1
atau lebih pusat laba yang melakukan transaksi. Dengan demikian harga transfer
harus didesain sedemikian rupa sehingga memenuhi tujuan-tujuan berikut :
Menyajikan informasi yang relevan untuk keputusan trade-off antara
pendapatan dan biaya.
Memotivasi manajer untuk mencapai goal congruence.
Membantu menilai kinerja ekonomi pusat laba yang terkait.
Sistemnya sederhana untuk dipahami dan mudah diadministrasikan.
Akibat-akibat yang terjadi jika para manajer pusat laba tidak memiliki
kebebasan dalam mengambil keputusan sourcing :
1. Pasar yang terbatas.
Dalam berbagai perusahaan, pasar bagi pusat laba penjual atau pembeli dapat
saja sangat terbatas. Ada beberapa alasan akan hal ini :
Pertama, keberadaan kapasitas internal dapat membatasi pengembangan
penjualan eksternal.
Kedua, jika perusahaan merupakan produsen tunggal dari produk yang
terdeferensiasi, tidak ada sumber daya dari luar.
2
Ketiga, jika suatu perusahaan telah melakukan investasi yang besar, maka ia
cenderung tidak akan menggunakan sumber daya dari luar kecuali harga jual di
luar mendekati biaya variable perusahaan, dimana hal ini jarang sekali terjadi.
3
Beberapa metode transfer pricing yang sering digunakan oleh perusahaan-
perusahaan konglomerasi dan divisionalisasi/departementasi yaitu :
1. Harga Transfer Dasar Biaya (Cost-Based Transfer Pricing)
Perusahaan yang menggunakan metode transfer atas dasar biaya menetapkan
harga transfer atas biaya variabel dan tetap yang bisa dalam 3 pemelihan bentuk
yaitu : biaya penuh (full cost), biaya penuh ditambah mark-up (full cost plus
mark- up) dan gabungan antara biaya variabel dan tetap (variable cost plus fixed
fee).
2. Harga Transfer atas Dasar Harga Pasar (Market Basis Transfer Pricing)
Apabila ada suatu pasar yang sempurna, metode transfer pricing atas dasar harga
pasar inilah merupakan ukuran yang paling memadai karena sifatnya yang
independen. Namun keterbatasan informasi pasar yang terkadang menjadi
kendala dalam mengunakan transfer pricing yang berdasarkan harga pasar.
3. Harga Transfer Negosiasi (Negotiated Transfer Prices)
Dalam ketiadaan harga, beberapa perusahaan memperkenankan divisi-divisi
dalam perusahaan yang berkepentingan dengan transfer pricing untuk
menegosiasikan harga transfer yang diinginkan. Harga transfer negosiasian
mencerminkan prespektif kontrolabilitas yang inheren dalam pusat-pusat
pertanggungjawaban karena setiap divisi yang berkepentingan tersebut pada
akhirnya yang akan bertanggung jawab atas harga transfer yang dinegosiasikan.
1. Penentuan Harga Transfer berdasarkan Biaya (Cost Basis Transfer
Pricing).
Digunakan pada transfer antar perusahaan yang menggunakan konsep pusat
pertanggung jawaban biaya. Kinerja manajer diukur melalui pertanggung
jawabannya mengenai pengendalian biaya. Konsep ini sederhana dan
menghemat sumber daya karena tersedianya informasi di setiap tingkat aktivitas
perusahaan.
Transfer pricing yang mendasarkan pada biaya dapat bervariasi antara:
1. Biaya Variabel sebenarnya (actual variabel cost)
2. Biaya tetap sebenarnya (actual fixed cost)
3. Biaya variabel standar (standard variable cost)
4. Biaya total standar (standard full cost)
4
5. Biaya rata-rata (average cost), dan
6. Biaya total ditambah kenaikan (full cost plus mark – up).
Untuk pengendalian manajemen, harga transfer nomor 1 sampai dengan 5
tersebut dapat ditentukan dengan tanpa memperhitungkan laba atau bahkan di
bawah biaya total dan dengan demikian mendatangkan kerugian (parsial) pada
perusahaan pentransfer. Namun, jumlah tersebut tentu tetap menguntungkan
grup perusahaan hulu sebagai akibat kebijakan harga transfer tersebut
merupakan penggeseran potensi laba kepada anggota perusahaan hilir yang akan
menjual barang dengan harga pasar yang sebenarnya kepada konsumen.
Dalam Cost-based transfer pricing harus mengguna konsep biaya penuh
/obsoption costing dan harga transfer dapat dihitung dengan tiga pendekatan :
Contoh 1 : Pendekatan Full costing (A)
Rumus:
---------------------------------------------------------------------------------------------------------.
