Anda di halaman 1dari 19

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)

RESIKO STUNTING PADA BALITA

I. Satuan Acara Pengajaran (SAP)


A. Tujuan
1. Tujuan Umum

Setelah Mengikuti Pendidikan Kesehatan tentang Resiko Stunting Pada

balita selama 20 menit diharahapkan klien/ pasangan orang tua dapat

mengetahui Apa itu stunting, apa saja penyebab nya, bagaimana cara

penanganan nya, Apa yang harus di lakukan orang tua apabila anak nya

mengalami Stunting, dan klien dapat mengubah prilakunya dalam memberi

gizi seimbang dan memantau perkembangan anak hari demi hari.

2. Tujuan Khusus

Setelah di lakukannya Pendidikan Kesehatan Tentang resiko Stunting pada

balita,di harahapkan orang tua mampu

a. Menyebutkan Pengertian Stunting


b. Menyebutkan Gizi apa saja yang harus terpenuhi untuk balita
c. Menyebut kan imunisasi apa saja yang harus di dapat kan balita
d. Menyebutkan apa itu ASI ekslusif dan manfaat dari ASI ekslusif
e. Menyebutkan MPASI yang baik untuk balita

B. Pokok Bahasan
Bagaimana cara mencegah Stunting, Dampak Stunting, tanda dan gejala

terjaditerjadi nya Stunting,

C Sub Pokok Bahasan


1. Pengertian Stunting
2. Etiologi Stunting
3. Dampak Stunting
4. Faktor – Faktor yang berhubungan Terjadinya Stunting
5. Karakteristik Rumah Tangga

D Sasaran

Orang tua / Pengasuh balita di lingkungan IV Wilayah Kerja

Puskesmas Medan Sunggal

E. Metode Penyuluhan

1 Diskusi

F. Waktu dan tempat pelaksanaan

Hari/ tanggal : 01 Agustus 2018

Waktu : Pukul 14.00

Tempat : Rumah masing – masing keluarga di lingkungan

IV Wilayah Kerja Puskesmas Medan Sunggal

G. Media

1. lefleat

I. Pelaksanaan Kegiatan

No Tahap Kegiatan Penyuluh Kegiatan Peserta Media Waktu


1 Pendahuluan 1. Memeberi salam dan 1. Menjawab Leflet 5 menit

perkenalan salam
2. Mengingatkan 2. Mendengarkan
3. Menderngarkan
kontrak
3. Menjelaskan tujuan
2. Kegiatan Inti 1. Memvalidasi 1. Menjawab Leflet 15 menit

kuesioner

pengkajian awal
2. Menjelaskan

pengertian Stunting
3. Menjelaskan 2. Mendengarkan

penyebab Stunting
4. Menjelaskan

Dampak Stunting
5. Menjelskan Faktor –

Faktor yang 3. Mendengarkan

berhubungan terjadi

nya Stunting
6. Memeberikan
4. Mendengarkan
reinforcement yang

positif terhadap

pertanyaan dan

jawaban klien
5. Menjawab

6. Mendengarkan
3 Penutup 1. Mengevaluasi 1. Mendengarkan Leflet 5 menit

pengetauan keluarga dan memberi


Tentang Materi yang
umpan balik
di sampaikan 2. Mendengarkan
2. Menyimpulkan 3. Menjawab
Materi penyuluhan salam
3. 3. Memberi salam

penutup

J. Kriteria Evaluasi

1. Evaluasi Struktur :

a. Kesiapan mahasiswa memberikan materi pendidikan kesehatan

b. Media dan alat memadai

c. waktu dan tempat pendidikan kesehatan sesuai dengan rencana kegiatan

2. Evaluasi Proses

a. Pelaksanaan pendidikan kesehatan tidak sesuai dan alokasi waktu karena

gangguan dari luar yang tidak di prediksi

b. Orang tua aktif bertanya selama proses pendidikan kesehatan

3. Evaluasi hasil

Keluarga mampu menjawab 80% pertanyaan yang di ajukan oleh

mahasiswa saat evaluasi.

