Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN KERJA PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

MULAI KERJA, PUNCAK EFEK DAN LAMA KERJA OBAT


PADA OBAT ANALGETIK

OLEH :

KELAS B KELOMPOK 7

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
OKTOBER 2018
NAMA ANGGOTA KELOMPOK 7

Ilfi Alfiani 201810330311079


Alfitra Salsabillah Putri F . 201810330311076
Muhammad Haris Firdausi 201810330311089
Aviva Martha Tilana 201810330311107
Waldiansyah Rizkyfi Makky 201810330311098
Vini Da’watu Al Haqq A. S. 201810330311037
Cerelia Iftina Nugroho 201810330311025
Achmad Rivaldy Ibrahim 201810330311067
Muhammad Alwan A. 201810330311071
Rifita Rahma Virawati 201810330311125
Seftiana Khaerun Nisa 201810330311059
BAB I

1.1 Pendahuluan

Efek farmakologik obat merupakan fungsi dari konsentrasi obat di


tempat kerja obat. Ada tiga fase yang didapatkan dari hubungan waktu dan
efek obat yaitu mula kerja, (onset of action),puncak efek (peak effect),
lama kerja obat (duration of action). Ketiga fase ditentukan oleh kecepatan
arbsorbsi, distribusi, metabolisme dan sekresi obat.

Cara pemberian obat merupakan salah satu faktor yang


mempengaruhi arbsorbsi obat. Ada dua cara dalam pemberian obat yaitu
peroral dan parenteral. Peroral dinilai lebih aman, nyaman, dan murah.
Pada peroral pula didapatkan keunikan dalam arbsorbsi obat akibat
pengaruh sistem GIT dan adanya pre-sistemik eliminasi.

Dalam makalah ini. Peneliti berusaha untuk mengetahui mula kerja


dari obat analgetik yang diberikan secara peroral atau melalui mulut dan
intraperitonal atau melalui injeksi. Percobaan ini dilakukan melalui media
dua ekor tikus putih.

Penelitian ini menggunakan analgesic meter. Analgesik meter


merupakan alat yang berfungsi memberi rangsang nyeri berupa tekanan.
Hal ini dapat membantu peneliti untuk mngetahui mula kerja, puncak
efek,, dan lama kerja obat di tikus.

1.2 Rumusan masalah

1. Bagaimanakah mula kerja (onset of action) analgetik pada pemberian


peroral dan intraperitoneal ?
2. Bagaimanakah puncak efek (peak effect) analetik pada pemberian peroral
dan intraperitoneal ?
3. Bagaimanakah lama kerja obat (duration of action) analgetik pada
pemberian peroral dan intraperitonial ?

1.3 Tujuan Praktikum

1. Mengetahui mula kerja (onset of action) analgetik pada pemberian peroral


dan intraperitoneal.
2. Mengetahhui puncak efek (peak effect) analetik pada pemberian peroral
dan intraperitoneal.
3. Mengetahui lama kerja obat (duration of action) analgetik pada pemberian
peroral dan intraperitonial
BAB II

2.1 Tinjauan Pustaka

a. Pemberian Obat secara oral

Pemberian obat secara peroral termasuk pemberian obat secara enteral.


Pemberian obat peroral atau melalui mulut. Keuntungan dalam pemberian
obat peroral yakni obat mudah diberikan dan dapat membatasi jumlah infeksi
sistemis yang dapt mempersulit tata laksana. Pemberian obat peroral melalui
sistem pencernaan yang akan diabsorpsi mulai dari lambung, namun
duodenum merupakan pintu masuk semua sitemik karena permukaan absorbsi
lebih besar. Bagian besar obat yang di absorbsi dari saluran cerna masuk
menuju sirkulasi portal dan hati sebelum terdistribusi ke dalam sirkulasi
umum.

b. Pemberian obat secara interperitoneal

Pemberian obat secara intraperitoneal adalah pemberian obat melalui


lapisan perineal. Obat langsung dimasukkan ke dalam lapisan peritoneal
(lapisan antara kulit dan organ) yang banyak mengandung pembuluh darah
kapiler. Obat akan lebih mudah masuk ke pembuluh darah tanpa harus
mengalami absorbsi di lambung.

c. Efek farmakologik obat

Efek farmakologik obat merupakan fungsi dari konsentrasi obat di tempat


kerja obat. Ada tiga faase yang didapatkan dari hubungan waktu dan efek
obat, yaitu:

1. Mula kerja (onset of action): jumlah waktu yang diperlukan oleh suatu
obat untuk mulai bekerja. Obat yang diberikan secara interperitoneal
secara umum mempunyai mula kerja lebih cepat dibanding obat-obat
yang diberikan secara peroral karena obat yang diberikan sevara peroral
harus mengalammi absorbsi terlebih dahulu di usus.

