Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

TETANUS

Pembimbing: dr. Adi Nugroho, Sp.S, M. Kes

Disusun Oleh :
dr. Sri Pitri Astutiningsih

PROGRAM DOKTER INTERNSIP


RSUD dr. DARSONO PACITAN
2017

BERITA ACARA PRESENTASI LAPORAN KASUS

1
Pada hari ini tanggal Maret 2017 telah dipresentasikan laporan kasus oleh :

Nama peserta : dr. Sri Pitri Astutiningsih

Dengan topik : Tetanus

Nama pembimbing : dr. Adi Nugroho, Sp. S, M.Kes

Nama wahana : RSUD dr. Darsono Kab. Pacitan

No Nama peserta presentasi Tanda tangan

1 dr. Rindy

2 dr. Aci Dwi Lestari

3 dr. Ika Kusuma Wardhani

4 dr. Desyana Perwitahati

5 dr. Dini Pangestika

6 dr. Lynda Kurniasari

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.

Pendamping

( dr. Adi Nugroho, Sp. S, M.Kes)

LAPORAN KASUS

2
IDENTITAS PASIEN

 Nama : Bp. S
 Umur : 60 tahun
 Jenis Kelamin : Laki - laki
 Pekerjaan : Petani
 Agama : Islam
 Suku : Jawa
 Alamat : Pacitan
 Tanggal MRS : 22 Januari 2017
 No. RM : 25.00.xx

ANAMNESIS
 Anamnesis didapatkan pada tanggal 22 Januari 2017
- Keluhan utama : Kram perut
- Keluhan tambahan : nyeri pada tenggorokan, mulut kaku dan sulit
untuk dibuka, luka pada kaki kanan, kejang.

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


 Pasien datang ke IGD RSUD dr. Darsono Pacitan dengan keluhan perut
kram sejak tiga hari yang lalu, mulut kaku dan sulit untuk dibuka, tidak
bisa makan dan minum sejak tiga hari yang lalu. Tenggorokan nyeri dan
pasien tidak bisa membuka mulutnya. Terdapat luka pada kaki kanan.
Kurang lebih 10 hari yang lalu, kaki kanan pasien terkena jeruji sepeda
sehingga terdapat luka yang cukup dalam. Pasien dibawa ke puskesmas
dan luka dijahit kemudian diperban. Lima hari yang lalu, keluar cairan
seperti nanah pada luka tersebut. Kemudian 3 hari yang lalu pasien mulai
merasakan kram pada perut, tidak bisa makan dan minum karena
tenggorokannya kaku dan mulut sulit dibuka. Pasien demam dan kejang.
 RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

3
 Riwayat Penyakit Serupa : disangkal
 Riwayat Alergi obat/makanan : disangkal
 Riwayat mondok : disangkal
 Riwayat Penyakit asma : disangkal
 Riwatat hipertensi : disangkal
 Riwayat DM : disangkal
 Riwayat epilepsy : disangkal

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


 Riwayat Penyakit Serupa : disangkal
 Riwayat hipertensi : disangkal
 Riwayat DM : disangkal
 Riwayat alergi : disangkal
 Riwayat epilepsy : disangkal

RIWAYAT PRIBADI DAN SOSIAL


Pasien tinggal bersama istri dan anaknya. Pasien bekerja sebagai petani
dari pagi sampai sore. Keluarga dan tetangga sekitar rumah tidak ada
yang mengalami penyakit serupa.

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
 Keadaan Umum : Lemah
 Kesadaran : Compos Mentis
 VITAL SIGN
 Nadi : 88 x/menit
 Tekanan Darah : 130/80 mmHg
 Suhu : 37,8oc
 RR : 20 x/menit

4
 Kepala-Leher
 Kepala : Normocepali, bentuk simetris
 Mata : Anemis (-/-), ikterik (-/-)
 Wajah : Trismus (+) Rhisus Sardonicus (+)
 Leher : kaku, kaku kuduk (+), tidak ada pembesaran KGB.

