MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Pendidikan Karakter
yang dibina oleh Dodik
Oleh
Kelompok 2
i
SOCIAL SKILLS (KETERAMPILAN SOSIAL)
Oleh
1. Virda Fanadia Fahma (160400005)
2. Ershavira Fatikha Sari (160400009)
3. Miladia Andini (160400013)
4. Uswatun Nadhiroh (160400017)
5. Jihan Sinatrya (160400021)
6. Tita Septiane Anggarsari (160400025)
7. Firda Gholiyah Abrani (160400029)
8. Kristiya Septiane (160400033)
9. Aditya Bagas Prayoga (160400037)
10. Zanuba Ma’rifatul Ni’mah (160400043)
11. Bunga Alif Diandara Mustofa (160400047)
12. Fairuz Alivia Nurrany (160400051)
13. Herisa Eril Hidayat (160400055)
14. Yesica Okta Nurvida (160400059)
15. Zuhria Chofifatur Rohman (160400063)
16. Nadhila Khoirunnisa (160400067)
17. M. Hannan Mahdiyah Fitri (160400071)
18. Jatu Atika Mahdalena (160400075)
19. Kevin Zinedine Tirtana (160400079)
20. Heny Okta Hardianti (160400083)
21. Annisa Rahmayani (160400087)
22. Azazani Kris Hanawati (160400091)
i
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
segala limpahan rahmat dan karunia-Nya telah memudahkan penulis untuk
menyelesaikan mekalah yang berjudul “Rekam Medis Elektronik (RME)”
sehingga penulis dapat memenuhi salah satu tugas matakuliah bahasa Indonesia.
Dalam penyususunan makalah ini penulis menyadari bahwa berkat dari
tuntunan dan bantuan dari semua pihak yang telah membantu, penulis
menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya. Dan penulis
menyadari dalam proses penulisan makalah ini masih dari jauh kesempurnaan
baik materi maupun dalam cara penulisannya. Namun demikian, penulis telah
berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga
dapat selesai dengan baik. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
2.4.4 Karakteristik Kemampuan Assertivity ................................................ 47
2.4.5 Karakteristik Orang yang Assertivity .................................................. 48
2.4.6 Manfaat Kemampuan Assertivity ......................................................... 49
2.4.7 Langkah-Langkah untuk Menjadi Assertivity..................................... 50
2.5 UNDERSTANDING OUTHER (MEMAHAMI ORANG LAIN) .......... 54
2.5.1 Pengertian Understanding Other (Memahami Orang Lain) ............. 54
2.5.2 Cara untuk Memahami Orang Lain ..................................................... 55
2.5.3 Aturan-Aturan untuk Memahami Orang Lain .................................... 60
2.6 INTEGRITAS .......................................................................................... 63
2.6.1 Pengertian Integritas .............................................................................. 63
2.6.2 Prinsip dasar Integritas .......................................................................... 66
2.6.3 Karakteristik Pribadi Berintegritas ....................................................... 67
2.6.4 Karakteristik Pemimpin Berintegritas ................................................. 72
2.6.5 Manfaat Berintegritas ............................................................................ 74
2.6.6 Langkah - langkah Memiliki Integritas ............................................... 75
2.7 DEDIKASI ............................................................................................. 76
2.7.1 Pengertian Dedikasi ............................................................................... 76
2.7.2 Faktor-Faktor Penumbuh Dedikasi ...................................................... 79
2.7.3 Cara Dedikasi .......................................................................................... 79
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 80
3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 80
3.2 Saran ....................................................................................................... 81
DAFTAR RUJUKAN ......................................................................................... 82
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, berikut ini tujuan penulisan
makalah.
1. Untuk mengetahui mengenai social skill
2. Untuk mengetahui mengenai leadership
3. Untuk mengetahui mengenai management conflict
4. Untuk mengetahui mengenai assertivity
5. Untuk mengetahui mengenai understanding other
6. Untuk mengetahui mengenai integritas
7. Untuk mengetahui mengenai dedikasi
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
kemajemukan, menggali, mengolah dan memanfaatkan informasi (Supriatna,
2007: 130).
Menurut Maryani (2011: 18) keterampilan sosial merupakan kemampuan
untuk menciptakan hubungan sosial yang serasi dan memuaskan berbagai pihak,
dalam bentuk penyesuaian terhadaplingkungan sosial dan memecahkan masalah
sosial. Tim Broad-Based=Education menyatakan keterampilan sosial sebagai
keterampilan berkomunikasi dengan empati dan keterampilan bekerjasama.
Chaplin dalam Suhartini (2004: 18) berpendapat bahwa keterampilan
social merupakan bentuk perilaku, perbuatan dan sikap yang ditampilkan oleh
individu ketika berinteraksi dengan orang lain disertai dengan ketepatan dan
kecepatan sehingga memberikan kenyamanan bagi orang yang berada
disekitarnya. Peningkatan perilaku sosial cenderung paling menyolok pada masa
kanak-kanak awal. Hal ini disebabkan oleh pengalaman sosial yang semakin
bertambah pada anak-anak mempelajari pandangan pihak lain terhadap perilaku
mereka dan bagaimana pemandangan tersebut mempengaruhi tingkatan
penerimaan kelompok teman sebaya akan tetapi, ada beberapa bentuk perilaku
yang tidak sosial atau antisosial. Sejauh mana terjadinya peningkat-an perilaku
sosial akan bergantung pada tiga hal. Pertama, seberapa kuat keinginan anak
untuk di terima secara sosial; kedua pengetahuan mereka tentang cara
memperbaiki perilaku; dan ketiga, kemampuan intelektual yang semakin
berkembang yang memungkinkan pemahaman hubungan antara perilaku mereka
dengan penerimaan sosial.
Merrel (2008) memberikan pengertian keterampilan sosial (Social Skill)
sebagai perilaku spesifik, inisiatif, mengarahkan pada hasil sosial yang diharapkan
sebagai bentuk perilaku seseorang.
Combs & Slaby (Gimpel dan Merrell, 1998) memberikan
pengertian keterampilan sosial (Social Skill) adalah kemampuan berinteraksi
dengan orang lain dalam konteks sosial dengan cara-cara yang khusus yang dapat
diterima secara social maupun nilai-nilai dan disaat yang sama berguna bagi
dirinya dan orang lain.
Hargie et.al (1998) memberikan pengertian keterampilan sosial (Social
Skill) sebagai kemampuan individu untuk berkomunikasi efektif dengan orang
4
lain baik secara verbal maupun nonverbal sesuai dengan situasi dan kondisi yang
ada pada saat itu, di mana keterampilan ini merupakan perilaku yang dipelajari.
Keterampilan sosial (Social Skill) akan mampu mengungkapkan perasaan baik
positif maupun negatif dalam hubungan interpersonal, tanpa harus melukai orang
lain.
Libet dan Lewinsohn (Cartledge dan Milburn, 1995) memberikan
pengertian keterampilan sosial (Social Skill) sebagai kemampuan yang kompleks
untuk menunjukkan perilaku yang baik dinilai secara positif atau negative oleh
lingkungan, dan jika perilaku itu tidak baik akan diberikan punishment oleh
lingkungan.
Kelly (Gimpel dan Merrel, 1998) memberikan keterampilan sosial
(Social Skill) sebagai perilaku-perilaku yang dipelajari, yang digunakan oleh
individu pada situasi-situasi interpersonal dalam lingkungan. Matson (Gimpel dan
Merrel, 1998) mengatakan bahwa keterampilan sosial (Social Skill), baik secara
langsung maupun tidak membantu seseorang a untuk dapat menyesuaikan diri
dengan standar harapan masyarakat dalam norma-norma yang berlaku di
sekelilingnya Keterampilan-keterampilan sosial tersebut meliputi kemampuan
berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri dan
orang lain, mendengarkan pendapat atau keluhan dari orang lain, memberi atau
menerima feedback, memberi atau menerima kritik, bertindak sesuai norma dan
aturan yang berlaku, dan lain sebagainya.
Beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa keterampilan sosial
adalah suatu kemapuan hidup manusia dalam dan segala aktifitas yang dilakukan
dapat terterima secara baik dilingkungan sosial mereka.
Atau dapat disimpulkan juga bahwa keterampilan sosial adalah sebuah alat
yang terdiri dari kemampuan berinteraksi, berkomunikasi secara efektif baik
secara verbal maupun nonverbal, kemampuan untuk dapat menunjukkan perilaku
yang baik, serta kemampuan menjalin hubungan baik dengan orang lain
digunakan seseorang untuk dapat berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan
oleh sosial.
5
2.1.2 Aspek-Aspek Social Skill
Keterampilan sosial sangat diperlukan ketika siswa memasuki kelompok
sebaya. Beberapa fakta menunjukan siswa dengan keterampilan sosial rendah
umumnya tidak disukai, dikucilkan, atau diabaikan oleh teman-teman. Siswa yang
seringkali mengalami kegagalan dalam lingkungannya, akan mendapatkan
penilaian negatif dari lingkungannya, demikian juga siswa yang tidak mempunyai
keterampilan sosial akan sulit mempertahankan dan menjalin hubungan dengan
teman lain, perilakunya seringkali merugikan diri sendiri dan orang lain sehingga
menimbulkan reaksi negatif dari teman-teman lain.
Keterampilan sosial dapat membawa anak untuk lebih berani menyatakan
diri, mengungkapkan setiap perasaan atau permasalahan yang dihadapi dan
sekaligus menemukan penyelesaian yang adaptif, sehingga mereka tidak mencari
pelarian ke hal-hal lain yang justru dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.
Menurut John Jarolimek (1993 : 9), Keterampilan sosial yang perlu
dimiliki oleh siswa tersebut yakni: (1) bekerjasama, toleransi, menghormati hak-
hak orang lain, dan memiliki kepekaan sosial, (2) memiliki kontrol diri, dan (3)
berbagi pendapat dan pengalaman dengan orang lain.
Pernyataan Jarolimek tersebut menunjukan bahwa keterampilan sosial itu
terdiri dari aspek-aspek keterampilan untuk hidup dan bekerjasama, keterampilan
untuk mengontrol diri dan orang lain, keterampilan untuk saling berinteraksi
antara satu dengan yang lainnya, saling bertukar pikiran dan pengalaman sehingga
tercipta suasana yang menyenangkan bagi setiap anggota dari kelompok tersebut.
Maka untuk meningkatkan keterampilan sosial tersebut diperlukan
berbagai aspek-aspek keterampilan sosial, menurut Janice.j Beaty (1998 : 147)
menyebutkan bahwa keterampilan sosial atau disebut juga prosocial behavior
(perilaku prososial) mencakup perilaku-perilaku sebagai berikut:
a. Empati yang di dalamnya anak-anak mengekspresikan rasa haru dengan
memberikan perhatian kepada seseorang yang sedang tertekan karena suatu
masalah dan mengungkapkan perasaan orang lain yang sedang mengalami konflik
sebagai bentuk bahwa anak menyadari perasaan yang dialami orang lain;
b. Kemurahan hati atau kedermawanan yang di dalamnya anak-anak berbagi dan
memberikan suatu barang miliknya pada seseorang;
6
c. Kerjasama yang di dalamnya anak-anak mengambil giliran atau bergantian dan
menuruti perintah secara sukarela tanpa menimbulkan pertengkaran; dan
d. Memberi bantuan yang di dalamnya anak-anak membantu seseorang untuk
melengkapi suatu tugas dan membantu seseorang yang membutuhkan.
7
ii. Ekspresi perasaan, yaitu ungkapan atau pernyataan perasaan yang dapat
terlihat melalui ucapan dan reaksi gerak isyarat yang menjadi ciri khas emosi-
emosi;
iii. Sikap positif terhadap diri, yaitu tingkah laku untuk mereaksi keadaan diri
dengan menerima kelebihan dan kekurangan yang ada;
iv. Perilaku bertanggung jawab;
v. Menerima konsekuensi terhadap hal-hal yang telah dilakukan; dan
vi. Merawat diri.
e. Keterampilan berkomunikasi,
Merupakan keterampilan yang diperlukan untuk menjalin hubungan sosial
yang baik. Kemampuan anak dapat dilihat dari beberapa bentuk antara lain
menjadi pendengar responsive, mempertahankan perhatian dalam pembicaraan
dan memberikan umpan balik terhadap teman bicara
8
Sedangkan Kelly, ( dalam Ramdani , 1994; Program Pdp “ Protect Read
Only”) mengatakan bahwa keterampilan sosial adalah perilaku-perilaku yang
dipelajari yang digunakan individu dalam situasi-situasi interpersonal untuk
memperoleh atau memelihara pengukuh dan lingkungan.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
keterampilan sosial merupakan suatu kemampuan mengatur pikiran, emosi dan
perilaku untuk memulai dan memelihara hubungan atau interaksi dengan
lingkungan sosial secara efektif dengan mempertimbangkan norma dan
kepentingan sosial serta tujuan pribadi.
9
sosial. Keterampilan sosial adalah rangkaian kompetensi peting bagi peserta
didik untuk memulai dan memelihara hubungan positif dengan teman sebaya, para
guru, keluarga serta lingkungan masyarakat lain.
Keterampilan sosial menurut Schneider dkk. (Rubin, Bukowski, and
Parker, 1998: http:/ educare. Efkipunla. Net) agar seseorang berhasil dalam
interaksi sosial, maka secara umum dibutuhkan beberapa keterampilan sosial
yang terdiri dari pikiran, pengaturan emosi, dan perilaku yang tampak, yaitu :
a. Memahami pikiran, emosi, dan tujuan atau maksud orang lain.
b. Menangkap dan mengolah informasi tentang partner sosial serta lingkungan
pergaulan yang potensial menimbulkan terjadinya interaksi.
c. Menggunakan berbagai cara yang dapat dipergunakan untuk memulai
pembicaraan atau berinteraksi dengan orang lain, memeliharanya, dan
mengakhirinya dengan cara yang positif.
d. Memahami konsekuensi dari sebuah tindakan sosial, baik bagi dirinya sendiri
maupun bagi orang lain atau target dari tindakan interaksi sosial tersebut.
e. Membuat penilaian moral yang matang yang dapat mengarahkan tindakan social.
f. Bersikap sungguh-sungguh dan memperhatikan kepentingan orang lain.
g. Mengekspresikan emosi positif dan menghambat emosi negatif secara tepat.
h. Menekan perilaku negatif yang disebabkan karena adanya pemikiran dan
perasaan yang negatif tentang partner sosial.
i. Berkomunikasi secara verbal dan non verbal agar partner sosial memahaminya.
j. Memperhatikan usaha komunikasi orang lain dan memiliki kemauan untuk
memenuhi permintaan partner sosial.
10
b. Interaksi Siswa dengan Lingkungan
Keterampilan sosial siswa terutama dipengaruhi oleh proses sosialisasinya
dengan orang tua yang terjalin sejak awal kelahiran. Melalui proses inilah orang
tua menjamin bahwa anak mereka memiliki standar perilaku, sikap dan
keterampilan dan motif-motif yang sedapat mungkin sesuai dengan diinginkan
atau tepat dengan perannya dalam masyarakat.
Dari beberapa faktor-faktor tersebut sangat memiliki pengaruh besar
terhadap perkembangan keterampilan sosial siswa sekarang ini, karena dizaman
era globalisasi saat ini lingkungan sosial itu dengan mudah memberikan efek
negative terhadap perilaku keterampilan sosial siswa itu sendiri.
11
dilakukan setelah melihat demonstrasi atau modelling beberapa ketrampilan.
Demonstrasi akan lebih efektif apabila berupa persoalan-persoalan yang realistis
serta relevan dengan peserta.
