Anda di halaman 1dari 24

REFLEKSI KASUS ANESTESI

PADA PASIEN ICU

Disusun Oleh :
Gusti Ngurah Bagus Prenama Wiguna
42170149

Pembimbing Klinik :
dr. Yos Kresno Wardana, M.Sc, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESI RUMAH SAKIT EMANUEL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2018
I. Identitas Pasien
Nama Pasien : Sdr. A. N
Nomor RM : 005087XX
Tanggal lahir : 01 Juli 2001
Usia : 21 Tahun
Alamat : Gemuruh 11/3, Banjarnegara
Tanggal masuk : 23 Januari 2018

II. Status Umum


Keadaan umum : Buruk
Kesadaran : Koma
Tinggi badan : 166 cm
Berat badan :-
Status Gizi :-

III. Masuk Icu


Tanggal masuk : 23 Januari 2018
Tanggal keluar : 25 Januari 2018
Keluhan utama : Penurunan Kesadaran
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien jatuh dari motor, datang ke IGD dengan keadaan tidak sadar. Tidak
jelas kronologis kejadiannya.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Penurunan kesadaran pasca KLL, pasien menabrak truk, didaptkan luka
lecet di dahi dan palpebra kiri, krepitasi lengan kiri, hematom mata kiri,
lecet tangan kanan, krepitasi rahang bawah, luka robek bibir atas sebelah
dalam (± 2 cm)
Riwayat Alergi :
(-)
Riwayat penyakit keluarga :
(-)
IV. Pemeriksaan Fisik
A : Airway
Perlu menggunakan alat bantu napas
Ventilator SCMV +

B : Breathing
Respirasi : 18x/menit
Suara nafas : Vesikuler (+/+)
Pergerakan dinding dada : Simetris

C : Circulation
Tekanan darah : 90/20 mmHg
Nadi : 160 x/menit
Saturasi : 82 %
CRT : > 2 detik
Kondisi akral : Dingin

D : Disability
Keadaan umum : Buruk
Kesadaran : Koma
GCS : E1V1M1
Pupil : Anisokor 1/3

Status Generalis
A. Kepala
✓ Ukuran Kepala : Normocepali
✓ Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), injeksi
konjungtiva (-/-), reflek pupil Anisokor, reflek cahaya (-/-)
✓ Hidung : Deformitas (-)
✓ Mulut : Sianosis (+), kering (+), luka robek bibir atas sebelah dalam (±
2 cm)
B. Leher
✓ Limfonodi tak teraba
✓ Tidak ada luka
C. Thorax
✓ Paru paru
 Inspeksi : Deformitas (-), jejas (-), massa (-), otot bantu nafas(-)
 Palpasi : Tidak ada ketinggalan gerak dada
 Perkusi : Sonor (-/+)
 Auskultasi : Vesikuler (+/+), Wheezing (-/-), Ronki (-/-)
✓ Jantung
 Inspeksi : Iktus Cordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus Cordis terletak di SIC 5 midklavikula sinistra
 Perkusi : Batas jantung (N)
 Auskultasi : S1/S2 (+), Bising (-)
D. Abdomen
 Inspeksi : Tidak ada jejas, tidak tampak adanya distensi, ascites (-)
 Auskultasi : Peristaltik usus normal
 Perkusi : Timpani (+)
 Palpasi : Pembesaran organ (-), Massa (-)
E. Ekstremitas
 Akral dingin, CRT > 2 detik
 Edema (-)
 Terdapat jejas pada tangan kiri

V. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah Lengkap

Pemeriksaan Hasil Nulai Rujukan Keterangan

Darah Lengkap

Hemoglobin 15.2 (14 -18 mg/dl) Nilai Kritis : Low < 6, High
> 22

Leukosit 26.66 (4.8 – 10.8 Nilai kritis : Low < 2.0,


(H) ribu/mm3) High > 30.0

Eritrosit 4.69 (L) (4.7 - 6.1 juta/mm3)


Hematokrit 41.4 (L) (42 – 52 %) Nilai kritis : Low < 25,
High > 60

MCV 88.3 (79.0-99.0 Fl)

MCH 32.4 (H) (27.0-31.0 pg)

MCHC 36.7 (33.0 – 37.0 d/dl)

PDW 39.3 (35-47 Fl)

Trombosit 320 150-450 ribu

PDW 10.1 (9.0-13.0 fL) Nilai kritis : Low : < 50,


High > 1000

P-LCR 17.4 (15.0-25.0 %)

MPV 8.9 (7.2 -11.1 fL)

Neutrofil Segmen% 81.4 (H) (50 -70 %)

Eosinofil 0.1 (L) (2 -4 %)

Basofil% 0.2 (0 -1 %)

Limfosit% 10 (L) (25-40 %)

Monosit% 8.3 (H) (2-8 %)

Waktu Protrombin 13.2 (11-15 detik) Nilai Kritis High > 50

APTT 31.0 (25-35 detik) Standar

Kimia Klinik

Glukosa Sewaktu 152 (H) (70-115 mg/dl)

