Anda di halaman 1dari 10

Makalah sejarah sahabat Nabi ( Khulafaur Rasyidin )

DAFTAR ISI
Cover................................................................................................................................... i
Kata Pengantar.................................................................................................................... ii
Daftar Isi ............................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang........................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 2
2.1 Sejarah Perkembangan Islam................................................................................... 2
2.2 Sejarah Khulafaur Rasyidin..................................................................................... 5
2.3 Sejarah Pemberontakan dan Pelencengan Ajaran Islam.......................................... 14
BAB III PENUTUP............................................................................................................ 18

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 19
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sejarah telah mencatat bahwa Nabi Muhammad telah berhasil merealisasikan pedoman dasar tersebut
sebagai formasi dan karateristiknya di dua tempat, yaitu Mekkah dan Madinah, salam kurang lebih dua
puluh tiga tahun[1]
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, fungsi sebagai rasulullah tidak dapat digantikan oleh siapa pun
manusia di dunia ini. Karena pemilihan fungsi tersebut adalah mutlak dari Allah SWT. Fungsi beliau
sebagai kepala pemerintahan dan pemimpin masyarakat harus ada yang menggantikannya. Selanjutnya
pemerintahan Islam dipimpin oleh empat orang sahabat terdekatnya, kepemimpinan dari para sahabat
Rasul ini disebut periode Khulafaur Rasyidin ( para pengganti yang mendapatkan bimbingan ke jalan
yang lurus )
Meskipun hanya berlangsung selama 30 tahun, masa Khulafaur Rasyidin adalah masa yang penting
dalam sejarah Islam, mengkonsolidasi dan meletakkan dasar bagi keagungan umat Islam.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan peradaban Islam pada masa Khulafaur Rasyidin?
2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan perkembangan peradaban Islam pada masa Khulafaur
Rasyidin berkembang dengan dengan pesat?
3. Usaha-usaha apa saja yang dilakukan ummat Islam dalam mengatasi konflik-konflik yang terjadi
pada masa Khulafaur Rasyidin?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Perkembangan Islam


A. ISLAM DI MASA AWAL
Terdapat dua pendapat populer tentang awal dimulainya sejarah Islam dimulai sejak Nabi Muhammad
diangkat menjadi Rasul. Kedua, yang mengatakan bahwa sejarah Islam dimulai semenjak Nabi hijrah dari
Makkah ke Madinah. Tetapi, jika berdasar pada dimulainya penghitungan tahun hijrah, maka pilihan akan
jatuh pada pendapat kedua, karena tahun Islam dimulai dengan hijrahnya Nabi Muhammad dari Makkah
ke Madinah pada tahun 662 M.
Islam pada masa Nabi, terbagi menjadi dua; masa di Makkah dan di Madinah. Ketika Nabi di Makkah, ia
bersama pengikutnya selalu mendapatkan tekanan dari kalangan Qurays yang tidak setuju dengan ajaran
yang disampaikannya. Maka Nabi pun , mengirim sejumlah pengikutnya ke Abesinia yang beragama
Kristen Koptik. Pada tahun 620 M, Nabi membuat persetujuan dengan sejumlah penduduk Yatsrib yang
terkemuka agar dapat diterima di kalangan mereka. Setelah itu ia hijrah ke Yatsrib, yang di kemudian hari
kota ini berubah nama menjadi Madinah. Umat Islam di Madinah dikelompokkan menjadi dua;
Muhajirin, yaitu mereka yang mengikuti Nabi untuk melakukan migrasi dari Makkah ke Madinah dan
Anshar, yaitu mereka yang merupakan penduduk asli Madinah yang menerima Nabi dan pengikut-
pengikutnnya. Setelah Nabi wafat, umat Islam mulai berselisih. Perselisihan itu terjadi diawali tentang
masalah penentuan siapa yang berhak mengganti posisi kepemimpinannya.
Ada kelompok yang mengatakan bahwa sebelum Nabi wafat, Nabi sudah berwasiat tentang penggantinya.
Kelompok ini disebut dengan kelompok Syi’ah. Sementara kelompok lain mengatakan bahwa ia tidak
pernah menentukan penggantinya, Sa’dah untuk memilih pengganti Nabi. Kelompok ini dikenal dengan
kelompok Sunni. Dan pada akhirnya Islam dipimpim oleh Khulafaur Rasyidin. Setelah masa para
Khulafaur Rasyidin itu, pemerintahan Islam dipegang oleh Daulah Umawiyah dengan khalifah
pertamanya bernama Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Ia menjadikan pusat pemerintahnya di Damaskus,
Syria, tempat ia menjabat sebagai Gubernur di masa pemerintahan Utsman bin Affan.