Prinsip yang terakhir dan tak kalah penting dalarn pelatihan adalah bahwa
sesungguhnya proses belajar itu adalah suatu pengalaman yang dimulai dari
peserta pelatihan dan berlangsung dalam diri peserta, karena itu peserta tidak
diajari tetapi diberi motivasi untuk mencari pengetahuan, ketrampilan, perilaku
yang lebih baru dengan menggali sumber daya dalam dirinya (Budilarasati, 1992).
Kemudian ada Pelatihan ketrampilan psikologik diciptakan sebagai
alternatif bagi pemberi bantuan atau konselor terhadap masyarakat golongan
sosial ekonomi menengah ke bawah. Berdasarkan data keberhasilan psikoterapi
yang dikumpulkan di Amerika Serikat (dalam Goldstein, 1981), psikoterapi sering
gagal atau kurang berhasil apabila diterapkan pada klien dari masyarakat
golongan ini. Data ini menunjukkan bahwa keberhasilan psikoterapi sangat
ditentukan oleh ciri-ciri klien yang tergolong dalam YAVIS. Yavis maksudnya
adalah psikoterapi akan lebih berhasil apabila kliennya adalah golongan muda
atau Young, Attractive, Verbal, atau memiliki ketrampilan verbal, intelligent atau
klien yang memiliki kemampuan intelektual yang memadai, dan Successful. Di
samping itu pada umumnya psikoterapi lebih diarahkan pada klien dari kelas
sosial menengah ke atas (Schofield, dalam Goldstein, 1981). Untuk klien yang
bukan YAVIS ini biasanya psikoterapi kurang disarankan.
Usaha mencari intervensi alternatif yang dapat digunakan untuk kelompok
non-YAVIS ini mendorong beberapa ahli untuk menyusun satu teknik yang
diduga dapat efektif membantu klien golongan ini. Teknik-teknik itu antara lain
prosedur belajar terstruktur, yang memuat berbagai pelatihan-pelatihan
ketrampilan psikologik.
Ada banyak pelatihan ketrampilan psikologik yang dikemukakan oleh
Goldstein (1981), yaitu pelatihan pemecahan masalah yang kreatif, pelatihan
asertivitas, pelatihan wawancara pekerjaan, dan pelatihan ketrampilan sosial.
Pada prinsipnya pelatihan ketrampilan psikologik ini dapat dilaksanakan
melalui 4 tahap, yaitu:
12
1. Modelling, yaitu tahap penyajian model yang dibutuhkan peserta pelatihan secara
spesifik, detil, dan sering.
2. Role playing, yaitu tahap bermain peran di mana peserta pelatihan mendapat
kesempatan untuk memerankan suatu interaksi sosial yang sering dialami sesuai
dengan topik interaksi yang diperankan model.
3. Performance feedback, yaitu tahap pemberian umpan bahk. Umpan balik ini harus
diberikan segera setelah peserta pelatihan mencoba agar mereka yang
memerankan tahu seberapa baik ia menjalankan langkahlangkah pelatihan ini.
4. Transfer training, yaitu tahap pemindahan ketrampilan yang diperoleh individu
selama pelatihan ke dalam kehidupan sehari-hari.
13
mampu, dan dapat mengikuti keinginan manajemen demi tercapainya tujuan yang
telah ditentukan sebelumnya dengan efisien, efektif, dan ekonomis.
Tannenbaum, Weschler, dan Massarik (1961) mengatakan “We difine
leadership as interpersonal influence, exercised in situation and directed throught
the communication process, toward the attainment of a specific goal or goals.”
Kepemimpinan didefinisikan sebagai saling pengaruh antar pribadi, dilatih dalam
situasi dan diarahkan melalui proses komunikasi untuk mencapai tujuan atau
tujuan-tujuan khusus.
Fiedler (1967) mengatakan bahwa “Leadership is the process of
influencing group activities toward goal setting and goal achievement,” sehingga
kepemimpinan diartikan sebagai proses mempengaruhi aktifitas kelompok untuk
menetapkan tujuan dan mencapai tujuan.
Terry (1972) memberi definisi bahwa “Leadeship is the relationship in
which one person, or the leade, influence others to work together willingly on
relatied taks to attain that which the leader desires,” ialah bahwa kepemimpinan
adalah hubungan yang ada dalam diri seseorang atau pemimpin mempengaruhi
orang-orang lain untuk bekerja sama secara sadar dalam hubungan tugas untuk
mencapai tujuan yang diinginkan pemimpin.
Hersey dan Blanchard (1982) menyatakan bahwa “Leadership is the
process of influencing the activities of an individual,” bahwa kepemimpinan tidak
lain adalah proses mempengaruhi kegiatan individu atau kelompok dalam usaha
untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu.
Robert dan Hunts (dalam Riyono & Zulaifah, 2001) mendefinisikan
seorang pemimpin adalah orang yang perilakunya dapat mempengaruhi atau
menentukan perilaku anggota lain dalam kelompoknya. Lester (2002)
mendefinisikan kepemimpinan sebagai seni mempengaruhi dan mengarahkan
orang dengan cara kepatuhan, kepercayaan, hormat dan kerja sama yang
bersemangat dalam mencapai tujuan bersama. Sementara praktisi biasanya
menerapkan pemimpin adalah orang yang menerapkan prinsip dan teknik yang
memastikan motivasi, disiplin dan produktivitas jika bekerjasama dengan orang
lain, tugas dan situasi agar mencapai tujuan organisasi.
14
Robbins (2002) mengamati bahwa definisi kepemimpinan begitu banyak.
Namun rangkuman dari berbagai definisi kepemimpinan itu adalah kepemimpinan
sebagai kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapainya
tujuan. Sumber dari pengaruh ini bisa formal, seperti misalnya karena adanya
penunjukkan dari organisasi. Pada model ini, pemimpin dapat menjalankan peran
kepemimpinan semata-mata karena kedudukannya. Pemimpin yang semacam ini
bisa saja dipatuhi oleh kelompok karena kedudukannya, bisa juga tidak didukung
oleh kelompok apabila dirinya bertentangan dengan kepentingan kelompok.
Selain itu juga dijumpai pemimpin informal, dimana biasanya pemimpin ini tidak
ditunjuk oleh organisasi untuk memimpin kelompok, namun ia muncul dari
anggota kelompok sebagai orang yang berpengaruh dalam kelompok tersebut.
Daft (2005) mengembangkan konsep pengaruh dan pencapaian tujuan ini
dalam definisi tentang kepemimpinan yaitu ”Leadership is an influence
relationship among leaders and followers who intend real changes and outcomes
that reflect their shared purposes (h.5)”. Dalam konteks ini yang ditambahkan
adalah adanya saling pengaruh antara pemimpin dan yang dipimpin. Bahwa
pemimpin juga akan dipengaruhi oleh reaksi orang yang dipimpinnya, demikian
sebaliknya. Kepemimpinan juga menyiratkan adanya niat dari yang memimpin
maupun yang dipimpin untuk membuat sebuah perubahan yang berarti, yang tidak
hanya didikte dari sang pemimpin, tetapi merupakan refleksi keinginan baik
pemimpin maupun yang dipimpin. Definisi ini juga menyiratkan bahwa
kepemimpinan terjadi di antara individu, artinya, pemimpin adalah individu yang
memiliki pengikut serta dapat menjadi contoh bagi individu lainnya untuk
bergerak.
Kepemimpinan pada hakekatnya dapat muncul di mana pun, apabila ada
unsur-unsur:
1) Ada orang yang memimpin atau mempengaruhi,
2) Ada orang yang dipengaruhi atau pengikut, bawahan atau kelompok yang mau
dikendalikan,
3) Adanya kegiatan tertentu dalam menggerakkan bawahan untuk mencapai tujuan
bersama, dan
4) Adanya tujuan yang diperjuangkan melalui serangkaian tindakan.
15
Dengan demikian kepemimpinan sesungguhnya terdapat di dalam setiap
sistem sosial, mulai dari sistem sosial yang terkecil, yaitu keluarga, kelompok
(group), organisasi, institusi, sampai pada komunitas. Untuk menjawab mengapa
kepemimpinan selalu muncul dalam setiap sistem sosial, kita dapat menganalisis
hakekat kepemimpinan dan hakekat sistem sosial.
16
Kesediaan menerima tanggung jawab. Pemimpin yang baik bersedia memikul hal
yang harus dikerjakannya dengan baik.
Ketrampilan sosial. Pemimpin yang efektif memiliki kemampuan diplomasi
sehingga kelompoknya mendapatkan penghargaan dari orang sekitarnya.
b. Pendekatan Perilaku
Menurut pendekatan ini, pemimpin yang baik tidak dilihat dari sifat apa
yang dimiliki, tetapi bahwa siapa yang dapat mengembangkan perilaku yang
tepatlah yang akan menjadi pemimpin yang baik. Sehingga riset-riset yang
dikembangkan bukan mempelajari bagaimana karakteristik seorang pemimpin
tetapi apa yang dilakukan pemimpin dalam situasi-situasi yang ada yang
membuatnya menjadi pemimpin yang baik.
Dalam pendekatan ini dikenal istilah:
Pemimpin yang autokratik yaitu pemimpin yang cenderung mensentralkan
otoritas dan mendapatkan kekuasaan karena posisinya, karena kemampuannya
memberikan hadiah dan hukuman,
Pemimpin yang demokratis: yaitu pemimpin yang mendelegasikan otoritas kepada
orang lain, mendorong adanya partisipasi, mengandalkan pengetahuan bawahan
untuk penyelesaian tugas, dan memanfaatkan perasaan respek dari bawahannya
dalam memberikan pengaruhnya.
Tannenbaum dan Schmidt (dalam Daft, 2005) menyarankan penggunaan
autokratik maupun demokratik harus disesuaikan dengan kondisi organisasi.
Misalnya dalam kondisi waktu yang genting dan anggota organisasi harus belajar
lama untuk mengambil keputusan, maka gaya autokratik akan cenderung lebih
efektif dibandingkan gaya demokratik. Sementara bila anggota organisasi sudah
memiliki kesiapan untuk dapat mengambil keputusan sendiri maka gaya
demokratis akan bisa dikembangkan. Bila jarak ketrampilan antara anggota
organsisasi dengan pemimpin terlalu jauh, biasanya pemimpin akan
mengembangkan gaya autokratik.
17
c. Pendekatan Contingency
Pendekatan ini menekankan kefektifan perilaku seorang pemimpin dalam
suatu situasi mungkin tidak akan efektif apabila diterapkan dalam situasi yang
lain. Dalam hal ini contingency diartikan sebagai: tergantung. Jadi seseorang akan
menjadi pemimpin efektif itu tergantung dari banyak hal.
Menurut Fiedler Contingency Model, ada dua macam gaya kepemimpinan.
Yang pertama: pemimpin yang berorientasi hubungan, yaitu pemimpin yang
memperhatikan hubungan dengan sesama, ia sangat sensitif dengan perasaan
orang lain dan berusaha menjaga hubungan baik. Yang kedua, adalah pemimpin
yang berorientasi tugas, yaitu menekankan pentingnya terselesaikannya tugas
daripada perhatiannya pada individu/orang.
Fiedler menemukan bahwa keefektifan gaya kepemimpinan seorang
pemimpin akan tergantung dari bagaimana kondisi situasi-situasi yang ada, yaitu:
hubungan antara pemimpin-bawahan (bila ada kepercayaan antara pemimpin-
bawahan, rasa hormat, kepercayaan terhadap pemimpin maka dikatakan
hubungannya bagus), Tingkat Terstrukturnya tugas, (tugas yang terstruktur adalah
yang memiliki prosedur yang spesifik, jelas, tujuan juga jelas, cenderung rutin,
terdefinisi dengan jelas), Posisi Kekuasaan Pemimpin (sejauhmana pemimpin
memiliki kekuasan formal terhadap bawahan. Disebut tinggi bila pemimpin
memiliki kekuasaan untuk merencanakan, mengarahkan pekerjaan bawahan,
mengevaluasinya dan memiliki kewenangan untuk memberikan hadiah dan
hukuman).
18
bakat kepemimpinan yang dikembangkan secara teratur dan pengalaman-
pengalaman kerja sehingga bakatnya berkembang menjadi kepribadiannya.
Sebenarnya untuk lahirnya seorang pemimpin yang jitu, dapat memenuhi
seluruh persyaratan yang diharapkan sukar sekali. Juga untuk memperoleh
seorang pemimpin itu tidak mudah, begitu saja dicetak atau diproduksi dibangku
sekoloah/pendidikan tetapi kematangan seorang pemimpin itu akan dipengaruhi
oleh :
1.Nilai-nilai dan sikap pribadi.
2.Pengetahuannya.
3.Kecerdasannya.
4.Komunisakasi dan ekologi yang memperhatikan adanya interaksi antara
lingkungan dan manusia itu baik lingkungan biologis, sosial maupun fisik.
Ukuran sejati seorang pemimpin ialah kesangguapannya dalam
mendapatkan orang-orang lain bertindak, untuk membantu hasil-hasil yang akan
dituju.
Kecakapan kepemimpinan seseorang itu ditentukan oleh :
a. Kondisi kemasakan kepemimpinan (Leadhership Maturity Conditions).
b. Hbungan antar pergaulan pemimpin (Leadership Human Relationship).
c. Tugas kewajiban kepemimpinan (Function Of Leader). (Wiyono Hadikusumo :
1973).
Dalam hal kemasakan kepemimpinan itu seseorang akan ditentukan oleh
suatu tingkat dmana terdapat pendewasaan dirinya dengan kesadaran penghayatan
serta berminat mempelajari segala sesuatu kekurangannya. Dalam hal ini akan
Nampak sesuatu kewibawaan serta kedewasaan apabila pada suatu waktu ia
mengenai persoalan, maka nampaklah pada dirinya suatu sikap kematangan
emosional yang dapat menguasai jiwanya dalam berbuat sesuatu, seperti :
1. Pandangan yang terarah pada persoalan yang dihadapi dengan kesiapan untuk
menyelesaikannya.
2. Kepercayaan akan kemampuan untuk dihadapi dengan antusias untuk dirinya.
3. Rasa tanggung jawab atas perbuatannya.
4. Dasar pertimbangan yang objektif dan tidak meragukan.
5. Mau melakukannya dengan melakukan pengorbanan yang terjadi pada dirinya.
19
6. Serta kewibawaan yang memancar pada dirinya dimana orang-orang merasa
hormat dan segan kemampuan.
Arti kepemimpinan yang efektif adalah sikap atas sikap dan perilaku
bawahan. Sehingga ia dalam sikap serta perbuatannya tidak ada yang tercela serta
percaya akan kemampuan yang ada pada dirinya. Dalam hubungan kemanusaiaan,
serta pemimpin dan bawahannya atau dengan para pemimpin yang lainnya hal itu
terjadi sebagai pelajaran manusia sosial. Dimana harus disadari bahwa manusia
tidak bisa hidup menyendiri terlepas dari yang lainnya. Yang jelas ia pasti akan
membutuhkannya.
Apalagi bagi seseorang yang dinamakan pemimpin itu harus mengadapi
para bawahannya, mereka sebagai manusia mempunyai perasaan yang sama.