Rontgen Humerus Sinistra


Pemeriksaan Penujang CT-Scan Kepala

Diagnosis Dan Terapi


Diagnosis Kerja : EDH, Edema Cerebri, Gagal Nafas, Syok Neurogenik, Fraktur
Humerus Sinistra
Terapi : Pada pasien dengan cedera kranioserebral terapi ditujukan untuk
mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta mencegah
kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intracranial, encegah dan
mengobati edema otak, minimalisasi kerusakan sekunder, mengobati
symptom akibat trauma otak, mencegah dan mengobati komplikasi
trauma otak, misalnya kejang, infeksi.
Terapi oksigen : Ventilator SCMV +
Pemasangan infus : (+) Tangan Kanan
Lain-lain : DC (+), NGT (+), Spalk (+)
Monitoring Keadaan Pasien di ICU
Status Hemodinamik 23/1/2018
180.

135.
nilai

90.

45.

0.
22 23 0 1 2 3 4 5 6

Status Hemodinamik 24/1/2018


200.

160.

120.
nilai

80.

40.

0.
7 9 11 13 15 17 19 21 23 1 3 5
Status Hemodinamik 25/1/2018
200

160

120
nilai

80

40

0
7 8

Terapi :
 Ketorolac 30 mg : Ketorolac (30mg/mL, 1 mL ampule) Ketorolac trometamin yaitu
senyawa anti inflamasi nonsteroid ( OAINS ) yang bekerja dengan cara menghambat
biosintesis prostaglandin dengan aktivitas analgesik yang kuat.
 Cefotaxime 2 x 1 mg  Merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga
yang mempunyai khasiat bakterisidal dan bekerja dengan cara menghambat sintesis
mukopeptida pada dinding sel bakteri.
 Manitol 4 x 125 cc  Manitol merupakan 6-karbon alkohol, yang tergolong sebagai
obat diuretic osmotik. Obat ini dapat menembus sawar darah otak, mencegah edema,
dan memiliki efek diuresis. Pada pasien diberikan obat ini untuk menurunkan TIK.
 Asam Tranexamat  Asam Tranexamat digunakan untuk mengobati perdarahan. Asam
Tranexamat bekerja dengan memperlambat pemecahan dari bekuan darah.
 Midazolam 2 mg  Midazolam merupakan penghambat susunan saraf pusat golongan
benzodiazepine yang memiliki efek sedasi, anti konvulsan, dan relaksasi. Obat ini
diberikan dengan tujuan pasien yang tadinya gelisah menjadi tenang, sekaligus untuk
memasang DC.
 Phenytoin + NS 100 inj 2x1  Merupakan obat anti epilepsy l (mencegah kejang),
tempat kerjanya di korterks motorik dimana aktivitas penyebaran kejang dihambat.
Dapat pula digunakan sebagai terapi pencegah kejang pada saat dilakukannya bedah
saraf.
 Antrain  Merupakan obat anti nyeri dan anti demam yang mengandung Natrium
Metamizole 500 mg dalam sediaan tablet ataupun injeksi (ampul). Metamizole atau
dipiron merupakan anti nyeri kuat dan anti demam, metamizoe dapat memberikan efek
dua hingga empat kali lebih efektif dibandingkan ibuprofen atau paracetamol.
 Fentanyl  Merupakan jenis obat opioid yang memiliki fungsi sebagai pereda rasa
sakit kuat. Obat ini bekerja dengan mengikat beberapa reseptor opioid di sistem saraf
pusat (otak dan sumsung tulang belakang) yag akan menurunkan kemampuan pasien
untuk merasakan sakit serta bereaksi terhadap rasa sakit.
 Sedacum 5 mg  Sedacum (Midazolam) merupakan penghambat susunan saraf pusat
golongan benzodiazepine yang memiliki efek sedasi, anti konvulsan, dan relaksasi.
Obat ini diberikan dengan tujuan pasien yang tadinya gelisah menjadi tenang, sekaligus
untuk memasang DC.
 Tramus  Berisi Atracurium besylate 10 mg, Atracurium adalah agent pemblok
neurimuskular yang sangat selektif kompetitip (non depolarisaasi), dengan durasi aksi
yang sedang. Bekerja dengan menghambat reseptor asetilkolin di motor end plate,
sehingga meenyebabkan terjadinya relaksasi otot.
Tinjauan Pustaka
I. Definisi
Trauma kapitis atau cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala, baik secara
langsung maupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis (gangguan
fisik, kognitif, fungsi psikososial) baik temporer atau permanen.
Trauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak, yaitu gangguan fungsi
normal otak karena trauma tumpul maupun trauma tajam (Batticaca, 2008).
Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Cedera
kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik dan
merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya (Smeltzer & Bare 2001).

II. Etiology
Menurut Muttaqin (2008) penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada
kepala meliputi trauma oleh benda atau serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek
dari kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak dan efek percepatan dan perlambatan
(akselerasi-deselerasi) pada otak.

