Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN AKHIR

PRAKTIKUM FORMULASI DAN TEKNOLOGI SEDIAAN STERIL


INFUS DEKTROSA 5%
DEXFUS®

OLEH:
KELOMPOK VI
GOLONGAN I

Ni Wayan Nita Lestari 1208505029


I Gusti Putu Putra Purnama 1208505030
Luh Ade Dyah Tantri Lestari 1208505032
I Made Sugiarta 1208505033

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2015

i
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL..................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................iv
BAB 1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..............................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................2
C. Tujuan............................................................................................2
D. Manfaat..........................................................................................2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
A. PRAFORMULASI
I. TINJAUAN FARMAKOLOGI BAHAN OBAT...........................4
1. Farmakokinetika...........................................................................4
2. Indikasi..........................................................................................4
3. Kontraindikasi...............................................................................4
4. Efek samping................................................................................5
II. TINJAUAN SIFAT FISIKO-KIMIA BAHAN OBAT..................5
1.Dekstrosa monohidrat...................................................5
2.Arang jerap....................................................................7
3.Aqua for injection.........................................................8
III. BENTUK SEDIAAN, DOSIS DAN CARA PEMBERIAN.......8
B. FORMULASI
I. PERMASALAHAN.......................................................................9
II. PENGATASAN MASALAH........................................................9
III. MACAM-MACAM FORMULA STANDAR.............................11
IV. FORMULA YANG DIAJUKAN.................................................12
C. PELAKSANAAN
I. ALAT-ALAT YANG DIGUNAKAN DAN CARA
STERILISASINYA.........................................................................15
II. CARA KERJA: FORMULASI DAN EVALUASI SEDIAAN
1.Formulasi..................................................................................16
2.Evaluasi sediaan............................................................17

ii
2.1Uji Organoleptis....................................................17
2.2Uji Kejernihan Larutan.........................................18
2.3Uji Bahan Partikulat dalam Injeksi.......................19
2.4Uji Kebocoran.......................................................19
2.5Uji pH....................................................................20
III. KEMASAN, BROSUR dan ETIKET..........................................21
BAB 3. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................22
1. Hasil.........................................................................................22
2.Pembahasan...............................................................................23
BAB 4. KESIMPULAN DAN SARAN........................................................30
1.Kesimpulan...............................................................................30
2.Saran.........................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN

DAFTAR GAMBAR

iii
Gambar 1 Struktur Senyawa dekstrosa..........................................................5

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sediaan parenteral adalah bentuk sediaan untuk injeksi atau sediaan untuk
infus. Sediaan injeksi telah digunakan untuk pertama kalinya pada manusia sejak
tahun 1660. Akan tetapi perkembangan injeksi baru berlangsung tahun 1852,
khususnya pada saat diperkenalkannya ampul gelas oleh Limousin (Perancis) dan
Friedleader (Jerman), seorang apoteker. Injeksi adalah pemakaian dengan cara
penyemprotan larutan atau suspensi ke dalam tubuh untuk tujuan terapeutik atau
diagnostik. Injeksi dapat dilakukan ke dalam aliran darah, ke dalam jaringan atau
organ.
Sediaan infus merupakan sediaan cairan steril mengandung obat yang
dikemas dalam wadah 100 ml atau lebih dan ditujukan untuk manusia. Keperluan
akan ketersediaan parenteral volume besar meningkat dikarenakan oleh kebutuhan
tubuh akan air, elektrolit dan karbohidrat yang kurang harus dengan cepat diganti,
sebagai penambah zat makanan bila pasien tidak dapat makan. Beberapa
komponen fisiologis tubuh yang menunjang dapat diberikan bentuk sediaan
parenteral volume besar seperti kebutuhan tubuh akan air, elektrolit, karbohidrat,
asam amino, lipida, vitamin dan mineral. Dengan cepatnya komponen penunjang
fisiologi tubuh diganti maka kesehatan tubuh akan cepat tercapai.
Infus dextrose merupakan salah satu infus yang sering digunakan.
Kandungan dari infuse ini adalah D-glukosa yang disebut dengan dekstrosa.
Glukosa atau dextrosa merupakan suatu metabolit yang penting bagi
kelangsungan hidup manusia. Pada pasien pediatrik yang di puasakan, semua
cairan rutin yang di berikan harus mengandung glukosa. Hal ini dikarenakan pada
anak hanya sedikit memiliki cadangan glikogen di hepar, sehingga bila glukosa
yang masuk secara peroral terhenti selama beberapa waktu maka akan dengan
mudah terjadi hipoglikimia yang dapat berakibat fital terutama bagi sel otak. Pada
anak yang puasa akan menjadi pemecahan glikogen di hati dan otot menjadi asam

1
laktat dan piruvat. Untuk menghindari hal tersebut pada pasien pediatrik, biasanya
digunakan infus yang mengandung dextrosa.
Glukosa dan monosakarida diberikan melalui oral atau dengan infus
intravena dalam terapi dengan karbohidrat dan deplesi cairan. Glukosa adalah
sumber karbohidrat yang lebih disukai dalam rejimen nutrisi parenteral dan
digunakan dalam larutan rehidrasi oral untuk pencegahan dan pengobatan
dehidrasi karena penyakit diare akut. Glukosa juga digunakan dalam pengobatan
hipoglikemia dan diberikan secara oral dalam tes toleransi glukosa sebagai alat
bantu diagnostik untuk diabetes melitus (Sweetman, 2009).
Larutan glukosa dalam air bersifat iso-osmotik pada darah dengan
konsentrasi glukosa anhidrat 5,05% atau glukosa monohidrat 5,51%. Larutan
glukosa dengan konsentrasi 5% sering digunakan untuk deplesi cairan, dan dapat
diberikan melalui vena perifer. Larutan glukosa dengan konsentrasi yang lebih
besar dari 5% yang bersifat hiperosmotik pada umumnya digunakan sebagai
sumber karbohidrat, larutan glukosa 50% sering digunakan dalam pengobatan
hipoglikemia berat (Sweetman, 2009).
Oleh karena itu, dasar-dasar pengetahuan bentuk sediaan terutama yang
berkaitan dengan penyusunan formula suatu sediaan tetap merupakan dasar
pembuatan sediaan steril. Selanjutnya, pertimbangan dalam membuat sediaan
steril adalah memperhatikan stabilitas bahan aktif dan bahan-bahan tambahan
yang akan membantu sediaan menjadi bentuk sediaan yang dikehendaki, terutama
pada proses sterilisasi yang berkaitan dengan panas dan kelembaban.

B. Rumusan Masalah
 Bagaimana preformulasi yang dibutuhkan untuk sediaan infus dekstrosa
5%?
 Bagaimana formula yang perlu dirancang untuk membuat sediaan infus
dekstrosa 5%?
 Bagaimana cara pembuatan infus dekstrosa 5% dalam skala
laboratorium sesuai dengan persyaratan sediaan steril yang telah
ditentukan?
 Bagaimana cara melakukan evaluasi sediaan infus dekstrosa 5% yang
telah dibuat?

