mengetahui Apa itu stunting, apa saja penyebab nya, bagaimana cara
penanganan nya, Apa yang harus di lakukan orang tua apabila anak nya
2. Tujuan Khusus
B. Pokok Bahasan
Bagaimana cara mencegah Stunting, Dampak Stunting, tanda dan gejala
D Sasaran
E. Metode Penyuluhan
1 Diskusi
G. Media
1. lefleat
I. Pelaksanaan Kegiatan
perkenalan salam
2. Mengingatkan 2. Mendengarkan
3. Menderngarkan
kontrak
3. Menjelaskan tujuan
2. Kegiatan Inti 1. Memvalidasi 1. Menjawab Leflet 15 menit
kuesioner
pengkajian awal
2. Menjelaskan
pengertian Stunting
3. Menjelaskan 2. Mendengarkan
penyebab Stunting
4. Menjelaskan
Dampak Stunting
5. Menjelskan Faktor –
berhubungan terjadi
nya Stunting
6. Memeberikan
4. Mendengarkan
reinforcement yang
positif terhadap
pertanyaan dan
jawaban klien
5. Menjawab
6. Mendengarkan
3 Penutup 1. Mengevaluasi 1. Mendengarkan Leflet 5 menit
penutup
J. Kriteria Evaluasi
1. Evaluasi Struktur :
2. Evaluasi Proses
3. Evaluasi hasil
A. Pengertian Stunting
Stunting adalah keadaan tinggi badan yang tidak sesuai dengan umur anak
akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama yang di awali sejak masa janin
hingga hatun pertama kehidupan. Sejak masa janin sampai usia dua tahun
pertama, anak akan mengalami fase pertumbuhan yang cepat (grwoth spurt)
sehingga fase ini merupakan periode kesempatan emas kehidupan bagi anak
(Kemenkes, 2010)
B. Penyebab Stunting
Kekurangan gizi dalam waktu lama itu terjadi sejak janin dalam kandungan
sampai awal kehidupan anak (1000 Hari Pertama Kelahiran). dan mulai nampak
terhadap makanan bergizi, rendahnya asupan vitamin dan mineral, dan buruknya
keragaman pangan dan sumber protein hewani. Faktor ibu dan pola asuh yang
kurang baik terutama pada perilaku dan praktik pemberian makan kepada anak
juga menjadi penyebab anak stunting apabila ibu tidak memberikan asupan gizi
yang cukup dan baik. Ibu yang masa remajanya kurang nutrisi, bahkan di masa
kehamilan, dan laktasi akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan tubuh dan otak
kronis, malnutrisi, riwayat pemberian ASI sebelumnya, dan status sosial ekonomi
keluarga. Secara garis besar perawakan pendek dibagi menjadi dua yaitu familial
Dampak Stunting
hidup anak. WHO (2013) membagi dampak yang diakibatkan oleh stunting
menjadi dua yang terdiri dari jangka pendek dan jangka panjang. Dampak jangka
yang pendek, peningkatan risiko untuk obesitas dan komorbidnya, dan penurunan
kapasitas kerja.
Karakteristik Balita
1. Usia Balita
Balita adalah istilah umum bagi anak usia 0 -3 tahun (batita) dan usia anak
balita (3 -5 tahun), saat usia batita anak masih tergantung penuh kepada orang tua
untuk melakukan kegiatan penting seperti mandi, buang air dan makan.
lain masih terbatas, usia anak yang sering ditemukan dengan kejadian stunting
2. Jenis kelamin
Jenis kelamin salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian stunting pada
balita. Perempuan lebih banyak mengandung lemak dalam tubuhnya yang berarti
lebih banyak jaringan tidak aktif dalam tubuhnya meskipun berat badan yang
sama dengan laki –laki. Energi yang di perlukan 10 persen lebih rendah dari laki –
laki, menurut hasil penelitian yang di lakukan (Rahayu Atikah dkk,2014) anak
laki – laki cenderung menjadi stunting saat memasuki usia satu tahun dan bayi
perempuan pada usia dua tahun. Stunting lebih banya terjadi pada anak laki-laki
banyak membutuhkan zat tenaga dan protein di banding wanita selama dalam
– laki (Riskesdas,2013). Hal ini terkait pola asuh orang tua dalam memberikan
makanan pada anak, dan secara signifikan lebih umum terjadi pada anak laki –
laki dari pada anak perempuan. Di karenakan pria lebih banyak membutuhkan zat
tenaga dan protein di banding wanita selama dalam kandungan hingga dewasaa
intra uterine growth (IUGR). Berat badan yang lahir di kategorikab normal
(≥2500 gram) dan rendah (<2500 gram). (kemenkes RI, 2010). Tingginya angka
BBLR yang rendah di perkirakan menjadi penyebab tinggi nya kejadian Stunting
di indonesia. Anemia yang berat dapat menyebabkan ibu melahirkan bayi debgan
Bayi dengan BBL 2000 -2499 gram memiliki resiko 4 kali lebih besar
mengalami kematian neonatal di bandingkan bayi dengan BBL 2500 – 2999 gram
dan 10 kali lebih beresiko mengalami hal tersebut di bandingkan BBL 3000 -3499
gram (Depkes,2012).