III. Klasifikasi
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang muncul
setelah cedera kepala. Ada beberapa klasifikasi yang dipakai dalam menentukan derajat cedera
kepaka. Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagi aspek ,secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi yaitu berdasarkan

1. Mekanisme Cedera kepala


Berdasarkan mekanisme, cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera
kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-motor,
jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan.
Adanya penetrasi selaput durameter menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus
atau cedera tumpul.

a) Trauma kepala nonpenetrasi


Trauma kepala nonpenetrasi atau trauma kepala tertutup, merupakan akibat dari
cedera tumpul. Tidak ada penetrasi benda asing pada dura (dura masih intak),
meskipun dapat terjadi laserasi dura akibat terjadinya fraktur tulang tengkorak,
dan jaringan otak tidak terpapar dengan lingkungan luar. Trauma tumpul lebih
sering terjadi dan meliputi benturan kepala pada permukaan yang keras, atau
objek berkecepatan tinggi yang mengenai kepala. Trauma tumpul dapat
mengakibatkan komosio/ gagar otak, kontusio, epidural hematoma, subdural
hematoma.

b) Trauma kepala penetrasi


Saat terjadi penetrasi pada dura, maka akan menimbulkan paparan dari isi
tengkorak pada lingkungan luar, dimana terjadi trauma terbuka, yang
mengakibatkan cedera otak fokal. Cedera kepala penetrasi dihubungkan dengan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Cedera kepala penetrasi dapat disebabkan oleh mekanisme trauma yang
berbeda. Trauma dapat disebabkan oleh proyektil yang memiliki kecepatan
tinggi atau rendah. Cedera lainnya dapat meliputi luka tusukan, cedera akibat
terkena panah, cedera senjata di industri dan cedera akibat penggunaan mesin
bor. Pada cedera otak yang disebabkan oleh objek dengan kecepatan rendah,
kerusakan hanya terbatas pada adanya disrupsi jaringan secara langsung.
Kadang-kadang tidak terjadi hilangnya kesadaran. Baik cedera penetrasi dengan
kecepatan tinggi maupun rendah dapat menyebabkan disrupsi dari kulit, tulang
tengkorak, dan selaput otak, sehingga dapat memudahkan kontaminasi cairan
cerebrospinal atau otak dengan mikroorganisme infektif.

2. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (GCS):


Glascow coma scale ( GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan
neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala

a. Cedera Kepala Ringan (CKR).


GCS 13– 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran ( pingsan ) kurang dari 30
menit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak
ada kontusio cerebral maupun hematoma
b. Cedera Kepala Sedang (CKS)
GCS 9 –12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30 menit
tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi
amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau
hematoma intracranial.

3. Klasifikasi Cedera kepala menurut patofisiologinya

Cedera Otak Fokal

1) Perdarahan Epidura (Epidural Hematoma)

Adalah perdarahan yang terjadi pada lapisan antara tulang tengkorak dengan dura mater.
Sumber perdarahan biasanya adalah robekan arteri meningeal media. Karakteristik gejala
hematoma epidural adalah penurunan kesadaran singkat kemudian diikuti dengan perbaikan
kesadaran yang tiddak selalu mencapai level awal kembali (Interval Lusid) selama beberapa
jam. Dapat disertai dengan defisit neurologis (hemiparesis kontralateral, dilatasi pupil
ipsilateral distress pernafasan sampai kematian). Pada CT-Scan tampak lesi hiperdens
berbentuk bikonveks. Hematoma epidural dengan volume lebih dari 30 cm3, atau terdapat
midline shift pada CT-Scan > 0,5 cm merupakan indikasi dilakukannya terapi pembedahan.
Evakuasi harus dilakukan secepatnya pada pasien hematoma epidural akut dengan GCS < 9
dengan pupil anisokor.

2) Perdarahan Subdura (Subdural Hematoma)

Hematoma subdural adalah perdarahan yang terjadi antara lapisan dura dan araknoid.
Hematoma subdural memerlukan trauma dengan tenaga yang lebih besar dibandingkan dengan
trauma epidural. Adanya jejas menyebabkan jaringan otak mengalami akselerasi-deselerasi
relative terhadap jaringan dura yang stabil. Hal ini membuat vena-vena mengalami laserasi dan
terbentuklah hematoma. Gejala dapat timbul dari kompresi korteks serebri atau pergeseran
midline. Indikasi tatalaksana pembedahan pada hematoma subdural:
✓ Hematoma subdural > 1 cm pada titik yang paling tebal
✓ Midline shift lebih dari 0,5 cm
✓ Terdapat penurunan nilai GCS lebih atau sama dengan 2 antara waktu cedera sampai
masuk ke rumah sakit.
✓ Terdapat pupil asimetris atau midriasis disertai hilangnya reflex cahaya dan/atau TIK
> 20 mmHg.
✓ Evakuasi hematoma subdural dilakukan secepatnya.