2
C. Tujuan Formulasi
 Dapat memahami preformulasi sediaan infus dekstrosa.
 Dapat merancang formula infus dekstrosa 5%.
 Dapat membuat infus dekstrosa 5% dalam skala laboratorium sesuai
dengan persyaratan sediaan steril yang telah ditentukan.
 Dapat melakukan evaluasi sediaan infus dekstrosa 5%.

D. Manfaat Formulasi
Formulasi sediaan disusun berdasarkan zat aktif yang digunakan,
sehingga perlu diperhatikan ada atau tidaknya interaksi yang terjadi dengan
zat tambahan yang digunakan agar obat/sediaan dapat digunakan secara
efektif dan dapat memenuhi syarat-syarat resmi.

BAB II

3
TINJAUAN PUSTAKA
A. Praformulasi
I Tinjauan Farmakologi Dekstrosa
1. Farmakokinetika
Dekstrosa atau glukosa merupakan suatu gula (monosakarida) yang
diperoleh dari hidrolisis pati, mengandung satu molekul air hidrat atau anhidrat.
Absorbsinya sangat cepat dalam usus halus dengan mekanisme difusi aktif.
Dekstrosa dapat diberikan secara per oral atau melalui infus i.v sebagai treatment
deplesi cairan dan karbohidrat (Kathleen, P., 1999). Konsentrasi tertinggi glukosa
dalam plasma terjadi dalam 40 menit setelah pemakaian oral pada pasien
hipoglikemia. Dekstrosa pada saluran pencernaan akan mengalami 3 jalur
metabolisme yaitu glikolisis, siklus krebs dan jalur pentose fosfat (Reynolds,
1982). Glukosa dimetabolisme melalui asam laktat atau piruvat menjadi CO 2 dan
H2O. Dekstrosa dapat mengurangi protein tubuh dan menyebabkan kehilangan
nitrogen, juga mengakibatkan penurunan atau pencegahan ketosis jika dosis tepat
diberikan (Trissel, 2003).
2. Indikasi
Infus dekstrosa atau glukosa digunakan sebagai terapi parenteral untuk
memenuhi kalori pada pasien yang mengalami dehidrasi. Selain itu juga
digunakan untuk terapi pada pasien hipoglikemia yang membutuhkan konsentrasi
glukosa dalam darah, hal ini dipenuhi dengan cara menyimpan dekstrosa yang ada
sebagai cadangan gula dalam darah (McEvoy, 2002).
3. Kontra Indikasi
Pemberiaan larutan dekstrosa di kontraindikasikan untuk pasien dengan
koma diabetikum, pemberian bersama produk darah, anuria, perdarahan
intraspinal & intrakranial dan delirium dehidrasi (dehydrated delirium tremens)
(Kathleen, P., 1999). Larutan dekstrosa sebaiknya digunakan dengan hati-hati
pada pasien dengan overt atau diketahui mengalami diabetes melitus atau
intoleransi karbohidrat. Larutan dekstrosa yang tidak mengandung elektrolit
sebaiknya tidak diadministrasikan pada darah dengan infus IV yang sama karena
dapat terjadi aglomerasi (Trissel, 2003).

4. Efek Samping

4
Larutan dekstrosa atau infuse dekstrosa dapat menyebabkan poliuria karena
gula yang ada menyerap air dengan kuat dalam tubuh. Hipergikemia dan
glukosuria (McEvoy, 2002). Menyebabkan infeksi di tempat suntikan, trombosis
vena dan ekstravasasi. Jika larutan dekstrosa hipertonis diinfusi terlalu cepat,
dapat terjadi nyeri lokal dan iritasi vena. Jika terjadi efek samping selama
administrasi, injeksi harus segera dihentikan, pasien dievaluasi dan juga
dilakukan pengukuran terapeutik yang tepat jika diperlukan (Trissel, 2003).

B Tinjauan Fisiko Kimia Zat Aktif dan Zat Tambahan


`1. Dekstrosa Monohidrat
a. Organoleptis
Dekstrosa Monohidrat berupa kristal tidak berwarna atau putih,
berbentuk bubuk kristal atau butiran, tidak berbau dan memiliki rasa
manis (Sweetman, 2009). Memiliki luas permukaan 0,22-0,29 m2/g
(Rowe, et.al., 2009).
b. Struktur Kimia dan Bobot Molekul
Dekstrosa memiliki rumus molekul C6H12O6.H2O dengan bobot molekul
yaitu 198,17 g/mol (Reynolds, 1982). Dibawah ini merupakan struktur kimia
dekstrosa:

Gambar 1. Struktur Dekstrosa (Reynolds, 1982).

c. Kelarutan
Berikut dicantumkan kelarutan dextrose pada berbagai pelarut:

5
Kelarutan pada suhu
Pelarut
200
Kloroform Praktis tidak larut
Ethanol (95%) 0.083333333
Ether Praktis tidak larut
Gliserin Larut
Air 1:01
Tabel 1. Kelarutan dekstrosa menurut buku Pharmaceutical Excipients
(Kibbe, 2000).
Pelarut Kelarutan
Air mendidih Sangat mudah larut
Air Mudah larut
Etanol mendidih Larut
Etanol Sukar larut
Tabel 2. Kelarutan dekstrosa
(Depkes RI, 1995).

d. Stabilitas
Dekstrosa atau glukosa memiliki daya tahan yang baik terhadap cahaya,
namun dalam penyimpanan diusahakan terlindung dari sinar matahari
(McEvoy, 2002). Dekstrosa tidak stabil terhadap suhu tinggi karena dapat
terdegradasi menjadi 5-hidroksi-metil-furfural, yang akhirnya berubah
menjadi asam lauvulinik. Dekstrosa dapat disimpan pada suhu 2 oC-25oC
atau disimpan pada suhu kamar (tahan sampai 14 bulan) (McEvoy, 2002).
Dekstrosa stabil pada pH 3,5 sampai 6,5 (Depkes RI, 1995). Jika pH terlalu
asam akan menyebabkan terbentuknya karamel dan akan terdekomposisi dan
berwarna coklat pada pH yang lebih basa (Kibbe, 2000).
e. Titik Lebur dan Penyimpanan
Dekstrosa memiliki titik lebur 83oC (Kibbe, 2000) dan harus disimpan
pada suhu 2oC-25oC dan terlindungi dari sinar matahari (McEvoy, 2002).

f. Inkompatibilitas
Jika larutan i.v glukosa dicampur dengan cyanocobalamin, kanamycin
sulfat, novobiocin sodium dan warfarin sodium akan menyebabkan terjadi
kekeruhan. Glukosa dapat bereaksi dengan amin, amida, asam amino,
peptida. Vitamin B kompleks akan terdekomposisi bila dipanaskan dengan
dekstrosa, eritromisisn gluceptate tidak stabil pada larutan glukosa dengan
pH 5,05. Apabila sediaan dekstrosa bereaksi dengan senyawa alkali kuat

6
dapat menyebabkan perubahan warna menjadi coklat dan penguraian pada
sediaan (McEvoy, 2002).