Harga Transfer = Biaya Obsorpsi/penuh + Laba
Masalah yang muncul ketika biaya penuh ditambah mark-up bila digunakan sebagai
harga transfer adalah bila biaya penuh ditambah mark-up mungkin mengarah pada
keputusan sub-optimal karena hal tersebut menyebabkan divisi yang membeli akan
memandang biaya tetap dan mark-up dari divisi yang menjual sebagai biaya
variabel.Karena Divisi yang membeli mungkin akan membeli produk dari luar/pemasok
dengan harga yang lebih murah,sehingga ada penghematan.
Contoh 1 : Pendekatan Full costing (B)
PT Indo Global Mandiri memiliki Divisi Work Shop sebagai profit center dan divisi
5
Teknik produksi sebagai pembeli intern.Divisi Work Shop memproduksi spare part A
yang dijual keluar dan untuk pemakaian (divisi Teknik).Kedua Divisi sedang
memperimbangkan penentuan harga transfer Spare part –A tahun anggaran 2011.Dasar
perhitungan Anggaran bahwa tingkat produksi beroperasi pada kapasitas normal
sebanyak 12.000 unit . Estimate perhitungan harga pokok produksi dan Non
produksiuntukanggaran 2011 adalah :
Biaya Produksi Rp 2.400.000.000
Biaya Adm dan umum Rp 600.000.000
Biaya Penjualan Rp 240.000.000
------------------------
Total Biaya Rp3.240.000.000
=============
Total Aktiva pada awal tahun anggaran 2011 diproyeksikan sebesar Rp 10 Milyar.
Laba yang diharapkan ditetapkan dengan ROI 20 %.
Diminta : Harga trnsfer Spare part –A yang dihitung dengan Cost
Pendekatan Full costing.
Jawab :
Perhitungan Mark-Up:
Biaya Adm dan umum Rp 600.000.000
Biaya Penjualan Rp 240.000.000
Laba yang diharapkan 20% x Rp 10 Milyar Rp 2.000.000.000
----------------------------
Jumlah Rp 2.840.000.000
Biaya Produksi Rp2.400.000.000
-------------------------
Mark-Up 118,3 %
Perhitungan Harga Transfer
Biaya Produksi Rp 2.400.000.000
Mark-Up 118 %x Rp 2.400.000.000 Rp 2.840.000.000
--------------------------
Harga Jual Divisi Work shop Rp 5.240.000.000
Volume Spare part yang ditransfer 12.000 unit
6
Harga Transfer per-unit Rp 436,667 (Pembulatan )
=========
Contoh 2 : Pendekatan Direct Costing /Variable Costing (A)
Rumus:
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Harga Transfer = Biaya Obsorpsi/penuh + Laba
Biaya Variabel:
Biaya Produksi Variabel Rp. 1.800.000.000
Biaya Adm dan umum Variabel Rp. 120.000.000
Biaya Penjualan Variabel Rp. 60.000.000
Total Biaya Variabel --------------------------- Rp 1.980.000.000
7
Biaya Tetap :
Biaya Produksi Tetap Rp 600.000.000
Biaya Adm dan umum tetap Rp 480.000.000
Biaya Penjualan Tetap Rp 180.000.000
Total Biaya Teta --------------------------- Rp 1.260.000.000
------------------------
Total Biaya penuh Rp 3.240.000.000
==============
Total Aktiva pada awal tahun anggaran 2011 diproyeksikan sebesar Rp 10. Milyar.
Laba yang diharapkan ditetapkan dengan ROI 20 %.
Diminta :
Harga trnsfer Spare part –A yang dihitung dengan Cost-Based Transfer Pricing
dengan pendekatan variabel Costing
Jawab :
Perhitungan Mark-Up:
Biaya Tetap Rp 1.260.000.000
Laba yang diharapkan 20% x Rp 10 milyar Rp 2.000.000.000
------------------------ (+)-
Jumlah Rp 3.260.000.000
Biaya Variabel Rp 1.980.000.000
Mark-Up 165 %
Perhitungan Harga Jual :
Biaya Variabel Rp 1.980.000.000
Mark-Up 165 % x Rp 1.980.000.000 Rp 3.267.000.000
------------------------ ( + )
Rp 5.247.000.000
Volume Produk 12.000 unit
8
Contoh 2 : Pendekatan Activity Based Costing (C)
Jika activity based costing dipakai sebagai pendekatan perekayasaan biaya yang
digunakan sebagai dasar penentuan harga transfer, unsure-unsur yang diperhitungkan
dalam penentuan harga transfer menjadi :
Berdasarkan :
Unit Level Activity Cost jumlah yang diproduksi
Batch Level Activity Cost jumlah batch produksi
Product Level Activity Cost taksiran jumlah unit produksi
Facility Sustaining Activity Cost taksiran unit produksi pd kap.normal
Yunita Corp. memiliki dua divisi (A dan B) yang di bentuk sebagai pusat laba. Divisi A
menghasilkan suku cadang Q dan R yang dijual di pasar luar sebanyak 10% dan sisanya
ditransfer ke divisi B. Manajer divisi A dan B sedang mempertimbangkan penentuan
harga transfer suku cadang A untuk tahun anggaran yad. Perusahaan menggunakan
pendekatan activity based costing dalam penentuan biaya penuh. Menurut anggaran,
divisi A direncanakan akan beroperasi pada kapasitas normal sebanyak 1.000.000 unit
suku cadang Q dan 2.000.000 unit suku cadang R.
