Anda di halaman 1dari 57

3.

3 Perampasan Aset Tindak Pidana

Tindak pidana yang bermotifkan ekonomi seperti pencurian, penipuan, dan

penggelapan, pada awalnya bersifat konvensional, namun sekarang telah

berkembang semakin kompleks dan semakin rumit karena telah melibatkan orang-

orang yang terpelajar dengan menggunakan kemajuan teknologi dan internet, serta

telah bersifat lintas negara. Jenis kejahatan tersebut sangat menggiurkan karena

menghasilkan banyak harta kekayaan1, sekaligus juga akan melibatkan banyak

dana untuk membiayai sarana dan prasarana yang akan mendukung pelaksanaan

tindak pidana tersebut.

Tindak pidana yang berkembang dan semakin kompleks itu antara lain

tindak pidana korupsi, tindak pidana peredaran narkotika, dan tindak pidana

pencucian uang. Kejahatan-kejahatan itu semakin kompleks sehingga

penanganannya pun menjadi semakin rumit dan sulit untuk ditangani dengan cara

yang konvensional.

Hukum ekonomi mengajarkan bagaimana mengeluarkan sedikit mungkin

untuk mendapatkan hasil yang sebanyak-banyaknya, sepertinya digunakan oleh

para pelaku kejahatan lintas negara tersebut. Karena memang tujuan kejahatan

yang bermotifkan ekonomi adalah untuk mendapatkan kekayaan yang sebanyak-

banyaknya, tentu saja dengan cara yang melawan hukum.

1
Dalam ilmu kriminologi, kejahatan akan meningkat saat perbandingan antara resiko yang
akan dialami dengan potensi keuntungan yang akan didapatkan itu lebih besar keuntungan,
sedangkan apabila resiko yang akan dialami lebih besar daripada keuntungan yang akan didapat
maka pelaku cenderung akan mengurungkan niatnya.
Dengan kata lain bahwa secara ekonomis, pelaku kejahatan akan selalu memperhitungkan
selisih antara resiko yang akan teijadi dengan keuntungan yang akan diperolehnya.
Oleh karena harta kekayaan dari pelaku kejahatan merupakan “darah yang

akan menghidupi tindak pidana”, maka secara logika cara yang paling efektif

untuk melakukan pemberantasan kejahatan yang bermotifkan ekonomi adalah

dengan cara merampas hasil dan sarana kejahatan tersebut yaitu harta kekayaan

hasil pelaku tindak pidana. Dikaitkan dengan United Nations Convention Against

Corruption, 2003 (Konvensi PBB Anti Korupsi, 2003), maka salah satu isu

perkembangan hukum dalam rangka melakukan pencegahan dan pemberantasan

kejahatan internasional adalah dengan menggunakan perampasan aset hasil tindak

pidana maupun instrument ataupun sarana pelaksanaan kejahatan tersebut.

Menurut Mardjono Reksodiputro, istilah perampasan diambil dari istilah

penyitaan dan penyitaan yang dimaksudkan adalah “pemblokiran”. Istilah tersebut

menurut beliau berasal dari istilah Belanda “blokkeren” yang dalam bahasa

Inggris berarti “to lock” or “to freeze”. Dengan demikian pemblokiran aset dapat

berarti “membekukan aset tersebut dan menariknya dari lalu lintas ekonomi”.2

Konstruksi sistem hukum pidana di Indonesia saat ini, terutama di dalam

KUHP dan KUHAP, belum menempatkan penyitaan dan perampasan aset dan

instrumen tindak pidana sebagai bagian penting dari upaya menekan tingkat

kejahatan di Indonesia. Hal tersebut dapat terlihat dari uraian berikut ini:3

1) KUHP membagi dua kelompok sanksi pidana, yaitu: kelompok pidana

pokok dan pidana tambahan. Berdasarkan pembagian tersebut,

penyitaan, dan perampasan aset serta instrument tindak pidana

2
Mardjono Reksodiputro, Penyitaan dan Perampasan Aset Dalam Tindak Pidana Korupsi
dan Pencucian Uang (Catatan untuk Diskusi), Bahan Kuliah Kapita Selekta Hukum Pidana Pasca
Saijana FH-UI, Makalah, (Jakarta: PPATK, 21 Juli 2009), Hal 1-2.
3
Lihat Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, Kementerian
Hukum dan HAM.
dimasukkan ke dalam kelompok pidana tambahan dan bukan pidana

pokok.

2) Definisi penyidikan di dalam KUHAP adalah “untuk mencari serta

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang

tindak pidana yang teijadi dan guna menemukan tersangkanya”. Dari

definisi tersebut terlihat bahwa penelusuran hasil dan instrumen tindak

pidana, yang memungkinkan penyitaan dan perampasan aset dan

instrument tindak pidana belum merupakan bagian penting dari

penyidikan tindak pidana di dalam KUHAP.

3) Kewenangan yang dimiliki penyelidik dan penyidik di dalam KUHAP

belum memungkinkan para penyelidik dan penyidik untuk

melaksanakan penelusuran hasil tindak pidana dan instrument tindak

pidana dengan baik. Dalam KUHAP misalnya, belum mengatur secara

jelas mengenai kewenangan penyelidik dan penyidik dalam mengakses

sumber-sumber informasi yang diperlukan dalam rangka

mengidentifikasi dan menemukan hasil dan instrumen tindak pidana,

terutama akses terhadap sumber- sumber informasi yang dilindungi

dengan ketentuan kerahasiaan.

4) Dalam KUHAP, pengertian instrumen tindak pidana terbatas kepada

benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan atau

untuk mempersiapkan suatu tindak pidana.4 Padahal, konsep yang

berkembang saat ini, instrument tindak pidana tidak hanya mencakup

4
KUHAP Pasal 39 huruf b menyatakan bahwa “yang dapat dikenakan penyitaan adalah
benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk
mempersiapkannya”.
sarana yang secara langsung dipergunakan dalam suatu tindak pidana

tetapi juga sarana yang memungkinkan terlaksananya suatu tindak

pidana.

5) KUHAP tidak mengatur kemungkinan untuk merampas harta dan

instrumen tindak pidana dalam hal terdapat hambatan yang dapat

menghalangi pelaksanaan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di

pengadilan maupun eksekusi putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

6) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 relatif mengatur secara lebih lengkap

mengenai penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana

korupsi. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah mengatur pula

ketentuan mengenai pembalikan beban pembuktian terhadap perolehan

harta yang kekayaan tersangka. Dalam hal terdakwa tidak dapat

membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan

penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka

keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang

sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.5

Namun demikian apabila terdakwa dinyatakan bebas atau dinyatakan

5
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 37 ayat (4).
lepas dari segala “tuntutan” hukum, maka tuntutan perampasan harta

benda harus ditolak oleh hakim.6 Diatur pula kemungkinan

penggunaan gugatan perdata dalam hal terdakwa atau tersangka

meninggal dunia atau tidak bisa dilanjutkannya penuntutan karena

tidak cukup bukti meskipun sudah terdapat kerugian negara. Namun

demikian pengaturan tersebut terbatas hanya untuk tindak pidana

korupsi.

7) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang telah mengenai konsep

pembalikan beban pembuktian. Pasal 77 Undang-undang Nomor 8

Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang, menyebutkan “Untuk kepentingan pemeriksaan di

sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta

Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”.

8) Ketentuan pembalikan beban pembuktian dalam ketentuan Undang-

undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana dalam Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun

2001 dilakukan dalam proses perkara pidana dan dikaitkan dengan

tindak pidana itu sendiri.

6
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 37 B.
Namun demikian apabila kita meneliti sejarah perkembangan

pemberantasan tindak pidana korupsi, ternyata telah ada pengaturan mengenai

perampasan aset dalam perudang-undangan di Indonesia. Aturan tersebut tertuang

dalam Peraturan Pemberantasan Korupsi Prn Penguasa Perang Pusat Nomor

Prt/Peperpu/013/1958.

Dalam Peperpu dinyatakan bahwa Harta hasil perbuatan tercela dapat

dirampas oleh Pengadilan Tinggi. Harta tersebut sebagaimana dalam penjelasan

Pasal 3 sebagai perbuatan korupsi. Demikian pula harta-harta yang tertuang dalam

Pasal 12 ayat (2) dari peraturan Peperpu tersebut disamakan dengan harta hasil

perbuatan tercela dapat pula dirampas, yaitu:

1. Harta benda seseorang atau suatu badan yang dengan sengaja tidak

diterangkan olehnya atau oleh pengurusnya.

2. Harta benda yang tidak terang siapa pemiliknya.

3. Harta benda seseorang yang kekayaannya setelah diselidiki ternyata

dianggap tidak seimbang dengan penghasilan mata pencariannya.

Maksud diadakan peraturan tersebut dalam Peperpu adalah agar supaya

dalam waktu yang singkat dapat dibongkar perbuatan-perbuatan korupsi yang

sangat merajalela sebagai akibat dari suasana pemerintahan yang seakan-akan

tidak memiliki wibawa lagi.7 Sayangnya peraturan tersebut hanya sementara dan

kemudian hilang pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun demikian tidak ada salahnya kita

7
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), Hal. 45-46.
membuka kembali secara akademis demi membuka wawasan mengenai

perampasan aset tindak pidana khususnya yang berlaku di Indonesia.

Menurut penjelasan Andi Hamzah, Peperpu tersebut memberikan

pengertian mengenai korupsi yang tertuang dalam bagian I Pasal 1 yang

selanjutnya dijabarkan dalam Pasal 2 dan 3, bahwa perbuatan korupsi terdiri atas:

1. Perbuatan korupsi pidana, dan

2. Perbuatan korupsi lainnya.

Dalam hal perbuatan korupsi lainnya, tidak diancam dengan hukuman

pidana melainkan akan diajukan gugatan oleh Balai Penilik Harta Benda melalui

Pengadilan Tinggi. Pengadilan Tinggilah yang kemudian akan mengadili gugatan

tersebut, apakah kemudian dapat merampas harta benda hasil perbuatan korupsi

itu. Badan Koordinasi Penilik Harta Benda diketuai oleh Pengawas Kejaksaan-

Kejaksaan Pengadilan Negeri Provinsi.8

Proses pelaksanaan dari peraturan tersebut tidak bersifat hukum pidana,

namun juga tidak seperti proses perdata yang sesungguhnya. Sifatnya banyak

mengikuti hukum publik, seperti pada Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), yaitu

penyitaan yang dapat dilakukan oleh Penilik Harta Benda terhadap:

1. Harta benda seseorang atau suatu badan yang dengan sengaja tidak

diterangkan olehnya atau oleh pengurusnya.

2. Harta benda yang tidak terang siapa pemiliknya.

3. Harta benda seseorang yang kekayaannya setelah diselidiki ternyata

dianggap tidak seimbang dengan penghasilan mata pencariannya.

8
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), Hal. 41-42
4. Harta benda seseorang atau suatu badan yang keterangannya tidak

benar.

5. Harta benda yang dipindah atas nama orang lain jika ternyata bahwa

pemindahan tersebut dilakukan untuk menghindari beban, berhubung

dengan ketentuan suatu aturan dan orang lain itu tidak dapat

membuktikan, bahwa ia memperoleh barang itu dengan itikad yang

baik. 9

Lebih lanjut lagi menurut penjelasan dari Andi Hamzah, dalam Pasal 13

ayat (1) tersebut disebutkan cara-cara melakukan perampasan, yaitu:

1. Mengenai barang tidak tetap, dengan mengambil barang itu dan

menyampaikan berita acara tertulis tentang penyitaan kepada orang

yang bersangkutan.

