Perampasan Aset Tindak Pidana
Perampasan Aset Tindak Pidana
berkembang semakin kompleks dan semakin rumit karena telah melibatkan orang-
orang yang terpelajar dengan menggunakan kemajuan teknologi dan internet, serta
telah bersifat lintas negara. Jenis kejahatan tersebut sangat menggiurkan karena
dana untuk membiayai sarana dan prasarana yang akan mendukung pelaksanaan
Tindak pidana yang berkembang dan semakin kompleks itu antara lain
tindak pidana korupsi, tindak pidana peredaran narkotika, dan tindak pidana
penanganannya pun menjadi semakin rumit dan sulit untuk ditangani dengan cara
yang konvensional.
para pelaku kejahatan lintas negara tersebut. Karena memang tujuan kejahatan
1
Dalam ilmu kriminologi, kejahatan akan meningkat saat perbandingan antara resiko yang
akan dialami dengan potensi keuntungan yang akan didapatkan itu lebih besar keuntungan,
sedangkan apabila resiko yang akan dialami lebih besar daripada keuntungan yang akan didapat
maka pelaku cenderung akan mengurungkan niatnya.
Dengan kata lain bahwa secara ekonomis, pelaku kejahatan akan selalu memperhitungkan
selisih antara resiko yang akan teijadi dengan keuntungan yang akan diperolehnya.
Oleh karena harta kekayaan dari pelaku kejahatan merupakan “darah yang
akan menghidupi tindak pidana”, maka secara logika cara yang paling efektif
dengan cara merampas hasil dan sarana kejahatan tersebut yaitu harta kekayaan
hasil pelaku tindak pidana. Dikaitkan dengan United Nations Convention Against
Corruption, 2003 (Konvensi PBB Anti Korupsi, 2003), maka salah satu isu
menurut beliau berasal dari istilah Belanda “blokkeren” yang dalam bahasa
Inggris berarti “to lock” or “to freeze”. Dengan demikian pemblokiran aset dapat
berarti “membekukan aset tersebut dan menariknya dari lalu lintas ekonomi”.2
KUHP dan KUHAP, belum menempatkan penyitaan dan perampasan aset dan
instrumen tindak pidana sebagai bagian penting dari upaya menekan tingkat
kejahatan di Indonesia. Hal tersebut dapat terlihat dari uraian berikut ini:3
2
Mardjono Reksodiputro, Penyitaan dan Perampasan Aset Dalam Tindak Pidana Korupsi
dan Pencucian Uang (Catatan untuk Diskusi), Bahan Kuliah Kapita Selekta Hukum Pidana Pasca
Saijana FH-UI, Makalah, (Jakarta: PPATK, 21 Juli 2009), Hal 1-2.
3
Lihat Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, Kementerian
Hukum dan HAM.
dimasukkan ke dalam kelompok pidana tambahan dan bukan pidana
pokok.
4
KUHAP Pasal 39 huruf b menyatakan bahwa “yang dapat dikenakan penyitaan adalah
benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk
mempersiapkannya”.
sarana yang secara langsung dipergunakan dalam suatu tindak pidana
pidana.
5
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 37 ayat (4).
lepas dari segala “tuntutan” hukum, maka tuntutan perampasan harta
korupsi.
6
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 37 B.
Namun demikian apabila kita meneliti sejarah perkembangan
Prt/Peperpu/013/1958.
Pasal 3 sebagai perbuatan korupsi. Demikian pula harta-harta yang tertuang dalam
Pasal 12 ayat (2) dari peraturan Peperpu tersebut disamakan dengan harta hasil
1. Harta benda seseorang atau suatu badan yang dengan sengaja tidak
tidak memiliki wibawa lagi.7 Sayangnya peraturan tersebut hanya sementara dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun demikian tidak ada salahnya kita
7
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), Hal. 45-46.
membuka kembali secara akademis demi membuka wawasan mengenai
selanjutnya dijabarkan dalam Pasal 2 dan 3, bahwa perbuatan korupsi terdiri atas:
pidana melainkan akan diajukan gugatan oleh Balai Penilik Harta Benda melalui
tersebut, apakah kemudian dapat merampas harta benda hasil perbuatan korupsi
itu. Badan Koordinasi Penilik Harta Benda diketuai oleh Pengawas Kejaksaan-
namun juga tidak seperti proses perdata yang sesungguhnya. Sifatnya banyak
mengikuti hukum publik, seperti pada Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), yaitu
1. Harta benda seseorang atau suatu badan yang dengan sengaja tidak
8
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), Hal. 41-42
4. Harta benda seseorang atau suatu badan yang keterangannya tidak
benar.
5. Harta benda yang dipindah atas nama orang lain jika ternyata bahwa
dengan ketentuan suatu aturan dan orang lain itu tidak dapat
baik. 9
Lebih lanjut lagi menurut penjelasan dari Andi Hamzah, dalam Pasal 13
yang bersangkutan.
2. Mengenai harta benda seperti yang dimaksud dalam Pasal 511 KUH
9
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), Hal. 50.
10
Pasal 511 KUHPerdata menentukan yang dianggap sebagai barang bergerak karena
ditentukan undang-undang adalah:
(1) hak pakai hasil dan hak pakai barang-barang bergerak;
(2) hak atas bunga yang dijanjikan, baik bunga yang terus-menerus, maupun bunga
cagak hidup;
(3) perikatan dan tuntutan mengenai jumlah uang yang dapat ditagih atau mengenai
barang bergerak;
(4) bukti saham atau saham dalam persekutuan perdagangan uang, persekutuan
perdagangan atau persekutuan perusahaan, sekalipun barang-barang bergerak yang
bersangkutan dan perusahaan itu merupakan milik persekutuan. Bukti saham atau saham
ini dipandang sebagai barang bergerak, tetapi hanya terhadap masing-masing peserta saja,
selama persekutuan berjalan;
(5) Saham dalam utang negara Indonesia, baik yang terdaftar dalam buku besar,
maupun sertifikat, surat pengakuan utang, obligasi atau surat berharga lainnya, berserta
kupon atau surat-surat bukti bunga yang berhubungan dengan itu;
(6) sero-sero atau kupon obligasi dari pinjaman lainnya, termasuk juga pinjaman
yang dilakukan negara-negara asing.
merupakan barang yang berwujud, dengan diambilnya, atau kalau jika
harta itu.
3. Mengenai piutang yang tidak tersebut dalam Pasal 511 KUH Perdata
tetap itu kepada orang yang bersangkutan dan kepala desa yang
perdata dalam proses penyelesaian korupsi bukan pidana, nyata pada Pasal 19
yang berbunyi: 12
11
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), Hal. 51-52.
