Anda di halaman 1dari 7

CRITICAL RIVIEW

REFORMASI AGAMA & DAMPAK POLITIK

OLEH :

REZA AR ROZAQ
NPM. 18011865039

SEKOLAH PASCASARJANA ILMU POLITIK

UNIVERSITAS NASIONAL JAKARTA

2019

CRITICAL REVIEW

JUDUL BUKU : Western Political Theory


PENULIS : McDonald &Lee Cameron
PENERBIT : Harcourt Brace Javanovich
FOKUS KRITIK : Part 2 Bab 9
REFORMASI GEREJA DI EROPA

Martin Luther adalah sosok panutan reformis Gereja Protestan. Beberapa ajaranya banyak
memengaruhi doktrin, budaya dan tradisi Gereja Protestan. Ajaranya kepada masyarakat Romami
dan Gereja untuk kembali kepada ajaran-ajaran Alkitab melahirkan sesuatu tradisi yang baru dan
perubahan radikal di kalangan Gereja Katolik Roma. Martin Luther sebenarnya tidak ingin
mendirikan gereja sendiri. Dirinya hanya ingin melakukan reformasi dalam gereja. Meski begitu,
akibat pikirannya yang berbeda dari para pemimpin gereja saat itu, dirinya dianggap membawa
ajaran sesat. Anggapan inilah yang mendorong Martin Luther dan pengikutnya untuk mendirikan
gereja sendiri. Ajaran baru itulah yang akhirnya disebut dengan Protestanisme.

Gerakan Martin Luther ini ternyata membawa dampak pada melemahnya kekuasaan
Paus (pemimpin tertinggi Gereja Katolik). Paus, saat itu tidak hanya memimpin gereja, namun juga
berhasil membawahi banyak kerajaan di Eropa. Menurut Luther, gereja seharusnya mengakui
kekuasaan para pemimpin negara. Gagasan ini tentunya mendapat dukungan dari para penguasa
negara. Mereka menghendaki adanya pemisahan kekuasaan antara negara dan agama. Hal ini
akhirnya mendorong peran negara menjadi semakin kuat karena melahirkan feodalisme,
nasionalisme dan separatisme. Alhasil, kekuasaan Gereja Katolik Roma mulai runtuh perlahan.
Kegigihan Martin Luther untuk melakukan reformasi ternyata belum selesai. Selain menolak
kehadiran Paus dalam kekuasaan negara, dirinya juga berani menentang anggapan bahwa Alkitab
hanya boleh dibaca dan ditafsirkan oleh para rohaniwan. Martin Luther yang menjunjung tinggi
kebebasan individu dan kesetaraan menolak gagasan itu. Menurutnya, semua orang yang
mengimani Katolik sebagai agamanya, berhak untuk membaca Alkitab. Akibatnya, ia
menerjemahkan sendiri Alkitab ke dalam Bahasa Jerman.

Reformasi Agama Protestan (1483-1546)

Awal gerakan reformasi Protestan yang terjadi di Jerman disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :

1. Jerman Negara Agraris


Pada sekitar abad XV-XVI Jerman merupakan negara agraris, dimana berarti Jerman cukup
tertinggal dibandingkan dengan negara-negara di Eropa lainnya. Baik industri ataupun perdagangan
belum berkembang dengan cukup baik di Jerman. Sifat katolisisme sangat kental disini, seperti
penjualan surat-surat pengampunan dosa (semakin mahal membayar, maka semakin besar pula dosa
yang diampuni) dan juga penyembahan yang dilakukan terhadap benda maupun tokoh-tokoh
keramat masih seringkali dilakukan.

2. Rakyat Jerman Menderita


Sebagian besar rakyat Jerman bermatapencaharian sebagai petani, mereka adalah orang-orang yang
cukup menderita akibat dari kekuasaan gereja Khatolik. Hal itu karena besarnya biaya pajak yang
harus mereka bayar. Gereja Khatolik seringkali membuat urusan tanah, ekonomi, ataupun harta
benda rakyat lainnya menjadi urusan mereka juga (mengambil alih).
Pada saat hal tersebut terjadi, Jerman sedang mengalami fase transisi sehingga kedua faktor diatas
menjadi berdampak serius bagi kehidupan rakyat di Jerman. Oleh karena itu muncullah gerakan
reformasi, dimana fase transisi ekonomi ini menjadi faktor fundamental dari terbentuknya gerakan
reformasi tersebut. Fase transisi berarti rakyat Jerman sudah mulai menuju kepada masyarakat
kapitalis (awalnya feodal). Masa-masa ini sangat rawan, dalam artian ada saja sedikit masalah atau
keributan yang timbul, maka akan dengan mudah terbentuk gerakan-gerakan (seperti gerakan sosial,
politik, atau agama).