2. Mengenai harta benda seperti yang dimaksud dalam Pasal 511 KUH

Perdata,10 dengan pemberitahuan kepada orang yang bersangkutan

dengan surat tercatat tentang penyitaan itu dan kemudian, sekedar

9
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), Hal. 50.
10
Pasal 511 KUHPerdata menentukan yang dianggap sebagai barang bergerak karena
ditentukan undang-undang adalah:
(1) hak pakai hasil dan hak pakai barang-barang bergerak;
(2) hak atas bunga yang dijanjikan, baik bunga yang terus-menerus, maupun bunga
cagak hidup;
(3) perikatan dan tuntutan mengenai jumlah uang yang dapat ditagih atau mengenai
barang bergerak;
(4) bukti saham atau saham dalam persekutuan perdagangan uang, persekutuan
perdagangan atau persekutuan perusahaan, sekalipun barang-barang bergerak yang
bersangkutan dan perusahaan itu merupakan milik persekutuan. Bukti saham atau saham
ini dipandang sebagai barang bergerak, tetapi hanya terhadap masing-masing peserta saja,
selama persekutuan berjalan;
(5) Saham dalam utang negara Indonesia, baik yang terdaftar dalam buku besar,
maupun sertifikat, surat pengakuan utang, obligasi atau surat berharga lainnya, berserta
kupon atau surat-surat bukti bunga yang berhubungan dengan itu;
(6) sero-sero atau kupon obligasi dari pinjaman lainnya, termasuk juga pinjaman
yang dilakukan negara-negara asing.
merupakan barang yang berwujud, dengan diambilnya, atau kalau jika

harta terdaftar, dengan dicatatnya pemberitahuan tersebut dalam daftar

harta itu.

3. Mengenai piutang yang tidak tersebut dalam Pasal 511 KUH Perdata

dengan memberitahukan melalui surat tercatat tentang penyitaan itu

kepada semua pihak yang berdsangkutan dengan hutang piutang itu.

4. Mengenai barang tetap yang dikuasai oleh hukum perdata eropa

dengan pemberitahuan melalui surat tercatat tentang penyitaan hak atas

barang tetap itu kepada orang yang brsdangkutan kemudian dengan

dicatatkannya pemberitahuan itu ke dalam daftar menurut

overschrijvingsordoncmtie seperti telah diubah berhubungan dengan

peraturan dalam Stb. 1947 Nomor 53 atau dalam daftar kepaniteraan

Pengadilan Negeri menurut Pasal 198 ayat (1) RIB.

5. Mengenai barang tetap yang dikuasai oleh hukum adat, dengan

pemberitahuan melalui surat tercatat tentang penyitaan hak atas barang

tetap itu kepada orang yang bersangkutan dan kepala desa yang

bersangkutan atau yang sejenis dengan itu. 11

Ternyata, sifat dan karakter hukum perdata khususnya hukum acara

perdata dalam proses penyelesaian korupsi bukan pidana, nyata pada Pasal 19

yang berbunyi: 12

11
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), Hal. 51-52.
12
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), Hal. 54.
“Sekedar dalam peraturan Peraturan Penguasa Perang Pusat ini tidak

ditentukan lain, maka Pengadilan Tinggi dalam memeriksa harta benda

berpedoman pada hukum acara perdata yang berlaku bagi Pengadilan

Negeri.”

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peraturan penguasa perang pusat

ini telah terlebih maju dari peraturan yang ada sekarang dalam hal bahwa telah

ada pengaturan khusus mengenai perampasan aset. Terlebih lagi dalam peraturan

itu mengatur bahwa proses peradilan korupsi bukan pidana menentukan

pengadilan Tinggi yang akan memeriksa dan mengadili mengenai perampasan

harta benda yang diajukan dan putusannnya bersifat akhir dan mengikat. Artinya

putusan terhadap harta benda tersebut tidak mengenai upaya hukum baik banding

maupun kasasi (Pasal 26 ayat (1)).

Selain itu peraturan tersebut telah memperkenalkan pembuktian terbalik

yang sifatnya terbatas. Maksudnya bahwa orang yang diperiksa harta bendanya

oleh Pengadilan wajib memberikan keterangan secukupnya mengenai hrtanya

maupun harta orang lain yang diopandang ada kaitan erat dengannya (Pasal 22

ayat (1)).13

Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset saat ini sedang dibahas oleh

Pemerintah maupun DPR namun sampai sekarang belum ada kesepahaman

mengenai perampasan aset menjadi sebuah undang-undang. Ada dugaan

sepertinya ada ketakutan oleh sejumlah kalangan tertentu apabila Rancangan

13
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), Hal. 55.
Undang-Undang Perampasan aset bisa bisa disahkan maka harta mereka yang

mungkin tidak jelas tersebut akan terusut dan bahkan akan terampas.

3.3.1 Mekanisme Perampasan Aset Tindak Pidana Di Indonesia

Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, Jaksa yang melakukan

penuntutan atas suatu tindak pidana dan terdakwa dapat memilih penasihat hukum

untuk melakukan pembelaannya. Kepolisian menangani penyelidikan dalam

kasus-kasus yang dilaporkan atau diadukan. Mereka tidak berpihak dalam proses

dan bertindak seobjektif mungkin. Selama penyidikan, pihak kepolisian harus

menemukan kebenaran. Polisi harus menyelidiki fakta-fakta, menemukan bukti

dari pelanggaran, dan jika ada pelanggaran, harus berusaha menemukan pelaku,

dan menangkapnya. Dalam hal pelaksanaan perampasan aset, apabila pelaku tetap

tidak diketahui, tetapi ada hasil yang diduga sebagai kejahatan, Pihak penyidik

akan melanjutkan penyelidikan untuk menetapkan bahwa aset adalah hasil dari

sebuah kejahatan.

Sistem peradilan pidana di Indonesia didasarkan pada peraturan

perundang-undangan yang mengaturnya, dan dalam rangka penyelesaian hukum

terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan mekanisme sistem

peradilan pidana tindak pidana korupsi, demikian pula terhadap perampasan aset

sebagai upaya pengembalian hasil tindak pidana korupsi dan pemulihan

perekonomian negara.

Mekanisme tersebut didasarkan pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang Nomor 46 Tahun

2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Mekanisme perampasan aset

didasarkan pada Pasal 18 huruf (a) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang menyatakan:

“Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud


atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari
tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak
pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang
menggantikan barang-barang tersebut”

Berdasarkan Pasal tersebut maka tindakan perampasan aset telah diatur

dan dijadikan sebagai sanksi terhadap pelaku tindak pidana korupsi, dalam hal

upaya untuk mengembalikan hasil kejahatan tersebut. Selanjutnya Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

menempatkan tindakan perampasan aset tidak hanya sebagai sanksi pidana, dalam

suatu hal tindakan perampasan aset dapat dilakukan yaitu dalam hal terdakwa

meninggal dunia sebelum adanya putusan dijatuhkan terhadapnya dengan

didapatnya bukti yang cukup kuat bahwa bersangkutan telah melakukan tindak

pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan pihak penuntut umum menetapkan

tindakan perampasan terhadap barang-barang yang telah disita sebelumnya. 14

Dalam ketentuan hukum positif Indonesia sebagai hukum yang telah

ditetapkan dan berlaku secara mengikat (ius constitution) yaitu Undang- Undang

Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diperbaharui melalui ketentuan Undang-

14
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 38 angka (5).
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

terdapat kebijakan hukum pidana terhadap pengaturan kepemilikan aset kekayaan

pelaku tindak pidana korupsi. Pada dasarnya kebijakan hukum pidana tersebut

yang diaplikasikan pada kebijakan formulatif menentukan bahwa pengaturan

kepemilikan aset pelaku tindak pidana korupsi dapat dilakukan melalui dua jalur,

yaitu secara hukum pidana melalui putusan pengadilan pidananya dan melalui

hukum perdata yaitu melalui gugatan secara perdata (civil procedure). Adapun

ketentuan jalur hukum perdata adalah berdasarkan pada Pasal 32 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang

menentukan:

“Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih
unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara
nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera
menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa
Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan
kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.”

Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan: “Putusan bebas dalam perkara tindak

pidana korupsi tidak menghapus hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan

negara.”

Sedangkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan:


“Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan,
sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka
penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut
kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang
dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.”

Demikian pula Pasal 34 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan:

“Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di


sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian negara,
maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas acara sidang
tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi
yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.”

Dalam Pasal 38 C Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan:

“Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum


tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga
atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum
dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud Pasal 38 B
ayat (2) 15 maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap
terpidana dan atau ahli warisnya”

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 menentukan perampasan hasil tindak pidana melalui gugatan perdata

dengan mengikuti ketentuan Pasal 38 ayat (5) yaitu:

“Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan


terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan
tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum
menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita.”

15
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 38 B ayat (2):
Ketentuan tersebut dilanjutkan dengan Pasal 38 ayat (6) Undang- Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yaitu:

“Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat

dimohonkan upaya banding.”

Ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut di atas memberikan

kewenangan kepada Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan untuk

mengajukan gugatan perdata kepada terpidana dan atau ahli warisnya baik di

tingkat penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

Demikian halnya dengan harta yang diduga hasil tindak pidana

sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010

tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dalam Bab VII tentang Pemeriksaan Dan Penghentian Sementara

Transaksi, mengatur mengenai perampasan aset.

Dalam Pasal 64 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

menentukan:

(1) PPATK melakukan pemeriksaan terhadap Transaksi Keuangan

Mencurigakan terkait dengan adanya indikasi tindak pidana

Pencucian Uang atau tindak pidana lain.

(2) Dalam hal ditemukan adanya indikasi tindak pidana Pencucian Uang

atau tindak pidana lain, PPATK menyerahkan Hasil Pemeriksaan

kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan.


Selanjutnya Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010

tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

menentukan, “PPATK dapat meminta penyedia jasa keuangan untuk

menghentikan sementara seluruh atau sebagian Transaksi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 44 ayat (1) huruf i.” 16

Apabila kemudian temyata tidak ada orang dan pihak ketiga atau hanya

pihak ketiga yang mengajukan keberatan dalam waktu dua puluh hari sejak

tanggal penghentian sementara Transaksi, maka PPATK selanjutnya menyerahkan

penanganan Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil

tindak pidana tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan.17

Selanjutnya apabila dalam waktu tiga puluh hari penyidik tidak bisa

menemukan orang atau korporasi yang diduga sebagai pelaku atau tersangka

tindak pidana, maka penyidik dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan

Negeri untuk memutuskan Harta Kekayaan tersebut sebagai Aset Negara atau

dikembalikan kepada yang berhak.18 Atas permintaan penyidik tersebut, maka

dalam waktu tujuh hari, pengadilan negeri harus memutus status harta kekayaan

yang dimohonkan itu.19

16
Pasal 44 ayat 1 huruf i memberikan kewenangan kepada PPATK untuk meminta penyedia
jasa keuangan untuk menghentikan sementara seluruh atau sebagian Transaksi yang diketahui atau
dicurigai merupakan hasil tindak pidana;
17
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang, Pasal 67 ayat (1).
18
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang, Pasal 67 ayat (2).
19
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang, Pasal 67 ayat (3).
3.3.2 Kebijakan Pengaturan Perampasan Aset Tindak Pidana

Berbagai permasalahan sebagaimana disampaikan di atas menyebabkan

perlunya pengaturan khusus mengenai perampasan aset hasil tindak

pidana. Pengaturan tersebut dipandang perlu untuk memasukan sistem

perampasan yang memungkinkan dilakukannya pengembalian aset hasil tindak

pidana melalui “mekanisme perdata” yang menekankan perampasan aset hasil

tindak pidana secara in rem (kebendaan).

Adanya pelaku kejahatan yang dinyatakan secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan kejahatan berdasarkan suatu putusan pengadilan bukan

merupakan prasyarat yang harus dipenuhi guna dilakukannya perampasan asset

(sarana/hasil tindak pidananya). Dengan mekanisme ini terbuka kesempatan yang

luas untuk merampas segala aset yang diduga merupakan hasil pidana (proceed of

crimes) dan aset-aset lain yang patut diduga akan digunakan atau telah digunakan

sebagai sarana (instrumentalities) untuk melakukan tindak pidana. Mekanisme

barn ini juga dapat digunakan sebagai alternatif untuk memperoleh kompensasi

atau uang pengganti atas kerugian negara. Dengan demikian, aset yang barn

ditemukan dikemudian hari dan tidak tercantum dalam daftar aset yang dapat

disita atau dirampas berdasarkan putusan pidana yang sudah inkracht, tetap dapat

disita dan dirampas melalui mekanisme barn ini.