B. ISLAM PADA PERIODE PERTENGAHAN


Periode ini ditandai dengan kemunduran total kekuasaan Islam di Baghdad. Pemberontakan
mulai muncul di mana-mana. Muncul Dinasti Umawiyah periode ke dua di Spanyol yang
diproklamasikan oleh Abd al-Rahman al-Dakhil (w. 788 M). Di Mesir juga muncul Dinasti Fatimiyah
yang didukung oleh kelompok Syi’ah. Di bidang politik misalnya, dinasti yang berkuasa di Mesir silih
berganti dan saling menjatuhkan. Dimulai dari Dinasti Fatimiyyah, yang beraliran Syi’ah, digantikan oleh
Dinasti Ayyubiyyah yang beraliran Sunni. Ayyubiyyah berakhir pada tahun 1250 dan digantikan oleh
Dinasti Mamlukkiyah sampai tahun 1517.
Dalam keadaan demikian ini muncullah tiga kerajaan besar islam yang mencoba untuk membangkitkan
kembali kekuasaan Islam, yaitu Utsmani di Turkey (1290-1924 M), Safawi di Persia (1501-1732 M) dan
Mughal di India (1526-1858 M). Akan tetapi ketiga kerajaan ini tidak bisa bertahan, satu demi satu
berjatuhan dan digantikan oleh kekuatan lain; Kerajaan Utsmani digantikan oleh Republik Turki (1924
M), Safawi di PersiMa digantikan oleh Dinasti Qajar (1925 M), dan Kerajaan Mughal di India digantikan
oleh penjajah Inggris (1875 M) dan Mesir dikuasai Napoleon dari Perancis tahun 1798 M. Akhir umat
Islam memasuki fase kemunduran kedua.
C. ISLAM PADA PERIODE MODERN
Periode modern disebut dengan oleh Harun Nasution sebagai zaman kebangitan Islam. Ekspedisi
Napoleon yang berakhir tahun 1801 M membuka mata umat Islam, terutama Turki dan Mesir, akan
kelemahan umat Islam di hadapan kekuatan Barat. Ekspedisi Napoleon di Mesir memperkenalkan ilmu
pengetahuan dengan membawa 167 ahli dalam berbagai cabang ilmu. Dia membawa dua set alat
percetakan huruf Latin, Arab dan Yunani. Ekspedisi itu bukan hanya membawa misi militer, tetapi juga
misi ilmiah.
Ide-ide baru yang diperkenalkan oleh Napoleon di Mesir adalah sistem negara republik yang kepala
negaranya dipilih untuk jangka waktu tertentu, persamaan (egalite) dan paham kebangsaan (nation). Para
pemuka Islam pun mulai berpikir dan mencari jalan keluar untuk mengembalikan kejayaan umat Islam.
Maka muncullah
gerakan pembaruan yang dilakukan di berbagai negara, seperti Turki dan Mesir. Gagasan-gagasan
pembaruan itu kemudian diserap di berbagai negeri Muslim, termasuk di Indonesia.
Dari sejarah Islam di atas, dapat disimpulkan bahwa agama lahir dari dan dalam sebuah realitas sosial
tertentu. Tingkat akomodasi dan apresiasinya terhadap realitas sosial di sekitarnya begitu kuat, sehingga
dalam berbagai fenomena keagamaan dapat ditemukan adanya keterkaitan antara agama dan budaya
sangat erat. Hal ini terjadi karena dua hal; pertama, bahwa tidak semua nilai dan prinsip budaya lokal itu
bertentangan dengan doktrin dan ajaran keagamaan, bahkan sebaliknya, banyak yang berkesesuaian,
sehingga budaya menjadi layak untuk diakomodasi ke dalam agama; kedua, bahwa dengan
mengakomodasi nilai budaya lokal, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip dasar ajaran agama
tersebut, akan mempermudah usaha sosialisasi agama tersebut. Sebab, sesuatu yang asing akan lebih
mudah diakomodasi oleh masyarakat setempat jika ia telah lama dikenal dan akrab dengan masyarakat
tersebut. Dari sinilah agama kemudian berusaha tampil dalam wajahnya yang ramah, lunak dan bersahaja
di balik budaya dasar yang dianut sebuah Masyarakat.[1]