12
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), Hal. 54.
“Sekedar dalam peraturan Peraturan Penguasa Perang Pusat ini tidak
Negeri.”
ini telah terlebih maju dari peraturan yang ada sekarang dalam hal bahwa telah
ada pengaturan khusus mengenai perampasan aset. Terlebih lagi dalam peraturan
harta benda yang diajukan dan putusannnya bersifat akhir dan mengikat. Artinya
putusan terhadap harta benda tersebut tidak mengenai upaya hukum baik banding
yang sifatnya terbatas. Maksudnya bahwa orang yang diperiksa harta bendanya
maupun harta orang lain yang diopandang ada kaitan erat dengannya (Pasal 22
ayat (1)).13
13
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), Hal. 55.
Undang-Undang Perampasan aset bisa bisa disahkan maka harta mereka yang
mungkin tidak jelas tersebut akan terusut dan bahkan akan terampas.
penuntutan atas suatu tindak pidana dan terdakwa dapat memilih penasihat hukum
kasus-kasus yang dilaporkan atau diadukan. Mereka tidak berpihak dalam proses
dari pelanggaran, dan jika ada pelanggaran, harus berusaha menemukan pelaku,
dan menangkapnya. Dalam hal pelaksanaan perampasan aset, apabila pelaku tetap
tidak diketahui, tetapi ada hasil yang diduga sebagai kejahatan, Pihak penyidik
akan melanjutkan penyelidikan untuk menetapkan bahwa aset adalah hasil dari
sebuah kejahatan.
peradilan pidana tindak pidana korupsi, demikian pula terhadap perampasan aset
perekonomian negara.
dan dijadikan sebagai sanksi terhadap pelaku tindak pidana korupsi, dalam hal
menempatkan tindakan perampasan aset tidak hanya sebagai sanksi pidana, dalam
suatu hal tindakan perampasan aset dapat dilakukan yaitu dalam hal terdakwa
didapatnya bukti yang cukup kuat bahwa bersangkutan telah melakukan tindak
pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan pihak penuntut umum menetapkan
ditetapkan dan berlaku secara mengikat (ius constitution) yaitu Undang- Undang
14
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 38 angka (5).
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
pelaku tindak pidana korupsi. Pada dasarnya kebijakan hukum pidana tersebut
kepemilikan aset pelaku tindak pidana korupsi dapat dilakukan melalui dua jalur,
yaitu secara hukum pidana melalui putusan pengadilan pidananya dan melalui
hukum perdata yaitu melalui gugatan secara perdata (civil procedure). Adapun
ketentuan jalur hukum perdata adalah berdasarkan pada Pasal 32 ayat (1) Undang-
menentukan:
“Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih
unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara
nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera
menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa
Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan
kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.”
Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan: “Putusan bebas dalam perkara tindak
pidana korupsi tidak menghapus hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan
negara.”
Tahun 2001 menentukan perampasan hasil tindak pidana melalui gugatan perdata
15
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 38 B ayat (2):
Ketentuan tersebut dilanjutkan dengan Pasal 38 ayat (6) Undang- Undang
kewenangan kepada Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan untuk
mengajukan gugatan perdata kepada terpidana dan atau ahli warisnya baik di
Dalam Pasal 64 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
menentukan:
(2) Dalam hal ditemukan adanya indikasi tindak pidana Pencucian Uang
Apabila kemudian temyata tidak ada orang dan pihak ketiga atau hanya
pihak ketiga yang mengajukan keberatan dalam waktu dua puluh hari sejak
penanganan Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil
Selanjutnya apabila dalam waktu tiga puluh hari penyidik tidak bisa
menemukan orang atau korporasi yang diduga sebagai pelaku atau tersangka
Negeri untuk memutuskan Harta Kekayaan tersebut sebagai Aset Negara atau
dalam waktu tujuh hari, pengadilan negeri harus memutus status harta kekayaan
16
Pasal 44 ayat 1 huruf i memberikan kewenangan kepada PPATK untuk meminta penyedia
jasa keuangan untuk menghentikan sementara seluruh atau sebagian Transaksi yang diketahui atau
dicurigai merupakan hasil tindak pidana;
17
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang, Pasal 67 ayat (1).
18
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang, Pasal 67 ayat (2).
19
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang, Pasal 67 ayat (3).
3.3.2 Kebijakan Pengaturan Perampasan Aset Tindak Pidana
luas untuk merampas segala aset yang diduga merupakan hasil pidana (proceed of
crimes) dan aset-aset lain yang patut diduga akan digunakan atau telah digunakan
barn ini juga dapat digunakan sebagai alternatif untuk memperoleh kompensasi
atau uang pengganti atas kerugian negara. Dengan demikian, aset yang barn
ditemukan dikemudian hari dan tidak tercantum dalam daftar aset yang dapat
disita atau dirampas berdasarkan putusan pidana yang sudah inkracht, tetap dapat
aset melalui mekanisme pidana dapat teratasi. Walaupun pelakunya sakit atau
tidak ditemukan atau meninggal dunia, perampasan aset tetap dapat dilakukan
dijadikan sebagai dasar untuk menghukum atau memidana seseorang secara fisik.
tindak pidana di dalam penjara (follow the suspect) ternyata belum cukup efektif
untuk menekan tingkat kejahatan jika tidak disertai dengan upaya untuk menyita
dan merampas hasil dan instrumen tindak pidana. Dalam hal ini, membiarkan
pelaku tindak pidana tetap menguasai hasil dan instrumen tindak pidana
memberikan peluang kepada pelaku tindak pidana atau orang lain yang memiliki
keterkaitan dengan pelaku tindak pidana untuk menikmati hasil tindak pidana dan
perampasan aset tindak pidana melalui sarana hukum pidana (criminal based
melalui Non-Conviction Based tidak perlu menunggu waktu selama itu karena
pembaalikan beban pembuktian atas aset Terdakwa yang diduga berasal dari
tindak pidana.
