Abstrak
Satua merupakan bagian tak terpisahkan dari tradisi sastra lisan yang
hidup dan berkembang di Bali. Keberadaanya mengalami dinamika seiring
perkembangan jaman. Satua dalam konteksnya terdahulu merupakan media bagi
orangtua untuk menidurkan anak, namun di era global ini keberadaan satua sangat
dirindukan tidak hanya untuk tujuan sebelumnya, lebih daripada itu sebagai media
untuk menanamkan pendidikan karakter pada anak termasuk nilai-nilai moral
yang terkandung di dalamnya. Satua tidak hanya mengandung nilai hiburan, ada
pula nilai-nilai moral, agama,dan kebudayaan yang ditampilkan secara implisit
baik melalui kisah dengan tokoh binatang maupun manusia. Sedemikian
berharganya satua tersebut hingga sangat disayangkan jika satua tidak
dimanfaatkan dengan baik sebagai media pendidikan karakter. Nilai tentang
perbuatan baik dan buruk serta pahalanya menjadi topik sebagian besar satua-
satua Bali. Nilai moral inilah yang dapat dijadikan teladan umat manusia untuk
mewujudkan karakter yang baik.
Kata-kata kunci: Nilai-nilai Moral, Satua, Media Pendidikan Karakter, Era
Global.
Abstract
Satua (fairytale)is an integral part of the oral literature tradition that
lives and thrives in Bali. The existence is experiencing dynamically as the
development of time. Satua in the previous context is a medium for parents to be
put to the kids, but in this global era where satua is sorely missed not only for the
purpose before, but also as a medium for imparting education on children's
characters including moral values contained in it. Satua contains not only
entertainment value, there are also moral values, religion, and culture which is
implicitly shown through the story with animal and human figures. Satua is
valuable, and its become unfortunate if it is not utilized properly as character
education media. Value of the good and bad deeds and reward become a topic ofa
largely satua - satua Bali. This is the moral value that can be used as an example
of humanity to realize good character.
Keywords: Moral values, Satua, Character Education Medium, Global Era.
I. PENDAHULUAN
Dewasa ini masyarakat dihadapkan pada situasi yang menuntut
penyesuaian terhadap perubahan yang begitu cepat di hampir setiap lini
kehidupan. Derasnya arus globalisasi amat sulit untuk dibendung, bahkan tidak
jarang menimbulkan dampak yang mengkhawatirkan di tengah masyarakat,
seperti fenomena menurunnya moral remaja sebagai akibat rendahnya
pemahaman moral yang oleh Lickona (2013: 25) dinyatakan sebagai kegagalan
etis serius di masyarakat. Sejalan dengan hal itu, Nashir (2013: 16) memandang
bahwa pendidikan ternyata hanya melahirkan manusia-manusia yang cerdas otak
dan keahliannya, tetapi lembek dan rapuh moral dan tingkah lakunya. Kecerdasan
lelucon, anekdot, atau kehidupan raja serta para pengikutnya, kesengsaraan yang
berujung kebahagiaan, dan sebagainya. Satua yang kaya akan pesan moral
hendaknya dapat disimak dan dijadikan teladan khususnya bagi generasi muda
guna mewujudkan karakter yang baik.
II. PEMBAHASAN
Secara etimologi kata satua berasal dari kata sato (bahasa Bali) yang
berarti binatang. Jadisatua adalah cerita tentang kehidupan binatang. Binatang
dalam satua sering digambarkan mewakili kehidupan manusia sehingga
diharapkan manusia dapat belajar dari kisah kehidupan binatang. Kehidupan
binatang memberikan daya tarik tersendiri bagi anak-anak. Masjidi (2007: 32)
mengungkapkan bahwa pada fase 6-12 tahun anak mulai fasih berbicara,
berbahasa, sering bertanya memperkaya perbendaharaan kata, dan memperluas
pengetahuannya, mereka sering membaca buku, terutama buku-buku yang
mengisahkan tentang petualangan atau buku-buku yang menceritakan tentang
kehidupan binatang. Sehingga dengan meyampaikan satua yang bercerita tentang
kehidupan binatang yang beraktivitas layaknya manusia akan lebih mudah
terekam dalam memori anak-anak.
Satua termasuk ke dalam sastra lisan yang kemudian ditulis lebih lanjut.
Seperti yang dinyatakan oleh Teeuw (2015: 214) bahwa baik sastra tertulis
maupun sastra lisan masih hidup berdampingan dan sering ada keterpaduan.