2.2 Sejarah Kepemimpinan Khulafaur Rasyidin


A. Abu Bakar
Terpilihnya Abu Bakar sekaligus memecahkan seluruh masalah penting suksesi dalam pemerintahan
Islam. Di bawah konstitusi Islam, diperagakan sebagai petunjuk bagi anak-cucu bahwa kepala Negara itu
harus dipilih oleh rakyat. Aturan emas ini sebagai prinsip bimbingan kaum Muslim terhenti setelah
periode keempat Khulafaur Rasyidin ini ketika kedudukan raja berubah menjadi warisan pribadi. Ini
akhirnynya menempuh jalan panjang dalam memerosotkan kekuatan tubuh politik Islam. Kata-kata dalam
beberapa riwayat bahwa pemberian sumpah kepada Abu Bakar itu “datang secara tiba-tiba” tidak perlu
menyesatkan seseorang. Ini pasti tidak dimaksudkan bahwa dia tidak terpilih pada saat yang tepat. Seperti
yang telah ditunjukkan di atas, pemilihan itu telah dibicarakan secara bermusyawarah, dan setelah
pertimbangan antara yang pro dan kontra menyangkut pertanyaan dari titik pandang yang berbeda-beda,
maka pilihan jatuh kepada yang paling populer disetujui yakni Abu Bakar. Kata-kata itu tidak lebih
daripada bahwa pemilihannya seperti terburu-buru. Umumnya, perkara yang pertama dan terutama yang
perlu diperhatikan yakni persiapan pemakaman Nabi dan penguburannya. Tetapi kegiatan pemisahan diri
dari orang beberapa orang Ansar di balai pertemuan menusukkan pertanyaan tentang pemilihan sebagai
yang paling utama dan karena perasaan semacam inilah yang menjadikan kebenaran bagi orang-orang .
Jadi bahkan bila ini tidak terburu-buru, dan selanjutnya bila semua kaum Muslim diundang dalam
Konfrensi, pilihannya juga sama saja yakni jatuh ke tangan Abu Bakar. Dia adalah orang yang tepat untuk
pengaturan yang besar ini. Nabi sendiri yang menunjukkanya ketika sakit untuk memimpin salat
berjamaah. Dalam hal pengalaman terhadap orang dan masalah, dalam melihat masa depan dan
kemampuan fisiknya, dia juga memiliki kesaksian dari Nabi sendiri sepanjang yang diketahui beliau, pada
saat hijrah, yang memilihnya sebagai teman.[1]
Peran dan Fungsi
Sepak terjang pola pemerintahan Abu Bakar dapat di pahami dari pidato Abu Bakar ketika ia diangkat
menjadi khalifah. Di dalam pidatonya terdapat prinsip
kebebasan berpendapat, tuntutan ketaatan rakyat, mewujudkan keadilan, dan mendorong masyarakat
berjihad, serta shalat sebagai intisari takwa.

