Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ekosistem yang memegang peranan penting adalah ekosistem mangrove. Ekosistem


Hutan mangrove di dunia mencapai luas sekitar 16.530.000 Ha (FAO 1994), sedangkan di
Indonesia dilaporkan seluas 3.735.250 Ha. Dengan demikian, luas hutan mangrove Indonesia
hampir 50% dari luas mangrove Asia dan hampir 25% dari luas hutan mangrove dunia
(Onrizal, 2010). Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam wilayah pesisir
yang mempunyai peranan penting ditinjau dari sudut sosial, ekonomi, dan ekologis. Fungsi
utama sebagai penyeimbang ekosistem dan penyedia berbagai kebutuhan hidup bagi manusia
dan mahluk hidup lainnya. Sumberdaya hutan mangrove, selain dikenal memiliki potensi
ekonomi sebagai penyedia sumberdaya kayu juga sebagi tempat pemijahan (spawning
ground), daerah asuhan (nursery ground), dan juga sebagai daerah untuk mencari makan
(feeding ground) bagi ikan dan biota laut lainnya (Suzana et al. 2011).

Hutan Mangrove Wonorejo, Surabaya terletak di wilayah yang strategis yaitu sebagai
pusat kegiatan transportasi laut, dekat dengan Pantai Kenjeran, sering dilalui para nelayan
untuk mencari ikan dan saat ini telah dibuka untuk ekowisata. Hutan Mangrove Wonorejo
memiliki potensi sumberdaya pesisir yang cukup besar. Dengan adanya tekanan ekologis
terhadap ekosistem hutan mangrove, tentunya berdampak terhadap kerusakan ekosistem
hutan mangrove tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu kerusakan
ekosistem mangrove dapat disebabkan oleh alam seperti abrasi, badai, tsunami dan ulah
manusia yang menjadikan hutan mangrove sebagai konversi hutan mangrove, pembuangan
limbah sembarangan, dan penebangan liar.

Kondisi Hutan Mangrove Wonorejo, Surabaya terus mengalami penurunan luas dan
perubahan tingkat kerapatan. Menurut Rachmatullah (2016) hal itu disebabkan oleh
banyaknya konversi penggunaan lahan dari penutup lahan yang satu menjadi penutup lahan
lain yang banyak, penurunan hutan mangrove baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Masyarakat sekitar hutan mangrove juga kurang menyadari akibat dari ulah mereka dan
kurang mengetahui pentingnya keberadaan hutan mangrove.

Analisis Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove dengan Citra Satelit Landsat-8 dan Metode Nested 1
Sampling di Hutan Mangrove, Wonorejo
Menyadari pentingnya kawasan hutan mangrove ini, diperlukan penelitian untuk
menganalisis Laju Kerusakan Hutan Mangrove di Hutan Mangrove, Wonorejo serta meyusun
rencana aksi secara nasional demi menyelamatkan hutan mangrove yang tersisa. Penelitian
ini bertujuan untuk menentukan tingkat kerusakan ekosistem hutan mangrove berdasarkan
kerapatan dan tutupan hutan mangrove, serta tingkat partisipasi masyarakat dalam upaya
rehabilitasi ekosistem hutan mangrove dengan memanfaatkan citra satelit Landsat-8 dan
metode Nested Sampling. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber informasi
tentang kondisi kerusakan hutan mangrove di Hutan Mangrove Wonorejo, Surabaya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana tingkat kerusakan dan penyebab rusaknya ekosistem hutan
mangrove berdasarkan kerapatan dan tutupan hutan mangrove dengan metode
Nested Sampling?
2. Bagaimana hasil analisis tutupan hutan mangrove dengan memanfaatkan satelit
Landsat-8?
3. Bagaimana tingkat partisipasi masyarakat dalam upaya rehabilitasi ekosistem
hutan mangrove Wonorejo, Surabaya, Jawa Timur?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui tingkat kerusakan dan penyebab rusaknya ekosistem hutan
mangrove berdasarkan kerapatan dan tutupan hutan mangrove dengan metode
Nested Sampling
2. Untuk mengetahui hasil analisis tutupan hutan mangrove dengan memanfaatkan
satelit Landsat-8
3. Untuk mengatahui tingkat partisipasi masyarakat dalam upaya rehabilitasi
ekosistem hutan mangrove Wonorejo, Surabaya, Jawa Timur

1.4 Manfaat
A. Masyarakat
1. Mengetahui informasi mengenai tingkat kerusakan ekosistem hutan
mangrove
B. Pemerintah
1. Dapat dijadikan referensi dan desakan pemerintah agar lebih
memperhatikan eksosistem hutan mangrove Wonorejo, Surabaya

Analisis Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove dengan Citra Satelit Landsat-8 dan Metode Nested 2
Sampling di Hutan Mangrove, Wonorejo
C. Mahasiswa
1. Mengetahui informasi mengenai mengenai tingkat kerusakan ekosistem
hutan mangrove
2. Dapat dijadikan referensi untuk sumber penelitian

1.5 Batasan Masalah


Agar penelitian ini terarah dan untuk menghindari permasalahan, maka perlu adanya
pembatasan masalah sebagai:
a. Penelitian ini dilakukan di Hutan Mangrove Wonorejo, Rungkut, Kota Surabaya,
Jawa Timur
b. Penelitian hanya di fokuskan pada Analisis Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove
dengan Citra Satelit Landsat-8 dan Metode Nested Sampling di Hutan Mangrove,
Wonorejo