3) Perdarahan subarachnoid Hematom subarachnoid


Pendarahan yang terjadi pada ruang amchnoid yakni antara lapisan amchnoid dengan
duramater. Seringkali terjadi karena adanya vena yang ada di daerah tersebut terluka. Sering
kali bersifat kronik. Perdarahan subarachnoid paling sering disebabkan oleh trauma cerebral.
Perdarahan subarachnoid sendiri biasanya tidak menyebabkan kerusakan neurologik, tetapi
hidrocephalus dan vasospasme cerebral, yang merupakan komplikasi lambat biasanya terlihat
beberapa hari atau minggu setelah terjadinya perdarahan. Terdapat bukti yang menunjukkan
bahwa perdarahan subarachnoid akibat trauma dapat menyebabkan vasospasme cerebral yang
signifikan yang dapat diukur melalui peningkatan kecepatan aliran pada evaluasi Doppler
transkranial. Perdarahan subarachnoid traumatik cenderung terdistribusi pada konveksitas
otak, dan juga dapat terjadi pada basal, intrasilvial, dan intraventrikular.

4) Perdarahan Intraserebri (Intraserebral Hematoma)

Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak biasanya akibat
robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Secara klinis ditandai dengan adanya
penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai lateralisasi. Hematom intracerebral terjadi
pada 2-3% orang yang mengalami cedera kepala, dapat bersifat tunggal atau multipel, dan juga
dapat disertai kontusi otak. Meskipun paling sering terjadi pada lobus frontal atau temporal,
hematom ini juga dapat terjadi pada substansi alba dari bagian dalam hemisfer otak. Pembuluh
darah yang kecil mengalami trauma akibat cedera penetrasi atau benturan dengan tenaga yang
besar. Selanjutnya hematom intracerebral berperan seperti massa yang makin meluas, dapat
meningkatkan tekanan intrakranial, menimbulkan kompresi jaringan otak, dan menyebabkan
koma. Hematom intracerebral yang tertunda dapat terjadi dalam waktu 3-10 hari setelah
kejadian cedera kepala.

Intraventricular hemorage adalah salah satu perdarahan intraserebral. Definisi primary


Intraventricular hemorrhage (PIVH) dikemukakan pertama kali oleh Sanders, pada tahun
1881,yaitu terdapatnya darah hanya dalam sistem ventrikuler, tanpaadanya ruptur atau laserasi
dinding ventrikel. Disebutkanpula bahwa PIVH merupakan perdarahan intraserebral
nontraumatik yang terbatas pada sistem ventrikel.

Cedera Otak Difus

Cedera otak ini disebut difus karena secara mikroskopis tidak ditemukan adanya lesi yang
dapat menimbulkan gangguan fungsi neurologis, walaupun pada kenyataannya pasien
mengalami amnesia atau penurunan kesadaran bahkan sampai koma. Biasanya disebabkan
karena penekanan pada batang otak oleh massa yang mendesak, sehingga menyebabkan
kerusakan pada batang otak atau jaringan serebrum.

1)Kontusio atau Gagar Otak

Kontusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap setelah terjadinya cedera
pada otak, menyebabkan kebingungan, sakit kepala dan rasa mengantuk yang
abnormal.Karakteristiknya adalah hilangnya kesadaran, amnesia sementara (hilangnya
memori), konfusi, disorientasi, perubahan visual, disfungsi otonom, sakit kepala, tinitus, dan
iritabilitas dengan derajat yang bervariasi, tanpa adanya abnormalitas cerebral yang bermakna
(tidak disertai adanya kerusakan patologis pada otak).

2) Kontusio Serebri

Kontusio cerebral merupakan area yang mengalami kerusakan pada parenkim otak dan dapat
menimbulkan defisit neurologis bergantung pada lokasi anatominya. Kontusi umumnya
ditemukan paling sering pada lobus frontal, khususnya pada bagian ujung dan sepanjang
permukaan orbital inferior; pada lobus temporal, khususnya pada kutub anterior dan sepanjang
permukaan inferior; dan pada daerah sambungan frontotemporal. Bagian anterior dari lobus
frontal dan temporal merupakan bagian yang rawan atau rapuh karena kontur yang kasar dari
tulang tengkorak pada regio ini. Kontusi kadang dihubungkan dengan disrupsi dari sawar darah
otak dan dapat disertai penyulit berupa perluasan dari perdarahan yang terjadi, pembentukan
edema, atau kejang. Kontusi yang besar dapat menimbulkan efek massa yang menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi otak. Hal ini mengakibatkan perubahan pada
fungsi perhatian, memori, afek, emosi, dan tingkah laku. Pada kasus yang jarang terjadi,
kontusi terjadi pada lobus parietal dan occipital. Kontusi cerebral fokal dapat bersifat
superfisial, dan hanya melibatkan girus otak. Kontusi hemoragik dapat berkumpul menjadi
hematom intrakranial konfluen yang luas. Kontusi biasanya bersifat lokal dan dihubungkan
dengan adanya perdarahan, edema, dan nekrosis. Kontusi dapat dibagi menjadi dua kelompok.
Kontusi coup lebih berat pada jaringan otak dibawah lokasi benturan dan biasanya
berhubungan dengan cedera akselerasi. Kontusi countrecoup berlokasi pada permukaan otak
yang berlawanan dengan lokasi trauma dan dihubungkan dengan cedera deselerasi. Kontusi
traumatik juga dihubungkan dengan kejadian hematom intracerebral superfisial.