1) Bidang eksekutif
Pendelegasian terhadap tugas-tugas pemerintahan di Madinah maupun daerah. Misalnya untuk
pemerintahan pusat menunjuk Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, dan Zaid bin Tsabit sebagai
sekretaris dan Abu Ubaidah sebagai bendaharawan. Untuk daerah-daerah kekuasaan Islam, di bentuklah
provinsi-provinsi, dan untuk setiap provinsi ditunjuk seorang amir.
2) Pertahanan dan keamanan
Dengan mengorganisasikan pasukan-pasukan yang ada untuk mempertahankan eksistensi keagamaan dan
pemerintahan. Pasukan itu disebarkan untuk memelihara srabilitas di dalam maupun di luar negeri. Di
antara panglima yang ada ialah Khalid bin Walid, Musanna bin Harisah, Amr bin ‘Ash,Zaid bin Sufyan,
dan lain-lain
3) Yudikatif
Fungsi kehakiman dilaksanakan Oleh Umar bin Khaththab dan selama masa pemerintahan Abu Bakar
tidak di temukan suatu permasalahan yang berarti untuk d pecahkan. Hal ini karena kemampuan dan sifat
Umar sendiri, dan masarakat pada waktu itu di kenal ‘alim.
4) Sosial ekonomi
Sebuah lembaga mirip bait Al-Mal, di dalamnya dikelolah harta benda yang didapat dari zakat, infaq,
sedekah, ghanimah, dan lain-lain. Pengguna harta tersebut digunakan untuk gaji pegawai negara dan
untuk kesejahteraan umat sesuai dengan aturan yang ada.

Penyabaran Islam pada Masa Abu Bakar


Setelah pergolakan dalam negeri berhasil dipadamkan (terutama memerangi orang-orang murtad),
Khalifah Abu Bakar menghadapi kekuatan Persia dan Romawi yang setiap saat berkeinginan
menghancurkan eksistensi Islam. Untuk menghadapi Persia, Abu Bakar mengirim tentara Islam di bawah
pemimpin Khalid bin Walid dan Mutsanna bin Harisah dan berhasil merebut beberapa daerah penting Irak
dari kekuasaan Persia. Adapun untuk menghadapi Romawi, Abu Bakar memilih empat
panglima Islam terbaik untuk memimpin beribu-ribu pasukan dari friont, yaitu Amr bin Al-Ash di front
Palestina, Yazid bin Abi Sufyan di front Damaskus, Abu Ubaidah di front Hims, dan Syurahbil bin
Hasanah di front Yordania. Empat pasukan ini kemudian di bantu oleh Khalid bin Walid yang bertempur
di front Siria. Perjuangan pasukan-pasukan tersebut, dan ekspedisi-ekspedisi militer berikutnya untuk
membebaskan Jazirah Arab dari penguasaan bangsa Romawi dan bangsa Persia, baru tuntas pada masa
pemerintahan Umar bin Khaththab.
A. Umar ibn Al-Khaththab
Umar ibn Al-Khaththab, (583-644) yang memiliki nama lengkap Umar bin Khaththab bin Nufail bin Abd
Al-Uzza bin Rabaah bin Abdillah bin Qart bin Razail bin ‘adi bin Ka’ab bin Lu’ay adalah Khalifah kedua
yang menggantikan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Dia adalah salah seorang sahabat terbesar sepanjang sejarah
sesudah Nabi Muhammad SAW. Kebesarannya terletak pada keberhasilannya, baik sebagai negarawan
yang bijaksana maupun sebagai mujtahid yang ahli dalam membangun negara besar, dalam banyak hal,
Umar bin Al-khaththab dikenal sebagai tokoh yang sangat bijaksana dan kreatif, bahkan genius.
Peranan Umar dalam sejarah Islam masa permulaan merupakan yang paling menonjol karena perluasan
wilayahnya, di samping kebijakan-kebijakan politiknya yang lain. Adanya penaklukan besar-besaran
pada masa pemerintahan Umar merupakan fakta yang diakui kebenarannya oleh para sejarawan. Bahkan,
ada yang mengatakan, kalau tidak karena penaklukan-penaklukan yang dilakukan pada masa Umar, Islam
belum akan tersebar seperti sekarang,