2. Charcoal / Norit / Arang Jerap


Arang jerap merupakan sisa destilasi destruktif dari beberapa bahan organik
yang telah diberi perlakuan untuk mempertinggi daya jerap.
a. Organoleptis
Arang jerap berupa serbuk halus, bebas dari butiran, hitam, tidak berbau
dan tidak berasa.
b. Kelarutan
Arang jerap praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol.
c. Stabilitas
Arang jerap stabil pada tempat yang tertutup dan kedap udara.
d. Wadah dan peyimpanan
Arang jerap disimpan dalam wadah tertutup baik.
e. Kegunaan
Arang jerap atau Norit digunakan untuk menyerap bahan-bahan
pengotor yang mungkin ada.
f. Alasan pemilihan
Norit bersifat inert sehingga tidak bereaksi dengan zat aktif.
(Depkes RI, 1995).
3. Air Injeksi
Menurut Farmakope Indonesia IV, air steril untuk injeksi adalah air untuk
injeksi yang disterilkan dan dikemas dengan cara yang sesuai. Tidak mengandung
bahan antimikroba atau bahan tambahan lainnya (Depkes RI, 1995).
a. Organoleptis
Air injeksi berupa cairan jernih, tidak berwarna dan tidak berbau
b. Sterilisasi
Air injeksi dapat disterilisasi dengan cara panas basah (autoklaf)
c. Kegunaan
Air injeksi dapat digunakan untuk bahan pembawa dan pelarut.
d. Alasan pemilihan
Air injeksi dipilih karena air injeksi dapat digunakan untuk melarutkan
zat aktif dan zat-zat tambahan
e. Cara pembuatan
Air injeksi dapat dibuat dengan mendidihkan aqua dan diamkan selama
30 menit kemudian dinginkan.
(Depkes RI, 1995).

7
III. Bentuk Sediaan, Dosis, Rute Pemakaian
 Bentuk Sediaan
Sediaan akan dibuat dalam bentuk infus dekstrosa 5% dengan volume
sediaan adalah 100 mL dan ditampung dalam sebuah botol gelap bervolume 100
mL.
 Dosis
Dosis dari penggunaan sediaan dekstrosa ini tergantung dari umur pasien,
berat badan, kondisi klinik, cairan elektrolit, dan keseimbangan asam-basa dari
pasien. Dosis melalui injeksi IV untuk pemulihan kondisi pasien, laju kecepatan
infusnya adalah 0,5 g/kg per jam tanpa disertai produksi gula dalam urin
(glukosuria). Laju atau kecepatan infus maksimum pada umumnya tidak melebihi
0,8 g/kg per jam. Untuk pengobatan hipoglikemia dosis umumnya adalah 20-50
mL dekstrosa 50%, yang diberikan dengan lambat. Untuk pengobatan gejala
hipoglikemia akut pada bayi dan anak-anak dosis umumnya adalah 2 mL/kg
dengan konsentrasi glukosa 10%-25% (McEvoy, 2002).
 Rute Pemakaian
3 Infus dekstrosa 5% diberikan secara intravena (Trissel, 2003).

B. FORMULASI
I. PERMASALAHAN
1. Infus dekstrosa 5% merupakan sediaan yang diberikan secara intravena
(Trissel, 2003).
2. Dextrosa mempunyai kelarutan mudah larut dalam air (Depkes RI,
1995) sehingga pembawa yang digunakan dalam pembuatan infus
dextrosa 5% ini adalah pembawa berair.
3. Dextrose tidak stabil terhadap pemanasan dengan suhu tinggi karena
strukturnya dapat terurai menjadi 5-hidroksi metil furfural (McEvoy,
2002).
4. Sediaan parenteral harus bebas mikroorganisme, pirogen, dan partikel
asing (Lukas, 2006).
5. Sisa partikulat dari karbon aktif mempengaruhi kejernihan sediaan
dextrose, karena syarat sediaan steril harus jernih (Lukas, 2006).

8
6. Dekstrosa stabil pada rentang pH 3,5-6,5 (Depkes RI, 1995). Perubahan
pH di luar rentang stabil akan menyebabkan karamelisasi dan larutan
dextrose akan terdekomposisi (Rowe et al, 2009).
7. Infus dextrose 5% sedapat mungkin dibuat sediaan bersifat isotonis agar
tidak terasa sakit dan tidak menimbulkan hemolisis (Syamsuni, 2006).
Larutan dextrosa dengan konsentrasi lebih dari 5% b/v bersifat
hiperosmotik dan dapat menyebabkan iritasi pada pembuluh darah bila
diberikan secara intravena (Rowe et al, 2009).

II. PENGATASAN MASALAH


1. Sediaan infus untuk pemakaian intravena merupakan sediaan steril,
maka pada proses pembuatan sediaan infus dextrosa 5% dibuat dengan
menggunakan sterilisasi akhir dengan menggunakan autoklaf (Salawu,
et al.,2010).
2. Pembawa berair untuk injeksi adalah air steril untuk injeksi (aqua pro
injectiones) yaitu air suling segar yang disuling dengan alat kaca netral
atau wadah logam yang cocok yang dilengkapi dengan labu percik
dimana hasil sulingan pertama dibuang dan sulingan selanjutnya
ditampung dalam wadah yang cocok dan segera digunakan (Depkes
RI, 1979).
3. Sterilisasi dilakukan pada suhu yang terjaga dan diusahakan agar
waktu yang digunakan tidak terlalu lama. Suhu yang stabil akan sangat
menentukan hasil dari sediaan, di mana dengan adanya kestabilan suhu
maka dapat menghindari terjadinya penguraian dextrose (Voigt,1995).
Sehingga pada proses sterilisasi akhir dapat dilakukan pada suhu
dibawah suhu degradasi dekstrosa yaitu pada suhu 220 oC. Sterilisasi
akhir dapat dilakukan berdasarkan hal tersebut adalah sterilisasi uap
pada suhu 121oC selama 15 menit dengan autoklaf (Depkes RI, 1995).
Selain itu, karena sediaan infus dekstrosa ini menggunakan sterilisasi
akhir dengan autoklaf maka tipe gelas yang digunakan untuk kemasan
primer adalag gelas tipe I atau tipe II (Agoes, 2013).
4. Untuk membebaskan sediaan dari pirogen biasanya digunakan
absorbing agent yaitu karbon aktif yang akan mengadsorbsi pirogen
dari larutan (Jenkins et al., 1957). Aktivitas karbon aktif ini baik pada

9
suhu 600, sehingga pada proses pembuatan dilakukan pemanasan pada
suhu tersebut dan dilakukan pengadukkan secara perlahan (Voigt,
1995). Untuk Karbon aktif yang ditambahkan sebanyak 0,1 gram.
5. Pada saat pengadukan dengan karbon aktif dilakukan secara perlahan
dan dilakukan penyaringan secara berulang untuk menghilangkan sisa-
sisa partikel karbon aktif. Untuk membebaskan pirogen dapat
dihilangkan dengan mengunakan metode filtrasi menggunakan kertas
saring dengan ukuran pori 0,22 mikrometer (Niazi, 2004).
6. Untuk mencegah agar infus yang dihasilkan tidak memiliki pH di luar
rentang pH stabilitas Dekstrosa yaitu pH 3,5-6,5 maka dilakukan
penyesuaian pH dengan penambahan NaOH dan HCl konsentrasi
rendah (jika terjadi perubahan pH).
7. Sifat isotonis dari sediaan sangat berpengaruh terhadap rasa sakit yang
ditimbulkan pada saat penggunaan sediaan tersebut (Voigt, 1995),
sehingga pada kemasan sekunder infus dekstosa 5% diberikan
keterangan ‘sediaan bersifat sedikit hipotonis’ agar saat
diadministrasikan secara perlahan . Selain itu perlu dijaga tonisitas
sediaan dan sediaan dibuat sedekat mungkin isotonis dengan cairan
tubuh (Lukas, 2006). Sehingga larutan dekstrosa yang akan dibuat
adalah dengan konsentrasi tidak lebih dari 5%.