2. Puncak efek (peak effect)

3. Lama kerja obat (duration of action): lamanyna waktu suatu obat bersifat
terapeutik. Durasi biasanya sesuai dengan waktu paruh obat tersebut
BAB III

3.1. Alat
1. Analgetic meter
2. Spuit 1 ml
3. Sonde
4. Stop watch

3.2. Bahan
1. 2 Tikus
2. Antalgin tablet 500 mg
3. Metamizol Na (Antrain)

3.3. Prosedur kerja

1. Menentukan ambang nyeri kontrol

 Menimbang berat badan tikus A dan tikus B


 Pegang tikus secara rileks dan posisikan bagian runcing dari
analgesic meter pada sela jari kaki tikus
 Letakkan beban pada analgesic meter dan geser hingga tikus
menunjukkan respon nyeri, kerjakan sebanyak tiga kali dan ambil
hasil rata-rata.
 Catat ambang nyeri setiap tikus

2. Pemberian obat analgetic

 Menghitung dosis obat setiap tikus


Tikus 1 (IntraPeritoneal)
Berat badan : 0.19 kg
Dosis :
Jika BB tikus 0.19 gr, maka dosis yang diberikan:
250X0.19 = 47.5 mg/tikus
47.5/500 = 0.095 ml

Tikus 2 (Peroral)
Berat bedan : 141 mg
Dosis :
250 . 0,141 = 35.25 mg/tikus,
35.25/25 = 1.41 ml
 Membalik posisi tikus 1 hingga kepala berada di bawah dan
ekor di atas untuk menurunkan usus tikus 1
 Memberi obat peroral pada tikus 1 sebanyak cc. Diberikan
melalui sonde yang dimasukkan melalui mulut tikus hingga
lambung tikus
 Memberi obat per-intraperitonial pada tikus 2 melalui injeksi
di bagian perut kiri bawah

3. Menentukan efek analgetic

 Pegang tikus secara rileks dan berikan beban pada tikus


dengan analgesic meter
 Beri beban sebanyak dua kali beban control
 Lakukan hal diatas setiap lima menit
 Catat hasil pengukuran. Jika tikus menunjukkan respon nyeri
beri tanda minus (-) dan jika tikus tidak member respon nyeri
beri tanda plus (+)
3.4 Tabel Hasil Pengamatan

a. Tabel hasil pengamatan

Cara/ Waktu
Dosis 5’ 10’ 15’ 20’ 25’ 30’ 35’ 40’ 45’ 50’ 55’ 60’
Per-oral
V11 - - - - - - + + + + + +
VIII - - - - - - - + + + - -
IX - - - - + + + + + - - -
X + + - - - + + - - + + -
XI - - - - - - + + + - - -
XII - + + - - + + + + - - -
33, 16,
16,6 33,3 16,6 16,6 50,0 83,3 83,3 83,3 50,0
% efek 0% 34 67
7% 4% 7% 7% 1% 5% 5% 5% 1%
% %

Cara/Do Waktu
sis 5’ 10’ 15’ 20’ 25’ 30’ 35’ 40’ 45’ 50’ 55’ 60’
Intraperi
toneal
V11 - - - - - - + + + + + +
VIII - - + + + + - - - - - -
IX - - - - + + + - - - - -
X + - - - - - - - - - - -
XI - - - - - + + - - - - -
XII + - - - + + + + - - - -
%efek 33,3 0% 16,6 16,6 50,0 66,6 66,6 33,3 16,6 16,6 16,6 16,6
4% 7% 7% 1% 8% 4% 4% 7% 7% 7% 7%
3.5 Grafik Pengamatan

90.00%
80.00%
70.00%
60.00%
Oral
50.00%
Intraperitoneal
40.00%
30.00%
20.00%
10.00%
0.00%
5' 10' 15' 20' 25' 30' 35' 40' 45' 50' 55' 60'