MATERI PENYULUHAN RESIKO STUNTING PADA BALITA

A. Pengertian Stunting

Stunting adalah keadaan tinggi badan yang tidak sesuai dengan umur anak

akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama yang di awali sejak masa janin

hingga hatun pertama kehidupan. Sejak masa janin sampai usia dua tahun

pertama, anak akan mengalami fase pertumbuhan yang cepat (grwoth spurt)
sehingga fase ini merupakan periode kesempatan emas kehidupan bagi anak

(Kemenkes, 2010)
B. Penyebab Stunting

Kekurangan gizi dalam waktu lama itu terjadi sejak janin dalam kandungan

sampai awal kehidupan anak (1000 Hari Pertama Kelahiran). dan mulai nampak

terjadinya stunting pada usia 2 tahun. Penyebabnya karena rendahnya akses

terhadap makanan bergizi, rendahnya asupan vitamin dan mineral, dan buruknya

keragaman pangan dan sumber protein hewani. Faktor ibu dan pola asuh yang

kurang baik terutama pada perilaku dan praktik pemberian makan kepada anak

juga menjadi penyebab anak stunting apabila ibu tidak memberikan asupan gizi

yang cukup dan baik. Ibu yang masa remajanya kurang nutrisi, bahkan di masa

kehamilan, dan laktasi akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan tubuh dan otak

anak. Terdapat beberapa penyebab perawakan pendek diantaranya dapat berupa

varian yang diturunkan (familial), penyakit endokrin, kromosomal, penyakit

kronis, malnutrisi, riwayat pemberian ASI sebelumnya, dan status sosial ekonomi

keluarga. Secara garis besar perawakan pendek dibagi menjadi dua yaitu familial

dan keadaan patologis.

Dampak Stunting

Dampak Stunting Stunting dapat memberikan dampak bagi kelangsungan

hidup anak. WHO (2013) membagi dampak yang diakibatkan oleh stunting

menjadi dua yang terdiri dari jangka pendek dan jangka panjang. Dampak jangka

pendek dari stunting adalah di bidang kesehatan yang dapat menyebabkan

peningkatan mortalitas dan morbiditas, di bidang perkembangan berupa


penurunan perkembangan kognitif, motorik, dan bahasa, dan di bidang ekonomi

berupa peningkatan pengeluaran untuk biaya kesehatan. Stunting juga dapat

menyebabkan dampak jangka panjang di bidang kesehatan berupa perawakan

yang pendek, peningkatan risiko untuk obesitas dan komorbidnya, dan penurunan

kesehatan reproduksi, di bidang perkembangan berupa penurunan prestasi dan

kapasitas belajar, dan di bidang ekonomi berupa penurunan kemampuan dan

kapasitas kerja.

Faktor –Faktor yang berhubungan dengan kejadian Stunting

Karakteristik Balita

1. Usia Balita

Balita adalah istilah umum bagi anak usia 0 -3 tahun (batita) dan usia anak

balita (3 -5 tahun), saat usia batita anak masih tergantung penuh kepada orang tua

untuk melakukan kegiatan penting seperti mandi, buang air dan makan.

Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik. Namun kemampuan

lain masih terbatas, usia anak yang sering ditemukan dengan kejadian stunting

adalah usia 24 bulan keatas (WHO,2013).

2. Jenis kelamin
Jenis kelamin salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian stunting pada

balita. Perempuan lebih banyak mengandung lemak dalam tubuhnya yang berarti

lebih banyak jaringan tidak aktif dalam tubuhnya meskipun berat badan yang

sama dengan laki –laki. Energi yang di perlukan 10 persen lebih rendah dari laki –

laki, menurut hasil penelitian yang di lakukan (Rahayu Atikah dkk,2014) anak

laki – laki cenderung menjadi stunting saat memasuki usia satu tahun dan bayi

perempuan pada usia dua tahun. Stunting lebih banya terjadi pada anak laki-laki

(38,1%) dibandingkan dengan anak perempuan (36,2%). Di karenakan pria lebih

banyak membutuhkan zat tenaga dan protein di banding wanita selama dalam

kandungan hingga dewasaa anak perempuan cenderung lebih rendah

kemungkinannya menjadi stunting atau beresiko stunting dibandingkan anak laki

– laki (Riskesdas,2013). Hal ini terkait pola asuh orang tua dalam memberikan

makanan pada anak, dan secara signifikan lebih umum terjadi pada anak laki –

laki dari pada anak perempuan. Di karenakan pria lebih banyak membutuhkan zat

tenaga dan protein di banding wanita selama dalam kandungan hingga dewasaa

anak perempuan cenderung lebih rendah kemungkinannya menjadi stunting atau

beresiko stunting dibandingkan anak laki – laki (Riskesdas,2013).

