Penerbit :
Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana
Jl. Adisucipto Penfui Kupang, Kode Pos, 85228 Indonesia
Tlp: +62380881580
http://lppm.undana.ac.id/
ISBN : 978-602-647842-9
Puji syukur patut dipanjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Pengasih atas
segala campur tanganNya sehingga penulis buku ini dapat terselesaikan .
Maximilian M. J. Kapa
ii
Halaman
KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. v
Halaman
Halaman
1.1.Latar Belakang
kepulauan yang terdiri dari 566 pulau. Dari jumlah pulau tersebut sebanyak 524
pulau tidak berpenghuni (BPS NTT, 2013). Diketahui pula bahwa tidak semua pulau
bernama, hanya 246 pulau yang telah diberi nama. Timor, Flores, Sumba dan Alor
didirikan pada tanggal 20 Desember 1958. Pronvinsi NTT terdiri dari 22 kabupaten
dan satu kota, empat kabupaten dan satu kota diantaranya terdapat di Timor Barat.
Gambar 1. Peta Wilayah Nusa Tenggara Timur (Biro Pusat Statistik NTT, 2013)
2
1.2. Penduduk
Jumlah penduduk NTT pada tahun 1971 adalah 2.295.297 orang, pada tahun
1980 sebanyak 2.737.166 orang, pada tahun 1990 sebanyak 3.268.644 dan pada
tahun 2000 berjumlah 3.706.536 orang. Dengan demikian, selama periode 1971-
1980 dan 1980-1990 dan 1990-2000 tingkat pertumbuhan penduduk di daerah ini
mengalami penurunan yakni berturut-turut 1.95, 1.79 dan 1.48 persen per tahun.
Jumlah penduduk NTT menurut data terakhir adalah 4.899.260 orang (BPS, 2013).
Kepadatan geografi penduduk pada tahun 1999 adalah 78 orang per kilometre
persegi (BPS NTT, 2000) sedangkan pada tahun 2010 bertambah menjadi 102 jiwa
per kilometre persegi (BPS NTT, 2011). Akan tetapi kepadatan penduduk antara
mencapai 46,6 sementara di Timor, Sumba, dan Alor berturut-turut adalah 39, 14
Data tahun 2011 menampilkan lebih dari setengah penduduk NTT (51
persen) adalah perempuan. Data terakhir menunjukkan bahwa lebih dari 75 persen
penduduk hidup di daerah pedesaan dan bekerja di sektor pertanian. Namun mereka
juga terlibat dalam berbagai lapangan kerja pedesaan seperti buruh tani, tukang,
8o-12o Lintang Selatan dan 118o -125o Bujur Timur. Luas wilayah daratan dari 556
pulau secara keseluruhan 47.349,9 km2 (BPS NTT,2012). Provinsi NTT berbatasan
langsung dengan Negara Timor Leste di bagian timur dan Benua Australia di bagian
selatan. Karena posisi yang berdekatan dengan benua Australia sehingga iklim NTT
3
juga ikut dipengaruhi oleh angin moonson dingin dari Australia. Namun kondisi
lingkungan yang kering karena curah yang singkat menjadikan daerah ini sulit untuk
mengembang sektor pertanian. Sesuai dengan klasifikasi iklim dari Oldeman maka
provinsi NTT dikelompok dalam tipe iklim D, yang dicirikan oleh musim hujan yang
pendek (3-4 bulan basah), dengan rata-rata curah hujan tahunan 1,200 mm. Rentang
curah hujan tahunan antara 700-1500 mm berlangsung dari awal bulan November
sampai Maret. Temperatur harian relatif konstan sepanjang tahun dengan temperatur
tertinggi terjadi pada Oktober (33.50C), dan terendah terjadi pada Juli (230C). Variasi
ini terjadi karena pengaruh topografi dan tutupan awan. Berbagai keterbatasan ini
menunjang perekonomian nasional. Hal yang sama juga terjadi di NTT, dimana
sektor pertanian berkontribusi besar dalam perekenomian wilayah NTT. Hal ini
dimaklumi karena hampir sebagian besar penduduknya (lebih dari 75 persen) tinggal
di daerah pedesaan dengan mata pencaharian utama sebagai petani. Hingga saat ini,
Indonesia secara umum dan ekonomi daerah Nusa Tenggara Timur secara khusus.
Sumbangan sektor ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) NTT terus
meningkat, yakni 47,2 persen pada tahun 1970, naik menjadi 51,14 persen pada
tahun 1990, namun mulai setelah tahun 1990 cenderung menurun. Sebagai teladan
kontribusi sektor pertanian pada tahun 2000 hanya sebesar 43,36 persen. Sepuluh
tahun kemudian (2010) menjadi 38,45 persen. Meskipun demikian, peranan sektor
4
jasa lain dan juga pendapatan tunai. Penyertaan ternak dalam usahatani
meningkatkan pendapatan rumah tangga. Bahkan Perkins dan Semali (1992) dan
ternak merupakan sumber dana (modal) untuk membeli faktor produksi pembiayaan
usahatani.
Hal yang sama dikemukakan oleh Wardoyo (1991) bahwa pada aras mikro
hampir seluruh modal usahatani bersumber dari ternak dan pada aras makro usaha
Sejalan dengan arah dan tujuan pembangunan di atas, sub sektor peternakan
sebagai bagian integral dari sektor pertanian harus diarahkan untuk meningkatkan
penyediaan bahan baku industri, meningkatkan ekspor dan substitusi impor dalam
rangka menaikan devisa. Merespon misi penting tersebut maka pemerintah bersama
Timur pada sektor pertanian. Fakta menunjukan bahwa kontribusi sektor ini masih
dominan terhadap PDB. Sektor pertanian di NTT bukan hanya menyerap tenaga
kerja dalam jumlah besar (>70 persen) tapi juga menyediakan bahan makanan utama
bagi masyarakat.
Memahami kondisi riel tersebut maka sejak awal Orde Baru (1966) sektor
betapa pentingnya sektor pertanian, berbagai upaya dan daya telah dilakukan
contoh program PUTP, penggunaan Inseminasi Buatan (IB), Embrio Transfer, dan
teknologi di bidang pakan telah diperkenal kepada petani terutama dalam rangka
Pada bagian ini akan dijelaskan lebih rinci mengenai Produksi Usahatani di
daerah semiringkai Nusa Tenggara Timur berdasarkan informasi dari hasil penelitian
terdahulu dan pustaka yang tersedia. Bab selanjutnya membahas sistem usaha
dibagian akhir akan disajikan Analisis usaha penggemukan ternak sapi bali potong
di NTT.
Sistem usahatani di NTT sangat unik dan berbeda dengan sistem usaha
pertanian di daerah lain di Indonesia. Secara umum, sistem pertanian di NTT dapat
dikelompokkan dalam dua sistem utama yakni sistem pertanian lahan kering
(semiringkai) yang secara umum terletak di daerah upland system dan sistem
Luas Lahan pertanian di NTT sekitar 73,4 juta ha dan hampir 90 persen
adalah lahan kering, dan sisanya lahan basah. Menurut Kepas (1990), sistem
berpindah, kebun (lahan kering), lahan sawah, mamar, pekarangan dan usaha ternak.
Pada umumnya setiap rumah tangga mengusahakan lebih dari satu cabang usahatani.
juga dikenal sebagai sistem usahatani campuran (mixed farming system). Berbagai
jenis sistem usahatani lahan kering yang dipraktek petani di NTT adalah sistem
penggembalaan savanah.
kayu, kacang tanah, padi ladang, ubi jalar, sorgum dan labu (waluh). Semua tanaman
8
ditanam dengan pola campuran kecuali padi ladang yang ditanam sebagai monocrop.
jenis tanaman dalam sistem pola tanaman campuran tergantung pada ketersediaan
(staple food) bagi rumah tangga petani di NTT, disusul ubi kayu. Ubi kayu
disamping sebagai makanan pokok kedua setelah jagung juga dimanfaatkan sebagai
pakan ternak. Ubi kayu biasanya ditanam pada lahan yang sama dengan jagung dan
produksi dan kebutuhan yang mendesak baru dijual. Oleh karena orientasi produksi
adalah untuk pemenuhan hidup keluarga maka teknologi berproduksi juga masih
sederhana.
Perkembangan Luas panen dan produksi dari beberapa tanaman pangan pada
sistem usahatani lahan lahan kering di NTT selama kurun waktu lima tahun dapat
Tabel 1. Luas panen beberapa Jenis tanaman pangan lahan kering di NTT,
2006 - 2010.
Jenis Tanaman 2006 2007 2008 2009 2010
Jagung (ha) 252.410 217.478 270.717 250.536 244.583
Ubi kayu (ha) 85.591 76.247 87.906 89.154 102.460
Ubi Jalar (ha) 14.480 12.940 13.437 12.902 14.963
Kacang tanah (ha) 17.356 18.517 21.894 18.396 16.574
Kacang hijau (ha) 22.956 24.694 28.015 24.277 15.767
Kacang Kedelai (ha) 2.694 1.529 2.326 1.910 1.758
Sumber: Badan Pusat Statistik NTT, 2007 -2011
Tidak bisa dipungkiri bagi masyarakat NTT tanaman jagung begitu penting
dan menempati urutan teratas dalam kaitannya dengan luas panen, dan produksi,
diikuti ubi kayu dan kacang hijau. Sedangkan luas panen tanaman kedelai jauh di
bawah tanaman lainnya karena kedalai baru diintrodusir ke NTT pada tahun 2000-
selama kurun waktu tahun 2006-2010. Mulai tahun 2008 terjadi penurunan luas
panen pada semua jenis tanaman pangan kecuali ubi kayu yang menunjukkan trend
menaik. Hal ini berimplikasi pada flukatuasi perkembangan produksi dalam kurun
10
waktu yang sama (Tabel 3). Kondisi tersebut terjadi karena adanya tekanan
penduduk, risiko dan ketidakpastian yang disebabkan oleh adanya variasi iklim, serta
Tabel 2. Total Produksi beberapa tanaman pangan lahan kering di NTT, 2006
- 2010.