3.6 Pembahasan

Dari hasil praktikum yang dilakukan kelompok kami didapatkan data bahwa
pada pemberian analgetik secara peroral dan Intraperitonial tikus tidak
menunjukkan rasa nyeri (+) sama-sama pada menit ke 35. Hasil onset yang sama
antara tikus yang diberi analgenik peroral dan intraperitonial

Pada salah satu kelompok lain pada menit ke 5 dan ke 10 ada tikus yang
sudah tidak merasakan rasa nyeri (+) namun pada menit selanjutnya tikus kembali
merasakan rasa nyeri. Hal ini menunjukkan bahwa pengambilan data di menit ke 5
dan 10 tidak valid sehingga nilai yang sehausnya adalah (-).

Dari hasil pengamatan data dari seluruh kelompok diketahui onset obat
peroral adalah pada menit ke 30 (50%) sedangkan pada pemberian intraperitonial
onset terjadi pada ke menit 25 (50%) hal ini menunjukkan bahwa onset obat yang
diberikan dengan cara intraperitonial lebih cepat daripada obat yang diberikan
secara peroral.

Dari hasil praktikum dan observasi yang dilakukan selama 60 menit


diketahui durasi obat yang diberikan peroral dimulai pada menit ke 30 sampai
menit ke 60 (30 menit), sedangkan pada pemberian secara intraperitonial dimulai
pada menit ke 25 sampai menit ke 60 (35 menit). Hal tersebut menunjukkan
bahwa durasi obat yang diberikan secara intraperitonial lebih lama dibanding
peroral.

Obat yang masuk peroral akan mengalami perjalanan yang lebih panjang
karena akan melewati sistem pencernaan dahulu sebelum diserap. Selain itu
beberapa obat bisa mengalami first pass effect ataupun mengalami kerusakan
karena perbedaan pH yang bisa terjadi di usus maupun lambung. Di usus pun
terdapat bakteri – bakteri yang mampu menghasilkan enzim sehingga
memetabolisme obat menjadi tidak aktif. Namun, di sinilah mulai terjadi proses
absorbsi secara maksimal. Hal diatas menyebabkan jumlah obat aktif yang masuk
ke pembuluh darah (bioavailabilitas) dari jalur per oral kurang dari 100 %. Setelah
dari usus obat akan diangkut menuju hati oleh vena porta hepatica. Sebagai organ
metabolit hati akan melakukan memetabolisme obat sehingga presentase obat
yang akan diangkut ke organ target semakin sedikit. Hal tersebut akan
menyebabkab onset obat semakin lama dan durasinya semakin pendek karena
sedikitnya obat aktif yang bekerja pada sel jaringan target.

Sementara itu obat yang dimasukkan denga ncara intraperitonial akan


memiliki onset yang lebih cepat. Hal tersebut karena obat akan langsung
dimasukkan ke lapisan peritonial dimana disana tedapat banyak pembuluh kapiler
sehingga obat bisa langsung diedarkan ke seluruh tubuh. Selain itu bioavaibilitas
yang dimiliki obat juga semakin besar dan membuat durasi obat berlangsung lebih
lama.

BAB IV

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa obat yang


diberikan secara intraperitonial akan memiliki onset lebih cepat jika dibandingkan
dengan obat yang diberikan secara peroral. Durasi dari obat yang diberikan secara
intraperitonial juga lebih lama dibandingkan dengan obat yang diberikan secara
peroral.

4.2 Saran

Pemberian obat sebaiknya dilakukan sesuai dengan kebutuhan yang sudah


ditetapkan. Secara farmakokinetik dan farmakodinamik pemberian obat secara
oral lebih aman, mudah, dan menghindarkan pasien dari efek intoksinitas obat.
Pemberian obat secara oral juga bisa mengawasi penolakan pasien terhadap obat
seperti efek alergi

Dalam keadaan tertentu ataupun keadaan darurat maka pemberian obat yang
lebih efektif untuk pasien secara farmakokinetik adalah intraperitonal. Dengan
cara ini bioawaibilitas obat akan meningkat dan mampu untuk meminimalisir
jumlah obat yang terbuang.
DAFTAR PUSTAKA

Harvev, Richard. 2014. Farmakologi. Jakarta: Penerbil Buku Kedokteran EGC.

Olsol, James. 2004. Belajar Mudah Farmakologi (Lydia I. Mandera ed.). Jakarta:
Penerbil Buku Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai