Anda di halaman 1dari 6

‫العلم فى الصغر كالنقش على الحجر‬

Ilmu pengetahuan di waktu kecil itu bagaikan ukiran di atas batu.


1. Mahfudzot yang satu ini sudah pasti banyak yang kenal dan banyak kita jumpai sehari-hari.
Maksud dari ungkapan itu adalah masuknya ilmu atau belajar saat kita kecil itu seperti
mengukir di atas batu.

Ada yang memaknai bahwa mengajarkan ilmu kepada anak itu sulit. Sehingga dulu banyak orang tua
harus berusaha keras (sering menegur dan mengingatkan) agar anaknya mau belajar. Karena
mengukir di atas batu itu berat, memang begitulah mendidik anak.

Tapi menurutku itu tidak cocok lagi. Kenapa? Karena sekarang kita tahu bahwa daya serap
seseorang yang paling besar itu adalah di waktu mereka kecil.

Sebagaimana kalimatnya, ‘ilmu di waktu kecil itu laksana ukiran di atas batu.’ Artinya ilmu itu akan
tetap ada dan terpatri pada diri anak sebagaiman ukiran itu akan tetap ada pada batu selama
bertahun-tahun.

Maka bila ilmu di waktu kecil itu bagaikan ukiran di atas batu, sekarang yang harus dijawab adalah
seahli apakah kita mengukir? Pertanyaan ini sangat penting dijawab oleh para orang tua dan calon
orang tua.

Seorang ahli ukir batu, tentunya tidak terlalu susah untuk mengukir batu. Dengan tenaga yang tidak
terlalu besar, dengan peralatan seadanya sekalipun ia bisa menyulap batu menjadi ukiran yang
bernilai seni tinggi.

Tapi bila ia bukan seorang ahli ukir batu, dengan peralatan secanggih apapun tanpa keahlian, ia
hanya bisa membuat pecahan-pecahan batu, bukan ukiran.

Maka apakah mengukir itu batu itu sulit? Iya, bagi orang yang bukan ahli mengukir batu. Tapi bagi
ahlinya, itu adalah sesuatu yang mudah.

Dan ketahuilah anak-anak itu mendapatkan ilmu paling berharga dalam hidupnya dengan
mencontoh sekelilingnya. Maka berilah dia contoh untuk bekal hidup dengan sebaik-baiknya.
Apakah masih sulit?

2. Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu. Otak anak kecil itu sangat cepat untuk
menangkap sesuatu, meniru dan mempelajari, anak kecil juga punya ingatan yang masih
sangat baik. Oleh karena itu apabila sesuatu dipelajari sejak kita kecil maka akan selalu
membekas di ingatan kita...yang diibaratkan dengan mengukir di atas batu. Ukiran di batu
kan memang awet, begitu juga dengan ingatan yang terbentuk sejak masa kecil. Oleh
karena itu ajarilah anak-anak kita dengan segala sesuatu yang baik supaya mereka juga
bisa tetap mengingat ajaran yang baik itu dan arahkan untuk berperilaku yang baik pula.
Insya Allah kebaikan yang ditanamkan sejak dini akan berpengaruh ke perilaku anak-anak
itu kelak jika mereka dewasa. Belajar sesudah dewasa, laksana mengukir di atas air.
Mempelajari sesuatu saat kita sudah dewasa tidak semudah pada saat kita kecil dulu,
karena otak orang dewasa itu sudah terisi dengan berbagai masalah dan persoalan. Jadi
akan lebih susah untuk konsentrasi dan mengingat sesuatu dibandingkan anak kecil. Tapi
bukan berarti belajar sesudah dewasa akan sia-sia, tetap manusia harus terus belajar dan
belajar sampai mati. Jangan sedih yatim piatu, tiada punya ayah dan ibu. Banyak anak-anak
yang tidak punya orang tua lagi dan wajar apabila mereka sedih saat melihat anak-anak lain
yang terlihat bahagia dengan ayah dan ibunya. Namun ketiadaan orang tua bukanlah
halangan untuk mendapatkan kebahagiaan. Disini juga merupakan ladang amal yang luas
untuk orang-orang yang mau beramal kepada anak yatim piatu. Jadi anak-anak yatim piatu
itu akan tetap bisa menggapai cita-citanya dengan bantuan dari orang-orang yang mau
beramal buat mereka (anak-anak yatim piatu tersebut). Tapi sedihlah tak punya ilmu, jalan
yang mana yang mana hendak dituju. Selagi kita masih bisa bernafas kita harus terus
berusaha menuntut ilmu, ilmu apa saja yang baik buat kehidupan kita, ilmu yang tentu saja
tidak bertentangan dengan ajaran agama. Tanpa ilmu, manusia akan tertatih meniti
kehidupannya. Pedagang makanan itu punya ilmu memasak dan memasarkan dagangannya
dan tentu saja dia melalui proses belajar memasak dan proses berdagang. Ustadz itu punya
ilmu agama yang bisa diajarkannya ke orang lain, tapi tentu saja Ustadz tersebut masih
harus terus belajar dan belajar. Profesi apapun tetap harus belajar, karena untuk bisa
maju...manusia itu harus terus belajar.