Jenis Tanaman 2006 2007 2008 2009 2010
Jagung (ton) 582.964 514.360 673.112 638.902 653.621
Ubi kayu (ton) 939.010 794.121 928.974 913.053 1.032.538
Ubi Jalar (ton) 111.006 102.375 107.316 103.635 121.283
Kacang tanah (ton) 17.832 21.353 25.678 22.466 20.069
Kacang hijau (ton) 19.354 21.353 25.678 22.466 13.462
Kacang Kedelai(ton) 2.786 1.561 2.295 2.101 1.780
Sumber: Badan Pusat Statistik NTT, 2007-2011
Data pada tabel di atas menunjukkan adanya fluktuasi produksi selama kurun
waktu tersebut. Tidak satupun angka pertumbuhan produksi dari tanaman palawija
mengalami pertumbuhan positif pada tahun 2008 sebesar 30,86 persen dari tahun
sebelum. Akan tetapi pertumbuhan terus menurun sampai tahun 2010. Hal yang
sama juga terjadi pada produksi tanaman palawija lainnya. Adanya fluktuasi ini
lain diversivikasi, intensifikasi, ekstensifikasi dan rehabilitasi dan yang paling kini
daerah;
komposit & hibrida), (4) Perluasan areal tanam, (5) pengamanan produksi, (6)
peningkatan nilai tambah dan daya saing hasil melalui pengolahan hasil pertanian,
(7) penguatan kelembagaan petani sebagai cikal bakal koperasi, (8) penyediaan
fasilitas pemasaran, dan (9) dukungan pembiayaan atau modal (Gubernur NTT,
2011).
Apa yang menjadi tekad pemerintah NTT, sebenarnya tidak lain melanjutkan
program swasembada pangan dalam berbagai program aksi seperti intensifikasi yang
pestisida dan sistem irigasi yang baik. Di samping itu, di daerah lahan kering yang
menambah luas areal tanam, sedangkan untuk lahan marjinal dan kritis dilakukan
Lahan sawah (lahan basah) juga dikenal sebagai low land areas karena
terletak pada daerah dataran rendah. Luas areal lahan sawah relatif kecil dan
di NTT di mana irigasi tesedia petani juga menanam sayur dan kacang-kacangan
seperti kedelai. Tanaman sayur biasanya ditanam segera setelah padi dipanen.
Secara umum, lahan sawah dapat dikategorikan ke dalam dua bentuk yakni
sawah irigasi dan sawah tadah hujan. Total luas panen padi di NTT menurut data
dari BPS NTT (2011) adalah 106.604 ha dengan rata-rata produksi per ha 3.202 kg.
Di beberapa daerah seperti di Flores dan Sumba dimana irigasi teknis tersedia, petani
Di beberapa daerah dimana irigasi tersedia padi ditanam dua kali setahun,
setelah padi dipanen petani menanam sayur-sayuran bahkan jagung pada rotasi
13
berikutnya. Selain padi sawah, petani di NTT juga mengusahakan padi ladang. Hal
ini dipahami bahwa mayoritas lahan pertanian di NTT adalah lahan kering dan lahan
Luas panen dan jumlah produksi padi sawah dan padi ladang di NTT selama
Tabel 3. Luas Panen dan Produksi Tanaman Padi Sawah dan Padi Ladang di
NTT, 2006 - 2011
Luas (ha) Produksi (ton) Produktivitas(kg/ha)
Tahun
Sawah Ladang Sawah Ladang Sawah Ladang
2006 110.469 62.739 386.385 125.525 2 488 2.000
2007 114.769 51.984 399.124 106.504 3168 2.048
2008 124.810 63.097 440.999 136.920 3180 2.170
2009 127.896 66.323 464.703 142.656 3174 2.150
2010 113.515 61.159 427.799 127.896 2611 2.087
Sumber: Badan Pusat Statistik NTT, 2006 - 2011
Mengacu pada data yang tertera pada tabel di atas dapat disimpulkan bahwa
terdapat kecenderungan peningkatan baik dalam hal luas panen maupun jumlah
produksi tanaman padi sawah maupun padi ladang di NTT, meskipun pada tahun
2010 terjadi penurunan produksi seiring dengan berkurangnya luas panen. Namun
masyarakat NTT saat ini. Untuk itu, dalam jangka pendek perlu upaya strategis oleh
pemerintah untuk mengimport beras dan jangka panjang perlu dilaksanakan program
guna.
sayur mayur dan tanaman buah-buahan. Usaha hortikultura banyak diusahakan oleh
14
keluarga petani di NTT. Dimana terdapat perbedaan dalam hal penggunaan lahan.
petani, namun informasi terinci mengenai luas tanam dan produksi per komoditas
sangat bervariasi. Data yang baik yang tersedia selama lima tahun terakhir hanyalah
data tentang total produksi dan luas panen tanaman hortikultura secara keseluruhan
yang dicatat BPS NTT dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan NTT sebagaimana
Tabel 4. Luas Panen dan Produksi Beberapa Sayur-mayur di NTT, Tahun 2008
- 2010
kangkung, terung, kacang panjang, ketimun, cabe, kentang, wortel, bawang merah,
dan bayam.
15
terjadi kenaikan total produksi yang sangat signifikan pada semua komoditas sayur-
mayur. Sebagai teladan, total produksi komoditas bawang merah naik sekitar 133,6
persen dari tahun sebelumnya. Data tersebut sepertinya kurang realistis meskipun
data tersebut diperoleh dari BPS NTT dari sumber NTT dalam Angka.
adalah Alpukat, Jambu Biji, pisang, mangga, nenas, jeruk, pepaya, nangka, dan
sirsak. Total produksi dan luas panen dari beberapa tanaman buah-buahan
kenaikan. Kondisi tersebut dideterminasi oleh adanya kenaikan luas panen. Akan
tetapi, pada tahun 2010 terjadi penurunan produksi disebabkan adanya penurunan
luas panen.
16
rakyat dan perkebunan besar (privat) dimiliki oleh swasta dan pemerintah. Menurut
laporan dari Dinas Pertanian dan Perkebunan NTT (2003) kebanyakan usaha
perkebunan dikelola oleh petani kecil dan hanya sebagian kecil perkebunan dikelola
perkebunan yang disebut Perkebunan Inti Rakyat atau yang popular dengan nama
PIR. PIR dilaksanakan dengan tujuan untuk memperbaiki dan atau meningkatkan
perkebunan besar dalam bentuk penyediaan modal kerja bagi petani klien. Pada
awalnya hanya dua perusahaan yang terlibat dalam PIR yakni PT Bali Anacardia
dan PT Timor Mitra Niaga. PT Bali Anacardia bergerak dalam bidang usaha
Barat dan Sumba Barat. Kehadiran dua perusahaan besar tersebut telah memberikan
dampak positif pada pembangunan sub-sektor perkebunan di NTT dan juga telah
mete, kapas, vanili, kemiri, pala, pinang dan tembakau. Meskipun kontribusi sub-
sektor perkebunan terhadap PDRB daerah tidak signifikan, namun bila dilihat dari
tren peningkatan produksi dari tahun ke tahun cenderung meningkat yang dipicu oleh
adanya peningkatan luas tanam dan luas panen mempunyai prospek yang cerah
dimasa mendatang. Luas tanam tanaman perkebunan yang berdaya saing di NTT
Tabel 6 mengindikasikan tren luas tanam pada hampir semua jenis tanaman
perkebunan mengalami penurunan kecuali jambu mente, kakao, pala, kopi, kemiri,
dan cengkeh. Kenaikan luas tanam bagi tanaman tertentu juga berimplikasi pada
naik produksi, dalam kurun waktu 2006 sampai 2010 misalnya produksi kemiri
meningkat sebesar 11,97 persen atau rata-rata 2,4 persen pertahun. Sementara itu
dalam kurun waktu yang sama produktivitasnya juga meningkat sebesar 1.53 persen.
seperti jambu mente dan kakao. Program kemitraan antara sektor swasta dengan
petani kecil bertujuan untuk memberikan bantuan kepada para petani yang terbatas
Kelapa 159.600 159.679 160.770 158.631 158.836 65.516 53.211 67.157 62.164 40.462
Coklat 41.277 43.212 44.585 45.129 46.447 14.929 11.762 12.046 12.247 12.978
Jambu mente 163.178 170.117 171.403 170.827 176.948 35.329 37.326 39.699 39.869 37.732
Kemiri 80.238 78.648 78.997 79.124 79.251 20.079 20.967 22.201 21.407 22.483
Kopi 68.347 70.508 70.645 54.072 54.453 18.856 19.385 20.061 15.319 15.268
Vanilla 4.417 3.541 3.508 3.530 3.507 610 526 464 498 520
Cengkeh 13.046 13.248 13.508 13.700 14.495 932 1.475 1.409 1.425 1.615
Pinang 39.952 39.307 40.771 6.900 6.484 7.874 6.900 6.484 6.021 6.382
Provinsi NTT memiliki kondisi topografi, tanah dan vegatasi yang unik.
Keunikan tersebut dipadukan dengan kondisi sosial ekonomi telah menciptakan suatu
Sebagai daerah semi ringkai maka musim kering jauh lebih panjang dari musim
hujan. Disamping itu, topografi yang berbukit menyebabkan sebagian besar lahannya
adalah lahan marjinal yang tidak cocok untuk pengembangan tanaman pangan.
Pada kondisi seperti itu, usaha peternakan ternyata bisa beradaptasi dengan baik.
Oleh karena itu, pemerintah kemudian menetapkan sub sektor peternakan sebagai
beberapa decade yang lalu. Pada mulanya, petani hanya memelihara ternak-ternak asli
NTT seperti kerbau, kuda, kambing, domba, babi, dan ayam kampung. Ternak sapi baru
diperkenalkan oleh penjajah Belanda pada tahun 1912, dan sejak saat itu ternak sapi
menjadi salah satu ternak potong penting bagi petani (Djari dan Welkis, 1972).
penting. Berdasarkan hasil sensus peternakan tahun 1993 dtemukan bahwa 46 persen
dari total 551 430 rumah tangga tani memelihara ternak, (BPS, 1993) sedangkan pada
tahun 2012 jumlah rumah tangga ternak di NTT sebanyak 600.865 BPS NTT, 2013).
