Ekstraksi Dan Isolasi Senyawa Flavonoid Pada Daun Cocor Bebek Dengan Menggunakan Pelarut Etil Asetat
Ekstraksi Dan Isolasi Senyawa Flavonoid Pada Daun Cocor Bebek Dengan Menggunakan Pelarut Etil Asetat
JUDUL PRAKTIKUM :
EKSTRAKSI DAN ISOLASI SENYAWA FLAVONOID PADA DAUN
COCOR BEBEK (Kalanchoe pinnata) DENGAN MENGGUNAKAN
PELARUT ETIL ASETAT
Pembimbing:
Tri Reksa Saputra, S.Si., M.Si
Oleh:
Kelompok : 5
Atikah Halimah Putri NIM 171431004
Ayu Nurul Mausufy NIM 171431005
Geraldy Andreas S NIM 171431010
Sisi Marliani NIM 171431027
2A - Analis Kimia
POLBAN
Puji dan syukur penyusun panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas
berkat dan rahmat-Nya penyusun dapat menyelesaikan laporan praktikum kimia
bahan alam yang berjudul “EKSTRAKSI DAN ISOLASI SENYAWA
FLAVONOID PADA DAUN COCOR BEBEK DENGAN MENGGUNAKAN
PELARUT ETIL ASETAT”.
Laporan praktikum ini disusun dengan tujuan untuk menginformasikan
kepada pembaca perihal ekstraksi Flavonoid dari bahan alam. Laporan praktikum
ini disusun berdasarkan data yang diperoleh melalui penelitian yang dilakukan di
Laboratorium Satuan Proses, Politeknik Negeri Bandung.
Dalam penyusunan penulisan laporan ilmiah ini penyusun dibantu oleh:
1. Bapak Tri Reksa Saputra, S.Si., M.Si selaku pembimbing praktikum yang
telah memberi pengarahan dan masukkan kepada penyusun dalam
praktikum Kimia Bahan Alam;
Tim Penyusun
ii
Abstrak
iii
DAFTAR ISI
COVER ...……………………………….………………………………….......….i
ABSTRAK ...……………………………….………………………………...…..iii
DAFTAR TABEL……………………….………………………………………..vi
DAFTAR GAMBAR………………….…………………………………………vii
BAB I PENDAHULUAN…………………….…………………………………...1
iv
4.1 Preparasi Sampel……………………………………………………………..13
4.2 Metoda Ekstraksi…………………………………………………………….13
4.3 Pemekatan menggunakan Penguapan………………………………………..13
4.4 Partisi…………………………………………………………………………14
4.5 Uji Kualitatif Flavonoid Menggunakan Kromatografi Lapis Tipis………….14
4.6 Uji Kualitatif Flavonoid Menggunakan Spektrofotometri Inframerah............15
BAB V PENUUTUP……………………………………………………………..18
5.1 Kesimpulan…………………………………………………………………..18
5.2 Saran………………………………………………………………………….18
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………19
LAMPIRAN……………………………………………………………………...21
v
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 3. Dokumentasi.....................................................................................26
viii
BAB I
PENDAHULUAN
Senyawa organik bahan alam adalah senyawa organik yang merupakan hasil
metabolisme dalam organisme hidup. Senyawa dari jenis ini disebut juga metabolit.
Secara sistematik, penyelidikan dalam bidang ini telah dimulai sejak 200 tahun lalu.
Pada akhir abad 18, Scheele misalnya telah mengekstraksi beberapa senyawa
organik sederhana dari sumbernya, baik dari tumbuh-tumbuhan maupun dari
hewan, antara lain: gliserol, asam oksalat, asam laktat, dan asam sitrat. Pada tahun
1806, Serturner memperoleh morfin dari opium dan 15 tahun kemudian Peletier dan
Cafenton telah dapat mengisolasi striknin, brusin, quinin, sinkonin, dan kafein.
