Anda di halaman 1dari 4

Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan

padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting artinya bagi
ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke
dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh. Sediaan obat yang harus diuji
disolusinya adalah bentuk padat atau semi padat, seperti kapsul, tablet atau salep.
Faktor yang harus diperhatikan dalam uji disolusi yaitu: faktor teknologi,
misalnya gaya kompresi dan porositas, jenis mesin tablet, metode pabrikasi (e.g.
metode granulasi basah, kering); faktor formulasi misalnya zat pengisi, pengikat,
disintegran, lubrikan; faktor zat aktif misalnya kelarutan zat aktif dan ukuran
partikel; serta faktor lingkungan uji disolusi seperti pengadukan dan sifat media
disolusi (e.g. pH, suhu, viskositas, tegangan permukaan).
Beberapa kegunaan uji disolusi antara lain: menjamin keseragaman satu batch
(dalam QC), menjamin bahwa obat akan memberikan efek terapi yang diinginkan
(bioavailablitas dan bioequivalen), serta diperlukan dalam rangka pengembangan
suatu obat baru. Proses disolusi melalui beberapa tahap mulai dari lag – wetting –
penetrasi – disintegrasi – disagregasi – disolusi.
Laju disolusi didasari oleh hukum Noyes Whitney:
𝑑𝑀 𝐷𝑆
= (𝐶𝑠 − 𝐶)
𝑑𝑡 ℎ
𝑑𝑀
= laju disolusi
𝑑𝑡

D = koefisien disolusi
S = luas partikel zat
h = tebal lapisan difusi
Cs = kelarutan zat maksimal (jenuh)
C = konsentrasi zat dalam larutan dalam waktu t
Selain itu dari laju disolusi juga dapat diketahui obat atau zat tersebut termasuk ke
dalam biopharmaceutics classification system yang mana. Di mana kelas 1 memiliki
solubilitas dan permeabilitas yang tinggi, kelas 2 memiliki solubilitas yang buruk dan
permeabilitas yang tinggi, kelas 3 memiliki solubilitas yang tinggi dan permeabilitas
yang buruk, serta kelas 4 memiliki solubilitas dan permeabilitas yang buruk. Jika obat
memiliki solubilitas dan permeabilitas yang baik maka dapat dipastikan obat tersebut
akan memiliki profil disolusi yang baik pula. Jika disolusi baik maka akan
berpengaruh pada hasil bioavailabilitas yang juga akan meningkat.
Pada praktikum ini dilakukan uji disolusi terhadap tablet parasetamol yang dibuat
dengan metode granulasi basah dibandingkan dengan tablet parasetamol generik. Uji
disolusi dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang seberapa banyak zat aktif
obat yang dapat larut dan terabsorpsi ke dalam per satuan waktu. Menurut Farmakope
Indonesia V toleransi dalam waktu 30 menit harus larut tidak kurang dari 80% (Q),
parasetamol dari jumlah yang tertera pada etiket.
Dalam praktikum ini, media disolusi yang digunakan adalah dapar phospat pH
5,8. Dapar ini dibuat dari campuran NaOH 1,728 gram dan kalium dihidrogen
phospat 82,8 gram dan diad dengan air panas sampai 12 L. Dapar ini berfungsi
sebagai media untuk absorbsi obat yang dibuat sesuai dengan pH larutan dalam
tubuh. Pembuatan larutan dapar ini sesuai dengan dimana target obat akan diabsorbsi.
Sebagai salah satu tujuan dilakukan uji disolusi adalah untuk meramalkan absorbsi
obat dalam tubuh. Selain itu, uji disolusi ini juga berfungsi sebagai QC dalam evalusi
obat dan sebagai kelengkapan BA dan BE. Disolusi ini akan memastikan bahwa
penyimpanangan data dari yang seharusnya agar dapat diperkecil atau hendak
ditiadakan.
Sampel yang digunakan adalah tablet paracetamol yang ada dipasaran
dimana dalam hal ini bahwa nilai disolusi yang dimiliki telah memenuhi atau hampir
memenuhi persyaratan. Karena telah dilakukan QC atau uji untuk menentukan
disolusi dan telah diramalkan absorbsi obat yang telah dibuat. Dalam hal disolusi atau
kecepatan melarutnya obat dalam pelarut akan memiliki perbandingan yang lurus
dengan luas permukaan bahan padatnya. Selain itu, sifat fisiko-kimia zat aktif dan
eksipien yang dimiliki oleh tablet.
Laju absorbsi yang ini digunakan untuk menetukan kadar obat yang masuk
ke dalam darah setelah terabsorbsi. Uji disolusi ini bertujuan untuk menentukan
bioavabilitas secara in vivo. Hal ini juga dapat bertujuan unutk menentukan atau
mengembangkan formula yang lebih baik. Selain itu, keseragaman laju pelepasan
obat ini akan dipengaruhi oleh bioavabilitas secara in vivo. Selain itu, ini digunakan
sebai indicator kualitas obat dari satu batch ke batch yang lain untuk melihat
kekonsistenannya.
Jika kecepatan disolusi makin cepat, maka absorbs makin cepat. Zat aktif
akan dengan mudah terdispersi dalam media atau cairan biologis kemudian diikuti
absobsi zat aktif ke dalam sirkulasi sistemik. Dalam disolusi tahap pelepasan itu
antara lain, zat aktif akan melarut dahulu, lalu melewati saluran membran. Pada tablet
yang tidak berdesintegran, disolusinya akan rendah karena tidak ada zat yang
menghancurkan sediaan obat. Sedangkan tablet dengan desintegran akan memiliki
nilai disolusi yang tinggi karena obat akan terdispersi secara teratur dan berurut.
Dari hasil praktikum uji disolusi yang dilakukan didapatkan hasil kurva
baku paracetamol yaitu y= 0,0634 x +0,0509 dengan regresi linier 0.9959 pada λ
maksimum 243 nm. Pada uji disolusi paracetamol baku dilakukan step 1
dengan digunakan 6 unit tablet dan didapat kriteria penerimaan uji disolusi
paracetamol sebesar 8.163%, 7.952%, 8.164%, 8.526% , 9.102%, 9.314%.
Kriteria penerimaan uji disolusi step 1 yaitu setiap unit harus lebih dari Q+5%
dimana Q dalam 30 menit yaitu 80%. Dari hasil pengujian, kriteria penerimaan
yang didapatkan tidak memenuhi syarat karena tidak ada satupun yang lebih
dari Q+5% = 85% sehingga seharusnya perlu dilakukan uji disolusi step 2
dengan digunakan 12 tablet.
Pada kurva baku sampel tablet paracetamol didapatkan y = - 0,489x + 8,113
dengan regresi linier 0.8493 pada λ maksimum 243 nm. Pada uji disolusi sampel
tablet paracetamol dilakukan step 1 dengan digunakan 6 unit tablet dan didapat
kriteria penerimaan uji disolusi paracetamol sebesar 1.812%, 1.906%, 2.313%,
1.774%, 1.805%, 1.760%. Kriteria penerimaan uji disolusi dengan Q = 1,8948 %.
Syarat kriteria penerimaan uji disolusi pada tablet setiap unit harus lebih besar
dari Q+5% = 6. 8948%. Sedangkan hasil yang didapatkan tidak satupun yang
melebihi 6.8948%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sampel tablet tidak
memenuhi syarat dan seharusnyta perlu dilakukan uji disolusi step 2 dengan
digunakan 12 tablet.

Anda mungkin juga menyukai