Di samping itu kendala-kendala yang timbul dalam upaya pengembalian

aset melalui mekanisme pidana dapat teratasi. Walaupun pelakunya sakit atau

tidak ditemukan atau meninggal dunia, perampasan aset tetap dapat dilakukan

secara fair karena tetap melalui putusan pengadilan.


Dengan mekanisme baru ini, sistem “pembalikan beban pembuktian”

dapat ditempatkan secara tepat sesuai standar internasional yang menggariskan

bahwa sistem pembalikan beban pembuktian tidak patut diterapkan dalam

peradilan pidana dimana kegagalan dalam pembuktian menurut sistem tersebut

dijadikan sebagai dasar untuk menghukum atau memidana seseorang secara fisik.

Pengalaman Indonesia dan negara-negara lain menunjukkan bahwa

mengungkap tindak pidana, menemukan pelakunya dan menempatkan pelaku

tindak pidana di dalam penjara (follow the suspect) ternyata belum cukup efektif

untuk menekan tingkat kejahatan jika tidak disertai dengan upaya untuk menyita

dan merampas hasil dan instrumen tindak pidana. Dalam hal ini, membiarkan

pelaku tindak pidana tetap menguasai hasil dan instrumen tindak pidana

memberikan peluang kepada pelaku tindak pidana atau orang lain yang memiliki

keterkaitan dengan pelaku tindak pidana untuk menikmati hasil tindak pidana dan

menggunakan kembali instrumen tindak pidana atau bahkan mengembangkan

tindak pidana yang pemah dilakukan.

Di dalam sistem hukum acara pidana Indonesia digunakan cara

perampasan aset tindak pidana melalui sarana hukum pidana (criminal based

forfeiture) yang dilaksanakan berdasarkan putusan pengadilan pidana yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan perampasan aset tindak pidana

melalui Non-Conviction Based tidak perlu menunggu waktu selama itu karena

penuntut umum dapat segera membawa Terdakwa ke pengadilan dengan cara

pembaalikan beban pembuktian atas aset Terdakwa yang diduga berasal dari

tindak pidana.
Pengaturan mengenai perampasan aset selain belum diatur secara khusus

dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, juga ketentuan yang sudah

ada pun memiliki kelemahan, yaitu upaya untuk merampas aset hasil tindak

pidana hanya dapat dilaksanakan jika pelaku kejahatan telah dinyatakan terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana oleh pengadilan.

Mekanisme ini selain sulit diterapkan akibat adanya berbagai halangan

yang mengakibatkan pelaku kejahatan tidak bisa menjalani pemeriksaan di sidang

pengadilan, juga tidak tertutup kemungkinan tidak dapat diterapkan karena tidak

ditemukannya bukti yang cukup untuk mengajukan tuntutan ke pengadilan dan

sebagainya, padahal aset kejahatan seringkali dengan mudah dialihkan atau

bahkan dilarikan ke luar negeri dengan cepat. Selain itu juga mekanisme

perampasan aset yang ada secara komprehensif belum mengatur langkah untuk

meminimalkan kerugian negara yang harus dilakukan sejak awal penanganan

perkara, yaitu dengan pemblokiran dan penyitaan baik terhadap harta kekayaan di

dalam negeri maupun harta kekayaan tersangka di luar negeri.

Secara umum, perbedaan antara ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku

di Indonesia dan perkembangan terakhir di dunia internasional menyangkut

penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana menunjukkan

perlunya perluasan, penambahan dan penyesuaian terhadap ketentuan-ketentuan

hukum yang berlaku saat ini di Indonesia.

Pada saat ini Pemerintah Indonesia sedang membahas Rancangan

Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana yang memungkinkan

perampasan aset tindak pidana tanpa harus menunggu adanya putusan pidana
yang berisi tentang pernyataan kesalahan pelaku dan pemberian hukuman bagi

pelaku tindak pidana. Mekanisme ini didasarkan pada United Nation Convention

against Corruption, 2003 yang memang menghendaki agar hasil tindak pidana

maupun instrumennya dapat disita dan dirampas serta dikembalikan kepada

negara korban tanpa harus menunggu putusan pengadilan mengenai kejahatan

yang dilakukan oleh pelaku tersebut. Dengan mekanisme ini terbuka kesempatan

yang luas untuk merampas segala aset yang diduga merupakan hasil tindak pidana

(proceed of crimes) dan aset-aset lain yang patut diduga akan digunakan atau telah

digunakan sebagai sarana (instrumentalities) untuk melakukan tindak pidana.

Penyusunan RUU Perampasan Aset adalah konsekuensi logis untuk

menyesuaikan ketentuan mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi

setelah Pemerintah Indonesia meratifikasi United Nations Convention Against

Corruption (UNCAC), 2003 melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006

tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003

(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003).

Perampasan aset tanpa pemidanaan (Non Conviction Based-NCB)

bermanfaat sebagai alat untuk pemulihan hasil dan instrumen tindak pidana

berupa: korupsi, penggelapan, narkotika, pembalakan liar, dan pencucian uang.

Tujuan utama perampasan adalah untuk melucuti para penjahat dari keuntungan

yang diperoleh secara tidak sah berikut instrumen/alat yang digunakan untuk

melakukan kejahatan.
3.4 Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non Conviction Based Asset

Forfeiture- NCB)

3.4.1 Konsep Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non Conviction Based

Asset Forfeiture- N C B)

Secara umum, ada dua jenis perampasan yang diterapkan secara

internasional, yaitu: Perampasan Kejahatan (Perampasan Pidana) dan Perampasan

Aset Tanpa Pemidanaan. Keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu

memberikan kewenangan kepada negara untuk merampas hasil tindak pidana dan

merampas instrumentalis tindak pidana.

Menurut Mardjono Reksodiputro, perampasan aset dapat dilakukan dalam

tiga cara, yaitu: 20

1. Perampasan Pidana, perampasan ini telah umum dikenal dalam bentuk

penyitaan atas barang tertentu dan apabila temyata barang tersebut

adalah alat yang digunakan terdakwa untuk melakukan kejahatan,

maka dengan putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap barang itu

disita untuk negara;

2. Perampasan Administrasi, perampasan ini bersifat kontraban dimana

eksekutif diberikan hak oleh undang-undang untuk dapat

segera merampas barang tertentu tanpa melalui persidangan. Misalnya

tindakan kepabeanan dan bea cukai;

3. Perampasan Perdata. Perampasan perdata dahulunya dikenal terhadap

perampasan terhadap barang-barang yang tidak bertuan karena perang,

20
Wawancara dengan Mardjono Reksodiputro pada tanggal 20 Desember 2012 di
Pascasarjana Universitas Pancasila Jakarta
serta perampasan terhadap barang-barang yang ‘yatim piatu’

(weiskamer).

Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam bagian sebelumnya, bahwa

dalam hal ditemukan adanya harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi, maka

menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001, Jaksa sebagai Pengacara Negara mengajukan gugatan perampasan

terhadap harta tersebut ke pengadilan. Apabila temyata kemudian diketahui masih

ada harta benda milik terpidana korupsi yang belum dikenakan perampasan dalam

proses pidana, maka gugatan perdata dimungkinkan karena pada kondisi ini,

negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli

warisnya.

Sepintas ada persamaan antara gugatan perdata yang ada dalam Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Koruspi

sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

dengan gugatan dengan Non Conviction Based Asset Forfeiture. Dalam hal

gugatan yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Koruspi sebagaimana yang telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, proses acaranya masih menggunakan

hukum acara yang formil dan konvensional yang tentu saja mengedepankan asas

“siapa yang mendalilkan tentang suatu hak maka dia yang membuktikan
kebenaran dalilnya tersebut”, 21 dan akan menggunakan pembuktian formil berupa

penggunaan alat-alat bukti yang sah.22

Ada kekhawatiran penggunaan hukum acara perdata yang formil akan

mengakibatkan Jaksa Pengacara Negara dalam upaya pembuktian mengalami

kesulitan. Hal ini dikarenakan dia harus membuktikan mengenai dalil harta

kekayaan Tergugat sebagai obyek gugatan yang akan dirampas adalah harta yang

ada kaitannya dengan kerugian negara dalam suatu putusan pidana yang telah

berkekuatan hukum tetap. Negara berada pada posisi sulit dan tidak mudah untuk

membuktikannya.

Sebaliknya terhadap perampasan harta kekayaan dengan konsep Non

Conviction Based Asset Forfeiture, pembuktian dapat dilakukan dengan cara

pembalikan beban pembuktian. JPN dalam gugatannya cukup mendalilkan bahwa

harta kekayaan obyek gugatan ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi.

Kemudian tergugat selaku yang menguasai harta kekayaan itu yang merasa

keberatan terhadap tindakan perampasan aset akan membuktikan kepada

pengadilan bahwa harta kekayaan obyek gugatan sama sekali tidak ada kaitannya

dengan tindak pidana korupsi atau tidak bersumber dari tindak pidana korupsi

tersebut.

Theodore S. Greenberg mengemukakan bahwa Non Conviction Based

Asset Forfeiture disebut juga perampasan perdata, perampasan in rem, atau

perampasan obyek, merupakan tindakan terhadap aset itu sendiri dan bukan

21
Pasal 1865 KUH Perdata: “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau
menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang
lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu”.
22
Pasal 1866 KUH Perdata: Alat pembuktian meliputi: bukti tertulis; bukti saksi;
persangkaan; pengakuan; sumpah.
kepada seseorang individu. Menurutnya, proses Non Conviction Based Asset

Forfeiture merupakan tindakan yang terpisah dari proses peradilan pidana dan

membutuhkan dasar bahwa harta tersebut tercemar (harta kekayaan adalah hasil

atau instrumentalitas kejahatan). 23

Pernyataan bahwa harta yang akan dirampas terlebih dahulu harus

dinyatakan sebagai harta tercemar adalah sejalan dengan pendapat Mardjono

Reksodiputro yang menyatakan, karena ada dugaan bahwa harta kekayaan terkait

suatu tindak pidana maka harta kekayaan tersebut harus dianggap sebagai harta

kekayaan yang tercemar (tainted or dirty property). Terhadap harta kekayaan

yang tercemar tersebut, pemerintah melalui JPN harus mengajukan gugatan

perdata in rem agar dapat dinyatakan oleh Pengadilan sebagai aset negara.24

Non Conviction Based Asset Forfeiture akan berguna dalam berbagai

konteks, terutama pada saat perampasan pidana tidak tersedia atau tidak

memungkinkan, seperti:

(a) yang melakukan kejahatan itu telah meninggal dunia (kematian dengan

sendirinya menghentikan proses peradilan pidana), atau

(b) pelaku kejahatan telah melarikan diri keluar negeri (proses pidana

terhambat dan terkatung-katung karena pelaku masih berstatus

23
Theodore S. Greenberg, dkk. “Stolen Asset Recovery. Good Practice Guide untuk
Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based/NCB Asset Forfeiture)”, (World
Bank: 2009), hal. 14.
24
Mardjono Reksodiputro, Beberapa Catatan Singkat tentang “Pembuktian- Terbalik”
Dikaitkan dengan Perampasan Aset dalam Kasus Delik Pencucian Uang. (Suatu Uasaha Memberi
Catatan Teoretis Untuk Keperluan Praktek), Bahan Kuliah Kapita Selekta Hukum Pidana Pasca
Saijana FH-UI, Makalah, Seminar Nasional Pencucian Uang, (Jakarta: FHUI-PPATK, 19 Juli
2011), Hal 2-4.
buronan-walaupun dapat diadili secara in absensia, tetapi tidak bisa

dieksekusi), atau

(c) pelaku kejahatan sulit disentuh karena terdapat kekebalan yang sangat

kuat yang dimiliknya (misalnya: kasus bank century dan kasus

hambalang yang belum menyentuh orang-orang yang diduga terlibat di

dalamnya akan tetapi terhalang kekuatan politik atau kekebalan hukum

yang sangat kuat

(d) pelanggar tidak dikenal namun asetnya ditemukan, atau

(e) harta kekayaan yang berkaitan dipegang oleh pihak ketiga yang tidak

dituntut dengan tuntutan pidana namun ada fakta bahwa harta tersebut

tercemar adanya, atau

(f) penuntutan pidana tidak dapat dilanjutkan karena tidak ada cukup

bukti.25

Selain itu tindakan Non Conviction Based Asset Forfeiture memang

memungkinkan karena merupakan tindakan in rem terhadap harta benda, bukan

terhadap orangnya (penghukuman pidana bukan sebagai syarat). Selain itu Non

Conviction Based Asset Forfeiture juga bermanfaat dalam keadaan sebagai

berikut:

(a) pelaku telah dibebaskan dari penuntutan pidana pokok karena

kurangnya bukti yang digunakan atau kegagalan dalam memenuhi

beban pembuktian.