Sastra tertulis dalam prakteknya biasanya berfungsi sebagai sastra yang
dibacakan, dan sebaliknya sastra lisan sering kemudian ditulis dan dijadikan sastra
tulis. Satua yang merupakan sastra lisan sering ditulis untuk menjaga agar tradisi
tersebut dapat terus terpelihara. Demikian pula menurut Suastika (2011: 15), satua
merupakan cerita lisan berbentuk prosa yang disampaikan secara bebas, dengan
menggunakan bahasa Bali kapara (lumrah) yang secara umum dikenal oleh
masyarakat Bali dan tidak ada ikatan yang jelas seperti dalam puisi Bali yang
disebut gaguritan. Lebih lanjut menurut Suastika bahwa satua juga memiliki
kebebasan dalam pengungkapannya, seperti adanya kalimat narasi yang panjang
dan pendek sesuai kebutuhan alur cerita, baik itu berupa kalimat tanya, adanya
dialog berulang-ulang antar tokohnya, ada kata penanda untuk mempercepat alur
dan ada bagian simpulan atau cerita selesai seperti misalnya ”asapunika, satuane
puput”.
Jika dilihat jenis ceritanya, satua dapat dibagi menjadi fabel (tokoh
binatang), legenda (kejadian suatu daerah dengan tokoh tertentu), dan mite (mitos
yang mengacu kepada asal-usul atau kepercayaan yang diyakini kebenarannya.
Sedangkan jika dilihat dari tokoh pelaku ceritanya, maka satua dibagi menjadi
dua yaitu yang diperankan oleh tokoh binatang dan diperankanoleh tokoh
manusia.Satua mengandung pesan-pesan moral yang sangat bermanfaat bagi
kehidupan manusia.
Menurut Suseno (1987: 19), kata moral selalu mengacu kepada baik
buruknya manusia sebagai manusia, jadi bukan baik buruknya begitu saja sebagai
profesi tertentu. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi
kebaikannya sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia
dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolak
ukur untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari
segi baik buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan
terbatas. Titib (2011: 555) menyatakan bahwa ajaran moralitas menuntun umat
manusia senantiasa untuk berbuat baik dan benar, menghindarkan diri dari
perbuatan yang salah dan tidak benar. Moral erat kaitannya dengan karakter.
Nilai-nilai moral dalam satua dapat dijadikan sebagai media pendidikan karakter
terlebih di era global saat ini. Hal ini diperkuat oleh Ratna (2014: 645) yang
menjelaskan bahwa pendidikan karakter dapat digunakan dimana saja, dalam
hubungan apa saja. Para pendidik dapat menjelaskan secara panjang lebar bahwa
setiap orang hendaknya melakukan tugasnya masing-masing sesuai dengan
kemampuannya. Terkait pendidikan karakter dalam sebuah karya sastra (termasuk
satua sebagai tradisi sastra lisan) maka unsur tokoh-tokoh dan pesanlah yang
dianggap paling menentukan. Artinya para tokoh menyampaikan pesan, amanat,
nasihat yang disampaikan melalui penggunaan bahasa yang indah dan estetis.
Karya sastra menyajikan berbagai masalah dalam kaitannya pendidikan moral,
budi pekerti dan tata susila serta nasihat-nasihat lainnya. Tidak ada karya sastra
yang tidak mengandung pesan. Setiap karya sastra berfungsi untuk menyampaikan
pesan-pesan dimaksud kepada masyarakat mengingat karya sastra pada dasarnya
merupakan representasi dari masyarakat itu sendiri. Berkaitan dengan satua
sebagai media pendidikan karakter, lebih lanjut penulis uraikan beberapa nilai
moral yang dapat diteladani dalam satua-satua Bali.
Tiwas, mai seluk jit nirane!". Mara keto lantas seluka jit kidange, laut kijem jit
kidange, Men Sugih paide abana ka dui-duine. Men Sugih ngeling aduh-aduh
katulung-tulung,"Nunas ica tulung tiang, tiang kapok!". Teked di pangkunge
mara Men Sugih lebanga, awakne telah babak belur tur pingsan. Disubane
inget ia magaang mulih. Teked jumahne lantas ia gelem makelo-kelo laut
ngemasin mati. Keto suba upah anake lobha tur iri ati.”