9
Misalkan divisi A mentransfer 1000 unit suku cadang Q ke Divisi B dalam bulan
Januari 20X1. Jumlah tersebut diproduksi dalam dua productin run (batch)
Total aktiva Divisi A yang diperkirakan pada awal tahun anggaran Rp. 1.000.000.000
dan laba yang diharapkan divisi A yang dinyatakan dalam ROI sebesar 22%.
Markup untuk suku cadang Q dan R didasarkan pada unit level activity cost.
Diminta : Hitung harga transfer suku cadang Q !
Harga transfer 100.000 unit suku cadang Q bulan Januari 200X1 yang dibebankan oleh
divisi A kepada divisi B :
Biaya Penuh:
Unit Level Activity Cost
100.000 unit x Rp. 1.500 Rp. 150.000.000
Batch Level Activity Cost
2 batch x Rp. 200.00 Rp. 400.000
Product Level Activity Cost
100.000 unit x Rp. 500 Rp. 50.000.000
Facility Level Activity Cost
100.000 unit x Rp. 200 Rp. 200.000.000 : 1.000.000 unit Rp. 20.000.000
Biaya Penuh suku cadang Q Rp. 220.400.000
Markup 40% x Rp. 150.000.000 (unit Level Activity Cost) Rp. 60.000.000
Harga Transfer suku cadang Q (100.000 unit) Rp. 280.400.000
10
2. Penentuan Harga Transfer berdasarkan harga pasar (Market Basis
Transfer Pricing).
Berbeda dengan harga transfer berdasarkan biaya, transfer pricing yang
mendasarkan pada harga pasar, lebih wajar karena didasarkan pada kekuatan
interaksi antara perusahaan dengan pihak luar tanpa dipengaruhi oleh
kekurangan-efisienan operasional dari salah satu anggota perusahaan.
Kesuraman kinerja salah satu anggota perusahaan dalam satu grup dapat
memberikan dampak negatif pada anggota lainnya apabila jumlah harga transfer
dihitung berdasarkan biaya nyata dari tiap perusahaan.
Karena harga transfer yang dihitung berdasarkan biaya mempunyai kelemahan,
yaitu tidak dapat memotivasi dan mengevaluasi kinerja divisi. Harga transfer
berdasarkan pada harga pasar dianggap sebagai tolak ukur untuk menilai kinerja
manajer divisi karena kemampuannya menghasilkan laba dan merangsang divisi
untuk bekerja secara bersaing.
Contoh:
Perusahaan memiliki dua departemen dalam kegiatan produksinya. Data untuk ke dua
departemen nya dapat dijelaskan pada tabel berikut:
Keterangan Departemen 1 Departemen 2
Produksi satu tahun 100.000 Produk 80.000 Produk
Harga Jual Per Unit Rp 3.000,00 Rp 6.000,00
Biaya Tetap Rp 170.000.000,00 Rp 150.000.000,00
Biaya Variabel :
a. Biaya Produksi Rp 60.000.000,00 Rp 50.000.000,00
b. Biaya Pemasaran Rp 40.000.000,00 Rp 30.000.000,00
11
Harga Tranfer Minimum = Total Penjualan - Biaya Pemasaran
= (Rp 3.000,00 x 100.000 Produk) - Rp
40.000.000,00
= Rp 300.000.000,00 - Rp 40.000.000,00
= Rp 260.000.000,00
Harga Transfer Minimum Per = Rp 260.000.000,00 : 100.000 Unit
Unit
= Rp 2.600,00
12
330.000.000,00)
Biaya Tetap (Rp 170.000.000,00) (Rp (Rp
170.000.000,00) 60.000.000,00)
Biaya Variabel :
a. Biaya Produksi (Rp 60.000.000,00) (Rp (Rp
60.000.000,00) 50.000.000,00)
b. Biaya (Rp 40.000.000,00) (Rp
Pemasaran 30.000.000,00)
LABA Rp 30.000.000,00 Rp 100.000.000,00 Rp 10.000.000,00
13
Bahan Baku Langsung (Direct Material) 6,000
Tenaga kerja Langsung (Direct Labor) 4,000
Overhead Variabel 3,000
Fixed Cost 1,000
Total 14000
Divisi A mempunyai kapasitas produksi sebanyak 60.000 unit dan saat ini
beroperasi pada kapasitas penuh. Divisi A menjual komponen hasil produksinya seharga
Rp 25,000/unit yang merupakan ongkos transport yang dapat dihindari jika dijual
internal. Divis B membeli komponen serupa dari pihak luar sebanyak 10.000 unit
dengan harga Rp 23,000/unit.