Analisis Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove dengan Citra Satelit Landsat-8 dan Metode Nested 3
Sampling di Hutan Mangrove, Wonorejo
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

No Penulis. Tahun. Judul Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan


1. Rizki Ade Pratama dan menggunakan metode Salah satu kawasan
Dian Rahmawati. ST., MT. participatory mapping, konservasi di sebelah timur
2017. Identifikasi dimana merupakan Kota Surabaya adalah
Pemanfaatan Kawasan analisis proses kawasan konservasi hutan
Konservasi Mangrove di penggambaran mangrove di Wonorejo.
Wonorejo Surabaya masyarakat yang Pada tahun 1985, kawasan
sistematik serta hutan mangrove adalah
melibatkan 3500 Ha. Pada tahun 2012,
pengumpulan data dan Luas hutan mangrove
informasi mengenai menurun menjadi 750 Ha.
masyarakat terkait Tetapi saat ini sekitar 223,8
pemanfaatan langsung Ha, sedangkan daerah ini
hutan mangrove. adalah tempat untuk 29
spesies tanaman mangrove
yang perlu dilestarikan.
Adapun luasan pemanfaatan
pada masing-masing
variabel adalah sebagai
berikut : manfaat hasil hutan
ikutan sebesar 1,98 Ha;
manfaat perikanan sebesar
39,28 Ha serta manfaat
rekreasi dan pariwisata
sebesar 14,46 Ha.
2. JANIA NURDELA, IIN Perolehan data primer Kawasan lindung Mangrove
ICHWANDI. 2015. dengan menggunakan berdasarkan Peraturan
Pengelolaan hutan berbasis metode wawancara Daerah Tata Ruang No. 3
masyarakat untuk tujuan dengan 6 orang yang Tahun 2007 dengan luas
ekowisata di Hutan terdiri dari ketua 73.28 ha yang mana terbagi
Mangrove Wonorejo, Kelompok Tani (KT) menjadi pantai seluas 21.68
Surabaya, Jawa Timur Bintang Timur, ketua ha, tambak seluas 16.64 ha,
Kelompok Parkir dan kakisu (kanan kiri
Mangrove, orang yang sungai) seluas 34.97 ha.
ditunjuk oleh Lembaga Pada HMW ini juga
Ketahanan Masyarakat didirikan lokasi ekowisata
Kelurahan (LKMK), seluas 14.4 Ha meliputi
Dinas Pertanian dan sebagian wilayah tambak,
Kehutanan Kota dan pantai. Pengelolaan
Surabaya, Kelompok Kawasan Mangrove di
Ekowisata Perahu dan seluruh Kota Surabaya
Pedagang Kaki Lima diserahkan kepada Tim
(PKL) untuk Pengawasan dan

Analisis Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove dengan Citra Satelit Landsat-8 dan Metode Nested 4
Sampling di Hutan Mangrove, Wonorejo
memberikan informasi Pengendalian Kawasan
mengenai pengelolaan Mangrove Pasca rehabilitasi
HMW dan data tahun 2014, luas hutan
mengenai manfaat mangrove di HMW
pengelolaan HMW bagi meningkat menjadi 73.28
kelompok-kelompok ha. Selain peningkatan luas
tersebut. kawasan yang berhutan,
Perolehan data sekunder kegiatan rehabilitasi HMW
dengan menggunakan memberikan manfaat bagi
studi pustakas dan Dinas Pertanian dan
perolehan data dari Kehutanan Kota Surabaya
instansi terkait yaitu adanya bantuan bibit
yang setara dengan Rp.
103.782.000 pada tahun
2010-2013, sedangkan
manfaat rehabilitasi bagi
Kelompok Tani Bintang
Timur adalah pemasukan
kas yang berasal dari sisa
biaya persiapan lahan dan
penjualan bibit pribadi KT
Bintang Timur yang
mencapai Rp. 28.000.000.
Pendapatan pertahun
tertinggi diperoleh oleh
kelompok ekowisata perahu
sebesar Rp. 341.370.000
dari total nilai manfaat
ekonomi per tahun ke empat
kelompok yaitu sebesar Rp.
822.730.000.
3. Nirmalasari Idha Wijaya, Dengan menggunakan Hasil penelitian ini adalah
dkk. 2017. PERUBAHAN analisis data citra Satelit Luas mangrove yang di
LUAS EKOSISTEM SPOT. untuk memantau dapat dari data citra SPOT 4
MANGROVE DI hutan mangrove adalah tahun 2011 adalah 417,15
KAWASAN PANTAI Citra SPOT 4, SPOT 5, Ha, SPOT 5 tahun 2013
TIMUR SURABAYA dan SPOT 6. adalah 491,62 Ha, dan
SPOT 6 tahun 2015 adalah
440,13 Ha. dari tahun 2011-
2013 ekosistem mangrove
mengalami penambahan
luasan sebesar 74,47 Ha dan
dalam kurun waktu dua
tahun mengalami
pengurangan akibat alih
fungsi lahan perumahan dan
apartemen yaitu pada tahun
2015 sebesar 51,49 Ha.
4. ARIS MAULANA Dengan menggunakan Sikap masyarakat terhadap
HAKIM. 2014. PERSEPSI, metode kuesioner dan HMW termasuk dalam

