Anda di halaman 1dari 3

Pelanggaran Kode Etik Psikologi Di Indonesia

Kasus Kode Etik Pasal 9 Azas Ksediaan


1. Seorang dokter Umum bernama x sedang melakukan pemeriksaan kepada pasiennya,dokter
menolak memeriksa sang pasien karena sang pasien mempunyai penyakit dalam yang seharusnya di
tangani oleh dokter spesialis bukan dokter umum.namun sang pasien memaksa menyuruh dokter X
untuk memeriksanya,akhirnya dokter mengikuti kemauan sang pasien dan memeriksanya dengan
kemampuan dokter X.padahal dokter X itu tidak bisa mengobati/memeriksa sang pasien tersebut.
2. Sebuah perusahaan x akan mengikuti tender yang ditawarkan oleh pemerintah. Perusahaan
tersebut sudah memenuhi seluruh persyaratan yang ada dalam terder tersebut.Perusahaan tersebut
memberi sejumlah uang kepada panitia agar tender yang ditawarkan pemerintah dapat diambil oleh
perusahaan X tersebut.Akhirnya tender yang ditawarkan oleh pemerintah berhasil diambil oleh
perusahaan X tersebut.
Pasal Pelanggaran
Kasus-kasus di atas dalam kode etik psikologi sangat melanggar pasal 9 atas asas kesedian yang
berbunyi :
“ Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib menghormati dan menghargai hak pemakai jasa atau klien
untuk menolak keterlibatannya dalam pemberian jasa/praktik psikologi, mengingat asas sukarela
yang mendasari pemakai jasa dalam menerima atau melibatkan diri dalam proses pemberian
jasa/praktik psikologi” .
Kasus Kode Etik Psikologi Pasal 10 Interpretasi Hasil Pemeriksaan
1. Dalam Prakteknya, seorang psikolog B melakukan tes seleksi (Psikotes) untuk calon karyawan di
sebuah perusahaan P, namun karena seorang peserta tes merupakan kerabat dekat sang psikolog,
maka calon karyawan itu meminta pada sang psikolog untuk memberikan hasil yang maksimal pada
Psikotes tersebut, karena Psikolog tersebut merasa tidak enak dengan kerabat dekatnya itu,
akhirnya ia memberikan hasil sesuai dengan pesanan si kerabat tadi sehingga kerabat dekatnya itu
dapat diterima pada perusahaan tersebut.
2. Seorang dokter kandungan bernama S sedang melakukan pemeriksaan terhadap pasien berinisial
A.Sang pasien lain berinisial B ingin mengetahui hasil dari pemeriksaan dari pasien A.Karena sang
dokter kerabat dari pasien B, sehingga dokter itu merasa tidak enak dengan pasien B.Akhirnya
dengan terpaksa dokter tersebut memberitahukan hasil pemeriksaan dari pasien A terhadap pasien
B tersebut.
Kasus-kasus di atas dalam kode etik psikologi sangat melanggar pasal 10 asas interpretasi hasil
pemeriksaan yang berbunyi :
“ Interpretasi hasil pemeriksaan psikologik tentang klien atau pemakai jasa psikologi hanya boleh
dilakukan oleh Psikolog berdasarkan kompetensi dan kewenangan “ .
Kasus Kode Etik Psikologi Pasal 11 Pemanfaatan Dan Penyampaian Hasil Pemeriksaan
1. Sebuah perusahaan X menyewa psikolog untuk melakukan psikotes mencari pekerja yang
handal,pintar dan mampu untuk memajukan perusahaan.setelah semua calon pekerja sudah di
seleksi,perusahaan tersebut sudah menerima hasil dari psikotes tersebut.Namun dari pihak
perusahaan X tidak paham dengan hasil yang diberikan seorang psikolog tersebut.Karena bahasanya
tidak mudah dipahami oleh pihak perusahaan X.Maka perusahaan meminta kepada psikolog
tersebut agar memberikan hasil ulang test tersebut dengan bahasa yang lebih umum dipahami.
2. Seorang ibu membawa anaknya yang masih duduk di bangku dasar kelas 2 ke psikolog.sang ibu
meminta kepada psikolog agar anaknya diperiksa apakah anaknya termasuk anak autism atau tidak.
Sang ibu khawatir bahwa anaknya menderita kelainan autism karena sang ibu melihat tingkah laku
anaknya berbeda dengan tingkah laku anak-anak seumurnya.Psikolog itu kemudian melakukan test
terhadap anaknya.Dan hasilnya sudah diberikan kepada sang ibu, tetapi sang ibu tersebut tidak
memahami istilah – istilah dalam ilmu psikologi.Dan ibu tersebut meminta hasil ulang test tersebut
dengan bahasa yang lebih mudah dipahami semua orang.
Pasal Pelanggaran
Kasus-kasus di atas dalam kode etik psikologi sangat melanggar pasal 11 pemanfaatan dan
penyampaian hasil pemeriksaan yang berbunyi :
“ Pemanfaatan hasil pemeriksaan dilakukan dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku dalam
praktik psikologi. Penyampaian hasil pemeriksaan psikologik diberikan dalam bentuk dan bahasa
yang mudah dipahami klien atau pemakai jasa “ .
Rabu, 10 November 2010. Diposkan oleh Uchiha Arashi Iyan di 08.23
Kejadian Nyata Kasus Pelanggaran Kode Etik Psikologi Dalam Dunia Pendidikan
Pertengahan bulan Februari tahun ini, (2012) salah satu organisasi daerah yang ada di Kota
Yogyakarta, berasal salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan mengadakan Safari Pendidikan sebagai
program yang bertujuan untuk memperkenalkan pendidikan di kota budaya ini termasuk PTN/PTS,
saya juga mengikuti program ini. Sasaran dari kegiatan tersebut adalah mengunjungi SMA/SMK
secara langsung di kabupaten tersebut.
Memasuki hari pertama, kami mengunjungi beberapa sekolah termasuk tempat dimana saya selesai
SMA. Sebagai alumni, beberapa guru dan staf Bimbingan & Konseling masih aku kenal. Hal yang
ganjil aku temukan ketika pada saat itu juga diadakan test psikologi, ketika bercerita dengan
beberapa staff BK, yang memberi instruksi, intervensi dan supervisi adalah guru yang memiliki
pendidikan strata satu dalam pendidikan bergelar S.Pd. lembaga yang mengadakan tes tersebut
merupakan Biro Psikologi yang berkedudukan di ibu kota provinsi. Dalam hal ini, biro tersebut telah
mengadakan kerja sama dalam bentuk pelaksanaan psikotes dengan sekolah. Biro ini hanya
mengirimkan alat tesnya kemudian hasilnya akan dikirim ulang. Bentuk intervensi dan supervisi
selanjutnya di serahkan kepada sekolah dalam hal ini kepada staf guru BK. Adapun tes yang
diberikan bertujuan untuk melihat kemampuan minat dan bakat penjurusan kelas III (IPA, IPS dan
Bahasa).
Dari kasus di atas dikaitkan dengan kode etik psikologi pada Bab III tentang kompetensi pasal 10
yang mengatur tentang pendelegasian pekerjaan pada orang lain mengindikasikan adanya
pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Psikolog dalam hal ini berbentuk layanan Biro Psikologi.
Pada pasal tersebut disebutkan bahwa Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang mendelegasikan
pekerjaan pada asisten, mahasiswa, mahasiswa yang disupervisi, asisten penelitian, asisten
pengajaran, atau kepada jasa orang lain seperti penterjemah; perlu mengambil langkah-langkah
yang tepat untuk:
a) Menghindari pendelegasian kerja tersebut kepada orang yang memiliki hubungan ganda
dengan yang diberikan layanan psikologi, yang mungkin akan mengarah pada eksploitasi atau
hilangnya objektivitas.
b) Memberikan wewenang hanya untuk tanggung jawab di mana orang yang diberikan
pendelegasian dapat diharapkan melakukan secara kompeten atas dasar pendidikan,
pelatihan atau pengalaman, baik secara independen, atau dengan pemberian supervisi
hingga level tertentu; dan
c) Memastikan bahwa orang tersebut melaksanakan layanan psikologi secara kompeten.
Sehubungan dengan kasus di atas dikaitkan dengan ketiga poin tersebut yang mengatur tentang
pendelegasian kepada orang lain, masing-masing dapat dilihat sebagai berikut:
a) Menghindari pendelegasian kerja tersebut kepada orang yang memiliki hubungan ganda
dengan yang diberikan layanan psikologi, yang mungkin akan mengarah pada eksploitasi atau
hilangnya objektivitas.
Evaluasi: dalam hal ini, Biro Psikologi mendelegasikan pekerjaannya kepada orang lain (staf
Bimbingan & Konseling) yang memiliki hubungan ganda dengan siswa. Staf tersebut yang
mengadakan administrasi tes dan memberikan instruksi serta intervensi dan supervisi. Hal ini akan
dikhawatirkan hilangnya objektivitas alat tes, tidak menutup kemungkinan ada hubungan keluarga
antara guru dan siswa, dimana dalam kebiasaan sekolah tersebut, orang tua atau siswa sendiri yang
menginginkan masuk dalam program study IPA, karena dianggap memiliki prestise dibanding jurusan
lainnya
b) Memberikan wewenang hanya untuk tanggung jawab di mana orang yang diberikan
pendelegasian dapat diharapkan melakukan secara kompeten atas dasar pendidikan,
pelatihan atau pengalaman, baik secara independen, atau dengan pemberian supervisi
hingga level tertentu.
Evaluasi: pendelegasian kepada non sarjana Psikologi ataupun psikolog tentunya kesalahan.
Kompetensi yang dimiliki oleh mereka tentunya terbatas atau mungkin saja tidak tahu sama sekali.
Pada kasus diatas, pendelegasian kepada BK yang memiliki latar pendidikan sarjana pendidikan
bidang BK dan bidang study lainnya. Mereka tentu saja tidak pernah mengikuti pelatihan
sebelumnya bagaimana baiknya dalam memberi instruksi dan intervensi setelahnya. Hal ini
menunjukkan ketidakprofesionalitas dari psikolog dengan mendelegasikan pekerjaan kepada orang
lain yang tidak memiliki kompentensi.
c) Memastikan bahwa orang tersebut melaksanakan layanan psikologi secara kompeten.
Evaluasi: dalam pendelegasian Psikolog tentunya harus memastikan lokasi diadakan tes dan
bagaimana jalannya tes selama berlangsung. Tempat diadakannya tes harus kondusif dan jauh dari
kegaduhan. Instruksi yang diberikan pun harus jelas untuk menghindari kebiasan. Namun pada kasus
diatas menunjukkan bahwa pendelegasian yang diberikan kepada orang lain tidak memperhatikan
pertimbangan ini. Dalam dilihat dari lokasi tes yang merupakan ruangan kerja Bimbingan dan
Konseling, posisinya pun berseberangan dengan ruangan kelas, pas didepan ruangan tersebut juga
merupakan kantin. Suasana demikian tentunya tidak mendukung dalam proses psikotes. Orang yang
menerima delegasi juga tidak memiliki kompetensi, khususnya pemberian instruksi, tentunya
kemungkinan kebiasan terlalu besar.

Sebagai Referensi :
kode etik psikologi indonesia HIMPSI juni 2010
thomson, c. linda lb. henderson, d. 2004 counseling children
belmont: brooks cole thomson learning
di kutip dari Adnan Saleh di 02.28

Anda mungkin juga menyukai