Malondialdehide (MDA) pada
Neonatus yang Mendapat Terapi Oksigen dan Neonatus yang Tidak Mendapat
Terapi Oksigen di RSUD Prof. DR. W.Z. Johannes Kupang” sebagai salah satu
syarat mendapatkan gelar sarjana kedokteran saya. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kadar Malondialdehide (MDA) khususnya pada bayi baru lahir
bapak/ibu yang mendapat terapi oksigen dan tidak mendapat terapi oksigen di
RSUD Prof. DR. W.Z Johannes Kupang. Malondialdehide merupakan hasil
peroksidasi lipid yang merupakan biomarker biologi stres oksidatif.Stres oksidatif
merupakan keadaan dimana tidak seimbangnya antioksidan dan radikal bebas.
Ketidak-seimbangan tersebut timbul akibat pengaruh dari terapi oksigen yang tidak
diawasi secara baik. Adapun manfaat penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar
Malondialdehide (MDA) khususnya pada bayi baru lahir bapak/ibu yang mendapat
terapi oksigen dan tidak mendapat terapi oksigen sehingga dapat menjadi bahan
pertimbangan untuk memberikan suplemen antioksidan pada bayi yang akan
diberikan terapi oksigen.
Pada penelitian ini saya akan menggunakan plasma darah vena dari sisa
pemeriksaan darah lengkap bayi bapak/ibu yang dirawat diruang NICU RSUD.
Prof. DR. W.Z. Johannes Kupang. Setelah penjelasan ini saya akan memberikan
lembar persetujuan menjadi subjek dalam penelitian ini. Peneliti menjamin
kerahasiaan semua data penelitian ini. Disamping itu, penelitian ini bersifat
sukarela, jadi setelah membaca penjelasan ini bapak/ibu dapat setuju atau menolak
untuk menjadi subjek penelitian. Semua biaya dalam penelitian ini ditanggung oleh
peneliti dan peneliti juga akan memberikan insentif berupa perlengkapan bayi
kepada bapak/ibu sebagai wali dari bayi yang bersedia menjadi subjek dalam
penelitian ini. Apabila bapak/ibu setuju untuk menjadi subjek penelitian, maka
diharapkan mengisi formulir persetujuan setelah penjelasan.
Demikian gambaran mengenai penelitian yang akan dilakukan. Jika selama
menjalani penelitian ini terdapat hal-hal yang kurang jelas maka bapak/ibu dapat
76

menghubungi saya Rani Nisaul Karomah dengan Nomor Telepon 082278199142


atau di Fakultas Kedokteran Nusa Cendana Jl. Adisucipto – Penfui Kupang.

Terima kasih.
Hormat saya,

Rani Nisaul Karomah

Lampiran 4. Persetujuan Mengikuti Penelitian

FORMULIR PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN SETELAH


MENDAPAT PENJELASAN

Saya yang bertandatangan di bawah ini :


77

Nama :

Umur :

Alamat :

Telp. :

Setelah mendapatkan penjelasan tentang pengisian formulir kadar

Malondialdehide (MDA) pada neonatus yang mendapat terapi oksigen dan tidak

mendapat terapi oksigen, menyatakan setuju untuk ikut dalam penelitian ini secara

sukarela tanpa paksaan. Saya mengerti bahwa dari semua hal yang dilakukan

peneliti pada saya seperti pengisian formulir dan risiko penelitian. Saya tahu bahwa

keikutsertaan saya ini bersifat suka rela tanpa paksaan, sehingga saya bisa menolak

ikut atau mengundurkan diri dari penelitian ini tanpa kehilangan hak saya untuk

mendapat pelayanan kesehatan.Juga saya berhak bertanya atau meminta penjelasan

pada peneliti bila masih ada hal yang ingin saya ketahui tentang penelitian ini. Saya

juga mengerti bahwa semua biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan penelitian

ini, akan ditanggung oleh peneliti. Demikian juga biaya perawatan dan pengobatan

bila terjadi hal-hal yang tidak diingikan akibat penelitian ini, akan dibiayai oleh

peneliti. Saya percaya bahwa keamanan dan kerahasiaan data penelitian ini akan

terjamin dan saya dengan ini menyetujui semua data yang dihasilkan pada

penelitian ini untuk disajikan dalam bentuk lisan maupun tulisan. Bila terjadi

perbedaan pendapat dikemudian hari kami akan menyelesaikannya secara

kekeluargaan.