III. MACAM – MACAM FORMULA STANDAR


1. Handbook of Pharmaceutical Manufacturing Formulation (Niazi, 2009)
 Formula 1

10
 Formula 2

2. Journal of Parenteral and Eternal Nutrition (Mirtallo et al., 2004)

3. Scoville’s The Art of Compounding (Jenkins et al., 1957).


R/ Dextrose Anhydrous C. P. 5%
Karbon aktif 0,1%
Aqua pro injeksi ad 100 mL

4. Handbook of Injectable Drugs (Trissel, 2003)


R/ Amino Acids 5%
Dextrose 5%
Vitamin 5%
Trace qs

5. ISO (BPOM RI, 2012)


 Tiap 1000 mL infus mengandung:
Na+ 77 mEq/L, Cl- 77 mEq/L, Dekstrosa 50 g/L (Natrium klorida 4,5 g, air
untuk injeksi 1000 mL)
 Tiap 1000 mL infus mengandung:

11
Na+ 38,5 mEq/L, Cl- 38,5 mEq/L, Dekstrosa 50 g/L (Natrium klorida 2,25
g, air untuk injeksi 1000 mL)

IV. FORMULASI YANG DIAJUKAN


R/ Dekstrosa Monohidrat 5%
Karbon Aktif Granul 0,15%
Aqua pro injeksi ad 100%

PERHITUNGAN BAHAN
Sediaan yang akan dibuat adalah 100 mL dalam satu botol dan akan
diproduksi 3 botol sediaan. Sehingga perhitungan masing – masing bahan
adalah sebagai berikut:
a. Dekstrosa 5% b/v

/ botol

b. Karbon aktif granul 0,1% b/v

/ botol

c. Perhitungan Tonisitas
Diketahui : Kosentrasi Dextrosa = 5,5 g/110 mL = 50 g/L
BM Dextrosa = 198,17 g/mol

Ditanyakan : Tonisitas infuse dextrose?


Jawab :
Osmolaritas Dextrosa = (kons Dex : BM Dex) x 1000 x jumlah ion Dex
= (50 g/L : 198,17 g/mol) x 1000 x 1
= 252,31 M.osmol/L
> 350 Hipertonis
Hipertonis

Hipotonis
329 – 350 Sedikit Hipertonis

Sedikit
hipertonis

12
270 – 328 Isotonis

Isotonis
250 - 269 Sedikit Hipotonis

Sedikit
hipotonis
0 - 249 Hipotenis

(Nema dan Ludwig, 2010)


Berdasarkan hasil perhitungan nilainilai osmolaritas yaitu 252,31 M.osmol/Lmaka
berdasarkan tabel diatas dapat diketahui infus dektrosa yang dibuat sedikit
hipotonis.

PENIMBANGAN BAHAN
Dibuat infus dekstrosa 5% sebanyak 3 botol dengan volume 100
ml/botol
Bahan Penimbangan Penimbangan
No. Fungsi
(1 botol) (3 botol)
1 Dextrose 5% Bahan aktif 5g 15 g
2 Karbon aktif Adsorben 0,1 g 0,3 g
3 Aqua pro injeksi Pelarut/Pembawa Ad 100 mL Ad 300 mL

13
BAB III
PELAKSANAAN

I Alat-alat yang digunakan dan cara sterilisasinya


1. Alat
 Botol infus 100 mL (3) dan tutup karet (3)
 Gelas beaker 50ml, 250ml
 Erlenmeyer 250ml
 Termometer
 Autoklaf
 Corong gelas
 Bunsen
 Pipet tetes
 Pinset
 Neraca timbangan
 Sendok tanduk
 Batang pengaduk
 Gunting
 Kertas saring
 Kertas perkamen
 Aluminium foil
 Plastik ikan

2. Bahan
- Dekstrosa monohidrat
- Karbon aktif
- Aquades
- Alkohol 70%

14
2. Cara Kerja Sterilisasi Alat
Alat dan bahan yang akan digunakan disterilisasi terlebih dahulu dengan menggunakan
pedoman dibawah ini:
No Nama Bahan Ukuran Jumlah Cara Suhu Waktu
Sterilisasi (0C) (Menit)
1 Batang Besar 1 Autoklaf 121 15
pengaduk
2 Erlenmeyer 250 mL 1 Autoklaf 121 15
3 Beker glass 250 mL 1 Autoklaf 121 15
4 Beker glass 50 mL 1 Autoklaf 121 15
5 Corong gelas Medium 1 Autoklaf 121 15
6 Botol Infus 100 mL 3 Autoklaf 121 15
7 Pinset Besar 1 Oven 180 45
8 Pipet tetes besar 2 Desinfeksi - -
9 Sendok - 1 Disinfeksi - -
tanduk

II CARA KERJA : FORMULASI DAN EVALUASI SEDIAAN


1. Prosedur Kerja

15
2. Evaluasi Sediaan
2.1 Uji Organoleptis
Uji organoleptis dilakukan dengan pengamatan secara visual dari sediaan infus
dextrosa 5% yang meliputi warna, bau dan penampilan fisik sediaan. Larutan untuk
infus intravena harus jernih dan praktis bebas partikel (Depkes RI, 1979).

Skema Kerja :

Sediaan steril infus dextrosa 5%

Diamati secara visual meliputi warna, bau dan penampilan fisik sediaan.

16

Dicatat warna, bau dan penampilan fisik sediaan yang diperoleh.


2.2 Uji Kejernihan Larutan
Penetapan kejernihan larutan menggunakan taung reaksi alas datar diameter 15 mm
hingga 25 mm, tidak berwarna, transparan dan terbuat dari kaca netral. Masukkan
kedalam dua tabung reaksi masing-masing zat uji dan air atau pelarut yang digunakan
hingga volume larutan dalam tabung reaksi terisi setinggi tepat 40 mm. Bandingkan
kedua isi tabung dengan latar belakang hitam. Pengamatan dilakukan dibawah cahaya
yang berdifusi, tegak lurus kearah bawah tabung.
Suatu cairan dinyatakan jernih jika kejernihannya sama dengan air atau pelarut yang
digunakan bila diamati dibawah kondisi seperti tersebut diatas.
(Depkes RI, 1995).
Skema Kerja :

Sediaan steril infus dextrosa 5% dan water for injection


dimasukkan kedalam masing-masing tabung reaksi.