Analisis Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove dengan Citra Satelit Landsat-8 dan Metode Nested 5
Sampling di Hutan Mangrove, Wonorejo
SIKAP, DAN data statistik kategori tinggi, tetapi tidak
PARTISIPASI pengembangan HMW. ada faktor yang
MASYARAKAT Penentuan responden memengaruhi pembentukan
SEKITAR DALAM dilakukan secara sikap masyarakat terhadap
PENGELOLAAN HUTAN Purpossive Sampling HMW. Tingkat partisipasi
MANGROVE DI masyarakat dalam
WONOREJO, pengelolaan HMW
SURABAYA termasuk dalam kategori
rendah.ini karna tingkat
pendidikan yang rendah,
serta adanya faktor konflik
internal seperti kurang
kepercayaannya masyarakat
terhadap pengelolah
Ekowisata Perahu. Akan
tetapi hal tersebut tidak
terlalu memengaruhi tingkat
persepsi dan tingkat sikap
masyarakat terhadap HMW
yang terbukti tinggi dalam
mendukung keberadaannya
dan kelestariannya.
5. Riny Novianty, dkk. 2011. Dengan menggunakan Faktor utama penyebab
Indentifikasi kerusakan dan metode observasi kerusakan mangrove adalah
upaya rehabilitasi lapang. Data primer manusia dalam hal
ekosistem mangrove di diambil langsung dari pemanfaatan lahan secara
pantai utara kabupaten lapangan, berupa jenis berlebihan. Sementara
subang vegetasi mangrove, suhu faktor alam disebabkan oleh
air, salinitas dan tipe abrasi dan hama tanaman.
substrat. Rehabilitasi untuk
mangrove yang masuk
dalam kategori rusak berat
yaitu dengan menggunakan
green belt. Sedangkan
mangrove dalam kategori
rusak sedang direhabilitasi
dengan pola empang parit.
6.
7.

2.2 Kajian Teori


2.2.1 Ekosistem Hutan Mangrove
Menurut etimologi “mangrove” berasal dari kata “mangue” (bahasa prancis) dan kata “at
Grove” (bahasa inggris) yang memiliki maka komunitas tanaman yang tumbuh di daerah
berlumpur dan pada umumnya ditumbuhi oleh sejenis pohon bakau (rhtzophera sp) (Davis, 1940).
Hutan merupakan hutan yang terdapat di daerah pantai yang tergenangi air laut dan terpengaruh
oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Daerah pantai merupakan daratan

Analisis Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove dengan Citra Satelit Landsat-8 dan Metode Nested 6
Sampling di Hutan Mangrove, Wonorejo
yang terletak di bagian hilir daerah aliran sungai (DAS) yang di berbatasan dengan laut dan di
pengaruhi oleh pasang surut (Departemen Kehutan1994 dalamsantoso, 2000).
Mangrove merupakan suatu daerah yang bergerak akibat adanya pembentukan tanah lumpur
dan daratan secara konsisten sehingga secara perlahan berubah menjadi semi daratan. Mangrove
memiliki berbagai arti yang berbeda-beda, namun sebenarnya memiliki arti yang sama yaitu
ekosistem hutan daerah tropika dan subtropika yang terdapat di pantai rendah namun tenang,
berlumpur serta mendapat pengaruh pasang surut air laut. Hutan mangrove termasuk mata rantai
penting dalam pemeliharaan keseimbangan siklus biologi suatu perairan (Arief 2003). Menurut
Wightman (1989) dalam Sosio et al. (2014) memaparkan bahwa mangrove sebagai tumbuhan
yang terdapat di daerah pasang surut.
Menurut Pradini (2002) ekosistem mangrove merupakan suatu ekosistem khas wilayah pesisir
dan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara komponen abiotik seperti senyawa
anorganik, organik, pasang surut, salinitas dengan komponen biotik seperti produsen (vegetasi
dan plankton), konsumen makro (serangga, ikan, burung, dan buaya). Jadi dapat ditarik
kesimpulan bahwa ekosistem mangrove adalah tempat berlangsungnya kehidupan yang
mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara
makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir yang terpengaruh pasang surut air laut,
dan didominasi oleh spesies pohon atau semak dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau.
Bengen (2000) dalam Harahap (2010:52) memaparkan beberapa karakteristik hutan mangrove
sebagai berikut:
1. Tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau
berpasir
2. Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya
tergenang pada saat pasang purnama serta frekuensi genangan menentukan komposisi
vegetasi hutan mangrove
3. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat
4. Terlindungi dari gelombang besar dan arus pasang surut yang cukup kuat. Air
bersalinitas payau (2-22 permil) hingga asin (mencapai 38 permil)
Tumbuhan mangrove juga memiliki daya adaptasi yang khas untuk dapat terus hidup
diperairan laut yang dangkal. Daya adaptasi tersebut menurut Dahuri (1996) meliputi:
1. Perakaran yang pendek dan melebar luas, dengan akar penyangga atau tudung akar
sehingga menjamin kokohnya batang
2. Memiliki daun yang kuat dan mengandung banyak air
3. Mempunyai jaringan internal penyimpan air serta memiliki konsentrasi garam yang
tinggi.