Artinya:
“Keesokan harinya Men Sugih pergi ke rumah Men Tiwas dan bertanya, “Eh
Tiwas, dimana kamu dapat emas dan slaka (sejenis perak) yang banyak? Men
Tiwas menjawab.” Begini mbak, kemarin sewaktu saya pergi ke hutan mencari
kayu bakar dan sayur paku, tiba-tiba ada seekor kijang yang menyuruh saya
untuk memasukkan tangan ke lobang pantatnya. Lalu saya masukkan tangan
dan begitu saya keluarkan tangan saya dipenuhi emas dan slaka. Mendengar
hal itu, Men Sugih secepatnya pulang dan keesokan harinya ia pergi
mendahului ke hutan dan berpura-pura menjadi orang miskin mencari kayu
bakar dan sayur paku. Tiba-tiba datang Sang Kijang dan bertanya.” Siapa itu
disana?” Men Sugih menjawab, “Saya Men Tiwas, sejak dua hari saya tidak
memasak. Men Sugih merasa sangat senang, lalu Sang Kijang berkata, “Eh
Tiwas kemari masukkan tanganmu ke lobang pantatku!” Lalu ia memasukkan
tangannya dan tangannya dijepit. Men Sugih lantas diseret ke semak-semak
berduri. Men Sugih menangis minta tolong, “tolong saya, saya kapok”
Sesampainya di jurang, barulah Men Sugih dilepaskan, badannya terluka
hingga ia pingsan. Setelah sadar ia merangkak pulang dan sesampainya di
rumah ia jatuh sakit dan lama kelamaan lantas mati. Itulah akibat orang yang
tamak/ rakus dan iri hati.
Satua tersebut mengandung nilai moral bahwa orang yang tamak dan iri
hati tidak akan pernah puas dengan apa yang ia miliki dan karena tidak bisa
mengendalikan sifat itu, ia akan mendapatkan malapetaka. Di jaman sekarang,
tidak sedikit orang yang memiliki sifat tamak, tidak puas dengan kekayaan yang
dimiliki, bahkan oknum yang memiliki kekuasaan tidak jarang menyalahgunakan
wewenangnya untuk memperkaya diri sendiri. Kasus korupsi sebagai salah satu
indikator ketamakan yang akan menyengsarakan si pelaku itu sendiri. Satua Men
Sugih dan Men Tiwas menyerupai gambaran manusia modern saat ini yang
diliputi sifat tamak dan terlihat jelas kesenjangan sosial yang ada. Satua itu
hendaknya dapat dijadikan cerminan dan teladan tentang akibat dari baik
buruknya perbuatan manusia.
Demikian pula dalan satua I Tuma teken Titih (semacam kutu), dan sosok
I Titih mewakili karakter orang yang diliputi oleh lobha atau kerakusan dan
ketamakan. Ia sudah diperingatkan oleh I Tuma agar jangan sekali-kali menggigit
sang raja yang belum tertidur pulas, tapi ia karena diliputi lobha maka akhirnya
menemui ajalnya. Selengkapnya sebagai berikut:
“Ih Titih, lamun suba pituwi saja buka omong caine, bapa nyak ngajak cai dini.
Kewala ene ingetang pitutur bapane. Eda pesan cai ngulurin lobhan keneh
caine. Anake ane lobha, tusing buungan lakar nepukin sengkala. Lenan teken
ento, tusing pesan dadi iri hati, kerana doyan liu ngelah musuh. Apang cai bisa
malajahang kadharman.” Keto pamunyinne I Tuma teken I Titih. Jani suba ia
makakasihan. I Titih lega pesan kenehne dadi sisian I Tuma. Sedek dina anu, ida
anake agung merem-mereman. Saget I Titih lakar ngutgut. Ngomong I Tuma,
”Ih Tittih,eda malu ngutgut ida anake agung. Kerana ida tonden sirep.”
Nanging I Titih bengkung, tusing dadi orahin, lantas ia sahasa ngutgut ida
anake agung. Ida anake agung tengkejut lantas matangi. Ditu ida ngandikang
parekanne ngeliin I Titih. Parekanne lantas ngeliin. Mara kebitanga di batan
tilame, tepukina I Titih lua muani, lantas matianga. Buin alih-alihina, tepukina I
Tuma di lepitan kasure. Ditu lantas matianga. Pamragat mati I Tuma ajaka I
Titih. Keto katuturan anake ane lobha, tusing bisa ngeret indria, tan urungan
lakar nepukin sengkala.”
Artinya:
“Eh Titih, kalau memang seperti itu, aku bersedia menerimamu disini. Tetapi
ingat omonganku. Jangan sekali-kali kamu terbawa nafsu serakah dan tamak.
Orang yang tamak tidak urung akan mendapatkan malapetaka. Selain itu, tidak
boleh iri hati, karena banyak punya musuh. Supaya kamu bisa belajar kebenaran.