Pengamatan dilakukan dibawah cahaya yang berdifusi, tegak lurus


kearah bawah tabung dengan latar belakang hitam.

Dibandingkan kejernihan antar kedua tabung, dicatat hasil yang


diperoleh.
2.3 Uji Bahan Partikulat dalam Injeksi
Larutan injeksi, termasuk larutan yang dikonstitusi dari zat padat steril untuk
penggunaan parenteral, harus bebas dari partikel yang dapat diamati pada
pemeriksaan secara visual. Bahan partikulat merupakan zat asing, tidak larut dan
melayang, kecuali gelembung gas yang tanpa disengaja ada dalam larutan parenteral
(Depkes RI, 1995).
Skema Kerja :

Sediaan steril infus intravena dextrosa 5%

Dimasukkan kedalam tabung reaksi dan dilakukan pengamatan secara


visual ada tidaknya bahan partikulat dengan latar belakang hitam.

2.4 Uji Kebocoran


Dicatat
Wadah takaran tunggal yang masih hasil
panas yang diperoleh.
setelah selesai disterilkan, dimasukkan
kedalam larutan metilen blue 0,1%. Jika ada wadah yang bocor maka larutan metilen
17
blue akan masuk kedalam karena perubahan tekanan luar dan didalam wadah tersebut
sehingga larutan dalam wadah akan berwarna biru. (Agoes, 2009).
Skema Kerja :

Sediaan steril infus intravena dextrosa 5%

Dibalik sehingga tutup botol berada di bagian bawah serta diletakkan


kertas saring dibawahnya.

Diamati terjadinya kebocoran yang ditandai dengan keluarnya sediaan


dari botol infus dan kertas saring menjadi basah.

2.5 Uji pH Dicatat hasil yang diperoleh.


Harga pH adalah harga yang diberikan oleh alat potensiometrik (pH meter) yang
sesuai, yang telah dibakukan sebagaimana mestinya, yang mampu mengukur harga
pH sampai 0,02 unit pH menggunakan elektrode indikator yang peka terhadap
aktivitas ion hidrogen, elektrode kaca, dan elektrode pembanding yang sesuai seperti
elektrode kalomel atau elektrode perak-perak klorida. Untuk pembakuan pH meter,
pilih 2 larutan dapar untuk pembakuan yang mempunyai perbedaan pH tidak lebih
dari 4 unit dan sedemikian rupa sehingga pH larutan uji diharapkan terletak
diantaranya.
Jika sistem telah berfungsi dengan baik, bilas elektrode dan sel beberapa kali dengan
larutan uji, isi sel dengan sedikit larutan uji dan baca harga pH. Syarat pH untuk
injeksi dekstrosa adalah antara 3,5 dan 6,5.
(Depkes RI, 1995).
Skema Kerja :

Dimasukkan sejumlah cairan infus dextrosa 5% ke dalam beaker glass

Dilakukan kalibrasi alat pH meter. Dicelupkan pH meter ke dalam


cairan infus, didiamkan beberapa saat kemudian diamati ph yang
dihasilkan pada alat pH meter.

Dicatat pH sediaan yang dihasilkan pada alat pH meter.

18
III. BROSUR, ETIKET DAN KEMASAN
Brosur

Etiket

19
Kemasan sekunder

20
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

1 Hasil
Tabel Penimbangan bahan
No Bahan Jumlah Penimbangan
1 Dekstrosa mohohidrat 15,007 gran
2 Karbon aktif 0,4518 gran
3 Air steril Ad 300 mL

Tabel Pengamatan
No Perlakukan Pengamatan
1 Dekstrosa dimasukkan dalam air Dekstrosa dapat larut pada air steril,
steril yang telah mendidih, diaduk tidak ada yang mengandap. Larutan
hingga larut tampak jernih
2 Penambahan karbon aktif Larutan dekstrosa menjadi berwarna
hitam, karbon aktif tersebar merata
pada larutan
3 Penyaringan karbon aktif dari *Tingkat kekeruhan akibat karbon
sediaan aktif
Penyaringan Pertama +++++
Penyaringan Kedua +++++
Penyaringan Ketiga ++++
Penyaringan Keempat +++
Penyaringan Kelima ++
Keterangan:
+++++ = sangat keruh
++++ = keruh
+++ = Agak jernih
++ = sedikit jernih

Tabel Hasil Pengamatan Evaluasi Infuse Dextrose 5%


Rep Organoleptis pH pH Kerjeni Uji Uji
sebelum setelah han partikulat Kebocoran

21
autoklaf dalam
autoklaf
sediaan
Warna sedikit
Tidak ada Tidak
1 bening, tidak 5,75 5,54 ++
partikulat bocor
berbau
Warna sedikit
Tidak ada Tidak
2 bening, tidak 5,75 5,54 ++
partikulat bocor
berbau
Warna sedikit
Tidak ada Tidak
3 bening, tidak 5,75 5,54 ++
partikulat bocor
berbau

2. PEMBAHASAN
Pada praktikum ini dilakukan pembuatan infus dekstrosa 5% yang
merupakan sediaan steril berupa infus yang mengandung 5% dekstrosa yang
diberikan melalui intravena, sehingga zat aktif dapat dengan segera masuk ke
dalam sirkulasi darah sebagai penambah atau pelengkap nutrisi dan cairan.
Indikasi dari infus dextrosa adalah sebagai terapi parenteral untuk memenuhi
kalori pada pasien yang mengalami dehidrasi dan juga sebagai terapi pada pasien
hipoglikemi yang membutuhkan konsentrasi glukosa yang tinggi dalam darah,
sehingga hal ini dapat dilakukan dengan cara menyimpan dextrosa yang ada
sebagai cadangan gula dalam darah (Mc Evoy, 2002). Infus intravena adalah
sediaan steril berupa larutan atau emulsi, bebas pirogen dan sedapat mungkin
dibuat isotonis terhadap darah, disuntikkan langsung ke dalam vena dalam
volume relatif banyak (Depkes RI, 1979), sehingga untuk membuat agar sediaan
steril dilakukan suatu pengerjaan secara aseptis, atau bisa juga dilakukan tahap
sterilisasi akhir terhadap sediaan infus yang dibuat.
Suatu bahan dapat dinyatakan steril apabila bebas dari mikroorganisme
hidup yang patogen maupun yang tidak, baik dalam bentuk vegetatif maupun
dalam bentuk tidak vegetatif (spora) (Anief, 2005). Pirogen merupakan produk
metabolisme dari suatu mikoorganisme. Secara kimiawi, pirogen merupakan
suatu zat lemak yang berhubungan dengan molekul pembawa yang biasanya
polisakarida. Efek adanya pirogen ini menghasilkan kenaikan tubuh yang nyata,