Pengaturan mengenai perampasan aset selain belum diatur secara khusus
ada pun memiliki kelemahan, yaitu upaya untuk merampas aset hasil tindak
pidana hanya dapat dilaksanakan jika pelaku kejahatan telah dinyatakan terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana oleh pengadilan.
pengadilan, juga tidak tertutup kemungkinan tidak dapat diterapkan karena tidak
bahkan dilarikan ke luar negeri dengan cepat. Selain itu juga mekanisme
perampasan aset yang ada secara komprehensif belum mengatur langkah untuk
perkara, yaitu dengan pemblokiran dan penyitaan baik terhadap harta kekayaan di
perampasan aset tindak pidana tanpa harus menunggu adanya putusan pidana
yang berisi tentang pernyataan kesalahan pelaku dan pemberian hukuman bagi
pelaku tindak pidana. Mekanisme ini didasarkan pada United Nation Convention
against Corruption, 2003 yang memang menghendaki agar hasil tindak pidana
yang dilakukan oleh pelaku tersebut. Dengan mekanisme ini terbuka kesempatan
yang luas untuk merampas segala aset yang diduga merupakan hasil tindak pidana
(proceed of crimes) dan aset-aset lain yang patut diduga akan digunakan atau telah
bermanfaat sebagai alat untuk pemulihan hasil dan instrumen tindak pidana
Tujuan utama perampasan adalah untuk melucuti para penjahat dari keuntungan
yang diperoleh secara tidak sah berikut instrumen/alat yang digunakan untuk
melakukan kejahatan.
3.4 Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non Conviction Based Asset
Forfeiture- NCB)
Asset Forfeiture- N C B)
memberikan kewenangan kepada negara untuk merampas hasil tindak pidana dan
maka dengan putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap barang itu
20
Wawancara dengan Mardjono Reksodiputro pada tanggal 20 Desember 2012 di
Pascasarjana Universitas Pancasila Jakarta
serta perampasan terhadap barang-barang yang ‘yatim piatu’
(weiskamer).
dalam hal ditemukan adanya harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi, maka
ada harta benda milik terpidana korupsi yang belum dikenakan perampasan dalam
proses pidana, maka gugatan perdata dimungkinkan karena pada kondisi ini,
negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli
warisnya.
Sepintas ada persamaan antara gugatan perdata yang ada dalam Undang-
dengan gugatan dengan Non Conviction Based Asset Forfeiture. Dalam hal
hukum acara yang formil dan konvensional yang tentu saja mengedepankan asas
“siapa yang mendalilkan tentang suatu hak maka dia yang membuktikan
kebenaran dalilnya tersebut”, 21 dan akan menggunakan pembuktian formil berupa
kesulitan. Hal ini dikarenakan dia harus membuktikan mengenai dalil harta
kekayaan Tergugat sebagai obyek gugatan yang akan dirampas adalah harta yang
ada kaitannya dengan kerugian negara dalam suatu putusan pidana yang telah
berkekuatan hukum tetap. Negara berada pada posisi sulit dan tidak mudah untuk
membuktikannya.
harta kekayaan obyek gugatan ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi.
Kemudian tergugat selaku yang menguasai harta kekayaan itu yang merasa
pengadilan bahwa harta kekayaan obyek gugatan sama sekali tidak ada kaitannya
dengan tindak pidana korupsi atau tidak bersumber dari tindak pidana korupsi
tersebut.
perampasan obyek, merupakan tindakan terhadap aset itu sendiri dan bukan
21
Pasal 1865 KUH Perdata: “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau
menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang
lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu”.
22
Pasal 1866 KUH Perdata: Alat pembuktian meliputi: bukti tertulis; bukti saksi;
persangkaan; pengakuan; sumpah.
kepada seseorang individu. Menurutnya, proses Non Conviction Based Asset
Forfeiture merupakan tindakan yang terpisah dari proses peradilan pidana dan
membutuhkan dasar bahwa harta tersebut tercemar (harta kekayaan adalah hasil
Reksodiputro yang menyatakan, karena ada dugaan bahwa harta kekayaan terkait
suatu tindak pidana maka harta kekayaan tersebut harus dianggap sebagai harta
perdata in rem agar dapat dinyatakan oleh Pengadilan sebagai aset negara.24
konteks, terutama pada saat perampasan pidana tidak tersedia atau tidak
memungkinkan, seperti:
(a) yang melakukan kejahatan itu telah meninggal dunia (kematian dengan
(b) pelaku kejahatan telah melarikan diri keluar negeri (proses pidana
23
Theodore S. Greenberg, dkk. “Stolen Asset Recovery. Good Practice Guide untuk
Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based/NCB Asset Forfeiture)”, (World
Bank: 2009), hal. 14.
24
Mardjono Reksodiputro, Beberapa Catatan Singkat tentang “Pembuktian- Terbalik”
Dikaitkan dengan Perampasan Aset dalam Kasus Delik Pencucian Uang. (Suatu Uasaha Memberi
Catatan Teoretis Untuk Keperluan Praktek), Bahan Kuliah Kapita Selekta Hukum Pidana Pasca
Saijana FH-UI, Makalah, Seminar Nasional Pencucian Uang, (Jakarta: FHUI-PPATK, 19 Juli
2011), Hal 2-4.
buronan-walaupun dapat diadili secara in absensia, tetapi tidak bisa
dieksekusi), atau
(c) pelaku kejahatan sulit disentuh karena terdapat kekebalan yang sangat
(e) harta kekayaan yang berkaitan dipegang oleh pihak ketiga yang tidak
dituntut dengan tuntutan pidana namun ada fakta bahwa harta tersebut
(f) penuntutan pidana tidak dapat dilanjutkan karena tidak ada cukup
bukti.25
terhadap orangnya (penghukuman pidana bukan sebagai syarat). Selain itu Non
berikut:
beban pembuktian.
25
Theodore S. Greenberg, dkk. “Stolen Asset Recovery. Good Practice Guide untuk
Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based/NCB Asset Forfeiture)”, (World
Bank: 2009), hal. 14-15.
(b) Perampasan tidak dipermasalahkan. Dalam yurisdiksi dimana
pidana.
26
Theodore S. Greenberg, dkk. “Stolen Asset Recovery. Good Practice Guide untuk
Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based/NCB Asset Forfeiture)”, (World
Bank: 2009), hal. 15.