3. Belajar di waktu kecil, bagaikan mengukir di atas batu,


belajar di waktu tua, bagaikan mengukir di atas air,

Nampak sekilas perbedaan hasil yang di perolah antara mereka yang masih muda dan telah tua,
yang masih muda dalam menuntu ilmu, maka ilmu itu akan cepat membekas, cepat dipahami, sebagai
mana jika kita mengukir diatass batu, maka ukiran itu kan nampak jelas di batu tersebut...

Sedangkan yang sudah tua, dalam menuntut ilmu, maka membutuhkan proses yang lama, harus senantiasa
di re-view secara berkesinambungan, sebagiamana jika air yang senantiasa mengalir akan cepat sirna, jika
tidak terus menerus...

Adapun dampak yang dihasilkan dari keduanya, bagi mereka yang menuntut ilmu di waktu muda, maka
ilmu yang akan di ajarkan itu pun hanya berkisaran antar batu yang satu dan batu yang lain,
tetapi bagi mereka yang menutut ilmu di waktu tua, jika mereka mengajarkan ilmunya itu, orang tua itu
mampu mengajarkan pada setiap batu-batu yang dilewatinya bagiakan air yang melewati semua batu dari
bukit hingga hilir..

Seorang pemuda yang mengajarkan ilmu itu hanya berkisaran pada personal saja, mereka kurang mampu
memberikan ilmunya itu pada medan yang sangat luas,
melainkan jika orang yang telah tua di berikannya ilmu padanya, maka penyampaian ilmunya itu dapat di
rasakan oleh banyak orang disekitarnya, sebagai mana air yang telah di warnai, maka semua jenis betu
yang dilewatinya tersebut akan mengalami perubahan warna sebagiamana warna air itu...

Maka, tidak ada rugi bagi mereka yang senantiasa menuntut ilmu baik di waktu muda maupun tua...

Oleh : Ubaydillah, AN
Bagai Mengukir Di Atas Batu
Kita mungkin sudah akrab dengan istilah Masa Keemasan atau Golden Age itu dalam
perkembangan manusia. Sudah sering ada produk makanan atau minuman suplemen yang pakai
istilah ini untuk mendukung pemasaran atau iklan di televisi. Di redaksi iklan itu, orangtua sepertinya
“diperingatkan” agar berperan seoptimal mungkin di Masa Keemasan yang terjadi hanya sekali
seumur hidup si anak.
Apa itu Masa Keemasan? Di literatur psikologi sepertinya istilah ini jarang dimunculkan. Meski
demikian, tak sedikit penjelasan dari berbagai sumber yang mengungkap adanya bukti-bukti yang
bisa ditangkap pengertiannya sebagai Masa Emas itu. Bahkan di zaman orangtua kita dulu sudah
ada ungkapan yang juga bisa disebandingkan pengertiannya dengan Masa Keemasan itu.