Senyawa-senyawa tersebut merupakan bahan alam yang dapat diisolasi untuk
pertama sekali dalam keadaan murni. Setelah itu, isolasi bahan alam berkembang
makin lama makin pesat terutama setelah penemuan teknik dan instrumen yang
makin mutakhir.
Kimia Organik Bahan Alam sangat penting peranannya dalam rangka
pemanfaatan zat- zat yang tersedia di alam, terutama senyawa- senyawa yang aktif
farmakologi. Studi bahan alam dalam bidang kimia dapat digunakan secara luas
dalam penelitian terhadap struktur dan biosintesis, isolasi dan identifikasi senyawa-
senyawa berkhasiat atau berguna. Penggunaan ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu
sebagai ramu-ramuan obat-obatan secara tradisional dari beberapa jenis tumbuh-
tumbuhan dikenal hampir diseluruh Indonesia, bahkan tumbuh-tumbuhan ini telah
dibudidayakan oleh sebagian masyarakat tertentu sebagai apotek hidup, dan
merupakan sumber bahan obat-obatan secara tradisional. Penggunaan obat-obatan
tradisional ini merupakan warisan dari nenek moyang secara turun-temurun bagi
masyarakat tertentu dan sampai saat ini masih digunakan sebagian masyarakat.
Himbauan ini merupakan tantangan serta dorongan bagi para ilmuan untuk
meningkatkan penelitian di bidang Kimia Organik Bahan Alam.
Tanaman Cocor Bebek merupakan tanaman yang banyak dibudidayakan di
Indonesia sebagai tanaman hias. Persebaran tanaman ini umum di daerah beriklim
tropika seperti Asia, Australia, Selandia Baru, India Barat, Makaronesia,
Maskarenes, Galapagos, Melanesia, Polinesia, and Hawai. Kandungan kimia dalam
daun cocor bebek mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, saponin, dan tanin
(Safitri, dkk., 2013; Depkes RI a, 2000), asam askorbat, kuersetin, kaempferol dan
bryophyllin (Utami, 2003), asam cis-akonitat, asam ferulat, asam syringat, asam
kofeat, asam p-hydroxybenzoat, dan beberapa asam organik, β-sisterol, kuersetin-
3-0-α-rhamnopyranosil-α-L-arabinopyranosida (Trubus, 2013).
Berdasarkan data tersebut membuat peneliti semakin tertarik untuk
memanfaatkan senyawa metabolit sekunder yang terkandung di dalam cocor bebek
yang belum banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang. Salah satu senyawa
1
metabolit sekunder yang tersebar merata dalam dunia tumbuh-tumbuhan dan
ditemukan pada hampir semua bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit,
tepung sari, nektar, bunga, buah dan biji adalah senyawa Flavonoid. Untuk
mengoptimalkan fungsi dari senyawa flavonoid, maka dilakukan suatu isolasi untuk
dihasilkan senyawa tunggal (murni).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
sumber: commons.wikimedia.org
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Rosales
Suku : Crassulaceae
Marga : Bryophyllum
3
ujung tumpul, tepi bergerigi, pangkal membundar, panjang 5-20 cm,
lebar 2,5 – 15 cm. Bunga berbentuk malai, majemuk, menggantung,
kelopak silindris, berlekatan, berwarna merah keunguan, benang sari
delapan, putik panjang ± 4 cm, mahkota berbentuk corong dan
panjangnya 3,5-5,5 cm. Buah berbentuk kotak dan berwarna ungu
bernoda putih. Biji kecil dan putih dan berakar tunggang berwarna
kuning keputihan (Depkes RIa, 2000).
2.2 Flavonoid
2.2.1 Pengertian Flavonoid
Flavonoid adalah senyawa yang terdiri dari dari 15 atom karbon
yang umumnya tersebar di dunia tumbuhan. Senyawa flavanoid
merupakan suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar yang ditemukan
di alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, dan
biru serta sebagai zat warna kuning yang ditemukan dalam tumbuh-
tumbuhan.