22
demam, sakit badan, vasokonstriksi pada kulit dan kenaikan tekanan dalam arteri
(Lachman dkk, 2008).
Formulasi yang akan digunakan mengacu pada formulasi yang ada di
literatur dan dipilih formula mana yang lebih baik dan lebih mudah untuk
dikerjakan. Formula yang digunakan adalah:
R/ Dextrosa Anhidrat 5%
Karbon aktif 0,15%
Aqua pro injeksi ad. 100%
Bahan aktif yang digunakan adalah dextrosa monohidrat yang merupakan
suatu senyawa polisakarida dengan satuan glukosa sebagai komponen monomer,
yang terikat secara glikosidik pada posisi alpha 1,6. dextrosa merupakan sumber
nutrisi yang baik bagi mikroba sehingga dapat ditumbuhi oleh mikroba yang
bersifat pirogen. Pirogen dalam sediaan dapat dihilangkan dengan pemanasan
pada suhu 250°C selama 45 menit. Namun, dextrosa akan mulai terdekomposisi
apabila dipanaskan pada temperatur yang tinggi yaitu pada suhu 220°C dan
terutai seluruhnya pada suhu 280C menjadi senyawa 5-(hidroksimetil) furfural
dan levoglucosan (Fang et al., 2011). Karbon aktif berfungsi sebagai adsorbing
agent yang akan membebaskan sediaan dari pirogen. Sebenarnya pembebasan
pirogen dapat dilakukan dengan pemanasan di atas suhu 2500C pada oven,
namun karena bahan aktif bersifat tidak tahan panas dilakukan pembebasan
pirogen dengan adsorbing agent. Aktivasi karbon aktif dilakukan dengan cara
memasukkan karbon aktif ke dalam oven pada suhu 60C selama 150 menit.
Karbon aktif diaktivasi agar dapat mendekomposisi tar dan dapat memperluas
luas permukaan pori-pori dalam struktur karbon, aktivasi ini dapat dilakukan
dengan panas, uap atau CO2 sebagai aktivator (Suhartana, 2006).
Sebagai pelarut zat aktif dan tambahan digunakan air bebas CO2 karena
sifat kedua bahan yang digunakan mudah larut di dalam air dan selain itu
dikarenakan kompatibilitas air dengan jaringan tubuh yang baik, dapat digunakan
untuk berbagai rute pemberian, mudah untuk melarutkan elektrolit yang
terionisasi karena konstanta dielektrik yang tinggi dan ikatan hidrogen yang
terjadi akan memfasilitasi pelarutan dari alkohol, aldehid, keton, dan amin
(Lachman dkk., 2008). Pelarut yang digunakan dipanaskan hingga mendidih.

23
Tujuan pemanasan ini adalah untuk membunuh mikroba sekaligus
menghilangkan CO2 di dalam air yang akan digunakan. Dimana dextrose sangat
mudah larut dalam air mendidih (Trissel, 2003).
Pertama-tama sebelum dilakukan formulasi sediaan steril infus dekstrosa
5%, terlebih dahulu dilakukan proses sterilisasi alat-alat yang akan digunakan
dalam proses formulasi. Alat-alat yang digunakan seperti gelas beaker, corong
gelas, kertas saring, botol infus, batang pengaduk, erlenmeyer dan penutup karet
botol infus disterilisasi terlebih dahulu dengan menggunakan metode sterilisasi
panas basah dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121o C selama 15 menit
dengan tekanan 15 psi. Alat-alat tersebut disterilisasi dengan menggunakan
metode sterilisasi panas basah dengan menggunakan autoklaf karena alat yang
disterilisasi tahan terhadap panas dan lembab (Rachmawati, 2010). Selain itu
metode sterilisasi panas basah merupakan metode yang sangat efektif dalam
memusnahkan mikroorganisme dibandingkan dengan sterilisasi secara panas
kering. Hal ini dikarenakan uap jenuh pada autoklaf akan terpenetrasi dan kontak
pada seluruh permukaan alat yang akan disterilisasi. Keuntungan lain dari
sterilisasi uap ini adalah tidak memerlukan panas tinggi dan waktu sterilisasi
yang lama (Allen, 2002). Sedangkan alat seperti pipet tetes disterilkan dengan
menggunakan metode kimia secara desinfeksi dengan menggunakan alkohol
70%. Alkohol 70% digunakan karena konsentrasi optimal alkohol untuk
membunuh mikroorganisme adalah pada rentang 70-80%. Alkohol 70% memiliki
kemampuan menembus dinding sel mikroorganisme yang lebih baik
dibandingkan alkohol 96%. Konsentrasi 96% kurang efektif digunakan karena
mengandung air dalam jumlah sangat sedikit. Dimana adanya air sangat
diperlukan pada saat terjadi denaturasi protein. Sehingga alkohol 96% hanya
dapat mengkerutkan sel mikroorganisme dan tidak menyebabkan lisis seperti
pada mekanisme dari alkohol 70% (Pratiwi, 2008). Metode sterilisasi kimia
dipilih untuk mensterilkan pipet tetes karena pipet tetes merupakan alat yang
mudah rusak bila disterilkan pada suhu tinggi (Sultana et al., 2007). Sehingga
tujuan dilakukannya sterilisasi alat salah satunya yaitu untuk menciptakan alat
atau wadah sediaan yang bebas dari kontaminasi mikroorganisme untuk
mencapai produk yang bebas mikroorganisme. Secara tradisional keadaan steril

24
adalah kondisi mutlak yang tercipta sebagai akibat penghancuran, pengurangan
dan penghilangan semua mikroorganisme hidup (Ansel, 1989).
Kemudian setelah alat-alat yang akan digunakan dalam formulasi telah
disterilisasi dilanjutkan dengan proses pembuatan sediaan infus dekstrosa 5%.
Pembuatan sediaan dilakukan dengan menimbang bahan yang diperlukan seperti
dekstrosa monohidrat sebanyak 15 gram dan karbon aktif sebanyak 0,15 gram
pengambilan bahan ini digunakan untuk 3 sediaan yang akan dibuat. Kemudian
dilakukan pembuatan aqua pro injeksi dengan cara mengambil aquadest
sebanyak lebih dari 300 mL kemudian dipanaskan diatas water bath sampai
mendidih. Kemudian untuk mencampurkan bahan-bahan tersebut dilakukan
dengan menggunakan erlenmeyer berukuran besar yang terlebih dahulu ditara
sebanyak 300 mL menggunakan aquadest. Erlenmeyer ditara 300 mL karena
jumlah sediaan yang akan dibuat adalah sebanyak 300 mL untuk 3 sediaan.
Setelah itu aqua pro injeksi dimasukkan sedikit kedalam erlenmeyer dan
dimasukkan dekstrosa monohidrat sedikit demi sedikit kedalam erlenmeyer
sambil terus diaduk dengan menggunakan batang pengaduk hingga larut. Setelah
dekstrosa larut ditambahkan aqua pro injeksi sampai tanda batas 300 mL.
Dilakukan pengukuran pH pada larutan untuk memastikan sediaan yang dibuat
berada pada rentang pH stabilnya yaitu 3,5-6,5 dengan menggunakan pH meter.
Dimana pada saat pengukuran didapatkan bahwa sediaan yang dibuat memiliki
pH 5,75. Kemudian setelah pH sediaan berada rentang pH stabil yaitu 5,75
dilakukan penambahan karbon aktif kedalam larutan sebanyak 0,3 gram sedikit
demi sedikit sambil diaduk sesekali dengan menggunakan batang pengaduk.
Penambahan karbon aktif bertujuan untuk menghilangkan mikroba bersifat
pirogen dengan menyerap mikroba dan senyawa pirogen pada permukaan karbon
yang berpori (Jenskin et al., 1957). Kemudian untuk membuat sediaan steril yang
jernih perlu dilakukan proses penghilangan sisa dari karbon aktif (Lukas, 2006).
Proses penghilangan sisa karbon aktif dilakukan dilakukan dengan cara
penyaringan berulang-ulang dengan menggunakan kertas saring dan pada
terakhir penyaringan dilakukan dengan menggunakan kertas whatman untuk
mencegah terlewatnya sisa karbon aktif, partikulat maupun pirogen yang terdapat
dalam larutan. Setelah proses penyaringan, sediaan tersebut dimasukkan kedalam

25
botol kaca tipe II yang telah ditara masing-masing 100 mL, kemudian ditutup
segera dengan tutup karet steril, kemudian pada tutupnya dibungkus dengan
aluminium foil dan plastik ikan. Digunakan kaca soda kapur karena wadah ini
sudah mengalami dealkilasi atau proses penghilangan alkali pada permukaan
kaca (Depkes RI, 1995). Selanjutnya ketiga sediaan tersebut dimasukkan
kedalam plastik bening 2 kg.
Selanjutnya pada sediaan infus dekstrosa 5% dilakukan proses sterilisasi
akhir dengan menggunakan metode sterilisasi panas basah menggunakan autoklaf
pada suhu 121o C selama 15 menit dengan tekanan 15 psi. Sediaan infus
dekstrosa disterilisasi dengan menggunakan autoklaf karena dekstrosa
merupakan suatu bahan yang tidak stabil terhadap suhu tinggi karena apabila
disterilisasi dengan menggunakan suhu tinggi dekstrosa dapat terdegradasi
menjadi 5-hidroksi-metil-furfural, yang akhirnya berubah menjadi asam
lauvulinik. Selain itu dekstrosa merupakan bahan yang tahan terhadap lembab
(McEvoy, 2002), sehingga metode sterilisasi akhir yang paling tepat digunakan
untuk sediaan ini adalah sterilisasi panas basah. Tujuan dilakukannya sterilisasi
akhir adalah penghilangan semua jenis organisme hidup, dalam hal ini adalah
mikroorganisme (protozoa, fungi, bakteri, mycoplasma, virus) yang terdapat
dalam sediaan yang dibuat dan pada akhirnya sediaan yang diberikan pada pasien
adalah sediaan steril (Pratiwi,2008).
Setelah proses sterilisasi akhir dilanjutkan dengan proses evaluasi sediaan
yang telah dibuat. Evaluasi yang dilakukan meliputi uji organoleptis, uji
kejernihan larutan, uji bahan partikulat pada injeksi, uji kebocoran dan uji pH.
Evaluasi sediaan dilakukan sebagai langkah Quality Control dari sediaan yang
telah dibuat. Langkah ini bertujuan untuk memastikan apakah sediaan yang telah
dibuat atau diproduksi telah sesuai dengan pedoman yang berlaku serta memenuhi
syarat sebagai sediaan steril sehingga layak diberikan kepada pasien. Evaluasi
sediaan hanya dilakukan pada 2 sediaan yang dibuat sedangkan 1 sediaan lain
tidak diberi perlakuan apapun. Evaluasi pertama yang dilakukan adalah uji
organoleptis, uji ini dilakukan dengan pengamatan secara visual dari sediaan infus
dextrosa 5% yang meliputi warna, bau dan penampilan fisik sediaan. Setelah
dilakukan uji organoleptis didapatkan bahwa sediaan yang dibuat konsistensinya

26
cair dan berwarna keabuan. Larutan untuk infus intravena harus jernih dan praktis
bebas partikel (Depkes RI, 1979). Kemudian dilakukan uji kejernihan larutan
dengan cara membandingkan sediaan yang dibuat dengan pelarut yang digunakan
yaitu aqua pro injeksi dengan menggunakan latar belakang putih. Setelah
dilakukan perbandingan didapatkan bahwa sediaan yang dibuat memiliki warna
yang lebih gelap dibandingkan dengan pelarut yang digunakan. Warna yang lebih
gelap pada sediaan dimungkinkan terjadi karena pengaruh dari karbon aktif yang
digunakan namun tidak terdapat partikel didalam sediaan yang dibuat. Namun
menurut (Depkes RI, 1995), sediaan dapat dikatakan jernih apabila kejernihannya
sama dengan air atau pelarut yang digunakan. Sehingga dapat dikatakan bahwa
sediaan yang dibuat tidak memenuhi persyaratan pada uji kejernihan larutan.
Selanjutnya dilakukan uji bahan partikulat dalam sediaan yang dilakukan dengan
cara melihat secara visual ada tidaknya bahan partikulat pada sediaan infus
dekstrosa 5% yang telah dibuat. Bahan partikulat merupakan zat asing, tidak larut
dan melayang, kecuali gelembung gas yang tanpa disengaja ada dalam larutan
parenteral (Depkes RI, 1995). Dimana setelah dilakukan pengamatan didapatkan
bahwa dalam sediaan yang telah dibuat tidak ditemukan adanya bahan partikulat.
Kemudian dilakukan uji kebocoran pada wadah sediaan dengan cara sediaan
dibalikkan dan diletakkan kertas saring dibawahnya, dan diamati ada tidaknya
kebocoran pada wadah yang ditandai dengan adanya cairan pada kertas saring
tersebut. Dimana setelah dilakukan pengujujian didapatkan bahwa wadah sediaan
yang digunakan tidak mengalami kebocoran yang ditandai dengan kertas saring
yang digunakan tidak basah ketika dilakukannya pengujian. Pengujian yang
terakhir adalah uji pH pada sediaan yang dibuat dengan cara melakukan kalibrasi
terlebih dahulu pada alat pH meter yang digunakan, kemudian sediaan yang akan
diuji dituangkan pada gelas beker. Dicelupkan pH meter ke dalam cairan infus,
didiamkan beberapa saat kemudian diamati pH yang dihasilkan pada alat pH
meter. Pada pengujian didapatkan hasil bahwa pH sediaan infus yang dibuat
adalah 5,54 sehingga dapat dikatakan sediaan yang dibuat tersebut masih berada
pada rentang pH stabilnya yaitu antara 3,5-6,5 (Depkes RI, 1995). Sediaan infus
dekstrosa 5 % harus memiliki pH diantara 3,5-6,5 karena apabila pH terlalu asam
akan menyebabkan terbentuknya karamel dan akan terdekomposisi dan berwarna

27
coklat pada pH yang lebih basa (Kibbe, 2000). Sehingga apabila tidak berada pada
pH stabilnya dapat dipastikan infus dekstrosa yang dibuat tidak akan dapat
menghasilkan efek terapi seperti yang diinginkan bahkan tidak akan dapat
digunakan sebagai infus karena pemberiaannya yang langsung melewati
pembuluh darah yang nantinya akan dapat membahayakan pasien. Setelah
dilakukan evaluasi pada sediaan, 1 sediaan yang tidak diperlakukan tadi diberikan
etiket dan dimasukkan kedalam kemasan sekunder dan diberikan brosur. Didalam
etiket juga harus diberi penandaan bahwa sediaan yang dibuat bersifat sedikit
hipotonis, sehingga dokter dapat mengaplikasikan sediaan infus dekstrosa 5% ini
pada pasien dengan pelan-pelan untuk menghindari rasa sakit yang dirasakan
pasien. Kemudian sediaan disimpan pada pada suhu 2 oC-25oC dan terlindungi dari
sinar matahari (McEvoy, 2002).