25
Theodore S. Greenberg, dkk. “Stolen Asset Recovery. Good Practice Guide untuk
Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based/NCB Asset Forfeiture)”, (World
Bank: 2009), hal. 14-15.
(b) Perampasan tidak dipermasalahkan. Dalam yurisdiksi dimana

perampasan aset NCB dilaksanakan sebagai proses perdata, prosedur

putusan melawan hukum digunakan untuk menyita aset sehingga

terjadi efisiensi dalam waktu dan biaya.26

Konsep-konsep kunci dalam Non Conviction Based Asset Forfeiture

menurut Theodore S. Greeberg, dkk, adalah:27

1) Non Conviction Based Asset Forfeiture seharusnya tidak pernah

menjadi pengganti penuntutan pidana.

Non Conviction Based Asset Forfeiture tidak digunakan sebagai

alternatif untuk penuntutan pidana ketika hukum pidana memiliki

kemampuan untuk menindak pelaku kejahatan. Namun Non

Conviction Based Asset Forfeiture justru melengkapi penuntutan

pidana dan penghukuman pidana. Non Conviction Based Asset

Forfeiture dapat mendahului atau bersamaan atau setelah penuntutan

pidana.

2) Harus ditetapkan keterkaitan antara sebuah kasus Non Conviction

Based Asset Forfeiture dengan setiap proses peradilan pidana,

termasuk investigasi yang akan dilakukan.

Oleh karena Non Conviction Based Asset Forfeiture dipicu oleh

adanya kejahatan sehingga mungkin saja ada keadaan dimana

26
Theodore S. Greenberg, dkk. “Stolen Asset Recovery. Good Practice Guide untuk
Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based/NCB Asset Forfeiture)”, (World
Bank: 2009), hal. 15.
27
Theodore S. Greenberg, dkk. “Stolen Asset Recovery. Good Practice Guide untuk
Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based/NCB Asset Forfeiture)”, (World
Bank: 2009), hal. 27-34.
investigasi dengan penuntutan pidana berjalan sejajar atau berbenturan

dengan Non Conviction Based Asset Forfeiture.

Namun demikian yang patut dipahami bahwa Non Conviction Based

Asset Forfeiture bukanlah suatu “penghukuman” dan bukan sebuah

proses peradilan pidana.

3) Non Conviction Based Asset Forfeiture harus tersedia apabila

penuntutan pidana tidak tersedia atau tidak berhasil.

Penuntutan pidana bisa saja tidak tersedia karena pelaku telah

meninggal dunia, atau telah melarikan diri, atau memiliki kekebalan

terhadap penuntutan pidana, padahal penyidikan sedang dilakukan

atau penuntutan sedang dijalankan atau telah dinyatakan bersalah oleh

peradilan pidana.

Penuntutan pidana bisa juga tidak berhasil karena pelaku dinyatakan

tidak terbukti melakukan tindak pidana atau dilepaskan dari segala

tuntutan hukum namun pelaku tidak bisa membuktikan sumber harta

kekayaannya, maka Non Conviction Based Asset Forfeiture masuk

sebagai jalan untuk merampas harta tercemar tersebut.

4) Pembuktian dan prosedural yang berlaku harus serinci mungkin.

Peraturan administrative dan prosedur harus mencakup yang berikut:

a. Investigasi,

b. Penelusuran yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk memberikan

substansi pada kasusnya,


c. Penahanan dan Perampasan aset, termasuk didalamnya jangka

waktu serta kemampuan untuk memperpanjang secara hukum,

d. Perampasan,

e. Pengelolaan aset,

f. Kerjasama internasional.

Yang menjadi subyek dalam Non Conviction Based Asset Forfeiture

adalah para pihak yang memiliki potensi kepentingan atas suatu harta benda dari

tindakan tersebut. Sehingga pada saat akan dilakukan tindakan perampasan, maka

harus ada penyampaian kepada para pihak atau siapa yang bertanggung jawab atas

harta benda itu. Selain itu perlu dilakukan pemberitahuan kepada masyarakat

luas bahwa akan dilakukan tindakan Non Conviction Based Asset Forfeiture. Ini

dimaksud agar supaya apabila ada pihak lain yang berkepentingan hukum

terhadap obyek yang akan dirampas, maka yang bersangkutan dapat mengajukan

upaya perlawanan.

Namun demikian proses Non Conviction Based Asset Forfeiture harus

ditekankan secara adil, apabila ada seorang pelaku yang menjadi buronan dan

menolak untuk kembali karena menghindari proses penuntutan pidana, seharusnya

dia tidak diperkenankan untuk menentang proses tersebut. Hal ini dipandang adil

karena yang bersangkutan telah melarikan diri lalu mengsabotase proses

perampasan yang akan dilakukan. Hal ini sejalan dengan doktrin Fugitive

Disentitlement dimana menurut Maijono Reksodiputro, doktirin ini menyatakan

bahwa pengadilan yang sedang memeriksa kasus civil forfeiture berhak menolak

setiap klaim keberatan yang diajukan oleh orang yang merupakan pelarian dari
perkara pidana yang timbuk dari fakta dan kejadian yang sama dengan kasus civil
28
forfeiture tersebut. Dengan demikian menurut penulis, yang dapat mengajukan

keberatan terhadap tindakan peraampasan hanyalah pihak ketiga yang beritikad

baik - itupun masih harus dibuktikan bahwa dia adalah pemilik yang beritikad

baik. 29

Konsep perampasan aset yang ada dalam RUU Perampasan Aset,

dilandasi pada pemikiran bahwa perampasan aset akan dapat dilakukan apabila: 30
31
a) Tersangka atau terdakwanya meninggal dunia, melarikan diri, sakit

permanen,32 atau tidak diketahui keberadaannya;33 atau

b) Terdakwanya diputus lepas dari segala tuntutan.

Perampasan aset dapat juga dilakukan terhadap aset yang perkara

pidananya:

28
Mardjono Reksodiputro, Beberapa Catatan Singkat tentang “Pembuktian- Terbalik”
Dikaitkan dengan Perampasan Aset dalam Kasus Delik Pencucian Uang. (Suatu Usaha Memberi
Catatan Teoretis Untuk Keperluan Praktek), Bahan Kuliah Kapita Selekta Hukum Pidana Pasca
Saijana FH-UI, Makalah, Seminar Nasional Pencucian Uang, (Jakarta: FHUI-PPATK, 19 Juli
2011), Hal 5-6.
29
Penilaian mengenai pemilik yang beritikad baik merupakan penilaian hakim yang
memeriksa perkara tersebut. Pihak ketiga harus membuktikan bahwa dia membeli aset itu dengan
harga yang wajar, atau yang bersangkutan tidak memiliki kaitan keluarga dengan penjual, atau
pihak ketiga sebagai kreditur dan aset yang akan disita merupakan jaminan kredit, dan sebagainya.
30
Naskah Akademik RUU Perampasan Aset yang disusun oleh Departemen Hukum dan
HAM bersama-sama dengan PPATK, Jakarta, 2012, hal 109.
31
Misalnya kasus Djoko S. Chandra yang melarikan diri ke Papua newGuiena.
32
Misalnya penuntasan kasus dugaan korupsi mantan Presiden Soeharto yang tidak bisa
diselesaikan karena sakit permanen.
33
Misalnya kasus korupsi yang dilakukan oleh Edy Tansil, yang berhasil membobol Bank
Bapindo sejumlah Rp.1,3 Triliun kemudian melarikan diri pada tanggal 4 Mei 1996 dari Lembaga
Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta Timur setelah diputus bersalah oleh Pengadilan dengan
pidana penjara selama 20 tahun penjara.
.
a) Tidak dapat disidangkan; atau

b) Telah diputus bersalah oleh pengadilan namun ternyata di kemudian

hari ternyata diketahui terdapat aset tindak pidana yang belum

dinyatakan dirampas.

Selain itu konsep perampasan aset menurut RUU Perampasan Aset adalah

perampasan aset tidak menghapuskan kewenangan untuk melakukan penuntutan

terhadap pelaku tindak pidana. Demikian juga terhadap aset yang telah dirampas

melalui perampasan aset Non Conviction Based dapat dijadikan sebagai alat bukti

dalam penuntutan pelaku tindak pidana. Namun demikian aset yang telah

dirampas melalui perampasan aset Non Conviction Based tidak dapat dimintakan
34
perampasan dalam putusan pelaku tindak pidana. Namun sebaliknya apabila

terdapat kesamaan objek yang akan dirampas dalam perampasan pidana dengan

perampasan aset Non Conviction Based, maka perampasan aset Non Conviction

Based yang harus ditunda dan menunggu adanya putusan pidana oleh pengadilan.

Apabila ternyata obyek yang disita yang sama dengan obyek perampasan aset Non

Conviction Based kemudian dinyatakan dirampas oleh hakim perkara pidana

maka proses perampasan aset Non Conviction Based terhadap aset tersebut

menjadi gugur.35

34
Hal ini berbeda dengan penyitaan menurut KUHAP dimana dalam Pasal 39 ayat (2) telah
mengatur benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga
disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang:
a. benda tersangka atau terdakwa itu seluruhnya atau sebagian adalah hasil tindak pidana,
b. benda tersebut telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana,
c. benda yang digunakan untuk menghalangi penyidikan,
d. benda yang khusus dibuat untuk melakukan tindka pidana,
e. benda yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
35
Naskah Akademik RUU Perampasan Aset yang disusun oleh Departemen Hukum dan
HAM bersama-sama dengan PPATK, Jakarta, 2012, hal 110.
3.4.2 Proses Permohonan Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non

Conviction Based Asset Forfeiture-NCB) Di Pengadilan

Berdasarkan hasil wawancara dengan Ketua Kamar Pidana Khusus pada

Mahkamah Agung RI maupun kepada Ketua Kamar Pidana Umum pada

Mahkamah Agung RI sekembalinya mereka dalam Konfrensi Anti Korupsi di

Brasil pada awal bulan November 2012, pada prinsipnya berpendapat bahwa

prosedur Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non Conviction Based Asset

Forfeiture-NCB), ruang lingkupnya adalah hukum pidana namun dengan

menggunakan prosedur hukum acara perdata. Bahkan dapat dikatakan prosesnya

dikategorikan sebagai prosedur yang “Hybrid”.36

Menurut Komariah E. Sapardjaja,37 penerapan Non Conviction Based

Asset ForfeitureAACB tetap mengikuti KUHAP karena untuk membuktikan

adanya aset yang akan dirampas itu harus berdasarkan bukti permulaan yang

cukup sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 14 jo penjelasan Pasal 17

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dari situlah

yang dapat dijadikan pintu masuk bagi proses Perampasan aset tanpa pemidanaan

(Non Conviction Based Asset Forfeiture-NCB), tanpa ada bukti permulaan maka

penyidik tidak bisa melakukan penelusuran aset serta penuntut umum tidak dapat

meminta agar aset itu dinyatakan tercemar sehingga dapat dimintakan perampasan

kepada Pengadilan. 38

36
Wawancara dengan Joko Sarwoko pada tanggal 20 November 2012 dan wawancara
dengan Artidjo Alkostar pada tanggal 21 November 2012 di Mahkamah Agung RI.
37
Hakim Agung Kamar Pidana pada Mahkamah Agung RI.
38
Wawancara dengan Komariah E. Sapardjaja yang dilakukan pada tanggal 20 November
2012 di Mahkamah Agung R.I.
Namun demikian apabila dilakukan dengan langkah tersebut maka yang

terjadi adalah Perampasan Aset dengan Conviction atau dengan putusan pidana,

padahal yang dimaksud dengan Non-Conviction Based Asset Forfeiture adalah

perampasan perdata yang tidak mewajibkan adanya putusan pidana. Mungkin

lebih tepat apabila adanya bukti permulaan itu dijadikan sebagai prasangka

terhadap adanya aset yang tidak sah untuk kemudian dilakukan pemblokiran atau

penyitaan.

