Anda di halaman 1dari 15

REFLEKSI KASUS

ASA 2 HIPEREAKTIF AIRWAY PASIEN MEROKOK DENGAN CLOSED


FRAKTUR DISTAL FIBULA SINISTRA
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Anestesi RSUD Panembahan Senopati Bantul

Diajukan kepada :
dr. Dedy Hartono, Sp. An.

Disusun oleh :
Denis Hati Hananti Sakti
20174011107

SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

RFLEKSI KASUS

Disusun oleh:

Denis Hati Hananti Sakti

20174011107

Disetujui dan disahkan pada tanggal: April 2019

Mengetahui,

Dosen Pembimbing

dr. Dedy Hartono, Sp.An.


1. Pengalaman
Seorang pasien, Tn. M, usia 60 tahun datang ke IGD RSUD
Panembahan Senopati Bantul dengan keluhan nyeri pada pergelangan kaki
kiri setelah jatuh akibat terpeleset saat berjalan di halaman rumah dikarenaka
licin. Pasien terjatuh ke sebelah kiri dan kaki kiri menjadi tumpuan. Tidak
ada benturan kepala, pasien sadar saat dan setelah jatuh. keluhan pusing,
mual dan muntah disangkal. Riwayat diabetes melitus dan hipertensi
disangkal. Riwayat asma dan alergi juga disangkal. Pasien seorang perokok
dengan menghabiskan 12 batang setiap harinya. Pada hari sebelum terpeleset
pasien merokok 3 batang. Pasien merokok sejak 20 tahun yang lalu. Dari
pemeriksaan fisik pasien, didapatkan tekanan darah 130/80 mmHg, nadi
82x/menit, respirasi 18x/menit dan suhu afebris. Dari hasil pemeriksaan
penunjang rontgen ankle joint sinistra, didapatkan fracture completa distal
fibula sinistra. Dokter spesialis Orthopedi, merencanakan tindakan open
reduction internal fixation (ORIF) pada ankle joint sinistra. Dokter spesialis
Anestesi menyetujui pasien dilakukan tindakan operasi dengan teknik
subarachnoid block..
Pada saat reanamnesis sewaktu visite pre operasi, pasien memiliki
gigi hilang pada molar 2 kiri dan merokok, keluhan penyulit anestesi lainnya
disangkal. Pada pemeriksaan fisik, penilaian airway menunjukkan jalan
napas clear, mallampati I, jarak buka mulut 3 jari, TMD ≥ 6,5 cm, gerakan
leher bebas. breathing diperoleh pernapasan spontan, gerakan dada simetris,
tipe pernafasan normal, respirasi rate 18 kali per menit dan vesikuler pada
kedua lapang paru, circulation diperoleh tekanan darah 130/80 mmHg dan
nadi 82 kali per menit serta diperoleh status kesadaran pasien Compos
Mentis dengan Glasgow Coma Scale E4M6V5. Penilaian skala nyeri ringan
(VAS=2). Pupil Isokor, kaku kuduk (-), kelainan nervus kranialis (-). Pasien
memiliki Berat badan 78 kg dan tinggi badan 170 cm.

2. Laboratorium dan Penunjang lainnya


Hb : 15,3 g/dl Natrium : 133,3 mmol/l
Hmt : 44,4 % Kalium : 4,02 mmol/l
PPT : 11,7 detik Chlorida : 107,5 mmol/l
APTT : 27,8 detik Ureum : 30
HbsAg : Negatip Creatinin : 0,95
Ro Thorax PA : cor dan pulmo dalam batas normal
EKG : Normal sinus rhythm
Diagnosis : Status pasien ASA II dengan hipereaktif airway
Terapi : Injeksi Dexametasone 10 mg pada pukul 22.00 dan 05.00 serta
rencana Regional Anestesia

3. Perasaan Terhadap Pengalaman


Perasaan penulis terhadap pengalaman pada kasus ini adalah tertarik
untuk merefleksikan mengenai bagaimanakah pengaruh rokok terhadap
anestesi.