Hubungan-hubungan sosial adalah hubungan-hubungan batin yang senantiasa
terjadi dengan spontan apabila ada sejumlah manusia berada bersama-sama
disuatu tempat atau sewaktu-waktu, maka sadar maupun tidak hubungan ini akan
terdapat. Sebab hakikat manusia itu adalah merupakan jalinan individualitas dan
makhluk sosial. Kalau pekerja merasa atau mendapat kesan bahwa dirinya
diperhatikan oleh dirinya, maka ia merasa lebih rela bekerja dengan sungguh-
sungguh bahkan memberikan lebih daripada yang diwajibkan, akhirnya bisa
menimbulkan kesediaan mengarungi samudera dan lautan apapun untuk
pimpinannya itu. Inilah pertanda adanya human relation yang ideal, pertanda-
pertanda lain dengan adanya relation yang baik suasana psikologi yang subur bagi
perusahaan dan menyenangkan pesertanya, adanya keikhlasan yang baik antar
pemimpin dan bawahannya serta adanya usaha untuk merundingkan secara damai
dalam kerukunan kerja. Faktor komunikasi timbal balik serta disiplin hidup dalam
bekerja menimbulkan gairah kerja untuk mencapai hasil yang optimal. Dalam hal
ini fungsi dan tugas kepemimpinan sudah sewajarnya diketahui pimpinan bahwa
ia tahu wewenang yang diterimanya dengan disertai tanggung jawab dan
pertanggung jawabannya. Tugas utamanya terfokus pada upaya memberikan visi,
motivasi, inspirasi, atasan serta memfasilitasi dalam kerja sama untuk menentukan
perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan sehingga para
bawahan bisa mencapai tujuannya.
20
Semua fungsi ini harus bisa diketahui oleh seorang pimpinan, ia tidak bisa
mengelakan dirinya bahwa dirinya tidak tahu semua itu. Ia bukan ditentukan oleh
posisinya tapi oleh fungsinya sebagai pemimpin serta kompetensi kepemimpinan
yang dimilikinya.
21
2. Teori Perilaku
Dasar pemikiran teori ini adalah kepemimpinan merupakan perilaku
seorang individu ketika melakukan kegiatan pengarahan suatu kelompok ke arah
pencapaian tujuan. Dalam hal ini, pemimpin mempunyai deskripsi perilaku:
a. Konsiderasi dan struktur inisiasi
Perilaku seorang pemimpin yang cenderung mementingkan bawahan
memiliki ciri ramah tamah,mau berkonsultasi, mendukung, membela,
mendengarkan, menerima usul dan memikirkan kesejahteraan bawahan serta
memperlakukannya setingkat dirinya. Di samping itu terdapat pula kecenderungan
perilaku pemimpin yang lebih mementingkan tugas organisasi.
3. Teori Situasional
Keberhasilan seorang pemimpin menurut teori situasional ditentukan oleh
ciri kepemimpinan dengan perilaku tertentu yang disesuaikan dengan tuntutan
situasi kepemimpinan dan situasi organisasional yang dihadapi dengan
memperhitungkan faktor waktu dan ruang. Faktor situasional yang berpengaruh
terhadap gaya kepemimpinan tertentu menurut Sondang P. Siagian (1994:129)
adalah:
22
a. Jenis pekerjaan dan kompleksitas tugas
b. Bentuk dan sifat teknologi yang digunakan
c. Persepsi, sikap dan gaya kepemimpinan
d. Norma yang dianut kelompok
e. Rentang kendali
f. Ancaman dari luar organisasi
g. Tingkat stress
h. Iklim yang terdapat dalam organisasi.
Efektivitas kepemimpinan seseorang ditentukan oleh kemampuan
"membaca" situasi yang dihadapi dan menyesuaikan gaya kepemimpinannya agar
cocok dengan dan mampu memenuhi tuntutan situasi tersebut. Penyesuaian gaya
kepemimpinan dimaksud adalah kemampuan menentukan ciri kepemimpinan dan
perilaku tertentu karena tuntutan situasi tertentu.
5. Teori lingkungan
Mumtord, menyatakan bahwa pemimpin muncul oleh kemampuan dan
keterampilan yang memungkinkan dia memecahkan masalah sosial dalam
keadaan tertekan, perubahan dan adaptasi. Sedangkan Murphy, menyatakan
kepemimpinan tidak terletak dalam dari individu melainkan merupakan fungsi
dari suatu peristiwa.
23
7. Teori interaksi harapan
Homan (1950) menyatakan semakin tinggi kedudukan individu dalam kelompok
maka aktivitasnya semakin meluas dan semakin banyak anggota kelompok yang
berhasil diajak berinteraksi.
8. Teori humanistic
Likert (1961) menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan proses yang saling
berhubungan dimana seseorang pemimpin harus memperhitungkan harapan-
harapan, nilai-nilai dan keterampilan individual dari mereka yang terlibat dalam
interaksi yang berlangsung.
9. Teori pertukaran
Blau (1964) menyatakan pengangkatan seseorang anggota untuk menempati status
yang cukup tinggi merupakan manfaat yang besar bagi dirinya. Pemimpin
cenderung akan kehilangan kekuasaaanya bila para anggota tidak lagi sepenuh
hati melaksanakan segala kewajibannya.
24
[pengalaman). Keduanya juga bisa saling melengkapi supaya didapatkan
kemampuan yang lebih alami.
Ketrampilan utama ketiga yang harus dimiliki adalah Soft skill. Ini
mungkin satu-satunya kemampuan yang tidak bisa dipelajari di jalur pendidikan
formal. Walaupun banyak pelatihan-pelatihan dewasa ini yang bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan soft skill dari seseorang, tetapi akan lebih efektif jika
didapatkan dari jalur pengalaman [non formal]. Yang termasuk soft skill
diantaranya, kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri, kemampuan untuk
mempengaruhi orang lain termasuk kemampuan untuk,Mengola konflik dalam
sebuah organisasi dan masih banyak lainnya.
25
mengambil inisiatif saat sebuah keputusan diperlukan. Inisiatif sering kali
menunjukkan potensi kepemimpinan karena sikap seperti itu menyingkap
motivasi; artinya, ia memahami situasi dan kemudian memilih tindakan yang
paling tepat.
b. Diperlukan Ujian
Mengabaikan pengetahuan itu adalah kebodohan karena pengetahuan tidak
hanya mengungkapkan faktor personal, namun juga sikap. Lebih daripada
keterampilan, sikap sering kali akan menentukan sebuah efektivitas. Sikap adalah
sesuatu yang tidak dapat diajarkan, dan banyak orang tidak sadar bahwa masalah
dalam hubungan mereka dengan organisasi adalah karena faktor sikap. Pengujian
dapat mengindikasi masalah seperti itu.
Beberapa tes psikologi juga mengungkapkan kelemahan dan minat. Hal itu
membantu seseorang dan pelatih untuk mengetahui dengan tepat bidang apa yang
seharusnya menjadi fokus. Tes yang bisa membantu dikembangkan oleh Craig
dan Charters; tes ini dapat dipakai dalam segala situasi untuk memberi suatu
indikasi akan kelemahan dan kelebihan seseorang. Di World Vision, kami sering
menggunakan apa yang disebut tes Worthington-Hurst guna membantu
menentukan kelemahan dan kelebihan dalam kepemimpinan
26
d. Percobaan
Kerja magang adalah metode yang dapat meningkatkan jiwa
kepemimpinan dengan mudah. Metode ini sering digunakan di toko besar, bank,
dan organisasi industri; gereja menganggap metode ini sebagai metode yang baik
sekali untuk mendapatkan seorang pemimpin. Metode ini memerlukan
pengetahuan akan sejarah dan misi organisasi. Setelah itu, ada percobaan selama
beberapa waktu. Jika ia menjalaninya dengan baik, ia akan naik tingkat saat ada
peluang
e. Mengukur Perkembangan
Perkembangan itu penting dan perkembangan itu harus diukur. Jika
pemimpin potensial tidak belajar menggunakan materi yang diajarkan pada
mereka dengan efektif, program pelatihan harus direvisi. Beberapa kriteria dapat
mengukur faktor ini, meski memang tidak mudah.Dalam analisa akhir,
perkembangan keterampilan memimpin dinilai dari performa. Bukan hanya pada
hal yang telah dilakukan pemimpin, tapi juga dalam hal kepuasan kerja, semangat
dan usaha gigih yang ditunjukkan para bawahan, dan tingkat kesetiaan dan sikap
yang diperlihatkan bawahan.
27
b. Keterampilan Membangun Tim Yang Kuat.
Pemimpin yang sesungguhnya adalah seorang pekerja tim. Jadi,
keterampilan membangun tim adalah keterampilan yang sangat strategis untuk
mensukseskan kepemimpinan yang sedang diperjuangkan tersebut. Pemimpin
harus bersikap bijak dan profesional dalam merakit sebuah tim yang tangguh dan
dinamis. Pemimpin harus menciptakan sebuah tim yang kreatif dan strategis untuk
membangun kinerja organisasi yang hebat. Pemimpin harus membangun tim yang
mampu meningkatkan rasa percaya diri organisasi untuk berprestasi secara
maksimal. Ingat! Pemimpin besar meraih hasil-hasil yang luar biasa melalui
timnya yang kuat, dan yang bertanggung jawab secara total pada fungsi dan peran
kerja masing-masing.
c. Keterampilan Negosiasi.
Negosiasi adalah bagian dari komunikasi yang terfokus untuk mencari
kesepakatan. Jadi, peran seorang pemimpin sebagai seorang negosiator ulung
tidaklah boleh diabaikan. Pemimpin harus bijak dan cerdas melihat semua
tantangan yang ada, dan cerdas menggunakan keterampilan negosiasi tersebut
untuk mentransformasikan semua tantangan menjadi peluang yang
menguntungkan organisasi yang di pimpin. Pemimpin adalah seorang negosiator
untuk mendapatkan kesepakatan terbaik, bukan seorang negosiator yang ngotot
dan tak mau kompromi terhadap tantanga
28
e. Keterampilan Memotivasi.
Seorang pemimpin adalah seorang motivator yang harus mampu
membangkitkan energi positif dari pengikut dan bawahannya, untuk secara
proaktif bergairah dan bersemangat tinggi dalam meraih prestasi yang hebat. Oleh
karena itu, pemimpin wajib memiliki keterampilan untuk memotivasi
pengikutnya, dan menggerakan para pengikut untuk melakukan hal-hal terpenting
buat kesuksesan organisasi. Motivasi bukan berarti sekedar berteriak-teriak
dengan semangat tinggi, tapi lebih kepada cara untuk merangkul hati dan pikiran
positif para pengikut. Lalu, membangun harapan dan rasa percaya diri mereka
untuk menjadi lebih hebat.
f. Keterampilan Mengorganisasi.
Seorang pemimpin adalah seorang organisator yang ulung. Kemampuan
pemimpin dalam mengorganisasi semua kekuatan yang ada akan menjadikan
kepemimpinan itu kuat dan solid. Melalui kebersamaan dalam organisasi yang
solid dan kuat, pemimpin pasti membawa setiap orang menuju puncak harapan.
29
Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama dalam
memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan
keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan yang berorientasi pada proses
manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi (termasuk perilaku) para
pelaku dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan penafsiran
terhadap konflik.
Fisher dkk (2001:7) menggunakan istilah transformasi konflik secara lebih
umum dalam menggambarkan situasi secara keseluruhan.
• Pencegahan Konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras.
• Penyelesaian Konflik, bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui
persetujuan damai.
• Pengelolaan Konflik, bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan
dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang terlibat.
• Resolusi Konflik, menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun
hubungan baru dan yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang
bermusuhan.
• Transformasi Konflik, mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang
lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi
kekuatan sosial dan politik yang positif.
Tahapan-tahapan diatas merupakan satu kesatuan yang harus dilakukan
dalam mengelola konflik. Sehingga masing-masing tahap akan melibatkan tahap
sebelumnya misalnya pengelolaan konflik akan mencakup pencegahan dan
penyelesaian konflik.
Sementara Minnery (1980:220) menyatakan bahwa manajemen konflik
merupakan proses, sama halnya dengan perencanaan kota merupakan proses.
Minnery (1980:220) juga berpendapat bahwa proses manajemen konflik
perencanaan kota merupakan bagian yang rasional dan bersifat iteratif, artinya
bahwa pendekatan model manajemen konflik perencanaan kota secara terus
menerus mengalami penyempurnaan sampai mencapai model yang representatif
dan ideal. Sama halnya dengan proses manajemen konflik yang telah dijelaskan
diatas, bahwa manajemen konflik perencanaan kota meliputi beberapa langkah
yaitu: penerimaan terhadap keberadaan konflik (dihindari atau
30
ditekan/didiamkan), klarifikasi karakteristik dan struktur konflik, evaluasi konflik
(jika bermanfaat maka dilanjutkan dengan proses selanjutnya), menentukan aksi
yang dipersyaratkan untuk mengelola konflik, serta menentukan peran perencana
sebagai partisipan atau pihak ketiga dalam mengelola konflik. Keseluruhan proses
tersebut berlangsung dalam konteks perencanaan kota dan melibatkan perencana
sebagai aktor yang mengelola konflik baik sebagai partisipan atau pihak ketiga.
2. Aspek Negatif
Apabila konflik mengarah pada hal negatif dan kondisi destruktif baik
untuk perorangan maupun kelompok, maka hal ini dapat berdampak :
Penurunan efektivitas kerja;
Adanya penolakan;
Resistensi terhadap perubahan;
Apatis,
Acuh tak acuh,
Bahkan mungkin muncul luapan emosi destruktif, berupa demonstrasi.
Konflik bisa di sebabkna oleh beberapa hal yang mengakibatkan ke dua
aspek (posif/negatif) tersebut bisa terjadi, diantaranya :
31
Batasan pekerjaan yang tidak jelas
Hambatan komunikasi
Tekanan waktu
Standar, peraturan dan kebijakan yang tidak masuk akal
Pertikaian antar pribadi
Perbedaan status
Harapan yang tidak terwujud
32
4. Mendengarkan secara aktif
Mendengarkan secara aktif merupakan hal penting untuk mengelola
konflik. Untuk memastikan bahwa penerimaan para manajer perawat telah
memiliki pemahaman yang benar, mereka dapat merumuskan kembali
permasalahan para pegawai sebagai tanda bahwa mereka telah mendengarkan.
Dalam mengelola konflik tidak bisa begitu saja tapi di perlukan teknik atau
keahlian untuk mengelola konflik seperti pendekatan dalam resolusi konflik
tergantung pada :
a. Konflik itu sendiri
b. Karakteristik orang-orang yang terlibat di dalamnya
c. Keahlian individu yang terlibat dalam penyelesaian konflik
d. Pentingnya isu yang menimbulkan konflik
e. Ketersediaan waktu dan tenaga
2.3.4 Metode Penanganan Konflik
Dalam menyelesaikan konflik kita membutuhkan beberapa metode.
Metode yang sering digunakan untuk menangani konflik adalah :
1) Mengurangi konflik;
Untuk metode pengurangan konflik salah satu cara yang sering efektif adalah
dengan mendinginkan persoalan terlebih dahulu (cooling thing down). Meskipun
demikian cara semacam ini sebenarnya belum menyentuh persoalan yang
sebenarnya. Cara lain adalah dengan membuat “musuh bersama”, sehingga para
anggota di dalam kelompok tersebut bersatu untuk menghadapi “musuh” tersebut.
Cara semacam ini sebenarnya juga hanya mengalihkan perhatian para anggota
kelompok yang sedang mengalami konflik.
2) Menyelesaikan konflik.
Cara dengan metode penyelesaian konflik yang ditempuh adalah sebagai
berikut :
a. Dominasi (Penekanan)
Metode-metode dominasi biasanya memilki dua macam persamaan, yaitu
i. Mereka menekan konflik, dan bahkan menyelesaikannya dengan jalan
memaksakan konflik tersebut menghilang “di bawah tanah”;
33
ii. Mereka menimbulkan suatu situasi manang-kalah, di mana pihak yang kalah
terpaksa mengalah karena otoritas lebih tinggi, atau pihak yang lebih besar
kekuasaanya, dan mereka biasanya menjadi tidak puas, dan sikap bermusuhan
muncul.