Menurut Theodore S. Greenberg, dkk, spesifikasi hukum sangat penting

dalam rezim perampasan karena dibutuhkan keseragaman dan memastikan bahwa

peraturan mengenai proses perampasan dibuat bukan semata oleh pengadilan

namun oleh badan pembuat hukum (lembaga legislatif). Namun demikian

berdasarkan hasil penelitiannya, negara-negara di Eropa Kontinental bahkan di

beberapa negara lainnya mengklasifikasikan proses perampasan aset tanpa

pemidanaan (Non Conviction Based Asset Forfeiture-NCB) adalah spesifikasi

hukum perdata dan bukan hukum pidana, hal ini karena prosedur ini dirancang

untuk memulihkan hasil kejahatan dan bukan untuk menciptakan pemidanaan

sedangkan proses pidana bertujuan mengenakan sanksi pidana terhadap pelaku. 39

Permohonan perampasan aset tanpa pemidanaan (Non Conviction Based

Asset Forfeiture-NCB) menurut Rancangan RUU Perampasan Aset dapat

dilakukan setelah penyidik atau penuntut umum telah melakukan pemblokiran

dan/atau penyitaan. Setelah dokumen dan pemberkasan lengkap maka dalam hal

perampasan aset maka penuntut umum selaku JPN segera menyerahkan berkas

39
Theodore S. Greenberg, dkk. “Stolen Asset Recovery. Good Practice Guide untuk
Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based/NCB Asset Forfeiture)”, (World
Bank: 2009), hal. 55-57.
tersebut kepada Pengadilan Negeri. Menurut hemat penulis, Pengadilan Negeri

yang dimaksud harus mengikuti aturan dalam hukum acara perdata yaitu

pengajuan gugatan dilakukan di Pengadilan Negeri dimana obyek itu berada. Hal

ini didasarkan pada alasan kemudahan bagi pengadilan untuk melakukan

pemeriksaan atas obyek sengketa. Sedangkan apabila aset yang akan dimintakan

perampasan berada di luar negeri, maka pengajuan permohonan ditujukan kepada

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal ini pun merupakan konsep dari RUU

Perampasan Aset.

Permohonan perampasan itu sendiri harus berupa daftar yang memuat

dengan rinci aset apa saja yang akan dimintakan perampasan, berapa nilainya,

serta siapa saja yang menguasai aset tersebut. Tanpa perincian yang jelas akan

mengakibatkan kekaburan dan dikhawatirkan mengakibatkan permohonan

perampasan aset dinyatakan tidak dapat diterima.

Adapun menurut Joko Sarwoko, acara bersidang yang dapat digunakan

dalam proses perampasan aset adalah dengan acara “Kort Ceding” berupa acara

perdata yang sederhana dan cepat.40 Acara kort geding mungkin tidak dikenal lagi

dalam hukum acara perdata di Indonesia dewasa ini, namun demikian acara kort

geding ini terdapat dalam Pasal 48 le Reglement op de Rechtsvor dering Stb.

1847-52jo. 1849-63.

Menurut Fred J. Bruinsma, acara Kort Geding merupakan acara perdata

yang singkat. Biasanya berkaitan dengan permohonan provisionil. Acara kort

geding dapat dilaksanakan oleh pengadilan dalam hal terdapat kepentingan yang

40
Wawancara dengan Joko Sarwoko pada tanggal 20 November 2012 di Mahkamah Agung
RI.
sangat mendesak dari penggugat dikarenakan obyek gugatan mudah rusak atau

hilang. Prosesnya sangat singkat karena diselesaikan pada umumnya dalam empat

belas hari. 41

Menurut Jan Brinkhof, Kort Geding merupakan bagian dari hukum acara

belanda, yaitu:

“Dutch procedural law includes the phenomenon of Kort Geding, literally

short process, a kind of preliminary relief proceedings. In urgent cases -

and, by definition, the infringement of patents is always an urgent case -

patentees can secure an injunction within a few months by way of

provisional measure. Such proceedings are extremely simple: the claimant


42
summons an alleged infringer before the district court of The Hague”

(Hukum acara Belanda termasuk fenomena Kort Geding, proses harfiah

pendek, semacam proses bantuan awal. Dalam kasus yang mendesak - dan,

menurut definisi, pelanggaran paten selalu merupakan kasus yang

mendesak - patentees dapat diamankan dengan perintah pengadilan dalam

beberapa bulan dengan cara tindakan sementara. Proses tersebut sangat

sederhana: penuntut mengajukan suatu dugaan pelanggaran sebelum

pengadilan distrik Den Haag).

41
Fred J. Bruinsma, “Dutch Law In Action”, (Ars Aequi Libri: 2003), Hal. 44-50.
http://www.arsaequi.nl/eboek/pdf/dutch law in action.pdf. diakses pada tanggal 13 Desember
2012.
42
Jan Brinkhof, Enforcement of patents: Rambo lawyers and cowboy judges?, Stibbe,
Amsterdam. http://www.buildingipvalue.com/05 EU/263 266.htm diakses pada tanggal 13
Desember 2012.
Masih menurut Jan Brinkhof,

“In urgent cases the presiding judge can be asked to grant a provisional

measure. The procedure is extremely simple. The claimant serves a writ of

summons for the defendant to appear at a certain date before the president

of the court. The writ of summons contains the claim of the claimant and a

concise indication of the basis of the claims. During the hearings there is

an oral explanation from the claimant where the defendant can defend

himself. The presiding judge gives his written decision with statement of

grounds within one or two weeks. Appeal and final appeal are possible.

The most important characteristics of Kort Geding are: the procedure is

informal; the presiding judge is actively involved and tries to reach

practical solutions with the parties; legal rules of evidence do not apply to

the Kort Geding; orders or injunctions are strengthened by dwangsom

(French: astreinte), penalty sums to be paid to the claimant by the

defendant who violates the orders or injunctions; and an appeal does not

suspend the execution of the judgment. ” 43

(Dalam kasus mendesak, hakim ketua dapat diminta untuk memberikan

tindakan sementara. Prosedur ini sangat sederhana. Penuntut melayani

tertulis dari panggilan untuk terdakwa untuk tampil pada tanggal tertentu

sebelum presiden pengadilan. Tertulis dari panggilan berisi klaim dari

penggugat dan indikasi singkat dari dasar klaim. Selama sidang ada

penjelasan lisan dari penggugat di mana terdakwa dapat membela diri.

43
Jan Brinkhof, Enforcement of patents: Rambo lawyers and cowboy judges?, Stibbe,
Amsterdam. http://www.buildingipvalue.com/05 EU/263 266.htm diakses pada tanggal 13
Desember 2012.
Hakim ketua memberikan keputusannya ditulis dengan pernyataan alasan

dalam satu atau dua minggu. Banding dan banding akhir yang mungkin.

Karakteristik yang paling penting dari Kort Geding adalah: prosedur

informal, hakim ketua secara aktif terlibat dan mencoba untuk mencapai

solusi praktis dengan para pihak; aturan bukti yang sah tidak berlaku untuk

Kort Geding, perintah atau perintah yang diperkuat oleh dwangsom

(Prancis: astreinte), jumlah denda yang harus dibayarkan kepada

penggugat oleh tergugat yang melanggar perintah atau perintah, dan

banding tidak menunda pelaksanaan putusan).

Dengan memperhatikan uraian mengenai Kort Geding tersebut ternyata

proses acaranya sangat cepat karena dilaksanakan kurang lebih empat belas hari,

sedangkan aset hasil kejahatan seperti korupsi maupun pencucian uang biasanya

merupakan harta yang tersebar di berbagai tempat dengan jumlah yang tidak

sedikit bahkan bukan tidak mungkin ditempatkan di luar negeri, sehingga tentu

sangat sulit apabila dilakukan dengan proses yang cepat. Dengan tersebarnya

harta-harta hasil kejahatan itu mengakibatkan prosesnya menjadi lambat sehingga

menurut penulis menggunakan konsep Kort Geding dalam mekanisme Non-

Conviction Based Asset Forfeiture menjadi kurang tepat. Dengan demikian

menurut hemat penulis penggunaan hukum acara dalam perampasan aset adalah

hukum acara perdata biasa namun dengan proses yang lebih disederhanakan

seperti pembatasan pada waktu jawab menjawab, pengajuan pembuktian dapat

bersamaan dengan pengajuan gugatan dan pengajuan keberatan, ataaupun


penundaan persidangan yang tidak berlarut-larut (misalnya, persidangan dapat

dilakukan setiap dua hari sepanjang pihaknya tidak keberatan).

Pembuktian yang dilakukan dalam proses acara Non-Conviction Based

Asset Forfeiture bagi penulis adalah mengikuti pembuktian perdata yaitu

pembuktian formil, dimana yang diutamakan adalah pembuktian surat. Menurut

Joko Sarwoko, pada saat Jaksa Pengacara Negara mengajukan permohonannya,

sekaligus dengan pengajuan alat bukti surat yang akan membuktikan dalil

permohonan perampasan aset tersebut yang dapat langsung ditanggapi oleh

Termohon dalam jawabannya sekaligus juga mengajukan bukti bantahannya.

Pembuktian kedua belah pihak kemudian disandingkan untuk dinilai. Hanya

Hakim yang pada akhirnya kemudian akan menilai pembuktian mana yang lebih

kuat, sehingga dalil yang didukung oleh pembuktian yang baik yang dapat

dikabulkan. 44

Menurut Joko Sarwoko, dalam hal acara persidangan perampasan aset

tanpa pemidanaan maka sistim pembuktian terbalik tidak dimungkinkan karena

sistim pembuktian perdata tidak mengenal pembuktian terbalik, yang ada adalah

bukti keduanya saling diadu mana yang lebih kuat. Pembuktian perdata

merupakan pembuktian formil, namun demikian harus ada pembatasan apa saja

yang dapat diajukan pada persidangan mengingat bahwa acara pemeriksaan yang

cepat. 45

44
Wawancara dengan Joko Sarwoko pada tanggal 20 November 2012 di Mahkamah Agung
RI.
45
Wawancara dengan Joko Sarwoko pada tanggal 20 November 2012 di Mahkamah Agung
RI.
Mungkin bagi sementara praktisi hukum, proses pembuktian perdata yang

formil tersebut adalah rumit dan menyulitkan. Namun bagi penulis pembuktian

yang saling disandingkan pada dasarnya mempunyai kesamaan dengan pergeseran

beban pembuktian yang dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro, dimana

Termohon atau pihak ketiga tetap harus membuktikan dalil bantahannya dan harus

dapat membuktikan sumber asetnya tersebut. Hal ini sejalan dengan asas

pembuktian perdata, yaitu “siapa yang mendalilkan sesuatu hak maka dia harus

membuktikannya” karena Termohon atau pihak ketiga yang mendalilkan bahwa

aset yang akan dirampas itu adalah merupakan miliknya harus dapat membuktikan

kepemilikannya beserta bagaimana cara perolehannya tersebut.

Sistem pergeseran beban pembuktian yang seimbang ini dikenal dengan

istilah Balance Probability Principle. Adanya keseimbangan pembuktian

diharapkan hak-hak pemilik aset tidak terabaikan walaupun ada kewajiban kepada

mereka untuk membuktikan asal usul aset yang mereka kuasai. Sebaliknya JPN

harus bisa membuktikan adanya hubungan antara aset yang dimohonkan

perampasan dengan tindak pidana yang telah merugikan keuangan atau

perekonomian negara.