4. Evaluasi
Asap rokok mengandung lebih dari 4000 zat, beberapa di antaranya
secara farmakologis aktif, antigenik, sitotoksik, mutagenik, dan beberapa
lainnya bersifat karsinogenik.3 Terdiri dari fase gas dan fase partikulat.
Delapan hingga 90% asap rokok berbentuk gas, terutama terdiri dari nitrogen,
oksigen, dan karbon dioksida. Fase gas juga mengandung karsinogen seperti
asam hidrosianat dan hidrazin, ciliotoxins, dan iritan seperti asam hidrosianat,
asetaldehida, amonia, akrolein, dan formaldehida, dan agen yang mengganggu
transportasi oksigen, yaitu karbon monoksida. Pada fase partikulat, bahan
beracun utama adalah nikotin. Ini juga mengandung karsinogen seperti tar dan
hidrokarbon aromatik polinuklear dan akselerator tumor seperti indol dan
karbazol.

PENGARUH TERHADAP SISTEM KARDIOVASKULER


Nikotin dalam asap merangsang medula adrenal untuk mengeluarkan
adrenalin, mereset karotid dan reseptor aorta untuk mempertahankan tekanan
darah yang lebih tinggi, dan merangsang ganglia otonom sehingga terjadi
peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik, peningkatan denyut jantung,
dan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer. Meningkatkan
kontraktilitas miokard, menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen oleh otot
jantung. Dengan demikian, permintaan oksigen meningkat. Meningkatnya
resistensi pembuluh darah coroner menyebabkan penurunan aliran darah
koroner, sehingga terjadi penurunan suplai oksigen.4 Nikotin juga
meningkatkan intraseluler kalsium selama iskemia dan dapat memperburuk
kerusakan sel miokard. Pada perokok, konsentrasi plasma nikotin mencapai
15-50 ng / mL. Waktu paruh nikotin adalah 30-60 menit.6 Setelah merokok 1
batang rokok, respons berlangsung sekitar 30 menit.
Konstituen asap lainnya yang mempengaruhi sistem kardiovaskular
adalah karbon monoksida. Asap rokok mengandung 400 bagian per juta.
Dalam darah, karbon monoksida bergabung dengan hemoglobin untuk
membentuk karboksihemoglobin (COHb). Pada perokok, jumlahnya COHb
dalam darah berkisar dari 5 hingga 15%. Pada bukan perokok, hanya sekitar
0,3 hingga 1,6%. Bahkan dengan pencemaran lingkungan, COHb terdeteksi
pada bukan perokok tidak melebihi 1,9%.7 Jumlah COHb dalam darah
perokok tergantung pada jenis rokok, frekuensi, dan metode merokok.
Konsentrasi dikatakan konstan sepanjang hari. Afinitas karbon monoksida
untuk hemoglobin (Hb) adalah 200 kali lipat dari oksigen.8 Jadi, jumlah Hb
yang tersedia untuk digabungkan dengan oksigen berkurang secara drastis. Ini
juga menggeser kurva oksihemoglobin ke kiri karena (i) afinitas tinggi untuk
Hb, (ii) perubahan bentuk dari kurva oksihemoglobin dari sigmoidal ke yang
lebih kurva hiperbolik oleh karboksihemoglobin, dan (iii) menipisnya 2,3-
difosfogliserat oleh karbon monoksida.9 Pergeseran kiri kurva
oksihemoglobin menyulitkan jaringan untuk mengekstraksi oksigen dari
hemoglobin. Maka terjadi penurunan oksigen pada jaringan. Karbon
monoksida juga berikatan dengan sitokrom oksidase dan mioglobin dan
menonaktifkan enzim mitokondria dalam otot jantung.5 Sehingga terjadi
penurunan dalam transportasi dan penggunaan oksigen intraseluler dan efek
inotropik negatif. Mekanisme ini mengarah pada hipoksia jaringan kronis.
Tubuh mengimbangi dengan peningkatan sel darah merah sehingga terjadi
peningkatan ketersediaan oksigen dengan mengorbankan peningkatan
viskositas plasma. Karbon monoksida juga memengaruhi ritme jantung.
Pasien dengan penyakit arteri koroner yang memiliki 6% COHb dalam darah
mereka menunjukkan aritmia ventrikel selama anestesi.10 Pada konsentrasi
COHb 4%, tidak ada aritmia yang terdeteksi. Waktu paruh
karboksihemoglobin terutama tergantung pada ventilasi paru. "Saat istirahat,
waktu paruh adalah sekitar 4-6 jam. Dengan olahraga berat, karena
pernapasan cepat, berkurang menjadi 1 jam. Saat tidur, saat tidur bernafas
lambat, waktu paruh diperpanjang hingga sekitar 10- 12 jam. Jika seseorang
menghirup oksigen 100%, waktu paruh dikurangi menjadi 40-80 menit, dan
dengan oksigen hiperbarik dikurangi menjadi 23 menit. Dengan demikian,
saat menasihati pasien sebelum anestesi, variasi ini harus diperhatikan. Pada
siang hari, berpantang selama 12 jam sudah cukup untuk menghilangkan
karbon monoksida.