Pada tumbuhan tinggi, flavonoid terdapat baik dalam bagian
vegetative maupun dalam bunga. Senyawa ini berperan penting dalam
menentukan warna, rasa, bau, serta kualitas nutrisi makanan. Tumbuhan
umumnya hanya menghasilkan senyawa flavonoid tertentu. Keberadaan
flavonoid pada tingkat spesies, genus atau familia menunjukkan proses
evolusi yang terjadi sepanjang sejarah hidupnya. Bagi tumbuhan,
senyawa flavonoid berperan dalam pertahanan diri terhadap hama,
penyakit, herbivori, kompetisi, interaksi dengan mikrobia, dormansi biji,
pelindung terhadap radiasi sinar UV, molekul sinyal pada berbagai jalur
transduksi, serta molekul sinyal pada polinasi dan fertilitas jantan.
Flavanoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15
atom karbon, dimana dua cincin benzene (C6) terikat pada suatu rantai
propane (C3) sehingga membentuk suatu susunan C6-C3-C6.
2.2.2 Jenis Flavonoid
Senyawa-senyawa flavonoid terdiri atas beberapa jenis,
bergantung pada tingkat oksidasi dari rantai propan dari sistem 1,3-
diarilpropan. Dalam hal ini, flavan mempunyai tingkat oksidasi yang
4
terendah sehingga senyawa ini dianggap sebagai senyawa induk dalam
tatanama senyawa-senyawa turunan flavon.
Gambar 2.2
Jenis Utama dan Struktur Dasar Flavonoid Alam
Dari berbagai jenis flavonoid tersebut, flavon, flavonol, dan
antosianidin adalah jenis yang banyak ditemukan di alam, sehingga
seringkali dinyatakan sebagai flavonoid utama. Sedangkan jenis-jenis
flavonoid yang tersebar di alam dalam jumlah yang terbatas adalah
calkon, auron, katecin, flavanon, dan leukoantosianidin.
2.2.3 Ciri – Ciri Flavonoid
Pada umumnya, cincin A dari struktur flavonoid mempunyai pola
oksigenasi yang berselang-seling, yaitu pada posisi 2’, 4’, dan 6’ dari
struktur terbuka calkon.
Dalam banyak hal, cincin B dari struktur flavonoid mempunyai
sebuah gugus fungsi oksigen pada posisi para, atau dua yang masing-
masing berada pada posisi para dan meta, atau pula tiga di mana satu
pada posisi para dan dua pada posisi meta. Pola oksigenasi dari cincin B
di mana terdapat tiga gugus fungsi oksigen jarang dapat ditemukan.
Selain itu, cincin B yang tidak teroksigenasi, atau teroksigenasi pada
posisi orto sangat jarang ditemukan.
Pola oksigenasi dari cincin A mengikuti pola florogusinol dan
cincin B mengikuti pola katekol atau fenol. Cincin A struktur flavonoid
seringkali teralkilasi, baik oleh gugus metil (berasal dari metionin), atau
oleh isoprenil C5 yang berasal dari isopentil pirofosfat, maupun suatu C-
glikosida.
2.2.4 Biosintesis Flavonoid
Semua varian flavonoid saling berkaitan karena alur biosintesis
yang sama, yaiut jalur Sikimat dan jalur Asetat-Malonat. Pola biosintesis
flavonoid pertama kali disarankan oleh Birch. Menurut Birch, pada
5
tahap-tahap pertama dari biosintesis flavonoid suatu unit C6-C3
berkombinasi dengan tiga unit C2 menghasilakan unit C6-C3-
(C2+C2+C2). Kerangka C15 yang dihasilkan dari kombinasi ini telah
mengandung gugus fungsi oksigen pada posisi yang diperlukan. Cincin
A dari struktur flavonoid berasal dari jalur poliketida, yaitu kondensasi
dari tiga unit asetat atau malonat. Sedangkan cincin B dan tiga atom
karbon dari rantai propan berasal adari jalur fenilpropanoid (jalur
shikimat). Dengan demikian, kerangka dasar karbon dari flavonoid
dihasilkan dari kombinasi antara dua jalur biosintesis yang utama untuk
cincin aromatik, yaitu jalur shikimat dan jalur asetat-malonat. Sebagai
akibat dari berbagai perubahan yang disebabkan oleh enzim, ketiga atom
karbon dari rantai propan dapat menghasilkan berbagai gugus fungsi,
seperti ikatan rangkap, gugus hidroksil, gugus karbonil, dan sebagainya.