Ada anggapan bahwa terdapat kesulitan mengkualifikasi perampasan aset

apakah merupakan kualifikasi gugatan perbuatan melawan hukum atau gugatan

wan prestasi. Menurut hemat penulis, hal tersebut tidak sulit karena dengan

sifatnya yang khusus maka permohonan perampasan aset tidak masuk gugatan

Perbuatan Melawan Hukum (PMH) atau Wan Prestasi namun merupakan

kualifikasi tersendiri sebagai Gugatan Perampasan Aset (seperti halnya gugatan


cerai). Sehingga dengan demikian tidak akan ada perdebatan yang tidak perlu dari

JPN maupun dari Termohon mengenai hal tersebut.

Subyek dari perampasan aset ini adalah pihak yang menguasai aset yang

akan dimintakan perampasan. Pihak yang menguasai itu bisa saja pelaku,

keluarga, ahli waris, atau bahkan pihak ketiga seperti kreditur atau pihak lain yang

memiliki hak atas aset yang dimohonkan untuk disita.

Pada saat Pengadilan Negeri menerima pendaftaran Permohonan

Perampasan Aset yang diajukan oleh JPN maka Ketua Pengadilan Negeri segera

menunjuk Hakim atau Majelis Hakim yang akan menyidangkan perkara

permohonan perampasan aset. Dalam hal penunjukan hakim atau majelis hakim,

menurut penulis dengan dasar filosofis bahwa perampasan aset dibutuhkan

tindakan yang cepat dan sederhana maka sebaiknya pemeriksaan dan yang akan

mengadili permohonan perampasan aset adalah cukup dengan hakim tunggal. Hal

ini berdasarkan pada pengalaman bahwa penunjukan majelis hakim dalam

memeriksa dan mengadili suatu perkara yang membutuhkan waktu yang cepat

terkadang justru menjadi salah satu hambatan tersendiri karena persidangan

dengan majalis hakim mewajibkan majelis tersebut harus bersidang dengan

lengkap padahal tidak selalu majelis itu bisa lengkap bersidang dengan berbagai

alasan seperti: tugas luar, sedang bersidang perkara yang lebih penting (perkara

pidana khusus seperti korupsi atau terorisme), atau juga berhalangan karena sakit.

Oleh karenanya dengan seorang hakim akan mempermudah pemeriksaan terlebih

lagi pada persidangan perampasan aset, hakim hanya akan menilai pembuktian

mana yang paling kuat tanpa melakukan pemeriksaan pembuktian materil yang
membutuhkan waktu yang lama dan energi yang banyak. Hal ini juga sejalan

dengan hukum acara perdata mengenai pemeriksaan perkara permohonan adalah

cukup diperiksa oleh seorang hakim.

Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri selanjutnya

memerintahkan kepada Jurusita Pengadilan Negeri untuk melakukan pemanggilan

pihak Termohon sekaligus melakukan pengumuman mengenai adanya

permohonan perampasan aset selama tiga puluh hari kerja.

Pemanggilan para pihak dan pengumuman kepada khalayak umum

menurut penulis dapat dilakukan kepada pihak Termohon yang telah jelas pihak

dan alamatnya sehingga pemanggilan dan pengumuman bisa sekaligus dilakukan

dengan mencantumkan hari dan tanggal sidang. Sedangkan apabila ternyata dalam

pengumuman tersebut ada pihak ketiga yang mengaku menguasai atau sebagai

pemilik aset itu, maka pihak ketiga tersebut dapat melakukan upaya hukum yang

dikenal dengan interventie terhadap pemeriksaan perkara. Pengadilan kemudian

akan menetapkan apakah pihak ketiga tersebut merupakan pelawan yang baik atau

tidak sehingga dapat ditentukan apakah bisa menjadi pihak interventie atau tidak.

Terhadap permohonan perampasan terhadap aset yang tidak jelas siapa yang

menguasainya, maka Hakim memerintahkan jurusita untuk melakukan

pengumuman mengenai perampasan aset di dalam media yang dapat diakses

setiap saat.46 Dalam hal pemanggilan kepada pihak yang telah jelas siapa dan

46
Apabila meneliti RUU Perampasan Aset, maka yang akan melakukan pengumuman
terhadap adanya perampasan aset adalah panitera pengadilan. Sedangkan bila merujuk pada
hukum acara perdata maupun pada pembagian tugas menurut Undang-Undang tentang Peradilan
Umum (UU Nomor 49 Tahun 2009 jo UU Nomor 8 Tahun 1986), Pasal 65 ayat (1) berbunyi
sebagai berikut:
Jurusita bertugas :
alamatnya maka jurusita dalam melakukan pemanggilan harus disertai dengan

melampirkan satu eksemplar surat permohonan perampasan aset yang diajukan

oleh JPN.

Media yang dimaksudkan adalah media internet dan koran nasional. Jadi

pengumuman itu dicantumkan pada web site pengadilan negeri yang melakukan

pengumuman juga melalui pengumuman media masa koran nasional. Kedua

media tersebut memiliki kelemahan dan kelebihannya. Kalau media web site

pengadilan negeri; kelebihannya biayanya murah (malah tanpa biaya) dan bisa

diakses setiap saat selama masa pengumuman, namun yang menjadi

kelemahannya adalah tidak semua orang memiliki kesempatan untuk memeriksa

web site pengadilan (lain halnya dengan web site berita seperti www.detik.com

atau www.kompas.com yang sering diakses karena adanya update berita). Apabila

pengumuman dilakukan di media masa koran nasional, kelebihannya adalah

jangkauannya lebih luas, namun kelemahannya biayanya mahal apalagi kalau

dilakukan secara terus menerus selama tiga puluh hari kerja.

Apabila para pihak telah hadir, maka permeriksaan dilaksanakan dengan

menggunakan bahasa Indonesia. Setiap pemeriksaan perkara perampasan aset

dilakukan dengan sidang yang terbuka untuk umum. Dalam sidang yang telah

lengkap tersebut, lalu JPN membacakan permohonannya sekaligus alasan-

alasannya, setelah itu hakim memberikan kesempatan kepada pihak termohon atau

a. melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh Ketua Sidang;


b. menyampaikan pengumuman-pengumuman, tegoran-tegoran, protes-protes, dan pemberitahuan
putusan Pengadilan menurut cara-cara berdasarkan ketentuan undang-undang;
c. Melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri;
d. membuat berita acara penyitaan, yang salinannya diserahkan kepada pihak- pihak yang
berkepentingan.
pihak ketiga untuk menanggapi permohonan perapasan aset JPN tersebut. Setelah

itu barulah dilakukan pengajuan alat bukti yang membuktikan masing-masing

dalil. Alat bukti yang sah yang dapat digunakan menurut RUU Perampasan Aset

adalah: a. Keterangan saksi, b. keterangan ahli, c. surat, d. dokumen, dan e. alat

bukti elektronik. Terhadap alat bukti tersebut, maka penulis tidak sependapat

karena dengan susunan demikian maka pembuktian yang digunakan adalah

pembuktian meteril yang justru akan menyulitkan pembuktian JPN. Lagipula

susunan alat bukti tersebut justru mengikuti alat bukti dalam hukum acara pidana,
47
padahal hukum acara yang digunakan dalam perampasan aset adalah hukum

acara perdata yang mengutamakan pembuktian formil. Bahkan sebagaimana hasil

wawancara dengan Joko Sarwoko, maka yang diutamakan dalam acara

pembuktian perampasan aset adalah pembuktian surat atau dokumen, barn

kemudian akan dilengkapi atau didukung dengan alat bukti lainnya seperti

keterangan saksi, keterangan ahli dan alat bukti tambahan lainnya yang telah

diakui oleh system perundang-undangan yang ada di Indonesia. 48

Terhadap tidak hadirnya pihak Termohon walaupun telah dipanggil secara

patut dan sah atau telah dilakukan pengumuman di media masa, maka berlaku

aturan bahwa pihak Termohon dapat dipanggil sekali lagi. Apabila ternyata pihak

47
Hal ini mungkin terjadi karena tim penyusunan RUU Perampasan Aset ini didominasi oleh
para ahli hukum pidana tanpa melibatkan Mahkamah Agung sebagai lembaga yang akan
melaksanakan UU tersebut sehingga nuansa hukum acara pidana masih sangat kuat. Hal ini dapat
dilihat dalam Yunus Husein, Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana di Indonesia, Jurnal Legislasi
Indonesia Vol. 7 Nomor 4, (Jakarta: Direktorat Jenderal Perundang-Undangan Kementrian Hukum
dan HAM RI, Desember 2010), Hal 571, yang menyebutkan: Penyusunan RUU Perampasan Aset
Tindak Pidana oleh sebuah panitia yang dibentuk berdasarkan Keptusan Menteri Hukum dan
HAM. Panitia itu beranggotakan wakil dari instansi-instansi terkait seperti dari Kepolisian,
Kejaksaan, KPK, PPATK, Deplu, Depkeu, Kantor Meneg PAN, Setneg, dan Depkumham sebagai
“focal Point".
48
Wawancara dengan Joko Sarwoko pada tanggal 20 November 2012 di Mahkamah Agung
RI.
Termohon tetap tidak hadir juga sekalipun telah dipanggil dengan sah, maka

hakim dapat menjatuhkan putusan dengan tidak hadirnya Termohon (putusan

verstek).

Dalam hal bahwa masing-masing pihak telah selesai membuktikan dalil-

dalilnya, maka hakim selanjutnya menjatuhkan putusannya apakah mengabulkan

atau menolak permohonan perampasan aset yang diajukan oleh JPN tersebut

dengan memberikan pertimbangan dan dasar-dasar hukumnya. Apabila

permohonan JPN dikabulkan, maka putusannya menyatakan aset tersebut untuk

negara, sedangkan bila permohonan ditolak maka putusannya menyatakan aset

dikembalikan kepada yang berhak.

Putusan harus dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan

dalam putusannya didahului dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”. Setiap acara persidangan dicatat dalam berita acara

oleh Panitera Pengganti yang ditunjuk untuk membantu Hakim tersebut

melakukan pemeriksaan. Putusan pengadilan maupun salinannya harus

ditandatangani oleh hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut dan

ditandatangani panitera pengganti yang membantu hakim tersebut.


BAB 4

PERAMPASAN ASET BERDASARKAN

NON-CONVICTION BASED ASSET FORFEITURE

(PERAMPASAN ASET TANPA PEMIDANAAN)

SEBAGAIALTERNATIF YANG EFEKTIF

MEMPEROLEH KEMBALI KERUGIAN NEGARA

Setelah melakukan pembahasan mengenai tindak pidana yang

mengakibatkan kerugian negara dan pembahasan mengenai Non-Conviction

Based (NCB) Asset Forfeiture, maka selanjutnya akan dibahas apakah Non-

Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture tersebut kemudian dapat digunakan

sebagai alternatif yang efektif dalam pengembalian kerugian negara akibat tindak

pidana yang berkaitan dengan perekonomian negara.

Selain itu akan dibahas mengenai bagaimana peranan Pengadilan dalam

hal ini Peranan Hakim dalam mekanisme Non-Conviction Based (NCB) Asset

Forfeiture untuk mengembalikan kerugian negara terhadap tindak pidana yang

telah mengakibatkan kerugian pada perekonomian dan keuangan negara. Analisis

ini perlu dilakukan mengingat Hakim sebagai benteng keadilan sekaligus juga

yang menentukan apakah aset atau harta kekayaan itu merupakan kekayaan

negara atau merupakan harta kekayaan milik dari perseorangan selaku pemilik

yang sah.
4.1 Efektivitas Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture Sebagai

Alternatif Pengembalian Kekayaan Negara Yang Hilang Karena

Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Perekonomian Negara

Sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, Indonesia memiliki dasar

negara yaitu Pancasila dan UUD 1945. Indonesia adalah negara yang berdasarkan

hukum.49 Adapun yang menjadi tujuan negara Indonesia adalah untuk melindungi

segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ...