 Thorax-Cardiovascular
 Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan-kiri warna kulit
normal, penggunaan otot bantu nafas (-).
 Palpasi : pergerakan dinding dada simetris kanan-kiri.
 Perkusi : sonor pada kedua dinding thorak, batas jantung dalam
batas normal.
 Auskultasi :
 Pul : Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
 Cor : S1-S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-).

 Abdomen
 Inspeksi : distensi (+), peradangan pada kulit (-), warna kulit dalam
batas normal
 Auskultasi : Bising Usus (+) normal
 Perkusi : Timpani pada seluruh dinding abdomen.
 Palpasi : nyeri tekan (-), perut tegang dan keras, massa (-),
opistotonus (+)

 Pemeriksaan ekstremitas
 Superior
 Inspeksi :atrofi (-), hipertrofi (-),deformitas (-)
 Palpasi :nyeri tekan (-),konsistensi kenyal
 Inferior :
 Inspeksi : Luka pada pedis dextra (+), pus (+), atrofi (-),
hipertrofi (-), deformitas (-)
 Palpasi : konsistensi kenyal,nyeri tekan (+) pada pedis dekstra

Status Neurologis
KEADAAN UMUM
› Kesadaran
 Kwalitatif : compos mentis
 Kwantitatif : GCS 456

5
› Pembicaraan
 Disartria : (-)
 Monoton : (-)
 Scanning : (-)
 Afasia : Motorik (-)
Sensorik (-)
Amnestik/anomik (-)

Pemeriksaan Khusus
1. A. RANGSANGAN SELAPUT OTAK
 Kaku Kuduk :+
 Kernig :-
 Brudzinski I :-
 Brudzinski II :-
B. LASEQUE TEST: -
2. Saraf Otak
› N. I Kanan Kiri
 Hypo/Anosmia : tdl tdl
 Parosmia : tdl tdl
 Halusinasi : tdl tdl
› N. II Kanan Kiri
 Visus : sde sde
 Yojana Penglihatan : dbn dbn
 Melihat warna : dbn dbn
 Funduskopi : tdl tdl
N. III, N. IV, N. VI Kanan Kiri
› Kedudukan bola mata : sentral sentral
› Pergerakan bola mata
 Ke nasal : + +
 Ke temporal atas : + +
 Ke bawah : + +
 Ke atas : + +
 Ke temporal bawah : + +

› Eksopthalmus : tidak ditemukan tidak ditemukan


› Celah mata (Ptosis) : tidak ditemukan tidak ditemukan
› Pupil Kanan Kiri
 Bentuk : reguler reguler
 Lebar : 3 mm 3 mm
 Perbedaan lebar : - -
 Refleks cahaya langsung : + +
 Refleks cahaya konsensual : + +

› N. V Kanan Kiri

6
 Cabang Motorik
 Otot masseter : meningkat meningkat
 Otot temporal : meningkat meningkat
 Otot Pterygoideus : meningkat meningkat
 Cabang Sensorik:
 I : dbn dbn
 II : dbn dbn
 III : dbn dbn
 Refleks kornea langsung :+ +
 Refleks kornea konsensual :+ +

› N. VII
 Waktu diam
 Kerutan dahi : simetris
 Tinggi alis : simetris
 Sudut mata : simetris
 Lipatan nasolabial : simetris
 Waktu gerak
 Mengerutkan dahi : kerutan pada dahi sebelah
kanan dan kiri sama
 Menutup mata : kedua mata kanan dan kiri
dapat menutup
 Mencucu / bersiul : sde
 Memperlihatkan gigi : sudut mulut sebelah kanan
dan kiri simetris
 Pengecapan 2/3 depan lidah: tdl
 Hyperakusis : -/-
 Sekresi air mata : tidak dilakukan
› N. VIII
 Vestibular Kanan Kiri
 Vertigo: (-) (-)
 Nystagmus ke : (-) (-)
 Tinitus aureum: (-) (-)
 Tes kalori : tidak dilakukan

 Kochlear Kanan Kiri


 Weber : tidak ada lateralisasi
 Rinne : (+) (+)
 Schwabach : sama dengan pemeriksa sama
dengan pemeriksa
 Tuli konduktif : (-) (-)