27
Theodore S. Greenberg, dkk. “Stolen Asset Recovery. Good Practice Guide untuk
Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based/NCB Asset Forfeiture)”, (World
Bank: 2009), hal. 27-34.
investigasi dengan penuntutan pidana berjalan sejajar atau berbenturan
peradilan pidana.
a. Investigasi,
d. Perampasan,
e. Pengelolaan aset,
f. Kerjasama internasional.
adalah para pihak yang memiliki potensi kepentingan atas suatu harta benda dari
tindakan tersebut. Sehingga pada saat akan dilakukan tindakan perampasan, maka
harus ada penyampaian kepada para pihak atau siapa yang bertanggung jawab atas
harta benda itu. Selain itu perlu dilakukan pemberitahuan kepada masyarakat
luas bahwa akan dilakukan tindakan Non Conviction Based Asset Forfeiture. Ini
dimaksud agar supaya apabila ada pihak lain yang berkepentingan hukum
terhadap obyek yang akan dirampas, maka yang bersangkutan dapat mengajukan
upaya perlawanan.
ditekankan secara adil, apabila ada seorang pelaku yang menjadi buronan dan
dia tidak diperkenankan untuk menentang proses tersebut. Hal ini dipandang adil
perampasan yang akan dilakukan. Hal ini sejalan dengan doktrin Fugitive
bahwa pengadilan yang sedang memeriksa kasus civil forfeiture berhak menolak
setiap klaim keberatan yang diajukan oleh orang yang merupakan pelarian dari
perkara pidana yang timbuk dari fakta dan kejadian yang sama dengan kasus civil
28
forfeiture tersebut. Dengan demikian menurut penulis, yang dapat mengajukan
baik - itupun masih harus dibuktikan bahwa dia adalah pemilik yang beritikad
baik. 29
dilandasi pada pemikiran bahwa perampasan aset akan dapat dilakukan apabila: 30
31
a) Tersangka atau terdakwanya meninggal dunia, melarikan diri, sakit
pidananya:
28
Mardjono Reksodiputro, Beberapa Catatan Singkat tentang “Pembuktian- Terbalik”
Dikaitkan dengan Perampasan Aset dalam Kasus Delik Pencucian Uang. (Suatu Usaha Memberi
Catatan Teoretis Untuk Keperluan Praktek), Bahan Kuliah Kapita Selekta Hukum Pidana Pasca
Saijana FH-UI, Makalah, Seminar Nasional Pencucian Uang, (Jakarta: FHUI-PPATK, 19 Juli
2011), Hal 5-6.
29
Penilaian mengenai pemilik yang beritikad baik merupakan penilaian hakim yang
memeriksa perkara tersebut. Pihak ketiga harus membuktikan bahwa dia membeli aset itu dengan
harga yang wajar, atau yang bersangkutan tidak memiliki kaitan keluarga dengan penjual, atau
pihak ketiga sebagai kreditur dan aset yang akan disita merupakan jaminan kredit, dan sebagainya.
30
Naskah Akademik RUU Perampasan Aset yang disusun oleh Departemen Hukum dan
HAM bersama-sama dengan PPATK, Jakarta, 2012, hal 109.
31
Misalnya kasus Djoko S. Chandra yang melarikan diri ke Papua newGuiena.
32
Misalnya penuntasan kasus dugaan korupsi mantan Presiden Soeharto yang tidak bisa
diselesaikan karena sakit permanen.
33
Misalnya kasus korupsi yang dilakukan oleh Edy Tansil, yang berhasil membobol Bank
Bapindo sejumlah Rp.1,3 Triliun kemudian melarikan diri pada tanggal 4 Mei 1996 dari Lembaga
Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta Timur setelah diputus bersalah oleh Pengadilan dengan
pidana penjara selama 20 tahun penjara.
.
a) Tidak dapat disidangkan; atau
dinyatakan dirampas.
Selain itu konsep perampasan aset menurut RUU Perampasan Aset adalah
terhadap pelaku tindak pidana. Demikian juga terhadap aset yang telah dirampas
melalui perampasan aset Non Conviction Based dapat dijadikan sebagai alat bukti
dalam penuntutan pelaku tindak pidana. Namun demikian aset yang telah
dirampas melalui perampasan aset Non Conviction Based tidak dapat dimintakan
34
perampasan dalam putusan pelaku tindak pidana. Namun sebaliknya apabila
terdapat kesamaan objek yang akan dirampas dalam perampasan pidana dengan
perampasan aset Non Conviction Based, maka perampasan aset Non Conviction
Based yang harus ditunda dan menunggu adanya putusan pidana oleh pengadilan.
Apabila ternyata obyek yang disita yang sama dengan obyek perampasan aset Non
maka proses perampasan aset Non Conviction Based terhadap aset tersebut
menjadi gugur.35
34
Hal ini berbeda dengan penyitaan menurut KUHAP dimana dalam Pasal 39 ayat (2) telah
mengatur benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga
disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang:
a. benda tersangka atau terdakwa itu seluruhnya atau sebagian adalah hasil tindak pidana,
b. benda tersebut telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana,
c. benda yang digunakan untuk menghalangi penyidikan,
d. benda yang khusus dibuat untuk melakukan tindka pidana,
e. benda yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
35
Naskah Akademik RUU Perampasan Aset yang disusun oleh Departemen Hukum dan
HAM bersama-sama dengan PPATK, Jakarta, 2012, hal 110.
3.4.2 Proses Permohonan Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non
Brasil pada awal bulan November 2012, pada prinsipnya berpendapat bahwa
adanya aset yang akan dirampas itu harus berdasarkan bukti permulaan yang
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dari situlah
yang dapat dijadikan pintu masuk bagi proses Perampasan aset tanpa pemidanaan
(Non Conviction Based Asset Forfeiture-NCB), tanpa ada bukti permulaan maka
penyidik tidak bisa melakukan penelusuran aset serta penuntut umum tidak dapat
meminta agar aset itu dinyatakan tercemar sehingga dapat dimintakan perampasan
kepada Pengadilan. 38
36
Wawancara dengan Joko Sarwoko pada tanggal 20 November 2012 dan wawancara
dengan Artidjo Alkostar pada tanggal 21 November 2012 di Mahkamah Agung RI.
37
Hakim Agung Kamar Pidana pada Mahkamah Agung RI.
38
Wawancara dengan Komariah E. Sapardjaja yang dilakukan pada tanggal 20 November
2012 di Mahkamah Agung R.I.