Itu nasehat Tuma kepada Titih dan mereka akhirnya berteman. Titih senang bisa
menjadi teman sekaligus murid dari Tuma. Suatu hari, sang raja sedang tidur-
tiduran, lalu Tuma akan menggigit beliau, lalu Tuma berkata, “ Eh Titih, nanti
dulu, jangan gigit dulu, karena beliau belum tertidur. Akan tetapi Titih
membandel dan ia menggigit sang raja hingga beliau kaget dan terbangun. Lalu
beliau memanggil anak buahnya untuk mencari Titih dan akhirnya ditemukan
Titih laki dan perempuan. Tuma juga ditemukan di lipatan kasur beliau, dan
pada akhirnya Tuma dan Titih dibunuh dan mati. Itulah akibat orang yang rakus,
tamak, tidak bisa mengendalikan nafsu, tidak urung akan menemui malapetaka.
Tentunya tokoh I Titih dalam satua tersebut kembali mengajarkan kepada
umat manusia bahwa sifat tamak hanya akan membawa malapetaka. Dalam
susastra Hindu seperti Bhagavad Gita XVI.20 sudah dijelaskan sebagai berikut:
Triwidham naraksye’dam
Dwaram nasanam atmanah
Kamah krodhas tatha lobhas
Tasmad etat trayam trajet
Artinya :
Ini pintu gerbang ke neraka, jalan menuju jurang kehancuran diri, ada tiga yaitu
Kama, Krodah dan Lobha, oleh karena itu ketiga-tiganya harus ditinggalkan.
Nilai moral dalam satua tersebut bisa ditanamkan kepada anak agar selalu
melekat di ingatan anak bahwa sifat-sifat tamak, rakus, dan sejenisnya adalah sifat
yang tidak baik dan tidak pantas ditiru.
tidak dapat dinikmati pada saat berbuat sehingga harus dinikmati pada kehidupan
yang akan datang. Seperti satua I Lutung teken Kekua yang berawal dari ajakan I
Lutung kepada Kekua untuk mencari pisang di kebun milik Kaki Perodong di
seberang sungai. I Lutung meminta Kekua untuk menggendongnya sambil
berenang melewati sungai tersebut. I Lutung berjanji bahwa ia akan memanjat
pohon pisang, Kekua menunggu di bawah, dan setelah dapat memetik tiga buah
pisang, satu buah akan diberikan Kekua, dan dua buah menjadi milik I Lutung.
Akan tetapi sesampainya disana, I Lutung ingkar janji. Selengkapnya sebagai
berikut:
“Gelisang satua I Lutung ngempok biu masane nasak duang bulih, tur peluta
amaha maka dadua. I kekua baanga kulitne dogen. Makelo-kelo I Kekua gedeg
sawireh I Lutung tusing satunit teken janji. Jeg ia pragat maan kulit biune
dogen. Sedeng iteha I Lutung ngamah biu, lantas teka I Kaki Perodong ngaba
tumbak lanying tur ngomong, " Bah, ne I Lutung ngamah biune, jani lakar
matiang!". I Kekua mengkeb di beten punyan biune, Kaki Perodong majalan
adeng-adeng ngintip I Lutung.I Lutung kaliwat demen kenehne ngamah biu
nasak, tusing tau teken ketekan baya, iteh ngamah biu nasak di punya. Sedeng
iteha I Lutung ngamah biu lantas katumbak baan I Kaki Perodong beneng
lambungne. I Lutung maglebug ulung ka tanahe lantas mati. Bangken I Lutung
tadtade kapondoke banI Kaki Perodong.Keto suba upah anake demen
mamaling tur demen nguluk-nguluk timpal.”
Artinya:
I Lutung memetik pisang mas dua buah, dikupas dan dimakan sendiri, Kekua
hanya diberikan kulitnya saja. Lama-lama Kekua marah karena I Lutung ingkar
janji. Sedang enaknya I Lutung makan pisang, tiba-tiba datang I Kaki
Perodong membawa tombak dan berkata, “Oh ini I Lutung yang memakan
pisangku, aku bunuh saja. I Lutung tidak tahu kalau bahaya sedang
mengancamnya. Tanpa disadari, I Kaki Perodong menusuk I Lutung hingga
mengenai lambungnya dan akhirnya mati. Itulah akibat orang yang suka
mencuri dan berbohong atau memperdaya teman.
Mencuri, berbohong merupakan sikap yang tidak baik, anak harus dilatih
dan dididik sedari kecil agar menghindari sikap-sikap seperti itu melalui media
satua tersebut. Perbuatan yang tidak baik akan mendatangkan akibat yang tidak
baik pula, demikian sebaliknya, dan hal itu yang harus selalu ditanamkan kepada
anak.