Nama Tanda tangan Tgl/Bln/Thn


78

Klien …………………. …………………… ……………………

Saksi 1 ………………….. …………………… ……………………

Saksi 2 ………………. … .……………….. …. ……………………

Penanggung Jawab Penelitian Penanggung Jawab Medis

Nama : Rani Nisaul Karomah. Nama : dr. Woro Indri Padmosiwi, Sp.A

Alamat : Jl. Adisucipto, Penfui. Alamat : Jl. Bumi I/3C, Liliba.

Telp : 082278199142. Telp : 08123982186.

Lampiran 5. Informed Consent

JUDUL : KADAR MALONDIALDEHIDE (MDA)


PADA NEONATUS YANG
MENDAPATKAN TERAPI OKSIGEN

TEMPAT PENELITIAN : RSUD PROF.DR. W.Z. JOHANNES


KUPANG
79

INFORMED CONSENT

Saya yang bertandatangan di bawah ini :


Nama :
Umur : tahun
Alamat :
Selaku ayah / ibu penderita :
Dengan ini setuju dan tidak keberatan untuk mengikuti penelitian yang
dilaksanakan oleh:
Nama : Rani Nisaul Karomah
NIM : 1408010001
Fakultas : Kedokteran
Universitas: Universitas Nusa Cendana
Dan akan mengikuti penelitian ini secara sukarela tanpa paksaan, namun
karena keikutsertaan dalam penelitian ini bersifat suka rela maka subjek penelitian
dapat sewaktu-waktu mengundurkan diri dari penelitian tanpa kehilangan hak untuk
mendapat pelayanan kesehatan.
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara mengambil darah vena dari sisa
pemeriksaan darah lengkap yang dilakukan pada bayi baru lahir yang dirawat
diruang NICU RSUD. Prof. DR. W.Z. Johannes Kupang. Sampel pada penelitian
ini adalah plasma dari darah vena bayi baru lahir yang mendapat terapi oksigen dan
bayi baru lahir yang tidak mendapat terapi oksigen sebanyak 0.5 cc pada masing-
masing sampel. Selanjutnya sampel tersebut dikirim untuk dilakukan pemeriksaan
kadar Malondialdehide (MDA) di Laboratorium Poltekes Analis Kota Kupang.
Keuntungan yang diperoleh subjek penelitian adalah dapat mengetahui kadar
Malondialdehide (MDA) yang merupakan suatu antioksidan dengan kemampuan
menurunkan efek radikal bebas yang disebabkan oleh pemberian terapi oksigen.
Hal ini berguna untuk mengetahui apakah ada pengaruh dari terapi oksigen terhadap
kadar Malondialdehide (MDA) pada bayi baru lahir.
80

Kerugian yang dialami penderita pada penelitian ini dapat dikatakan hampir
tidak ada, karena peneliti tidak memberikan intervensi kepada penderita.
Pengambilan darah juga akan dilakukan oleh tenaga kesehatan yang sudah
kompeten di bidangnya. Untuk mengantisipasi risiko infeksi pada tempat
pengambilan darah, maka dilakukan secara aseptik.Peneliti memilih bayi cukup
bulan dengan berat lahir minimal 1.500 gram sehingga memungkinkan
pengambilan sampel darah yang relatif banyak. Selanjutnya pada penderita akan
diberikan insentif berupa peralatan bayi.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanpa
paksaan.