3. Berat badan lahir

Menurut WHO (2013), BBLR di bagi menjadi tiga yaitu prematuritas,

intra uterine growth (IUGR). Berat badan yang lahir di kategorikab normal

(≥2500 gram) dan rendah (<2500 gram). (kemenkes RI, 2010). Tingginya angka

BBLR yang rendah di perkirakan menjadi penyebab tinggi nya kejadian Stunting
di indonesia. Anemia yang berat dapat menyebabkan ibu melahirkan bayi debgan

berat lahir rendah (Kemenkes, 2013),

Bayi dengan BBL 2000 -2499 gram memiliki resiko 4 kali lebih besar

mengalami kematian neonatal di bandingkan bayi dengan BBL 2500 – 2999 gram

dan 10 kali lebih beresiko mengalami hal tersebut di bandingkan BBL 3000 -3499

gram (Depkes,2012).

4. Panjang Badan Lahir

Panjang badan lahir yang rendah merupakan cerminan dari gagal nya

proses pertumbuhan yang berkelanjutan atau stunting, panjang badan di ukur

setiap bulannya selama enam bulan. Sedangkan saat bayi usia 6 -12 bulan panjang

badan di ukur setiap 2 bulan sekali. Defisit panjang badan merupakan hasil dalam

waktu yang lama. (Depkes, 2012).

Panjang badan lahir yang di kategorikan normal (≥48 cm) dan pendek

(<48 cm) (Kemenkes RI, 2010). pada balita usia 12 bulan dengan sampel

sebanyak 24 anak di Puskesmas Cempaka Banjarbaru menunjukkan bahwa

panjang badan lahir panjang badan lahir rendah merupakan salah satu faktor risiko

terjadinya stunting Puskesmas Cempaka Banjarbaru. (Atika rahayu, dkk 2014).

Penelitian di Indramayu yang menunjukkan hasil bahwa anak yang lahir dengan

panjang badan dibawah 10% lebih berisiko tumbuh stunting (Anugrahen HS,

2012). Bayi dengan panjang badan lahir pendek berpeluang lebih tinggi untuk

tumbuh pendek dibanding anak panjang badan lahir normal (Kusharisupeni,

2002).
5. Riwayat Imunisasi Dasar

Riwayat imunisasi juga berpengaruh signifikan terhadap terjadinya

stunting (Atikah, Rahayu dkk, 2014). Menyatakan bahwa kelengkapan imunisasi

berpengaruh signifikan terhadap stunting. Karena imunisasi memberikan

kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit dengan memasukkan sesuatu ke dalam

tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit yang sedang mewabah atau berbahaya

bagi seseorang.

Bayi dan balita rentan terkena risiko penyakit infeksi. Bayi dan balita yang

pernah terserang campak dan selamat akan mendapat kekebalan alami terhadap

pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal

dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan

imunisasi seperti difteri, pertusis, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi

akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor

yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap.

6. Riwayat Diare

Diare dalam waktu yang lama dan berulang pada anak meningkatkan

terjadinya kejadian stunting. Meskipun hubungan antara malnutrisi, lingkungan

dan diare sangat kompleks, beberapa penelitian menemukan hubungan antara

stunting dan patogen beberapa penyakit disebabkan oleh diare.

Tingginya angka kejadian diare pada dua tahun pertama kehidupan

berhubungan dengan tingginya angka kejadian stunting. Studi yang dilakukan di

sembilan penelitian dari lima negara (Bangladesh, Brazil, Ghana, Guinea-Bissau


dan Peru) menunjukkan bahwan 25 persen balita stunting usia 24 bulan terkena

diare 5 kali bahkan lebih di 2 tahun pertama kehidupannya (Mitra,2015). Diare

dihubungkan dengan gagal tumbuh karena terjadi karena malabsorbsi zat gizi

selama diare. Jika zat gizi seperti zink dan tembaga serta air yang hilang selama

diare tidak diganti, maka akan timbul dehidrasi parah, malnutrisi, gagal tumbuh

bahkan kematian (Atikah Rahayu, 2014). Kejadian diare dapat menyebabkan efek

jangka panjang berupa defisit pertumbuhan tinggi badan.