20
Dari berbagai hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti (Bamualin,
1996) ditemukan berbagai alasan yang mendasari keputusan petani untuk memelihara
ternak. Alasan-alasan tersebut, antara lain (1) lambang status sosial, (2) sumber tenaga
kerja pertanian, (3) tabungan, (4) sumber pendapatan. Sejalan dengan itu Satari (1985)
menyatakan bahwa ternak khususnya ternak ruminant merupakan sumber tenaga kerja
pertanian terutama membantu petani dalam kegiatan persiapan (pengolahan) lahan, juga
merupakan sumber pupuk dan tambahan pendapatan bagi rumah tangga tani.
campuran berimpak pada rendahnya alokasi sumber daya untuk memperbaiki produksi
pembangunan nasional jangka panjang (Repelita) hingga orde reformasi, namun masih
Iklim tropis yang panas dan humid merupakan kendala alam yang
samping itu, kurangnya pengetahuan dan metode untuk meningkatkan angka reproduksi.
Sejalan dengan itu, teknologi tepat guna seperti Inseminasi Buatan tidak tersedianya di
tingkat petani. Hal lain adalah tidak memadainya fasilitas akibat kurangnya modal kerja,
serta kurang memadainya jumlah betina dengan mutu genetik yang baik. Hal-hal
Usaha ternak di NTT masih bersifat usaha tradisional yang diwariskan secara
turun temurun sejak lebih dari 60 tahun silam. Usaha ternak tradisional dicirikan oleh
produksi (Djari and Welkis (1972). Dalam kaitannya dengan sistem pengelolaan,
ternak juga diikuti oleh penurunan kualitas produk bahkan penurunan tersebut jauh di
bawah harapan pasar. Keduanya menyarankan agar dalam waktu dekat perlu dilakukan
peningkatan kuantitas dan kualitas produk sehingga permintaan pasar bisa segera
produktivitas dan kesejahteraan petani peternak menunjukkan propek yang cerah. Salah
satu indikatornya ialah adanya indikasi kenaikan populasi semua jenis ternak yang
hampir mencapai 35 persen dengan pengeculaian pada ternak kuda yang mengalami
penurunan hampir sebesar -3,2 persen. Peningkatan populasi tertinggi adalah pada
Ternak domba, kambing, babi, dan unggas dikelompokkan sebagai ternak kecil.
Di antara kelompok ternak kecil, ternak domba merupakan ternak yang kurang diminati
status sosial, pemenuhan kebutuhan adat dan keagamaan. Selanjutnya Kapa, Rola-
Rubzen and Bent (2001) menguraikan bahwa ternak kecil berkontribusi nyata terhadap
kesejahteraan petani di Indonesia. Ternak kecil seperti kambing, babi dan unggas
merupakan sumber protein hewani dan juga sumber cash penting bagi keluarga petani
di perdesaan. Apabila petani dalam keadaan emergensi dan membutuhkan uang tunai
maka ternak kecil menjadi pilihan utama untuk dijual. Pemikiran yang sama
dalam kehidupan petani kecil di daerah tropis. Peranan tersebut nyata terlihat dalam
Meskipun peranan ternak kecil begitu penting dan populer di kalangan petani
kecil, status ternak kecil dalam sistem usahatani campuran seperti di NTT menempati
posisi sekunder (usaha sampingan) dan tanaman pangan masih dianggap sebagai cabang
usahatani utama. Distribusi ternak kecil di NTT pada Tahun 2010 tercatat pada Tabel 7
berikut.
23
Jenis Pulau
kampung, ayang ras, dan itik) menempati posisi teratas di antara kelompok ternak
kecil, di susul ternak babi. Sedangkan ternak kecil yang kurang popular di kalangan
petani adalah ternak domba. Hal ini dapat dipahami karena ternak domba ditengarai
sebagai pembawa virus penyakit mulut dan kuku bagi ternak sapi. Oleh karena itu
dan Rote. Konsentrasi populasi ternak antar pulau di NTT tidak merata, sebagian
Proses domestikasi kambing di daerah semi arid dan daerah arid terjadi sekitar
7500 dan 6500 BC (Harlan 1976, dikutip oleh Fuah 1994). Namun tidak ada informasi
yang jelas kapan ternak kambing masuk ke NTT. Meskipun dari sisi distribusi
(penyebaran) ternak kambing tidak merata di seluruh pulau di NTT. Laporan dari Dinas
24
Peternakan NTT tahun 2012 menyatakan bahwa ternak kambing hampir ditemukan di
semua pulau di provinsi ini. Hal ini mengindikasikan bahwa ternak kambing menjadi
petani. Hampir semua rumah tangga perdesaan terutama di dataran rendah memelihara
ternak kambing. Devendra (1986) menjelaskan bahwa ada banyak faktor yang
mendasari keinginan petani untuk memelihara ternak kambing, antara lain kambing
dapat dengan segera memenuhi kebutuhan mendesak rumah tangga akan daging dan
susu, mudah dipelihara dan dapat berkembang dengan baik sekalipun di lahan marginal,
efisien dalam mengkonversi bahan makanan ternak menjadi daging dan susu, dan
Data jumlah dan distribusi ternak kambing di beberapa pulau besar di NTT
cenderung merata di Pulau Timor Bagian Barat dan Flores. Dari jumlah 537.034 ekor
di NTT pada tahun 2005, 42,36 persen ternak kambing dipelihara oleh petani di daratan
Timor Barat dan populasi terendah terdapat di pulau Alor yakni 25.661 ekor (4.78
persen). Tabel 8 juga menunjukan bahwa secara makro sejak tahun 2005 sampai dengan
2010 terdapat kenaikan populasi ternak kambing yang signifikan yakni kurang lebih
12,93 persen atau rata 2,58 persen per tahun. Data BPS NTT (2013) memperlihatkan
populasi ternak kambing/domba di NTT pada tahun 2012 berjumlah 638.938 ekor
dengan populasi kambing/domba terbanyak ada di Flores yakni 44,71 persen (BPS NTT,
2013). Jika dibandingkan dengan ternak kambing, perkembangan ternak domba di NTT
kurang menggembirakan. Hal ini terjadi karena adanya dugaan bahwa ternak domba
pembawa virus penyakit FMD bagi ternak sapi sehingga tidak boleh dipelihara di daerah
pusat pengembangan ternak sapi seperti di Timor. Daerah pengembangan ternak domba
di NTT adalah di Pulau Sabu dan Rote. Data terakhir menunjukan bahwa hampir 55,42
persen ternak domba ada di Rote dan 32,07 persen ada di Pulau Sabu.
tetapi menurut Laporan Dinas Peternakan NTT (2012) produktivitas ternak kambing
penyakit dan sistem pemuliabiakan yang tidak terkontrol karena tatalaksana (system)
Menurut Devendra dan Burns (1970), peranan penting ternak kambing bagi
keluarga petani skala kecil di daerah tropis sebagai sumber daging, susu, kulit, dan bulu,
26
dibudidayakan terutama untuk daging dan susu, maka di daerah tropis ternak kambing
sebagai tabungan dari pada sebagai unit produksi, konsekuensinya populasi ternak
Produktivitas ternak kambing baik nasional maupun pada tataran regional (NTT)
masih rendah, hal ini ditengarai sebagai resultante dari kedudukan ternak kambing
dalam sistem usahatani masih dipandang sebagai cabang usaha suplemen (sambilan).
Kondisi ini diperparah oleh manajemen pemeliharaan ternak kambing yang dipraktek
Dalam berbagai literature (Prabowo, 2010) dikemukan bahwa paling tidak ada 5
(lima) bangsa (jenis) ternak kambing yang dikembangkan di Indonesia yakni Kambing
Kacang, Etawah, Peranakan Etawah, Jumnaparih, Jawarandu dan Saanen. Namun dari
jenis-jenis tersebut hanya Kambing Kacang, yang paling banyak dibudidayakan oleh
petani di NTT.
27
(1994) adalah jenis kambing lokal yang banyak diternakan di Malaysia dan Indonesia
kambing asli Indonesia berbadan kecil dan pendek dan leher pendek tetapi tebal,
punggunngnya melengkung, ukuran telinga sedang, ekornya kecil dan cenderung tegak,
kambing jantan berbulu agak panjang sedangkan yang betina berbulu pendek dengan
berat badan berkisar antara 35-40kg, dan warna kulitnya bervariasi hitam, coklat putih
(1968) yang dikutip oleh Devendra dan Burns (1994) kambing lokal ini memiliki tubuh
yang relative kecil dengan tinggi badan 50-60 cm. Baik jantan dan betina memiliki rata-
rata berat badannya 30 kg. Meskipun memiliki warna yang beraneka ragam namun
warna domoinannya adalah hitam dan coklat hitam dengan sedikit warna putih pada
cara pemeliharaan ternak kambing yang dipraktekkan oleh peternak lain di negara-
negara Asia Tenggara. Campur tangan pemilik sangat kecil demikian juga dengan
penggunaan faktor produksi lahan, tenaga kerja dan modal sangat terbatas. Kebanyakan
peternak kambing di daerah ini mengelola dan menguasai lahan yang sangat terbatas.
