Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peningkatan mutu pendidikan di sekolah perlu didukung kemampuan
manajerial para kepala sekolah. Sekolah perlu berkembang maju dari tahun
ke tahun. Karena itu, hubungan baik antar guru perlu diciptakan akan terjalin
iklim dan suasana kerja yang kondusif dan menyenangkan. Demikian halnya
penataan penampilan fisik dan manajemen sekolah perlu dibina agar sekolah
menjadi lingkungan pendidikan yang dapat menumbuhkan kreatifitas.,
disiplin, dan semangat belajar peserta didik. Dalam kerangka inilah dirasakan
perlunya implementasi MBS.
Untuk mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah secara efektif
dan efisien, kepala sekolah perlu memiliki pengetahuan kepemimpinan,
perencanaan, dan pandangan luastentang sekolah dan pendidikan. Lebih
lanjut lagi, kepala sekolah dituntut untuk melakukan fungsinya sebagai
menejer sekolah dalam meningkatkan proses belajar-mengajar, dengan
melakukan supervisi kelas, membina, dan memberikan saran-saran positif
kepada guru. Di samping itu, kepala sekolah juga harus melakukan tukar
pikiran, sumbang saran, dan studi banding antarsekolah untuk menyerap kiar-
kiat kepemimpinan dari kepala sekolah yang lain.
Dalam mengimplementasikan MBS secara efektif dan efisen, guru juga
harus berkreasi dalam meningkatkan manajemen kelas. Guru adalah teladan
dan panutan langsung para peserta didik di kelas. Oleh karena itu, guru perlu
siap dengan segala kewajiban, baik manajemen maupun persiapan isi materi
pengajaran.

B. Rumusan Masalah
1. Model managemen berbasis sekolah?
2. Aktor Dalam Implikasi MBS?
3. Dampak managemen berbasis sekolah terhadap mutu sekolah?
4. Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS?
5. Strategi implikasi MBS?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui model managemen berbasis sekolah.
2. Untuk mengetahui actor dalam implikasi MBS
3. Untuk mengetahui dampak manajemen berbasis sekolah.
4. Untuk mengetahui Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui
Penerapan MBS.
5. Untuk mengetahui strategi implikasi MBS.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Model manajemen berbasis sekolah.


Menurut Lawyer (1986) keterlibatan tinggi dalam manajemen disektor swasta
menyangkut empat hal, yaitu: informasi, penghargaan, pengetahuan dan
kekuasaan. Informasi memungkinkan para individu berpartisipasi dan
mempengaruhi pengambilan keputusan dengan memahami linkungan
organisasi, strategi, sistem kerja, persyaratan kerja dan tingkat kerja.
Pengetahuan dan keterampilan diperlukan untuk meningkatkan kinerja
pekerjaan dan kontribusi efektif atas kesuksesan organisasi. Penghargaan
untuk menyatukan kepentingan pribadi karyawan dengan keberhasilan
organisasi. Kekuasaan diperlukan untuk mempengaruhi proses kerja, praktek
keorganisasian, kebijakan dan strategi. Dalam MBS menggambarkan
pertukaran dua arah dalam empat hal tersebut. Alur dua arah memberikan
pengaruh yang saling menguntungkan secara terus menerus antara pemerintah
daerah dengan sekolah dan sebaliknya.

Pendekatan lain yang dapat digunakan dalam implementasi MBS adalah


pendekatan sistem. Dalam hal ini yaitu pendekatan managemen sebagai
sebuah sistem.[11] Sebagaimana digambarkan oleh Slamet P.H terdiri dari
ouput, proses dan input. Input sekolah antara lain visi, misi, tujuan, sasaran,
struktur organisasi, input manajemen, input sumber daya. Output sekolah
diukur dengan kinerja sekolah, yaitu pencapaian atau prestasi yang dihasilkan
oleh proses sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari efektivitas, kualitas,
produktivitas, efisiensi, inovasi, moral kerja. Proses sekolah adalah proses
pengambilan keputusan, pengelolaan kelembagaan pengelolaan program, dan
belajar mengajar.
berdasarkan model pendekatan sistem di atas, ada dua komponen penting
yang berperan dalam menentukan implemenetasi dan kesuksesan MBS yaitu
dapat disebut sebagai keymaker dan playmaker. Pihak-pihak yang dimaksud
sebagai keymaker dalam manajemen berbasis sekolah adalah kantor
pendidikan pusat, kantor pendidikan daerah kabupaten atau kota. Dan
playmakernya adalah dewan sekolah, pengawas sekolah, kepala sekolah, guru
dan orang tua siswa, dan masyarakat luas.[13] Hal ini dapat dilakukan senada
dengan penjelasan Leithwood and Menzies (1998), bahwa terdapat empat tipe
komponen yang dapat diberi otoritas untuk menjalankan MBS di sekolah
yaitu[14]:
1. Empat Model MBS
Leithwood dan Menzies (1998b) menemukan empat model MBS dari hasil
penelitiannya, yaitu:

a) Kontrol administratif, kepala sekolah dominan sebagai representatif


dari administrasi pendidikan.
b) Kontrol profesional, pendidik menerima otoritas.
c) Kontrol masyarakat, kelompok masyarakat dan orangtua peserta didik,
melalui Komite Sekolah, terlibat dalam kegiatan sekolah.
d) Kontrol secara seimbang, orangtua siswa dan kelompok profesional
(kepala sekolah dan pendidik) saling bekerja sama secara seimbang.