Pengangkatan Umar bin Al-Khaththab sebagai Khalifah


Penunjukan ini bagi Abu bakar merupakan hal yang wajar untuk dilakukan ada
beberapa faktor yang mendorong Abu Bakar untuk menunjuk Umar menjadi Khalifah. Pertama,
kekhawatiran peristiwa yang sangat menegangkan di Tsaqifah Bani Sa’idah yang nyaris menyeret umat
Islam ke jurang perpecahan akan terulang kembali akan terulang kembali, bila ia tidak menunjuk seorang
yang akan menggantikannya. Kedua, kaum Anshar dan Muhajirin saling mengklaim sebagai golongan
yang berhak menjadi khalifah. Ketiga, umat Islam pada saat itu baru saja selesai menumpas kaum murtad
dan pembangkang,
Penunjukan Abu Bakar terhadap Umar yang dilakukan di saat ia mendadak jatuh sakit pada masa
jabatannya merupakan suatu yang baru, tetapi harus dicatat bahwa penunjukan itu dilakukan dalam
bentuk rekomendasi atau saran yang diserahkann pada persetujuan umat. Abu Bakar dalam menunjuk
Umar sebagai pengganti tetap mengadakan musyawarah atau konsultasi terbatas dengan beberapa orang
sabahat senior, antara lain Abdul Rahman bin Auf, Utsman bin Affan, dan Asid bin Hadhir dan seorang
tokoh Anshar. Konsultasi ini menghasilkan persetujuan atas pilihannya pada Umar secara objektif.
Setelah itu, hasil konsultasi dengan beberapa orang sahabat senior itu masih ditawarkan kepada kaum
muslimin yang sedang berkumpul di Masjid Nabawi. Apakah rela menerima orang yang dicalonkan
sebagai penggantinya?, Dalam pertemuan tersebut, kaum muslimin menerima dan menyetujui orang yang
telah dicalonkan Abu Bakar. Setelah Abu Bakar mendapat persetujuan kaum muslimin atas pilihannya, ia
memanggil Utsman bin Affan untuk menuliskan teks pengangkatan Umar (bai’at Umar).
B. Utsman bin Affan
Sebelum meninggal, Umar telah memanggil tiga calon penggantinya, yaitu Utsman, Ali dan Sa’ad bin
Abi Waqqash. Dalam pertemuan dengan mereka secara bergantian, Umar berpesan agar penggantinya
mengangkat kerabat sebagai pejabat (Munawwir Syadzali, 1993: 30). Disamping itu, Umar telah
membentuk dewan formatur yang bertugas memilih penggantinya kelak. Dewan formatur yang dibentuk
Umar berjumlah 6 orang. Mereka adalah Ali, Utsman, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abd Ar-Rahman bin Auf,
Zubair bin Aww-am, dan Thalhah bin Ubaidillah. Di samping itu, Abdullah bin Umar dijadikan anggota,
tetapi tidak memiliki hak suara.
Mekanisme pemilihan khalifah ditentukan sebagai berikut: Pertama, yang berhak menjadi khalifah adalah
yang dipilih oleh anggota formatur dengan suara terbanyak. Kedua, apabila suara terbagi secara
berimbang (3:3), Abdullah bin Umar yang berhak menentukannya. Ketiga, apabila campur tangan
Abdullah bin Umar tidak diterima, calon yang dipilih oleh Abd Ar-Rahman bin Auf harus diangkat
menjadi khalifah. Kalau masih ada yang menentangnya, penentang tersebut hendaklah dibunuh (Hasan
Ibrahim Hasan, 1954: 254-5).
Langkah yang ditempuh oleh Abd Ar-Rahman setelah Umar wafat adalah meminta pendapat kepada
aggota formatur secara terpisah untuk membicarakan calon yang tepat untuk diangkat menjadi khalifah.
Yaitu Utsman dan Ali. Ketika diadakan penjajagan suara di luar sidang formatur yang dilakukan oleh Abd
Ar-Rahman, terjadi saling pemilihan, Ali dipilih oleh Utsman dan Utsman dipilih oleh Ali. Selanjutnya,
Abd At-Rahman bermusyawarah dengan masyarakat dan sejumlah pembesar di luar anggota formatur.
Ternyata, suara di masyarakat telah terpecah menjadi dua, yaitu kubu bani Hasyim yang mendukung Ali
dan kubu bani Ummayah yang mendukung Utsman.
Utsman sebagai khalifah ketiga, dan segerahlah dilaksanakan bai’at. Waktu itu, usia Utsman tujuh puluh
tahun. Dalam hubungan ini, patut dikemukakan bahwa Ali sangat kecewa oleh cara yang dipakai oleh
Abd Ar-Rahman tersebut dan menuduhnya bahwa sejak semula ia sudah merencanakannya bersama
Utsman sebab kalau Utsman yang menjadi khalifah, berarti kelompok Abd Ar-Rahman bin Auf yang
berkuasa.