Tidak heran jika ketersediaan pakan bagi ternaknya sangat terbatas pula.
dipraktek oleh petenai di NTT yakni, (1) ternak dibiarkan merumput di lahan
28
penggembalaan (free grazing), (2) ternak digembalakan dan dijaga oleh pemilik
(supervised grazing), (3) ternak diikat di kebun, sawah atau lahan kosong milik petani,
dan (4) ada pula yang dikandangkan siang dan malam. Kapa, Rola Rubzen dan Bent
terbatas. Umumnya, pemilik membawa ternaknya pada pagi hari ke lahan komunal atau
padang penggembalam umum dan dibiarkan merumput sepanjang hari, kemudian pada
antara lain dengan mendatangkan kambing bangsa sedang seperti Kambing Etawah
yang diketahui sebagai salah satu bangsa kambing unggul di Indonesia. Sebagaimana
yang dilaporkan oleh Fuah (1994) program perkawinan silang dengan kambing Etawah
29
dari program crossed breeding ini dibangun di beberapa desa di Kabupaten Kupang
Timor Barat. Proyek ini mempergunakan pola (skema) kredit inkind. Skema yang
disediakan adalah setiap kelompok ternak diberikan lima ekor Kambing Etawah yang
terdiri dari satu ekor pejantan dan empat ekor betina. Lima tahun kemudian mereka
didistribusikan kepada kelompok ternak yang lain. Dalam praktek, para peternak juga
memanfaatkan pejantan unggul tersebut untuk dikawinkan dengan betina local. Skema
Berbeda dengan ternak kambing yang penyebarannya hampir di seluruh NTT, ternak
domba mayoritas ditemui di Kabupaten Sabu Raijua dan Rote Ndoa. Populasi Ternak
domba hal ini terjadi karena adanya larangan memelihara ternak domba di daerah
30
pengembangan ternak sapi Bali karena ternak domba ditengarai sebagai pembawa virus
Foot and Mouth Disease (FMD) bagi ternak sapi Bali. Namun demikian, di beberapa
kabupaten juga dijumpai ternak domba dalam jumlah (populasi) sedikit (Tabel
Timor Tengah 0 - 0 - - 0 - -
Selatan
Timor Tengah 37 37 38 39 - 39 39 32
Utara
Belu 24 24 25 26 - 26 26 -
Alor 5 5 6 7 - 7 - -
Ende 49 49 50 51 - 53 13 13
Manggarai 6 6 7 8 - 8 - -
Manggarai 51 53 54 55 - 57 58 -
Barat
Sumba Tengah 4 4 104 6 - 108 - -
Manggarai 51 52 53 54 - 56 - -
Timur
Sabu Raijua 19475 19999 20239 20482 - 20977 21229 21476
Malaka - - - - - 0 - -
Kota Kupang 41 42 43 44 - 46 50 51
serta bentuk hidung yang datar atau lemper. Ternak ini termasuk hewan asli Eurasia
serta tergolong jenis mamalia pemakan segala (omnivora), sehingga tidak sulit untuk
Domestikasi ternak babi telah berlangsung beberapa abad yang lampau oleh
bangsa Eropa dan Asia untuk dikonsumsi. Bahkan di Indonesia, daging Babi adalah
makanan yang umum masyarakat Indonesia sebelum masuknya agama Islam dari
keseharian, seperti suku Bali, Toraja, Papua, Batak, Manado, dan suku lain di
Indonesia Timur. Dalam masyarakat Jawa, babi disebut celeng dan juga merupakan
hewan ternak yang umum sebelum menyebarnya agama Islam yang mengharamkan
Ternak babi juga banyak dipelihara oleh petani di daerah yang mayoritas
penduduknya beragama non muslim seperti di NTT. Ternak babi bagi masyarakat
NTT dipandang sebagai sumber protein hewani sekaligus berperan penting dalam
berbagai acara adat dan kegiatan sosial lain seperti saat kematian, pernikahan, dan
sebagainya.
Babi asli Indonesia yang saat ini dipelihara berasal dari babi hutan yang
sekarang masih berkeliaran di hutan-hutan. Kurang lebih ada 13 sub-spesies babi liar
hidup Asia antara lain: babi Sumatra, Jawa, babi Bali, Flores, babi Sumba, Babi Nias
32
dan Malaysia. Ciri-ciri dari babi Jawa, sebagai berikut: Warna umumnya putih,
hitam, berbulu lebar; dengan bentuk badan tubuh pendek agak gemuk, punggung
agak cekung, badan dan moncongnya panjang, khusus untuk Babi Tangerang pada
Ciri -ciri Babi Bali, berwarna, belang hitam putih, berbadan kecil, kaki
pendek,
berasal dari dua jenis yakni babi local (Sumba dan Flores) dan babi unggul
digemari karena bangsa babi ini dapat beradaptasi dengan baik di lingkungan NTT
yang keras. Bangsa babi lokal mempunyai karakteristik spesifik badannya kecil
berwarna hitam dan coklat, penumpukkan lemak sedikit (Gambar 5), dan dapat
33
pemiliknya.
Ternak babi tergolong ternak dengan nilai ekonomis yang tinggi sebab ternak
ini merupakan salah satu sumber protein hewani yang tinggi, efisien dalam merubah
pakan menjadi daging dengan persentase karkas yang tinggi (mencapai 65 persen),
dapat menghasikan anak sampai dengan 12 ekor perkelahiran serta dapat beranak
Populasi ternak babi di Nusa Tenggara Timur pada tahun 2010 meningkat
sebesar 16,11 persen dengan rerata kenaikan 3,22 persen per tahun.
Table 10. Jumlah dan Distribusi Ternak Babi menurut pulau di NTT Tahun
2005-2010.
Pulau Tahun (ekor)
2005 2006 2007 2008 2010
Timor Barat*) 582.449 589.880 638.855 666.709 662.592
Flores 585.958 637.624 652.052 691.101 766.442
Sumba 88.595 93.075 96.722 100.540 105.780
Alor 62.235 65.382 69.920 74.722 77.617
NTT 1.391.237 1 385 961 1 457 549 1 533 072 1 615 487
Catatan: *)Timor Barat termasuk Rote dan Sabu
Sumber: Badan Pusat Statistik NTT (2006-2011)
NTT cukup prospektif yang ditandai pula dengan adanya kenaikan populasi yang
Tatalaksana Pemeliharaan
Sistem pemeliharaan usaha ternak babi yang dipraktek oleh petani di daerah
lahan kering NTT didominasi oleh sistem pemeliharan yang subsisten atau juga disebut
sistem tradisonal dalam jumlah kecil (1-4 ekor). Pada system pemeliharaan seperti
ini ternak babi dibiarkan berkeliaran serta makanannya masih tergantung pada sisa-
meningkatkan produksi dan mutu ternak babi maka perlu usaha perbaikan
daging babi juga turut meningkat. Industri kuliner berbahan dasar daging bertumbuh
secara singnifikan sehingga dengan sistem pemeliharaan yang ada tentu tidak dapat
introduksi babi ras (exotic breed) telah dilakukan dengan bantuan Dinas Peternakan
sejak tahun 1990. Menurut Dinas Peternakan NTT berbagai upaya telah dilakukan
perbaikan mutu babi local dengan mendantang kurang lebih 238 ekor babi VDL
melalui program babi Banpres. Skema ini diberikan kepada kelompok ternak dalam
bentuk kredit inkind, yakni setiap kelompok ternak diberi seekor pejantan dan tiga
ekor induk. Setelah tiga tahun mereka harus mengembalikan lima ekor anak babi
lainnya melalui prosedur dan persyaratan yang sama. Pada akhir setiap peternak akan
Ayam, itik, dan puyuh adalah kelompok unggas yang banyak diternak di
Indonesia. Namun di antara ketiganya ternak ayam yang paling digemari. yang
tinggi.
Ayam kampung adalah sebutan di Indonesia bagi ayam peliharaan yang tidak
ditangani dengan cara budidaya massal komersial serta tidak berasal-usul dari
kampung tidak memiliki istilah ayam kampung petelur ataupun pedaging. Hal ini
hal itu belum bisa menjadi sumber ekonomi yang diandalkan untuk saat itu. Problem
tersebut lebih disebabkan karena manajemen bisnis ternak ayam kampung yang
belum efektif dan efisien karenasistem pemeliharaan yang dibuat secara umbaran.
36
Pada model pemeliharaan ayam semacam ini, penyakit sulit dikontrol dan efisiensi
Tujuan utama pemeliharaan ternak ayam bagi petani kecil diperdesaan NTT
bebek juga termasuk ternak unggas yang dipelihara oleh masyarakat di NTT, namun
ternak unggas ini tidak sepopuler ternak ayam buras. Ternak itik umumnya dipelihari
oleh petani di sekitar areal persawahan terutama di Timor, Flores dan Sumba.
Di antara jenis ternak unggas yakni ayam buras atau dikenal dengan istilah
ayam kampong merupakan jenis unggas yang akrab dengan rumah tangga petani
lahan kering. Cara pemeliharan ayam kampong didomiasi oleh system pemeliharaan
ekstensif dimana ternak ayam dilepas berkeliaran untuk mencari makan. Pemberian
37
makan terhadap ternak ayam dilakukan sekali sehari yakni pada pagi hari ketika
ayam turun dari pohon tempat ayam bertengger. Jenis unggas lain seperti ayan negeri
(ayam ras), itik, dan puyuh, termasuk jenis unggas kurang yang popular di kalangan
industri ayam buras dari tahun 2005 sampai 2010 yang ditandai oleh tingkat
Fuah (1994) menjelaskan tiga sistem pemeiharaan ayam yang dilakukan oleh
petani di NTT yakni system ekstensif tradisional, semi intensif dan intensif. Usaha
dikerjakan oleh wanita dan anak-anak. Umumnya pada sistem usaha ternak
makan sendiri (Kapa, 1998). Lebih lanjut dijelaskan bahwa, campur tangan pemilik
dalam usaha ternak ayam hanya terbatas melepaskan ternak di pagi hari.
siang dan malam dengan teknologi budidaya yang tradisional dan belum sesuai yang
Spesialisasi ini terutama dapat dilakukan di daerah sekitar kota besar, seperti
saat ini sudah mulai berkembang. Tetapi untuk daerah pelosok pedesaan sistem
pemeliharaan masih merupakan gabungan untuk menghasilkan telur tetas atau telur
Jika pola manajemen ternak ayam kampung telah dilakukan dengan baik
maka tidak mustahil usaha ternak ayam kampung akan menjadi sumber ekonomi
bagi masyarakat. Tidak hanya itu produk ayam kampung menjadi komoditas yang
bisa diekspor.
meningkatnya jumlah permintaan di NTT. Usaha ayam potong (broiler) dan ayam
Peternakan NTT populasi ayam ras meningkat cukup signifikan dimana pada tahun
2005 populasinya 94.820 ekor meningkat menjadi 105635 ekor pada tahun 2010
(BPS NTT, 2005 dan 2011). Hal ini menunjukkan bahwa industry ternak unggas
Secara umum ternak besar terdiri dari dua golongan besar yakni ruminansia
(sapi dan kerbau) dan non ruminansia (kuda). Di antara ketiga jenis ternak besar,
ternak sapi yang paling banyak dipelihara sebagai sumber daging dan susu. Oleh
karena itu, pembahasan pada bagian ini lebih diarahkan pada ternak sapi. Akan tetapi
39
pembahasan secara umur untuk ternak kerbau dan kuda akan di paparkan
BPS NTT (2013) melaporkan bahwa populasi ternak besar boleh dikayakan
hampir merata di empat pulau besar di NTT yakni Timor Barat, Flores, Sumba dan
Alor. Namun demikian, sebagian besar peternak sapi bermukim di Timor Barat.