7. Riwayat ISPA

Proses anak tersebut menjadi stunting, akibat terbatasnya asupan dan/atau

seringnya terkena penyakit infeksi. Anak yang mendapat makanan yang baik

tetapi sering menderita penyakit infeksi akan menderita kurang gizi. Demikian

pula pada anak yang makanannya tidak cukup baik, maka daya tahan tubuh akan

melemah dan mudah terserang penyakit. Sehingga makanan dan penyakit infeksi

merupakan penyebab kurang gizi (Mitra,2015).

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Indonesia selalu menempati

urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu

ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei

mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005 menempatkan

ISPA/Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan

persentase 22,3 persen dari seluruh kematian balita (Depkes, 2008). ISPA masih

merupakan masalah kesehatan yang penting karena menyebabkan kematian bayi

dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian yang terjadi. Setiap
anak diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA setiap tahunnya. Dari seluruh

kematian, yang disebabkan oleh ISPA mencakup 20-30 persen. Terganggunya

pertumbuhan bayi dan anak-anak karena kurang memadainya asupan makanan

dan terjadinya penyakit infeksi berulang, yang mengakibatkan berkurangnya nafsu

makan dan meningkatkan kebutuhan metabolik (Mitra, 2015).

Infeksi terjadi pada balita salah satu penyebabnya adalah pemberian ASI

yang kurang dari 6 bulan dan MP-ASI terlalu dini sehingga dapat meningkatkan

risiko stunting karena saluran pencernaan bayi yang belum sempurna baik diare

maupun Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) (Rahayu, 2011). Penelitian pada

anak-anak di Sudan menguji hubungan antara kurang gizi dan kematian.

Didapatkan hasil terdapat hubung signifikan yang kuat antara infeksi dan bayi

kurus atau pendek menjadi prediktor kematian pada anak (Depkes, 2013). Anak

stunting lebih memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menderita penyakit

infeksi ini dengan durasi waktu yang lebih lama. Juga lebih cenderung mengalami

gejala sisa (sekuel) akibat infeksi umum yang akan melemahkan keadan fisik anak

(Fajrina nurul, 2016).

Karaktetistik Rumah Tangga

1. Tinggi Badan Ibu

Tinggi badan orang tua berkaitan dengan stunting. Ibu yang pendek

memiliki kemungkinan melahirkan bayi yang pendek pula. Hasil penelitian

(Fajrina Nurul, 2016). Menunjukkan bahwa anak yang lahir dari ibu tinggi badan

<150 cm memiliki risiko lebih tinggi untuk tumbuh menjadi stunting. Banyak
faktor yang mempengaruhi durasi kehamilan dan pertumbuhan janin yang

akhirnya mempengaruhi outcome kehamilan. Jenis kelamin, urutan kelahiran, dan

bayi kembar dapat meningkatkan risiko berat bayi lahir rendah, sebagian besar

dipengaruhi oleh pertambahan berat badan ibu pada masa kehamilan, perempuan

bertumbuh pendek maupun perempuan yang tinggal di dataran tinggi, dan

perempuan yang melahirkan di usia muda memiliki risiko lebih tinggi untuk

memiliki bayi yang mengalami Stunting

Tinggi badan merupakan salah satu bentuk dari ekspresi genetik, dan

merupakan faktor yang diturunkan kepada anak serta berkaitan dengan kejadian

stunting. Anak dengan orang tua yang pendek, baik salah satu maupun keduanya,

lebih berisiko untuk tumbuh pendek dibanding anak dengan orang tua yang tinggi

badannya normal (Atikah rahayu 2014). Tinggi badan ibu merupakan faktor yang

paling berpengaruh terhadap kurang gizi. Ibu pada kelompok umur yang paling

tinggi memiliki anak dengan resiko kejadian stunting adalah ibu dengan tinggi

badan kurang dari 155 cm. Orang tua yang pendek karena gen dalam kromosom

yang membawa sifat pendek kemungkinan besar akan menurunkan sifat pendek

tersebut kepada anaknya. Tetapi bila sifat pendek orang tua disebabkan karena

masalah nutrisi maupun patologis, maka sifat pendek tersebut tidak akan

diturunkan kepada anaknya (Kemenkes, 2014).