Tindakan dominasi dapat terjadi dengan macam-macam cara sebagai berikut
Memaksa (Forcing)
Apabila orang yang berkuasa pada pokoknya menyatakan “Sudah, jangan
banyak bicara, saya berkuasa di sini, dan Saudara harus melaksanakan perintah
saya”, maka semua argumen habis sudah. Supresi otokratis demikian memang
dapat menyebabkan timbulnya ekspresi-ekspresi konflik yang tidak langsung,
tetapi destruktif seperti misalnya ketaatan dengan sikap permusuhan (Malicious
obedience) Gejala tersebut merupakan salah satu di antara banyak macam bentuk
konflik, yang dapat menyebar, apabila supresi (peneanan) konflik terus-menerusa
diterapkan.
Membujuk (Smoothing)
Dalam kasus membujuk, yang merupakan sebuah cara untuk menekan
(mensupresi) konflik dengan cara yang lebih diplomatic, sang manager mencoba
mengurangi luas dan pentingnya ketidaksetujuan yang ada, dan ia mencoba secara
sepihak membujuk phak lain, untuk mengkuti keinginannya. Apabila sang
manager memilki lebih banyak informasi dibandingkan dengan pihak lain
tersebut, dan sarannya cukup masuk akal, maka metode tersebut dapat bersifat
efektif. Tetapi andaikata terdapat perasaan bahwa sang menejer menguntungkan
pihak tertentu, atau tidak memahami persoalan yang berlaku, maka pihak lain
yang kalah akan menentangnya.
Menghindari (Avoidence)
Apabila kelompok-kelompok yang sedang bertengkar datang pada seorang
manajer untuk meminta keputusannya, tetapi ternyata bahwa sang manajer
menolak untuk turut campur dalam persoalan tersebut, maka setiap pihak akan
mengalami perasaan tidak puas. Memang perlu diakui bahwa sikap pura-pura
bahwa tidak ada konflik, merupakan seuah bentuk tindakan menghindari. Bentuk
34
lain adalah penolakan (refusal) untuk menghadapi konflik, dengan jalan
mengulur-ulur waktu, dan berulangkali menangguhkan tindakan, “sampai
diperoleh lebih banyak informasi”.
c. Kompetisi
Penyelesaian konflik yang menggambarkan satu pihak mengalahkan atau
mengorbankan yang lain. Penyelesaian bentuk kompetisi dikenal dengan istilah
win-lose orientation.
Win-Lose Orientation terdiri dari lima orientasi sebagai berikut:
35
Win-Lose (Menang – Kalah)
Paradigma ini mengatakan jika “saya menang, anda kalah “. Dalam gaya ini
seseorang cenderung menggunakan kekuasaan, jabatan, mandat, barang milik,
atau kepribadian untuk mendapatkan apa yang diinginkan dengan mengorbankan
orang lain. Dengan paradigma ini seseorang akan merasa berarti jika ia bisa
menang dan orang lain kalah. Ia akan merasa terancam dan iri jika orang lain
menang sebab ia berpikir jika orang lain menang pasti dirinya kalah. Jika menang
pun sebenarnya ia diliputi rasa bersalah karena ia menganggap kemenangannya
pasti mengorbankan orang lain. Pihak yang kalah pun akan menyimpan rasa
kecewa, sakit hati, dan merasa diabaikan.
Sikap Menang-Kalah dapat muncul dalam bentuk
Menggunakan orang lain , baik secara emosional atau pun fisik, untuk
kepentingan diri.
Mencoba untuk berada di atas orang lain.
Menjelek-jelekkan orang lain supaya diri sendiri nampak baik.
Selalu mencoba memaksakan kehendak tanpa memperhatikan perasaan orang lain.
Iri dan dengki ketika orang lain berhasil
36
Mereka berpusat pada musuh, yang ada hanya perasaan dendam tanpa menyadari
jika orang lain kalah dan dirinya kalah sama saja dengan bunuh diri.
Win (Menang)
Orang bermentalitas menang tidak harus menginginkan orang lain kalah. Yang
penting adalah mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Orang
bermentalitas menang menjadi egois dan akan mencapai tujuannya sendiri. Jika
hal ini menjadi pola hidupnya maka ia tidak akan bisa akrab dengan orang lain,
merasa kesepian, dan sulit kerja sama dalam tim.
Win-Win (Menang-Menang)
Menang-Menang adalah kerangka pikiran dan hati yang terus menerus
mencari keuntungan bersama dalam semua interaksi. Menang-Menang berarti
mengusahakan semua pihak merasa senang dan puas dengan pemecahan masalah
atau keputusan yang diambil. Paradigma ini memandang kehidupan sebagai arena
kerja sama bukan persaingan. Paradigma ini akan menimbulkan kepuasan pada
kedua belah pihak dan akan meningkatkan kerja sama kreatif.
d. Kompromi
Melalui kompromi mencoba menyelesaikan konflik dengan menemukan
dasar yang di tengah dari dua pihak yang berkonflik. Cara ini lebih memperkecil
kemungkinan untuk munculnya permusuhan yang terpendam dari dua belah pihak
yang berkonflik, karena tidak ada yang merasa menang maupun kalah. Meskipun
demikian, dipandang dari pertimbangan organisasi pemecahan ini bukanlah cara
yang terbaik, karena tidak membuat penyelesaian yang terbaik pula bagi
organisasi, hanya untuk menyenangkan kedua belah pihak yang saling
bertentangan atau berkonflik.
Yang termasuk kompromi diantaranya adalah:
Akomodasi
37
Penyelesaian konflik yang menggambarkan kompetisi bayangan cermin yang
memberikan keseluruhannya penyelesaian pada pihak lain tanpa ada usaha
memperjuangkan tujuannya sendiri. Proses tersebut adalah taktik perdamaian.
Sharing
Suatu pendekatan penyelesaian kompromistis antara dominasi kelompok dan
kelompok damai. Satu pihak memberi dan yang lain menerima sesuatu. Kedua
kelompok berpikiran moderat, tidak lengkap, tetapi memuaskan.
38
Namun, lembaga juga harus hati-hati karena adanya kemungkinan adanya “fitnah”
dari kotak saran tersebut.
Politik pintu terbuka
Politik pintu terbuka memang sering diumumkan, tetapi hasilnya sering tidak
memuaskan. Hal ini sering terjadi karena pihak pimpinan tidak sungguh-sungguh
dalam “membuka” pintunya. Paling tidak ini dirasakan oleh karyawan. Juga
adanya keseganan dari pihak karyawan sering menjadi penghalang terhadap
keberhasilan cara semacam ini.
Mengangkat konsultan personalia
Konsultan personalia pada umumnya seorang ahli dalam bidang psikologi dan
biasanya merupakan staf dari bagian personalia. Kadang-kaang karyawan segan
pergi menemui atasannya, tetapi bisa menceritakan kesulitannya pada konsultan
psikologi ini.
Mengangkat “ombudsman”
Ombudsman adalah orang yang bertugas membantu “mendengarkan”
kesulitan-kesulitan yang ada atau dialami oleh karyawan untuk diberitahukan
kepada pimpinan. Ombudsman biasanya adalah orang yang disegani karena
kejujuran dan keadilannya.
39
3. Menganalisis dan memutuskan
Dengan diketahuinya masalah dan terkumpulnya data, manajemen haruslah mulai
melakukan evaluasi terhadap keadaan. Sering kali dari hasil analisa bisa
mendapatkan berbagai alternatif pemecahan.
4. Memberikan jawaban
Meskipun manajemen kemudian sudah memutuskan, keputusan ini haruslah
dibertahukan kepada anggota organisasi.
5. Tindak lanjut
Langkah ini diperlukan untuk mengawasi akibat dari keputusan yang telah
diperbuat.
6. Pendisiplinan
Konflik dalam organisasi apabila tidak ditangani dengan baik bisa
menimbulkan tindakan pelecehan terhadap aturan main yang telah disepakati
bersama. Oleh karena itu pelecehan ataupun pelanggaran terhadap peraturan
permainan (peraturan organisasi) haruslah dikenai tindakan pendisiplinan agar
peraturan tersebut memiliki wibawa.
Tindakan pendisiplinan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pendisiplinan
yang bersifat positif dan yang bersifat negatif. Yang positif adalah dengan
memberi nasihat untuk kebaikan pada masa yang akan datang, sedangkan cara-
cara yang negatif mulai dari yang ringan sampai yang berat, antara lain dengan :
a. Diberi peringatan secara lesan
b. Diberi peringatan secara tertulis
c. Dihilangkan/dikurangi sebagian haknya
d. Didenda
e. Dirumahkan sementara ( lay-off )
f. Diturunkan pangkat/jabatannya
g. Diberhentikan dengan hormat
h. Diberhentikan tidak dengan hormat
Menurut Heidjarachman Ranupandojo pendisiplinan perlu memperhatikan
beberapa pedoman, seperti :
1. Pendisiplinan hendaknya dilakukan secara pribadi/individual. Tidak seharusnya
memberikan teguran kepada bawahan di hadapan orang banyak. Hal ini akan
40
memalukan bawahan yang ditegur (meskipun mungkin benar bersalah), sehingga
bisa menimbulkan rasa dendam.
2. Pendisiplinan haruslah bersifat membangun. Memberikan teguran hendaknya juga
disertai dengan saran tentang bagaimana seharusnya berbuat untuk tidak
mengulangi kesalahan yang sama untuk waktu yang akan datang.
3. Pendisiplinan haruslah dilakukan oleh atasan langsung dengan segera. Jangan
menunda-nunda pemberian pendisiplinan sampai masalahnya terlupakan. Sewaktu
kesalahan masih segar teguran akan lebih efektif daripada diberikan selang
beberapa waktu.
4. Keadilan dalam pendisiplinan sangat diperlukan. Suatu kesalahan yang sama
hendaknya diberikan hukuman yang sama pula. Jangan melakukan pendisiplinan
dengan pilih kasih.
5. Pimpinan tidak seharusnya memberikan pendisiplinan pada waktu bawahan
sedang absen.
6. Setelah pendisiplinan sikap pimpinan haruslah wajar kembali.
7. Tidak dibenarkan apabila setelah melakukan pendisiplinan pimpinan tetap
bersikap membenci bawahan yang telah melakukan kesalahan. Rasa membenci
hanya akan menimbulkan perlakuan yang tidak adil.
2.4 ASSERTIVITY
2.4.1 Pengertian Assertivity
Kemampuan asertif (Ketegasan) adalah kemampuan untuk
mengungkapkan perasaan seseorang dan menegaskan hak-hak seseorang tetap
menghargai perasaan dan hak orang lain. Kemampuan asertif merupakan suatu
kemampuan seseorang agar tegas dalam mengambil keputusan dalam hidupnya
dan mempertahankan haknya. Asertif juga dapat diartikan suatu pernyataan
tentang perasaan, keinginan dan kebutuhan pribadi kemudian menunjukkan
kepada orang lain dengan penuh percaya diri. Pendapat serupa juga menjelaskan
bahwa perilaku assertiveadalah mengekspresikan perasaan, pikiran, dan harapan,
dan tetap mempertahankan hak sebagai insan manusia tanpa melanggar hak asasi
orang lain (French, 1998 : 50).
41
Kemampuan asertif merupakan suatu kemampuan seseorang agar tegas
dalam mengambil keputusan dalam hidupnya dan mempertahankan haknya.
Menurut Sugiyo (2005: 110) akibat dari emosi, sikap, dan perilaku yang tidak
tegas dapat berakibat sosial yaitu tidak adanya persetujuan dari orang lain. Jadi
individu yang tidak tegas atau tidak asertif akan dijauhi dari lingkungannya,
dengan kondisi yang demikian akan mengurangi rasa percaya diri karena tidak
bersosialisasi dengan lingkungan yang baik. Ketegasan merupakan suatu bentuk
sikap dan perilaku seseorang yang menunjukkan beberapa sikap seperti :
1. Perilaku yang membuat individu mampu bertindak dengan caranya sendiri tetapi
juga tidak menutup diri dari saran orang lain yang menjadikan dirinya lebih baik.
2. Mampu menyuarakan hak-haknya tanpa menyinggung orang lain.
3. Percaya diri, mengekspresikan diri secara spontan (pikiran dan perasaan), banyak
dicari dan dikagumi orang lain (Sugiyo, 2005: 112)
Pada prinsipnya kemampuan asertif merupakan tingkah laku interpersonal
yang mengungkap emosi secara terbuka, jujur, tegas dan langsung pada tujuan
sebagai usaha untuk mencapai kebebasan emosi dan dilakukan dengan penuh
keyakinan diri dan sopan. Hal ini menunjukkan bahwa seorang individu harus
bersikap asertif agar tidak dipandang sebelah mata oleh lingkungan. Menurut
Corey (2007: 213) dengan memilki kemampuan asertif akan membantu orang-
orang yang mengalami masalah sebagai berikut :
1. Orang yang tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersingung.
2. Orang yang menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong
orang lain untuk mendahuluinya.
3. Orang yang memiliki kesulitan untuk mengatakan ”tidak”.
4. Orang yang mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respon-respon
positif
5. Orang yang merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan dan pikiran-pikiran
sendiri.
Orang yang asertif bukan orang yang suka terlalu menahan diri dan juga
bukan pemalu, tapi orang yang bisa mengungkapkan perasaannya tanpa bertindak
agresif atau melecehkan orang lain. Sekolah sebagai lembaga formal yang secara
khusus dibentuk untuk menyelenggarakan pendidikan bagi warga masyarakat.
42
Dalam kelembagaannya terdapat sejumlah bidang-bidang seperti bidang
administrasi dan supervisi, bidang pengajaran dan bidang bimbingan dan
konseling. Kendatipun ketiga bidang tersebut tampaknya terpisah antara satu dan
lainnya, namun semuanya memilki arah yang sama yaitu memberi kemudahan
bagi pencapain tujuan nasional.
Pelayanan bimbingan dan konseling merupakan bagian yang integral dari
keseluruhan program pendidikan. Dalam bimbingan konseling terdapat Sembilan
layanan antara lain yaitu layanan orientasi, layanan informasi, layanan
penempatan dan penyaluran, layanan penguasaan konten, layanan bimbingan
kelompok, layanan konseling kelompok, layanan konseling individual, layanan
mediasi dan layanan konsultasi. Setiap layanan bimbingan konseling terdiri dari
empat bidang seperti bidang pribadi, belajar, sosial serta karier. Selain layanan
dan bidang bimbingan konseling, terdapat suatu kegiatan pendukung yaitu
meliputi instrumentasi, penyelenggaraan himpunan data, konferensi kasus,
kunjungan rumah dan alih tangan kasus.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dengan memiliki kemampuan
asetif, memungkinkan seseorang untuk bertindak menurut kepentingan sendiri,
untuk membela diri sendiri tanpa kecemasan yang semestinya, untuk
mengekspresikan perasaan jujur dengan nyaman, untuk menerapkan hak-hak
pribadi tanpa menyangkal hak-hak orang lain. Hal ini bertolak belakang dengan
individu yang tidak tegas atau tidak asertif, orang yang tidak asertif akan dijauhi
dari lingkungannya dengan kondisi yang demikian akan mengurangi rasa percaya
diri karena tidak bersosialisasi dengan lingkungan yang baik. Stain & Howard
(2001:87) mengemukakan tiga komponen dasar perilaku asertif yakni :
1. Kemampuan mengungkapkan perasaan
2. Kemampuan untuk menyatakan keyakinan dan pemikiran secara terbuka
3. Kemampuan mempertahankan hak- hak pribadi
Jadi perilaku asertif adalah perilaku diantara perilaku submisif dan
perilaku agresif. Dari pendapat-pendapat diatas bahwasanya perilaku asertif
sangat dibutuhkan di dalam membina hubungan interpersonal. Pemahaman
perilaku asertif dapat dengan mudah dipahami bila dibandingkan dengan perilaku
non asertif, baik yang sifatnya pasif atau agresif. Dalam perilaku pasif, seseorang
43
tidak tidak memberikan reaksi atau mengekspresikan perasaan negatif yang
dialaminya secara jujur dan terbuka, tetapi dilakukan dengan menyimpan
perasaannya tersebut, menarik diri, menerima, atau menggerutu. Perilaku non
asertif-pasif hakekatnya adalah bentuk ketidakjujuran emosi, kegagalan diri atau
kekalahan diri yang didasari oleh perasaan-perasaan takut, cemas, mengindari
konflik, keininginan untuk mencari jalan keluar paling mudah, dan bahkan
ketidakmampuan untuk memahami diri dan memenuhi kebutuhan untuk bersikap
sabar.