Tabel 12 mencatat sekitar 86 persen ternak sapi potong dibudidayakan oleh rumah
tangga tani di Timor Barat. Ternak kerbau dan kuda rupanya kurang berkembang
baik seperti ternak sapi. Kerbau banyak dijumpai di pulau Flores dan Sumba, sedang
ternak kuda banyak diperlihara oleh penduduk di daerah Sumba Timur. Data pada
tahun 2010 menunjukkan populasi ternak Kuda terbanyak dijumpai di Pulau Flores
dan Sumba (44,11%). Hal ini terkait erat dengan acara adat dan kebudayaan
Table 12. Distribusi Ternak Besar di Empat Pulau Besar di NTT, 2010.
Dari Tabel 12 di atas, dapat dilihat bahwa sekitar 87 persen ternak kuda di
NTT terkonsentrasi di Pulau Flores dan Alor. Dilain pihak sebanyak 44 persen
Kerbau terdapat di Pulau Sumba. Hal ini dapat di maklumi karena ternak kerbau
mempunayi nilai yang sangat tinggi dalam peristiwa adat dan budaya orang Sumba
jika produksi peternakan terutama ternak sapi rendah. Meskipun dari sisi permintaan
terhadap daging sapi baik pada aras domestik maupun internasioanl signifikan,
Ternak sapi potong di Indonesia berasal atau turunan dari beberapa bangsa
sapi yakni sapi Bali, Madura, Ongole, Grati dan sapi Kedah-kelantan (Moran, 1987).
Di antara bangsa sapi tersebut, sapi Bali dan Ongole merupakan dua bangsa dominan
di NTT. Sapi Bali terkonsentrasi di Pulau Timor, sementara sapi Ongole banyak di
Kirby (1979) menyatakan bahwa sapi Bali merupakan turunan dari Banteng
(Bos sondaicus yang juga dikenal dengan nama Bos javanicus atau Bos banteng).
Menurut Payne and Rollinson (1973) sapi Bali mulanya terkonsentrasi di Pulau Bali,
namun sekarang sapi telah menjelma menjadi asli Indonesia dan menyebar hampir
ke seluruh Indonesia.
Sapi Bali pertama kali diintrodusir ke Timor antara tahun 1912 dan 1920
(Payne and Rollinson, 1973; Pane, 1990). Di antara bangsa-bangsa sapi yang ada di
Indonesia, sapi Bali berkembang cukup cepat dan dimasa mendatang akan menjadi
jenis sapi yang penting di Indonesia (Pane, 1990). Menurut BPS NTT (2013)
populasi sapi Bali di NTT hampir mencapai 80 persen dari total populasi sapi yang
ada.
Sapi Bali mempunyai karakter fisik yang relatif uniform dan bentuk
badannya kompak berdada dalam, berbulu halus pendek dan bercahaya. Pada sapi
41
betina dan pedet berwarna coklat pucat, sedang jantan dewasa berwarna coklat gelap
dan kemudian hitam. Perubahan warna terjadi setelah sapi jantan berumur 1-1,5
dipenuhi sebagai sapi Bali murni, yaitu warna putih pada bagian belakang paha,
pinggiran bibir atas, dan pada paha kaki bawah mulai tarsus dan carpus sampai batas
pinggir atas kuku, bulu pada ujung ekor hitam, bulu pada bagian dalam telinga putih,
terdapat garis belut (garis hitam) yang jelas pada bagian atas punggung, bentuk
tanduk pada jantan yang paling edial disebut bentuk tanduk silak congklok yaitu
jalannya pertumbuhan tanduk mula-mula dari dasar sedikit keluar lalu membengkok
keatas, kemudian pada ujungnya membengkok sedikit keluar. Pada yang betina
bentuk tanduk yang edial yang disebut manggul gangsa yaitu jalannya pertumbuhan
tanduk satu garis dengan dahi arah kebelakang sedikit melengkung kebawah dan
pada ujungnya sedikit mengarah kebawah dan kedalam, tanduk ini berwarna hitam.
Sapi Bali sangat digemari oleh para petani kecil disebabkan sapi ini memiliki
dapat beranak setiap tahun; (2) mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap
lingkungan keras dan kritis, (3) Pertumbuhan tetap baik walau pun dengan pakan
yang jelek; (4) Prosentase karkas tinggi dan kualitas daging baik, (5) namun ternak
sapi Bali sangat rentan terhadap beberapa penyakit seperti Anthrax, Septicaemia
Epizootic (S.E.) dan Penyakit Mulut dan Kuku (FMD) (Pane, 1990 dan
Masudana,1990).
(Martojo, 1990; Chaniago, Bamulaim dan Liem, 1993; dan Payne dan Rollinson,
42
1973), sebagaimana disajikan dalam Tabel 13 berikut. Keragaan produksi sapi Bali
di semua provinsi tidak jauh berbeda terutama di tiga provinsi, NTT, NTB dan Bali.
Provinsi
Karakteristik
Sulsel NTT NTB Bali
Umur pubertas (Bulan) 20 22 22 20
Berat badan kawin I (kg) 165 170 170 180
Persentase kelahiran pertama 76 70 72 69
Interval kelahiran(hari) 475 520 510 530
Rerata Berat Lahir (kg) 12 12 13 16
Rerata Berat kastrasi (kg) 70 75 72 86
Rerata Berat Umur 1 Thn (kg) 113 115 115 128
Rerata Berat Jantan umur 2 Thn (kg) 210 220 222 235
Rerata Berat betina umur 2 Thn (kg) 170 180 182 200
Rerata Berat Jantan umur 5 Thn (kg) 350 335 360 395
Rerata Berat Betina umur 5 Thn (kg) 225 235 238.5 264
Sumber: Adaptasi dari Martojo, 1990.
rate yang tinggi sekalipun berada dalam linkungan yang kurang menguntunkan.
Umur pertama sapi betina muda bunting terjadi pada umur 30-36 bulan sedang
pejantan siap untuk kawin pada umur 36 bulan. Sedangkan Chaniago, Bamualim and
Liem (1993) mengemukakan, bahwa pada sistem cut-and-carry sapi betina pertama
kali melahirkan pada umur 33 bulan, sementara ternak sapi betina yang dipelihara
pada sistem penggembalan ekstensif di lahan kering maupun lahan basah rata-rata
terjadi pada usai 32 dan 35 bulan (Table 14). Di Australia yakni di Coburg
Peninsula, NT, sebagaimana dilaporkan oleh Kirby (1979) berat lahir anak sekitar
43
17 kg dengan pertambahan berat badan harian pada enam bulan pertama adalah 0.22-
Sistem Pemeliharaan
Karakteristik Digembalakan di Digembalakan di Diikat
Lahan Kering lahan sawah
Umur pertama kali melahirkan
(bulan) 35 32 33
Musim beranak Mar-Sept Juni-Nov Apr-Okt
Metode perkawinan:
Inseminasi Buatan (IB) (%) 9 8 5
Pejantan milik sendiri (%) 82 81 76
Pejantan pinjaman (%) 9 11 19
Tingkat harapan hidup sampai 91 68 81
disapih (%)
Sumber: Chaniago, Bamualim and Liem (1993)
mengawinkan ternaknya dengan metode IB. Dari Tabel di atas tdiak lebih dari 9
persen peternak baik di daerah lahan kering maupun lahan basah yang melakukan
Di Pulau Bali ternak ini dipelihara sebagai sapi Bali murni (pure breed). Di
beberapa daerah seperti Timor dan Sulawesi selatan, sapi Bali tetap dipertahankan
sebagai breed murni tetapi juga ada yang disilangkan dengan bangsa sapi lainnya
menyatakan bahwa populasi ternak sapi Bali di Indonesia kurang lebih berjumlah
503,000 ekor. Lima belas tahun kemudian, jumlahnya meningkat menjadi 966,000
44
ekor. Menurut data dari Ditjend Peternakan (2013) jumlah ternak sapi potong di
Indonesia Tahun 2012 adalah 15.981.000 ekor. Hal ini mencerminkan adanya
yang dicatat pada tahun 1967 sejumlah 331 924 ekor (Djari and Welkis 1972).
Jumlah dan distribusi ternak sapi di pulau-pulau besar di NTT dapat diikuti
Tabel 15. Jumlah dan Distribusi Ternak Sapi menurut pulau di NTT Tahun
2005-2010.
Tahun (ekor)
Pulau
2005 2006 2007 2008 2010
Timor Barat*) 425.805 434.439 443.158 452.034 478.032
Flores 59.117 60306 61.520 62.749 66.827
Sumba 47.520 48.442 49.382 50.331 53.014
Alor 1.268 1.295 1.323 1.350 1.406
NTT 537.710 544.482 555.383 566.464 599.279
Catatan: *)Termasuk Pulau Rote dan Sabu
sumber: Badan Pusat Statistik NTT (2006-2011)
Pada kurun tahun 2005-2010 populasi ternak sapi meningkat sekitar 2,29
persen pertahun . Populasi ternak sapi di NTT pada tahun 2005 adalah 537.710 ekor
sedangkan pada tahun 2010 berjumlah 599.279 ekor. Dari Tabel 15, diketahui bahwa
mayoritas (79 persen) ternak sapi Bali terkonsentrasi di Pulau Timor. Sedangkan sapi
Di NTT, ternak sapi sesungguhnya sebagian besar dipelihari oleh petani kecil
secara tradisional dengan maksud untuk mendapatkan daging, manure dan juga
sebagai sumber tenaga kerja pertanian (pada kegiatan pengolhan tanah). Di samping
45
dan di NTT khususnya dipandang memiliki nilai kerja dan nilai sosial yang tinggi
dan juga mempunyai nilai ekonomi sebagai sapi pedaging yang baik.
tergantung pada sistem usahatani yang dijalankan. Pellokila, Ginting dan Nisnoni
antara ternak dan sistem usahatani. Secara umum, ada dua sistem pemeliharaan
ternak sapi di NTT yakni sistem penggembalaan (sistem ekstensif) dan sistem paron
(cut and carry systems). Pembagian di atas di dasarkan pada pola pemberian
makanan.
NTT terutama di Pulau Timor Barat. Pada sistem ini ternak digembalakan di padang
penggembalaan umum dan umumnya oleh dua atau tiga orang anak-anak usia
remaja. Jumlah gembala tergantung jumlah ternak dalam satu kelompok pemilikan.