3)Cedera Aksen Difus

Keadaan ini ditandai dengan adanya koma yang berlangsung lebih dari 6 jam. Cedera aksonal
difus menggambarkan kerusakan otak dimana terjadi disrupsi dari proyeksi akson neuronal
pada substansi alba cerebral, dan terjadi pada pasien yang mengalami kehilangan kesadaran
segera atau menjadi koma pada saat terjadinya trauma kepala. Bergantung pada tingkat
keseriusan cedera, pasien dapat mengalami cedera aksonal difus yang ringan, sedang, atau
berat. Akibat adanya perbedaan gradien akselerasi pada beberapa area di otak selama
terjadintya benturan primer, maka dapat terjadi efek kekuatan yang tersebar pada perhubungan
substansi alba dengan grissea, corpus callosum, atau batang otak. Akibat dari kekuatan ini
adalah robekan difus dari akson-akson dan pembuluh darah kecil. Cedera aksonal difus
merupakan akibat dari efek kocokan (efek inersia dari input mekanik pada kepala yang
berhubungan dengan level akselerasi dan deselerasi yang tinggi, efek gerakan kepala).
Akselerasi rotasional (gerakan memutar) merupakan mekanisme primer cedera, yang
menimbulan adanya gaya dan distorsi di dalam otak.

IV. Diagnosis
Anamnesis:
✓ Mekanisme trauma, jenis trauma apakah tembus atau tidak, waktu terjadinya trauma.
✓ Riwayat kejang, penurunan kesadaran, serta mual dan muntah.
✓ Apakah terdapat kelemahan pada salah satu sisi tubuh.
Pemeriksaan Fisik:
✓ ABC (Airway, Breathing, Circulation) dan GCS
✓ Pemeriksaan neurologis lengkap ketika pasien stabil.
o Kesadaran
o Pemeriksaan nervus kranialis: lebar pupil, rangsang cahaya, pergerakan bola
mata, Pada pasien koma respon okulosefalik dan okulovestibular dilakukan.
o Pemeriksaan fisik motorik, reflek (fisiologis dan patologis), fungsi batang otak.
✓ Pemeriksaan apakah ada:
o Otorea atau rinorea. Otorea merupakan tanda fraktur basis kranii media.
o Racoon eye: ekimosis periorbital bilateral. Racoon eye dan rhinorea merupakan
tanda fraktur basis kranii anterior.
o Battle sign: ekimosis mastoid bilateral. Battle sign merupakan tanda dari fraktur
basis kranii posterior.
Pemeriksaan Penunjang:
✓ Pemeriksaan radiologi: CT-Scan kepala tanpa kontras (pilihan). Jika tidak ada dapat
dilakukan foto polos pada posisi anteroposterior (AP), lateral atau tangensial.
✓ Pemeriksaan laboratorium: Darah lengkap, gula darah, ureum, kreatinin, analisi gas
darah, urinalisis juga dilakukan.
V. Penatalaksanaan Cedera Kepala

Tatalaksana awal (di Ruang Gawat Darurat)