Masa pemerintahan Utsman bin Affan termasuk yang paling lama apabila dibandingkan dengan khalifah
lainnya, yaitu selama 12 tahun: 24-36H./644-656 M. Atau kira-kira 6 tahun masa pemerintahannya penuh
dengan berbagai prestasi. Dan Utsman wafat karena pemberontakan dan pembangkangan pada tahun 35
H.

A. Ali bin Abi Thalib


Ali bin Abi Thalib adalah Amirul Mukminin keempat yang dikenal sebagai orang yang alim, cerdas dan
taat beragama. Beliau juga saudara sepupu Nabi SAW (anak paman Nabi, Abu Thalib), yang jadi
menantu Nabi SAW, suami dari putri Rasulullah yang bernama Fathimah. Fathimah adalah satu-satunya
putri Rasulullah yang ada serta mempunyai keturunan. Dari pihak Fathimah inilah Rasulullah mempunyai
keturunan sampai sekarang.
Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan anak-anak. Nabi
Muhammad SAW, semenjak kecil diasuh oleh kakeknya Abdul Muthalib, kemudian setelah kakeknya
meninggal diasuh oleh pamannya Abu Thalib. Karena hasrat hendak menolong dan membalas
jasa kepada pamannya, maka Ali diasuh Nabi SAW dan dididik. Pengetahuannya dalam agama
Islam amat luas. Karena dekatnya dengan Rasulullah, beliau termasuk orang yang banyak meriwayat-
kan Hadits Nabi. Keberaniannya juga masyhur dan hampir di seluruh peperangan yang dipimpin
Rasulullah, Ali senantiasa berada di barisan muka.

Pembaiatan Khalifah Ali bin Abi Thalib


Dalam pemilihan Khalifah terdapat perbedaan pendapat antara pemilihan Abu bakar,
Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Ketika kedua pemilihan Khalifah terdahulu (Khalifah Abu Bakar dan
Khalifah Ustman bin Affan), meskipun mula-mula terdapat sejumlah orang yang menentang, tetapi
setelah calon terpilih dan diputuskan menjadi Khalifah, semua orang menerimanya dan ikut berbaiat
serta menyatakan kesetiaannya. Namun lain halnya ketika pemilihannya Ali bin Abi Thalib, justru
sebaliknya.
Setelah terbunuhnya Utsman bin Affan, masyarakat beramai-ramai datang dan membaiat
Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah. Beliau diangkat melalui pemilihan dan pertemuan terbuka. Akan
tetapi suasana pada saat itu sedang kacau, karena hanya ada beberapa tokoh senior masyarakat Islam yang
tinggal di Madinah. Sehingga keabsahan pengangkatan Ali bin Abi Thalib ditolak oleh sebagian
masyarakat termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Meskipun hal itu terjadi,
Ali masih menjadi Khalifah dalam pemerintahan Islam.

Pro dan kontra terhadap pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah dikarenakan beberapa hal
yaitu bahwa orang yang tidak menyukai Ali diangkat menjadi Khalifah, bukanlah rakyat umum yang
terbanyak. Akan tetapi golongan kecil (keluarga Umaiyyah) yaitu keluarga yang selama ini telah hidup
bergelimang harta selama pemerintahan Khalifah Ustman. Mereka menentang Ali karena khawatir
kekayaan dan kesenangan mereka akan hilang lenyap karena keadilan yang akan dijalankan oleh Ali.
Adapun rakyat terbanyak, mereka menantikan kepemimpinan Ali dan menyambutnya dengan tangan
terbuka. Beliau akan dijadikan tempat berlindung melepaskan diri dari penderitaan yang mereka alami.[1]