Namun demikian apabila dilakukan dengan langkah tersebut maka yang
terjadi adalah Perampasan Aset dengan Conviction atau dengan putusan pidana,
lebih tepat apabila adanya bukti permulaan itu dijadikan sebagai prasangka
terhadap adanya aset yang tidak sah untuk kemudian dilakukan pemblokiran atau
penyitaan.
hukum perdata dan bukan hukum pidana, hal ini karena prosedur ini dirancang
dan/atau penyitaan. Setelah dokumen dan pemberkasan lengkap maka dalam hal
perampasan aset maka penuntut umum selaku JPN segera menyerahkan berkas
39
Theodore S. Greenberg, dkk. “Stolen Asset Recovery. Good Practice Guide untuk
Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based/NCB Asset Forfeiture)”, (World
Bank: 2009), hal. 55-57.
tersebut kepada Pengadilan Negeri. Menurut hemat penulis, Pengadilan Negeri
yang dimaksud harus mengikuti aturan dalam hukum acara perdata yaitu
pengajuan gugatan dilakukan di Pengadilan Negeri dimana obyek itu berada. Hal
pemeriksaan atas obyek sengketa. Sedangkan apabila aset yang akan dimintakan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal ini pun merupakan konsep dari RUU
Perampasan Aset.
dengan rinci aset apa saja yang akan dimintakan perampasan, berapa nilainya,
serta siapa saja yang menguasai aset tersebut. Tanpa perincian yang jelas akan
dalam proses perampasan aset adalah dengan acara “Kort Ceding” berupa acara
perdata yang sederhana dan cepat.40 Acara kort geding mungkin tidak dikenal lagi
dalam hukum acara perdata di Indonesia dewasa ini, namun demikian acara kort
1847-52jo. 1849-63.
geding dapat dilaksanakan oleh pengadilan dalam hal terdapat kepentingan yang
40
Wawancara dengan Joko Sarwoko pada tanggal 20 November 2012 di Mahkamah Agung
RI.
sangat mendesak dari penggugat dikarenakan obyek gugatan mudah rusak atau
hilang. Prosesnya sangat singkat karena diselesaikan pada umumnya dalam empat
belas hari. 41
Menurut Jan Brinkhof, Kort Geding merupakan bagian dari hukum acara
belanda, yaitu:
pendek, semacam proses bantuan awal. Dalam kasus yang mendesak - dan,
41
Fred J. Bruinsma, “Dutch Law In Action”, (Ars Aequi Libri: 2003), Hal. 44-50.
http://www.arsaequi.nl/eboek/pdf/dutch law in action.pdf. diakses pada tanggal 13 Desember
2012.
42
Jan Brinkhof, Enforcement of patents: Rambo lawyers and cowboy judges?, Stibbe,
Amsterdam. http://www.buildingipvalue.com/05 EU/263 266.htm diakses pada tanggal 13
Desember 2012.
Masih menurut Jan Brinkhof,
“In urgent cases the presiding judge can be asked to grant a provisional
summons for the defendant to appear at a certain date before the president
of the court. The writ of summons contains the claim of the claimant and a
concise indication of the basis of the claims. During the hearings there is
an oral explanation from the claimant where the defendant can defend
himself. The presiding judge gives his written decision with statement of
grounds within one or two weeks. Appeal and final appeal are possible.
practical solutions with the parties; legal rules of evidence do not apply to
defendant who violates the orders or injunctions; and an appeal does not
tertulis dari panggilan untuk terdakwa untuk tampil pada tanggal tertentu
penggugat dan indikasi singkat dari dasar klaim. Selama sidang ada
43
Jan Brinkhof, Enforcement of patents: Rambo lawyers and cowboy judges?, Stibbe,
Amsterdam. http://www.buildingipvalue.com/05 EU/263 266.htm diakses pada tanggal 13
Desember 2012.
Hakim ketua memberikan keputusannya ditulis dengan pernyataan alasan
dalam satu atau dua minggu. Banding dan banding akhir yang mungkin.
informal, hakim ketua secara aktif terlibat dan mencoba untuk mencapai
solusi praktis dengan para pihak; aturan bukti yang sah tidak berlaku untuk
proses acaranya sangat cepat karena dilaksanakan kurang lebih empat belas hari,
sedangkan aset hasil kejahatan seperti korupsi maupun pencucian uang biasanya
merupakan harta yang tersebar di berbagai tempat dengan jumlah yang tidak
sedikit bahkan bukan tidak mungkin ditempatkan di luar negeri, sehingga tentu
sangat sulit apabila dilakukan dengan proses yang cepat. Dengan tersebarnya
menurut hemat penulis penggunaan hukum acara dalam perampasan aset adalah
hukum acara perdata biasa namun dengan proses yang lebih disederhanakan
sekaligus dengan pengajuan alat bukti surat yang akan membuktikan dalil
Hakim yang pada akhirnya kemudian akan menilai pembuktian mana yang lebih
kuat, sehingga dalil yang didukung oleh pembuktian yang baik yang dapat
dikabulkan. 44
sistim pembuktian perdata tidak mengenal pembuktian terbalik, yang ada adalah
bukti keduanya saling diadu mana yang lebih kuat. Pembuktian perdata
merupakan pembuktian formil, namun demikian harus ada pembatasan apa saja
yang dapat diajukan pada persidangan mengingat bahwa acara pemeriksaan yang
cepat. 45
44
Wawancara dengan Joko Sarwoko pada tanggal 20 November 2012 di Mahkamah Agung
RI.
45
Wawancara dengan Joko Sarwoko pada tanggal 20 November 2012 di Mahkamah Agung
RI.
Mungkin bagi sementara praktisi hukum, proses pembuktian perdata yang
formil tersebut adalah rumit dan menyulitkan. Namun bagi penulis pembuktian
Termohon atau pihak ketiga tetap harus membuktikan dalil bantahannya dan harus
dapat membuktikan sumber asetnya tersebut. Hal ini sejalan dengan asas
pembuktian perdata, yaitu “siapa yang mendalilkan sesuatu hak maka dia harus
aset yang akan dirampas itu adalah merupakan miliknya harus dapat membuktikan
diharapkan hak-hak pemilik aset tidak terabaikan walaupun ada kewajiban kepada
mereka untuk membuktikan asal usul aset yang mereka kuasai. Sebaliknya JPN
perekonomian negara.
wan prestasi. Menurut hemat penulis, hal tersebut tidak sulit karena dengan
sifatnya yang khusus maka permohonan perampasan aset tidak masuk gugatan
Subyek dari perampasan aset ini adalah pihak yang menguasai aset yang
akan dimintakan perampasan. Pihak yang menguasai itu bisa saja pelaku,
keluarga, ahli waris, atau bahkan pihak ketiga seperti kreditur atau pihak lain yang
Perampasan Aset yang diajukan oleh JPN maka Ketua Pengadilan Negeri segera
permohonan perampasan aset. Dalam hal penunjukan hakim atau majelis hakim,
tindakan yang cepat dan sederhana maka sebaiknya pemeriksaan dan yang akan
mengadili permohonan perampasan aset adalah cukup dengan hakim tunggal. Hal
memeriksa dan mengadili suatu perkara yang membutuhkan waktu yang cepat
lengkap padahal tidak selalu majelis itu bisa lengkap bersidang dengan berbagai
alasan seperti: tugas luar, sedang bersidang perkara yang lebih penting (perkara
pidana khusus seperti korupsi atau terorisme), atau juga berhalangan karena sakit.
lagi pada persidangan perampasan aset, hakim hanya akan menilai pembuktian
mana yang paling kuat tanpa melakukan pemeriksaan pembuktian materil yang
membutuhkan waktu yang lama dan energi yang banyak. Hal ini juga sejalan
menurut penulis dapat dilakukan kepada pihak Termohon yang telah jelas pihak
dengan mencantumkan hari dan tanggal sidang. Sedangkan apabila ternyata dalam
pengumuman tersebut ada pihak ketiga yang mengaku menguasai atau sebagai
pemilik aset itu, maka pihak ketiga tersebut dapat melakukan upaya hukum yang
akan menetapkan apakah pihak ketiga tersebut merupakan pelawan yang baik atau
tidak sehingga dapat ditentukan apakah bisa menjadi pihak interventie atau tidak.