Analisis Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove dengan Citra Satelit Landsat-8 dan Metode Nested 7
Sampling di Hutan Mangrove, Wonorejo
Beberapa tumbuhan mangrove memiliki kelenjar garam yang berfungsi untuk menjaga
keseimbangan osmotik dengan mengeluarkan garam. Menurut Kustanti (2011:10) menyebutkan
klasifikasi mangrove berdasarkan vegetasi dominan penyusunnya sebagi berikut:
1. Kelompok mayor ( vegetasi dominan) adalah komponen yang memperlihatkan
karakter morfologi, seperti mangrove yang memiliki sistem perakaran udara dan
mekanisme fisiologi khusus berfungsi untuk mengeluarkan garam agar dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Di Indonesia mangrove yang termasuk ke
dalam kelompok mayor adalah Rizopora Apiculata, R. Mucronata, Sonneratia alba,
Avicennia marina, A. Officinalis, Bruguiera gymnorrhiza, B. Cylinrica, B. Parvifolia,
B. Sexangula, Ceriops Tagal, Kandelia Candel, Xylocarpus Granatum, dan X.
Moluccensis.
2. Kelompok minor (vegetasi marginal) adalah komponen yang tidak termasuk elemen
yang menyolok dari tumbuh-tumbuhan yang mungkin terdapat di sekeliling
habitatnya dan jarang berbentuk tegakan murni. Jenis-jenis ini biasanya berkumpul
dengan mangrove yang tumbuh pada daerah yang mengarah ke darat. Jenis-jenis
kelompok ini yang penting di Indonesia adalah Bruguiera cylindrica, Lumnitzera
recemosa, Xylocarpus moluccensis, Pandanus spp., Camulus erinaceus, Glochidion
littorate, Scolopia macrophylla, dan Oncosperma tigillaria.

Menurut Dahuri et al (2001) dalam Harahap (2010:54) memaparkan dua parameter


lingkungan utama yang dapat menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove
yaitu:

1. Suplai air tawar dan salinitas


Ketersediaan air tawar dan konsentrasi air garam (salinitas) mengendalikan
efisiensi metabolik (metabolic eficiency) dari ekosistem hutan mangrove.
Ketersediaan air tawar tergantung dari frekuensi dan volume air dari sungai dan
sistem irigasi darat, frekuensi dan volume air dari pertukaran pasang surut, dan
tingkat evaporasi ke atmosfer. Perubahan penggunaan lahan darat mengakibatkan
terjadinya modifikasi masukan air tawar, tidak hanya mengubah kadar garam yang
ada, tetapi dapat mengubah aliran nutrien dan sedimen.
2. Pasokan nutrien
Pasokan nutrien bagi ekosistem mangrove dapat ditentukan oleh berbagai
proses yang saling terkait, meliputi input dan ion-ion mineral organik serta bahan
organik secara internal melalui jaring-jaring makan berbasis detritus. Konsentrasi
relatif dan rasio optimal dari nutrien yang diperlukan untuk pemiliharaan
produktivitas ekosistem mangrove ditentukan oleh frekuensi, jumlah dan lamanya
penggenangan oleh air asin dan tawar, serta dinamika sirkulasi internal dari kompleks

Analisis Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove dengan Citra Satelit Landsat-8 dan Metode Nested 8
Sampling di Hutan Mangrove, Wonorejo
detritus, dan juga Stabilitas substrat Kestabilan substrat, rasio antara erosi dan
perubahan letak sedimen diatur oleh velositas air tawar, muatan sedimen, semburan
air pasang surut dan gerak angin.
2.2.3 Pemetaan Penggunaan Lahan
Pemetaan adalah proses pengukuran, perhitungan dan penggambaran permukaan

bumi (geodesi) dengan menggunakan cara atau metode tertentu sehingga didapatkan hasil

berupa softcopy maupun hardcopy ( Aronoff, 1989). Pemetaan penggunaan lahan adalah

suatu proses pengukuran pada suatu perubahan lahan yang dilakukan oleh aktivitas manusia.

Dalam penelitian pemetaan penggunaan lahan adalah untuk mengetahui sejauh mana

perubahan penggunaan lahan kawasan hutan mangrove di kawasan hutan mangrove

Wonorejo, Rungkut, Surabaya.

2.2.4 Sistem Informasi Geografi (SIG / GIS)

Sistem Informasi Geografis adalah suatu sistem informasi yang mengelola data dan

memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan) melalui sistem komputer yang memiliki

kemampuan untuk membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi

berefrensi geografis, misalnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya, dalam sebuah

database ( Aronoff, 1989).

2.2.5 Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove


Pada umumnya kerusakan ekosistem hutan mangrove disebabkan oleh aktivitas
manusia dalam pendayagunaan sumberdaya alam wilayah pantai tidak memperhatika
kelestarian, seperti: penebangan untuk keperluan kayu bakar yang berlebihan, tambak,
pemukiman, industri,dan pertambangan (Permenhu,2004). Dalam penelitian ini yang
dimaksud dengan kerusakan hutan mangrove adalah penyusutan luas kawasan hutan
mangrove akibat aktivitas penduduk dan peralihan fungsi lahan menjadi area ekowisata.