Sedangkan pada perilaku nonasertif-agresif, reaksi yang diberikan
diekspresikan keluar dan dilakukan secara terbuka melalui tindakan aktif berupa
pengancaman atau penyerangan, dilakukan secara langsung atau tidak langsung,
baik dalam bentuk fisik atau verbal. Tindakan yang dilakukan secara langsung,
misalnya marah-marah, memukul, menuntut, dominan, egois, menyerang, dsb.
Sedangkan tindakan tidak langsung, misalnya dengan menyindir, menyebar gosip,
dsb. Tindakan agresif ini biasanya sengaja dilakukan dengan maksud untuk
melukai, melecehkan, menghina, mempermalukan, menyakiti, merendahkan dan
bahkan menguasai pihak lain. Dengan kata lain, seseorang dikatakan bersikap
non-asertif, jika ia gagal mengekspresikan perasaan, pikiran dan p
ngan/keyakinannya secara tulus, jujur, sopan, dan apa adanya tanpa maksud untuk
merendahkan hak-hak atau mengancam integritas perasaan orang lain, sehingga
justru menimbulkan respon dari orang lain yang tidak dikehendaki atau negatif.
Berdasarkan penelitian Schimmel, (Depdiknas 2008:32) menyatakan
bahwa beberapa jenis perilaku asertif yang perlu dilatihkan terutama adalah:
1. Berani mengemukakan pendapat, permintaan, kesukaan, dsb, yang menjadikan
seseorang dihargai sebagai manusia yang sederajat dengan manusia lain.
2. Mengekspresikan emosi‐emosi negatif (keluhan, kebencian, kritik,
ketidaksetujuan, rasa tertekan, kebutuhan untuk dibiarkan sendirian) dan menolak
permintaan.
3. Memperlihatkan emosi‐emosi positif (senang, menghargai, menyukai seseorang,
merasa tertarik), memberikan pujian, dan menerima pujian dengan mengucapkan
“terima kasih”.
44
4. Memulai, melaksanakan, mengubah, atau menghentikan percakapan secara
menyenangkan, berbagi perasaan, pendapat, dan pengalaman dengan orang lain.
5. Mengatasi ketersinggungan sebelum kemarahan makin meningkat dan meledak
menjadi agresi.
Inti dari perilaku asertif adalah kejujuran, yaitu cara hidup atau bentuk
komunikasi yang berlandaskan kepada kejujuran dari hati yang paling dalam
sebagai bentuk penghargaan pada orang lain, dalam cara-cara yang positif dan
menetap, yang dicirikan dengan kemampuan untuk mengekspresikan diri tanpa
menghina, melukai, mencerca, menyingung, atau menyakiti perasaan orang lain,
mampu mengntrol perasaan diri sendiri tanpa rasa takut dan marah. Dalam
kehidupan atau komunikasi sehari-hari, orang yang asertif akan lebih memilih
pola interaksi Dengan demikian, orang yang asertif akan memiliki kebebasan
untuk meluapkan perasaan apa pun yang dirasakan, dan berani mengambil
tanggung jawab terhadap perasaan yang dialaminya dan menerima orang lain
secara terbuka. Memiliki keberanian untuk tidak membiarkan orang lain
mengambil manfaat dari perasaan yang dialaminya, tetapi orang lain pun memiliki
kebebasan untuk mengungkap apa yang dirasakannya.
45
Dalam sebuah keluarga akan diajarkan untuk menahan emosi dengan
mengekspresikan emosi secara positif melalui perasaan dan pujian, yang sejak
dini diajarkan dan pada akhirnya dapat dikembangkan kemudian hari.
4. Usia. Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku asertif atau
hubungan interpersonal antar individu. Pada anak kecil perilaku ini belum
terbentuk. Struktur kognitif belum memungkinkan mereka untuk dapat
mengkomunikasikan keinginan mereka dengan baik dan jelas. Namun pada masa
remaja perilaku ini mulai berkembang seiring meningkatnya kemampuan kognitif
individu.
5. Tingkat pendidikan. Firth dan Snyder (dalam Wardhani, 2004: 18) menyatakan
bahwa tingkat pendidikan juga menjadi faktor munculnya perilaku asertif.
Individu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi cenderung mampu bertindak
asertif disbanding dengan individu yang mempunyai tingkat pendidikan rendah.
6. Sosial ekonomi. Schwantz dan Goltman (1976) dalam Wardhani (2004: 17)
menyebutkan bahwa semakin tinggi status sosial ekonomi seseorang semakin
tinggi pula perilaku asertifnya.
46
Dari penjelasan aspek-aspek tersebut, maka penulis mensintesiskan
beberapa aspek yang termasuk dalam kemampuan asertif, antara lain:
1. Aspek ketegasan, yaitu sikap atau perilaku untuk mempertahankan hak-hak
pribadi (tidak membiarkan orang lain mengganggu dan memanfaatkannya). Orang
yang memiliki ketegasan adalah orang mampu bersikap atau berperilaku tegas
dalam mengambil keputusan, dan tidak mudah untuk terpengaruh oleh orang lain.
2. Aspek tanggung jawab, yaitu sikap atau perilaku menerima risiko akibat
tindakannya. Orang yang bertanggung jawab adalah orang yang dapat
mengerjakan tugas-tugas dengan semestinya, menerima risiko atau akibat dari
tindakannya serta konsekuen untuk melaksanakan keputusan yang sudah
diambilnya
3. Aspek percaya diri, yaitu merupakan sikap atau perilaku seseorang yang berani
menyampaikan gagasannya tanpa ada perasaan malu atau ragu serta mampu
mengkomunikasikan dengan baik. Orang yang yang asertif adalah orang yang
mampu mengekspresikan pikiran dan perasaannya serta mampu menyampaikan
pendapatnya dengan baik dan sopan, penuh semangat dan tidak mudah putus asa.
4. Aspek kejujuran, yaitu merupakan berkata sesuai apa yang terjadi sehingga tidak
menambah dan mengurangi. Orang yang asertif adalah orang yang mampu jujur
dalam mengekspresikan perasaan dan terbuka, orang yang mampu menyatakan
ketidaksetujuan, serta orang yang tidak menutup diri dari saran orang lain.
b. Aspek menghormati orang lain, yaitu merupakan sikap atau perilaku seseorang
untuk berhubungan baik dengan lingkungannya. Orang yang pandai menghargai
orang lain yakni orang yang bertoleransi, menghargai hak-hak orang lain, tolong-
menolong, tidak menyinggung perasaan orang. lain ketika sedang berpendapat
serta mau mendengarkan pendapat orang lain.
47
keuntungan dari padanya, (3) Mereka yang mengalami kesulitan dalam berkata
”tidak”. Adapun karakteristik kemampuan asertif, antara lain adalah:
1. Mendorong seseorang untuk bersikap jujur terhadap dirinya dan jujur pula dalam
mengekspresikan perasaan. Mengajarkan untuk melakukan suatu penolakan
dengan tetap memperhatikan dan menghormati hak-hak orang lain.
2. Terbuka dan jujur terhadap pendapat diri dan orang lain.
3. Mendengarkan pendapat orang lain dan memahami.
4. Menyatakan pendapat pribadi tanpa mengorbankan perasaan orang lain.
5. Mencari solusi bersama dan keputusan.
6. Menghargai diri sendiri dan orang lain, mengatasi konflik.
7. Menyatakan perasaan pribadi, jujur tetapi hati-hati..
8. Mendiskripsikan fakta, bukan menilai serta tidak menggeneralisir.
9. Menggunakan permulaan kata : “Saya” dan bukan “Kamu”.
48
9. Terbuka untuk ruang kritik.
10. Mudah berkomunikasi, hangat, dan menjalin hubungan sosial dengan baik.
11. Mampu memberikan p ngan secara terbuka terhadap hal-hal yang tidak sepaham.
12. Mampu meminta bantuan, pendapat, atau p ngan orang lain ketika sedang
menghadapi masalah.
49
2.4.7 Langkah-Langkah untuk Menjadi Assertivity
Didalam latihan asertif onselor berusaha memberikan keberanian kepada
klien dalam mengatasi kesulitan terhadap orang lain. Beberapa langkah-langkah
untuk menjadi asertif, antara lain:
1. Menjadi pendengar aktif. Pastikan kamu menunjukan kepada mereka kalau kamu
mendengarkan dan paham (misalnya dengan membuat kontak mata). Jangan
memanfaatkan waktu mendengar untuk mempersiapkan serangan balik.
2. Mengatakan apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan. Jangan terlalu memaksa
ataupun terlalu meminta maaf. Pada saat berbicara perhatikan body language
(bahasa tubuh) kamu, pastikan postur tubuh sesuai (seperti berdiri tegak),
membuat kontak mata, ekspresi wajah yang sesuai, dan berbicara cukup keras
untuk didengar. Nada suara jangan monoton agar orang lain mudah mengikuti-mu
dan tidak merasa terganggu atau bosan.
3. Mengatakan apa yang diharapkan serta mengupayakan untuk berani. mengatakan
”ya ”dan ”tidak” saat kita inginkan, Berani membuat sebuah permintaan, dan
mengkomunikasi perasaan kita dengan cara terbuka dan langsung. Kita harus
belajar untuk mengadaptasikan sifat kita pada beragam situasi kerja, menjaga
jaringan pertemanan, dan membangun hubungan yang dekat. Saat membuat
pernyataan (langkah 2 dan langkah 3).
4. Menggunakan pernyataan saya (statement) dan bukan Anda atau orang lain
spesifik dan jangan umum, mengekspresikan perasaan dan opini Anda
(bertanggung jawab), tidak menilai orang lain saat tidak diperlukan (menilai
bukan untuk tujuan konstruktif), tidak memperluas / membesar-besarkan masalah.
Latihan asertif (assertive training) adalah salah satu teknik dalam tritmen
ganguan tingkah laku dimana klien diinstruksikan, diarahkan, dilatih, serta
didukung untuk bersikap asertif dalam menghadapi situasi yang tidak nyaman
atau kurang menguntungkan bagi dirinya. Menurut Goldstein (1986) latihan
asertif merupakan rangkuman yang sistematis dari ketrampilan, peraturan, konsep
atau sikap yang dapat mengembangkan dan melatih kemampuan individu untuk
menyampaikan dengan terus terang pikiran, perasaan, keinginan dan
kebutuhannya dengan penuh percaya diri sehingga dapat berhubungan baik
dengan lingkungan sosialnya. Sedangkan Rees & Graham (1991) menyatakan
50
bahwa inti dari latihan asertif adalah penanaman kepercayaan bahwa asertif dapat
dilatihkan dan dikembangkan, memilih kata-kata yang tepat untuk tujuan yang
mereka inginkan, saling mendukung, pengulangan perilaku asertif dalam berbagai
situasi, dan umpan balik bagi setiap peserta dari trainer maupun peserta.
Tujuan utama latihan asertif adalah untuk mengatasi kecemasan yang
dihadapi oleh seseorang akibat perlakuan yang dirasakan tidak adil oleh
lingkungannya, smeningkatkan kemampuan untuk bersikap jujur terhadap diri
sendiri dan lingkungan, serta meningkatkan kehidupan pribadi dan sosial agar
lebih efektif. Sedangkan prosedur umum dalam latihan asertif adalah sebagai
berikut:
1. Identifikasi masalah, yaitu dengan menganalisis permasalahan klien secara
komprehensif yang meliputi situasi-situasi umum dan khusus di lingkungan yang
menimbulkan kecemasan, pola respon yang ditunjukkan, faktor-faktor yang
mempengaruhi, tingkat kecemasan yang dihadapi, motivasi untuk mengatasi
masalahnya, serta sistem dukungan.
2. Pilih salah suatu situasi yang akan diatasi, dengan memilih terlebih dahulu situasi
yang menimbulkan kesulitan atau kecemasan paling kecil. Selanjutnya, secara
bertahap menuju pada situasi yang lebih berat.
3. Analisis situasi, yaitu dengan menunjukkan kepada klien bahwa terdapat banyak
alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalahnya tersebut. Identifikasi
alternatif penyelesaian masalah.
4. Menetapkan alternatif penyelesaian masalah. Bersama-sama klien berusaha untuk
memilih dan menentukan pilihan tindakan yang dianggap paling sesuai, mungkin,
cocok, layak dengan keinginan dan kemampuan klien serta memiliki
kemungkinan pleuang berhasil paling besar.
5. Mencobakan alternatif yang dipilih. Dengan bimbingan, secara bertahap klien
diajarkan untuk mengimplementasikan pilihan tindakan yang telah dipilih.
6. Dalam proses latihan, hendaknya diperhatikan hal-hal yang terkait dengan kontak
mata, postur tubuh, gerak isyarat, ekspresi wajah, suara, pilihan kalimat, tingkat
kecemasan yang terjadi, serta kesungguhan dan motivasinya.
7. Diskusikan hasil, hambatan dan kemajuan-kemajuan yang terjadi, serta tindak
lanjutnya.
51
8. Klien diberi tugas untuk mencoba melakukan hal-hal yang sudah dibicarakan
secara langsung dalam situasi yang nyata.
9. Evaluasi hasil dan tindak lanjut.
Dalam kaitan dengan latihan asertif, terutama self asertive training, Jacinta
Rini (2001) mengajukan beberapa tips untuk mampu mengatakan “tidak” terhadap
permintaan yang tidak diinginkan, yaitu:
1. Tentukan sikap yang pasti, apakah ingin menyetujui atau tidak. Jika belum yakin
dengan pilihan, maka bisa minta kesempatan berpikir sampai mendapatkan
kepastian. Jika sudah merasa yakin dan pasti akan pilihan sendiri, maka akan lebih
mudah menyatakannya dan juga merasa lebih percaya diri.
2. Jika belum jelas dengan apa yang dimintakan, bertanyalah untuk mendapatkan
kejelasan atau klarifikasi.
3. Berikan penjelasan atas penolakan secara singkat, jelas, dan logis. Penjelasan
yang panjang lebar hanya akan mengundang argumentasi pihak lain.
4. Gunakan kata-kata yang tegas, seperti secara langsung mengatakan “tidak” untuk
penolakan, dari pada “sepertinya saya kurang setuju.. sepertinya saya kurang
sependapat…saya kurang bisa…..”
5. Pastikan bahwa sikap tubuh juga mengekspresikan atau mencerminkan “bahasa”
yang sama dengan pikiran dan verbalisasi. Seringkali orang tanpa sadar menolak
permintaan orang lain namun dengan sikap yang bertolak belakang, seperti
tertawa-tawa dan tersenyum.
6. Gunakan kata-kata “Saya tidak akan….” atau “Saya sudah memutuskan
untuk…..” dari pada “Saya sulit….”. Karena kata-kata “saya sudah memutuskan
untuk….” lebih menunjukkan sikap tegas atas sikap yang tunjukkan.