Panjang badan lahir yang rendah merupakan cerminan dari gagal nya
setiap bulannya selama enam bulan. Sedangkan saat bayi usia 6 -12 bulan panjang
badan di ukur setiap 2 bulan sekali. Defisit panjang badan merupakan hasil dalam
Panjang badan lahir yang di kategorikan normal (≥48 cm) dan pendek
(<48 cm) (Kemenkes RI, 2010). pada balita usia 12 bulan dengan sampel
panjang badan lahir panjang badan lahir rendah merupakan salah satu faktor risiko
Penelitian di Indramayu yang menunjukkan hasil bahwa anak yang lahir dengan
panjang badan dibawah 10% lebih berisiko tumbuh stunting (Anugrahen HS,
2012). Bayi dengan panjang badan lahir pendek berpeluang lebih tinggi untuk
2002).
5. Riwayat Imunisasi Dasar
tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit yang sedang mewabah atau berbahaya
bagi seseorang.
Bayi dan balita rentan terkena risiko penyakit infeksi. Bayi dan balita yang
pernah terserang campak dan selamat akan mendapat kekebalan alami terhadap
dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan
akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor
6. Riwayat Diare
Diare dalam waktu yang lama dan berulang pada anak meningkatkan
dihubungkan dengan gagal tumbuh karena terjadi karena malabsorbsi zat gizi
selama diare. Jika zat gizi seperti zink dan tembaga serta air yang hilang selama
diare tidak diganti, maka akan timbul dehidrasi parah, malnutrisi, gagal tumbuh
bahkan kematian (Atikah Rahayu, 2014). Kejadian diare dapat menyebabkan efek
7. Riwayat ISPA
seringnya terkena penyakit infeksi. Anak yang mendapat makanan yang baik
tetapi sering menderita penyakit infeksi akan menderita kurang gizi. Demikian
pula pada anak yang makanannya tidak cukup baik, maka daya tahan tubuh akan
melemah dan mudah terserang penyakit. Sehingga makanan dan penyakit infeksi
urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu
ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei
persentase 22,3 persen dari seluruh kematian balita (Depkes, 2008). ISPA masih
dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian yang terjadi. Setiap
anak diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA setiap tahunnya. Dari seluruh
Infeksi terjadi pada balita salah satu penyebabnya adalah pemberian ASI
yang kurang dari 6 bulan dan MP-ASI terlalu dini sehingga dapat meningkatkan
risiko stunting karena saluran pencernaan bayi yang belum sempurna baik diare
maupun Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) (Rahayu, 2011). Penelitian pada
Didapatkan hasil terdapat hubung signifikan yang kuat antara infeksi dan bayi
kurus atau pendek menjadi prediktor kematian pada anak (Depkes, 2013). Anak
stunting lebih memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menderita penyakit
infeksi ini dengan durasi waktu yang lebih lama. Juga lebih cenderung mengalami
gejala sisa (sekuel) akibat infeksi umum yang akan melemahkan keadan fisik anak
Tinggi badan orang tua berkaitan dengan stunting. Ibu yang pendek
(Fajrina Nurul, 2016). Menunjukkan bahwa anak yang lahir dari ibu tinggi badan
<150 cm memiliki risiko lebih tinggi untuk tumbuh menjadi stunting. Banyak
faktor yang mempengaruhi durasi kehamilan dan pertumbuhan janin yang
bayi kembar dapat meningkatkan risiko berat bayi lahir rendah, sebagian besar
dipengaruhi oleh pertambahan berat badan ibu pada masa kehamilan, perempuan
perempuan yang melahirkan di usia muda memiliki risiko lebih tinggi untuk
Tinggi badan merupakan salah satu bentuk dari ekspresi genetik, dan
merupakan faktor yang diturunkan kepada anak serta berkaitan dengan kejadian