2. Usia Ibu

Usia Ibu menjadi faktor yang signifikan memprediksi lahirnya anak

stunting. Ibu dengan usia 35-44 tahun lebih berisiko melahirkan anak yang
stunting pada penelitian yang dilakukan pada (Mitra, 2015). Selain itu faktor

risiko lainnya adalah wilayah tempat tinggal dan jumlah anak dalam anggota

keluarga.. Pada penelitian yang dilakukan oleh Nguyen Ngoc Hien & Sin Kam

(2008) di Vietnam menungkapkan bahwa usia ibu < 24 tahun dan > 35 tahun

memiliki resiko anak lahir dengan malnutrisi seperti underweight, stunting dan

wasting. Usia ibu muda (<24 tahun) merupakan usia ibu yang belum siap untuk

mengurus anak. Sementara itu, peningkatan resiko anak malnutrisi pada usia ibu

tua (>35 tahun) resiko tinggi untuk melahirkan anak dengan berat lahir rendah.

3. Jumlah anggota keluarga

Besar jumlah anggota keluarga sangat penting dalam hal pembatasan

jumlah makanan yang dikonsumsi dalam satu keluarga dengan makanan yang

tersedia dalam rumah tangga terutama pada keluarga dengan perndapatan rendah.

jika jumlah anggota keluarga bertambah, biasanya dalam hal menyiasati

kebutuhan dan ketersediaan, rumah tangga tersebut lebih memilih untuk

mengurangi konsumsi bahan pangan hewani diganti menjadi lebih murah atau

tetap mengonsumsi dengan jumlahnya dikurangi (Fajrina Nurul,2016).

Jumlah anggota dalam rumah tangga memiliki hubungan yang signifikan

terhadap kejadian stunting pada balita. Faktor yang paling dominan berhubungan

dengan kejadian stunting pada balita adalah jumlah anggota keluarga yang banyak

(Oktarina, 2012). Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa ketersediaan

makanan bagi setiap anggota keluarga yang berasal dari jumlah anggota yang

lebih banyak akan menjadi lebih rendah persediaan makanannya. Rumah tangga
dengan jumlah anggota keluarga lebih banyak akan berpeluang memiliki anak

yang malnutrisi dibandingkan dengan jumlah anggota keluarga yang sedikit.

4. Pendidikan Ibu

Pengetahuan gizi ibu bisa menjadi penentu status gizi anak-anak maupun

ibu itu sendiri. (menurut Suharjo, 2003) tingkat pendidikan yang rendah

mempengaruhi terbatasnya akses terhadap praktek pengasuhan yang baik dan

sarana kesehatan yang ada. Tingkat pendidikan ibu yang rendah dan pendapatan

yang juga rendah umumnya menyebabkan kepercayaan diri ibu dalam mengakses

sarana gizi dan kesehatan seperti Posyandu dan Puskesmas, termasuk aktivitas

bina keluarga balita (BKB) rendah, sehingga amat perlu untuk dimotivasi.

Aktivitas posyandu tampak menurun seiring berkurangnya perhatian dan

dukungan pemerintah dan masyarakat terhadap kegiatan posyandu. Posyandu

dengan kader umumnya sudah tua dan tidak terjadi regenerasi yang baik.

Mengingat peran pentingnya sebagai agen perubahan di pedesaan, peningkatan

kualitas dan kuantitas kader posyandu diperlukan dalam memperbaiki status gizi

dan kesehatan masyarakat.