28
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan
 Tahapan pembuatan sediaan infus dekstrosa 5% dapat dilakukan dengan
cara melakukan sterilisasi alat terlebih dahulu, kemudian tahapan
formulasi, dan tahapan sterilisasi akhir pada sediaan yang dibuat.
Formulasi sediaan infus yang dibuat adalah :
R/ Dekstrosa Monohidrat 5%
Karbon Aktif Granul 0,1%
Aqua pro injeksi ad 100%
 Sediaan infus dekstrosa 5% dibuat dengan mekanisme sterilisasi
menggunakan metode sterilisasi akhir panas basah (autoklaf) pada suhu
121o C selama 15 menit dengan tekanan 15 psi.

2. Saran
Setelah melakukan praktikum dalam pembuatan formulasi sediaan
steril infus dekstrosa 5%, kelompok kami menyarankan untuk praktikum
selanjutnya waktu yang dibutuhkan dalam bekerja perlu dipercepat
sehingga proses sterilisasi akhir dapat langsung dilakukan tanpa adanya
jeda 1 hari. Dimana hal tersebut akan dapat menyebabkan terjadinya
perubahan kestabilan pada sediaan dan adanya kontaminasi yang mungkin
terjadi pada sediaan.

29
DAFTAR PUSTAKA
Alfanti, E. F. 2007. Pengaruh Infus Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45% terhadap Kadar
Glukosa Darah Perioperatif pada Pasien Pediatri. Semarang: Universitas
Diponegoro.
Allen, L.V. 2002. The Art, Science, and Technology of Pharmaceutical
Compounding. Washington DC: American Pharmaceutical Association.
Anief, Moh. 2005. Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktik. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Ansel, H.C. 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi Keempat. Jakarta :
UI Press
Baxter Corporation. 2014. Prescribing Information of 5% Dextrose Ijection, USP/
10% Dextrose Injection, USP in a Viaflex Plastic Container. Revision on
30th July 2014. Canada: Baxter International Inc.
BPOM RI. 2012. Informasi Spesialite Obat Indonesia. Vol. 47 – 2012 s/d 2013.
Jakarta: Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI.
Fang, Z., R. L. Smith Jr., J.A. Kozinski, T. Minowa, K. Arai. 2011. Reaction Of
D-Glucose In Water At High Temperatures (410oc) And Pressures (180
Mpa) For The Production Of Dyes And Nano-Particles. The Journal of
Supercritical Fluids, Vol. 56, Hal. 41-47.
Jenkins, G. L., D. E. Francke, E. A. Brecht, and G. J. Sperandio. 1957. Scoville’s:
The Art of Compounding. New York: MC-Graw Hill Book Companies.
Kathleen, P. 1999. Martindale : The Complete Drug Reference 32nd Edition.
London: Pharmaceutical Press.
Kibbe, A. H. 2000. Handbook of Pharmaceutical Excipients Third Edition.
London: Pharmaceutical Press (PhP). Hal 175.
Kibbe, A. H. 2000. Handbook of Pharmaceutical Excipients Third Edition.
London: Pharmaceutical Press (PhP).
Lachman, L., H. A. Libermen, dan J.L. Kanig. 1994. Teori dan Praktek Farmasi
Industri, Edisi Ketiga. Jakarta: UI Press.
Lukas, S. 2006. Formulasi Steril. Yogyakarta: Penerbit Andi.
McEvoy, G. K. 2002. AHFS Drug Information. United State of America:
American Society of Health System Pharmcists.
McEvoy, G. K. 2002. AHFS Drug Information. United State of America:
American Society of Health System Pharmcists.
Mirtallo, Jay et al. 2004. Safe Practices for Parenteral Nutrition. Journal of
Parenteral and Enternal Nutrition. Vol. 28 (6): S39-S70
Nema, S and J.D Ludwig. 2010. Pharmaceutical Dosage Forms: Parenteral
Medications. Third edition. New York: Informa Healthcare
Niazi, S.K. 2009. Handbook of Pharmaceutical Manufacturing Formulations:
Sterile Products Second Edition. Volume 6. Boka Raton : CRC Press
Pratiwi, S. T. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Rachmawati, H. 2010. Sediaan Steril. Bandung: Fakultas Farmasi Institut
Teknologi Bandung.
Reynolds, J. E. F. 1989. Martindale The Extra Pharmacopea Twenty-nineth
Edition Book 1. London: Pharmaceutical Press (PhP).
Rowe, R. C., P.J. Sheskey, dan M.E. Quinn. 2009. Handbook of Pharmaceutical
Excipients Sixth Edition. London: Pharmaceutical Press.
Salawu, M. O., Oloyede, O.B. Oladiji, A.T., Yakubu, M.T., Atata, R.F. 2010.
Effect of delayed sterilization on the production of intravenous fluids
(parenterals). African Journal of Biotechnology Vol. 9(41), pp. 6948-6951.
Agoes, G. 2009. Sediaan Farmasi Steril. Bandung: Penerbit ITB.
Sultana, Y., J. Hamdard, and H. Nagar. 2007. Pharmaceutical Microbiology and
Biotechnology Sterilization Methods and Principles. New Delhi:
Department of Pharmaceutics Faculty of Pharmacy.
Sweetman, S. C. 2009. Martindale : The Complete Drug Reference Thirty-Sixth
Edition. London: Pharmaceutical Press.
Trissel, C.A. 2003. Handbook on Injectable Drugs 12th edition book 2. USA:
American Society of Health- System Pharmacist Inc
Voigt, R. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Edisi Ke-5. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
LAMPIRAN
Gambar 1. Karbon aktif setelah diaktivasi Gambar 2. Larutan Dekstrosa sebelum
ditambahkan arang aktif

Gambar 3. Larutan Dekstrosa setelah Gambar 4. Penyaringan Pertama


penambahan 0,45 gram karbon aktif
Gambar 5. Penyaringan Kedua Gambar 6. Penyaringan Ketiga

Gambar 7. Penyaringan Keempat Gambar 8. Penyaringan Kelima

Anda mungkin juga menyukai