Dampak Reformasi Agama (Protestan) di Barat

Ada dua dampak yang ditimbulkan akibat gerakan reformasi protestan menurut bapak Ahmad
Suhelmi dalam bukunya yang berjudul ”Pemikiran Politik Barat”, yaitu :

1. Dampak Sosial-Politik

Dampak sosial-politik ini bisa terjadi terhadap Eropa dan negara-negara Barat lainnya. Reformasi
Protestan ini membuat Western Christendom berubah menjadi negara-negara kecil tanpa adanya
pusat kekuasaan. Gerakan reformasi tersebut ternyata juga telah menumbuhkan benih-benih
gerakan demokratisasi politik. Gerakan reformasi tersebut telah menumbuhkan kesadaran betapa
pentingnya hak-hak politik dan juga kebebasan individu. Sehingga muncul gerakan-gerakan
demokratisasi dan anti kekuasaan totaliter. Rakyat juga lebih berani dalam melakukan kontrol
terhadap kekuasaan. Selain itu benih-benih kekuasaan absolut juga telah muncul di Eropa. Martin
Luther menegaskan bahwa ada hak-hak ketuhanan raja/para penguasa. Hal ini membuat raja merasa
meperoleh pembenaran doktrinal keagamaan untuk memerintah secara semena-mena, tanpa adanya
kontrol politik dari rakyat. Akhirnya membentuk sebuah negara kekuasaan. Gerakan reformasi juga
bertanggung jawab pada intoleransi dan perang-perang saudara dan agama di Barat yang
berlangsung terus menerus selama berabad-abad. Banyak terjadi pertikaian antara pengikut Calvin
dan Khatolik. Pertikaian tersebut menimbulkan beberapa kericuhan seperti kaum Protestan
menghancurkan bangunan-bangunan serta karya-karya sejarah umat Khatolik. Alasan umat
Protestan menghancurkan benda-benda tersebut adalah karena benda-benda tersebut dianggap tidak
bisa menjadi mediator antara manusia dengan Tuhan. Perang saudara juga terjadi di Perancis yang
hampir saja menghancurkan negara tersebut. Tidak hanya itu, ternyata reformasi ini juga telah
membuat terjadinya pembantaian massal dalam peristiwa malam berdarah pada malam St.
Bartholomeus. Catherine de Medici telah menyembelih 2000 orang Protestan hanya dalam waktu
semalam. Di Belanda juga reformasi membuat terjadinya pemberontakan oleh rakyat, terutama para
petani, dimana rakyat yang menolak untuk membayar pajak dibantai.

2.Terbelahnya Agama Kristen

Reformasi mengakibatkan terbaginya agama kristen menjadi sekte-sekte kecil, seperti Lutherisme,
Calvinisme, Anglicanisme, dan Katholikisme. Sebenarnya prinsip keagamaan diantara semua sekte-
sekte itu tidaklah berbeda jauh, namun ada kesan bahwa telah terjadi keretakan di dalam agama
Kristen ini. Di Eropa misalnya, pada Jerman Utara, Swedia, dan Skandinavia menganut
Lutheranisme. Di Skotlandia, Belanda, Switzerland, dan Perancis menganut Calvinisme. Di
Spanyol dan Italia menganut Katolisisme. Reformasi ini berakhir dengan pembagian dan pendirian
institusi-institusi baru, di antaranya Gereja Lutheran, gereja-gereja Reformasi, dan Anabaptis.
Gerakan ini juga menimbulkan Reformasi Katolik di dalam Gereja Katolik Roma.

Kesimpulannya...

Perubahan radikal yang menandai terbentuknya peradaban politik modern tersebut adalah:
pertama, gerakan Renaisans (Renaissance), suatu pencerahan dalam aspek kehidupan dunia yang
inspirasi awalnya digerakkan oleh adanya penemuan (invention) baru dibidang sains dan teknologi.

Kedua, gerakan Reformasi (reformation), suatu pencerahan dalam aspek kehidupan keagamaan
yang inspirasi awalnya digerakan oleh adanya kesadaran baru di bidang teologi Kristiani dan
aplikasi ajaranya.