Menurut (Atikah Rahayu, 2014). Penelitiannya di di Puskesmas Cempaka

Banjarbaru menunjukkan bahwa pendidikan Ibu memengaruhi kejadian wasting

dan stunting. Sejalan dengan Penelitian (Mitra, 2015). Dalam penelitiannya

menunjukkan bahwa pendidikan ibu merupakan penentu kejadian stunting di

Indonesia dan di indonesia. Pada individu (ibu batita), karena ibu sebagai pembina

pertama dan utama terhadap pendidikan dan kesehatan anak, dan pengelola atau
penyelenggara makanan dalam keluarga, memiliki peranan yang besar dalam

peningkatan status gizi anggota keluarga. Bahwa ibu dengan tingkat pendidikan

rendah memiliki peluang anaknya mengalami stunting sebesar 0,049 kali lebih

besar dibandingkan ibu dengan pendidikan tinggi Peneliti lain sebelumnya seperti

(Siagian 2010,) mengatakan bahwa tingkat pendidikan formal dan pengetahuan

gizi ibu sangat berpengaruh pada peluang terjadinya stunting.

5. Pekerjaan Ibu

Menurut (Riskesdas, 2013) bahwa ibu yang bekerja memiliki peluang

anaknya mengalami stunting lebih besar dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Hal

ini berarti bahwa jika ibu bekerja maka akan diikuti dengan peningkatan kejadian

stunting sebesar 3,623. (Mitra, 2015). mengatakan bahwa ibu-ibu yang bekerja

tidak mempunyai cukup waktu untuk memperhatikan makanan anak yang sesuai

dengan kebutuhan dan kecukupan serta kurang perhatian dan pengasuhan kepada

anak.

6. Pekerjaan Ayah

Pekerjaan ayah menjadi faktor penting sebagai tolak ukur kemampuan

sosial dan ekonomi dalam rumah tangga. Penghasilan dalam keluarga yang tinggi

selaras dengan kemampuan rumah tangga tersebut dalam menyediakan makanan.

Hasil penelitian oleh (Fajrina nurul, 2016). Pada 24 bayi dibawah lima tahun

menunjukkan bahwa pendapatan, status pekerjaan ayah merupakan faktor risiko

kejadian stunting.

7. Wilayah Tempat Tinggal


Faktor risiko lainnya terhdap kejadian stunting adalah wilayah tempat

tinggal. (Riskesdas, 2013) menjelaskan bahwa persentase rumah tangga di

pedesaan yakni 42,1 persen lebih tinggi jumlah balita yang mengalami stunting

dibandingkan dengan perkotaan yaitu 32 persen. Penelitian yang dilakukan

(Atikah, Rahayu 2014). Menunjukkan bahwa anak yang tinggal di wilayah

perkotaan memiliki efek protektif atau risiko lebih rendah 32 persen terhadap

stunting dibandingkan dengan anak yang tinggal di daerah perkotaan. Ini

disebabkan karena di kota akses mendapatkan makanan dengan variasi beragam

lebih mudah ditemukan baik di pasar maupun pusat perbelanjaan. Makanan yang

segar maupun bentuk produk olahan dengan kualitas ekspor dan impor tetapi

dengan harga yang cukup mahal. Sedangkan di perdesaan, variasi serta akses

memperoleh sumber makanan lebih terbatas. Selain itu, wilayah tempat tinggal

adalah tempat tinggal perkotaan lebih beragam jenis pekerjaan sehingga orang tua

lebih mudah mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi dibandingkan di pedesaan

yang umumnya jenis pekerjaanya di bidang pertanian. (Infodatin Kemenkes RI

2015).

8. Kebiasaan Merokok

Merokok adalah bagian dari gaya hidup sebagian besar orang. Tidak hanya

mereka dengan gaya hidup dengan pendapatan tinggi, begitu pula bagi mereka

dengan pendapatan rendah. Indonesia menduduki peringkat ketiga jumlah

perokok terbesar di dunia. Lebih dari 60 juta orang membelanjakan uang setiap

hari untuk membeli rokok (WHO Report on Global Tobacco Epidemic, 2008).

Tahun 2013 rata - rata jumlah bantang rokok yang dihisap 12,3 batang per hari.
Pengeluaran untuk rokok di rumah tangga termiskin jauh lebih tinggi

dibandingkan dengan pengeluaran penting seperti pengeluaran untuk pendidikan,

kesehatan, telur, susu, dan 6,5 kali lebih besar dari biaya kesehatan, dan 9 kali

lebih banyak dari pengeluaran untuk daging (Infodatin Kemenkes RI, 2015).