1. Survey Primer, untuk menstabilkan mondisi pasien:
a. Airway (Jalan Nafas)
o Pastikan tidak ada benda asing atau cairan yang menghalangi jalan
nafas.
o Lakukan intubasi jika diperlukan (awas cedera servikal)
b. Breathing (pernapasan) : Berikan O2 dengan target saturasi O2 > 92%
c. Circulation: Pasang jalur intravena dan infuse NaCl ),9% atau RL. Hindari
cairan hipotonis. Pertahankan tekanan darah sistolik > 90 mmHg.
2. Survey Sekunder, dilakukan setelah pasien stabil:
a. Pemeriksaan laboratorium dan radiologi
b. Penentuan apakah pasien harus menjalani operasi, di ruang rawat intensif, ruang
rawat biasa, atau boleh rawat jalan.
Tatalaksana Di Ruang Rawat
1. Penurunan tekanan intrakranisal
a. Posisi kepala ditinggikan 300
b. Pemberian Manitol 20%
o Dosis awal 1gr/KgBB diberikan dalam 20-30 menit, diberikan secara
drip cepat.
o Dosis lanjutan diberikan 6 jam setelah dosis awal. Berikan 0,5gr/KgBB
drip cepat selama 20-30 menit bila diperlukan.
c. Diuretik digunakan asetazolamid atau furosemid yang akan menekan produksi
CSS (Cairan Serebrospinal). Asetazolamid merupakan inhibitor karbonik
anhidrase yang diketahui dapat mengurangi pembentukkan cairan serebrospinal
di dalam ventrikel sampai 50%. Hasil lebih baik dengan Asetazolamid 125-500
mg/hari dikombinasikan dengan furosemid 0,5-1 mg/KgBB/hari atau 20-40 mg
intravena setiap 4-6 jam.
d. Steroid
Mekanismenya masih belum jelas. Steroid dikatakan mengurangi produksi CSS
dan mempunyai efek langsung pada sel endotel. Deksametason dapat diberikan
dengan dosis 10 mg intravena atau 4 mg/oral 4 kali sehari. Prednison dan
metilprednisolon bisa diberikan dengan dosis 20-80 mg/hari.
e. Hiperventilasi
Merupakan salah satu cara efektif untuk mengontrol tekanan intracranial dalam
24 jam pertama. Target PaCO2 harus diturunkan menjadi 26-30 mmHg untuk
menghasilkan dilatasi serebral maksimal. Hal ini bermanfaat karena daerah-
daerah iskemik akan berfungsi baik. Bila PaCO2 kurang dari 20 mmHg, aliran
darah akan makin turun sehingga oksigen di otak tidak cukup tersedia. Iskemik
serebral akibat TIK bisa pulih namun diganti oleh iskemik serebral karena
vasokonstriksi pembuluh darah serebri.
f. Terapi Hipotermi
Penurunan suhu tubuh sampai 30-340 C akan menurunkan tekanan darah dan
metabolisme otak, mencegah dan mengurangi edema otak, serta menurunkan
tekanan intracranial sampai hampir 50%. Hipotermi beresiko aritmia dan
fibrilasi ventrikel (bila suhu dibawah 300 C), hipervsikositas, stress ulcer dan
daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun.
g. Tindakan bedah
Tergantung penyebabnya, perlu dipertimbangkan tindakan dekompresi berupa
kraniotomi atau shunting.
2. Atasi Komplikasi
a. Kejang: Profilaksis dengan obat anti-epilepsi selama 7 hari diberikan pada
kasus fraktur impresi lebih dari 2 diplo
b. Infeksi: antibiotic profilaksis pada fraktur basis kranii, fraktur terbuka, atau
pneumoensefal. Dosis sesuai dengan yang diberikan pada infeksi intracranial
c. Perdarahan saluran cerna dan gangguan saluran gastrointestinal: berikan
antiemetic, antasida, penghambat pompa proton, dll bila diindikasikan.
d. Demam (jaga temperature tubuh <380 C )
e. Koagulasi intravascular deseminata: berikan antikoagulan
3. Cairan dan nutrisi yang adekuat.
Tatalaksana Pasien Cedera Kepala Ringan (Skor Skala Koma Glasgow 15 Tanpa Defisit
Neurologis)
1. Pasien dirawat 2x24 jam, apabila terdapat indikasi berikut:
a. Ada gangguan orientasi waktu atau tempat
b. Sakit kepala dan muntah
c. Tidak ada pengawas di rumah
d. Letak rumah jauh dan sulit untuk kembali ke rumah sakit
2. Posisi kepala ditinggikan 300
3. Perawatan luka-luka
4. Pemberian obat-obatan simtomatik seperti analgesic, anti-emetik, dll jika diperlukan
5. Apabila pasien mengalami sakit kepala yang semakin berat, muntah proyektil, atau
cenderung semakin mengantuk, keluarga dianjurkan untuk mebawa pasien ke rumah
sakit.
Untuk kasus cedera kepala berat, pasien dirawat di ruang rawat intesif.

Indikasi Pasien Masuk Intensive Care Unit (ICU)


Sifat ruang ICU adalah untuk pasien yang masih bisa diharapkan kesembuhannya
sehingga terdapat prioritas pasien yang boleh masuk ICU. Ada 3 prioritas pasien yang boleh
masuk ke ICU yaitu:
1. Prioritas I
Pasien kritis dan tidak stabil memerlukan tindakan terapi intensif dan agresif untuk
mengatasinya, seperti bantuan ventilasi, infuss obat-obatan vasoaktif dan lain-lain.
Pada pasien seperti ini, tidak dibatasi (do everything). Contoh kasusnya adalah pasien
dengan edema paru, status konvulsi, dan syok sepsis.
2. Prioritas II
Pada saat masuk, pasien golongan ini tidak dalam keadaan kritis, tetapi kondisi
klinisnya membutuhkan pemantauan intensif, baik secara invasive maupun non
invasive, atau keadaan-keadaan yang dapat menimbulkan gangguan pada sistem organ
vital. Pada pasien seperti ini terapi juga tidak dbatasi.
✓ Pascabedah ekstensif
✓ Pasca henti jantung dalam keadaan stabil
✓ Pascabedah jantung
3. Prioritas III
Pasien prioritas ini adalah pasien yang dalam keadaan kritis dengan harapan kecil untuk
sembuh. Pasien kelompok ini memerlukan terapi intensif yang terbatas untuk mengatasi
penyakit, tetapi tidak dilakukan terapi invasive seperti intubasi dan resusitasi (do
something). Contohnya: Pasien dengan metastasis keganasan serta penyakit jantung
dan paru terminal yang disertai komplikasi akut.
Pasien-pasien dibawah ini tidak memerlukan perawatan di ICU:
 Pasien mati batang otak (MBO), kecuali donor organ
 Pasien koma dengan keadaan vegetative yang permanen
 Pasien dalam stadium akhir (end-stage) dari suatu penyakit
 Pasien yang menolak pemberian terapi bantuan hidup