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Hal ini dapat

dilihat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Sebagai negara hukum, maka memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1)

pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia; 2) adanya peradilan

yang bebas, mandiri, dan tidak memihak; 3) adanya pemisahan kekuasaan dalam

sistem pengelolaan kekuasaan negara; dan 4) berlakunya asas legalitas hukum,

yaitu setiap tindakan negara harus didasarkan pada hukum yang telah dibuat

secara demokratis sebelumnya, dengan demikian hukum yang dibuat itu memiliki

supremasi atau berada di atas segalanya, dan semua orang berkedudukan sama di

hadapan hukum. 50

Paham negara hukum (rechtstaat) sekaligus juga mengembangkan negara

kesejahteraan (welfare state) yang harus bertanggung jawab kepada rakyatnya.

Oleh karenanya pemerintah harus berkewajiban menyelaraskan upaya penegakan

49
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-3.
50
Mahfud M.D, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998), Hal. 121-194.
hukum yang dilandasi pada nilai-nilai keadilan denga upaya pencapaian tujuan

nasional untuk mewujudkan kesejahteraan umum.

Dengan dasar pemahaman tersebut, maka penanganan dan penindakan

terhadap kejahatan-kejahatan yang bermotif ekonomi seperti korupsi dan

pencucian uang harus dilakukan dengan pendekatan yang berkeadilan bagi

masyarakat. Motif terutama dari tindak pidana seperti korupsi, pencucian uang,

atau narkotika adalah meraup keuntungan ekonomi sebesar-besarnya dengan cara

yang tidak sah. Para pelaku tersebut biasanya menggunakan cara- cara tertentu

agar supaya mendapatkan keuntungan dari kegiatan pembangunan yang sedang

berlangsung. Kecurangan-kecurangan tersebut telah mengakibatkan rakyat yang

seharusnya menikmati pembangunan tersebut pada akhirnya secara tidak adil

kehilangan kesempatan itu. Oleh karena itu, terhadap kejahatan-kejahatan yang

bermotifkan ekonomi secara adil harus dihentikan, terutama hasil dari kejahatan

dan instrumen yang digunakan untuk melakukan kejahatan harus dirampas

menjadi aset negara sehingga masyarakat walaupun secara tidak langsung bisa

secara adil memperoleh kembali kerugian yang telah timbul sebagai akibat dari

kejahatan para pelaku.

Sebagaimana asas dasar yaitu “dilarang mengambil yang bukan milikmu”

yang merupakan salah satu ajaran dasar dari berbagai kepercayaan dan agama,

sehingga sepatutnyalah setiap orang tidak berhak untuk menikmati asset hasil

kejahatan. Adalah tidak adil pelaku kejahatan dapat menikmati hasil kejahatannya,

terutama yang telah merugikan keuangan negara.


Setelah pemerintah Indonesia meratifikasi United Nations Convention

Against Corruption, 2003 (Konvensi PBB Menentang Korupsi, 2003) dengan

Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 maka tentu saja implementasi terhadap

United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi PBB Menentang

Korupsi, 2003) tersebut harus sejalan dengan upaya pencegahan dan

pemberantasan korusi di Indonesia. Upaya pencegahan dan pemberantasan

tersebut harus dilaksanakan secara menyeluruh. Upaya tersebut bukan sekedar

menindak dan menghukum pelaku kejahatan yang bermotif ekonomi namun

sebagai upaya membuat para calon pelaku akan merasa takut dan tidak akan

melakukan kejahatan-kejahatan itu. Apabila penindakan hanya sampai kepada

menghukum pelaku, padahal pelaku tetap menguasasi hasil dari kejahatannya itu

tentu saja tren kejahatan akan terus terjadi karena tidak akan ada efek jera, bahkan

secara ekonomis negara mengalami kerugian yang sangat besar karena negara

harus membiayai semua proses peradilan bagi pelaku kejahatan mulai dari

pembiayaan pada tahap penyelidikan sampai pada pembiayaan setelah pelaku

menjalani pidana badan di penjara. Proses itu bisa berjalan lebih dari lima tahun.

Dapat dibayangkan berapa besar negara akan membiayai pelaku tersebut, padahal

negara sendiri telah dirugikan secara keuangan dalam jumlah yang tidak sedikit

karena pelaku telah mengambil milik negara menjadi milik pribadinya.

Perampasan aset tanpa pemidanaan (Non-Conviction Based (NCB) Asset

Forfeiture) sebagaimana yang telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya adalah

mekanisme hukum yang memungkinkan aset milik negara yang telah diambil oleh

pelaku kejahatan dimungkinkan untuk dirampas kembali. Konsep ini merupakan


bagian dari United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi PBB

Menentang Korupsi, 2003) yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia,

konsekuensinya Indonesia sebagai negara hukum yang bercirikan salah satunya

adalah tindakan negara harus didasarkan pada hukum yang telah dibuat secara

demokratis sebelumnya, sehingga hukum yang dibuat itu memiliki supremasi atau

berada di atas segalanya, dan semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum.

Oleh karenanya pemerintah Indonesia perlu membentuk aturan mengenai

perampasan aset tanpa pemidanaan yang dibuat secara demokratis artinya

pembentukan aturan tersebut harus dibuat bersama pemerintah dengan DPR

sehingga memiliki supremasi atau berada di atas segalanya.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa perampasan aset yang berlaku

di Indonesia saat ini dapat dilaksanakan semata-mata terbatas hanya jika pelaku

kejahatan telah dinyatakan terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana oleh Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum

tetap (inckracht) atau dengan kata lain perampasan aset dilakukan dengan putusan

pidana, namun perampasan pidana mengalami banyak kesulitan dalam

pelaksanaannya. Itupun masih sangat terbatas kepada tindak pidana korupsi

karena telah diatur dengan tegas dalam Pasal 18, Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. Dengan demikian terhadap kejahatan lainnya, negara


secara hukum perundang-undangan belum memiliki kekuatan untuk melakukan

perampasan aset hasil kejahatan maupun instrument kejahatan.51

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia terdapat juga

perampasan instrumentalis kejahatan yang diatur secara spesifik, misalnya

terdapat dalam dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

Pasal 78 ayat (15), disebutkan:

“Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-
alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan
kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini
dirampas untuk Negara.”

Selanjutnya dalam Pasal 79 ayat (1) disebutkan bahwa:

“Kekayaan negara berupa hasil hutan dan barang lainnya baik berupa
temuan dan atau rampasan dari hasil kejahatan atau pelanggaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 78 dilelang untuk Negara.”

Namun demikian ternyata tindakan perampasan masih terbatas apabila

kejahatan itu oleh pengadilan telah dinyatakan bersalah dan putusannya telah

berkekuatan hukum tetap barulah perampasan dapat dilakukan. Mekanisme ini

tentu saja seringkali sulit untuk dilaksanakan akibat adanya berbagai halangan.

Salah satunya adalah adanya kemampuan dari pelaku untuk mengalihkan

atau melarikan hasil kejahatan maupun instrument kejahatan ke luar negeri dan

bahkan pelakunya bisa saja melarikan diri ke luar negeri dan tidak dapat

diekstradisi kembali ke Indonesia. Sebagai contoh kasus korupsi dengan terdakwa

51
Perampasan negara terhadap instrument kejahatan di dalam UU Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana sebatas tindakan penyitaan dan kemudian apabila terbukti maka
dapat dimintakan perampasan dalam putusan pengadilan. Tetapi tindakan itu terbatas pada alasan
bahwa benda yang disita memiliki nilai ekonomis dan merupakan alat yang telah digunakan
melakukan kejahatan maka perampasan untuk negara dapat dilakukan.
Djoko S. Candra atau bahkan kasus yang paling menghebohkan dalam sejarah

pemberantasan korupsi di Indonesia yaitu kasus korupsi Edy Tansil. Mereka raib

seperti ditelan bumi. Bahkan sekalipun keberadaannya diketahui namun tidak bisa

dieksekusi oleh pemerintah karena berbagai keterbatasan diplomatik. Padahal

aset/harta kekayaan mereka masih ada di Indonesia bahkan mereka masih bisa

memperoleh keuntungan dari bergeraknya usaha-usaha mereka yang berada di

Indonesia, sedangkan pemerintah Indonesia tidak bisa menjangkaunya.

Untuk itu dipandang perlu untuk memiliki instrument hukum yang

memiliki sistem perampasan yang memungkinkan dilakukannya perampasan aset

hasil tindak pidana melalui mekanisme yang dikenal dengan Non¬Conviction

Based (NCB) Asset Forfeiture. Mekanisme ini menekankan perampasan aset

tindak pidana secara “in rem” dan bukan kepada orangnya (in personam). Dengan

demikian putusan yang telah berkekuatan hukum tetap terhadap pelaku kejahatan

bukan merupakan prasyarat yang harus dipenuhi dalam perampasan aset.

Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture merupakan cara untuk

melakukan perampasan aset hasil kejahatan. Dalam sistem common law ada

dikenal dua jenis perampasan aset yang berkembang, yaitu:52

a. Ordinary common law forfeiture (perampasan yang berlaku

berdasarkan putusan pengadilan), dan

b. Statutory forfeiture (perampasan yang berlaku berdasarkan

undang- undang).

52
Muhammad Yusuf, Pengembalian Hasil Tindak Pidana Korupsi Melalui NCB Asset
Forfeiture, Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 7 Nomor 4, (Jakarta: Direktorat Jenderal Perundang-
Undangan Kementrian Hukum dan HAM RI, Desember 2010), Hal 616-617.
Ordinary common law forfeiture teijadi setelah adanya putusan

pengadilan atas kejahatan serius. Tindakan perampasan dipandang oleh pihak

otoritas yang berwenang sebagai sebuah konsekuensi dari pidana tersebut.

Ordinary common law forfeiture menjadi perampasan in personam, sehingga

perampasan dapat dilakukan kepada semua property yang nyata dan pribadi yang

dimiliki terpidana setelah diputuskan oleh putusan pengadilan.53

Statutory forfeiture merupakan perampasan yang sebaliknya yaitu

diberlakukan tanpa membutuhkan adanya putusan pengadilan, akan tetapi hanya

terbatas kepada property yang digunakan dalam melakukan kejahatan.

Statutory forfeiture disebut dengan perampasan in rem perdata.

Konsepnya yang bersalah adalah property bukan orang.54

Menurut Fletcher N. Baldwin, Jr. model civil forfeiture menjadi signifikan

untuk pengembalian hasil korupsi di Indonesia karena civil forfeiture

menggunakan pembalikan beban pembuktian dan dapat melakukan penyitaan

lebih cepat setelah diduga adanya hubungan aset dengan tindak pidana. Selain itu

civil forfeiture merupakan gugatan terhadap aset bukan kepada terdakwa atau

kepada tersangka, sehingga aset negara dapat diselamatkan meski pelaku telah

meninggal atau meninggal dunia.55

53
Muhammad Yusuf, Pengembalian Hasil Tindak Pidana Korupsi Melalui NCB Asset
Forfeiture, Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 7 Nomor 4, (Jakarta: Direktorat Jenderal Perundang-
Undangan Kementrian Hukum dan HAM RI, Desember 2010), Hal 616-617.
54
Muhammad Yusuf, Pengembalian Hasil Tindak Pidana Korupsi Melalui NCB Asset
Forfeiture, Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 7 Nomor 4, (Jakarta: Direktorat Jenderal Perundang-
Undangan Kementrian Hukum dan HAM RI, Desember 2010), Hal 616-617.
55
Fletcher N. Baldwin, Jr. Obsevasi atas Usulan Undang-Undang tentang Harta Kekayaan
Hasil Tindak Pidana (Proceeds of Crime Act - POCA), dalam: Muhammad Yusuf, Pengembalian
Hasil Tindak Pidana Korupsi Melalui NCB Asset Forfeiture, Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 7
Nomor 4, (Jakarta: Direktorat Jenderal Perundang-Undangan Kementrian Hukum dan HAM RI,
Desember 2010), Hal 617.
Perampasan aset tanpa pemidanaan merupakan mekanisme perampasan

yang komprehensif, karena dimulai dari penelusuran, pemblokiran, dan penyitaan,

serta proses persidangan di pengadilan. Non¬Conviction Based (NCB) Asset

Forfeiture memang dikehendaki agar supaya tindakan perampasan harta kekayaan

hasil kejahatan menjadi efektif dan mencapai hasil yang diharapkan.