Kerusakan-kerusakan dapat menurunkan fungsi-fungsi mangrove baik secara bio-ekologis


berupa rusaknya sistem maupun fungsi ekonomis. Kesalahan manajemen hutan mangrove juga
berpotensi besar terhadap degradasi fungsi mangrove. Ada beberapa dampak sebagai akibat aktivitas
manusia pada atau sekitar wilayah mangrove antara lain yaitu:

Analisis Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove dengan Citra Satelit Landsat-8 dan Metode Nested 9
Sampling di Hutan Mangrove, Wonorejo
1. Konversi lahan menjadi pertanian, perikanan dan pemukiman dapat mengancam
regenerasi stok ikan dan biota biota alami sekitar mangrove.
2. Tebang habis berdampak terhadap berubahnya komposisi tumbuhan, pohon-
pohon mangrove akan digantikan oleh spesies-spesies yang nilai komersialnya rendah dan
terjadi penurunan fungsi sebagai feeding,nursery, psawning ground.
3. Pengalihan aliran air tawar misalnya pada pembangunan irigasi berdampak pada
peningkatan salinitas dan penurunan kesuburan mangrove.
4. Pembuangan sampah padat memungkinkan tertutupnya pneumatopor
yang berakibat kematian mangrove. Pencemaran dengan tumpahan minyak menyebabkan
kematian mangrove (Kusmana 2002).

Menurut Soesanto dan Sudomo (1994) kerusakan ekosistem hutan mangrove


dapat di sebabkan oleh berbagai macam halantara lain :
1. Kurang dipahami kegunaan ekosistem hutan mangrove
2. Meskipun hutan mangrove terus terancam kelestariannya,namun berbagai aktifitas penyebab
kerusakan hutan mangrove terus terjadi dan adakalanya dalam skala intenitas yang terus
meningkat
2.2.6 Dampak Kerusakan Hutan Mangrove.
Dampak ekologis secara umum akibat rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai
spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove dan dalam jangka panjang akan
mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove. Menurunnya kualitas dan kuantitas hutan mangrove
juga mengakibatkan dampak yang sangat mengkhawatirkan, seperti abrasi yang selalu meningkat,
penurunan tangkapan perikanan pantai, intrusi air laut yang semakin jauh ke arah darat, malaria dan
lainnya (Santoso,2008).

Instrusi air laut adalah masuknya atau merembesnya air laut kea rah daratan sampai
mengakibatkan air tawar sumur/sungai menurun mutunya, bahkan menjadi payau atau asin (santoso,
2008). Dampak instrusi air laut ini sangat penting, karena air tawar yang tercemar intrusi air laut akan
menyebabkan keracunan bila diminum dan dapat merusak akar tanaman. Instrusi air laut telah terjadi
dihampir sebagian besar wilayah Hutan Mangrove Wonorejo.

Selain itu potensi dan manfaat ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan dari kawasan hutan
mangrove juga akan terus menurun atau bahkan hilang, baik pada tingkat spesies maupun tingkat
ekosistem apabila bentuk pengelolaan dan relasi sosial ekonomi dibangun antara ekosistem dan
masyarakat tidak mengalami perubahan.

2.2.7 Upaya Pelestarian Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove

Analisis Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove dengan Citra Satelit Landsat-8 dan Metode Nested 10
Sampling di Hutan Mangrove, Wonorejo
Kusmana (2005:8) menyatakan bahwa secara umum semua habitat pohon
mangrove di dalam ekosistem hutan mangrove yang mengalami kerusakan dapat
memperbaiki kondisinya seperti semula secara alami dalam waktu 15-20 tahun apabila :
1. Kondisi normal hidrologi tidak tertanggu.
2. Ketersediaan biji dan bibit serta jaraknya tidak terganggu atau terhalangi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 43 tentang kehutanan
bahwa dalam kaitan kondisi hutan mangrove rusak pada setiap orang yang
memiliki,mengelola atau memanfaatkan hutan mangrove wajib melaksanakan rehabilitasi
untuk tujuan perlindungan konservasi, yaitu:

1. Rehabilitasi Hutan Mangrove

Ekosistem mangrove yang rusak dapat dipulihkan dengan cara restorasi/rehabilitasi. Restorasi
dipahami sebagai usaha untuk mengembalikan kondisi lingkungan kepada kondisi semula secara
alami. Peran serta atau keterlibatan masyarakat dalam upaya pengembangan wilayah, khususnya
rehabilitasi hutan mangrove sangat penting dan perlu dilakukan. Pemerintah pusat maupun daerah
harus memberikan kesempatan pada masyarakat untuk ikut terlibat dalam pengelolaan dan pelestarian
hutan mangrove. Selanjutnya masyarakat perlu diberikan bimbingan dan sosialisasi tentang arti
pentingnya hutan mangrove.

2. Perbaikkan ekosistem wilayah pesisir secara terpadu dan berbasis masyarakat.

Perbaikan ekosistem wilayah pesisir berbasis masyarakat perlu diterapkan artinya dalam
memperbaiki ekosistem wilayah pesisir sangat penting untuk melibatkan masyarakat yang kemudian
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Selain itu konsep-konsep lokal (kearifan
lokal) tentang ekosistem dan pelestariannya perlu ditumbuhkembangkan.

3. Supremasi Hukum Lingkungan

Supremasi Hukum Lingkungan yaitu Undang-undang no. 32 Tahun 2009 tentang


perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Setelah masyarakat dilibatkan dalam pengelolaan,
pengembangan hutan mangrove dan diberi penyuluhan atau wawasan mengenai arti pentingan
lingkungan hutan mangrove, maka pemerintah harus menindaklanjuti dengan menegakkan hukum
sesuai dengan ketetapan undang-undang yang berlaku. Masyarakat baik perorangan maupun
berkelompok atau perseroan harus ditindak tegas bilamana melakukan pelanggaran.