6
2.3 Metode Ekstraksi
a. Cara dingin
Metode ekstraksi cara dingin dibedakan menjadi:
i. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada
temperatur ruangan (kamar).
ii. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru
sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada
temperatur ruangan.
b. Cara Panas
Metode dengan cara panas dibedakan menjadi:
i. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut pada temperatur
titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang
relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
ii. Soxhletasi
Soxhletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi
kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin
balik.
iii. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) temperatur
yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum
dilakukan pada temperatur 40-50oC.
iv. Infundasi
Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 90oC
selama 15 menit di penangas air, dapat berupa bejana infus tercelup
dalam penangas air mendidih.
v. Dekoktasi
Dekoktasi adalah infundasi pada waktu yang lebih lama≥ (30 menit) dan
temperatur sampai titik didih air.
7
2.4 Kromatografi Lapis tipis
Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah salah satu metode pemisahan
komponen menggunakan fasa diam berupa plat dengan lapisan bahan adsorben
inert. KLT merupakan salah satu jenis kromatografi analitik. KLT sering
digunakan untuk identifikasi awal, karena banyak keuntungan menggunakan
KLT, di antaranya adalah sederhana dan murah. KLT termasuk dalam kategori
kromatografi planar, selain kromatografi kertas. Kromatografi juga merupakan
analisis cepat yang memerlukan bahan sangat sedikit, baik penyerap maupun
cuplikannya. KLT dapat digunakan untuk memisahkan senyawa–senyawa
yang sifatnya hidrofobik seperti lipida–lipida dan hidrokarbon yang sukar
dikerjakan dengan kromatografi kertas. KLT juga dapat berguna untuk mencari
eluen untuk kromatografi kolom, analisis fraksi yang diperoleh dari
kromatografi kolom, identifikasi senyawa secara kromatografi, dan isolasi
senyawa murni skala kecil (Fessenden,2003).
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) adalah suatu teknik yang sederhana
yang banyak digunakan, metode ini menggunakan lempeng kaca atau lembaran
plastik yang ditutupi penyerap atau lapisan tipis dan kering. Untuk menotolkan
larutan cuplikan pada kempeng kaca, pada dasarnya menggunakan mikro pipet
atau pipa kapiler. Setelah itu, bagian bawah dari lempeng dicelup dalam larutan
pengelusi di dalam wadah yang tertutup (Soebagio,2002).
Kromatografi lapis tipis merupakan cara pemisahan campuran senyawa
menjadi senyawa murni dan mengetahui kuantitasnya yang menggunakan
kromatografi juga merupakan analisis cepat yang memerlukan bahan sangat
sedikit, baik menyerap maupun merupakan cuplikan KLT dapat digunakan
untuk memisahkan senyawa-senyawa yang sifatnya hidrofilik seperti lipid-
lipid dan hidrokarbon yang sukar dikerjakan dengan kromatografi kertas. KLT
juga dapat digunakan untuk mencari kromatografi kolom, identifikasi senyawa
secara kromatografi dengan sifat kelarutan senyawa yang dianalisis. Bahan
lapis tipis seperti silika gel adalah senyawa yang tidak bereaksi dengan
pereaksi-pereaksi yang lebih reaktif seperti asam sulfat. ( Fessenden, 2003 )
Pertimbangan untuk pemilihan pelarut pengembang (aluen) umumnya
sama dengan pemilihan pelarut untuk kromatografi kolom. Dalam
kromatografi adsorpsi, pelarut naik sejalan dengan pelarut (misalnya dari
heksana ke aseton, ke alkohol, ke air). Pelarut pengembang dapat berupa
pelarut tunggal dan campuran pelarut dengan susunan tertentu. Pelarut-pelarut
pengembang harus mempunyai kemurnian yang tiggi. Terdapatnya sejumlah
air atau zat pengotor lainnya dapat menghasilkan kromatogram yang tidak
diharapkan.