EFEK TERHADAP SISTEM HEMOSTATIK


Merokok meningkatkan produksi Hb, sel darah merah, sel darah
putih, dan trombosit dan meningkatkan reaktivitas trombosit. Ada juga
peningkatan fibrinogen. Ini menghasilkan peningkatan viskositas hematokrit
dan darah, yang menyebabkan kecenderungan trombotik yang meningkat.
Sehingga terjadi peningkatan insiden penyakit tromboemboli arteri pada
perokok. Namun, tidak ada peningkatan dalam kejadian trombosis vena
dalam.10 Faktanya, penurunan insiden dibandingkan dengan bukan perokok
telah dilaporkan dalam beberapa penelitian.
Hipoksia kronis pada otot jantung dan peningkatan insidensi penyakit
tromboemboli menyebabkan perokok berisiko 70% lebih besar terkena
penyakit arteri koroner dibandingkan dengan bukan perokok, dan mortalitas
pasca operasi pada perokok lebih tinggi daripada bukan perokok.5 Dari 38%
vaskular pasien dengan masalah kardiovaskular, 80% adalah perokok.
EFEK TERHADAP SISTEM PERNAPASAN
Seperti yang dinyatakan sebelumnya, merokok mempengaruhi
transportasi oksigen.9 Iritan dalam asap meningkatkan sekresi lendir. Lendir
menjadi hyperviscous, dengan elastisitas yang berubah. Silia menjadi tidak
aktif dan dihancurkan oleh ciliotoxins. Sehingga terjadi gangguan kejernihan
trakeobronkial.1,3 Reaktivitas laring dan bronkial meningkat. Asap rokok
diketahui mengganggu lapisan epitel paru-paru, menyebabkan peningkatan
permeabilitas epitel paru. Hilangnya integritas epitel memungkinkan iritan
untuk menembus epitel lebih mudah dan merangsang reseptor iritasi
subepitel, sehingga meningkatkan reaktivitas. Merokok menyebabkan
penyempitan jalan nafas dikarenakan volume penutupan meningkat.
Surfaktan paru juga menurun. Peningkatan enzim proteolitik paru atau enzim
elastolitik menyebabkan hilangnya elastisitas paru-paru dan emfisema paru-
paru. Infeksi paru-paru meningkat. Dua puluh lima persen perokok menderita
bronkitis kronis,1,8 terjadi lima kali lebih sering daripada bukan perokok.
Insiden penyakit saluran napas obstruktif kronik juga lebih tinggi daripada
yang bukan perokok. Ketika tes fungsi paru dilakukan, perokok kronis
dengan penyakit saluran napas obstruktif kronis menunjukkan pola obstruktif.
Pada perokok tanpa gejala, tes fungsi paru spirometri normal. Namun, pada
perokok tanpa gejala, volume penutupan meningkat secara signifikan,
menunjukkan penyakit saluran napas kecil (small-airway disease).1,3 Setelah
berhenti merokok, aktivitas siliaris mulai meningkat pulih dalam 4-6 hari.
Volume dahak membutuhkan 2-6 minggu untuk kembali normal. Ada
beberapa perbaikan dalam pembersihan trakeobronkial setelah 3 bulan.
Dibutuhkan 5-10 hari untuk reaktivitas laring dan bronkial untuk menetap.