Dalam kasus ini maka :
Harga transfer maksimum adalah Rp 23.000/unit
Harga transfer minimum adalah Rp 20,000 (Rp 25,000 – ongkos transport Rp
5,000)
Selisih Rp 3,000 (Rp 23,000 – Rp 20,000) adalah rentang harga yang dapat
dinegosiasikan untuk menetapkan harga transfer internal.
Jika harga transfer hasil negosiasi adalah Rp 22,000 maka :
Divisi A akan mendapatkan keuntungan tambahan sebesar Rp 2,000/unit (Rp
22,000-Rp 20,000) atau toatal keuntungan : Rp 20,000,000 (Rp 2,000/unit x
10,000 unit)
Divisi B akan memperoleh penghematan sebesar Rp 1,000 (Rp 23,000 – Rp
22,000) , total penghematan = Rp 10,000,000 (Rp 1,000/unit x 10,000 unit)
Keuntungan bersama (joint benefit) : Rp 3,000/unit x 10,000unit = Rp
30,000,000
Setiap harga transfer akan menjadi biaya variable bagi divisi pembeli, meskipun dari
sudut pandang perusahaan secara keseluruhan, harga transfer tersebut mengandung
unsur biaya tetap dari divisi penjual JIKA manajer divisi pembeli melakukan
perencanaan laba jangka pendek usaha optimasi laba jangka pendek yang dilakukan
14
oleh divisi pembeli tidak selalu berakibat optimasi laba perusahaan secara keseluruhan
(hal ini bisa terjadi jika menggunakan harga transfer perunit.
Untuk divisi penjual yang menjual seluruh (hampir seluruh) produknya ke divisi lain
dalam perusahaan yang sama, divisi penjual disebut CAPTIVE SUPPLIER memiliki
tanggung jawab pokok pada pengendalian biaya, mutu produk dan ketepatan jadual
produksi dan TIDAK memiliki wewenang yang significant dalam bidang pemasaran
laba divisi CAPTIVE SUPPLIER sangat ditentukan oleh volume produk yang dijual
penilaian kinerja SANGAT COCOK di dasarkan atas biaya dibanding LABA
Pseudo profit center (pusat laba tidak dalam arti yang sebenarnya) karena laba divisi
penjual sangat ditentukan oleh kinerja divisi lain.
Untuk memecahkan masalah yang dihadapi Captive supplier di atas, ada dua alternative
yang dapat dipilih :
1. Memperlakukan divisi penjual sebagai pusat biaya Pjelasan di atas
2. Memilih satu dari tiga alternative harga transfer :
2.1. Beban tetap bulanan
2.2. Pembagian laba
2.3. Dua macam harga.
15
kembali produk tersebut kepada pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa atau penjualan kembali produk yang dilakukan dalam kondisi wajar;
3. Metode biaya-plus (cost plus methode / CPM) adalah metode Penentuan Harga
Transfer yang dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang
diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh
perusahaan lain dari transaksi sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa pada harga pokok penjualan yang telah sesuai dengan Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha;
4. Metode pembagian laba (profit split method / PSM) adalah metode Penentuan
Harga Transfer berbasis laba transaksional (transactional profit method) yang
dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi afiliasi yang
akan dibagi oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa tersebut
dengan menggunakan dasar yang dapat diterima secara ekonomi yang
memberikan perkiraan pembagian laba yang selayaknya akan terjadi dan akan
tercermin dari kesepakatan antar pihak-pihak yang tidak mempunyai
HubunganIstimewa;
5. Metode laba bersih transaksional (transactional net margin
method/TNMM) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan
membandingkan persentase laba bersih operasi terhadap biaya, terhadap
penjualan, terhadap aktiva, atau terhadap dasar lainnya atas transaksi antara
pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan persentase laba bersih
operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding dengan pihak lain yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa atau persentase laba bersih operasi yang
diperoleh atas transaksi sebanding yang dilakukan oleh pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa lainnya.
16