Terapy Medikamentosa Untuk Trauma Kepala


Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder
terhadap otak yang telah mengalami cedera
A. Cairan Intravena
▪ Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar
tetap normovolemik
▪ Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih
▪ Penggunaan cairan yang mengandung glucosa dapat menyebabkan
hyperglikemia yang berakibat buruk pada otak yangn cedera
▪ Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl o,9 % atau Rl
▪ Kadar Natrium harus dipertahankan dalam batas normal, keadaan
hyponatremia menimbulkan odema otak dan harus dicegah dan diobati
secara agresig
B. Hyperventilasi
Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, Hiperventilasi dapat
menurunkan PCo2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak,
Hiperventilasi yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak
menurun. Pertahankan level PCo2 pada 25 – 30 mmHg bila TIK tinggi.
C. Manitol
Dosis 1 gram/kg BB bolus IV, indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya
pupilnya normal, kemudian terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis.
Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan
memperberat hypovolemia

Penatalaksanaan Pembedahan
A. Luka Kulit kepala
Hal penting pada cedera kepala adalah mencukur rambut disekitar luka dan
mencuci bersih sebelum dilakukan penjahitan. Perdarahan pada cedera kepala
jarang mengakibatkan syok, perdarahan dapat dihentikan dengan penekanan
langsung, kauteraisasi atau ligasi pembuluh besar dan penjahitan luka
Lakukan foto X-Ray tengkorak / CT Scan
B. Fractur depresi tengkorak
Tindakan operatif apabila tebal depresi lebih besar dari ketebalan tulang di
dekatnya. CT Scan dapat menggambarkan beratnya depresi dan ada tidaknya
perdarahan di intra kranial atau adanya suatu kontusio
C. Lesi masa Intrakranial
Trepanasi dapat dilakukan apabila perdarahan intra kranial dapat mengancam jiwa
dan untuk mencegah kematian. Prosedur ini penting pada penderita yang
mengalami perburukan secara cepat dan tidak menunjukan respon yang baik
dengan terapy yang diberikan Trepanasi dilakukan pada pasien koma, tidak ada
respon pada intubasi endotracheal , hiperventilasi moderat dan pemberian manitol

VI. Prognosis
Penderita lansia mempunyai kemungkinan lebih rendah untuk pemuluhan dari cedera
kepala Penderita anak-anak memiliki daya pemulihan yang baik.
Pembahasan