KLT merupakan contoh dari kromatografi adsorpsi. Fase diam berupa
padatan dan fase geraknya dapat berupa cairan dan gas. Zat terlarut yang
diadsorpsi oleh permukaan partikel padat. ( Soebagio,2002).
8
Prinsip KLT adalah adsorbsi dan partisi dimana adsorbsi adalah
penyerapan pada pemukaan, sedangkan partisi adalah penyebaran atau
kemampuan suatu zat yang ada dalam larutan untuk berpisah kedalam pelarut
yang digunakan. Kecepatan gerak senyawa-senyawa ke atas pada lempengan
tergantung pada kelarutan senyawa dalam pelarut, hal ini bergantung pada
bagaimana besar atraksi antara molekul-molekul senyawa dengan pelarut.
Bagaimana senyawa melekat pada fase diam, misalnya gel silika. Hal ini
tergantung pada bagaimana besar atraksi antara senyawa dengan gel silica
(Soebagio,2002).
Kromatografi lapis tipis menggunakan plat tipis yang dilapisi dengan
adsorben seperti silika gel, aluminium oksida (alumina) maupun selulosa.
Adsorben tersebut berperan sebagai fasa diam Fasa gerak yang digunakan
dalam KLT sering disebut dengan eluen (pelarut). Pemilihan pelarut
didasarkan pada polaritas senyawa dan biasanya merupakan campuran
beberapa cairan yang berbeda polaritas, sehingga didapatkan perbandingan
tertentu. Pelarut KLT dipilih dengan cara trial and error. Kepolaran pelarut
sangat berpengaruh terhadap Rf (faktor retensi) yang diperoleh
(Wikipedia,2018).
Derajat retensi pada kromatografi lempeng biasanya dinyatakan
sebagai faktor resensi. Nilai Rf sangat karakterisitik untuk senyawa tertentu
pada pelarut tertentu. Hal tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi
adanya perbedaan senyawa dalam sampel. Senyawa yang mempunyai Rf lebih
besar berarti mempunyai kepolaran yang rendah, begitu juga sebaliknya. Hal
tersebut dikarenakan fasa diam bersifat polar. Senyawa yang lebih polar akan
tertahan kuat pada fasa diam, sehingga menghasilkan nilai Rf yang rendah. Rf
KLT yang bagus berkisar antara 0,2 - 0,8. Jika Rf terlalu tinggi, yang harus
dilakukan adalah mengurangi kepolaran pelarut, dan sebaliknya
(Gandjar,2007).
Analisis dengan KLT dapat dilakukan untuk mengidentifikasi simplisia
yang kelompok kandungan kimianya telah diketahui. Kelompok kandungan
kimia tersebut antara lain: (Ditjen POM, 1987)
a. Alkaloid
b. Glikosida jantung
c. Flavanoid
d. Saponin
e. Minyak atsiri
f. Kumarin dan asam fenol karboksilat.
9
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
10
3.2.3 Persiapan Sampel
11
3.3.4 Analisis Senyawa Flavonoid Fraksi Etil Asetat
Fase diam berupa pelat TLC Silica gel 60 F254 Aluminum TLC
Plate 20×20 cm 25/pk Merck 105554 dan fase gerak berupa kombinasi
pelarut etil asetat : n-heksan (5:5), (2:6), dan (2:14).
Pelat KLT dimasukkan ke dalam bejana kromatografi yang
sebelumnya telah dijenuhkan dengan fase gerak. Pola kromatogram
diamati setelah disemprot dengan reagen AlCl3 10% dan amati warna
penampak bercak (noda).