Ada peningkatan penyempitan jalan napas kecil setelah 4 minggu, dan
peningkatan yang nyata terlihat setelah 6 bulan. Seseorang harus berhati-hati
dalam menghentikan penderita asma yang merokok karena asma dapat
memburuk.1,3
PENGARUH TERHADAP PERIOPERATIF
Schwilk et al,8 dalam survei besar, membandingkan peristiwa
pernapasan spesifik seperti reintubasi, laringospasme, bronkospasme,
aspirasi, hipoventilasi, hipoksemia, dan lainnya selama anestesi pada perokok
dan bukan perokok. Insiden ditemukan 5,5% pada perokok, dibandingkan
dengan 3,3% pada bukan perokok. Mereka menghitung risiko relatif dari
peristiwa-peristiwa ini yang terjadi selama anestesi dan menemukan bahwa
risiko pada semua perokok adalah 1,8 kali dibandingkan pada yang bukan
perokok. Pada perokok muda 2,3 kali, dan pada perokok gemuk, itu 6,3 kali
normal. Dengan demikian, perokok obesitas berisiko tinggi memiliki masalah
pernapasan selama anestesi. Ditemukan bahwa perokok memiliki risiko tinggi
secara signifikan mengalami bronkospasme selama anestesi. Risikonya lebih
tinggi pada perokok wanita, dan risikonya 25,7 kali normal pada perokok
muda dengan bronkitis kronis. Oksimeter denyut nadi yang tersedia saat ini
mengukur cahaya absorbansi pada hanya 2 panjang gelombang dan tidak
dapat membedakan antara lebih dari 2 spesies hemoglobin.1,9 Oleh karena itu,
mereka tidak dapat membedakan oxyhemoglobin (HbO2) dari
karboksihemoglobin. Akibatnya, saturasi oksigen diperlihatkan oleh pulse
oximeters secara perokok kronis akan menjadi terlalu tinggi dari saturasi
oksigen. Ini menggabungkan saturasi HbO2 dan COHb sebagai hasilnya. Jika
10% COHb ada dalam darah dan oksimeter berbunyi 100%, angka
sebenarnya kurang dari 90%. Untuk mendapatkan pembacaan yang benar,
oksigen saturasi harus diukur menggunakan CO oximeter.
Fletcher2 menemukan bahwa perbedaan antara tekanan parsial karbon
dioksida arteri dan karbon dioksida tidal akhir (PaCO2 - EtCO2) pada bukan
perokok adalah 0,3 kPa sedangkan pada perokok adalah 0,9 kPa. Mereka juga
menemukan bahwa perbedaan ini meningkat dengan bertambahnya usia pada
perokok dan tidak perokok, meningkat 0,2 kPa per dekade. Dengan demikian,
seorang perokok berusia 60 tahun akan membutuhkan ventilasi 25% lebih
lama daripada bukan perokok untuk mempertahankan tekanan parsial karbon
dioksida arteri.

PENGARUH TERHADAP FUNGSI PERNAPASAN SELAMA


ANESTESIN SPINAL
Pada perokok sedang atau berat, volume ekspirasi paksa- / detik
(FEV-1) berkurang setelah anestesi spinal di atas T10.2 Aliran midexpirasi
paksa dan aliran ekspirasi paksa berkurang secara nyata. Jadi, untuk
pencegahan akumulasi sekresi, disarankan agar pasien diinstruksikan untuk
sering mengambil napas dalam dan batuk selama periode blok.