7
 Tuli perseptif : (-) (-)
› N. IX, N. X
 Bagian motorik
 Suara biasa/parau/tak bersuara : suara biasa
 Kedudukan arcus pharynx : sde
 Kedudukan uvula : sde
 Pergerakan arcus pharynx/uvula : sde
 Detak jantung : 88 x/menit
 Menelan :-
 Bising usus : + normal
 Bagian sensorik
 pengecapan 1/3 belakang lidah : tdl
 Refleks-refleks
 Refleks muntah : tdl
 Refleks palatum-molle : tdl
› N. XI Kanan Kiri
 Mengangkat bahu : sde sde
 Memalingkan kepala : sde sde
› N. XII
 Atrofi : Kanan : (-) Kiri : (-)
 Fasikulasi/tremor : Kanan : (-) Kiri : (-)
 Kekuatan lidah pada bagian dalam pipi: :
normal normal
› Ekstremitas
Superior
Sensorik : Dalam batas normal
Motorik
1. Kekuatan otot
Lengan Kanan Kiri
M. Deltoid (Abduksi lengan atas) : 5 5
M. Biceps (Fleksi lengan bawah) : 5 5
M. Triceps (Ekstensi lengan bawah) : 5 5
Fleksi sendi pergelangan tangan : 5 5
Ekstensi sendi pergelangan tangan : 5 5
Membuka jari-jari tangan : 5 5
Menutup jari-jari tangan : 5 5
2. Tonus otot : meningkat

8
3. Refleks fisiologis : BPR : (+) Normal (+) Normal
TPR : (+) Normal (+) Normal
4.Refleks patologis : Hofman (-)
Trommer (-)
Inferior
› Sensorik : dalam batas normal
› Motorik
1. Kekuatan otot
Tungkai Kanan Kiri
Fleksi artic. coxae (tungkai atas) 5 5
Extensi artic. coxae (tungkai atas) 5 5
Fleksi sendi lutut (tungkai bawah) 5 5
Fleksi plantar kaki 5 5
Ekstensi dorsal kaki 5 5
Gerakan jari-jari 5 5
Kanan Kiri
Tonus otot Meningkat Meningkat
Refleks fisiologis: KPR : +N +N
APR : +N +N
Refleks patologis:
Babinsky (-) (-)
Chaddock (-) (-)
Openheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
Gonda (-) (-)
Schaeffer (-) (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium

9
Pemeriksaan Angka Satuan Nilai Normal

Hemoglobin 13,9 gr/dl Lk : 13,0 – 16,0

Pr : 12,0 – 14,0

Leukosit 5,4 X 10^3 ul 5-10

Hematokrit 40,9 % Lk : 40 – 48

Pr : 37 – 43

MCV 89,4 Pf 82 – 92

MCH 30,5 Pg 27 -31

MCHC 34,1 g/dl 32 – 36

Eritrosit 4,12 103ul 4,00-5,00

Trombosit 243 103ul 150 – 300

Limfosit % 14,1 % 25-40

Monosit % 5,6 % 3–9

Limfosit # 0,8 x 10^3ul 1,25- 4,00

Monosit # 0.3 x 10^3ul 0,30 – 1,00

Gran% 80,3 % 50-70

Gran# 95,4 x 10^3ul 22,50 -7,00

Ureum 29,7 10-50 Mg/dl

Creatinin 0,7 0,5-0,9 Mg/dl

GDS 105,2 70-150 Mg/100ml

Elektrolit Na 133 136-145 Mmol/L

Elektrolit K 3,43 3,5 – 5,1 Mmol/L

Elektrolit Cl 100 98 – 107 Mmol/L

CT 14 <15 Menit

BT 2 <5 Menit

pH 7,364 7,35 – 7,45

pCO2 47,3 45 – 35 mmHg

Base Excess 0,2 (-2) s.d (+2) Mmol/L

HCO3 26,3 22-26 Mmol/L

pO2 103,9 71 – 104 Mmol/L


10
Total CO2 27,5 23 – 27 Mmol/L

Saturasi O2 97,8 94 – 98 Mmol/L


DIAGNOSIS
 DIAGNOSA KLINIK : trismus, epistotonus, disfagia
 DIAGNOSA TOPIKAL : Neuromuscular Jungtion (NMJ)
 DIAGNOSA ETIOLOGI : Tetanus, Gangren pedis dekstra

DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
Meningoensefalitis

RENCANA TERAPI
Medikamentosa:
IVFD RL 20 tpm
Infus Metronidazole 500 mg/8 jam
Injeksi Tetagam 1500 iu Single dose
Injeksi Citicolin 500 mg/12jam
Injeksi Ethigobal 500 mg/12 jam
Infus Paracetamol 1000 mg/8jam
Injeksi Ampicilin 1gr/8jam
Injeksi Diazepam 10 mg (kp kejang)
Injeksi Pantoprazole 40 mg/24 jam

Nonmedikamentosa:
Isolasi pada ruangan yang tenang dan bebas dari rangsangan luar
Pasang NGT
Head up 30 derajat

11
ANALISIS KASUS

Pada pasien ini ditegakkan diagnosis Tetanus berdasarkan dari anamesis


didapatkan pasien mengaku perut kram dan mulut sulit dibuka. Pasien juga
mempunyai riwayat terkena jeruji besi 10 hari SMRS. Dari Pemeriksaan Fisik
didapatkan gejala yang medukung untuk ditagakkanya diagnosis tetanus yaitu
adanya kaku kuduk (+), trismus (+), dan Perut tegang dan keras seperti papan
(opistotonus) dan Risus Sardonikus.

Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang


ditemukan. Sebagian besar penderita mempunyai riwayat trauma dalam 14 hari
terakhir. Kelompok khas adalah pada individu yang belum diimunisasi atau pada
bayi yang dilahirkan oleh ibu yang tidak diimunisasi. Jika riwayat trauma dalam
14 hari terakhir didapatkan dari penderita dengan trismus, kekakuan otot yang
menyeluruh dan spasme tetapi tetap sadar, maka dapat diperkirakan suatu
diagnosis tetanus.

Penatalaksanaan

Pada kasus ini pasien telah diberikan Tetagam 1500 IU per hari yang bertujuan
untuk mencegah penyebaran toksin dan manifestasi klinis yang lebih lanjut.

12
TETANUS

a. Definisi

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan


meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin,
suatu protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.

b. Etiologi

Tetanus disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani. Clostridium tetani


adalah organisme bersifat obligat anaerob pembentuk spora, gram positif,
bergerak, yang berhabitat ditanah, debu, dan saluran pencernaan berbagai
binatang, kadang feces manusia.
Infeksi tetanus disebabkan oleh clostridium tetani yang bersifat
anaerob murni. Kuman ini mudah dikenal karena pembentukan spora dan
karena bentuk yang khas. Ujung sel menyerupai tongkat pemukul gendering
atau raket squash.
Spora clostridium tetani dapat bertahan sampai bertahun-tahun bila
tidak kena sinar matahari. Spora ini terdapat di tanah atau debu, tahan
terhadap antiseptic, pemanasan 100⁰ c dan bahkan pada otoklaf 120⁰ c selama
15-20 menit. Dari berbagai studi yang berbeda, spora ini tidak jarang

13
ditemukan pada feses kuda, anjing dan kucing. Toksin diproduksi oleh bentuk
vegetatifnya.
c. Pathogenesis

Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi


bentuk vegetatif bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen
jaringan yang rendah. Kuman ini dapat membentuk metalo-exotosin tetanus,
yang terpenting untuk manusia adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul
sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular
junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor
endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal
kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang,
akhirnya menyebar ke SSP. Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh
pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut
berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga mencegah keluarnya
neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi
terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau
pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum belakang
terjadi kekakuan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada
dada, perut dan mulia timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks
cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan.
Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi
gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran
cerna, saluran kemih, dan neuromuskular. Spame larynx, hipertensi, gangguan
irama jantung, hiperpirexi, hyperhydrosis merupakan penyulit akibat
gangguan saraf otonom, yang dulu jarang dilaporkan karena penderita sudah
meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi
dan pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom
harus dikenali dan dikelola dengan teliti