Terhadap permohonan perampasan terhadap aset yang tidak jelas siapa yang
setiap saat.46 Dalam hal pemanggilan kepada pihak yang telah jelas siapa dan
46
Apabila meneliti RUU Perampasan Aset, maka yang akan melakukan pengumuman
terhadap adanya perampasan aset adalah panitera pengadilan. Sedangkan bila merujuk pada
hukum acara perdata maupun pada pembagian tugas menurut Undang-Undang tentang Peradilan
Umum (UU Nomor 49 Tahun 2009 jo UU Nomor 8 Tahun 1986), Pasal 65 ayat (1) berbunyi
sebagai berikut:
Jurusita bertugas :
alamatnya maka jurusita dalam melakukan pemanggilan harus disertai dengan
oleh JPN.
Media yang dimaksudkan adalah media internet dan koran nasional. Jadi
pengumuman itu dicantumkan pada web site pengadilan negeri yang melakukan
media tersebut memiliki kelemahan dan kelebihannya. Kalau media web site
pengadilan negeri; kelebihannya biayanya murah (malah tanpa biaya) dan bisa
web site pengadilan (lain halnya dengan web site berita seperti www.detik.com
atau www.kompas.com yang sering diakses karena adanya update berita). Apabila
dilakukan dengan sidang yang terbuka untuk umum. Dalam sidang yang telah
alasannya, setelah itu hakim memberikan kesempatan kepada pihak termohon atau
dalil. Alat bukti yang sah yang dapat digunakan menurut RUU Perampasan Aset
bukti elektronik. Terhadap alat bukti tersebut, maka penulis tidak sependapat
susunan alat bukti tersebut justru mengikuti alat bukti dalam hukum acara pidana,
47
padahal hukum acara yang digunakan dalam perampasan aset adalah hukum
kemudian akan dilengkapi atau didukung dengan alat bukti lainnya seperti
keterangan saksi, keterangan ahli dan alat bukti tambahan lainnya yang telah
patut dan sah atau telah dilakukan pengumuman di media masa, maka berlaku
aturan bahwa pihak Termohon dapat dipanggil sekali lagi. Apabila ternyata pihak
47
Hal ini mungkin terjadi karena tim penyusunan RUU Perampasan Aset ini didominasi oleh
para ahli hukum pidana tanpa melibatkan Mahkamah Agung sebagai lembaga yang akan
melaksanakan UU tersebut sehingga nuansa hukum acara pidana masih sangat kuat. Hal ini dapat
dilihat dalam Yunus Husein, Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana di Indonesia, Jurnal Legislasi
Indonesia Vol. 7 Nomor 4, (Jakarta: Direktorat Jenderal Perundang-Undangan Kementrian Hukum
dan HAM RI, Desember 2010), Hal 571, yang menyebutkan: Penyusunan RUU Perampasan Aset
Tindak Pidana oleh sebuah panitia yang dibentuk berdasarkan Keptusan Menteri Hukum dan
HAM. Panitia itu beranggotakan wakil dari instansi-instansi terkait seperti dari Kepolisian,
Kejaksaan, KPK, PPATK, Deplu, Depkeu, Kantor Meneg PAN, Setneg, dan Depkumham sebagai
“focal Point".
48
Wawancara dengan Joko Sarwoko pada tanggal 20 November 2012 di Mahkamah Agung
RI.
Termohon tetap tidak hadir juga sekalipun telah dipanggil dengan sah, maka
verstek).
atau menolak permohonan perampasan aset yang diajukan oleh JPN tersebut
Putusan harus dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Setiap acara persidangan dicatat dalam berita acara
ditandatangani oleh hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut dan
Based (NCB) Asset Forfeiture, maka selanjutnya akan dibahas apakah Non-
sebagai alternatif yang efektif dalam pengembalian kerugian negara akibat tindak
hal ini Peranan Hakim dalam mekanisme Non-Conviction Based (NCB) Asset
ini perlu dilakukan mengingat Hakim sebagai benteng keadilan sekaligus juga
yang menentukan apakah aset atau harta kekayaan itu merupakan kekayaan
negara atau merupakan harta kekayaan milik dari perseorangan selaku pemilik
yang sah.
4.1 Efektivitas Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture Sebagai
negara yaitu Pancasila dan UUD 1945. Indonesia adalah negara yang berdasarkan
hukum.49 Adapun yang menjadi tujuan negara Indonesia adalah untuk melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Hal ini dapat
yang bebas, mandiri, dan tidak memihak; 3) adanya pemisahan kekuasaan dalam
yaitu setiap tindakan negara harus didasarkan pada hukum yang telah dibuat
secara demokratis sebelumnya, dengan demikian hukum yang dibuat itu memiliki
supremasi atau berada di atas segalanya, dan semua orang berkedudukan sama di
hadapan hukum. 50
49
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-3.
50
Mahfud M.D, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998), Hal. 121-194.
hukum yang dilandasi pada nilai-nilai keadilan denga upaya pencapaian tujuan
masyarakat. Motif terutama dari tindak pidana seperti korupsi, pencucian uang,
yang tidak sah. Para pelaku tersebut biasanya menggunakan cara- cara tertentu
bermotifkan ekonomi secara adil harus dihentikan, terutama hasil dari kejahatan
menjadi aset negara sehingga masyarakat walaupun secara tidak langsung bisa
secara adil memperoleh kembali kerugian yang telah timbul sebagai akibat dari
yang merupakan salah satu ajaran dasar dari berbagai kepercayaan dan agama,
sehingga sepatutnyalah setiap orang tidak berhak untuk menikmati asset hasil
kejahatan. Adalah tidak adil pelaku kejahatan dapat menikmati hasil kejahatannya,
sebagai upaya membuat para calon pelaku akan merasa takut dan tidak akan
menghukum pelaku, padahal pelaku tetap menguasasi hasil dari kejahatannya itu
tentu saja tren kejahatan akan terus terjadi karena tidak akan ada efek jera, bahkan
secara ekonomis negara mengalami kerugian yang sangat besar karena negara
harus membiayai semua proses peradilan bagi pelaku kejahatan mulai dari
menjalani pidana badan di penjara. Proses itu bisa berjalan lebih dari lima tahun.
Dapat dibayangkan berapa besar negara akan membiayai pelaku tersebut, padahal
negara sendiri telah dirugikan secara keuangan dalam jumlah yang tidak sedikit
mekanisme hukum yang memungkinkan aset milik negara yang telah diambil oleh
adalah tindakan negara harus didasarkan pada hukum yang telah dibuat secara
demokratis sebelumnya, sehingga hukum yang dibuat itu memiliki supremasi atau
berada di atas segalanya, dan semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum.
di Indonesia saat ini dapat dilaksanakan semata-mata terbatas hanya jika pelaku
melakukan tindak pidana oleh Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap (inckracht) atau dengan kata lain perampasan aset dilakukan dengan putusan
karena telah diatur dengan tegas dalam Pasal 18, Undang-Undang Nomor 31
“Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-
alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan
kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini
dirampas untuk Negara.”
“Kekayaan negara berupa hasil hutan dan barang lainnya baik berupa
temuan dan atau rampasan dari hasil kejahatan atau pelanggaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 78 dilelang untuk Negara.”
kejahatan itu oleh pengadilan telah dinyatakan bersalah dan putusannya telah
tentu saja seringkali sulit untuk dilaksanakan akibat adanya berbagai halangan.
atau melarikan hasil kejahatan maupun instrument kejahatan ke luar negeri dan
bahkan pelakunya bisa saja melarikan diri ke luar negeri dan tidak dapat
51
Perampasan negara terhadap instrument kejahatan di dalam UU Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana sebatas tindakan penyitaan dan kemudian apabila terbukti maka
dapat dimintakan perampasan dalam putusan pengadilan. Tetapi tindakan itu terbatas pada alasan
bahwa benda yang disita memiliki nilai ekonomis dan merupakan alat yang telah digunakan
melakukan kejahatan maka perampasan untuk negara dapat dilakukan.
Djoko S. Candra atau bahkan kasus yang paling menghebohkan dalam sejarah
pemberantasan korupsi di Indonesia yaitu kasus korupsi Edy Tansil. Mereka raib
seperti ditelan bumi. Bahkan sekalipun keberadaannya diketahui namun tidak bisa
aset/harta kekayaan mereka masih ada di Indonesia bahkan mereka masih bisa
tindak pidana secara “in rem” dan bukan kepada orangnya (in personam). Dengan
demikian putusan yang telah berkekuatan hukum tetap terhadap pelaku kejahatan
melakukan perampasan aset hasil kejahatan. Dalam sistem common law ada
undang- undang).
52
Muhammad Yusuf, Pengembalian Hasil Tindak Pidana Korupsi Melalui NCB Asset
Forfeiture, Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 7 Nomor 4, (Jakarta: Direktorat Jenderal Perundang-
Undangan Kementrian Hukum dan HAM RI, Desember 2010), Hal 616-617.
Ordinary common law forfeiture teijadi setelah adanya putusan
perampasan dapat dilakukan kepada semua property yang nyata dan pribadi yang
lebih cepat setelah diduga adanya hubungan aset dengan tindak pidana. Selain itu
civil forfeiture merupakan gugatan terhadap aset bukan kepada terdakwa atau
kepada tersangka, sehingga aset negara dapat diselamatkan meski pelaku telah
53
Muhammad Yusuf, Pengembalian Hasil Tindak Pidana Korupsi Melalui NCB Asset
Forfeiture, Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 7 Nomor 4, (Jakarta: Direktorat Jenderal Perundang-
Undangan Kementrian Hukum dan HAM RI, Desember 2010), Hal 616-617.
54
Muhammad Yusuf, Pengembalian Hasil Tindak Pidana Korupsi Melalui NCB Asset
Forfeiture, Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 7 Nomor 4, (Jakarta: Direktorat Jenderal Perundang-
Undangan Kementrian Hukum dan HAM RI, Desember 2010), Hal 616-617.
55
Fletcher N. Baldwin, Jr. Obsevasi atas Usulan Undang-Undang tentang Harta Kekayaan
Hasil Tindak Pidana (Proceeds of Crime Act - POCA), dalam: Muhammad Yusuf, Pengembalian
Hasil Tindak Pidana Korupsi Melalui NCB Asset Forfeiture, Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 7
Nomor 4, (Jakarta: Direktorat Jenderal Perundang-Undangan Kementrian Hukum dan HAM RI,
Desember 2010), Hal 617.
Perampasan aset tanpa pemidanaan merupakan mekanisme perampasan
Forfeiture dapat beijalan dengan efektif apabila terdapat kemauan yang kuat dari
Selanjutnya harus ada komitmen dari pengadilan dalam hal ini hakim dalam
proses Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture itu melanggar Hak Asasi
Manusia. 56
(NCB) Asset Forfeiture sudah dibutuhkan karena apabila dalam perkara korupsi
kemampuannya bisa melarikan diri sebelum persidangan selesai, maka tidak bisa
56
Hasil wawancara yang dilakukan pada tanggal 20 Desember 2012.
57
Pidana terdiri atas:
a. pidana pokok:
1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
bukan pihak dalam perkara pidana tersebut, sehingga yang bisa menjadi alternatif
adalah harta kekayaannya yang menjadi sasaran perampasan dan harus diajukan
ke pengadilan. 59
Based (NCB) Asset Forfeiture, pembalikan beban pembuktian bukan suatu yang
harus dipermasalahkan dan bahkan tidak melanggar Hak Asasi Manusia, karena
4. pidana denda;
5. pidana tutupan.
b. pidana tambahan
1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim.
58
Pasal 39 KUHP mengatur:
1. Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja
dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas.
2. Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena
pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang ditentukan
dalam undang-undang.
3. Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada
pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.
Pasal 40 KUHP mengatur:
"Jika seorang di bawah umur enam belas tahun mempunyai, memasukkan atau mengangkut
barang-barang denga melanggar aturan-aturan mengenai pengawasan pelayaran di bagian-bagian
Indonesia yang tertentu, atau aturan-aturan mengenai larangan memasukkan, mengeluarkan, dan
meneruskan pengangkutan barang-barang, maka hakim dapat menjatuhkan pidana perampasan
atas barang-barang itu, juga dalam hal yang bersalah diserahkan kembali kepada orang tuanya,
walinya atau pemeliharanya tanpa pidana apapun."