stunting. Anak dengan orang tua yang pendek, baik salah satu maupun keduanya,
lebih berisiko untuk tumbuh pendek dibanding anak dengan orang tua yang tinggi
badannya normal (Atikah rahayu 2014). Tinggi badan ibu merupakan faktor yang
paling berpengaruh terhadap kurang gizi. Ibu pada kelompok umur yang paling
tinggi memiliki anak dengan resiko kejadian stunting adalah ibu dengan tinggi
badan kurang dari 155 cm. Orang tua yang pendek karena gen dalam kromosom
yang membawa sifat pendek kemungkinan besar akan menurunkan sifat pendek
tersebut kepada anaknya. Tetapi bila sifat pendek orang tua disebabkan karena
masalah nutrisi maupun patologis, maka sifat pendek tersebut tidak akan
2. Usia Ibu
stunting. Ibu dengan usia 35-44 tahun lebih berisiko melahirkan anak yang
stunting pada penelitian yang dilakukan pada (Mitra, 2015). Selain itu faktor
risiko lainnya adalah wilayah tempat tinggal dan jumlah anak dalam anggota
keluarga.. Pada penelitian yang dilakukan oleh Nguyen Ngoc Hien & Sin Kam
(2008) di Vietnam menungkapkan bahwa usia ibu < 24 tahun dan > 35 tahun
memiliki resiko anak lahir dengan malnutrisi seperti underweight, stunting dan
wasting. Usia ibu muda (<24 tahun) merupakan usia ibu yang belum siap untuk
mengurus anak. Sementara itu, peningkatan resiko anak malnutrisi pada usia ibu
tua (>35 tahun) resiko tinggi untuk melahirkan anak dengan berat lahir rendah.
jumlah makanan yang dikonsumsi dalam satu keluarga dengan makanan yang
tersedia dalam rumah tangga terutama pada keluarga dengan perndapatan rendah.
mengurangi konsumsi bahan pangan hewani diganti menjadi lebih murah atau
terhadap kejadian stunting pada balita. Faktor yang paling dominan berhubungan
dengan kejadian stunting pada balita adalah jumlah anggota keluarga yang banyak
(Oktarina, 2012). Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa ketersediaan
makanan bagi setiap anggota keluarga yang berasal dari jumlah anggota yang
lebih banyak akan menjadi lebih rendah persediaan makanannya. Rumah tangga
dengan jumlah anggota keluarga lebih banyak akan berpeluang memiliki anak
4. Pendidikan Ibu
Pengetahuan gizi ibu bisa menjadi penentu status gizi anak-anak maupun
ibu itu sendiri. (menurut Suharjo, 2003) tingkat pendidikan yang rendah
sarana kesehatan yang ada. Tingkat pendidikan ibu yang rendah dan pendapatan
yang juga rendah umumnya menyebabkan kepercayaan diri ibu dalam mengakses
sarana gizi dan kesehatan seperti Posyandu dan Puskesmas, termasuk aktivitas
bina keluarga balita (BKB) rendah, sehingga amat perlu untuk dimotivasi.
dengan kader umumnya sudah tua dan tidak terjadi regenerasi yang baik.
kualitas dan kuantitas kader posyandu diperlukan dalam memperbaiki status gizi
Indonesia dan di indonesia. Pada individu (ibu batita), karena ibu sebagai pembina
pertama dan utama terhadap pendidikan dan kesehatan anak, dan pengelola atau
penyelenggara makanan dalam keluarga, memiliki peranan yang besar dalam
peningkatan status gizi anggota keluarga. Bahwa ibu dengan tingkat pendidikan
rendah memiliki peluang anaknya mengalami stunting sebesar 0,049 kali lebih
besar dibandingkan ibu dengan pendidikan tinggi Peneliti lain sebelumnya seperti
5. Pekerjaan Ibu
anaknya mengalami stunting lebih besar dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Hal
ini berarti bahwa jika ibu bekerja maka akan diikuti dengan peningkatan kejadian
stunting sebesar 3,623. (Mitra, 2015). mengatakan bahwa ibu-ibu yang bekerja
tidak mempunyai cukup waktu untuk memperhatikan makanan anak yang sesuai
dengan kebutuhan dan kecukupan serta kurang perhatian dan pengasuhan kepada
anak.