12
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Preparasi sampel
Identifikasi kandungan flavonoid dalam tanaman cocor bebek
(Kalanchoe pinnata) dilakukan dengan beberapa tahap. Tahapan penelitian ini
meliputi pengumpulan sampel, ekstraksi dengan metode maserasi
menggunakan metanol, pemekatan dengan menggunakan penguapan diatas
water bath, partisi dengan menggunakan etil asetat dan kemudian kami
mendapatkan ekstak pekat dari fraksi yang kami hasilkan.
Penelitian diawali dengan preparasi sampel. Daun cocor bebek segar
dipotong kecil-kecil, kemudian diblender (penghalusan). Penghalusan
bertujuan untuk memaksimalkan pembebasan senyawa aktif yang terkandung
didalamnya karena pada proses penghalusan ini dinding sel cocor bebek akan
rusak sehingga zat aktif terekstraksi dalam pelarut yang digunakan. Pelarut
yang digunakan adalah metanol, untuk mendapatkan senyawa polar dan non
polar dalam cocor bebek, sesuai dengan sifat like dissolve like yaitu suatu zat
akan terlarut dengan baik pada pelarut yang memiliki polaritas yang sama.
Dalam metanol terdapat gugus hidroksil pada strukturnya yang membuat
metanol mampu menarik semua komponen polar, sedangkan adanya gugus
metil membuat metanol mampu menarik semua komponen non polar yang
terkandung dalam daun K. Pinnata (Saputra, 2016).
13
tersebut dihindari pada proses ini. Dihasilkan ekstrak cocor bebek yang lebih
kental dan warnanya semakin pekat (hijau kehitaman).
4.4 Partisi
14
Gambar 4.5.1 Profil KLT analitik, meggunakan fase diam silika gel 60
F254 pelarut etil asetat:n-heksan dengan perbandingan a: (5:5), b: (2:6), c:
(2:14) pada lampu UV 366.
Gambar 4.5.2
15
Gambar 4.6 Spektrum Inframerah dari senyawa Isolat
16
1169.95 cm-1, 1198.35 cm-1. Sementara itu serapan pada bilangan gelombang
adanya gugus C-H aromatik menghasilkan pita di daerah 1000-650 cm-1
(Silverstein dkk, 1986) dan pada isolat ini serapan C-H aromatik muncul pada
daerah bilangan gelombang 949.86 cm-1, 815.10 cm-1, 777.07 cm-1. Adanya
gugus fungsi OH, CH alifatik, C=O, C=C aromatik dan C-O mengindikasikan
isolat ini suatu senyawa flavonoid. Ini diperkuat berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh (Akbar, 2010) sesuai dengan hasil spektrum infra merah
adanya gugus fungsi O-H, C=O, C-O, C=C aromatik, dan C-H alifatik yang
mendukung bahwa isolatnya positif suatu senyawa flavonoid.
17
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini yaitu:
1. Berdasarkan penelitian yang kami dilakukan, daun cocor bebek (Kalanchoe
pinnata) segar sebanyak 900 gram menghasilkan ekstrak etil asetat
sebanyak ± 3 gram.
2. Hasil identifikasi flavonoid dalam ekstrak cocor bebek yang dilakukan
secara kualitatif dengan kromatografi lapis tipis (KLT) menggunakan fasa
gerak etil asetat:n-heksan dengan perbandingan 5:5, 2:6, dan 2:14. Setelah
disemprot dengan reagen AlCl3 memberikan warna kuning kehijauan yang
berarti adanya senyawa golongan flavonoid dalam cocor bebek.
3. Hasil spektrum isolat menunjukkan secara positif adanya suatu senyawa
flavonoid.
5.2 Saran
1. Dibutuhkan percobaan lebih lanjut tentang potensi pemanfaatan ekstrak
fraksi etil asetat daun Cocor Bebek.
2. Perlu dioptimalkan proses isolasi sehingga didapat isolat murni fraksi etil
asetat daun Cocor Bebek.