Para orangtua kita punya pemahaman bahwa belajar di waktu kecil itu diibaratkan seperti orang
mengukir di atas batu. Kalau melihat ungkapan itu dari berbagai ide yang berkembang saat ini, akan
kita temukan perspektif yang mendasar dalam pengasuhan. Istilah yang dipakai di situ adalah
belajar. Yang disebut belajar adalah memunculkan kemauan dan kesiapan untuk mengubah diri
(readiness dan willingness to change).
Darimana perubahan diri itu harus diawali? Rumusnya, perubahan itu selalu diawali dari mengubah
isi pikiran dengan mengisi pengetahuan, mengubah sikap dan perilaku dengan pengalaman, dan
mengubah pencapaian (hasil) dengan keahlian. Jika pengetahuan, pengalaman, dan keahlian ini
terus digunakan dan memberikan hasil yang bisa diprediksikan secara relatif konstan, maka
disebutnya kompetensi.

Dengan mengacu ke ide yang sekarang berkembang, belajar yang dikatakan bagai mengukir di atas
batu itu mengandung sedikitnya dua pengertian:

Pertama, tradisi mengubah diri, dalam pengertian yang luas, yang diajarkan orangtua pada saat
anak masih kecil itu akan menjadi tradisi yang sulit ditinggalkan. Sudah tak kurang bukti yang
membenarkan penjelasan ini. Anak yang diajari tradisi membaca akan sulit meninggalkan tradisi itu.

Kedua, materi yang kita masukkan ke pikiran si anak pada saat usianya masih kecil itu akan sulit
terlupakan. Buktinya pun sudah tak kurang. Anak yang sejak kecil sudah diajari bahasa daerah
tertentu akan sulit melupakan kosa katanya.

Jadi, tradisi belajar (kesadaran untuk mengubah diri ke arah yang lebih baik) yang kita tanamkan di
waktu kecil atau materi pengetahuan yang kita masukkan ke otak anak kecil bisa digambarkan
seperti ukiran di atas batu. Belajar di waktu kecil akan menyatu dengan bawaan, motif, sikap, nilai-
nilai, dan konsep-diri. Menurut Spencer (1993), ini semua adalah core personality atau bagian diri
kita yang sulit diubah / sulit dihilangkan.

Bagaiman dengan belajar di waktu besar? Jika belajarnya itu diartikan menerima materi dari luar
dengan cara dimasukkan (bukan diserap), maka yang sering terjadi, proses belajar di waktu dewasa
sebatas ditangkap sebagai pengetahuan (knowledge). Oleh Spencer disebutnya dengan surface
personality (kepribadian yang mudah diubah / mudah hilang).
Rangkuman hasil survey yang diolah Bizmanualz, Inc (2007), memaparkan prosentasi yang diingat
dan yang dilupakan orang dewasa setelah diajari pengetahuan, mau itu training atau kuliah. Setelah
1 hari, yang kita ingat sebanyak 54% dan yang terlupakan 46%. Setelah 63 hari, yang kita ingat
menjadi 17% sementara yang kita lupakan sudah 83%. Mengapa demikian ?

Belajar Menghafal vs Belajar Berproses


Jika mengacu pada proses belajar menghafal, maka yang keluar adalah angka-angka di atas; dan
sehebat apapun kita menghafal materi kuliah atau training, sejauh yang kita andalkan hanya ingatan
otak, mungkin 3 bulan setelah diwisuda atau disertifikasi, sudah banyak materi yang hilang. Lain
soal kalau belajar berproses, artinya, materi itu menjadi bagian dari perjuangan hidup, profesi, atau
pekerjaan. Mungkin kasusnya akan beda.

Kesuburan & Kehebatan


Kembali ke soal Masa Emas, dari berbagai penjelasan yang muncul saat ini, ada sedikitnya dua
pokok pikiran yang bisa kita pakai rujukan. Untuk lebih mudah diingat, saya menggunakan istilah
kesuburan dan kehebatan. Istilah kesuburan terkait dengan kondisi otak yang sedang subur-
suburnya berkembang, membentuk jalur belajar, atau membentuk koneksi (dendrit).
Temuan para ahli, seperti dirangkum Benjamin S. Bloom (1964), menyimpulkan bahwa 50%
kemampuan belajar seseorang dikembangkan pada masa empat tahun pertamanya. 30% lain
dikembangkan menjelang ulang tahun kedelapan. Sesudah umur sepuluh tahun, cabang-cabang
yang tidak berhubungan akan mati.

Kalau mengacu ke sini berarti anak yang sejak usia 0 sampai 10 tahun-an yang kurang mendapat
kesempatan untuk mengembangkan cabang-cabang di dalam otak, maka cabang di dalam otaknya
akan sedikit dan di samping itu dia kesulitan menghidupkan cabang-cabang otak yang telah mati
setalah usianya menjelang remaja sampai tua nanti.

Ada lagi yang mengatakan, usia 0 sampai 6 tahunan disebutnya sebagai Masa Emas Pertama.
Masa Emas Kedua terjadi ketika anak masuk usia 7 tahunan sampai masuk remaja awal, usia
belasan. Seorang pakar neorologi, Eric H. Lennenberg, menyimpulkan bahwa sebelum masa
pubertas, otak anak lebih lentur. Makanya, ia lebih mudah belajar bahasa.

Sedangkan istilah kehebatan itu terpaut dengan kondisi otak yang sedang hebat-hebatnya
menangkap pengajaran dari luar. Ini sudah dibuktikan melalui pengajaran bahasa. Tony Buzan,
psikolog dari Inggris (1990) mengatakan, hanya dalam 2 tahun pertama dia hidup, daya serap
bahasanya jauh lebih baik dari seorang doktor di bidang apapun di dunia. Ini kemudian sempurna
pada usia 3 atau 4 tahun.

Apa Berarti Pintu Sudah Tertutup?


Sering ada pertanyaan begini: apa berarti setalah Masa Emas itu berlalu otak manusia sudah tak
lagi memiliki kehebatan dan kesuburan? Dari sisi kondisi otak, secara umum mungkin ya, seperti
yang kita rasakan. Tapi tidak berarti kinerjanya anjlok. Soal kinerja otak lebih ditentukan oleh faktor
manusianya. Buktinya sudah banyak kita jumpai.
Baik ajaran agama dan temuan pengetahuan sama-sama menjamin bahwa otak manusia tetap bisa
ber-kinerja asalkan terus menemukan cara-cara kreatif yang pas dengan dirinya dan memiliki api
kemauan yang terus menyala. Makanya, belajar itu dikatakan sebagai perintah yang mutlak, tanpa
batas waktu, dari lahir sampai mau mati.

Secara umum, orang dewasa punya keunikan belajar yang berbeda dengan anak. Orang dewasa
cara belajarnya harus lebih banyak dari praktek atau untuk dipraktekkan, sesuai keadaan dirinya.
Konon, Rumi yang kita kenal hebat di puisi spiritual itu baru mulai belajar serius setelah usianya 40
tahun. Mungkin karena otaknya cerdas, emosinya tinggi, atau perhatiannya tinggi terhadap isu yang
diangkat di puisinya itu. Artinya, Rumi memang concern ingin mempraktekkan atau dari praktek
hidupnya.
Ada ungkapan yang pas untuk orang dewasa tentang hal ini dari Edward Bolles. Katanya, kita akan
punya ingatan bagus terhadap materi yang kita pelajari kalau kita mengerti (understand). Kita akan
mengerti kalau kita punya perhatian (concern) terhadap materi itu. Kita akan punya perhatian yang
besar kalau kita benar-benar punya keinginan terhadap materi itu.
Tapi ada bukti lain yang perlu kita lihat juga. Orang dewasa atau remaja akhir yang tetap bisa
belajar dengan mudah itu umumnya adalah mereka yang dari sejak kecil terbiasa menggunakan
otaknya untuk belajar, entah secara internal atau eksternal. Karena itulah banyak ahli yang
mengatakan bahwa Masa Emas itu penting karena kapasitas belajar anak yang terbentuk dalam
masa ini akan menjadi landasan bagi semua proses belajar di masa depan.