Pada hasil penelitian lain di Bangladesh oleh Cora M, B., Kaisun, Saskia,

D., Martin W, B., Gudrun, S, & Richard D, S. (2007) disebutkan bahwa orangtua

yang merokok berkaitan dengan risiko yang lebih tinggi anak mengalami stunting,

hal ini dikarenakan merokok memperburuk kondisi kurang gizi pada anak dan

mengalihkan uang yang dimiliki rumah tangga dari memenuhi makanan keluarga

dan berbagai kebutuhan lain. Pendapatan dan pengeluaran rumah tangga semakin

tidak tahan pangan suatu rumah tangga, semakin tinggi proporsi pengeluaran

untuk tembakau, atau rumah tangga rawan pangan mempunyai alokasi

pengeluaran tembakau yang paling banyak dibanding kelompok rumah tangga

lainnya

Merokok dapat menghambat kemajuan status gizi anak melalui kejadian

infeksi saluran pernafasan bawah. Anak-anak yang terekspos lingkungan dengan

asap rokok lebih banyak mengalami infeksi saluran pernapasan bawah (Riskesdas,

2013). Ditemukan abnormalitas fungsi leukosit pada anak yang orangtuanya

merokok. Nikotin yang ada dalam rokok secara langsung bereaksi dengan

kondrosit (sel tulang rawan) melalui reseptor khusus nikotin sehingga

menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tulang.

9. Sumber Air
Indonesia adalah negara dengan 13 persen dari penduduk Indonesia tidak

memiliki akses terhadap air bersih (UNICEF, 2013). Sementara itu, air adalah

sumber utama kehidupan manusia terutama digunakan untuk kebutuhan minum

dan menjaga kebersihan tubuh. Air yang bersih menjadi faktor lingkungan yang

berpengaruh pada kesehatan. Dua sampai lima juta orang meninggal setiap tahun

akibat penyakit yang ditularkan melalui air. Penularan penyakit infeksi dapat

terjadi melaui air yang terkontaminasi oleh mikroorganisme seperti diare, cholera,

disentri, tifoid, dan hepatitis. Anak – anak yang bertahan hidup dengan air minum

yang terkontaminasi kemuungkinan besar akan menderita malnutrisi, stunting, dan

perkembangan otak (intelektual) yang terhambat (Clean water changed lives).

Penelitian (Mitra, 2015), Determinan kejadian balita pendek dengan

jumlah responden 24 anak, yakni ibu yang tidak sekolah, bayi laki-laki, ukuran

tubuh yang kecil, dan sumber dari air minum yang tidak aman Penelitian yang

dilakukan oleh (Atikah rahayu, 2014) menunjukkan bahwa hubungan air bersih

dan stunting adalah kejadian stunting 2,1 kali lebih besar berpeluang terjadi pada

responden yang tindak memiliki air bersih dibandingkan dengan responden yang

memiliki air bersih.

10. Fasilitas Sanitasi

UNICEF (2013) melaporkan 51 juta penduduk melakukan praktik buang

air besar sembarangan. Indonesia merupakan negara kedua tertinggi di dunia

yang melakukan praktik buang air besar sembarangan. Tiga puluh sembilan
persen dari rumah tangga tidak menggunakan fasilitas sanitasi yang baik. Air dan

Sanitasi sangat berhubungan dengan pertambahan tinggi badan anak.

Sanitasi menjadi perhatian utama dalam kesehatan masyarakat karna

diperkirakan 40 persen dari populasi kekurangan akses sanitasi yang aman dan 15

persen masih buang air ditempat terbuka (UNICEF & WHO, 2013). Penelitian

yang dilakukan oleh Nadiyah, dkk. (2014) pada anak usia 0-23 bulan di beberapa

provinsi seperti Bali, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Timur dengan menggunakan

data Riskesdas 2010 sebanyak 1554 anak menunjukkan berat badan lahir rendah,

tinggi badan ibu kurang dari 150 cm, sanitasi kurang baik dan pemberian

makanan prelakteal menjadi faktor risiko stunting.

Anda mungkin juga menyukai