6. Pekerjaan Ayah
sosial dan ekonomi dalam rumah tangga. Penghasilan dalam keluarga yang tinggi
Hasil penelitian oleh (Fajrina nurul, 2016). Pada 24 bayi dibawah lima tahun
kejadian stunting.
pedesaan yakni 42,1 persen lebih tinggi jumlah balita yang mengalami stunting
perkotaan memiliki efek protektif atau risiko lebih rendah 32 persen terhadap
lebih mudah ditemukan baik di pasar maupun pusat perbelanjaan. Makanan yang
segar maupun bentuk produk olahan dengan kualitas ekspor dan impor tetapi
dengan harga yang cukup mahal. Sedangkan di perdesaan, variasi serta akses
memperoleh sumber makanan lebih terbatas. Selain itu, wilayah tempat tinggal
adalah tempat tinggal perkotaan lebih beragam jenis pekerjaan sehingga orang tua
2015).
8. Kebiasaan Merokok
Merokok adalah bagian dari gaya hidup sebagian besar orang. Tidak hanya
mereka dengan gaya hidup dengan pendapatan tinggi, begitu pula bagi mereka
perokok terbesar di dunia. Lebih dari 60 juta orang membelanjakan uang setiap
hari untuk membeli rokok (WHO Report on Global Tobacco Epidemic, 2008).
Tahun 2013 rata - rata jumlah bantang rokok yang dihisap 12,3 batang per hari.
Pengeluaran untuk rokok di rumah tangga termiskin jauh lebih tinggi
kesehatan, telur, susu, dan 6,5 kali lebih besar dari biaya kesehatan, dan 9 kali
lebih banyak dari pengeluaran untuk daging (Infodatin Kemenkes RI, 2015).
Pada hasil penelitian lain di Bangladesh oleh Cora M, B., Kaisun, Saskia,
D., Martin W, B., Gudrun, S, & Richard D, S. (2007) disebutkan bahwa orangtua
yang merokok berkaitan dengan risiko yang lebih tinggi anak mengalami stunting,
hal ini dikarenakan merokok memperburuk kondisi kurang gizi pada anak dan
mengalihkan uang yang dimiliki rumah tangga dari memenuhi makanan keluarga
dan berbagai kebutuhan lain. Pendapatan dan pengeluaran rumah tangga semakin
tidak tahan pangan suatu rumah tangga, semakin tinggi proporsi pengeluaran
lainnya
asap rokok lebih banyak mengalami infeksi saluran pernapasan bawah (Riskesdas,
merokok. Nikotin yang ada dalam rokok secara langsung bereaksi dengan
9. Sumber Air
Indonesia adalah negara dengan 13 persen dari penduduk Indonesia tidak
memiliki akses terhadap air bersih (UNICEF, 2013). Sementara itu, air adalah
dan menjaga kebersihan tubuh. Air yang bersih menjadi faktor lingkungan yang
berpengaruh pada kesehatan. Dua sampai lima juta orang meninggal setiap tahun
akibat penyakit yang ditularkan melalui air. Penularan penyakit infeksi dapat
terjadi melaui air yang terkontaminasi oleh mikroorganisme seperti diare, cholera,
disentri, tifoid, dan hepatitis. Anak – anak yang bertahan hidup dengan air minum
jumlah responden 24 anak, yakni ibu yang tidak sekolah, bayi laki-laki, ukuran
tubuh yang kecil, dan sumber dari air minum yang tidak aman Penelitian yang
dilakukan oleh (Atikah rahayu, 2014) menunjukkan bahwa hubungan air bersih
dan stunting adalah kejadian stunting 2,1 kali lebih besar berpeluang terjadi pada
responden yang tindak memiliki air bersih dibandingkan dengan responden yang
yang melakukan praktik buang air besar sembarangan. Tiga puluh sembilan
persen dari rumah tangga tidak menggunakan fasilitas sanitasi yang baik. Air dan
diperkirakan 40 persen dari populasi kekurangan akses sanitasi yang aman dan 15
persen masih buang air ditempat terbuka (UNICEF & WHO, 2013). Penelitian
yang dilakukan oleh Nadiyah, dkk. (2014) pada anak usia 0-23 bulan di beberapa
provinsi seperti Bali, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Timur dengan menggunakan
data Riskesdas 2010 sebanyak 1554 anak menunjukkan berat badan lahir rendah,
tinggi badan ibu kurang dari 150 cm, sanitasi kurang baik dan pemberian