Kupang,……………......2017
Yang Memberi Penjelasan Yang Membuat Pernyataan

(…………………………………….) (………………………………………)

Lampiran 6. Master Data

1. Responden dengan Terapi Oksigen

Jenis
Jenis Usia Berat Penggunaan Jumlah
No.
Kelamin Kehamilan Badan Terapi O2 O2 MDA
Terapi O2

2 1 2 4 1 1 1 1

3 2 2 4 1 2 2 1

4 1 4 3 1 3 3 1
81

14 1 1 4 1 2 2 3

15 1 3 3 1 2 2 1

17 1 2 7 1 2 2 1

20 1 1 1 1 1 1 1

21 2 1 4 1 1 1 1

22 2 1 6 1 2 2 1

23 2 1 2 1 3 3 1

24 1 3 2 1 2 2 1

28 2 3 1 1 2 2 1

29 2 1 1 1 2 2 1

31 2 2 4 1 1 1 1

32 2 1 5 1 2 2 1

33 2 2 1 1 2 2 1

34 1 1 3 1 2 2 1

35 2 4 2 1 2 2 1

36 2 1 1 1 2 2 3

37 1 1 1 1 2 2 1

39 1 1 5 1 2 2 1

41 2 1 2 1 2 2 1

43 1 1 4 1 2 2 2

46 1 4 3 1 2 2 1

47 1 2 1 1 2 2 1

49 2 1 4 1 2 2 1

53 2 1 2 1 2 2 1

54 1 3 3 1 2 2 1

58 2 1 2 1 2 2 1

59 1 1 2 1 2 2 1
82

2. Responden Tanpa Terapi Oksigen


Jenis
Jenis Usia Berat Penggunaan Jumlah
No.
Kelamin Kehamilan Badan Terapi O2 O2 MDA
Terapi O2

1 1 2 3 2 1

5 1 5 2 2 1

6 1 2 4 2 3

7 1 4 4 2 1

8 1 2 3 2 1

9 1 2 3 2 3

10 1 2 5 2 1

11 2 1 2 2 1

12 1 3 6 2 1

13 1 1 2 2 3

16 2 1 1 2 1

18 1 2 3 2 1

19 2 4 4 2 1

25 2 4 4 2 1

26 2 1 3 2 1

27 1 4 5 2 3

30 1 2 4 2 1

38 2 2 1 2 1

40 1 1 5 2 1

42 1 3 2 2 1

44 1 1 3 2 3

45 1 4 4 2 1

48 2 1 1 2 1

50 1 2 1 2 3

51 1 1 3 2 1
83

52 1 1 2 2 2

55 2 2 3 2 1

56 1 1 1 2 1

57 1 1 2 2 1

60 2 1 3 2 3

Keterangan :

Jenis Kelamin Penggunaan Terapi O2


1 : laki-laki 1 : Diberi terapi oksigen
2 : perempuan 2 : Tanpa terapi oksigen

Usia Kehamilan (minggu) Jenis Terapi O2


1 : 37 1 : Nasal Kanul
2 : 38 2 : JR
3 : 39 3 : CPAP
4 : 40
9 : 41 Jumlah O2 (L/Menit)
1:1
Berat badan (gram) 2:5
1 : 1.500 – 2.000 3:7
2 : 2.100 – 2.500
3 : 2.600 – 3.000 MDA
4 : 3.100 – 3.600 1 : Meningkat
5 : 3.600 – 4.000 2 : Normal
6 : 4.100 – 4.500 3 : Menurun
7 : 4.600 – 5.000

Lampiran 7 Analisis Bivariat


NPar Tests

Mann-Whitney Test

Ranks

TERAPI N Mean Rank Sum of Ranks

MDA Terapi Oksigen 30 27,92 837,50


84

Tanpa Terapi Oksigen 30 33,08 992,50

Total 60

Test Statisticsa

MDA

Mann-Whitney U 372,500

Wilcoxon W 837,500

Z -1,704

Asymp. Sig. (2-tailed) ,088

a. Grouping Variable: TERAPI


85
86
87
88
89

Reagen TBARS
90

Persiapan Sampel

Pembuatan Standar

Pemanasan pada suhu 100˚C


91

Pembacaan kadar MDA dengan ELISA


Reader
92

Bersama orangtua responden didampingi Melihat perawat mengambil darah


perawat dan bidan NICU/NHCU
93

Bersama Ibu Marni selaku pembimbing selama penelitian di Poltekkes


Analis Kupang

Anda mungkin juga menyukai