4. Membangun Breakwater

Analisis Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove dengan Citra Satelit Landsat-8 dan Metode Nested 11
Sampling di Hutan Mangrove, Wonorejo
Breakwater (pemecah ombak) berfungsi untuk meredam gelombang sehingga memberikan
kesempatan kepada tanaman bakau untuk tumbuh dan berkembang. Sebelum membangun breakwater
perlu diketahui terlebih dahulu tipe ombaknya (Riny, Sukaya, dan Dony, 2011).

5. Penilaian terhadap Pelaksanaan Solusi untuk Mengatasi Kerusakan Hutan Mangrove di


Indonesia

Selama ini yang terjadi adalah pemerintah kurang dalam memberikan bimbingan dan
penyuluhan terhadap masyarakat, aspek penegakan hukum pun sangat lemah. Apalagi jika yang
melanggar seorang pejabat atau pengusaha kaya, sering kali pelanggar dapat dengan mudah terbebas
dari jeratan hukum tanpa adanya efek jera. Selain itu, dalam upaya melakukan reboisasi, pemerintah
hanya memberikan sosialisasi saja kepada masyarakat tanpa ada bantuan teknis dalam pelaksanaan
dan pengawasannya. Begitupun dalam membangun breakwater dilakukan hanya oleh masyarakat
setempat dan OISCA (Organization for Industrial Spritual and Cultural Advancement) tanpa peran
serta dari pemerintah (Ifati dkk, 2011). Jadi didalam upaya mengatasi kerusakan hutan mangrove di
Indonesia masih belum maksimal, karena belum terjalin kerjasama yang baik antara pihak pemerintah
dan masyarakat.

2.3 Kerangka Berfikir Riset

Pemetaan Guna Lahan

Analisis Kerapatan Berbasis


GIS Analisis Laju
Kerusakan
Analisis Kerapatan Berbasis Mangrove Wonorejo
Nested Sampling

Analisa sosial

2.4 Kerangka Konsep Riset

Analisis Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove dengan Citra Satelit Landsat-8 dan Metode Nested 12
Sampling di Hutan Mangrove, Wonorejo
Analisa kerusakan lahan mangrove

Penentuan tujuan & manfaat penelitian

Observasi & survey lahan mangrove Wonorejo dengan


metode Nested Sampling serta wawancara masyarakat
sekitar

Pengumpulan data dari pemetaan guna lahan dan hasil


observasi

Pengolahan & analisa data berbasis GIS serta deskriptif


dari obeservasi

Pengolahan hasil data menjadi Laporan

2.5 Hipotesis Penelitian


H1 = Kerusakan hutan Mnagrove Wonorejo belum menunjukkan keparahan
H2= Kerusakan hutan Mangrove Wonorejo sudah menunjukkan keparahan
H3= Kerapatan hutan Mangrove Wonorejo lebat
H4 = Kerapatan hutan Mangrove Wonorejo jarang
H5 = Partisipasi masyarakat antusias dan turut serta dalam merehabilitasi
ekosistem hutan Mangrove Wonorejo
H6 = = Partisipasi masyarakat tidak antusias dan tidak turut serta dalam
merehabilitasi ekosistem hutan Mangrove Wonorejo

Analisis Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove dengan Citra Satelit Landsat-8 dan Metode Nested 13
Sampling di Hutan Mangrove, Wonorejo
BAB III
METODOLOGI

3.1 Pendekatan Riset

3.2 Waktu dan Tempat Riset

Gambar 1. Peta Lokasi


Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan, pada bulan November 2018
sampai dengan Desember 2018. Tempat penelitian adalah kawasan hutan mangrove
Wonorejo, Rungkut, Kota Surabaya, Jawa Timur. Pengolahan data dilakukan di
Laboratorium Oceanografi, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

3.3 Subjek Riset


Subjek penelitian menurut Faisal (2005 : 109) menunjuk pada orang, individu,
kelompok yang dijadikan unit atau satuan yang akan diteliti. Pada penelitian ini yang
menjadi subjek adalah Vegetasi Mangrove
Alasan kami memilih kedua lokasi tersebut karena lokasi ini merupakan
kawasan pesisir yang mana dekat dengan lokasi peneliti, dan kawasan wisata yang
kini banyak dikunjungi wisatawan. Untuk itu, dengan hasil penelitian yang dapat
dicapai pada penelitian diharapkan dapat memperoleh informasi tentang bagaimanan
tingkat laju kerusakan pada wilayah Hutan mangrove, Wonorejo.

3.4 Jenis Data Riset

Analisis Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove dengan Citra Satelit Landsat-8 dan Metode Nested 14
Sampling di Hutan Mangrove, Wonorejo
3.4.1 Data Primer
Data primer merupakan sumber data yang diperoleh secara langsung dari
lapangan. Data primer yang dibutuhkan yaitu wawancara, data biotik dan data
abiotik. Wawancara yang dilakukan yaitu dengan mewawancarai warga
sekitar. Data biotik meliputi vegetasi tingkat semai, pancang, tiang dan pohon,
diameter pohon, tinggi pohon, jenis tumbuhan dan jumlah jenis tumbuhan.
Sedangkan data abiotik meliputi suhu, kelembaban dan salinitas.
3.4.2 Data Sekunder
Data sekunder merupakan sumber data yang diperoleh peneliti secara tidak
langsung diperoleh dan dicatat oleh pihak lain seperti dari studi pustaka. Studi
pustaka ini mengenai karakteristik mangrove yang berupa hasil penelitian
terdahulu, peta kawasan dan informasi dari warga sekitar yang sudah ada.