Keempat model MBS tersebut sebenarnya merupakan berbagai varian


yang muncul dalam proses pemberian otonomi. Pada awal pemberian
otonomi,
a) model yang pertama (kepala sekolah dominan) telah lahir dengan
sosok sebagai raja-raja kecil yang berkuasa di berbagai satuan
organisasi, termasuk kabupaten/kota sampai dengan satuan pendidikan
sekolah.
b) Model kedua, para guru telah dilibatkan dalam manajemen sekolah.
Seorang guru akan bekerja secara professional. Sehingga otoritas guru
tetap melekat pada profesinya sebagai pegawai negeri maupun
pegawai swasta berdasarkan profesinya, dengan hak dan kewajiban
sebagai tenaga pendidik yang melekat pada pangkat maupun
golongannya.
c) Model ketiga, masyarakat dan orangtua siswa telah dilibatkan dalam
kegiatan sekolah. Masyarakat dan orang tua, dalam hal ini secara
organisasi terpayungi oleh komite sekolah memiliki peran dan dapat
dilibatkan dalam manajemen secara langsunng atau tidak langsung
d) Model keempat adalah model ideal yang diharapkan. Model keempat
ini merupakan model hubungan sinergis antara keluarga, sekolah, dan
masyarakat, yang diharapkan dapat mendongkrak upaya peningkatan
mutu pendidikan. Para orang tua dan para professional (guru dan
kepala sekolah) harus berada pada posisi yang seimbang. Artinya
pihak sekolah melibatkan peran orang tua secara adil sebagai eksternal
control. Baik dalam kapasitas mereka sebagai customer maupun
stakelolder.

2. Model MBS di berbagai negara


Dalam makalah ini akan diuraikan secara singkat beberapa model yang
dikembangkan dibeberapa negara diantaranya: Hong Kong, Kanada,
Amerika Serikat, Inggris, Australia, Prancis, Nikaragua, Selandia Baru, El
Salvador, Madagaskar, dan di Indonesia.
a) Model MBS di Hong Kong
Kondisi yang kurang baik yang terjadi di Hong Kong mendorong
diberlakukannya MBS dengan tujuan terjadinya suatu
perbaikan.[1] Di Hong Kong MBS disebut The School Management
Initiative (SMI) atau manajemen sekolah inisiatif.
Model MBS di Hong Kong ini, menekankan pentingnya
inisiatif dari sumber daya sekolah sebagai pengganti inisiatif dari atas
yang selama ini diterapkan. Prinsip-prinsip MBS yang ditawarkan di
Hong Kong adalah perlunya telaah ulang secara terus menerus
terhadap pembelajaan anggran pemerintah, perlunya evaluasi secara
sistematis terhadap hasil, definisi, yang lebih baik tentang tanggung
jawab, hubungan erat antara tanggung jawab sumber daya dan
tanggung jawab manajemen, perlu adanya organisasi dan kerangka
kerja yang sesuai, hubungan yang jelas antara pembuat kebijakan
dengan agen-agen pelaksana.
Dengan adanya prinsip tersebut maka diperlukan suatu
transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pendidikan.
Taransparansi dan akuntabilitas di sini meliputi penggunaan anggaran
belanja sekolah dan penentuan hasil belajar siswa serta pengukuran
hasilnya.