14
Web of Caution (Hubungan Sebab Akibat)

Terpapar kuman Clostridium tetani

Eksotoksin

Pengangkutan toksin melewati saraf motorik

Ganglion Sumsum
Otak Saraf Otonom
Tulang Belakang

Tonus otot  Menempel pada Cerebral Mengenai Saraf


Simpatis
Gangliosides

Menjadi kaku Kekakuan dan kejang khas -Keringat berlebihan


pada tetanus -Hipertermi
-Hipotermi
-Aritmia
Hilangnya keseimbangan tonus otot
-Takikardi

Kekakuan otot Hipoksia berat

Sistem Sistem Pernafasan  O2 di otak

15
Kesadaran 

-Ggn. Eliminasi -Ketidakefektifan jalan -PK. Hipoksemia


-Ggn. Nutrisi (< dr. kebut) jalan nafas -Ggn. Perfusi Jaringan
-Gangguan Komunikasi -Ggn. Pertukaran Gas
Verbal -Kurangnya
pengetahuan
Ortu
-Dx,Prognosa,
Perawatan

d. Gejala Klinis
Masa inkubasi tetanus umumnya 3-21 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari
atau hingga beberapa bulan). Hal ini secara langsung berhubungan dengan
jarak dari tempat masuknya kuman C. tetani (tempat luka) ke Susunan Saraf
Pusat (SSP); secara umum semakin besar jarak antara tempat luka dengan
SSP, masa inkubasi akan semakin lama. Semakin pendek masa inkubasi, akan
semakin tinggi kemungkinan terjadinya kematian.
Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni:

1. Generalized tetanus (Tetanus umum)


Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan. Derajat luka
bervariasi, mulai dari luka yang tidak disadari hingga luka trauma yang
terkontaminasi. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari, sebagian besar tergantung dari
jarak luka dengan SSP. Penyakit ini biasanya memiliki pola yang desendens.
Tanda pertama berupa trismus/lock jaw, diikuti dengan kekakuan pada leher,
kesulitan menelan, dan spasme pada otot abdomen. Gejala utama berupa trismus
terjadi sekitar 75% kasus, seringkali ditemukan oleh dokter gigi dan dokter bedah
mulut. Gambaran klinis lainnya meliputi iritabilitas, gelisah, hiperhidrosis dan
disfagia dengan hidrofobia, hipersalivasi dan spasme otot punggung. Manifestasi
dini ini merefleksikan otot bulbar dan paraspinal, mungkin karena dipersarafi oleh
akson pendek. Spasme dapat terjadi berulang kali dan berlangsung hingga

16
beberapa menit. Spasme dapat berlangsung hingga 3-4 minggu. Pemulihan
sempurna memerlukan waktu hingga beberapa bulan.
2. Localized tetanus (Tetanus lokal)
Tetanus lokal terjadi pada ektremitas dengan luka yang terkontaminasi
serta memiliki derajat yang bervariasi. Bentuk ini merupakan tetanus yang tidak
umum dan memiliki prognosis yang baik. Spasme dapat terjadi hingga beberapa
minggu sebelum akhirnya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat
mendahului tetanus umum tetapi dengan derajat yang lebih ringan. Hanya sekitar
1% kasus yang menyebabkan kematian.
3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)
Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah
infeksi telinga tengah. Gejala terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik
(seringkali pada saraf fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal hingga tetanus
umum. Bentuk tetanus ini memiliki masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis biasanya
buruk.
4. Tetanus neonatorum
Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi pada
negara yang belum berkembang dan menyumbang sekitar setengah kematian
neonatus. Penyebab yang sering adalah penggunaan alat-alat yang terkontaminasi
untuk memotong tali pusat pada ibu yang belum diimunisasi. Masa inkubasi
sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum ASI, mulut
mencucu dan spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70%. Selain
berdasarkan gejala klinis, berdasarkan derajat beratnya penyakit, tetanus dapat
dibagi menjadi empat (4) tingkatan.

e. Diagnosis

Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang ditemukan.