Pasal 41 KUHP mengatur:
1. Perampasan atas barang-barang yang disita sebelumya, diganti menjadi pidana kurungan,
apabila barang-barang itu tidak diserahkan, atau harganya menurut taksiran dalam putusan
hakim, tidak di bayar.
2. Pidana kurungan pengganti ini paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan.
3. Lamanya pidana kurungan pengganti ini dalam putusan hakim ditentukan sebagai berikut:
tujuh rupiah lima puluh sen atau kurang di hitung satu hari; jika lebih dari tujuh rupiah lima
puluh sen, tiap-tiap tujuh rupiah lima puluh sen dihitung paling banyak satu hari, demikian
pula sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima puluh sen.
4. Pasal 31 diterapkan bagi pidana kurungan pengganti ini.
5. Jika barang-barang yang dirampas diserahkan, pidana kurungan pengganti ini juga dihapus.
Pasal 42 KUHP mengatur:
“Segala biaya untuk pidana penjara dan pidana kurungan dipikul oleh negara, dan segala
pendapatan dari pidana denda dan perampasan menjadi milik negara.”
59
Mardjono Reksodiputro, Me”Miskin”kan Koruptor - Caranya ? (Suatu makalah pengantar
untuk membuka cakrawala), (Jakarta: Universitas Pancasila dan Kejaksaan Agung RI, 18
Desember 2012), Hal. 3-4.
dalam tindakan Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture tidak ada
kaitannya dengan azas “siapa yang menuduh dialah yang haruslah membuktikan
tuduhannya” dan tidak berkaitan dengan asas “praduga tak bersalah”. Alasannya
adalah suatu bentuk atau cara menunjukkan sah atau tidaknya kepemilikian atas
memiliki harta kekayaan tersebut secara sah menurut hukum, maka telah ada
dugaan kuat bahwa harta tersebut merupakan hasil kejahatan. Harta kekayaan
yang tidak dapat dibuktikan tersebutlah yang kemudian harus dinyatakan sebagai
(Hakim). Oleh karena telah dinyatakan sebagai harta kekayaan yang tercemar oleh
Pengadilan, maka JPN kemudian mengajukan permohonan agar supaya harta yang
berkaitan dengan lalu lintas perekonomian telah dianggap sebagai “sesuatu hal
yang menguntungkan” yang berakibat pada terjadinya kerugian negara baik pada
keuangan negara maupun pada perekonomian negara. Oleh karenanya semua hasil
dari kejahatan tersebut sepatutnya secara sah harus ditarik dari lalu lintas
60
Mardjono Reksodiputro, Me”Miskin”kan Koruptor - Caranya ? (Suatu makalah pengantar
untuk membuka cakrawala), (Jakarta: Universitas Pancasila dan Kejaksaan Agung RI, 18
Desember 2012), Hal. 5.
perekonomian sehingga para pelaku tidak dapat menikmati hasil kejahatan
tersebut.
menciptakan cara bagaimana agar kejahatan tersebut adalah merupakan hal yang
“tidak menguntungkan”.
Menurut penulis cara yang paling tepat dan sederhana dalam melakukan
harta yang diduga merupakan hasil kejahatan dilakukan pemblokiran dan ditarik
dari lalu lintas perekonomian yaitu melalui penyitaan yang dimintakan kepada
melakukan pengumuman melalui media yang dapat diakses dan diketahui oleh
orang banyak selama waktu yang cukup yaitu kurang lebih tiga puluh hari. Tiga
puluh hari dipandang cukup karena dalam jangka waktu itu telah cukup bagi para
pihak ketiga untuk dapat mengetaahui bahwa akan dilakukan perampasan aset
oleh pengadilan. Apabila dalam jangka waktu tersebut ada pihak yakni pihak
ketiga yang merasa keberatan dengan tindakan perampasan, maka pihak ketiga
alat bukti yang sah bahwa dialah pemilik harta tersebut dengan menjelaskan
merupakan hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seorang Anggota
perhiasan-perhiasan dengan nilai lebih dari Rp. 1 M, dana dalam bentuk mata
uang asing di berbagai rekening bank dengan nilai $ 500.000,- dan mata uang
Padahal yang bersangkutan baru menjadi anggota DPR selama 4 tahun. Maka
yang bersangkutan harus dapat menjelaskan dari mana dia bisa memperoleh harta
sebanyak itu dengan gaji Rp.50.000.000,- setiap bulan karena dengan gaji sebesar
itu dan dikalikan empat tahun maka nilai pendapatan seluruhnya sebesar Rp.2,4
Apabila kemudian ada pihak ketiga yang mengklaim bahwa ada harta
milik pelaku yang akan dirampas merupakan miliknya maka pihak ketiga itu harus
yang menyatakan bahwa tanah yang di Medan adalah miliknya sedangkan yang
bersangkutan juga hanya seorang PNS biasa, maka yang bersangkutan harus
tanah itu diberikan oleh pelaku maka jelas bahwa harta itu adalah hasil korupsi.
Apabila ternyata kemudian pihak ketiga dapat membuktikan bahwa tanah itu
merupakan miliknya karena hasil dari pengembangan usaha yang dikelolanya,
maka tanah itu tidak akan dirampas untuk Negara namun dikembalikan kepada
pihak yang berhak yaitu pihak ketiga yang telah mengajukan keberatan.
tidak adil bagi keluarga pelaku karena dengan dirampasnya harta milik pelaku,
maka keluarga pelaku menjadi miskin dan terlantar. Hal ini dapat diandaikan
dengan kasus dimana kita sebagai korban pencurian perhiasan emas, lalu
pelakunya tertangkap, maka tentu perhiasan milik kita yang telah dicuri harus
dikembalikan sekalipun mungkin perhiasan itu sedang dipakai oleh istri pelaku
namun karena perhiasan itu memang bukan miliknya maka perhiasan itu harus
dikembalikan kepada pemiliknya yang sah yaitu korban pencurian. Demikian juga
dengan harta hasil kejahatan dalam lalu lintas perekonomian, karena harta yang
sedang mereka nikmati memang bukan milik mereka secara sah maka tidak
(NCB) Asset Forfeiture merupakan cara yang efektif untuk membuat kejahatan
mengenai akibat yang akan timbul nantinya. Bagi Penulis, konsep Non-Conviction
altematif untuk memperoleh kembali kekayaan Negara yang hilang karena tindak