b) Model MBS di Kanada


Di kanada, pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi
di mana pemerintah daerah/kota sebagai unit administratif dan
pengambilan kebijakan.[2]
Model MBS di sana disebut School-site decision making (SSDM)
atau pengambilan keputusan diserahkan pada tingkat sekolah. Ciri-ciri
MBS dikanada adalah sebagai berikut :
 Penentuan alokasi sumber daya ditentukan sekolah
 Anggaran pendidikan diberikan secara lupsum
 Alokasi anggaran pendidikan tersebut dimasukkan ke dalam
anggaran sekolah
 Adanya program efektivitas guru
 Adanya program pengembangan profesionalisme tenaga kerja.
(sungkowo: 2002).
Penekanan model MBS di kanada ini dalam hal pengambilan
keputusan, yaitu pengambilan keputusan diserahkan kepada masing-
masing sekolah secra langsung. Model ini pun hanya terbatas pada
beberapa hal saja, yaitu yang menyangkut pengangkatan, promosi,
penghargaan dan penghentian tenaga guru dan administrasi,
pengadaan peralatan sekolah, pelayanan kepada sekolah.
Sebelumnya ketiga hal tersebut ditentukan oleh pusat.
Yang menjadi ciri lain dari MBS model kanada adalah peningkatan
dan pengembangan profesionalisme tenaga kerja baik meningkatkan
kemampuan guru maupun tenaga administrasi.
c) Model MBS di Amerika Serikat
Sistem pendidikan di Amerika Serikat mula-mula secara
konstistusional pemerintah pusat (state) bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan pendidikan dan pemerintah daerah hanya sebagai
pembuatan kebijaksanaan dan administrasi. Pemerintah federal
memiliki peran yang terbatas bahkan semakin berkurang perannya.
Perannya hanya dibatasi terutama pada area khusus, yaitu dukungan
pendanaan.
Model MBS di Amerika Serikat disebut dengan Site- based
Management. Beberapa pendapat yang mendudkung diadakannya
MBS menyarankan bahwa sebagai syarat penting untuk meningkatkan
kualitas pendidikan maka otoritas pengambilan keputusan harus pada
tingkat sekolah.
Mereka yakin dengan diadakannya MBS dimana penyerahan
sumber daya ke tingkat sekolah akan membuat kemajuan. Hal ini
karena sekolah memiliki kebebasan mencurahkan energi kreatifnya
dan sekolah dapat mengembangkan diversifikasi pendekatan strategi
untuk mencapai tujuannya

d) Model MBS di Inggris.


Model MBS di Inggris disebut Grant Maintained School (GMS).
Atau manajemen swakelola pada tingkat lokal. Dinamakan seperti itu
karena, adanya undang-undang pendidikan tahun 1988, antara lain
berisi adanya kurikulum inti nasional, adanya ujian nasional, serta
pelaporan nasional. Kontrol terhadap anggaran sekolah diberikan
kepada lembaga pengelola/pengawas beserta para kepala sekoalah
menengah keatas dan sebagian sekolah dasar dalam waktu lima tahun.
Juga memberikan pilihan pada orang tua dengan cara membantu
mengembangkan diversifikasi, meninghkatkan akses, mengizinkan
sekolah-sekolah negeri untuk keluar dari kontrol otoritas pendidikan
lokal. Berdasarkan suara mayoritas orang tua siswa.
Dengan adanya undang-undang pendidikan tersebut terjadi enam
perubahan struktural guna memfasilitasi pelaksanaan MBS
sebagaimana dikemukakan oleh sungkowo (2002).
a. kurikulum nasional untuk mata pelajaran inti ditentukan oleh
pemerintah.
b. Ujian nasional dilaksanakan atau diterapkan pada siswa kelas
7,11,14 dan 16.
c. MBS di bentuk untuk mengembangkan otoritas pemerintah.
d. Dibuatlah sekolah lanjutan tekhnik
e. Kewenangan inner London Education dilimpahkan kepada tiga
belas otoritas pendidikan.
f. Skema manjemen sekolah lokal dibentuk dengan melibatkan
beberapa pihak terkait.

e) Model MBS di Australia


Karakteristik MBS di Australia dapat dilihat dari aspek
kewenangan sekolah yang meliputi.
1. menyusun dan mengembangkan kurikulum dan proses
pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar siswa
2. melakukan pengelolaan sekolah yang dapat dipilih diantara tiga
kemungkinan yaitu standard flexbility option (SO), Enchanced
Flexibility Option-1(EO1), dan enchanced Flexibility-2(EO2).
3. membuat perencanaan, melaksanakannya dan
mempertanggungjawabkannya.
4. adanya akuntabilitas dalam pelaksanaan MBS
5. menjamin dan mengusahankan sumber daya manusia dan sumber
daya keuangan.
6. adanya felksibilitas dalam sumber daya sekolah[3]
seperti yang telah disebutkan di atas untuk melakukan pengelolaan
sekolah dapat dilakukan dengan tiga kemungkinan yaitu SO, EO1
dan EO2. Pengorganisasian pengelolaan sekolah menggambarkan
kadar kewenangan yang diberikan kepada sekolah.
a. Standar Flexibility Option (SO)
Dalam bentuk ini peran dan dukungan kantor distrik lebih
besar. Kepala sekolah hanya bertanggungjawab terhadap
penyususnan rencana sekolah dan pelaksanaan
pelajaran(implementasi kurikulum). Kantor distrik
bertanggunjawab terhadap pengesahan dan monitoring serta
bertindak sebagai penasehat dalam penyususnan school
planing overview. Dalam pengelolaan MBS tipe SO ini,
pemerintah negara bagian memberikan petunjuk pedoman
dan dukungan.

b. Enchanced Flexibility Option-1 (EO1)


Dalam bentuk ini sekolah bertanggungjawab untuk
menyususn rencana strategis sekolah. Untuk tiga tahun.
Peran distrik sebagai 1)memberikan dukungan kepada
sekolah dalam pelaksanaan monitoring internal ; 2)
menandatangani isi rencana sekolah.
c. Enchanced Flexibility Option-2 (EO2)
Keterlibatan distrik, disini sangat sedikit, hanya berperan
sebagai lembaga konsultasi. [4]

f) Model MBS di Prancis.