3.5 Alat dan Bahan


Pada penelitian ini alat yang digunakan disajikan dalam Tabel 3.
No Alat dan Bahan Fungsi
1. Multi Tester Mengukur suhu, Ph, DO
2. Salinometer Mengukur Salinitas
3. GPS Penentuan titik stasiun
4. Alat Tulis Mencatat hasil Penelitian
5. Kamera Mencatat hasil penelitian
6. Aquades Kalibrasi Alat
7. Kuisioner Pengumpulan data
8. Tissue Membersihkan alat
9. Tali Membuat petak ukur
10. Microsoft Excel Mengolah data
11. Meteran Untuk mengukur lingkaran pohon dan
luas petak ukur
12. Arcgis 10.2 Menganalisis data tutupan lahan

3.6 Metode Riset


Penelitian ini telah dilaksanakan selama enam bulan mulai dari penyusunan bulan
Oktober hingga laporan bulan Juni 2019. Penelitian ini bertempat di Hutan Mangrove,
Wonorejo, Surabaya, lokasi tersebut dipilih karena memiliki muara atau pertemuan sungai
dengan laut.

Analisis Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove dengan Citra Satelit Landsat-8 dan Metode Nested 15
Sampling di Hutan Mangrove, Wonorejo
Untuk menjawab tujuan penelitian maka metode yang digunakan antara lain:
3.6.1 Metode untuk mengetahui kerusakan hutan mangrove
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode jalur berpetak “Nested
Sampling” dengan pendekatan deskriptif kuantitatif. Nested Sampling adalah kombinasi
antara jalur dan garis berpetak.
Untuk menghitung kerusakan hutan mangrove berdasarkan kerapatan jenis mengikuti
formulasi dari Odum (1971) sebagai berikut.
Di = Ni / A
Keterangan :
Di = Kerapatan jenis (tegakan/m2 )
Ni = Jumlah total tegakan species (tegakan)
A = Luas daerah yang disampling (1 m2 )
Untuk menghitung penutupan relatif menggunakan formulasi sebagai berikut.
RCi = (Ci/ΣC) x 100
Ci = ΣBA/A
Keterangan:
BA = ΠDBH 2 /4 (dalam cm2), π (3,1416) adalah suatu konstanta dan DBH adalah diameter
batang pohon dari jenis I,
A = luas total area pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot).
DBH = CBH/π (dalam cm),CBH adalah lingkaran pohon setinggi dada
Untuk pengambilan data pada lokasi penelitian dengan menggunakan Pengamatan
tingkat pohon dilakukan dengan cara jalur, sedangkan pengamatan tingkat semai dan pancang
dilakukan dangan cara garis berpetak (Toknok, 2012).
Plot pengamatan, disajikan pada gambar sebagai berikut:

C. 10m x 10m

B. 5m x 5m

A. 2m x 2m

Gambar 2. Plot pengamatan metode Nested Sampling

Keterangan:
A. Petak analisis tingkat semai, 2m x 2m

Analisis Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove dengan Citra Satelit Landsat-8 dan Metode Nested 16
Sampling di Hutan Mangrove, Wonorejo
B. Petak analisis tingkat pancang, 5m x 5m
C. Petak analisis tingkat pohon, 10m x 10m
Plot pengamatan dibagi menjadi dua jalur yaitu vegetasi yang rusak dan satu jalur
vegetasi yang masih baik sebagai pembanding, dan diletakkan secara acak pada vegetasi yang
berbeda. Penarikan jalur/transek dari arah laut ke darat, sebanyak tiga jalur berbentuk bujur
sangkar dengan ukuran 10 m x 10 m (pohon), 5 m x 5 m (pancang) dan 2 m x 2 m (semai).
3.6.2 Metode untuk mengetahui penyebab kerusakan hutan mangrove
Metode pengumpulan data yaitu melalui wawancara, yang menjadi populasi adalah
semua masyarakat yang berdomisili di sekitar wilayah pesisir Wonorejo. Jumlah responden
yaitu sebanyak 10% dari populasi. Metode pemilihan responden dilakukan secara acak
(Random sampling). Data yang diperoleh dari wawancara dianalisis secara deskriptif untuk
mendapatkan gambaran tentang kondisi sosial-interaksi masyarakat di sekitar pesisir
Wonorejo. Data yang diperoleh dari kuesioner dianalisis secara deskriptif untuk mendapatkan
gambaran tentang kondisi sosial-interaksi masyarakat.
3.6.3 Metode dampak kerusakan hutan mangrove
Metode pengumpulan data dilakukan melalui pengumpulan data yaitu studi
pustaka. Saat melakukan studi pustaka, Peneliti melakukan pengumpulan data yang
mendukung dalam penelitian ini. Serta melakukan observasi untuk mendapatkan data-
data yang valid dengan turun langsung ke lapangan. Dengan begitu kita dapat
mengetahui dengan pasti bagaimana dampak kerusakan hutan mangrove. Selanjutnya
data temuan dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan kondisi existing, data dan
informasi ini dilihat selama beberapa periode. Kemudian data digambarkan melalui tebel dan
peta untuk mengetahui gambaran kondisi sebaran kerusakan kawasan mangrove.
3.6.4 Metode untuk mengetahui tutupan hutan mangrove
Untuk menentukan sebaran, luasan serta perubahan tutupan lahan mangrove yang
diperoleh dengan menganalis tutupan lahan berdasarkan citra komposit warna (RGB 654
Landsat-8 TM tahun 2018 danRGB 543 Landsat 5 tahun 2013-2018) dan klasifikasi tutupan
lahan dengan digitasi serta data lapangan. Proses komposit dan penajaman Citra Satelit
Landsat 8 TM menggunakan software open source yaitu Spectral Transformer For Landsat 8
(DOS) sedangkan untuk Citra Satelit Landsat 5 TM menggunakan software ArcGIS 10.2.
3.7 Flowchart (Alur Kerja)
Penelitian adalah proses mempelajari, memahami, menganalisis, serta
memecahkan masalah berdasarkan fenomena yang ada dan juga merupakan rangkaian
proses yang panjang dan terkait secara sistematis.
Penelitian yang baik dan terarah akan menghasilkan kesimpulan yang baik
pula. Agar penelitian berjalan dengan baik dan terarah maka diperlukan kerangka