Sebagian besar penderita mempunyai riwayat trauma dalam 14 hari terakhir.
Kelompok khas adalah pada individu yang belum diimunisasi atau pada bayi yang
dilahirkan oleh ibu yang tidak diimunisasi. Jika riwayat trauma dalam 14 hari
terakhir didapatkan dari penderita dengan trismus, kekakuan otot yang

17
menyeluruh dan spasme tetapi tetap sadar, maka dapat diperkirakan suatu
diagnosis tetanus.

Langkah Diagnosis

Anamnesis
· Riwayat mendapat trauma (terutama luka tusuk), pemotongan dan perawatan
tali pusat yang tidak steril, riwayat menderita otitis media supurativa kronik
(OMSK), atau gangren gigi.
· Riwayat anak tidak diimunisasi/ tidak lengkap imunisasi tetanus/ BUMIL/
WUS.
Pemeriksaan fisik
· Adanya kekakuan lokal atau trismus.
· Adanya kaku kuduk, risus sardonicus, opisthotonus, perut papan.
· Kekakuan extremitas yang khas : flexi tangan, extensi kaki dan adanya
penyulit

Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus.
Namun demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka orang yang tidak
mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien tetanus.
Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik. Selain
mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti.
Hanya sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan pada luka dan dapat
diisolasi dari pasien yang tidak mengalami tetanus.

 Nilai hitung leukosit dapat tinggi.

 Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal.

 Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai
imunisasi dan bukan tetanus.

 Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat.

18
Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan penyakit.
Beberapa system scoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah skor
Philips, Dakar, Ablett, dan Udwada. System scoring tetanus juga sekaligus
bertindak sebagai penentu prognosis.

Tabel 1. Skor Phillips untuk menentukan derajat Tetanus

Parameter Nilai
< 48 jam 5
2-5 hari 4
Masa inkubasi 6-10 hari 3
11-14 hari 2
>14 hari 1
Internal dan umbilical 5
Leher, kepala dan dinding tubuh 4
Lokasi infeksi Ekstremitas atas 3
Ekstremitas bawah 2
Tidak diketahui 1
Tidak ada 10
Mungkin ada/ibu mendapatkan imunisasi (pada neonates) 8
Status imunisasi > 10 tahun yang lalu 4
< 10 tahun yang lalu 2
Imunisasi lengkap 0
Penyakit atau trauma yang mengancam nyawa 10
Keadaan yang tidak langsung mengancam nyawa 8
Factor Pemberat Keadaan yang tidak mengancam nyawa 4
Trauma atau penyakit ringan 2
ASA derajat I 1
Sumber : Farrar, el al, 2000

System scoring menurut Phillips dikembangkan pada tahun 1967 dan


didasarkan pada empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status
imunisasi, dan factor pemberat. Skor dari keempat parameter tersebut
dijumlahkan dan interpretasikan sebagai berikut:

19
1. Skor < 9 : tetanus ringan
2. Skor 9-16 : tetanus sedang
3. Skor > 16 : tetanus berat

Table 2. Sistem scoring Tetanus menurut Ablett

Grade I (ringan) Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak


ada distres pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Grade II (sedang) Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan
hingga sedang dengan durasi pendek, takipnea ≥ 30
kali/menit, disfagia ringan.
Grade III A (berat) Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan
yang memanjang, distres pernapasan dengan takipnea ≥
40 kali/menit, apneic spell, disfagia berat, takikardia ≥
120 kali/menit.
Grade III B (sangat Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi
berat) otonom berat yang melibatkan sistem kardiovaskuler.
Hipertensi berat dan takikardia bergantian dengan
hipotensi relatif dan bradikardia, salah satunya dapat
menjadi persisten.
Sumber: Cottle, 2011

Sistem skoring menurut Ablett juga dikembangkan pada tahun 1967 dan menurut
beberapa literatur merupakan sistem skoring yang paling sering digunakan
Udwadia (1992) kemudian sedikit memodifikasi sistem skoring Ablett dan dikenal
sebagai skor Udwadia.