Di Prancis otoritas lokal memiliki tanggung jawab terhadap
dukungan finansial. Kekuasaan badan pengelola sekolah menengah
atas diperluas ke beberapa area. Sementara itu pengangkatan guru
masih dilakukan oleh pusat dengan ketat. Masing-masing sekolah
menerima anggaran secara lumpsum terhadap jam mengajar guru.
Kepala sekolah mentukan jenis staf yang dibutuhkan.
g) Model MBS di Indonesia.
Model MBS di Indonesia disebut Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah (MPMBS), dapat diartikan sebagai model
manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah,
fleksibilitas kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara
langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu
sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
MBS di Indonesia difokuskan pada peningkatan mutu, tetapi tidak
jelas dalam hal mutu apa.

B. Aktor dalam Implementasi MBS

Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa terdapat beberapa pihak yang


memiliki peranan dalam implementasi MBS di Indonesia yang dapat disebut
sebagai the keymaker dan the playmaker.

1. Peran Kantor Pendidikan Pusat dan Daerah

Peran dan fungsi Departemen Pendidikan di Indonesia di era otonomi


daerah sesuai dengan PP No.25 thn 2000 menyebutkan bahwa tugas
pemerintah pusat antara lain menetapkan standar kompetensi siswa dan
warga, peraturan kurikulum nasional dan sistem penilaian hasil belajar,
penetapan pedoman pelaksanaan pendidikan, penetapan pedoman
pembiayaan pendidikan, penetapan persyaratan, perpindahan, sertifikasi
siswa, warga belajar dan mahasiswa, menjaga kelangsungan proses
pendidikan yang bermutu, menjaga kesetaraan mutu antara daerah
kabupaten/kota dan antara daerah provinsi agar tidak terjadi kesenjangan
yang mencolok, menjaga keberlangsungan pembentunkan budi pekerti,
semangat kebangsaan dan jiwa nasionalisme melalui program pendidikan.

Peran pemerintah daerah adalah memfasilitasi dan membantu staf


sekolah atas tindakannya yang akan dilakukan sekolah, mengembangkan
kinerja staf sekolah dan kinerja siswa dan seleksi karyawan. Dalam
kaitannya dengan kurikulum, menspesifikasi-kan tujuan, sasaran, dan hasil
yang diharapkan dan kemudian memberikan kesempatan kepada sekolah
menentukan metode untuk menghasilkan mutu pembelajaran. Pemerintah
kabupaten/kota menjalankan tugas dan fungsi : 1)Memberikan pelayanan
pengelolaan atas seluruh satuan pendidikan negeri atau swasta; 2)
memberikan pelayanan terhadap sekolah dalam mengelola seluruh asset
atau sumber daya pendidikan yang meliputi tenaga guru, prasarana dan
sarana pendidikan, buku pelajaran, dana pendidikan dan sebagainya; 3)
melaksanakan tugas pembinaan dan pengurusan atas tenaga pendidik yang
bertugas pada satuan pendidikan. Selain itu dinas kab/kota bertugas
sebagai evaluator dan innovator, motivator, standarisator, dan informan,
delegator dan koordinator.

2. Peran Dewan Sekolah dan Pengawas Sekolah

Dewan sekolah (komite sekolah) memiliki peran: menetapkan


kebijakan-kebijakan yang lebih luas, menyatukan dan memperjelas visi
baik untuk pemerintah daerah dan sekolah itu sendiri, menentukan
kebijakan sekolah, visi dan misi sekolah dengan mengacu kepada
ketentuan nasional dan daerah, menganalisis kebijakan pendidikan,
melakukan komunikasi dengan pemerintah pusat, menyatukan seluruh
komponen sekolah. Pengawas sekolah berperan sebagai fasilitator antara
kebijakan pemda kepada masing-masing sekolah antara lain menjelaskan
tujuan akademik dan anggarannya serta memberikan bantuan teknis ketika
sekolah menghadapi masalah dalam menerjemahkan visi pemda. Mereka
memberikan kesempatan untuk mengembangkan profesionalisme staf
sekolah, melakukan eksperimen metode pengajaran, dan menciptakan jalur
komunikasi antara sekolah dan staf pemda.

3. Peran Kepala Sekolah

Pada tingkat sekolah, peran kepala sekolah sangat sentral. Untu itu
peran kepala sekolah adalah : sebagai evaluator, manajer, administrator,
supervisor, leader, inovator dan motivator. Disamping enam fungsi diatas
Wohlstetter dan Mohrman menyatakan bahwa kepala sekolah berperan
sebagai designer, motivator, fasilitator dan liasion31 (Nurkholis,
2003:119-122). Dari fungsi-fungsi diatas Mulyasa (2005:97)
menambahkan satu fungsi lagi, yakni sebagai educator (pendidik), yakni
mampu memberikan pembinaan (mental, moral, fisik dan artistik) kepada
guru dan staf serta para siswa.

4. Peran Para Guru

Pedagogi reflektif menunjuk tanggungjawab pokok pembentukan


moral maupun intelektual dalam sekolah terletak pada para guru. Karena
dengan dan melalui peran para guru hubungan personal autentik untuk
penanaman nilai-nilai bagi para siswa berlangsung (Paul Suparno, dkk,
2002:61-62). Untuk itu guru yang profesional dalam kerangka
pengembangan MBS perlu memiliki kompetensi antara lain kompetensi
kepribadian (integritas, moral, etika dan etos kerja), kompetensi akademik
(sertifikasi kependidikan, menguasai bidang tugasnya) dan kompetensi
kinerja (terampil dalam pengelolaan pembelajaran).

5. Peran Orang Tua dan Masyarakat

Karakteristik yang paling menonjol dalam konsep MBS adalah


pemberdayaan partisipasi para orangtua dan masyarakat. Sekolah memiliki
fungsi subsider, fungsi primer pendidikan ada pada orangtua. Menurut
Cheng (1989) ada dua bentuk pendekatan untuk mengajak orangtua dan
masyarakat berpartisipasi aktif dalam pendidikan. Pertama, pendekatan
school based dengan cara mengajar orangtua siswa datang kesekolah
melalui pertemuan-pertemuan, konferensi, diskusi guru-orangtua dan
mengunjungi anaknya yang sedang belajar di sekolah. Kedua, pendekatan
home based, yaitu orangtua membantu anaknya belajar dirumah dan guru
berkunjung ke rumah. Sedangkan, peran masyarakat bukan hanya
dukungan finansial, tetapi juga dengan menjaga dan menciptakan
lingkungan sekolah yang aman dan tertib serta menjalankan kontrol sosial
di sekolah. Peran tokoh-tokoh masyarakat dengan jalan menjadi
penggerak, informan dan penghubung, koordinator dan pengusul.

6. Peran Strategis Kepala Sekolah dalam Implementasi MBS

Dalam upaya menerapkan MBS Kepala sekolah memiliki peran yang


berbeda melebihi perannya dalam model non-MBS. Perbedaan tersebut
menuntut kepala sekolah untuk memiliki multi kompetensi dan multi skill.
Sebagaimana dijelaskan Mulyono, kepala sekolah merupakan ruh yang
menjadi pusat sumber gerak organisasi pendidikan untuk mencapai
tujuan.[15] Lebih jauh dijelaskan bahwa kepala sekolah adalah tokoh
sentral pendidikan dan sekolah sebagai suatu komunitas pendidikan
membutuhkan seorang pemimpin untuk mendayagunakan potensi yang
ada dalam sekolah.

Berikut beberapa kompetensi dan skill yang harus dimiliki oleh


seorang kepala sekolah:

Kepala sekolah harus memiliki kompetensi guru sebagaimana


dipersyaratkan dalam Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan, yaitu : Kompetensi pedagogik, Kompetensi
kepribadian, Kompetensi sosial, Kompetensi professional.[16] Kompetensi
ini harus dimiliki oleh seorang kepala sekolah, karena profesi utamanya
adalah sebagai seorang guru atau pendidik. Dengan bekal kompetensi
keguruan yang dimiliki diharapkan seorang kepala sekolah akan menjadi
pemimpin yang ideal.

C. Pro dan kontra MBS dan Dampak Negatif MBS


Ada beberapa hasil penelitian yang dapat digolongkan sebagai pihak yang pro
dan kontra terhadap MBS. Sebagai contoh, Dimmock (1993) dan Caldwell
(1994) menemukan bahwa MBS memiliki lima keunggulan sebagai berikut:

1. MBS adalah lebih demokratis. MBS memungkinan guru dan orangtua


siswa dapat mengambil keputusan tentang pendidikan dengan cara-cara
yang lebih demokratis daripada hanya sekedar memberikan kewenangan
kepada orang-orang yang terbatas atau satu kelompok orang pada level
pusat.
2. MBS adalah lebih relevan.
3. MBS adalah tidak birokratis.
4. MBS memungkinkan untuk lebih memiliki akuntabilitas.
5. MBS memungkinkan untuk dapat memobilisasi sumberdaya secara lebih
besar.