Analisis Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove dengan Citra Satelit Landsat-8 dan Metode Nested 17
Sampling di Hutan Mangrove, Wonorejo
penelitian yang di dalamnya berisi suatu deskripsi dan langkah-langkah yang harus
dilakukan dalam melakukan penelitian, mulai dari tahap awal yaitu identifikasi dan
perumusan masalah sampai tahap akhir kesimpulan.
Dapat kita lihat langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini ke dalam
flowchart berikut :
3.7.1 Flowchart

START

Identifikasi dan Perumusan


Masalah

Penentuan Tujuan dan


Manfaat

Observasi dan Survey


Lapangan

Pengumpulan data

Pengolahan dan Analisa


Data

Pengolahan dalam bentuk


Laporan

FINISH

3.7.2 Deskripsi Flowchart


1. Identifikasi dan Perumusan Masalah

Analisis Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove dengan Citra Satelit Landsat-8 dan Metode Nested 18
Sampling di Hutan Mangrove, Wonorejo
Langkah ini dimulai dengan mencari suatu masalah yang akan diteliti
melalui jurnal-jurnal, informasi, serta beberapa buku. Peneliti tertarik
menangkat topik tentang kerusakan ekosistem hutan mangrove, di Hutan
Mangrove, Wonorejo, Surabaya. Maka diperlukan survei dan observasi
untuk mengetahui kondisi mangrove dan untuk perbandingan di tiap lokasi
yang diteliti.
2. Penentuan Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dan manfaat dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
kerusakan ekosistem hutan mangrove, di Hutan Mangrove, Wonorejo,
Surabaya dengan hasil akhir berupa laporan. Adapun tujuan dan manfaat
dari penelitian ini adalah seperti yang dijelaskan pada Subbab 1.3,
sedangkan hasil dari tujuan penelitian ini diharapkan mampu memberikan
informasi bagi masyarakat bagaimana kerusakan ekosistem hutan
mangrove, di Hutan Mangrove, Wonorejo, Surabaya dan mampu
menjadikan dorongan bagi pemerintah agar lebih memperhatikan Ekosistem
Hutan Mangrove.
3. Obervasi dan Survey Lapangan
Survey dilakukan untuk mendapatkan data-data yang valid dengan
turun langsung ke lapangan. Dengan begitu kita dapat mengetahui dengan
pasti bagaimana kerusakan ekosistem hutan mangrove, di Hutan Mangrove,
Wonorejo, Surabaya.
Observasi adalah pengamatan yang dilakukan untuk mengkaji dan
meneliti kondisi sekitar untuk mendapatkan informasi-informasi yang
dibutuhkan. Hasil penelitian yang sesuai dengan permasalahan yang
dibahas dengan cara mempelajari teori-teori yang relevan dengan topik
kajian. Adapun teori-teori yang mendukung dalam penelitian ini adalah
mengenai kerusakan ekosistem hutan mangrove, di Hutan Mangrove,
Wonorejo, Surabaya.
4. Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, terbagi menjadi dua langkah yaitu survey
dan studi pustaka. Pada saat melakukan survey, peneliti mendatangi lokasi
yaitu, Ekowisata Hutan Mangrove, Wonorejo, Surabaya. Saat melakukan
studi pustaka, Peneliti melakukan pengumpulan data yang mendukung
dalam penelitian ini, yaitu mengenai kerusakan ekosistem hutan mangrove.

Analisis Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove dengan Citra Satelit Landsat-8 dan Metode Nested 19
Sampling di Hutan Mangrove, Wonorejo
5. Pengolahan dan Analisa Data
Setelah mendapatkan hasil survey dan observasi, study pustaka (jurnal,
serta buku literatur) yang berhubungan dengan masalah yang dibahas oleh
peneliti, kemudian dilaksanakan Analisa data. Dalam pengolahan data,
peneliti mengambil dan mengutip isi dari jurnal maupun buku literatur yang
diperlukan untuk mendukung penelitian dan melakukan analisa data
terhadap hasil survey dengan data studi pustaka.
6. Pengolahan dalam bentuk laporan
Hasil dari proses-proses di atas diolah dan dirangkum untuk menjawab
permasalahan yang ada serta disusun dalam bentuk sebuah laporan.

DAFTAR PUSTAKA

Analisis Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove dengan Citra Satelit Landsat-8 dan Metode Nested 20
Sampling di Hutan Mangrove, Wonorejo
Analisis Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove dengan Citra Satelit Landsat-8 dan Metode Nested 21
Sampling di Hutan Mangrove, Wonorejo

Anda mungkin juga menyukai