Hal ini terlihat dengan jelas dalam konsepsi Barat tentang Tuhan pada periode tersebut. Kontradiksi
konsepsi Tuhan inilah yang tampaknya menjadi substansi kunci terjadinya reformasi agama di
Eropa. Di tengah keberhasilan sekular mereka, orang Barat semakin menaruh perhatian pada iman
melebihi masa-masa sebelumnya. Kaum awam merasa tidak puas terhadap bentuk agama yang tak
mampu lagi memenuhi kebutuhan mereka di dunia yang baru. Para reformis semisal Marthin Luther
dan Calvin menyuarakan kegelisahan ini dan menemukan cara baru dalam memandang Tuhan dan
penyelamatan. Akibatnya Eropa terpecah ke dalam dua kubu yang saling bertikai - Katolik dan
Protestan – yang hingga kini tak pernah benar-benar bebas dari kebencian dan saling curiga satu
sama lain. Selama masa Reformasi, kaum pembaharu Katolik dan Protestan menghimbau para
penganutnya agar meninggalkan kesetiaan lahiriah kepada orang-orang suci dan para malaikat, dan
memusatkan perhatian kepada Tuhan semata. Pada masa itu, Eropa tampaknya sedang terobsesi
oleh Tuhan. Namun demikian, pada awal abad ketujuh belas, beberapa diantara mereka terobsesi
tentang ‘ateisme’.

Penyimpangan itu terjadi dalam berbagai bentuk yang dapat di jelaskan sebagai berikut:

pertama, banyak pemuka Katolik memperoleh posisi sosial keagamaan melalui cara-cara yang
tidak etis dan amoral, dengan cara menyogok petinggi gereja untuk berkuasa. Sebagai contoh kasus
paus Leo X, ia mendapatkan $5.250.000 per tahun dari hasil penjualan jabatan-jabatan gerejani;

Kedua, penjualan surat pengampunan dosa (indulgencies), merupakan penyimpangan lainya yang
turut memicu lahirnya reformasi Protestan. Ketika membangun Gereja Sento Petrus di Roma
Vatikan, Paus Leo X, mengumpulkan dana dengan menjual surat itu dan bagi yang membelinya
akan memperoleh ampunan Tuhan. Besarnya ampunan berbanding lurus dengan besarnya uang
yang dibayarkan. Lebih jauh lagi, Paus berani mendeklarasikan bahwa surat pengampunan itu dapat
menghapus dosa orang-orang, yakni sanak keluarga, sahabat dan lainya yang telah meninggal
dunia.

ketiga, pada wilayah ritualitas, Gereja Katolik telah menjadi agen utama untuk veneration of relics;
sakramen suci atau ritus pemujaan terhadap benda-benda keramat atau tokoh suci (Yesus,Bunda
Maria, serta para santo) dalam sakramen suci. Para pemuka agama, pastor misalnya yang pada
hakikatnya memiliki sifat-sifat manusia juga mengalami pengkultusan, dengan dianggap keramat.
Bagi kalangan reformator, sakramen, pemujaan dan pengkultusan itu menimbulkan tahayul serta
mitologisasi yang tidak masuk akal. Hal lainnya paham Agustianisme yang mengasumsikan
manusia hanya sebagai objek penderita di hadapan Tuhan dianggap sebagai penyebab fatalisme
sosial.

Keempat, masalah penetapan pajak yang diterapkan imperium gereja Katolik. Penerapan pajak
dalam berbagai bentuk menyebabkan penduduk terutama kalangan kelas bawah (petani, pekerja)
serta lainya dalam keadaan tertekan dan menimbulkan kisis ekonomi serius, ketimpangan sosial
serta kecemburuan sosial di kalangan kaum bangsawan lokal yang kemudian menuntut agar pajak
itu dihapuskan. Dalam hal pembangunan Gereja terjadi ketimpangan antara wilayah Vatikan dengan
daerah lainnya, misalnya Jerman.

• Sumbangan Pemikiran Politik Para Reformator

Selain kontribusi Gerakan Reformasi secara keseluruhan terhadap perubahan peradaban di Eropa,
perlu juga dikaji pemikiran para agen yang berperan menggulirkan terjadinya reformasi tersebut.
Dalam konteks ini secara terbatas kita dapat mengkaji pemikiran politik Martin Luther (1483-1546)
dan John Calvin (1509-1564). Keduanya memiliki perbedaan gagasan secara artifiasial, tetapi tidak
secara subtansial. Gerakan yang dipelopori keduanya, sama-sama berakar pada tradisi protes,
menentang aristokrasi, dan terkait penegakkan pemerintahan sekuler.

Perbedaan diantara keduanya, bahwa Luther pemikiranya lebih liberal daripada Calvin, ia telah
mendirikan gereja-gereja negara yang dikuasai oleh kekuasaan politik yang bersifat sekuler, lebih-
lebih dengan perpecahan dari gereja yang tunggal, penindasan terhadap lembaga kebiaraan dan
badan-badan kepaderian serta penarikan kembali hukum Canon ini semua yang menghilangkan
rintangan untuk mempercepat perubahan itu. Dalam istilah Peter L. Berger, apa yang dikerjakan
oleh Luther di sebut debunking, penelanjangan segala mitos keagamaan dan sosial dalam lembaga
keagamaan kristiani. Luther membongkar mitos gereja dan Paus.