Dalin (1994), Carron dan Chau (1996) menemukan dalam penelitiannya


bahwa kualitas pendidikan lebih ditentukan oleh cara sekolah mengelola
sumber dayaketimbang oleh ketersediaan sumber dayanya sendiri.
Sumber daya yang ada di sekolah boleh jadi akan menjadi mala petaka bagi
semua pihak jika kepala sekolah tidak dapat mengelolanya secara transparan.
Faktor lain yang mempengaruhi kualitas pendidikan adalah kemampuan
kepala sekolah dalam meningkatkan proses belajar mengajar. Dengan
demikian, kedua faktor tersebut (ketersediaan sumber daya dan proses belajar
mengajar) harus dikelola secara profesional oleh pihak sekolah.
Penerapan MBS di sekolah di banyak negara berkembang, walaupun
bagaimana, sering tidak memperoleh dukungan yang memadai dari pihak
penguasa lokal maupun dari masyarakat. Pemerintah daerah yang lemah tidak
dapat diharapkan untuk mendukung pelaksanaan prinsip manajemen modern
(demokratis, transparan, dan akuntabel). Pelaksanaan MBS di sekolah, seperti
dalam mengelola dana BOS dan DAK, pihak kepala sekolah dan Komite
Sekolah masih juga memperoleh tekanan dari berbagai pihak. Campur tangan
pemerintah daerah pada umumnya bukan dalam bentuk supervisi yang positif,
tetapi justru berupa intervensi negatif. Bahkan, tidak sedikit kepala sekolah
yang dikejar-kejar ’wartawan amplop” yang sering nongkrong di sekolah
untuk menunggu datangnya kepala sekolah. Itulah sebabnya penerapakan
MBS di sekolah pada sisi yang lain menjadi ladang yang subur untuk
tumbuhnya KKN di level birokrasi yang paling bawah ini. Itulah sebabnya,
ada kepala sekolah yang kemudian tidak mau pekerjaan manajemen yang
berat ini, karena alasan beban berat sebagai pemimpin instruksional
(instructional leader) atau pemimpin dalam bidang kependidikan
(pedagogical leader) menjadi amburadul, lantaran disibukkan oleh pekerjaan
teknis administratif dan manajerial yang harus dituntaskan setiap hari.
Dengan beban pekerjaan yang berat ini, ada beberapa kepala sekolah di SD
yang terpaksa harus belanja komputer, buku pelajaran, alat tulis kantor
(ATK), karena SD tidak memiliki staf administrasi sebagaimana di SMP dan
SMA. Akibatnya, pelaksanaan MBS di sekolah menjadi dilema (Dempster,
2000). Bahkan penerapan MBS boleh jadi menimbulkan stres berat bagi
kepala sekolah (Whitaker, 2003 dan William, 2003).
Penerapan MBS ternyata juga sarat dengan masalah bias gender.
Limerick dan Anderson, 1999) menengarai adanya masalah bias gender,
karena banyak kepala sekolah wanita yang merasakan keberatan untuk
melaksanakan beban berat mengurus bidang administrasi dan manajemen
tersebut. Seorang kepala sekolah di SMA pernah mendatangi penulis dan
menjelaskan bahwa sekolahnya terpaksa menolak bantuan block grant dari
pemerintah. Alasannya sudah jelas, karena urusan teknis edukatif di
sekolahnya menurutnya menjadi tidak terurus dengan baik lagi.
Penerapan MBS juga mengalami masalah, khususnya di daerah yang
pedesaan atau daerah yang terpencil (remote areas). Banyak orangtua siswa
dan masyarakat di pedesaan yang tidak mau terlibat dalam kegiatan Komite
Sekolah. Masalahnya ternyata bukan hanya karena masalah kapasitasnya
yang rendah, tetapi lebih karena budaya yang hanya menyerahkan bulat-bulat
urusan pendidikan kepada pihak sekolah. Bahkan, dalam beberapa kasus,
penerapan MBS lebih sebagai instrumen politik untuk membangun
kekuasaan. Dengan MBS, seakan-akan pemerintah telah memberikan
otonomi kepada sekolah, padahal sesungguhnya sekolah dan masyarakat
belum siap untuk menerima semua itu. Hal yang sama pun terjadi di negara
maju seperti di negara bagian Australia. Representasi dari masyarakat
kelompok minoritas dinilai kecil dalam komposisi kepengurusan Komite
Sekolah (Ferguson, 1998).
Dampak negatif yang sama terjadi dalam pelaksanaan desentralisasi di
Afrika Barat (Lugaz dan De Grouwe), dimana penerapan MBS di sekolah
justru dapat menyebabkan meningkatnya monopoli kekuasaan di level
pemerintah daerah. Orangtua dan pendidik hampir tidak punya pengetahuan
untuk mengontrol penggunaan uang sekolah yang telah diterima oleh sekolah.
Tidak adanya transparansi dalam penggunaan uang sekolah dari orangtua
siswa tersebut sering menimbulkan kesan terjadinya monopoli kekuasaan
pada level pemerintah daerah.

1. Dampak MBS Terhadap Mutu Pendidikan


Hasil penelitian tentang dampak penerapan MBS terhadap mutu
pendidikan ternyata sangat bervariasi. Ada penelitian yang menyatakan
negatif. Ada yang kosong-kosong. Ada pula yang positif.
Penelitian yang dilakukan oleh Leithwood dan Menzies (1998a)
dengan 83 studi empirikal tentang MBS menyatakan bahwa penerapan
MBS terhadap mutu pendidikan ternyata negatif, “there is virtually no
firm”. Fullan (1993) juga menyatakan kesimpulan yang kurang lebih
sama. “There is also no doubt that evidence of a direct cause-and-effect
relationship between self-management and improved outcomes is
minimal”. Tidak diragukan lagi bahwa hubungan sebab akibat hubungan
antara MBS dengan peningkatan mutu hasil pendidikan adalah minimal.
Hal ini dapat dimengerti karena penerapan MBS tidak secara langsung
terkait dengan kejadian di ruang kelas.
Sebaliknya, Gaziel (1998) menyimpulkan hasil penelitian di sekolah-
sekolah Esrael bahwa ”greater school autonomy has a positive impact on
teacher motivation and commitment and on the school’s achievement”.
Pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah telah mempunyai
dampak positif terhadap motivasi dan komitmen guru dan terhadap
keberhasilan sekolah. Hasil penelitan William (1997) di Kerajaan Inggris
dan New Zealand menunjukkan bahwa “the increase decision-making
power of principals has allowed them to introduce innovative programs
and practices”. Peningkatan kemampuan kepala sekolah dalam
pengambilan keputusan telah membuat memperkenalkan program dan
praktik (penyelenggaraan pendidikan) yang inovatif. Geoff Spring, arsitek
reformasi di Australia Selatan dan Victoria menyatakan bahwa “school-
based management has led to higher student achievement” De Grouwe
(1999) Hal yang menggembirakan juga dinyatakan oleh King dan Ozler
(1998) menyatakan bahwa “enhanced community and parental
involvement in EDUCO schools has improved students’ language skills
and diminished absenteeism”. Jemenez dan Sawada (1998)
menyimpulkan bahwa pelibatan masyarakat dan orangtua siswa
mempunyai dampak jangka panjang dalam peningkatan hasil belajar.

D. Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS


Konsep MBS merupakan kebijakan baru yang sejalan dengan paradigma
desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yang diharapkan agar
penerapan MBS dapat benar-benar meningkatkan mutu pendidikan.
1. Pertama, salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif
untuk dapat menerapkan MBS, yakni peningkatan kapasitas dan
komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua
siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi
kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point
is that schools and teachers will need capacity building if school-based
management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.
2. Kedua, membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis,
transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk
membuat laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model
memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan
oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang
sangat positif. Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet,
leaflet, atau poster tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya
jika kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam
media tersebut.
3. Ketiga, pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi.
Dengan kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu
melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi
pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang
diterima sekolah.
4. Keempat, mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan
hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih banyak dipenuhi
dengan pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan
sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan
hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa
penataran MBS.

E. Strategi implementasi MBS

Untuk menerapkan model MBS perlu terlebih dahulu memahami


karakteristiknya, baik dengan memahami perbedaan pola manajemen yang
diterapkan dengan pola lama (sentralisasi), maupun kesiapan para pelaku
pendidikan (sekolah). Kemudian “apa dan siapa” harus bisa diterjemahkan ke
dalam bahasa aplikatif. Apa berarti berkaitan dengan konsep dan standard
operasional MBS di lapangan dan siapa menunjukkan sumber daya manusia
yang berperan dan terlibat dalam penerapan MBS.

Model Majemen Berbasis Sekolah (School-based Management;inggris)


telah banyak diterapkan dibeberapa negara maju maupun berkembang, seperti
di Amerika ( MBS di AS disebut Side-Based Management (SBM)), Inggris
(MBS di Inggris disebut Grant Mainted School (GMS)), Francis, Australia,
selandia baru (MBS di Selandia Baru disebut School Based Budget (SBB)),
elsalvador (MBS di Elsalvador disebut Community Mangred School Program
(CMSP), kemudian lebih dikenal dengan nama akronim Spanyol EDUCO
(Education con Participation de la Comunidad)), kanada (MBS di Kanada
disebut School – Site Decision Making (SSDM)), Hongkong (MBS disebut
The School Management Initiative (SMI)), Nikaragua, madagaskar maupun
di Indonesia.[8]

Dalam berbagai macam model MBS yang diterapkan beberapa negara


tersebut, terdapat persamaan yang mendasar yaitu mengenai otonomi sistem
pendidikan, berasaskan pada mutu dan kualitas pendidikan. Sedangkan
perbedaannya terletak pada strategi implementasi dan operasional yang
disesuaikan dengan kebijakan sistem pendidikan nasional masing-masing
negara.