Table 3. Sistem scoring Tetanus menurut Udwadia

Grade I (ringan) Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak


ada distres pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Grade II (sedang) Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan
hingga sedang dengan durasi pendek, takipnea ≥ 30
kali/menit, disfagia ringan.
Grade III A (berat) Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan
yang memanjang, distres pernapasan dengan takipnea ≥

20
40 kali/menit, apneic spell, disfagia berat, takikardia ≥
120 kali/menit, keringat berlebih, dan peningkatan
salivasi.
Grade III B (sangat Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi
berat) otonom berat yang melibatkan sistem kardiovaskuler:
hipertensi menetap (> 160/100 mmHg), hipotensi
menetap (tekanan darah sistolik < 90 mmHg), atau
hipertensi episodik yang sering diikuti hipotensi.
Sumber: Udwadia 1992

Sistem skoring lainnya diajukan pada pertemuan membahas tetanus di Dakar,


Senegal pada tahun 1975 dan dikenal sebagai skor Dakar. Skor Dakar dapat
diukur tiga hari setelah muncul gejala klinis pertama.

Table 4. Sistem scoring Dakar untuk Tetanus

Factor prognostic Skor 1 Skor 0


Masa inkubasi < 7 hari ≥ 7 hari atau tidak
diketahui
Periode onset < 2 hari ≥ 2 hari
Tempat masuk Umbilicus, luka bakar, Penyebab lain dan
uterus, fraktur terbuka, penyebab yang tidak
luka operasi, injeksi diketahui
intramuscular.
Spasme Ada Tidak ada
Demam > 38, 4 ⁰C < 38,4 ⁰C
Takikardi Dewasa > 120 kali/menit Dewasa < 120 kali/menit
Neonates > 150 kali/menit Neonates < 150
kali/menit
Sumber: Ogunrin 2003

Skor total mengindikasikan keparahan dan prognosis penyakit sebagai berikut:


 Skor 0-1 : tetanus ringan dengan tingkat mortalitas < 10%
 Skor 2-3 : tetanus sedang dengan tingkat mortalitas 10-20%
 Skor 4 : tetanus berat dengan tingkat mortalitas 20-40%
 Skor 5-6 : tetanus sangat berat dengan tingkat mortalitas > 50%

21
f. Diagnosis Banding
Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari penyakit.
Diagnosis bandingnya adalah sebagai berikut :
1. Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut
tidak dijumpai trismus, risus sardonikus. Namun dijumpai gangguan
kesadaran dan terdapat kelainan likuor serebrospinal.
2. Tetani disebabkan oleh hipokalsemia. Secara klinis dijumpai adanya
spasme karpopedal.
3. Keracunan striknin : minum tonikum terlalu banyak (pada anak).
4. Rabies :dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan
pada anamnesis terdapat riwayat digigit binatang pada waktu epidemi.
5. Trismus akibat proses lokal yang disebabkan oleh mastoiditis, otitis media
supuratif kronis (OMSK) dan abses peritonsilar. Biasanya asimetris.

g. Komplikasi

a. Saluran pernapasan
Dapat terjadi asfiksia, aspirasi pneumonia, atelektasis akibat obstruksi oleh
sekret, pneumotoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat
dilakukannya trakeostomi.
b. Kardiovaskuler
Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain berupa
takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.
c. Tulang dan otot
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan
dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktura kolumna vertebralis akibat
kejang yang terus-menerus terutama pada anak dan orang dewasa.
Beberapa peneliti melaporkan juga dapat terjadi miositis ossifikans
sirkumskripta.
d. Komplikasi yang lain
Laserasi lidah akibat kejang, dekubitus karena penderita berbaring dalam
satu posisi saja, panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin
yang menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.