7. Jika berhadapan dengan seseorang yang terus menerus mendesak padahal juga
sudah berulang kali menolak, maka alternatif sikap atau tindakan yang dapat
dilakukan : mendiamkan, mengalihkan pembicaraan, atau bahkan menghentikan
percakapan.
8. Tidak perlu meminta maaf atas penolakan yang disampaikan (karena berpikir hal
itu akan menyakiti atau tidak mengenakkan buat orang lain). Sebenarnya, akan
lebih baik katakan dengan penuh empati seperti : “saya mengerti bahwa berita ini
52
tidak menyenangkan bagimu…..tapi secara terus terang saya sudah memutuskan
untuk …”
9. Janganlah mudah merasa bersalah, karena seseorang tidak bertanggung jawab atas
kehidupan orang lain…atau atas kebahagiaan orang lain.
10. Bila perlu lakukan negoisasi dengan pihak lain agar kedua belah pihak
mendapatkan jalan tengahnya, tanpa harus mengorbankan perasaan, keinginan dan
kepentingan masing-masing.
Adapaun menurut Duckworth dan Mercer (Fisher,2006) terdapat beberapa
komponen kunci dalam latihan asertif (Key Components of an Assertiveness
Training Protocol), meliputi:
1. Assertiveness training usually begins with a didactic presentation of (a) the
rationale for the use of assertive behavior; (b) definitions of assertiveness,
passiveness and aggressiveness; and (c) the basic content and procedural
guidelines that govern assertive behavior
2. Self-monitoring assignments are given and in-session role plays are undertaken to
identify problematic interactions
3. For the particular skill set being targeted, the verbal content of a sufficiently
assertive response is delineated and the appropriately assertive delivery of that
verbal communication is modeled by the therapist or confederate
4. The client practices assertive behaviors in the context of in-session role-plays that
are similar to the identified problematic interactions
5. The evaluation of the role-play performance should always begin with the
solicitation of comments from the client. This strategy allows the therapist to (a)
evaluate the client’s understanding of the verbal and nonverbal behaviors that
comprise the assertive response and (b) evaluate the accuracy and objectivity with
which the client evaluates his or her performance. Evaluating one’s performance
subsequent to role-plays may be made difficult by recall burden. Videotaping
role-plays is recommended to reduce recall burden and to provide specific, visual
evidence for performance problems and performance gains over time
6. Feedback is provided by the therapist and/or confederate and instructions for
further refinement of the assertive performance are provided. When there is a
considerable discrepancy between the therapist-modeled assertive behavior and
53
the client’s performance, it is often useful to provide feedback in the form of a
review of a videotape of the role-play
7. Real-world practice of assertive behavior is next. Again, the client provides a
technical and affective evaluation of the assertive performance in the real-world
situation.
8. Reinforcement and reiteration of reasonable performance goals is essential
throughout the assertiveness skills training process multicomponent intervention
package aimed at the treatment of severe aggression, there is little research that
empirically establishes the contribution of combined therapies above and beyond
the independent effectiveness of either monotherapy (Ziegler, 1996).
Alasan mengapa kita perlu memahami dan menghargai orang lain adalah:
a. Pertama, karena setiap individu itu unik. Tidak ada individu yang sama persis,
hatta mereka kembar siam. Setiap orang hidup dalam model dunianya sendiri.
Mereka berperilaku merespon pada persepsi dan pemaknaan mereka masing-
masing. Maka, menerima dan menghargai model dunia mereka menjadi hal
yang wajar.
b. Kedua, kita meyakini bahwa ada niat baik di balik setiap perilakuyang mereka
lakukan. Hanya saja mungkin perilaku mereka saat itu belum ekologis untuk
54
lingkungannya. Asumsi kita, itulah pilihan terbaik yang mampu mereka
lakukan berdasarkan sumberdaya yang mereka miliki saat itu.
Untuk memahami orang lain dengan baik kita perlu memiliki sikap
sebagai berikut:
2. Rasa ingin tahu tentang siapa mereka dan bagaimana mereka berpikir
William Ickes mengatakan bahwa “The ability to infer the specific content
of another person’s thoughts and feelings” tidak hanya itu ia juga pernah
mengatakan “Understanding what other people think and feel”.
55
• Mendengarkan Orang lain Berbicara tentang Diri Sendiri. Perhatikan
bahwa setiap perkataan orang lain tentang diri mereka akan menyingkap
banyak informasi penting yang kita butuhkan.
• Mendengarkan Pembicaraan yang berilmu dan baik. Untuk meningkatkan
kemampuan kita maka bergaul dan berhubungan dengan banyak
Pembicaraan Bermutu.
• Mencatat Inti Pembicaraan dari poin penting. Jika memungkinkan kita
perlu mencatat poin penting dari setiap pembicaraan untuk memudahkan
dalam menggali informasi.
• Jangan Menebak dan Menyela Pembicara. Ketika kita memotong
pembicaraan seseorang maka potensi kehilangan informasi penting lebih
besar daripada menunggu mereka selesai berbicara.
56
• Kita tengah membangun Kepercayaan dengan Lawan Bicara
• Kita akan membangun Kultur Positif di Lingkungan Kerja
Jadilah Pribadi yang efektif dengan Memahami Lebih Dahulu baru kemudian
Dipahami. Dengan meningkatkan kemampuan untuk memahami lawan bicara,
kita telah meningkatkan Pengembangan Diri dalam Kehidupan Pribadi atau
Profesi.
57
b. Plegmatis
Ciri-ciri:
• Menghindari konflik. Karena itu disuruh apa saja ia mau mengerjakan,
sekalipun ia sendiri tidak suka
• Baginya kedamaian adalah segala-galanya
• Jika timbul masalah atau pertengkaran, ia akan berusaha mencari solusi
yang damai tanpa timbul pertengkaran
• Ia mau merugi sedikit atau rela sakit, asalkan masalahnya tidak terus
berkepanjangan
• Kurang bersemangat, kurang teratur, dan serba dingin
• Cenderung diam, kalem, dan kalau memecahkan masalah umumnya
sangat menyenangkan
• Dengan sabar ia mau jadi pendengar yang baik, tapi kalau disuruh untuk
mengambil keputusan ia akan terus menunda-nunda
• Jika kita melihat tiba-tiba ada sekelompok orang berkerumun
mengelilingi satu orang yang asyik bicara, maka pastilah pendengar
yang berkerumun itu orang-orang plegmatis. Sedangkan yang bicara
tentu saja sang Sanguinis.
• Kadang sedikit serba salah berurusan dengan plegmatis ini. Ibarat
keledai, “kalau didorong ngambek, tapi kalau dibiarkan tidak jalan”
c. Koleris
Ciri-ciri:
• Suka sekali mengatur dan memerintah orang
• Ia tak ingin ada penonton dalam aktivitasnya
• Sifatnya yang ‘bossy’, membuat banyak orang koleris tak punya banyak
teman
• Orang-orang berusaha menghindar, menjauh agar tak jadi ‘korban’
karakternya yang suka mengatur dan tak mau kalah
• Orang koleris senang dengan tantangan dan suka petualangan
• Mereka punya rasa, ‘tanpa saya pasti berantakan semua’. Karena itu
mereka sangat berorientasi pada hasil
58
• Tegas, kuat, cepat dan tangkas mengerjakan sesuatu. Baginya tak ada
istilah tidak mungkin
• Tak mudah menyerah, tak mudah pula mengalah
d. Melankolis
Ciri-ciri:
• Agak berseberangan dengan sanguinis
• Cenderung serba teratur, rapi, terjadwal, tersusun sesuai pola
• Suka dengan fakta-fakta, data-data, angka-angka dan sering sekali
memikirkan segalanya secara mendalam
• Dalam sebuah pertemuan, orang sanguinis selalu saja mendominasi
pembicaraan, namun orang melankolis cenderung menganalisa,
memikirkan, mempertimbangkan. Jika diberi kesempatan berbicara
pastilah apa yang ia katakan betul-betul hasil yang ia pikirkan secara
mendalam sekali
• Orang melankolis selalu ingin serba sempurna
• Segala sesuatu ingin serba teratur dan suka kerapian
59
2.5.3 Aturan-Aturan untuk Memahami Orang Lain
1. Jangan pernah menyalahkan kejahatan untuk apa yang dapat dengan mudah
dijelaskan dengan kesombongan -Never blame malice for what can easily be
expalined by conceit
Orang-orang tidak peduli tentangmu. Ini bukan berarti bahwa mereka benci
padamu, tapi karena sebagian besar mereka hanya peduli pada diri mereka sendiri.
Pertimbangan yang menggambarkan kemungkinan pemikiran seseorang adalah
sebagai berikut:
Dari contoh ini, 60% dari pikiran yang mandiri diri sendiri. 30% diarahkan
hubungan, tapi bagaimana mereka mempengaruhi diri kita. Apa orang lain
menganggap saya? Bagaimana dosen akan mengevaluasi kinerja saya di review
berikutnya? Apakah teman-teman saya seperti saya atau melihat saya sebagai
seseorang yang menjengkelkan?
Hanya 10% dalam model ini yang dihabiskan untuk empati. Empati adalah
peristiwa langka di mana satu orang benar-benar merasakan emosi dari masalah
dan perspektif orang lain. Alih-alih bertanya apakah dia berpikir tentang saya,
tetapi saya bertanya apa yang orang lain pikirkan.
Artinya:
a. Malu tidak membuat banyak hal. Karena orang lain hanya berfokus pada
sebagian kecil dari pikiran mereka untuk menilai kita, dan kita terlalu
besar menghakimi diri sendiri.
b. Orang-orang yang ada disekeliling kita menjadi seorang yang berarti atau
meyakitkan biasanya tidak dilakukan dengan sengaja. Ada pengecualian
60
untuk ini, tetapi umumnya luka yang kita rasakan adalah efek samping
bukan tujuan utama.
c. Kita memiliki tugas untuk mempertahankan hubungan. Jangan menunggu
agar orang lain mendekati kita, tapi lebih mengarah pada bagaimana usaha
kita untuk menciptakan hubungan baru dengan orang lain.
2. Beberapa perilaku sosial yang eksplisit -Few social behavios are explicit
Pada dasarnya aturan ini berarti bahwa sebagian besar maksud di balik
tindakan kita yang tersembunyi. Jika seseorang merasa tertekan atau marah,
biasanya perilaku yang dihasilkan tidak terlalu menampakkan perasaan mereka
yang sebenarnya. Lelucon lama adalah bahwa wanita menggunakan kata-kata
seperti, “aku baik-baik saja,” ketika mereka benar-benar merasa sebaliknya. Tapi
kebanyakan, orang-orang melakukan hal ini juga dalam situasi sopan meskipun
sering tidak dengan cara yang sama.
Penerapan aturan ini adalah bahwa kita perlu fokus pada empati, bukan hanya
mendengar cerita seseorang. Menunjukkan kepercayaan, membangun hubungan
dan belajar untuk sedikit menyelidiki. Penerapan lainnya adalah bahwa sebagian
besar waktu yang kita habiskan untuk memendam perasaan kita tidak ada orang
lian yang akan mengetahuinya. Jadi kita tidak boleh marah ketika orang tidak
memperhatikan kita.
61
Hal ini terkadang bisa bergeser ke arah teman-teman sangat dekat dan
orang yang dicintai.
c. Status - Membantu seseorang adalah tanda kekuasaan. Banyak spesies
primata akan menawarkan bantuan sebagai tanda dominasi. Orang
bertindak sama, menawarkan bantuan untuk meningkatkan harga diri
mereka dan reputasi.
d. Timbal balik tersirat - Banyak hubungan yang didasarkan pada gagasan
bahwa jika kita membantu orang lain, suatu hari mereka akan membantu
kita juga.
e. Temukan cara untuk membantu orang-orang dalam empat kategori
tersebut. Jangan mengharapkan orang untuk menawarkan bantuan luar
altruisme egois, bukan tidak mungkin, tetapi jelas tidak mungkin.
62
sensitif terhadap alur permasalahan mereka yang akan memberi kita keuntungan
dalam berusaha untuk membantu.
2.6 INTEGRITAS
2.6.1 Pengertian Integritas
Integritas berasal dari bahasa Latin integer; incorruptibility , firm
adherence to a code of especially moral a acristic values, yaitu : sikap yang teguh
mempertahankan prinsip , tidak mau korupsi, dan menjadi dasar yang melekat
pada diri sendiri sebagai nilai-nilai moral.
Integritas bukan hanya sekedar bicara, pemanis retorika, tetapi juga sebuah
tindakan. Bila kita menelusuri karakter yang dibutuhkan parah pemimpin saat ini
dan selamanya mulai dari integritas, kredibilitas dan segudang karakter muliah
yang lainnya-pastilah akan bermuara pada pribadi agung manusia pilihan al-
mustofa Muhammad saw. Yang di utus untuk menyempurnakan karakter manusia
63
Berikut ini merupakan beberapa pengertian kata integritas yang sudah coba
diutarakan oleh para ahli yaitu :
Menurut Henry Cloud integritas adalah upaya untuk menjadi orang yang
utuh dan terpadu di setiap bagian diri yang berlainan, yang bekerja dengan baik
dan menjalankan fungsinya sesuai dengan apa yang telah dirancang sebelumnya.
Integritas sangat terkait dengan keutuhan dan keefektifan seseorang sebagai insan
manusia.
Menurut Ippho Santoso, integiras sering diartikan sebagai menyatunya
pikiran, perkataan dan perbuatan untuk melahirkan reputasi dan kepercayaan. Jika
merujuk dari asal katanya, kata integritas memiliki makna berbicara secara utuh
dan lengkap / sepenuh – penuhnya.
Menurut Andreas Harefa, integritas merupakan tiga kunci yang bisa
diamati, yakni menunjukkan kejujuran, memenuhi komitmen, dan mengerjakan
sesuatu dengan konsisten.
Integritas berarti mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan
yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan
kewibawaan dan kejujuran. Seseorang yang memiliki integritas pribadi akan
tampil penuh percaya diri, anggun, tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang
sifatnya hanya untuk kesenangan sesaat. Siswa yang memiliki integritas lebih
berhasil ketika menjadi seorang pemimpin, baik pemimpin formal maupun
pemimpin nonformal.
Integritas adalah satu kata dengan perbuatan, dia berkata jujur dan tentu
saja tidak akan bohong. Dalam hal ini Stephen R.Covey membedakan antara
kejujuran dan integritass “honesty is telling the truth, in other word, conforming
our words reality-integrity is conforming to our words, in other words, keeping
promises and ful-filling expectations.” Kejujuran berarti menyampaikan
kebenaran, ucapannya sesuai dengan kenyataan. Sedang integritas membuktikan
tindakannya sesuai dengan ucapannya. Orang yang memiliki integritas dan
kejujuran adalah orang yang merdeka. Mereka menunjukan keauntetikan dirinya
sebagai orang yang tanggung jawab dan berdedikasi.
64
Integritas dan kepemimpinan sangat erat satu sama lain. Stephen Covey
(2006) menyebutkan “integrity is doing what we say will do”. Seorang pemimpin
harus dapat bertindak secara konsisten antara kata dan perbuatan.
Integritas yaitu apa yang kita lakukan sesuai dengan apa yang kita
ucapkan. Karena orang-orang yang kita pimpin akan melihat sampai sejauhmana
kita melaksanakan apa yang kita ucapkan, sehingga mereka akan mengikuti apa
yang kita perintahkan.