Pada kondisi tertentu dimana suplai tenaga kerja terbatas maka tugas ini dapat
(Kapa, 1994).
waktu yang banyak. Sebagai teladan, di desa Padamulya, Jawa Barat total waktu
musim hujan dan 9,1 jam pada musim kemarau (Sumanto et al. 1987). Sedangkan
46
sapi sepanjang tahun adalah rumput terutama pada musim hujan (Gambar 9). Pada
peralihan musim hujan ke musim kemarau (April-Juli) saat setelah panen, peternak
ladang untuk jerami jagung dan limbah tanaman pangan lainnya. Namun selama
musim kemarau, sumber utama pakan berasal dari dedaunan semak-belukar, hutan
Gambar 10. Sapi Bali Betina dan anak merumput pinggir jalan, hutan, ladang dan
diikat di sekitar lahan sawah
Kecukupan pakan bermutu menjadi kendali utama bagi produktivitas ternak
yang dipelihara secara ekstensif. Kekurangan pakan dalam jumlah maupun mutu
penggembalaan terutama pada musim kemarau. Adalah hal yang umum pada
(stocking rates) dan tekanan penggembalaan yang tinggi. Kehilangan berat badan
yang subtansial terjadi pada musim kemarau disebabkan karerna defisiensi kuantitas
dan kualitas rumput makanan ternak (Ford, 1989). Lebih lanjut, Ford (1989)
Timor dan Sumba adalah adanya invasi gulma Chromolaena odorata yang dengan
potong dengan cara diikat dan diberi makan secara teratur dan intensif dimana sapi
bakalan umumnya jantan berumur dua tahun digemukan selama kurang lebih 12
bulan sebelum dijual. Pemberian pakan dilakukan dengan cara cut and carry.
dan daun-daunan seperti lamtoro, gala-gala dsbnya sebanyak kurang lebih 15 kg dan
diberikan pada ternak paron 2-3 kali sehari yakni pagi dan sore. Sebagai pengganti
air maka peternak juga memberikan potongan batang pisang terutama pada siang
hari. Ternak sapi jantan bakalan berasal dari kelompok pembibit ternak yang dikelola
Kabupaten Kupang. Komponen utama pakan pada musim kemarau lamtoro dan
dedaunan dari berbagai jenis pohon yang ada di kebun dan di sekitar pekarangan.
Sebaliknya, pada musim hujan pakan ternak didominasi oleh rumput yang dicampur
49
Belanda pada tahun 1930an. Pada mulanya tanaman ini ditanam dengan tujuan untuk
mengontrol tanaman Lantana camara yakni tumbuhan belukar yang tumbuh subur
menutupi hampir sebagian besar areal padang penggembalaan di daerah Baun dan
populasi ternak sapi. Sepuluh tahun kemudian, tanaman lamtoro telah menyebar luas
Piggin dan Parera (1989)-pada tahun 1948 sekitar 465 ha lahan di Kabupaten Kupang
ditumbuhi oleh lamtoro, 437 ha diantaranya berada di daerah Amarasi. Pada saat
tanaman makanan ternak, ternyata lamtoro juga berperan dalam konservasi tanah
pemeliharaan ternak bersifat ekstensif menjadi usaha pertanian semi intensif. Setelah
tahun 1960, hampir seluruh kebun, pekarangan, dan lahan kritis dipenuhi oleh
Praktek seperti ini telah meingkatkankan produksi ternak sapi potong di NTT
(Metzner, 1981).
50
selanjutnya diberi makan dengan cut-and-carry system hingga mencapai berat pasar.
Sapi kemudian dijual melalui pedagang perantara untuk selanjutnya di ekspor ke luar
NTT.
dari system ini. Bila pada tahun 1940-an pemilikan ternak sapi sangat sedikit dimana
menurut Metzner (1981) hanya sekitar satu persen saja rumah tangga di Amarasi
memiliki ternak sapi namun dalam beberapa decade terakhir hampir 100 persen
rumah tangga memiliki ternak sapi. Jumlah pemikian berkisar antar 2-7 ekor dimana
banyak sedikitnya ternak yang dipelihara tergantung pada jumlah hijauan makanan
terhadap tegakan lamtoro berpengaruh sangat besar terhadap usahatani lahan kering
dan usaha sapi paron yang bergantung pada lamtoro. Kaunang and Kapa (1989)
menemukan paling tidak ada empat dampak negative dari serangan kutu loncat
lamoto tidak hanya menyediakan unsur hara nitrogen bagi tanaman pangan tetapi
juga lamtoro mengeliminasi gulma dari lading milik petani. Kedua, hilangnya
tegakkan lamtoro menyebabkan tanah terbuka berakibat pada erosi dan pencucuian
hara tanah. Ketiga. Ketiga, keberadaan gulma meningkat yang mereduksi total
53,12 persen per ha, sedang produksi ubi kayu berkurang sebesar 33,33 persen .
Keempat, bagi usaha ternak paron dengan menurun ketersediaan daun lamtoro berat
51
badan pasar tidak bisa lagi dicapai dalam kurun waktu yang sama (6-12 bulan) ketika
lamtoro tersedia berlimpah. Meskipun banyak tersedia hijauan lainnya namun tidak
membutuhkan waktu yang lebih banyak. Untuk mengantisipasi hal ini, peternak
mulai mengurangi jumlah sapi untuk diparon serta menanam tanaman lain seperti
gala-gala, gamal dan beberapa jenis hiauan makanan ternak unggul baik di
pada neraca sumberdaya NTT menunjukan bahwa luas padang rumput di NTT ±
1.78 juta ha. Namun Nulik dan Bamualim (1998) menyatakan bahwa luas padang
rumput NTT mendekati 1.9 juta ha dengan rerata daya tampung 3,23 unit ternak (UT)
per ha. Dibanding dengan luas padang rumput di pulau lainnya maka Sumba
memiliki padang rumput terluas di NTT yakni 770.600 ha dengan daya tampung 5,3
Tabel 16. Luas Padang Rumput dan Daya Tampung Padang Pengembalaan di
Nusa Tenggara Timur
Lokasi Luas Pulau Padang Rumput Unit Ternak Daya
(ha) (ha) (UT) Dukung
(UT/ha)
Timor Barat 1.699.090 705.040 537.110 1.3
buruk, penggembalaan yang tidak terkontrol, ketiadaan sumber air dan pakan saat
Kepemilikan terhadap lahan ini bersifat komunal dengan daya dukung yang
rendah yakni kurang dari 2 ha per livestock unit (Bamualim, Nulik dan Wirdahayati,
peningkatan jumlah ternak, upaya pengalihan fungsi lahan dan juga tekanan
4.2.1. Definisi
Satuan Ternak (ST) atau lasim disebut Animal Unit (AU) adalah suatu
ukuran yang mengkorelasikan berat badan dengan jumlah pakan yang dikonsumsi
ternak. ST sejatinya bermakna ganda yaitu ternak itu sendiri dan jumlah makanan
ternak yang dikonsumsi. Penggunaan ST ternak pada awalnya digunakan pada ternak
(rumput) terhadap jumlah ternak yang dapat dipelihara. Saat ini ST telah secara
entensif digunakan pada berbagai jenis ternak lainnya (Anonimous, TT). Konsep AU
menganalisis, dan mengatur makanan ternak yang dikonsumsi oleh ternak. Namun
54
pada konsep berat badan sapi betina 1.000 pound ( 454 kg) yang sedang menyusui
anak maupun tidak, dengan pertimbangan bahwa sapi tersebut setiap hari
sapi untuk menghitung Animal Unit (Satuan Ternak), maka di Australia digunakan
standar yang berbeda yakni Dry Sheep Equivalent (DSE) dimana perhitungan
memakai ternak domba, koefisien ini sangat luas penggunaannya di Australia dan
New Zealand.
DSE (Dry Sheep Equivalent) menurut Cradle Coast NRM dan Colin
McLaren, Attwood (1997) digunakan untuk menerangkan jumlah pakan atau bahan
kering (kg DM) per hari yang dibutuhkan oleh seekor domba kastrasi atau betina
stock or to assess the carrying capacity and potential productivity of a given farm or
area of grazing land”. Dengan kata lain DSE adalah suatu unit baku yang digunakan
di Australia untuk membanding kebutuhan makanan dari berbagai jenis ternak dari
kelas yang berbeda. DSE dipakai sebagai standar untuk menghitung stocking rates
dan daya tampung (carrying capacity) atau potensi produksi dari suatu padang
penggembalaan.
55
standar berat badan seekor domba yang dikebiri yakni 45 kg (ada juga yang
menggunakan 50 kg) berat badan (BB) setara dengan 1 DSE. Makin tinggi BB , dan
kebutuhan energy makin besar juga unit DSEnya. DSE rating dari beberapa jenis
Tabel 17. Dry sheep equivalents (DSE) untuk beberapa jenis dan kelas ternak
domba dan sapi.
Kelas Ternak DSE menurut berat badan
Domba (Merino) 15 kg 25 kg
Anak Domba Sapih
PBB*) 100g/hr 0,9 1.2
PBB 200g/hr 1,4 1.8
Domba Dewasa 40 kg 50 kg
Betina tak menyusui, Jantan Kastrasi
PBB 50g/hr 0,9 1,1
PBB 100g/hr 1.2 1.4
Betina bunting 6 bulan (anak 1ekor) 1,4 1,7
Betina Bunting 6 bulan (anak kembar 1,8 1,6
dua) 2,4 3,1
Induk dengan 1 anak 2,8 3.3
Induk dengan 2 anak
Sapi Potong (British Breed) 200 kg 250 kg
Anak yang disapih
PBB 0,25 kg/hr 5,5 6,5
PBB 0,75 kg/hr 8,0 9,0
Anak sapi umur 1 tahun 300 kg 350 kg
PBB 0,25 kg/hr 7,0 8,0
PBB 0,75 kg/hr 10 11
Sapi dewasa 400 kg 500 kg
Betina tdk menyusui jantan muda 7 8
(bakalan) 8 9
PBB 0,25 kg/hr
Bullock (pejantan castrasi) (Bakalan) 12 14
PBB 0,75 kg/hr
Catatan: PBB = Pertambahan Berat Badan
Sumber: Collin McLaren, Attwood, 1997
Konsep di atas tentu saja tidak sesuai untuk daerah tropis seperti Indonesia.
Oleh karena itu Direktorat Jenderal Peternakan melalui Direktorat Bina Usaha Petani
56
satuan ternak untuk setiap jenis ternak berlandaskan pada konsep atau ukuran yang
jika dalam bentuk bahan kering (BK) adalah 9,1kg. Seekor sapi muda (umur 1-2
tahun) mengkonsumsi setengah dari sapi dewasa yaitu 15-17,5 kg pakan maka hal
ini setara dengan 0,5 ST. Sedangkan untuk seekor pedet akan mengkonsumsi
seperempat dari sapi dewasa yakni 7,5-9 kg pakan atau setara dengan 0,25 ST.
Dengan kata lain, ST adalah ukuran yang digunakan untuk menghubungkan berat
badan ternak dengan jumlah pakan ternak yang dimakan. Satuan Ternak dapat
Dengan mengetahui ST, maka kita dapat mengetahui apakah suatu daerah
mengalami kekurangan pakan, atau daerah tersebut memiliki jumlah pakan yang
seimbang dengan jumlah ternak, atau dapat terjadi surplus pakan di suatu daerah.
Formula yang digunakan untuk menghitung potensi suatu wilayah adalah dengan
𝑆𝑇𝑚
membandingkan jumlah pakan yang tersedia dengan jumlah ternak ( 𝑆𝑇𝑡 ).
𝑆𝑇𝑚
1. Bila ( 𝑆𝑇𝑡 )< 1 maka daerah tersebut tergolong daerah yang kekurangan pakan
𝑆𝑇𝑚
2. ( 𝑆𝑇𝑡 )> 1 = maka daerah tersebut ada keseimbangan antara jumlah ternak dan
pakan
𝑆𝑇𝑚
3. ( 𝑆𝑇𝑡 )> 1 = maka daerah tersebut tergolong daerah yang surplus pakan.
(STm adalah satuan ternak untuk makanan ternak, dan STt adalah satuan
(TT)
Satuan ternak sebagai suatu koefisien teknis tidak saja berguna untuk
menghitung daya tampung makanan ternak suatu padang penggembalaan atau daya
tampung sisa hasil usahatani suatu areal pertanian terhadap jumlah ternak, ST juga
berguna untuk menghitung berbagai masukan dan keluaran finasial usaha ternak.
Kegunaan lainnya adalah untuk menghitung: potensi daerah, luas kandang, hasil
58
pupuk, estimasi harga ternak, biaya produksi (Tenaga kerja, breeding, pengobatan
dll).
setahun dapat memproduksi rumput dan dedaunan segar sebanyak 31,2 ton.
b) Sisa Hasil Pertanian: Sisa hasil tanaman pangan seperti jerami, dan
(TT)
59
c) Luas Kandang
sapi dengan komposisi: 5 induk sapi = 5 ST; 1 pejantan = 1 ST; 5 dara = 2,5 ST; 6
ekor jantan muda = 3 ST; dan 10 ekor anak = 2,5 ST, sehingga total ST seluruhnya
kebutuhan ternak.
lahan yang digunakan untuk penggembalaan dan sumber hijauan segar bagi ternak.
sehamparan area yang ditumbuhi oleh hijauan makanan ternak (HMT) untuk
memenuhi kebutuhan ternak pada periode waktu tertentu (biasanya dalam waktu
adalah suatu lahan atau area yang ditutupi oleh rumput ataupun HMT lainnya yang
beberapa jenis yakni, (1) padang penggembalaan alam, (2) padang penggembalaan
permanen telah ditingkatkan, (3) padang penggembalaan termporer, dan (4) padang
penggembalaan irigasi.
60
Ciri-ciri pasture yang baik yaitu produksi bahan kering tinggi, memiliki
kandungan gizi terutama protein kasar yang tinggi, tahan renggutan dan injakan serta
nisbah daun dan batang tinggi, mudah dikembangkan jika dikombinasikan dengan
kapasitas tampung sangat bertalian erat dengan jenis ternak, produksi hijaun rumput,
dapat ditentukan apakah lahan tersebut tersedian hijauan makanan ternak dalam
jumlah yang cukup dan berapa jumlah ternak yang dapat dilepas di lahan tersebut.
untuk 4 ekor ternak sapi dewasa atau jika diperuntukan bagi ternak domba maka
Merujuk pada hasil penelitian Nulik dan Bamualim (1998) yang dipaparkan
pada Tabel 7 di atas serta Bamualim, Wirdahayati dan Smith (1991), maka daya
tampung padang rumput di tiga pulau besar di NTT yakni Timor Barat mempunyai
kapasitas tampung 1,3, di Flores 3,1 dan di Sumba 5,3. Sedang data yang dikompilasi
Wirdahayati (2010) dari BPS NTT (2007) menemukan penurunan kapasitas tampung
yakni di Timor 0,85, di Flores 1,56 dan di Sumba 1,66. Hal ini dimaklumi karena
61
dasar perhitungan bukan Unit Ternak (UT) melainkan luas lahan penggembalaan dan
potensi yakni ketersediaan pakan ternak dari berbagai sumber baik yang berasal dari
hijauan makanan ternak, maupun dari sumber lain seperti hasil limbah pertanian
luas yakni 19.420 km2 atau kurang lebih 41 persen luas wilayah NTT. Dari luas
tersebut terdapat padang penggembalaan seluas 787.762 ha, kendati data ini berbeda
dengan data yang dikeluarkan oleh Dinas Peternakan NTT (2011) yaitu 832.228 ha.
Data tersebut memberi gambaran bahwa tersedia potensi rumput alam yang besar,
meskipun kualitasnya sangat rendah. Kondisi ini tentu saja bervariasi antar satu
pulau dengan pulau lainnya di NTT (Nulik dan Bamualim, 1998; Bamualim,
karena luas tetapi juga padang penggembalaan merupakan sumber hijauan makanan
ternak yang murah bagi ternak sapi, dengan kata lain cara pemeliharaan ternak secara
biaya pakan yang merupakan komponen biaya produksi terbesar dalam proses
Bukan saja kekurangan potensi hijauan makanan ternak dimana dari waktu ke waktu
terjadi penurunan kualitas, tetapi dari segi jumlah juga terus berkurang karena
perkebunan dan kehadiran gulma seperti chromolaena odorata (Riwu Kaho, 1993).
Kondisi musim hujan yang relatif singkat (3-4 bulan) sedang musim kemarau
dan Smith (1991) menyatakan akibat adanya fluaktuasi mutu dan jumlah pakan dari
musin hujan ke musim kemarau, maka ternak ruminansia yang dipelihara secara
musim hujan dan sebaliknya mengalami penurunan bobot badan yang signifikan
pada musim kemarau. Hasil penelitian Bamualim, Wirdahayati dan Smith (1991)
menunjukkan bahwa ternak sapi bali mengalami pertambahan berat badan antara 50-
100 kg per ekor selama musim hujan, dan akan mengalami penurunan berat sebanyak
30-50 kg per ekor selama musim kemarau. Produksi hijauan meningkat selama
bulan-bulan basah (Januari – Juni) dan menurun selama bulan-bulan kering (Juli –
Desember). Dari Hasil survey yang dilakukan oleh Bamualim dkk (1994) dibeberapa
daerah di NTT memperlihatkan produksi hijauan rumput tertinggi terjadi pada bulan
Maret dan terendah pada bulan Desember. Konsekuensi dari kondisi tersebut, terjadi
63
Peranan pakan yang bersumber dari luar padang rumput menjadi penting.
Sumber pakan lain terutama pada musim kemarau adalah beragam hijauan yang
berasal dari tanaman semak/pohon local seperti busi (Melochia umbelata), kabesak
(Acasia leucophloa), kapok (Ceiba petandra), waru (Hibiscus teleaceus) dan lain-
lain. Hijauan pohon leguminosa seperti lamtoro telah lama digunakan sebagai pakan
teutama pada sistem usaha penggemukan sapi, dan sejak beberapa tahun terakhir
upaya pengembangan tanaman leguminosa seperti gamal, kaliandra, dan acacia telah
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) mencapai Rp 0,4 triliun, yang berasal dari
61.279 ekor sapi yang diekspor dan 4.336.815 ton daging yang dihasilkan dari
48.187 ekor ternak sapi yang dipotong untuk konsumsi lokal (BPS NTT, 2008).
bergairah untuk mengembalikan NTT sebagai salah satu gudang ternak potong
nasional. Sebab, di masa lalu predikat tersebut pernah disandang tetapi kemudian
pengembangan ternak Sapi Bali, yang hingga kini belum juga dapat diatasi.
Menilik manfaat ekonomi yang sangat signifikan tersebut, maka usaha bisnis
sapi potong sebenarnya adalah pilihan yang tepat bagi peternak atau pengusaha di
bidang peternakan yang hendak mencari sumber penghasilan. Hal ini didukung oleh
Sejauh ini permintaan yang tinggi tidak dapat terpenuhi oleh produsen sapi lokal.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, pemerintah mengimpor daging dan susu dari
Sapi Bali merupakan sapi potong yang sangat baik dan memiliki beberapa
keunggulan seperti kualitas daging yang baik, persentase karkas yang tinggi, dan
kandungan lemak daging sedikit. Sapi Bali merupakan salah satu komoditas ternak
yang memiliki prospek bisnis yang baik untuk dikembangkan sebagai penghasil
potong perlu dilakukan analisis yang dapat menyediakan informasi lengkap tentang
hal-hal yang bertalian dengan biaya produksi, penerimaan dan pendapatan usaha
tersebut. Sehingga dapat menjadi acuan apabila ingin memulai usaha bisnis
ekonomi dalam usaha peternakan sapi potong seperti biaya, penerimaan, pendapatan
serta analisis finansial seperti Return on Investment (ROI) dan Benefit Cost Ratio
(BCR). Analisis finansial penting dilakukan sebagai arahan bagi pebisnis di bidang
sarana keuangan, sekaligus sebagai informasi yang sangat dibutuhkan institusi lain
termasuk usaha peternakan sapi adalah biaya produksi. Dalam teori ekonomi dikenal
dua jenis biaya yakni biaya tetap (fixed costs) dan biaya tidak tetap (variable costs).