Menurut Mardjono Reksodiputro, Non-Conviction Based (NCB) Asset

Forfeiture dapat beijalan dengan efektif apabila terdapat kemauan yang kuat dari

Kejaksaan Agung untuk mengajukan permohonan perampasan aset ke pengadilan.

Selanjutnya harus ada komitmen dari pengadilan dalam hal ini hakim dalam

memeriksa dan mengadili permohonan Non-Conviction Based (NCB) Asset

Forfeiture dengan tidak terpengaruh pada pendapat yang menyatakan bahwa

proses Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture itu melanggar Hak Asasi

Manusia. 56

Mardjono Reksodiputro menjelaskan bahwa Non-Conviction Based

(NCB) Asset Forfeiture sudah dibutuhkan karena apabila dalam perkara korupsi

kemudian terdakwa dinyatakan bebas oleh pengadilan karena perbuatan

pidananya tidak terbukti, atau terdakwa meninggal dunia selagi menjalani

persidangan dan belum dijatuhi putusan pidana, atau terdakwa dengan

kemampuannya bisa melarikan diri sebelum persidangan selesai, maka tidak bisa

diterapkan konstruksi Pasal 10 KUHP57 jo Pasal 39 - Pasal 42 KUHP.58 Terdakwa

56
Hasil wawancara yang dilakukan pada tanggal 20 Desember 2012.
57
Pidana terdiri atas:
a. pidana pokok:
1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
bukan pihak dalam perkara pidana tersebut, sehingga yang bisa menjadi alternatif

adalah harta kekayaannya yang menjadi sasaran perampasan dan harus diajukan

ke pengadilan. 59

Masih menurut Mardjono Reksodiputro, dalam tindakan Non¬Conviction

Based (NCB) Asset Forfeiture, pembalikan beban pembuktian bukan suatu yang

harus dipermasalahkan dan bahkan tidak melanggar Hak Asasi Manusia, karena

menurut beliau pembalikan beban pembuktian (ireversal of the burden of proof)

4. pidana denda;
5. pidana tutupan.
b. pidana tambahan
1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim.
58
Pasal 39 KUHP mengatur:
1. Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja
dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas.
2. Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena
pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang ditentukan
dalam undang-undang.
3. Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada
pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.
Pasal 40 KUHP mengatur:
"Jika seorang di bawah umur enam belas tahun mempunyai, memasukkan atau mengangkut
barang-barang denga melanggar aturan-aturan mengenai pengawasan pelayaran di bagian-bagian
Indonesia yang tertentu, atau aturan-aturan mengenai larangan memasukkan, mengeluarkan, dan
meneruskan pengangkutan barang-barang, maka hakim dapat menjatuhkan pidana perampasan
atas barang-barang itu, juga dalam hal yang bersalah diserahkan kembali kepada orang tuanya,
walinya atau pemeliharanya tanpa pidana apapun."
Pasal 41 KUHP mengatur:
1. Perampasan atas barang-barang yang disita sebelumya, diganti menjadi pidana kurungan,
apabila barang-barang itu tidak diserahkan, atau harganya menurut taksiran dalam putusan
hakim, tidak di bayar.
2. Pidana kurungan pengganti ini paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan.
3. Lamanya pidana kurungan pengganti ini dalam putusan hakim ditentukan sebagai berikut:
tujuh rupiah lima puluh sen atau kurang di hitung satu hari; jika lebih dari tujuh rupiah lima
puluh sen, tiap-tiap tujuh rupiah lima puluh sen dihitung paling banyak satu hari, demikian
pula sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima puluh sen.
4. Pasal 31 diterapkan bagi pidana kurungan pengganti ini.
5. Jika barang-barang yang dirampas diserahkan, pidana kurungan pengganti ini juga dihapus.
Pasal 42 KUHP mengatur:
“Segala biaya untuk pidana penjara dan pidana kurungan dipikul oleh negara, dan segala
pendapatan dari pidana denda dan perampasan menjadi milik negara.”
59
Mardjono Reksodiputro, Me”Miskin”kan Koruptor - Caranya ? (Suatu makalah pengantar
untuk membuka cakrawala), (Jakarta: Universitas Pancasila dan Kejaksaan Agung RI, 18
Desember 2012), Hal. 3-4.
dalam tindakan Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture tidak ada

kaitannya dengan azas “siapa yang menuduh dialah yang haruslah membuktikan

tuduhannya” dan tidak berkaitan dengan asas “praduga tak bersalah”. Alasannya

adalah kedua asas tersebut berhubungan dengan pembuktian akan kesalahan

seorang terdakwa di persidangan, sedangkan pembalikan beban pembuktian

adalah suatu bentuk atau cara menunjukkan sah atau tidaknya kepemilikian atas

suatu aset/harta kekayaan dan menjelaskan bagaimana cara pelaku kejahatan

memperoleh kepemilikannya itu. 60

Dengan ketidakmampuan dari pelaku membuktikan bahwa dia telah

memiliki harta kekayaan tersebut secara sah menurut hukum, maka telah ada

dugaan kuat bahwa harta tersebut merupakan hasil kejahatan. Harta kekayaan

yang tidak dapat dibuktikan tersebutlah yang kemudian harus dinyatakan sebagai

“harta kekayaan yang tercemar” (legally tainted property) oleh pengadilan

(Hakim). Oleh karena telah dinyatakan sebagai harta kekayaan yang tercemar oleh

Pengadilan, maka JPN kemudian mengajukan permohonan agar supaya harta yang

tercemar tersebut untuk dinyatakan sebagai milik negara.

Korupsi atau pencucian uang maupun berbagai tindak pidana yang

berkaitan dengan lalu lintas perekonomian telah dianggap sebagai “sesuatu hal

yang menguntungkan” yang berakibat pada terjadinya kerugian negara baik pada

keuangan negara maupun pada perekonomian negara. Oleh karenanya semua hasil

dari kejahatan tersebut sepatutnya secara sah harus ditarik dari lalu lintas

60
Mardjono Reksodiputro, Me”Miskin”kan Koruptor - Caranya ? (Suatu makalah pengantar
untuk membuka cakrawala), (Jakarta: Universitas Pancasila dan Kejaksaan Agung RI, 18
Desember 2012), Hal. 5.
perekonomian sehingga para pelaku tidak dapat menikmati hasil kejahatan

tersebut.

Sesungguhnya merupakan ketidakadilan manakala “penjahat” bisa

menikmati hasil kejahatannya sedangkan rakyat yang seharusnya menikmati

justru hidup dalam berbagai kekurangan karena tidak terpenuhinya kemampuan

negara untuk memberikan kesejahteraan. Oleh karena itu hukum harus

menciptakan cara bagaimana agar kejahatan tersebut adalah merupakan hal yang

“tidak menguntungkan”.

Menurut penulis cara yang paling tepat dan sederhana dalam melakukan

mekanisme Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture adalah pada awalnya

harta yang diduga merupakan hasil kejahatan dilakukan pemblokiran dan ditarik

dari lalu lintas perekonomian yaitu melalui penyitaan yang dimintakan kepada

Pengadilan. Selanjutnya harta tersebut dinyatakan sebagai harta tercemar dengan

penetapan pengadilan. Setelah dinyatakan sebagai harta tercemar, pengadilan lalu

melakukan pengumuman melalui media yang dapat diakses dan diketahui oleh

orang banyak selama waktu yang cukup yaitu kurang lebih tiga puluh hari. Tiga

puluh hari dipandang cukup karena dalam jangka waktu itu telah cukup bagi para

pihak ketiga untuk dapat mengetaahui bahwa akan dilakukan perampasan aset

oleh pengadilan. Apabila dalam jangka waktu tersebut ada pihak yakni pihak

ketiga yang merasa keberatan dengan tindakan perampasan, maka pihak ketiga

tersebut dapat mengajukan perlawanan ke pengadilan dan membuktikan dengan

alat bukti yang sah bahwa dialah pemilik harta tersebut dengan menjelaskan

bagaimana perolehan harta tersebut.


Sebagai contoh: Penyidik menemukan ada beberapa harta yang diduga

merupakan hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seorang Anggota

DPR dengan Gaji setiap bulannya Rp.50.000.000,-, seperti: tanah seluas 10 Ha di

Surabaya, rumah mewah di Pondok Indah Jakarta senilai Rp.5 M, Apartemen di

Singapura senilai Rp.2 M, mobil-mobil mewah senilai lebih dari Rp.1 M,

perhiasan-perhiasan dengan nilai lebih dari Rp. 1 M, dana dalam bentuk mata

uang asing di berbagai rekening bank dengan nilai $ 500.000,- dan mata uang

Rupiah sejumlah Rp.5 M, dan perkebunan kelapa di Makasar seluas 20 Ha.

Padahal yang bersangkutan baru menjadi anggota DPR selama 4 tahun. Maka

yang bersangkutan harus dapat menjelaskan dari mana dia bisa memperoleh harta

sebanyak itu dengan gaji Rp.50.000.000,- setiap bulan karena dengan gaji sebesar

itu dan dikalikan empat tahun maka nilai pendapatan seluruhnya sebesar Rp.2,4

M. Apabila dalam persidangan yang bersangkutan tidak dapat menjelaskannya,

maka harta-harta tersebut dikategorikan sebagai harta tercemar yang dapat

dirampas untuk negara.

Apabila kemudian ada pihak ketiga yang mengklaim bahwa ada harta

milik pelaku yang akan dirampas merupakan miliknya maka pihak ketiga itu harus

dapat membuktikan bagaimana perolehan harta tersebut. Misalnya ada saudaranya

yang menyatakan bahwa tanah yang di Medan adalah miliknya sedangkan yang

bersangkutan juga hanya seorang PNS biasa, maka yang bersangkutan harus

membuktikan bagaimana cara perolehan harta itu, sederhananya apabila ternyata

tanah itu diberikan oleh pelaku maka jelas bahwa harta itu adalah hasil korupsi.

Apabila ternyata kemudian pihak ketiga dapat membuktikan bahwa tanah itu
merupakan miliknya karena hasil dari pengembangan usaha yang dikelolanya,

maka tanah itu tidak akan dirampas untuk Negara namun dikembalikan kepada

pihak yang berhak yaitu pihak ketiga yang telah mengajukan keberatan.

Demikian pula dengan adanya anggapan bahwa tindakan perampasan aset

tidak adil bagi keluarga pelaku karena dengan dirampasnya harta milik pelaku,

maka keluarga pelaku menjadi miskin dan terlantar. Hal ini dapat diandaikan

dengan kasus dimana kita sebagai korban pencurian perhiasan emas, lalu

pelakunya tertangkap, maka tentu perhiasan milik kita yang telah dicuri harus

dikembalikan sekalipun mungkin perhiasan itu sedang dipakai oleh istri pelaku

namun karena perhiasan itu memang bukan miliknya maka perhiasan itu harus

dikembalikan kepada pemiliknya yang sah yaitu korban pencurian. Demikian juga

dengan harta hasil kejahatan dalam lalu lintas perekonomian, karena harta yang

sedang mereka nikmati memang bukan milik mereka secara sah maka tidak

sepatutnya mereka dapat menikmatinya namun harus dikembalikan kepada

pemilik yang sah yaitu Negara.

Dengan demikian menurut penulis mekanisme Non-Conviction Based

(NCB) Asset Forfeiture merupakan cara yang efektif untuk membuat kejahatan

tersebut menjadi “tidak menguntungkan” karena pelakunya akan berpikir kembali

mengenai akibat yang akan timbul nantinya. Bagi Penulis, konsep Non-Conviction

Based (NCB) Asset Forfeiture telah menjadi kebutuhan hukum di Indonesia

karena mekanisme Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture menjadi

altematif untuk memperoleh kembali kekayaan Negara yang hilang karena tindak

pidana yang berkaitan dengan perekonomian Negara.

Anda mungkin juga menyukai