Di bidang politik, Luther secara tegas menolak doktrin universal Paus, menurutnya kekuasaan paus
tidak universal sebab Paus harus mengakui kekuasaan para pangeran atau penguasa sekuler menurut
prinsip-prinsip kenegaraaan yang berdasarkan nasionalisme. Tampaknya karena gagasan inilah yang
membuat Luther memperoleh dukungan luas dari para pengauasa dan bangsawan.

Kenyataan bahwa aliran Calvin khususnya di Prancis dan Skotlandia, berlawanan dengan
pemerintah, pada dasarnya dilakukan oleh pengikutnya untuk bertindak murtad suatu hal yang biasa
di Jenewa dilakukan, sepanjang ada harapan akan menangnya gerakan reformasi di Perancis. Calvin
lebih menempatkan dua pedang daripada adat Kristen dalam gereja, dan lebih memberikan
pimpinan kekuasaan keduniawian kepada pejabat gereja daripada penguasa keduniawian.

Hasilnya menyerupai pemerintahan para suci yang tidak mengenal toleransi. Ia lebih merupakan
kepercayaan dalam ajaran keduniawian tentang disiplin yang bersifat kuasi-militer. Dengan
demikian, Calvin menghabiskan kekayaan kata hukum Romawi untuk melukiskan kekuasaan
tertinggi dari Tuhan
atas dunia dan manusia. Kesusilaan tidak begitu banyak mengajar kasih terhadap sesamanya. Moral
inilah yang menjadikan gereja-gereja Calvin bagian dari Protestan yang militan sekali.
Pemikiran politik Calvin sendiri lebih condong ke arah oligarki daripada monarki, dalam ajaranya
hanya ada ruang untuk seorang raja saja, yakni Tuhan itu sendiri. Prinsip dasar ajarannya yang
terpenting adalah adanya hak gereja untuk menetapkan ajaran yang suci dan menjalankan
pengawasan umum dengan bantuan keduniawian. Oleh sebab itu dalam pandangan gereja Calvin,
apabila dalam suatu negara yang para penguasanya menolak untuk menerima kebenaran ajaranya
serta memaksakan disiplinnya, makai ia harus melepaskan kewajiban untuk taat dan
mempertahankan haknya untuk melawan.

Sekalipun pemikiran calvin dan Luther berpengaruh terhadap praktek penyelenggaraan


pemerintahan di Eropa, tetapi Gerakan Reformasi tidak menghasilkan teori politik protestan.
Berbeda dengan Katolik yang menghasilkan ajaran politik Katolik pada abad pertengahan.
Perbedaan dan persamaan tersebut karena keadaan dan peranan gereja di dalam agama.

Pada akhirnya kita dapat menarik kesimpulan bahwa Reformasi Agama di Eropa telah membawa
perubahan di bidang keduniawian, namun pada sisi teologis akan tetap menyisakan persoalan.
Kedua kekuatan antara Katolik dan Protestan itu masing-masing kukuh pada pendiriannya masing-
masing. Pertarungan ini tidak dapat diselesaikan melalui kalim kebenaran, melainkan oleh
kekuasaan. Sejarah Barat maupun Timur telah membuktikan bahwa kebenaran yang dipaksakan dari
penguasa di dalam bidang agama maupun politik akan cenderung ditolak, dan inilah pengalaman
yang dituai oleh Gereja Katolik Roma.

Perlu kita akui bahwa gereja sangat beruntung dengan adanya orang-orang seperti Martin Luther
ataupun John Calvin yang berhasil dalam keterbatasannya melihat ke arah mana dan ke tujuan mana
bahtera gereja ini sebaiknya dibawa.

Kita dapat berhenti sejenak dan mengamati 3 pertanyaan yang muncul pada saat era reformasi,
sebelum akhirnya kita berpindah ke abad 17 :

1.Dogma dogma agama telah meniadakan kesosialan yang ada, anti kemapanan adalah symbol dari
disintegrasi agama yang ada. Menurut kalian jelaskan ulasan di atas dalam sudut pandang masing-
masing penilaian yang berhubungan dalam reformasi agama yang kalian ketahui?

2. Jelaskan hubungan antara manusia dan agama yang di bentuk oleh nilai-nilai budaya di
sekitarnya, menurut teori Weber

3. Apabila kekuatan politik bisa merubah keduniawian dalam Reformasi Agama di Eropa, Maka
sebutkan dampak yang timbul dari gerakan reformasi tersebut?
Daftar Pustaka:
 
BUKU:

1) McDonald dan Lee Cameron, Western Political Theory: From its Origin to the Present, New
York: Hartcout, Brace and World Inc. 1968.
2) Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.

3) Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, Rajawali, Jakarta, 1982 .


4) Weber, Max, (1958): The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism New York: Charles
Scribner’s Sons.

Anda mungkin juga menyukai