3. Dibutuhkan analisa lebih lanjut untuk mendapatkan senyawa flavonoid
secara pasti.
18
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, H. Rizki. 2010. Isolasi dan Identifikasi Golongan Flavonoid Daun Dandang
Gendis (Clinacanthus nutans) Berpotensi Sebagai Antioksidan. Skripsi.
Departemen Kimia, Fakultas MIPA. Institut Pertanian Bogor.
Fessenden R.J dan J.S Fessenden. 2003. “Dasar-dasar kimia organic”. Jakarta:
Erlangga
Gandjar, Ibnu Gholib dan Abdul Rohman. 2007. “Kimia Farmasi Analisis.”
pustaka pelajar, Yogyakarta
Reksa, Tri. 2016. Ekstrak daun tumbuhan cocor bebek (kalanchoe pinnata) sebagai
inhibitor korosi.pdf. Laporan penelitian : Politeknik Negeri Bandung.
Safitri, A.R., Andre, M., dan Irsan, A. (2013). Uji Efek Analgetik Infusa Daun
Cocor Bebek (Kalanchoe pinnata (Lam.) Pers.) terhadap Mencit Jantan
19
Galur Swiss yang Diinduksi dengan Asam Asetat. Skripsi. Pontianak:
Fakultas Kedokteran, Universitas Tanjungpura.
Silviani, Novia dkk. (2018). Pengelompokan Golongan Flavonoid Dari Ekstrak
Cocor Bebek. Jurusan Teknik Kimia POLBAN: Bandung.
Soebagio., 2002, Kimia Analitik, Universitas Negeri Makassar Fakultas MIPA,
Makassar.
Sukadana, I.M.2010. Aktivitas Seny awa Flavonoid dari kulit akar awar-awar. 4
(1):63-67.
Silverstein, Bassler and Moril. 1986. Penyidikan Spketrofotometrik Senyawa
Organic edisi ke-4. Jakarta : erlangga
Tobo, Fachruddin, (2001), Buku Pegangan Laboratorium Fitokimia,
Laboratorium Fitokimia Jurusan Farmasi Unhas, Makassar
Trubus, T. (2013). 100 Plus Herbal Indonesia Buku Ilmiah dan Racikan. Depok:
PT. Trubus Swadaya. Halaman: 574-575.
Utami, P. (2003). Tanaman Obat untuk Mengatasi Asam Urat dan Rematik.
Jakarta: Agromedia Pustaka. Halaman 28-30.
https://www.academia.edu/7395598/Ekstraksi_Pengertian_Prinsip_Kerja_jenis-
jenis_Ekstraksi diakses pada 1 Desember 2018
http://kimiaorganik2.blogspot.com/2012/10/biosintesis-dan-identifikasi-
flavonoid.html diakses pada 2 Desember 2018
http://www.tanobat.com/cocor-bebek-ciri-ciri-tanaman-serta-khasiat-dan-
manfaatnya.html diakses pada 1 Desember 2018
20
LAMPIRAN
Hasil
Ekstrak dipekatkan
menggunakan penguapan
21
Lampiran 1.3 Partisi
Ekstaksi cair-cair
22
Lampiran 1.4 Uji flavonoid dalam ekstrak cocor bebek
Berikut tabel hasil Absorbansi dari deret larutan standar Kuarsetin dan Kurva
kalibrasi dari deret larutan standar:
R² = 0.9773
8 0,205 0.2
0.15
10 0,252
0.1
12 0,3289 0.05
0
2 4 6 8 10 12
Konsentrasi (ppm)
Maka akan didapatkan konsentrasi sampel (fraksi etil asetat) hasil perhitungan
sebesar 4,20 ppm.
24
3.5 Pengamatan Uji Flavonoid menggunakan KLT
25
Lampiran 3. Dokumentasi
1. Proses Ekstraksi
3. Partisi
26
4. Hasil Uji Kualitatif Flavonoid dalam ekstrak daun cocor bebek
Menggunakan Kromatografi Lapis Tipis
27