PENGARUH MORBIDITAS POSTOPERATIF


Pasca operasi, hipoksia terjadi setelah anestesi umum dan anestesi
spinal. Namun, ini lebih besar setelah anestesi umum.2,4 Hipoksia terjadi lebih
sering pada perokok kronis karena peningkatan volume penutupan, sehingga
menimbulkan perbedaan oksigen arteri alveolar yang lebih tinggi, dan
peningkatan karbon monoksida, mengurangi ketersediaan oksigen ke
jaringan.1,3 Komplikasi paru pasca operasi dilaporkan oleh Morton pada tahun
19443 menjadi enam kali lebih tinggi pada perokok dibandingkan dengan
bukan perokok. Wellman dan Smith melaporkan bahwa itu adalah dua kali
lebih tinggi pada perokok setelah operasi perut dan dada. Bluman et al5
menemukannya empat kali lipat dari yang bukan perokok.

EFEK PENGHENTIAN MEROKOK SEBELUM BEDAH PADA


MORBIDITAS POSTOPERATIF
Warner et a16 melaporkan komplikasi paru-paru seperti dahak
purulen, atelektasis, dan efusi pleura pada mereka yang telah berhenti
merokok selama 8 minggu atau lebih sebelum operasi menjadi 14,5%,
dibandingkan dengan 57,9% pada mereka yang berhenti merokok kurang dari
8 minggu sebelum operasi. Insiden empat kali lebih tinggi pada mereka yang
berhenti kurang dari 8 minggu dari operasi. Mitchell et a17 melaporkan
kejadian dahak purulen pasca operasi menjadi 25% lebih untuk mereka yang
berhenti merokok 8 minggu sebelum operasi dan 50% lebih pada mereka
yang berhenti merokok kurang dari 8 minggu sebelum operasi daripada bukan
perokok. Warner et a16 menemukan bahwa, jika pasien berhenti merokok
selama 6 bulan atau lebih sebelum operasi, kejadiannya sama dengan yang
bukan perokok.

EFEK TERHADAP OBAT DAN OBAT ANALGESIK


Perokok kronis menunjukkan penurunan toleransi terhadap rasa
sakit.3,4 Dengan demikian, terlepas dari aksi obat analgesik, mereka
membutuhkan lebih banyak analgesik untuk nyeri. Fentanyl3,6 dan
pentazocine dimetabolisme lebih cepat pada perokok.

ASPEK PSIKOLOGI DARI MEROKOK


Merokok adalah proses yang membuat ketagihan. Sensasi menarik
asap ke dalam mulut dan efek nikotin memberikan kepuasan bagi perokok.
Penarikan akut dapat menyebabkan peningkatan kecemasan, gangguan tidur,
dan lekas marah.

EFEK DARI MEROKOK ROKOK PADA ANESTESIA


Dalam sebuah studi oleh Dennis et al,4 efek samping seperti batuk,
menahan nafas, dan laringospasme selama induksi secara signifikan lebih
tinggi pada perokok dan perokok pasif daripada perokok muda. Tidak ada
perbedaan dalam kejadian antara perokok dan perokok pasif. Selama efek
samping, penurunan saturasi oksigen lebih besar pada perokok dan perokok
pasif. Dalam penelitian COHb merupakan prediktor yang lebih baik dari efek
samping daripada status merokok. Pada anak-anak dengan riwayat merokok
pasif, desaturasi secara signifikan lebih tinggi pada periode pasca operasi bila
dibandingkan dengan anak-anak yang tidak terpajan.4 Desaturasi terkait
dengan jumlah kumulatif rokok yang dihisap dimana anak terpapar. Tidak ada
hubungannya dengan COHb. Dengan demikian, desaturasi mungkin lebih
disebabkan oleh infeksi pernafasan karena peningkatan risiko pajanan
terhadap mikrodroplet dari penyakit pernapasan pada perokok yang batuk saat
merokok daripada karena pajanan asap itu sendiri.

MANAJEMEN ANESTESI PADA PEROKOK

Manajemen anestesi pada perokok meliputi:


Berhenti Merokok
 Idealnya, berhenti merokok selama minimal 8 minggu sebelum operasi.
 Berhenti selama 24 jam sebelum operasi untuk meniadakan efek nikotin
dan COHb.
 Jika operasi dijadwalkan untuk pagi berikutnya, berhentilah merokok
malam sebelumnya.
Persiapan
 Obati infeksi paru-paru seperti bronkitis kronis.

 Berikan resep bronkodilator, latihan pernapasan, dan fisioterapi dada


pada perokok bergejala.

 Lakukan gas darah untuk mendapatkan PaO2 awal dan PaCO2 jika
operasi lama direncanakan.

Pilihan Teknik

 Hindari anestesi umum. Anestesi lokal atau regional lebih baik.

Premedikasi

 Gunakan agen parasymptholytic seperti glikopirrolat untuk


mengeringkan sekresi.

 Gunakan agen anxiolytic seperti midazolam untuk meniadakan efek


psikologis dari berhenti merokok sebelum operasi.

 4% lignocaine ke dalam nebulized ke dalam ruang operasi untuk


mencegah masalah pernapasan selama anestesi.

Anestesi Umum

Induksi

 Lakukan preoksigenasi untuk mengurangi karbon monoksida.


 Saat menggunakan induksi intravena, semua agen gunakan lignokain
intravena untuk mencegah laringospasme selama intubasi.

 Saat menggunakan induksi dengan agen volatil, sevoflurane atau halotan


lebih disukai.

 Hindari manipulasi di bawah anestesi ringan, yang dapat menyebabkan


batuk, menahan nafas, laringospasme, atau bronkospasme.

Intubasi

 Sebelum intubasi, jika lignokain nebulisasi tidak diberikan, semprotkan


dengan lignokain untuk membius laring dan menekan hipreaktivitas
laring.

Pemeliharaan

 Hindari anestesi ringan, yang dapat menyebabkan bronkospasme.

 Hindari desflurane, yang merupakan iritasi pernapasan. Ini merangsang


reseptor iritan pernapasan pada perokok kronis dan dengan demikian
sistem simpatoadrenal, menghasilkan tekanan darah dan takikardia yang
lebih tinggi.

 Tingkatkan volume menit digunakan untuk bukan perokok untuk


mempertahankan PaCO2 yang sama.

Pemantauan

 Saat menggunakan oksimeter denyut, ingat over estimasi dari saturasi


hemoglobin teroksigenasi (SaO2).

 Gunakan oksimeter CO untuk mengukur saturasi oksigen.

 Pantau elektrokardiogram, terutama pada mereka yang memiliki penyakit


jantung koroner karena aritmia ventrikel dapat terjadi selama anestesi.

 Gunakan stimulator saraf perifer untuk memantau blok neuromuskuler


karena ada berbagai laporan tentang kebutuhan pelemas otot.

 Dalam operasi yang panjang, lakukan analisis gas darah intermiten untuk
memeriksa PaCO2 karena PaCO2 - Et CO2 lebih tinggi daripada pasien
yang tidak merokok.
Pemulihan

 Jangan melakukan ekstubasi dengan anestesi ringan karena mungkin


mengakibatkan batuk, menahan nafas, laringospasme, atau
bronkospasme.

Periode Pasca Operasi

 Berikan oksigen di ruang pemulihan, saat diangkut, dan untuk beberapa


waktu di bangsal.

 Pasca operasi, berikan lebih banyak analgesik, yang diperlukan karena (i)
kecemasan berhenti merokok, (ii) penurunan ambang nyeri, dan (iii)
peningkatan metabolisme obat.

 Berikan latihan pernapasan dan fisioterapi dada untuk perokok


simtomatik.