Dari pengalaman pribadi yang masih relatif sedikit, ada indikasi yang saya peroleh bahwa remaja
yang cabang-cabang otaknya lebih banyak karena sering dipakai belajar sewaktu kecil, ternyata
punya respon yang lebih bagus, punya inisiatif yang lebih cepat, punya daya tangkap dan ketelitian
yang lebih bagus. Selain itu, motivasinya untuk maju juga beda.

Stimulasi & Tradisi


Sikap kita terhadap kenyataan yang menuntut untuk lebih mengoptimalkan pengasuhan terhadap
anak, akan jauh lebih penting ketimbang mempersoalkan perbedaan pendapat apakah Masa Emas
itu ada atau sampai tahun berapa. Kecuali jika ini kita angkat sebagai materi untuk skripsi dan
kepentingan keilmuan murni.
Pertanyaannya adalah, apanya yang perlu dioptimalkan? Ada trend yang mengemuka seolah-olah
yang perlu dioptimalkan itu hanya merek susu atau kenyamanan fisik si anak atau enforcement dari
luar atas interest orangtua. Harus diakui ini memang penting, tetapi yang juga penting adalah
memperbanyak stimulasi dan tradisi yang berbasikan pengasuhan.
Kenapa stimulasi dan apa saja bentuknya? Stimulasi adalah berbagai rangsangan, entah itu
kesempatan bermain, fasilitas belajar, atau materi (misalnya cerita atau bacaan), yang dapat
memicu anak untuk belajar atau mengolah pengajaran. Para ahli menyarankan pentingnya aktivitas
bermain yang dapat mencerdaskan motorik untuk usia anak-anak, mungkin 0-4 tahun-an.
Rangsangan juga bisa berbentuk sentuhan yang abstrak, misalnya dukungan dan keterlibatan kita
dalam proses belajar anak, entah itu belajar di sekolah atau belajar hidup. Riset mengungkap bahwa
keterlibatan orangtua dalam belajar anak sangat punya peranan dan kontribusi (Family Involvement
in Education, U.S. Department of Education: 2002) atau akan dimaknai sebagai motivasi oleh si
anak.

Rangsangan akan membentuk cabang-cabang otak sebanding dengan yang kita berikan. Selain itu,
pengetahuan dan pengalaman si anak juga semakin kaya. Selain rangsangan adalah membentuk
tradisi belajar atau tradisi berprestasi dalam keluarga. Tradisi di sini adalah berbagai bentuk
pembiasaan positif, misalnya membaca, perhatian dan tanggung jawab terhadap tugas, mencari
informasi untuk menyelesaikan masalah, dan berbagai sifat-sifat positif lain.

Untuk membangun tradisi itu mau tidak mau dibutuhkan disiplin. Kata Richard L. Munger dalam
booklet-nya Rules For Unruly Children (2007), jangan mengira anak kita lebih bahagia dengan tidak
kita berikan disiplin. Anak membutuhkan behavior limits untuk bisa lebih bahagia. Hanya saja, ada
beberapa catatan yang perlu kita ingat, antara lain:

 Tujuan berdisiplin bukan untuk disiplin, melainkan untuk memfasilitasi agar anak bisa belajar
mengontrol hidupnya. Semakin bagus kemampuan anak mengontrol, maka disiplin harus segera
dilembekkan / dikurangi / difleksibelkan
 Materi disiplin itu perlu dirancang sejelas mungkin sehingga anak tidak merasa semua serba
diatur. Disiplinkan untuk hal-hal yang fundamental saja dan sesuai perkembangannya. Akan lebih
bagus jika materinya sudah disepakati.
 Penegakannya akan lebih bagus dengan pendekatan friendly, bukan forcefully
 Disiplin bukan dikeluarkan karena amarah yang sesaat lalu ditegakkan secara tidak konsisten.
 Berikan berbagai reward yang unik dan memotivasi. Pilihlah rewards yang cara mendapatkannya
bukan dengan menangis atau usaha-usaha rendahan lainnya, melainkan dengan to do their best.
“JANGAN MENGIRA ANAK KITA LEBIH BAHAGIA
DENGAN TIDAK KITA BERIKAN DISIPLIN.”
Semoga bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai