Disusun Oleh :
Gusti Ngurah Bagus Prenama Wiguna
42170149
Pembimbing Klinik :
dr. Yos Kresno Wardana, M.Sc, Sp.An
B : Breathing
Respirasi : 18x/menit
Suara nafas : Vesikuler (+/+)
Pergerakan dinding dada : Simetris
C : Circulation
Tekanan darah : 90/20 mmHg
Nadi : 160 x/menit
Saturasi : 82 %
CRT : > 2 detik
Kondisi akral : Dingin
D : Disability
Keadaan umum : Buruk
Kesadaran : Koma
GCS : E1V1M1
Pupil : Anisokor 1/3
Status Generalis
A. Kepala
✓ Ukuran Kepala : Normocepali
✓ Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), injeksi
konjungtiva (-/-), reflek pupil Anisokor, reflek cahaya (-/-)
✓ Hidung : Deformitas (-)
✓ Mulut : Sianosis (+), kering (+), luka robek bibir atas sebelah dalam (±
2 cm)
B. Leher
✓ Limfonodi tak teraba
✓ Tidak ada luka
C. Thorax
✓ Paru paru
Inspeksi : Deformitas (-), jejas (-), massa (-), otot bantu nafas(-)
Palpasi : Tidak ada ketinggalan gerak dada
Perkusi : Sonor (-/+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Wheezing (-/-), Ronki (-/-)
✓ Jantung
Inspeksi : Iktus Cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus Cordis terletak di SIC 5 midklavikula sinistra
Perkusi : Batas jantung (N)
Auskultasi : S1/S2 (+), Bising (-)
D. Abdomen
Inspeksi : Tidak ada jejas, tidak tampak adanya distensi, ascites (-)
Auskultasi : Peristaltik usus normal
Perkusi : Timpani (+)
Palpasi : Pembesaran organ (-), Massa (-)
E. Ekstremitas
Akral dingin, CRT > 2 detik
Edema (-)
Terdapat jejas pada tangan kiri
V. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah Lengkap
Darah Lengkap
Hemoglobin 15.2 (14 -18 mg/dl) Nilai Kritis : Low < 6, High
> 22
Basofil% 0.2 (0 -1 %)
Kimia Klinik
135.
nilai
90.
45.
0.
22 23 0 1 2 3 4 5 6
160.
120.
nilai
80.
40.
0.
7 9 11 13 15 17 19 21 23 1 3 5
Status Hemodinamik 25/1/2018
200
160
120
nilai
80
40
0
7 8
Terapi :
Ketorolac 30 mg : Ketorolac (30mg/mL, 1 mL ampule) Ketorolac trometamin yaitu
senyawa anti inflamasi nonsteroid ( OAINS ) yang bekerja dengan cara menghambat
biosintesis prostaglandin dengan aktivitas analgesik yang kuat.
Cefotaxime 2 x 1 mg Merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga
yang mempunyai khasiat bakterisidal dan bekerja dengan cara menghambat sintesis
mukopeptida pada dinding sel bakteri.
Manitol 4 x 125 cc Manitol merupakan 6-karbon alkohol, yang tergolong sebagai
obat diuretic osmotik. Obat ini dapat menembus sawar darah otak, mencegah edema,
dan memiliki efek diuresis. Pada pasien diberikan obat ini untuk menurunkan TIK.
Asam Tranexamat Asam Tranexamat digunakan untuk mengobati perdarahan. Asam
Tranexamat bekerja dengan memperlambat pemecahan dari bekuan darah.
Midazolam 2 mg Midazolam merupakan penghambat susunan saraf pusat golongan
benzodiazepine yang memiliki efek sedasi, anti konvulsan, dan relaksasi. Obat ini
diberikan dengan tujuan pasien yang tadinya gelisah menjadi tenang, sekaligus untuk
memasang DC.
Phenytoin + NS 100 inj 2x1 Merupakan obat anti epilepsy l (mencegah kejang),
tempat kerjanya di korterks motorik dimana aktivitas penyebaran kejang dihambat.
Dapat pula digunakan sebagai terapi pencegah kejang pada saat dilakukannya bedah
saraf.
Antrain Merupakan obat anti nyeri dan anti demam yang mengandung Natrium
Metamizole 500 mg dalam sediaan tablet ataupun injeksi (ampul). Metamizole atau
dipiron merupakan anti nyeri kuat dan anti demam, metamizoe dapat memberikan efek
dua hingga empat kali lebih efektif dibandingkan ibuprofen atau paracetamol.
Fentanyl Merupakan jenis obat opioid yang memiliki fungsi sebagai pereda rasa
sakit kuat. Obat ini bekerja dengan mengikat beberapa reseptor opioid di sistem saraf
pusat (otak dan sumsung tulang belakang) yag akan menurunkan kemampuan pasien
untuk merasakan sakit serta bereaksi terhadap rasa sakit.
Sedacum 5 mg Sedacum (Midazolam) merupakan penghambat susunan saraf pusat
golongan benzodiazepine yang memiliki efek sedasi, anti konvulsan, dan relaksasi.
Obat ini diberikan dengan tujuan pasien yang tadinya gelisah menjadi tenang, sekaligus
untuk memasang DC.
Tramus Berisi Atracurium besylate 10 mg, Atracurium adalah agent pemblok
neurimuskular yang sangat selektif kompetitip (non depolarisaasi), dengan durasi aksi
yang sedang. Bekerja dengan menghambat reseptor asetilkolin di motor end plate,
sehingga meenyebabkan terjadinya relaksasi otot.
Tinjauan Pustaka
I. Definisi
Trauma kapitis atau cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala, baik secara
langsung maupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis (gangguan
fisik, kognitif, fungsi psikososial) baik temporer atau permanen.
Trauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak, yaitu gangguan fungsi
normal otak karena trauma tumpul maupun trauma tajam (Batticaca, 2008).
Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Cedera
kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik dan
merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya (Smeltzer & Bare 2001).
II. Etiology
Menurut Muttaqin (2008) penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada
kepala meliputi trauma oleh benda atau serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek
dari kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak dan efek percepatan dan perlambatan
(akselerasi-deselerasi) pada otak.
III. Klasifikasi
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang muncul
setelah cedera kepala. Ada beberapa klasifikasi yang dipakai dalam menentukan derajat cedera
kepaka. Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagi aspek ,secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi yaitu berdasarkan
Adalah perdarahan yang terjadi pada lapisan antara tulang tengkorak dengan dura mater.
Sumber perdarahan biasanya adalah robekan arteri meningeal media. Karakteristik gejala
hematoma epidural adalah penurunan kesadaran singkat kemudian diikuti dengan perbaikan
kesadaran yang tiddak selalu mencapai level awal kembali (Interval Lusid) selama beberapa
jam. Dapat disertai dengan defisit neurologis (hemiparesis kontralateral, dilatasi pupil
ipsilateral distress pernafasan sampai kematian). Pada CT-Scan tampak lesi hiperdens
berbentuk bikonveks. Hematoma epidural dengan volume lebih dari 30 cm3, atau terdapat
midline shift pada CT-Scan > 0,5 cm merupakan indikasi dilakukannya terapi pembedahan.
Evakuasi harus dilakukan secepatnya pada pasien hematoma epidural akut dengan GCS < 9
dengan pupil anisokor.
Hematoma subdural adalah perdarahan yang terjadi antara lapisan dura dan araknoid.
Hematoma subdural memerlukan trauma dengan tenaga yang lebih besar dibandingkan dengan
trauma epidural. Adanya jejas menyebabkan jaringan otak mengalami akselerasi-deselerasi
relative terhadap jaringan dura yang stabil. Hal ini membuat vena-vena mengalami laserasi dan
terbentuklah hematoma. Gejala dapat timbul dari kompresi korteks serebri atau pergeseran
midline. Indikasi tatalaksana pembedahan pada hematoma subdural:
✓ Hematoma subdural > 1 cm pada titik yang paling tebal
✓ Midline shift lebih dari 0,5 cm
✓ Terdapat penurunan nilai GCS lebih atau sama dengan 2 antara waktu cedera sampai
masuk ke rumah sakit.
✓ Terdapat pupil asimetris atau midriasis disertai hilangnya reflex cahaya dan/atau TIK
> 20 mmHg.
✓ Evakuasi hematoma subdural dilakukan secepatnya.
Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak biasanya akibat
robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Secara klinis ditandai dengan adanya
penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai lateralisasi. Hematom intracerebral terjadi
pada 2-3% orang yang mengalami cedera kepala, dapat bersifat tunggal atau multipel, dan juga
dapat disertai kontusi otak. Meskipun paling sering terjadi pada lobus frontal atau temporal,
hematom ini juga dapat terjadi pada substansi alba dari bagian dalam hemisfer otak. Pembuluh
darah yang kecil mengalami trauma akibat cedera penetrasi atau benturan dengan tenaga yang
besar. Selanjutnya hematom intracerebral berperan seperti massa yang makin meluas, dapat
meningkatkan tekanan intrakranial, menimbulkan kompresi jaringan otak, dan menyebabkan
koma. Hematom intracerebral yang tertunda dapat terjadi dalam waktu 3-10 hari setelah
kejadian cedera kepala.
Cedera otak ini disebut difus karena secara mikroskopis tidak ditemukan adanya lesi yang
dapat menimbulkan gangguan fungsi neurologis, walaupun pada kenyataannya pasien
mengalami amnesia atau penurunan kesadaran bahkan sampai koma. Biasanya disebabkan
karena penekanan pada batang otak oleh massa yang mendesak, sehingga menyebabkan
kerusakan pada batang otak atau jaringan serebrum.
Kontusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap setelah terjadinya cedera
pada otak, menyebabkan kebingungan, sakit kepala dan rasa mengantuk yang
abnormal.Karakteristiknya adalah hilangnya kesadaran, amnesia sementara (hilangnya
memori), konfusi, disorientasi, perubahan visual, disfungsi otonom, sakit kepala, tinitus, dan
iritabilitas dengan derajat yang bervariasi, tanpa adanya abnormalitas cerebral yang bermakna
(tidak disertai adanya kerusakan patologis pada otak).
2) Kontusio Serebri
Kontusio cerebral merupakan area yang mengalami kerusakan pada parenkim otak dan dapat
menimbulkan defisit neurologis bergantung pada lokasi anatominya. Kontusi umumnya
ditemukan paling sering pada lobus frontal, khususnya pada bagian ujung dan sepanjang
permukaan orbital inferior; pada lobus temporal, khususnya pada kutub anterior dan sepanjang
permukaan inferior; dan pada daerah sambungan frontotemporal. Bagian anterior dari lobus
frontal dan temporal merupakan bagian yang rawan atau rapuh karena kontur yang kasar dari
tulang tengkorak pada regio ini. Kontusi kadang dihubungkan dengan disrupsi dari sawar darah
otak dan dapat disertai penyulit berupa perluasan dari perdarahan yang terjadi, pembentukan
edema, atau kejang. Kontusi yang besar dapat menimbulkan efek massa yang menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi otak. Hal ini mengakibatkan perubahan pada
fungsi perhatian, memori, afek, emosi, dan tingkah laku. Pada kasus yang jarang terjadi,
kontusi terjadi pada lobus parietal dan occipital. Kontusi cerebral fokal dapat bersifat
superfisial, dan hanya melibatkan girus otak. Kontusi hemoragik dapat berkumpul menjadi
hematom intrakranial konfluen yang luas. Kontusi biasanya bersifat lokal dan dihubungkan
dengan adanya perdarahan, edema, dan nekrosis. Kontusi dapat dibagi menjadi dua kelompok.
Kontusi coup lebih berat pada jaringan otak dibawah lokasi benturan dan biasanya
berhubungan dengan cedera akselerasi. Kontusi countrecoup berlokasi pada permukaan otak
yang berlawanan dengan lokasi trauma dan dihubungkan dengan cedera deselerasi. Kontusi
traumatik juga dihubungkan dengan kejadian hematom intracerebral superfisial.
Keadaan ini ditandai dengan adanya koma yang berlangsung lebih dari 6 jam. Cedera aksonal
difus menggambarkan kerusakan otak dimana terjadi disrupsi dari proyeksi akson neuronal
pada substansi alba cerebral, dan terjadi pada pasien yang mengalami kehilangan kesadaran
segera atau menjadi koma pada saat terjadinya trauma kepala. Bergantung pada tingkat
keseriusan cedera, pasien dapat mengalami cedera aksonal difus yang ringan, sedang, atau
berat. Akibat adanya perbedaan gradien akselerasi pada beberapa area di otak selama
terjadintya benturan primer, maka dapat terjadi efek kekuatan yang tersebar pada perhubungan
substansi alba dengan grissea, corpus callosum, atau batang otak. Akibat dari kekuatan ini
adalah robekan difus dari akson-akson dan pembuluh darah kecil. Cedera aksonal difus
merupakan akibat dari efek kocokan (efek inersia dari input mekanik pada kepala yang
berhubungan dengan level akselerasi dan deselerasi yang tinggi, efek gerakan kepala).
Akselerasi rotasional (gerakan memutar) merupakan mekanisme primer cedera, yang
menimbulan adanya gaya dan distorsi di dalam otak.
IV. Diagnosis
Anamnesis:
✓ Mekanisme trauma, jenis trauma apakah tembus atau tidak, waktu terjadinya trauma.
✓ Riwayat kejang, penurunan kesadaran, serta mual dan muntah.
✓ Apakah terdapat kelemahan pada salah satu sisi tubuh.
Pemeriksaan Fisik:
✓ ABC (Airway, Breathing, Circulation) dan GCS
✓ Pemeriksaan neurologis lengkap ketika pasien stabil.
o Kesadaran
o Pemeriksaan nervus kranialis: lebar pupil, rangsang cahaya, pergerakan bola
mata, Pada pasien koma respon okulosefalik dan okulovestibular dilakukan.
o Pemeriksaan fisik motorik, reflek (fisiologis dan patologis), fungsi batang otak.
✓ Pemeriksaan apakah ada:
o Otorea atau rinorea. Otorea merupakan tanda fraktur basis kranii media.
o Racoon eye: ekimosis periorbital bilateral. Racoon eye dan rhinorea merupakan
tanda fraktur basis kranii anterior.
o Battle sign: ekimosis mastoid bilateral. Battle sign merupakan tanda dari fraktur
basis kranii posterior.
Pemeriksaan Penunjang:
✓ Pemeriksaan radiologi: CT-Scan kepala tanpa kontras (pilihan). Jika tidak ada dapat
dilakukan foto polos pada posisi anteroposterior (AP), lateral atau tangensial.
✓ Pemeriksaan laboratorium: Darah lengkap, gula darah, ureum, kreatinin, analisi gas
darah, urinalisis juga dilakukan.
V. Penatalaksanaan Cedera Kepala
Penatalaksanaan Pembedahan
A. Luka Kulit kepala
Hal penting pada cedera kepala adalah mencukur rambut disekitar luka dan
mencuci bersih sebelum dilakukan penjahitan. Perdarahan pada cedera kepala
jarang mengakibatkan syok, perdarahan dapat dihentikan dengan penekanan
langsung, kauteraisasi atau ligasi pembuluh besar dan penjahitan luka
Lakukan foto X-Ray tengkorak / CT Scan
B. Fractur depresi tengkorak
Tindakan operatif apabila tebal depresi lebih besar dari ketebalan tulang di
dekatnya. CT Scan dapat menggambarkan beratnya depresi dan ada tidaknya
perdarahan di intra kranial atau adanya suatu kontusio
C. Lesi masa Intrakranial
Trepanasi dapat dilakukan apabila perdarahan intra kranial dapat mengancam jiwa
dan untuk mencegah kematian. Prosedur ini penting pada penderita yang
mengalami perburukan secara cepat dan tidak menunjukan respon yang baik
dengan terapy yang diberikan Trepanasi dilakukan pada pasien koma, tidak ada
respon pada intubasi endotracheal , hiperventilasi moderat dan pemberian manitol
VI. Prognosis
Penderita lansia mempunyai kemungkinan lebih rendah untuk pemuluhan dari cedera
kepala Penderita anak-anak memiliki daya pemulihan yang baik.
Pembahasan
1. Marshall LF. Traumatic injuries of the central nervous system. Dalam: Corey-Bloom
J. David RB, penyunting, Clinical adult neurology. Edisike-3. New York: Demos
Medical ; 2009 h. 271-80
3. Kapita Selekta Kedokteran / edisi IV, Chris Tanto…[et/al] –Ed 4.-Jakarta : Media
Aesculapius, 2014.
9. Smith, Julian., Joe J. Tjandra., Gordon J. A. Clunie., Kaye, Andrew H. 2006. Textbook
of Surgery. Wiley-Blackwell.
10. Warlow, Charles. 1991. Hand Book of Neurology. Blackwell Scientific Publication.
London.
11. Warson, James. 2010. Tentorial Herniation – Brain Herniation. Medicine Online.
12. Weissleder, R., Wittenberg, J., Harisinghani, Mukesh G., Chen, John W.
Musculoskeletal Imaging in Primer of Diagnostic Imaging, 4th Edition. Mosby
Elsevier. United States. 2007. Page 408-410
13. Affandi, Indra Gunawan. 2016. Pengelolaan Tekanan Tinggi Intrakranial. Cermin
Dunia Kedokteran Vol. 43 No.3 . Bandung. Indonesia. Page 180-184