Usaha yang dapat dilakukan untuk menemukan strategi agar memberikan


hasil terbaik adalah dengan melakukan benchmarking sistem oparasional
berdasarkan karakateristik tiap-tiap model MBS yang diterapkan pada negara
tersebut, kemudian melakukan modifikasi dan adaptasi sesuai dengan
lingkungan dan kondisi yang ada pada tiap-tiap negara.

Beberapa literatur menjelaskan penggunaan strategi yang dapat


diterapkan untuk mencapai keberhasilan implementasi MBS bahkan
menjelaskan berbagai penyebab kegagalan implementasi MBS.

Ada beberapa langkah strategis yang dapat diterapkan dalam MBS,


sebagaimana dijelaskan Oswald (1995), Kubick (1988), Wohlstetter dan
Mohram (1993) dan Peterson, yaitu:

1) Sekolah harus memiliki otonomi terhadap empat hal yaitu kekuasaan


dan kewenangan, pengembangan pengetahuan yang
berkesinambungan, akses informasi ke segala bagian dan memberikan
penghargaan terhadap setiap orang yang berhasil.

2) Adanya peran serta masyarakat secara aktif dalam hal pembiayaan,


proses pengambilan keputusan terhadap kurikulum dan instruksional
serta non-instruksional.

3) Adanya kepemimpinan kepala sekolah yang mampu menggerakkan


dan mendayagunakan setiap sumber daya sekolah secara efektif.

4) Adanya proses pengambilan keputusan yang demokratis dalam dewan


sekolah yang aktif

5) semua pihak harus memahami peran dan tanggung jawabnya secara


sungguh-sungguh.
6) Adanya guidelines dari departemen terkait sehingga dapat mendorong
proses pendidikan di sekolah secara efisien dan efektif.

7) Sekolah harus memiliki transparansi dan akuntabilitas yang minimal


diwujudkan dalam laporan pertanggungjawaban.

8) Penerapan MBS harus diarahkan untuk pencapaian kinerja sekolah dan


meningkatkan pencapaian belajar siswa.

9) Hendaknya mengawali dengan sosialisasi dari konsep MBS,


identifikasi peran masing-masing, mengadakan pelatihan terhadap
peran baru, dan impelementasi pada proses pembelajaran, evaluasi dan
melakukan perbaikan.

Drury dan Levin (1994) berpendapat bahwa MBS belum bisa secara
langsung meningkatkan pencapaian prestasi belajar siswa, namun memiliki
potensi untuk menerapkannya. Sedangkan Wohlstetter dalam Watson (1999)
memberikan panduan yang komprehensif sebagai elemen kunci reformasi
MBS yang terdiri dari atas: 1) menetapkan secara jelas visi dan hasil yang
diharapkan, 2) menciptakan fokus tujuan nasional yang memerlukan
perbaikan, 3) adanya panduan kebijakan dari pusat yang berisi standar-
standar kepada sekolah, 4) tingkat kepemimpinan yang kuat dan dukungan
politik serta dukungan kepemimpinan dari atas, 5) pembagunan kelembagaan
(capacity building) melalui pelatihan dan dukungan kepada kepala sekolah,
para guru, dan anggota dewan sekolah, 6) adanya keadilan dalam pendanaan
atau pembiayaan pendidikan
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan undang-undang nomor 22 tahun 1999, desentralisasi sistem
pemerintah berdampak pada perubahan sistem pendidikan nasional yang juga
menganut sistem desentralisasi, yang disambut dengan munculnya Manajemen
Berbasis Sekolah.
Implementasi MBS diharapkan dapat meningkatkan mutu dan kualitas
pendidikan di Indonesia. Penerapan MBS tentu akan menggeser pola lama yang
sudah diterapkan puluhan tahun, sehingga perencanaan dan persiapan harus
matang. Hal ini juga menuntut keterbukaan dan kemandirian sekolah, sehingga
mampu mendorong kompetisi yang tinggi dan akuntabilitas publik yang akan
bermuara pada bermunculannya sekolah-sekolah yang bermutu.

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Anton De Grauwe, 2005. Improving the Quality of Education through School-


Based Management: Learning from International Experiences. Hamburg:
International Institute for Education.
E. Mulyasa. Manajemen Bebasis Sekolah: Konsep, strategi dan implementasi.
Bandung: Rosdakarya. 2002
[1] E. Mulyasa. Menjadi Kepala Sekolah Profesional. Bandung: Rosda.2005.

James, O’toole, 2003, Leadership A to Z; A Guide for The Appropriately


Ambitious; Panduan Berambisi Secara Positif, terj. Neneng Natalina,
Jakarta: Erlangga.

Made Pidarta. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.2004.


Nurkholis. Manajemen Berbasis Sekolah: Teori, Model dan Aplikasi. Jakarta:
grasindo.2003

Anda mungkin juga menyukai