“Sedek dina anu ada kone layangan memegat tur engsut di punya kayune. I
Lacur ajake timpal-timpalne nguber layangane ento. Ditu I Klaleng timpal I
Lacure ane taen mlegendahang I Lacur menek ka punyan kayune ento ngalih
layangan. Tonden teked baduur I Klaleng ulung. Ngaduh-ngaduh I Klaleng
ngorang sakit. Mirib suba elung batisne. Ditu lantas I Lacur ngandong I
Klaleng mulih ka umahne. Diapin je I Klaleng taen mlegendahang dewekne, I
Lacur nyak masih nulungin I Klaleng. Ditu Lantas I Klaleng nyuksemaang
pesan parisolahne I Lacur”
Artinya:
Suatu hari, ada layangan putus dan nyangkut di pohon kayu. I Lacur dan
teman-temannya mengejar layangan itu. I Klaleng temannya I Lacur yang
pernah mengolok-ngoloknya, naik ke pohon kayu itu encari layangan. Belum
samapai di atas, ia sudah terjatuh dan kesakitan minta tolong. I Lacur tanpa
pikir panjang menggendong I Klaleng sampai di rumahnya. Meskipun ia
pernah diolok-olok, namun ia tetap mau menolong I Klaleng. Disana
akhirnya I Klaleng berterimakasih atas perlakuan I Lacur.
Sikap ini ditunjukkan oleh Pan Dana dalam satua Pan Laba teken Pan Dana
seperti kutipan berikut.
“Pan Dana goroh tur kapiolasan teken anak latjur, ento kerana ia tiwas.
Katjaritanan sugih kone suba Pan Dana, njumingkinang kone ia dana, tulung
teken anak latjur awanan makedjang anake latjur ditu ngedalem teken Pan
Dana”.
Artinya:
Pan Dana sangat dermawan meskipun ia orang tak mampu (miskin).
Diceritakan Pan Dana kemudian kaya raya, dan justru ia semakin dermawan,
membantu orang yang memerlukan, hingga ia disegani.
Demikian pula halnya dalam satua I Angsa teken Empas yang
mengisahkan persahabatn antara Angsa dengan Empas, dan ketika mereka hendak
meninggalkan telaga yang terancam kekeringan, Empas yang tidak bisa terbang
dibantu oleh Angsa dan dibawa ikut serta terbang. Empas diminta untuk
menggigit ranting pohon kopi yang juga digigit oleh Angsa. Umat manusia
diajarkan untuk meneladani kedua tokoh dalam satua di atas, menolong dengan
iklhas karena panggilan hati dan tanpa motif apapun.
III. PENUTUP
Satua yang hidup dan berkembang di Bali tidak hanya sebagai media
hiburan semata, namun terpenting adalah fungsinya sebagai media pendidikan
khususnya pendidikan karakter. Di dalam satua terselip nilai-nilai moral yang
hendaknya dapat dijadikan teladan oleh umat manusia terlebih di era global yang
penuh dinamika dan tantangan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Daryanto, dan Suryatri Darmiatun. 2013. Impelementasi Pendidikan Karakter di
Sekolah. Yogyakarta: Gava Media
Masjidi, Noviar. 2007. Agar Anak Suka Membaca, Sebuah Panduan Bagi Orang
Tua. Yogyakarta: Media Insani.
Nashir, Haedar. 2013. Pendidikan Karakter Berbasis Agama & Budaya.
Yogyakarta: Multi Presindo.
Netra, Anak Agung Gde Oka. 2009. Tuntunan Dasar Agama Hindu. Denpasar:
Widya Dharma.
Lickona, Thomas. 2013. Pendidikan Karakter Panduan Lengkap Mendidik Siswa
Menjadi Pintar dan Baik.Bandung: Nusamedia.
Pudja, Gde. 2003. Bhagavadgita (Pancama Weda). Jakarta: Pustaka Mitra Jaya.
Rampan, Korrie Layun. 2014. Teknik Menulis Cerita Rakyat. Bandung: Yrama
Widya.
Ratna, Nyoman Kutha. 2014. Peranan Karya Sastra, Seni, dan Budaya dalam
Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Satua-satua Bali. Tt. Widya Wahana Library Collection
Suastika, I Made. 2011. Tradisi Sastra Lisan (Satua) di Bali. Kajian Bentuk,
Fungsi, dan Makna. Denpasar: Pustaka Larasan.
Subagiasta, Ketut. 2007. Etika Pendidikan Agama Hindu. Surabaya: Paramita
Suseno, Franz Magnis. 1987. Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat
Moral. Yogyakarta : Kanisius
Teeuw, A. 2015. Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung: PT. Dunia Pustaka Jaya.