2.3 Sejarah Pemberontakan dan Pelencengan Ajaran Islam


A. Pemberontakan Pertama
Tercatat dalam sejarah, bahwa pemberontakan pertama kali dalam Islam dilakukan oleh
Dzul Khuwaishirah yaitu cikal bakal Khawarij yang kemudian menurunkan generasi yang berpemikiran
sesat seperti dia. Demikian juga tercatat pada perkembangan berikutnya, tidak ada satu pun
pemberontakan kecuali pelakunya adalah Khawarij dan Syi’ah Rafidhah, atau orang-orang yang teracuni
pemikiran dua aliran sesat tersebut. Mereka terus mengotori barisan umat Islam ini dengan tampil sebagai
teroris di tubuh umat. Pemberontakan pertama dalam sejarah Islam dilakukan oleh Dzul Khuwaishirah.[2]
B. Pemberontakan Kedua
Pemberontakan kedua terjadi pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu. Pada masa beliau
muncul gerakan separatis yang dimotori oleh beberapa kalangan kabilah Arab. Mereka menyatakan
murtad dari Islam. Mereka berkata: “Masa kenabian berakhir dengan wafatnya Nabi Muhammad. Maka
kita tidak mentaati siapa pun selama-lamanya setelah wafatnya Nabi Muhammad!!” Dan lainnya lagi
menyatakan menolak untuk membayar zakat.
Pemberontakan dan gerakan murtad ini merupakan ancaman langsung terhadap eksistensi Islam, sehingga
membuat Islam benar-benar dalam kondisi genting. Kemudian Allah selamatkan agama ini dengan
mengokohkan dan memantapkan hati Abu Bakar ash-Shiddiq untuk tampil memerangi dan menumpaskan
gerakan separatis dan aksi murtad tersebut. Tindakan Abu Bakar ini didukung oleh seluruh Sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam ‘Ali Ibnul Madini berkata: “Sesungguhnya Allah menjaga
agama ini dengan Abu Bakar Radhiyallahu anhu pada saat terjadi riddah dan dengan Imam Ahmad
rahimahullah pada hari mihnah.

C. Pemberontakan Ketiga
Pemberontakan ketiga terjadi pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu
anhu. Yaitu gerakan teroris yang merupakan konspirasi Yahudi dan Persia untuk melakukan pembunuhan
yang dilakukan oleh Abu Lu’lu’ah al-Majusi terhadap Amirul Mukminin al-Faruq ‘Umar bin al-
Khaththab Radhiyallahu anhu. Beliau wafat tahun 23 H (643 M).
D. Pemberontakan Keempat
Kemudian di zaman pemerintahan khalifah ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu anhu muncul pula gerakan
teror dan pemberontakan yang memprovokasi massa untuk anti terhadap khalifah yang sah, Amirul
Mukminin ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu anhu. Gembong dari gerakan ini adalah ‘Abdullah bin Saba’
al-Yahudi. Dia menampilkan diri sebagai seorang Muslim, namun kedengkian dan kekufuran terhadap
Islam tersimpan di dadanya.
Selama 40 hari khalifah ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu anhu dikepung di rumah beliau sendiri. Para
pemberontak (Khawarij/teroris) pun bahkan berani menerobos masuk rumah khalifah ‘Utsman dengan
menaiki dinding rumah beliau. Kemudian dengan kejinya mereka membunuh Amirul Mukminin ‘Utsman
bin ‘Affan yang ketika itu sedang membaca Al-Qur-an. Muncratlah darah suci seorang Sahabat mulia
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tetesan pertama darah beliau mengenai mushaf yang berada
di pangkuannya.
E. Pemberontakan Kelima
Kemudian barisan para teroris pembunuh Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan tersebut menghilangkan jejak dan
menyusup di barisan Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib. Mereka menampilkan diri sebagai
pendukung khalifah ‘Ali. Barisan para teroris tersebut menyulut bara fitnah. Hingga akhirnya, mereka
menyatakan diri keluar dari barisan khalifah ‘Ali, dengan alasan bahwa ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu
anhu telah kafir karena telah berhukum dengan selain hukum Allah. Mereka menyempal dari barisan
khalifah ‘Ali dan menyingkir dari suatu tempat yang bernama Harura’, jumlah mereka sekitar 12000
orang, yang kemudian mereka berdiam di situ. Itulah awal pertumbuhan mereka secara terang-terangan
memisahkan diri dan keluar dari barisan para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka
memproklamirkan bahwa komandan perang mereka adalah ‘Abdullah bin Wahhab ar-Rasibi dan imam
mereka adalah ‘Abdullah bin al-Kawwa al-Yasykuri.
Orang-orang Khawarij sangat kuat dalam beribadah, tetapi mereka meyakini bahwa mereka lebih berilmu
dari para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ini merupakan penyakit yang sangat
berbahaya. Di tengah-tengah mereka tidak ada seorang pun ahlul ilmu dari kalangan Sahabat, padahal
para Sahabat masih hidup.
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma menuturkan: “Ketika kaum Khawarij me-misahkan diri, mereka
masuk ke suatu daerah. Ketika itu jumlah mereka 6000 orang. Mereka semua sepakat untuk memberontak
kepada Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib. Banyak yang datang kepada ‘Ali untuk mengingatkan
beliau: ‘Wahai Amirul Mukminin sesungguhnya kaum ini (Khawarij) hendak memberontak kepadamu!”
Namun ‘Ali menyatakan: “Biarkan mereka, karena aku tidak akan memerangi mereka hingga mereka
dulu yang memerangiku dan mereka akan mengetahui nantinya.”
Kemudian terjadi perdebatan antara Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma dengan para Khawarij tersebut,
semua hujjah dan argumentasi mereka dalam mengkafirkan dan memberontak dari barisan ‘Ali -bahkan
dari barisan para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dibantah habis oleh Ibnu ‘Abbas
Radhiyallahu anhuma dengan hujjah dan argumentasi yang kokoh dan tidak dapat dibantah lagi, dan
mereka tidak mampu membantah hujjah-hujjah tersebut. Sehingga tersingkap dan terjawab segala
kerancuan berpikir yang selama ini menutupi akal dan hati mereka yang picik tersebut. Ibnu ‘Abbas
berkata: “Maka bertaubatlah 4000 orang dari mereka, dan sisanya tetap memberontak. Maka akhirnya
mereka para pemberontak- ditumpas habis.
Demikianlah Ibnu ‘Abbas menasihati mereka dengan meletakkan prinsip dasar dalam memahami agama
Islam yang benar, yaitu dengan merujuk apa yang telah difahami dan diamalkan oleh para Sahabat
Radhiyallahu anhum. Tidak boleh seseorang memahami dan menafsirkan nash-nash Al-Qur-an dan As-
Sunnah dengan pemahaman dan penafsiran sendiri yang keluar dan berbeda dari apa yang dipahami dan
diamalkan oleh para Sahabat.

Kemudian barisan Khawarij yang melarikan diri membuat fitnah dimana-mana dan berusaha membangun
kekuatan kembali untuk memberontak dan memporak-porandakan jama’ah kaum Muslimin dan mereka
terus mendendam kepada khalifah kaum Muslimin. Ada tiga orang Khawarij yang berencana membunuh
khalifah ‘Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhum.
Kemudian ‘Abdurrahman bin ‘Amr yang terkenal dengan ‘Abdurrahman bin Muljam al-Himyari al-Kindi
(seseorang dari kaum Khawarij) membunuh ‘Ali bin Abi Thalib ketika shalat Shubuh. Amirul Mukminin
‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu wafat di bulan Ramadhan tahun 40 H (661 M).
Setiap pemberontakan melawan pemerintah, membuat kerusakan, mengganggu stabilitas keamanan,
menakut-nakuti dan mengadakan teror bagi kaum Muslimin, maka umumnya pelakunya orang kafir, atau
munafik atau Khawarij. Karena sesungguhnya Islam tidak pernah mengajarkan untuk membuat
kerusakan, sebaliknya Islam mengajak kepada kedamaian dan keamanan.[1]
BAB III
PENUTUP

Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan dalam makalah ini,
tentunya banyak kekurangan dan kelemahan kerena terbatasnya pengetahuan kurangnya rujukan atau
referensi yang kami peroleh hubungannya dengan makalah ini Penulis banyak berharap kepada para
pembaca yang budiman memberikan kritik saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis para pembaca khusus pada penulis.

Anda mungkin juga menyukai