Untuk mewujudkannya memerlukan kerja keras, dengan memiliki
integritas dalam kepemimpinan, seorang pemimpin harus menggabungkan seluruh
aspek yang ada dalam dirinya dan menjadi satu kesatuan yang saling mendukung
satu sama lainnya. Aspek-aspek tersebut adalah kognitif, afektif, dan
psikomotornya. Hal itu yang akan men-cerminkan secara holistik dirinya sebagai
seorang pemimpin.
Kepemimpinan yang dibangun atas kekuatan berpikir dengan kebiasaan
yang produktif yang dilandasai oleh kekuatan moral berarti ia memiliki
“Integritas” untuk bersikap dan berperilaku sehingga ia mampu memberikan
keteladanan untuk mempengaruhi orang lain untuk melakukan perubahan yang
terkait dengan proses berpikir.
Dengan pemikiran diatas, maka “Integritas” menjadi kunci kepemimpinan
“bagaimana ia membuat keputusan yang benar pada waktu yang benar” dalam
bersikap dan berperilaku karena disitulah terletak pondasi dalam membangun
kepercayaan dan hubungan antara individu dalam organisasi. Dimana kita
memperhatikan legalitas dan prosedur yang harus ditempuh, namun yang lebih
penting “Integritas” seseorang dapat menuntun mana yang jujur dan yang tidak
jujur yang tidak mudah di kacaukan hal-hal yang bersifat formal tapi dapat
menyesatkan.
Jadi kepemimpinan yang memiliki “integritas”, maka ia menyadari benar
bahwa rimba hukum memang tidak pernah jelas, itu tidak berarti ia akan
mempergunakan dengan dalih kekuasaan untuk ikut bermain dalam arena
tersebut, karena ia akan menolak untuk ikut serta dalam persaingan yang tidak
sehat, walaupun hal itu merupakan tugas yang akan dilaksanakannya. Oleh karena
ia dalam bersikap dan berperilaku tidak akan melepaskan diri dari membuat suatu
65
keputusan yang adil dan objektif. Jadi dengan intergritas itu berarti ia memiliki
manajemen intuitif untuk mengintergrasikan otak kanan dan kiri dengan hati
sebagai keterampilan manajemen abad baru.
Selain dikait – kaitkan dengan kepemimpinan, istilah integritas juga sering
dikait – kaitkan dengan kata nasional. Lantas apa sih arti dari integritas nasional?
Jika diartikan secara sederhana integritas nasional merupakan integritas yang
dijalankan dalam menjalankan negara. Sedangkan jika diartikan secara lebih luas,
maka integritas nasional merupakan hasrad atau pun kesadaran yang timbul secara
berkelanjutan dari setiap orang yang mengelola, tinggal, dan menetap di suatu
negara untuk bisa mengembangkan dan menarik negara yang ditinggalinya
menjadi lebih baik dan lebih maju.
Di Indonesia sendiri, integritas nasional pernah terjadi secara serempak
pada Tanggal 28 Oktober 1928, yaitu pada hari Sumpah Pemuda. Pada waktu itu,
seluruh pemuda di Indonesia secara serempak bekerja sama untuk melawan
penjajah dan memperjuangkan kerdekaan Indonesia.
66
e. Power merupakan pendorong untuk mencapai prestasi, kepemimpinan, dan
penentu.
f. Personal agency adalah kemampuan membuat penilaian secara intuitif.
Fungsi agency dalam diri individu ini bekerja melalui intensionalitas,
pemikiran ke masa lalu dan masa depan, self reactiveness serta kemampuan
melakukan refleksi diri.
Berfungsinya agency diindikatori oleh kemampuan individu dalam
membuat penilaian secara intuitif ketika mengambil putusan yang bersifat
situasional.
2. Keberanian moral yang membuat individu membela kebenaran yang diyakini
untuk diperjuangkan dengan segala risikonya. Faktor-faktor yang berkontribusi
terhadap keberanian moral, antara lain:
a. Kemampuan individu untuk mengetahui dan mengidentifikasi situasi moral
yang dihadapinya. Faktor ini merupakan langkah pertama seseorang mema-
suki keberanian moral;
b. Pilihan moral merupakan keberpihakan individu terhadap situasi moral yang
dihadapi dan akan memerlihatkan nilai dan intuisi individu;
c. Individualitas merupakan suatu keharusan di mana keberanian moral harus
dilakukan individu sendiri, bukan oleh kelompok. Layaknya seorang pemim-
pin yang berani mengambil risiko seorang diri;
d. Rasa takut adalah sesuatu yang manusiawi di mana individu dituntut untuk
mengatasinya dalam menghadapi situasi moral dan risiko-risiko yang harus
diterima. Rasa takut yang benar adalah takut melakukan kesalahan atau
penyimpangan atas ketentuan-ketentuan yang ada.
67
Beberapa pendapat tentang integritas dan pribadi yang berintegritas adalah
sebagai berikut :
1. Henry Could
Orang-orang yang menjadi pemimpin atau yang benar-benar sukses
cenderung memiliki tiga kualitas. Kualitas dimaksud menurut Henry Cloud
(2006), yaitu memiliki perangkat kemampuan tertentu, membangun hubungan
saling menguntungkan (lebih dari sekedar networking), dan berkarakter.
Setidaknya, karakter yang dimaksud di sini adalah mencakup etika dan integritas.
Kesuksesan seorang pemimpin tidak hanya dilihat dari seberapa besar
kemampuannya dalam bidang tertentu, tetapi yang lebih penting adalah seberapa
besar integritas dirinya dalam mengelola dan menggunakan kemampuannya
tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang diyakininya.
68
12. Integritas dibentuk melalui kebiasaan.
3. Stephen R. Covey
Pendapat yang disampaikan oleh Stephen R. Covey (1997) yang dekat
dengan integritas adalah “begin with the end mind”, yaitu selalu bertanya, “Apa
yang Anda inginkan agar orang lain tetap mengingat Anda setelah Anda
meninggal dunia?”. Tentu saja kita ingin nama baik menjadi hal yang tersisa di
dunia ini setelah kita meninggal dan hal ini akan membuat kita menjadi orang
yang berintegritas.
4. Billy Boen
Menurut Billy Boen (2009), image, reputasi atau nama baik adalah hal
penting yang menjadi target seseorang yang ingin sukses dalam pekerjaan. Salah
satu cara untuk menjaga nama baik adalah memperhatikan diri sendiri yang
sesungguhnya.
Tidak bermuka dua, artinya mengatakan satu hal kepada seseorang, lalu
mengatakan hal yang bertolak belakang dengan apa yang dikatakan itu kepada
orang lain. Cara ini adalah dengan mengucapkan dan melakukan apa yang
diyakini benar. Jangan katakan dan bertindak apa yang sudah diyakini salah. Cara
seperti ini merupakan ciri orang yang berintegritas.
Integritas tidak dapat dipisahkan dengan jujur. Jadi, jika kita melakukan
pekerjaan secara tidak jujur, artinya kita tidak memiliki integritas. Tidak bergosip
adalah salah satu cara mudah untuk menjaga integritas. Jika kita membicarkan
seseorang di belakangnya, kemungkinan besar kita juga akan membicarakan
orang yang kita ajak bicara tadi di belakangnya.
Billy Boen (2009) juga mengatakan, jika seseorang sudah tahu apa
keinginannya, semua perilaku dan tindakannya akan mengupayakan agar
keinginan itu terwujud. Pada umumnya, tindakan untuk mencapai keinginan
tersebut memerlukan integritas. Dengan integritas, seseorang akan melakukan
segala sesuatunya secara positif dan konsisten.
69
5. Zig Ziglar
Seorang motivator dunia, Zig Ziglar (2007) berkata, “Seberapa jauh
prestasi yang Anda capai dalam kehidupan Anda, bukan yang ditentukan dari apa
yang terjadi pada diri Anda, melainkan dari apa yang Anda perbuat selama hal itu
terjadi pada diri Anda.” Maksudnya, hasil akhir bukanlah satu-satunya yang
dinilai, tetapi bagaimana kita bersikap dan bertindak selama proses untuk menuju
kepada hasil. Dengan adanya integritas diri, sikap dan tindakan tersebut akan
sesuai dengan sistem norma. Integritas diri akan membentuk komitmen, yang
nantinya prestasi yang kita raih akan dihargai oleh orang lain.
6. Wuryanano
Integritas merupakan salah satu prinsip dari 21 prinsip dalam buku The 21
Principles to Build and Develop Fighting Spirit karangan Wuryanano (2011).
Menurutnya, orang yang mempunyai integritas adalah orang yang menerapkan
sistem norma untuk menilai kehidupan, sehingga kehidupannya seperti “buku
yang terbuka”. Ia tidak punya apapun untuk disembunyikan maupun untuk
ditakuti. Integritas diri punya pengaruh yang tinggi pada kehidupan setiap orang.
Integritas diri akan membentuk reputasi atau prestasi diri yang kuat pada diri
masing-masing.
Orang yang terarah kehidupannya akan lebih jauh dan lebih cepat
prestasinya di dalam seluruh bidang kehidupan dibandingkan dengan yang tidak
terarah. Integritas diri bukanlah sebatas apa yang kita lakukan, tetapi lebih banyak
menunjukan siapa diri kita sesungguhnya.
Hutson (2005) dalam tulisannya Trustworthiness menyebutkan bahwa
orang-orang yang memiliki integritas memiliki kemampuan di antaranya:
Pertama, mempertahankan keyakinannya secara terbuka dan berani.
Perlunya seorang pemimpin memiliki keyakinan ketika memberikan tugas kepada
bawahannya. Hal ini dimaksudkan agar dia tahu tugas seperti apa yang akan
dijalankan serta orang seperti apa yang menjalankan perintahnya.
Agar dapat dijalankan dengan baik maka dia harus mampu memberikan
pemahaman tentang job description. Pemimpin harus jelas dalam
mendeskripsikan kepada staf atau bawahan tentang apa yang hendak dijalankan.
70
Dan juga secara terbuka dan berani menunjukkan kelebihan dan kelemahan dari
tugas tersebut. Bila hal tersebut dilakukan maka dapat dipastikan keduanya
(pemimpin dan bawahan) akan siap untuk mengantisipasi hal-hal yang mungkin
akan terjadi.
Kedua, mendengarkan kata hati dan menjalani prinsip-prinsip hidup. Kata
hati tak pernah berbohong, itulah ungkapan yang sering kali kita dengar. Bila
dicermati hal tersebut memang benar, karena behavior yang terlihat terkadang
tidak sesuai dengan kata hati dan prinsip hidup.
Misalnya saja, ketika seorang pemimpin melakukan tindakan yang
melanggar norma, pasti dalam hatinya dia tahu bahwa apa yang dilakukannya itu
tidak baik dan bertentangan dengan prinsip hidupnya. Sebenarnya dia, sebagai
pemimpin, juga mengetahui dampak yang dapat terjadi pada dirinya dan
lingkungannya. Namun, banyak faktor yang memengaruhi sehingga kata hati itu
tidak lagi mampu ia dengarkan. Agar dapat menjalankan peran sebagai pemimpin
yang memiliki integritas tinggi maka perlu untuk mendengarkan kata hati dan
menjalankan prinsip hidup yang baik.
Ketiga, bertindak secara terhormat dan benar. Pemimpin yang memiliki
integritas yang tinggi tentunya memiliki kemampuan untuk bertindak terhormat
dan benar. Namun, posisi atau kedudukan yang terhormat tidak selalu diikuti
dengan perilaku yang benar.
Sehingga pemimpin sering kali terjebak oleh posisinya dan
memanfaatkannya untuk hal-hal yang tidak terhormat. Hal ini menunjukkan
inconsistency dalam kepemimpinannya.
Bila hal tersebut terus terjadi dalam menjalankan kepemimpinannya, dia tidak
akan dapat bertahan lama dalam posisi dan kedudukannya tersebut. Konsistensi
antara peran dan kedudukan dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin menjadi
sangat penting.
Keempat, terus membangun dan menjaga reputasi baik. Setiap orang
berharap untuk selalu memiliki reputasi yang baik dipandang oleh
lingkungannnya. Untuk meraih, membangun, dan menjaga reputasi yang dapat
dibanggakan tidaklah mudah, semua itu harus dilalui dengan kerja keras dan
pencitraan positif yang terus-menerus.
71
Jadi dapat dikatakan bahwa integritas adalah suatu sikap dan perilaku
konsisten untuk menjunjung tinggi etika kerja dan etika profesi. Integritas
mensyaratkan adanya godaan atau peluang untuk melakukan perbuatan tercela.
Namun orang yang berintegritas tidak melakukan perbuatan tercela tersebut
karena ia memiliki keyakinan akan pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai luhur
di lingkungannya.
b. Konsistensi
Satu perbuatan nyata yang mencerminkan integritas akan meninggalkan
kesan, namun perilaku seorang pemimpin haruslah konsisten jika ia ingin berhasil
membentuk suatu organisasi. Pada kenyataannya, integritas bersifat imperatif
karena secuil pelanggaran saja terhadap integritas akan dapat meninggalkan cacat
permanen. Para pemimpin haruslah konsisten dalam menjalankan standar
kedisiplinan. Seorang pemimpin yang mendiskriminasi, dengan menggunakan
72
tingkat jabatan atau hubungan pertemanan untuk menentukan responnya terhadap
pelanggaran kedisiplinan, memiliki masalah integritas yang serius.
Tak ada yang dapat menghancurkan moral seefektif menghukum seorang
staf junior seberat-beratnya karena melakukan pelanggaran serius, namun
membiarkan seorang staf senior yang melakukan kesalahan serupa, lalu pensiun
tanpa menanggung hukuman. Pemimpin semestinya mempraktikkan apa yang
mereka ajarkan, dan menetapkan standar dengan adil. Kesemuanya ini dibutuhan
untuk terwujudnya disiplin, moral, dan pencapaian misi.
c. Keteguhan hati
Untuk menjadi seorang pemimpin, Anda harus memiliki lebih dari sekadar
citra diri (image) yang berintegritas — Anda harus memiliki keteguhan hati.
Pemimpin yang dari luar terlihat memiliki keteguhan hati, namun ternyata di
dalamnya kekurangan integritas, tidak akan kuat untuk bertahan dalam masa-masa
sulit. Pemimpin yang integritasnya lemah tidak bisa membangun organisasi yang
mampu bertahan dalam situasi yang penuh tantangan.
73
sendiri sebelum mempengaruhi orang lain, mendorong orang untuk mencapai
prestasi sesuai dengan kemampuan sendiri, mendorong orang lain untuk lebih
mempercayai kepemimpinan yang mampu memberikan keteladanan.
74
dengan kejujuran maka akan mendapat kepercayaan dari orang lain. Dengan
kejujuran juga maka setiap saat akan mendapatkan kepercayaan dari orang lain
dan tidak hanya sekedar mendapatkan kepercayaan dari segi perkataan saja tapi
mendapatkan juga dari segi tanggung jawab.
4. Integritas dapat menghasilkan reputasi yang baik.
Dengan integritas maka seseorang tidak hanya memiliki citra yang baik
saja di mata orang-orang, tapi juga akan memiliki reputasi yang baik. Karena jika
seseorang memiliki integritas yang baik maka orang tersebut akan menyesuaikan
perkataan maupun tindakan yang dilakukannya. Perkataan yang baik akan
menghasilkan citra yang baik sedangkan perkataan dan tindakan yang baik akan
menghasilkan reputasi yang baik di mata orang lain.
75
3. Kemampuan bekerja dengan cara yang menghasilkan dan selesai dengan
baik (yang mengarah pada pencapaian sasaran, laba, atau misi)
4. Kemampuan terlibat dalam menghadapi hal negatif (yang mengarah pada
penyelesaian atau perubahan masalah).
5. Kemampuan untuk berorientasi pada pertumbuhan (yang mengarah ada
peningkatan).