Pasien berusia 21 tahun datang ke IGD RS Emanuel dengan kondisi penurunan


kesadaran. Pasien mengalami kecelakaan lalu lintas yaitu menabrak truk yang sedang berhenti.
Pasien ditemukan dalam keadaan tidak sadarkan diri. Pada pemeriksaan di IGD didapatkan
kesadaran somnolen, dengan GCS E4 V2 M6. Vital sign: tekanan darah 139/91, Nadi 114, RR
26x/menit, Suhu 36,oC, pupil anisokor. Setelah beberapa saat di IGD pasien mengalami
penurunan kesadaran yang semakin berat hingga koma yaitu dengan GCS E1 V1 M1 ketika
masuk ICU . Didapatkan pula luka lecet di dahi dan palpebra kiri, krepitasi lengan kiri,
hematom mata kiri, lecet tangan kanan, krepitasi rahang bawah, luka robek bibir atas sebelah
dalam (± 2 cm). Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien sudah dapat didiagnosis
mengalami Cedera Kepala Berat dan Suspek Fraktur Humerus Sinistra. Kemudian dilakukan
pemeriksaan rontgen pada bagian humerus sinistra, dan pemeriksaan CT-Scan Kepala.
Berdasarkan hasil rontgen humerus didapatkan adanya fraktur pada humerus sinistra pasien,
kemudian dari hasil CT-Scan Kepala didapatkan adanya perdarahan di bagian Epidural dan
terdapat pula herniasi pada bagian otak yang mengalami perdarahan.
Pasien diputuskan dokter untuk dirawat di ICU. Pasien masuk kriteria Prioritas I untuk
masuk ICU. Kriteria Prioritas I adalah pasien dalam keadaan kritis yang membutuhkan
peralatan ICU untuk mempertahankan hidupnya. Sesuai kondisi pasien dimana mengalami
cedera kepala berat dengan fraktur humerus. Pasien pada kelompok ini memerlukan terapi
intensif yang terbatas untuk mengatasi penyakit kritisnya. Selama di ICU pasien dimonitoring
kondisi hemodinamika yakni tekanan darah, respirasi rate, nadi, suhu dan saturasi O2 serta
pengaturan balance cairan. Terapi obat obatan yang digunakan antara lain:
 Ketorolac 30 mg : Ketorolac (30mg/mL, 1 mL ampul) Ketorolac trometamin yaitu
senyawa anti inflamasi nonsteroid ( AINS ) yang bekerja dengan cara menghambat
biosintesis prostaglandin dengan aktivitas analgesik yang kuat.
 Cefotaxime 2 x 1 mg  Merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga
yang mempunyai khasiat bakterisidal dan bekerja dengan cara menghambat sintesis
mukopeptida pada dinding sel bakteri.
 Manitol 4 x 125 cc  Manitol merupakan 6-karbon alkohol, yang tergolong sebagai
obat diuretic osmotik. Obat ini dapat menembus sawar darah otak, mencegah edema,
dan memiliki efek diuresis. Pada pasien diberikan obat ini untuk menurunkan TIK.
 Asam Tranexamat  Asam Tranexamat digunakan untuk mengobati perdarahan. Asam
Tranexamat bekerja dengan memperlambat pemecahan dari bekuan darah.
 Midazolam 2 mg  Midazolam merupakan penghambat susunan saraf pusat golongan
benzodiazepine yang memiliki efek sedasi, anti konvulsan, dan relaksasi. Obat ini
diberikan dengan tujuan pasien yang tadinya gelisah menjadi tenang, sekaligus untuk
memasang DC.
 Phenytoin + NS 100 inj 2x1  Merupakan obat anti epilepsy l (mencegah kejang),
tempat kerjanya di korterks motorik dimana aktivitas penyebaran kejang dihambat.
Dapat pula digunakan sebagai terapi pencegah kejang pada saat dialkukannya bedah
saraf.
 Antrain  Merupakan obat anti nyeri dan anti demam yang mengandung Natrium
Metamizole 500 mg dalam sediaan tablet ataupun injeksi (ampul). Metamizole atau
dipiron merupakan anti nyeri kuat dan anti demam, metamizoe dapat memberikan efek
dua hingga empat kali lebih efektif dibandingkan ibuprofen atau paracetamol.
 Fentanyl  Merupakan jenis obat opioid yang memiliki fungsi sebagai pereda rasa
sakit kuat. Obat ini bekerja dengan mengikat beberapa reseptor opioid di sistem saraf
pusat (otak dan sumsung tulang belakang) yag akan menurunkan kemampuan pasien
untuk merasakan sakit serta bereaksi terhadap rasa sakit.
 Sedacum 5 mg  Sedacum (Midazolam) merupakan penghambat susunan saraf pusat
golongan benzodiazepine yang memiliki efek sedasi, anti konvulsan, dan relaksasi.
Obat ini diberikan dengan tujuan pasien yang tadinya gelisah menjadi tenang, sekaligus
untuk memasang DC.
 Tramus  Berisi Atracurium besylate 10 mg, Atracurium adalah agent pemblok
neuromuskular yang sangat selektif kompetitip (non depolarisaasi), dengan durasi aksi
yang sedang. Bekerja dengan menghambat reseptor asetilkolin di motor end plate,
sehingga menyebabkan terjadinya relaksasi otot.
Pada Cedera Kepala Berat yang disertai dengan peningkatan TIK dan herniasi otak, perlu
diawasi sistem pernafasan, kardiovaskuler serta status neurulogi pasien untuk menilai
perburukan kondisi yang mungkin pasien alami. Sedangkan untuk fraktur humerus dilakukan
penanganan awal terlebih dahulu yaitu dengan diberikan spalk pada tempat yang patah guna
untuk meminimalisir pergerakan yang mungkin terjadi selama pasien tidak sadar, selain itu
perlu juga diawasi tanda-tanda vital untuk memantau kemungkinan terjadinya shock
hemoragik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Marshall LF. Traumatic injuries of the central nervous system. Dalam: Corey-Bloom
J. David RB, penyunting, Clinical adult neurology. Edisike-3. New York: Demos
Medical ; 2009 h. 271-80

2. Pramono Ardi. 2014. Buku Kuliah Anestesi. EGC : Jakarta

3. Kapita Selekta Kedokteran / edisi IV, Chris Tanto…[et/al] –Ed 4.-Jakarta : Media
Aesculapius, 2014.

4. American College of Surgeon Committee of Trauma (ACSCOT). 2008. Advanced


Trauma Life Support for Doctor. Chicago: ATLS Student Course Manual.

5. Keith L Moore (2012). Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: EGC

6. Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Jakarta: ECG


7. Lyons MK, Meyer FB. 1990. Cerebrospinal Fluid Physiology and The Management of
Increased Intracranial Pressure. Mayo Clin Proc.

8. Magistris F,Bazak S, Martin J. 2013. Intracerebral Hemorrhage: Pathophysiology,


Diagnosis and Management. MUM J 1pp.16-22

9. Smith, Julian., Joe J. Tjandra., Gordon J. A. Clunie., Kaye, Andrew H. 2006. Textbook
of Surgery. Wiley-Blackwell.

10. Warlow, Charles. 1991. Hand Book of Neurology. Blackwell Scientific Publication.
London.

11. Warson, James. 2010. Tentorial Herniation – Brain Herniation. Medicine Online.

12. Weissleder, R., Wittenberg, J., Harisinghani, Mukesh G., Chen, John W.
Musculoskeletal Imaging in Primer of Diagnostic Imaging, 4th Edition. Mosby
Elsevier. United States. 2007. Page 408-410
13. Affandi, Indra Gunawan. 2016. Pengelolaan Tekanan Tinggi Intrakranial. Cermin
Dunia Kedokteran Vol. 43 No.3 . Bandung. Indonesia. Page 180-184

Anda mungkin juga menyukai