Anda di halaman 1dari 2

Kisah Datung Ayuh dan

Bambang Siwara
Menurut versi cerita rakyat, bahwa terbentuknya sub-suku Banjar
Pahuluan dan Banjar Kuala dikaitkan dengan sebuah cerita rakyat
yang berkembang di kalangan masyarakat Kalimantan yang
dikenal dengan kisah Datung Ayuh dan Bambang
Siwara. Cerita rakyat ini mengisahkan tentang perbedaan
pandangan antara dua orang bersaudara yang bernama Ayuh dan
Bambang Siwara. Kedua orang bersaudara ini diturunkan oleh
Ning Bahatara dari alam Patilarahan ke alam dunia. Konon,
daerah Batu Bintihan yang terdapat di bagian sebelah Barat
Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan diyakini sebagai
tempat pendaratannya. Keyakinan ini diperkuat dengan sebuah
batu sebesar truk gajah yang melintang di tengah Sungai
Amandit yang di bagian atasnya terdapat puluhan pasang bekas
telapak kaki yang masih tergurat.

Di dunia, kedua orang bersaudara tersebut menjalani hidup


mereka sebagai manusia di hutan belantara Kalimantan. Sebagai
bekal, keduanya diberi buku yang berisi sejumlah ilmu. Lalu buku
tersebut mereka bagi menjadi dua bagian yang sama. Mereka
pun menerimanya dengan senang hati. Namun, belum sempat
mereka mempelajari buku itu, tiba-tiba tempat mereka dilanda
banjir. Apa yang akan mereka lakukan terhadap buku tersebut?
Selamatkah mereka dari ancaman banjir tersebut? Ikuti kisahnya
dalam cerita Ayuh dan Bambang Siwara berikut ini.

***

Alkisah, di daerah Batu Bintihan di bagian sebelah Barat


Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan, hiduplah dua orang
bersaudara yang bernama Ayuh dan Bambang Siwara. Mereka
berasal dari alam Patilarahan yang diutus oleh Ning Bahatara
untuk menjalani hidup mereka sebagai manusia biasa di dunia.
Untuk menjalani kehidupan sehari-hari, mereka dibekali sebuah
buku yang berisi tentang berbagai macam ilmu pengetahuan.
Sebagai tanda persaudaraan, keduanya sepakat untuk membagi
buku petunjuk itu. Lalu buku itu mereka penggal menjadi dua
bagian secara diagonal, sehingga buku itu disebut juga Buku Ba-
rincung.[3] Ayuh dan Bambang Siwara menerimanya dengan
senang hati.

Namun, belum sempat mereka mempelajari isi buku itu, tiba-tiba


tempat mereka dilanda banjir besar. Tanpa pikir panjang, Ayuh
segera menelan buku itu. Ia sangat khawatir buku itu rusak
terendam banjir. “Ah, buku ini sudah aman di dalam perutku,”
kata Ayuh dalam hati dengan senangnya.

Anda mungkin juga menyukai