5. Analisis
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
didiagnosis closed fraktur distal fibula sinistra dengan ASA II hipereaktif
airway. Pasien dianjurkan operasi open reduction internal fixation (ORIF).
Menjelang operasi pasien tampak sakit ringan, tenang, kesadaran
composmentis. Pasien sudah dipuasakan selama 8 jam. Jenis anestesi yang
dilakukan yaitu anestesi sub arachnoid block dengan alasan operasi yang
akan dilakukan berada di tungkai bawah dengan durasi tidak lebih dari 1 jam.
Sebelumnya pasien juga telah berpuasa dari merokok selama 24 jam sebelum
dilakukannya operasi. Pada saat persiapan pasien diberikan injeksi
dexamethasone 10 mg pada pukul 22.00 dan 05.00 berfungsi untuk anti
inflamasi dikarenakan rokok merupakan iritan sehingga hipersekresi lendir
dan silia tidak aktif oleh karena itu diberikan antiinflamasi untuk mengurangi
sekresi lendir pada saluran napas. Selama operasi berjalan dilakukan
pemantauan tanda vital dan pemberian oksigenasi begitu juga selesai operasi
setelah berada di ruang peralihan dilakukan pemeriksaan tanda vital dan
oksigenasi. Saat kondisi stabil, pasien dipindahkan ke bangsal.
6. Kesimpulan

Pasien harus berhenti merokok sebelum operasi. Terbaik jika pasien


berhenti 8 minggu atau lebih sebelum operasi. Melakukan hal itu akan secara
signifikan mengurangi kejadian pernapasan spesifik perioperatif dan
morbiditas pasca operasi, akan menghilangkan karbonmonoksida dan nikotin,
meningkatkan pembersihan sekresi trakeobronkial, mengurangi penyempitan
jalan napas, dan meningkatkan fungsi kekebalan tubuh. Jika pasien tidak
berhenti merokok 8 minggu sebelum operasi, pasien harus setidaknya
berhenti merokok 12 jam sebelum operasi akan menghilangkan masalah
dalam penyerapan oksigen jaringan karena karbon monoksida dan
mengurangi efek jantung dan hemodinamik nikotin.

7. Daftar Pustaka
1. Egan TD, Wong KC. Perioperative smoking cessation and anesthesia. J
Clin Anesth. 1992;4:63-72.
2. Budesminister fur Gesundheit. Ergebnisse der
herzKreislaufpraventionsstudien. In: Bundesminister fur Gesundheit, ed.
Daten des Gesundheitswesens. Baden-Baden: Nomos; 1993:93-147.
3. Holbrook JH. Tobacco. In: Braunwald, Isselbacher KJ, Petersdorf RG, et
al, eds. Principles of Internal Medicine. Vol. 1. New York: McGraw-Hill;
1987:855-859.
4. Nicod P, Rher P, Winniford MD, et al. Acute systemic and coronary
hemodynamic and serologic responses to cigarette smoking in long-term
smokers with atherosclerotic coronary artery disease. J Am Coil Cardiol.
1984;4:964-971.
5. Erskine RJ, Hanning CD. Do I advise my patient to stop smoking pre-
operatively? Curr Anaesth Crit Care. 1992;3: 175-180.
6. Ellenhorn MJ, Barceloux DG. Nicotine products. In: El- Anesth Prog
47:143-150 2000 Rodrigo 149 lenhorn MJ, Barceloux DG, eds. Medical
Toxicology. New York: Elsevier; 1988:912-921.
7. Cole P. Smoking habits and carbon monoxide. In: Greenhalgh RM, ed.
Smoking and Arterial Disease. Bath: Pitman; 1981:74-83.
8. Douglas CG, Haldane JS, Haldane JBS. The laws of combination of
hemoglobin with carbon monoxide and oxygen. J Physiol. 1912;44:275-
304.
9. Nunn JF. Smoking in Applied Respiratory Physiology. 3rd ed. London:
Butterworth; 1989:337-341.
10. Sheps DS, Herbst MC, Hinderliter AL, et al. Production of arrhythmias
by elevated carboxyhemoglobin in patients with coronary artery disease.
Ann Intern Med. 1990;113: 343-351.

Anda mungkin juga menyukai