6. Kemampuan untuk menjadi transenden (yang mengarah pada perluasan
gambaran yang lebih besar dari diri sendiri).
Ketiga, Anda harus mengenali konsep dari integritas tersebut. Menurut
Henry Cloud (2006), ada empat konsep integritas, yakni :
1. Sebagai keterampilan
Integritas merupakan sebuah keterampilan yang harus dilatih terus-
menerus. Ia bukan sesuatu yang ada dalam kepribadian seseorang . Integritas
diajarkan dan dipelajari sepanjang hidup.
2. Sebagai pedoman
Integritas merupakan “benchmark”, rujukan atau tujuan yang digunakan
dalam membuat keputusan yang berdasarkan pada kebenaran dan kejujuran.
3. Sebagai bangunan yang kokoh
Integritas harus dibangun dan dilestarikan sepanjang hidup. Integritas
merupakan suatu bangunan di dalam hati seseorang, dimulai ketika orang itu
masih muda. Integritas harus dipelihara terus menerus, jika tidak maka bangunan
yang sudah dibuat selama hidup dapat runtuh dalam waktu singkat.
4. Sebagai benih
Integritas ibarat sebuah benih yang ditanam sejak kecil, disirami dan akan
berbunga di saat dewasa. Semakin rajin dirawat, akan lebih cepat tumbuh dan
berbunga. Jika tanaman kita mati, harus segera menanam yang baru dan disirami
tiap hari. Perlu diingatkan bahwa tanaman tidak bisa langsung berbunga, perlu
waktu untuk kembali seperti semula.
2.7 DEDIKASI
2.7.1 Pengertian Dedikasi
Sebenarnya apa arti dedikasi yang sebenarnya, mari kita lacak asal-usul
kata“dedikasi”. Ternyata ia berakar dari bahasa Latin dedicatio, menyatakan,
76
mengumumkan.Tatkala seseorang menenggelamkan diri (immerse oneself) dalam
suatu sikap yang tulus pada satu subyek yang dianggap baik dengan kondisi
khidmat, itulah maksud awalnya.Merujuk bahasa aslinya, ia terkait dengan altar,
candi, tempat pemujaan, dimana orang menundukkan diri pada yang sakral.
Dalam perkembangannya ia juga bermakna, ketikaseseorang mempatronkan diri
dan mendukung penuh sosok tertentu, dengan penuh “kasih sayang” (affection)
dan penghormatan. Dalam kamus bahasa Inggris,
77
cinta karena dedikasi, maka hal itu tidak akan sia-sia, walaupun harus dipaksa dan
melelahankan mendera, dan juga keletihan yang luar biasa, hal tersebut menjadi
bahan bakar semangat untuk bisa terus memberikan terbaik sekalipun tidak boleh
jatuh di berbagai hantaman kesulitan.
3. Pengertian dedikasi guru adalah dedikasi yang dilakukan oleh guru yang
diwujudkan dalam sikap yang ikhlas dalam mengerjakan dan mengemban
tugasnya. Apabila terjadi kesulitan di dalam pekerjaannya, maka ia tidak akan
mudah untuk mengeluh apalagi mengalah. Guru yang mempunyai dedikasi
78
yang tinggi, berarti dia bekerja bukan karena terpaksa, apalagi dengan motif
mencari uang. Guru yang berdedikasi tinggi berfokus untuk meningkatkan
pengetahuan keguruannya dan memberikan perhatian yang penuh dalam
segala kegiatannya.
• Emotional Commitment
• Kepuasan
• Relational Benefit
• Kepercayaan
• Citra
79
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan, berikut kesimpulan yang dapat diambil :
Social skill ialah bentuk perilaku atau sikap yang dilakukan oleh individu dalam
beinteraksi dalan masyarakat sosial baik secara vebal maupun non verbal,
kemampuan untuk dapat menunjukkan perilaku yang baik serta kemampuan
menjalin hubungan baik dengan orang lain digunakan seseorang untuk dapat
berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan sosial faktor yang mempengaruhi
social skill adalah lingkungan, kondisi seseorang siswa itu sendiri seperti emosi,
tempramen, dan kemampuan social kognitif.
Leadership atau kepemimpinan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi
suatu kelompok ke arah tercapainya tujuan, sehingga menimbulkan pengaruh
antara pemimpin dan yang dipimpin. Definisi ini juga menyiratkan bahwa
kepemimpinan terjadi diantara individu artinya pemimpin adalah yang memiliki
pengikut serta dapat menjadi contoh bagi individu lainnya untuk bergerak.
Dengan demikian kepemimpinan sesungguhnya ada di sistem sosial masyarakat
mulai dari yang terkecil, yaitu keluarga, organisasi, institusi, dan lain lain.
Managemen conflict merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku
maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen diharapkan dapat
menyelesaikan masalh tanpa menguntungkan salah satu pihak yang berkonflik.
Ada beberapa metode dalam penanganan sebuah konflik tetapi cara yang lebih
efektif untuk menyelesaikan nya dengan musyawarah untuk mufakat atau bisa
menggunakan pihak ketiga yang netral untuk melakukan mediasi.
Assertivity ialah kemampuan seseorang untuk mengekspresikan perasaan,
pikiran, harapan secara tegas dan juga dalam mengambil keputusan kemudian
mempertahankan hak haknya tanpa mrnyinggung perasaan orang lain. Dari uraian
diatas bisa diartikan dengan memiliki kemampuan assertiv memungkunkan
seseorang tidak dipandang sebelag mata oleh lingkungannya.
Understanding atau memahi orang lain tidaklah akan berhasil jika hanya
berfokus pada pemuasan ego diri sendiri. Menjalin hubungan bukanlah tentang
diri sendiri. Menjalin hubungan adalah tentang orang lain. Lebih banyak bicara
80
dan memberitahu pada orang lain siapa diri kita bukanlah jawabannya. Maka,
keterampilan pertama dalam membangun hubungan dengan orang lain adalah
menerima orang lain apa adanya dan menghargai cara pandang mereka, lalu
barulah kita akan mampu memahami cara berpikir mereka. Pemahaman terhadap
model dunia orang lain adalah unsur penting dalam membangun kepercayaan.
Pemahaman adalah jembatan antara model dunia diri kita dengan model dunia
orang lain.
3.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, dapat ditarik saran berikut ini
Untuk jadi seseorang yang berguna untuk masyarakat dan tidak dipandang
sebelah mata hal yang harus dimiliki oleh setiap orang ialah soft skill hal ini
menunjukkan kesiapan dalam berinteraksi sosial dimasyarakat, setidak nya
81
seseorang itu harus mempunyai social skill, leadership, managemen konflik,
assertivity, understanding, integritas dan dedikasi.
DAFTAR RUJUKAN
82
Dr. H.B. Siswanto, M.Si. (2011). Pengantar Manajemen. Penerbit Bumi Aksara -
Jakarta
Fisher, Simon et all, (2000). Mengelola Konflik: Ketrampilan & Strategi untuk
Bertindak (edisi bahasa Indonesia), The British Council, Indonesia,
Jakarta. Diambil kembali dari https://jepits.wordpress.com/2007/
12/19/manajemen-konflik-definisi-dan-teori-teori-konflik/
Florsheim, P., Tolan, P. H., & Gorman-Smith, D. (1996). Family processes and
risk for externalized behavior problems among African American and
Hispanic boys. Journal of Counseling and Clinical Psychology, 64(6),
1222–1230. Diambil kembali dari https://bagawanabiyasa.wordpress.
com/2013/08/03/meningkatkan-kemampuan-sertif/
French, Astrid. (1998). Ketrampilan Berkomunikasi antar Pribadi. Indonesia:
Kentindo Soho. Diambil kembali dari https://bagawanabiyasa.wordpress.
com/2013/08/03/meningkatkan-kemampuan-sertif/
Griffin. (2003). Pengantar Manajemen. Penerbit Erlangga – Jakarta
Gunarsa, Singgih D. (2004). Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT BPK Gunung
Mulia. Diambil kembali dari https://bagawanabiyasa.wordpress.
com/2013/08/03/meningkatkan-kemampuan-sertif/
Handoko, T. Hani. (1999). Manajemen. BPFE – Yogyakarta
Hehamahua, A. (2016, 12 23). Prinsip Dasar Integritas. Diambil kembali dari
EDUNEWS.id: https://www.edunews.id/integritas/prinsip-dasar-integritas/
Ibrahim, A. (2013). Pengertian Integritas Menurut Pandangan Para Ahli. Diambil
kembali dari https://pengertiandefinisi.com/pengertian-integritas-menurut-
pandangan-para-ahli/
Kartono, Kartini. (1998). Pemimpin dan Kepemimpinan : Apakah Pemimpinan
Abnormal Itu ? PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Diambil kembali dari
http://www.kajianpustaka.com/2012/11/pemimpin-dan-kepemimpinan.
html
Mardianto, A. dkk. (2000). Penggunaan Manajemen Konflik Ditinjau Dari Status
Keikutsertaan Dalam Mengikuti Kegiatan Pencinta Alam Di Universitas
Gajah Mada. Jurnal Psikologi, No. 2
Minnery, John R., (1985). Conflict management in urban planning, Gower
Publishing Company Limited, England. Diambil kembali dari
https://jepits.wordpress.com/2007/12/19/manajemen-konflik-definisi-dan-
teori-teori-konflik/
Moorhead, G. & Griffin, R.W. (1998). Organizational Behavior. New York:
Houghton Mifflin Company.
83
Mulyana, Dedi. (2001). Kontek-Kontek Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosda
Karya. Diambil kembali dari https://bagawanabiyasa.wordpress.
com/2013/08/03/meningkatkan-kemampuan-sertif/
N, S. (2016, April 17). Pengertian Integritas Dan Seberapa Pentingnya . Diambil
kembali dari http://www.pengertianku.net/2016/04/pengertian-integritas-
dan-seberapa-pentingnya.html
Prayitno dan Erman Amti. (2004). Dasar-Dasar Bimbingan Dan Konseling.
Jakarta: PT Rineka Cipta. Diambil kembali dari
https://bagawanabiyasa.wordpress.com/2013/08/03/meningkatkan-
kemampuan-sertif/
Pringle, P. (2001). Top 10 Qualities of A GreatLeader. Canada: Pearson Horizon
Editions.
Rakos, Richard F. (1991). Assertive Behaviour: Theory, Research, And Training.
New York: Routledge London. Diambil kembali dari
https://bagawanabiyasa.wordpress.com/2013/08/03/meningkatkan-
kemampuan-sertif/
Riyono, B. & Zulaifah, E. (2001). Psikologi Kepemimpinan, Yogyakarta: UGM
Press.
Robbins, S.P. (1998). Perilaku Organisasi. Jakarta: Prehallindo.
Ross, Marc Howard Ross, (1993). The management of conflict: interpretations
and interests in comparative perspective, Yale university press. Diambil
kembali dari https://jepits.wordpress.com/2007/12/19/manajemen-konflik-
definisi-dan-teori-teori-konflik/
Siagian, S. P. (1982). Administrasi Pembangunan. Gunung Agung, Jakarta.
Diambil kembali dari http://www.kajianpustaka.com/2012/11/pemimpin-
dan-kepemimpinan.html
Sofyan, Willis.. (2007). Konseling Individual Teori dan Praktek.
Bandung:Alfabeta. Diambil kembali dari https://bagawanabiyasa.
wordpress.com/2013/08/03/meningkatkan-kemampuan-sertif/
Stein, J. Steven dan Howard E.Book. (2002). Ledakan EQ. Bandung: CV
Alfabeta. Diambil kembali dari https://bagawanabiyasa.wordpress.
com/2013/08/03/meningkatkan-kemampuan-sertif/
Stein, M. B., Liebowitz, M. R., Lydiard, R. B., Pitts, C. D., Bushnell, W., &
Gergel, I. (1998). Paroxetine treatment of generalized social phobia
(social anxiety disorder). A randomized clinical trial. Journal of the
American Medical Association. Diambil kembali dari
https://bagawanabiyasa.wordpress.com/2013/08/03/meningkatkan-
kemampuan-sertif/
Stoner, James A.F. (1996). Manajemen (Terjemahan). Penerbit Erlangga – Jakarta
84
Sugiyo. (2005). Komunikasi Antar Pribadi. Semarang: UNNES Press. Diambil
kembali dari https://bagawanabiyasa.wordpress.com/2013/08/
03/meningkatkan-kemampuan-sertif/
Suradinata, Ermaya. (1995). Psikologi Kepegawaian dan Peranan Pimpinan
Dalam Motivasi Kerja . CV Ramadan, Bandung. Diambil kembali dari
http://www.kajianpustaka.com/2012/11/pemimpin-dan-kepemimpinan.
html
Syafi’ie, Imam. (1993). Terampil Berbahasa Indonesia I. Petunjuk Guru Bahasa
Indonesia SMU Kelas 1. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Diambil kembali dari https://bagawanabiyasa.wordpress.
com/2013/08/03/meningkatkan-kemampuan-sertif/
Tarigan, Djago, dkk. (2003). Pendidikan Keterampilan Berbahasa. Jakarta: Pusat
Penerbitan Universitas Terbuka. Diambil kembali dari
https://bagawanabiyasa.wordpress.
com/2013/08/03/meningkatkan-kemampuan-sertif/
Tarigan, Henry Guntur. (1990). Berbicara: Sebagai Suatu Keterampilan
Berbahasa. Cet. Ke-10.Bandung: Angkasa. Diambil kembali dari
https://bagawanabiyasa.wordpress.com/2013/08/03/meningkatkan-
kemampuan-sertif/
Teukuhermi.blogspot.co.id. (2016). Pengertian Keterampilan Sosial Aspek.
(http://teukuhermi.blogspot.co.id/2016/11/pengertian-keterampilan-sosial-
aspek.html), diakses pada tanggal 14 April 2017
Timpe, A.D. (1991). Seri Manajemen Sumber Daya Manusia. Kepemimpinan.
Jakarta: Elex Computindo.
Winardi. (1990). Kepemimpinan Dalam Manajemen. PT. Rineka Cipta, Jakarta
Diambil kembali dari http://www.kajianpustaka.com/2012/11/pemimpin-
dan-kepemimpinan.html
Winardi. (1994). Manajemen Konflik (Konflik Perubahan Dan Pengembangan).
Bandung. Penerbit: CV. Mandarmaju.
Wuryanano. (2011). The 21 Principles to Build and Develop Fighting Spirit.
Jakarta: Elex Media Komputindo.
Young S. H. (2007). Memahami Orang Lain, (https://www.scotthyoung.
com/blog/2007/08/28/the-critical-7-rules-to-understand-people/), diakses
pada 14 April 2017.
Zane, N. W. S., Sue, S., Hu, L., & Kwon, J. (1991). Asian-American assertion: A
social learning analysis of cultural differences. Journal of Counseling
Psychology, 38, 63–70. Diambil kembali dari https://bagawanabiyasa.
wordpress.com/2013/08/03/meningkatkan-kemampuan-sertif/
85
Ziegler, R. G. (1996). Anxiety disorders in children: Applying a cognitive-
behavioral technique that can be integrated with pharmacotherapy or
other psychosocial interventions. In J. M. Diambil kembali dari
https://bagawanabiyasa.wordpress.com/2013/08/03/meningkatkan-
kemampuan-sertif/
Ziglar, Z. (2007). Gods Way is Still The Best Way. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Zimmerman, M., & Coryell, W. (1990). Diagnosing personality disorders in the
community: A comparison of self-report and interview measures. Archives
of General Psychiatry, 47, 527–531 Diambil kembali dari
https://bagawanabiyasa.wordpress.com/2013/08/03/meningkatkan-
kemampuan-sertif/
86