22
h. Tatalaksana

a. Secara Umum
1. Merawat dan memebersihkan luka sebaik-baiknya.
a. Manajemen luka
Pasien tetanus yang diduga menjadi port de entry masuknya kuman C.
tetani harus mendapatkan perawatan luka. Luka dapat menjadi luka
yang rentan mengalami tetanus atau luka yang tidak rentan tetanus
dengan kriteria sebagai berikut:
Ciri klinis luka Luka cenderung tidak Luka cenderung
mengalami tetanus mengalami tetanus
Umur luka < 6 jam ≥ 6 jam
Konfigurasi Luka linier, abrasi Luka stelata, avulsi
Kedalaman ≤ 1 cm > 1 cm
Mekanisme cedera Permukaan tajam Peluru, remuk, luka
(pisau, kaca) bakar, radang dingin
Tanda infeksi Tidak ada Ada
Jaringan mati Tidak ada Ada
Kontaminan (kotoran, Tidak ada Ada
feses, tanah, saliva,
karat)
Jaringan denervasi Tidak ada Ada
dan atau iskhemik

2. Diet TKTP pemberian tergantung kemampuan menelan bila trismus


makanan diberi pada sonde parenteral.
3. Isolasi pada ruang yang tenang bebas dari rangsangan luar.
4. Oksigen pernafasan dan trakeotomi bila perlu.
5. Mengatur cairan dan elektrolit.

b. Obat – obatan
1. Antitoksin
Antitoksin 20.000 IU/I.M/5 hari. Pemberian baru dilaksanakan setelah
dipastikan tidak ada reaksi hipersensitivitas.

23
Riwayat Luka cenderung tudak Luka cenderung mengalami
vaksinasi mengalami tetanus tetanus

TDa Tetanus TDa Tetanus


Imunoglobulin Imunoglobulin

Tidak Ya Tidak Ya Ya
diketahui
/<3tahun

≥ 3 tahunb Tidakc Tidak Tidakd Tidak

a) Untuk anak usia < 7tahun, vaksin DPT.


b) Bila baru mendapatkan 3 dosis, berikan dosis keempat.
c) Ya, bila dosis terakhir > 10 tahun yang lalu
d) Ya, bila dosis terakhir lebih dari 5 tahun yang lalu

2. Anti kejang/Antikonvulsan
- Fenobarbital (luminal) 3 x 100 mg/I.M. untuk anak diberikan mula-
mula 60-100 mg/I.M lalu dilanjutkan 6 x 30 mg hari (max. 200
mg/hari).
- Klorpromasin 3 x 25 mg/I.M/hari untuk anak-anak mula-mula 4-6
mg/kg BB.
- Diazepam 0,5-1,0 mg/kg BB/1.M/4 jam.

3. Antibiotik
 Penizilin prokain 1, juta IU/hari atau tetrasiflin 1 gr/hari/I.V Dapat
memusnakan oleh tetani tetapi tidak mempengaruhi proses
neurologiknya.
 Penisilin G 100.000 – 200.000 IU/kgBB/hari dibagi 2-4 dosis.
 Metronidazole 500 mg/6 jam/I.V
i. Prognosis
- Dipengaruhi beberapa factor :
1. Masa inkubasi.
Masa inkubasi panjang maka penyakit semakin ringan. Jika <7 hari
maka cenderung berat.
2. Period of onset.
Adalah waktu antara timbulnya gejala tetanus, misalnya trismus
sempai kejang terjadi kurang dari 48 jam berarti prognosa jelek
3. Panas

24
Adanya hiperpireksia menunjukkan prognosa jelek.
4. Pengobatan
Pengobatan yang terlambat umumnya prognosa jelek.
5. Frekuensi kejang
Semakin sering kejang prognosa semakin jelek

Daftar Pustaka

Sjamsuhidajat R, Jong Wd. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2005.

Edlich RF, Hill LG, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Jed H. Horowitz M, et al.
Management and Prevention of Tetanus. Journal of Long-Term Effects of
Medical Implants. 2003

Ritarwan K. 2004. Tetanus. diakses 10 Juni 2012.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3456/1/penysaraf-kiking2.pdf

Udwadia F, Sunavala J, Jain M, D'Costa R, Jain P, Lall A, et al. Haemodynamic


Studies During the Management of Severe Tetanus. Quarterly Journal of
Medicine, New Series. 1992.

Ogunrin O. Tetanus - A Review of Current Concepts in Management. Journal of


Postgraduate Medicine. 2009

25

Anda mungkin juga menyukai