Hasil penjumlahan dari kedua jenis biaya disebut Total Costs (Soekartawi, 1995, dan
Mubyarto,1995). Biaya tetap biasanya biaya yang dikeluarkan pada awal usaha dan
untuk kasus usaha ternak sapi misalnya biaya pembelian atau penyewaan lahan,
biaya pembuatan kandang dan bangunan lainnya, biaya peralatan dan inventaris,
biaya penyusutan terhadap kandang, peralatan dan inventaris lainnya. Biaya tetap
harus selalu dikeluarkan meskipun tidak ada proses produksi, karena sifatnya
tersebut sehingga biaya ini tidak dipengaruhi oleh volume usaha. Biaya variabel
untuk usaha ternak sapi potong meliputi, biaya-biaya untuk: pembelian pedet
(bakalan), pakan, upah tenaga kerja, pembelian obat-obatan, dan biaya tak terduga
66
5.2. Pendapatan
penerimaan usaha (Revenue) yakni hasil perkalian antara jumlah output (produk)
yang dihasilkan dengan harga produk tersebut. Pendapatan sejatinya adalah dapat
dikelompok menjadi dua yakni pendapatan kotor (Gross Income juga disebut Gross
Margin) dan pendapatan bersih (Net Income). Dalam formula matematika kedua
GI = R – BV
NI = PK – BT
Dimana:
analisis finasial suatu usaha. Benefit-cost ratio dapat dihitung dengan membandingkan
keuntungan atau pendapatan bersih usaha dengan total biaya produksi usaha. Secara
𝑇𝑅
𝐵/𝐶 =
𝑇𝐶
dimana:
B/C = benefit-cost ratio
TR = total penerimaan usaha ternak sapi bali
TC = total biaya produksi usaha ternak sapi bali
67
Nilai B/C banyak dipakai karena dengan menghitung B/C ratio, maka besarnya manfaat
dari proyek yang dilaksanakan dapat diprediksi. Adapun kriterianya adalah sebagai
berikut:
2. Jika B/C ratio < 1 = maka kegiatan usaha tersebut tidak layak
modal berkaitan dengan tingkat keuntungan usaha tani yang diperoleh. Besar
kecilnya nilai ROI ditentukan oleh besarnya keuntungan yang dicapai dan perputaran
modal.
untuk menghasilkan keuntungan neto. Semakin tinggi nilai ROI, maka semakin baik
dimana:
Dengan ketentuan:
- Bila ROI > tingkat suku bunga bank yang berlaku, maka usaha ini layak
untuk
dilaksanakan.
-Jika ROI ≤ tingkat suku bunga bank yang berlaku, maka usaha ini tidak layak
untuk dilaksanakan.
Analisis usaha ternak sapi bali potong adalah usaha komersial dengan tujuan:
sapi bali dengan lama masa penggemukan adalah 6 bulan yang berlokasi di lokasi
produksi ternak di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur. Adapun data teknis atau
1. Jumlah sapi Bali bakalan 20 ekor, umur ternak bakalan yang akan dipelihara
2. Berat badan awal sapi bakalan adalah 250 kg. Jika harga 1 ekor sapi bakalan Rp.
90.000.000.
3. Lama penggemukan 180 hari (6 bulan) dengan asumsi pertambahan berat badan
harian (ADG) 0,5 kg per hari sehingga dalam waktu 180 hari = 180 x 0,5 kg =
90 kg.
69
kg. Jika harga per kg hijauan pakan Rp 200 maka jumlah biaya pakan =
- Konsentrat yang tersedia secara lokal yakni dedak padi, putak, atau ampas
dibutuhkan selama 180 hari = 20 x 180 x 4kg =14.400 kg. Jika harga 1 kg
Rp 7.200.000
5. Kandang yang dibutuhkan untuk 1 ST seluas 3 m2 dengan biaya Rp. 400.000 per
m2, sehingga untuk 20 ekor (20 ST) dibutuhkan kandang seluas 60 m2 sehingga
periode 10 %.
10. Biaya-biaya tak terduga dihitung 10 persen dari total biaya produksi
70
11. Berat badan akhir pemeliharaan selama 6 bulan 250 kg + 90 kg = 340 kg. Jika
harga per kg berat hidup Rp 28.000 maka jumlah penerimaan dari penjualan 20
12. Bila 1 ekor sapi (1 ST) dapat menghasilkan feses 5 kg per hari maka dalam 6
bulan akan mendapatkan feses sebanyak 20 x 180 x 5 kg = 18.000 kg. Jika harga
per kg Rp 250 maka jumlah penerimaan dari penjualan feses adalah 18.000 x
A. MODAL USAHA
1. Biaya Investasi
a. Pembuatan kandang 60 m2 x Rp. 200.000 Rp. 12.000.000
b. Peralatan kandang Rp. 500.000
2. Biaya Variabel
a. Sapi bakalan 20 x Rp. 4.500.000 Rp. 90.000.000
b. Hijauan Makanan Ternak 108.000 x Rp 200 Rp.21.600.000
c. Konsentrat14.400 kg x Rp 500 Rp. 7.200.000
d. Pakan Tambahan Rp. 600.000
e. Obat-obatan Rp. 1.200.000
Biaya Tetap:
a. Penyusutan Kandang 10% x Rp.12.000.000 Rp. 1.200.000
b. Penyusutan Peralatan Kandang 10% x Rp 250.000 Rp. 25.000
c. Tenaga Kerja 2 orang 2 x 6 x Rp.500.000 Rp. 6.000.000
Total Biaya Tetap (BT) Rp. 7.225.000
Total Biaya Produksi (TC) =(BV+BT) Rp. 127.825.000
71
B. PENERIMAAN
a. Penjualan 20 ekor sapi 20 x 340 x Rp 28.000 Rp.190.400.000
b. Penjualankotoran (feses) 18.000 x Rp.250 Rp. 4.500.000
Total Penerimaan (TR) Rp. 194.900.000
Pendapatan Bersih (Net Profit) = (TR – TC) Rp.67.075.000
C. ANALISIS FINANSIAL
1. B/C Ratio
Untuk mengetahui apakah secara financial usaha ternak potong sapi bali
𝟏𝟗𝟒.𝟗𝟎𝟎.𝟎𝟎𝟎
𝐵/𝐶𝑅𝑎𝑡𝑖𝑜 = 𝟏𝟐𝟕.𝟖𝟐𝟓.𝟎𝟎𝟎 = 1,52
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa B/C Ratio>1 sehingga usaha tersebut layak.
Hal ini bermakna dalam satu periode proses produksi, dari setiap modal Rp. 10.000
Untuk melengkapi analisis B/C ratio maka Analisis Break even atau analisis
Titik Impas perlu dilakukan agar peternak produsen mengetahui bagaimana pola
hubungan antara volume penjualan, biaya, dan tingkat keuntungan yang akan
diperoleh pada tingkat penjualan tertentu. Dengan mengetahui Analisis break even
berapa besar harga jual minimal ternak sapi per kg berat hidup sehingga tidak
mengalami kerugian. Analisis BEP pada kasus ini adalah sebagai berikut:
penggemukan sapi ini akan mencapai titik impas jika 20 ekor sapi mencapai berat
badan minimal 4.565 kg atau pada harga jual Rp. 18.800 per kg berat hidup.
3. Analisis ROI
= 47,79 %
Nilai ROI dari usaha penggemukan sapi bali potong adalah cukup tinggi
yakni 47,79 %. Nilai ROI tersebut lebih tinggi dari tingkat suku bunga bank yang
saat ini berkisar antara 12 - 15 % yang bermakna bahwa usaha penggemukan ini
perusahan, artinya semakin tinggi nilai ROI maka semakin baik nilai investasi suatu
Indonesia, NTT memiliki keunikan yang dideterminasi oleh iklim kering basah yang
mengakibatkan sistem pertanian di daerah ini didominasi oleh pertanian lahan kering
yang dicirikan oleh musim panas yang panjang (8-9 bulan), konsekuensinya air
kering tanaman yang dominan adalah palawija yang juga merupakan makanan pokok
penduduk NTT. Pilihan komiditi yang sesuai dengan karakter alam NTT tersebut
adalah usaha ternak. Usaha ternak yang dominan adalah usaha ternak sapi potong
yakni Sapi Bali di Timor Barat dan sapi peranakan ongol di Sumba. Namun usaha
ternak dikelola di bawah sistem ekstensif tradisional yang sangat bergantung pada
rumput alam dan padang pengembalaan sebagai sumber pakan, sehingga tak dapat
penting dalam memenuhi kebutuhan daging sapi regional maupun kebutuhan daging
permintaan daging yang terus meningkat, serta tercapainya swasembada daging pada
tahun 2014.
ternak Sapi Bali yang diekspor maupun dipotong untuk konsumsi lokal, bukan
74
dihasilkan dari sistem peternakan yang produktif dan efisien, melainkan dari sistem
serius yakni penurunan populasi dan mutu ternak. Hasil survey Jelantik (2001) dan
Jelantik dkk (2007) mengungkapkan bahwa turn over rate ternak Sapi Bali di NTT
per tahun hanya berkisar 9,5% -16,11%. Artinya setiap peternak yang memelihara
10 ekor sapi, yang bersangkutan hanya mampu menjual 1-2 ekor setiap tahunnya.
sebagai penyebab produktivitas ternak Sapi Bali yang rendah, tetapi, penelusuran
literatur yang dilakukan para penulis bermuara pada sebuah simpulan bahwa ada tiga
faktor penyebab utama yakni penurunan angka kelahiran, tingginya angka kematian
maupun populasi sapi potong dalam rangka mendukung program kecukupan daging
(PKD) 2010, yang direvisi menjadi 2014. Penjabaran dari kebijakan tersebut pada
aras lokal (Propinsi NTT) adalah dengan ditetapkan NTT sebagai propinsi ternak
dan menjadikan sub-sektor peternakaan lebih khusus ternak sapi bali sebagai
Amareko, S.L., 1996. Peningkatan Daya Saing Komoditas Sapi Potong melalui
Pendekatan Agribisnis. Makalah disampaikan pada Seminar Pengembangan
Ternak Potong sebagai Komoditas Unggulan melalui Pendekatan Agribisnis
di Nusa Tenggara Timur. Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Anonimous,Tanpa Tahun. Usaha Peternakan Perencanaan Usaha, Analisa dan
Pengelolaan. Direktorat Bina Usaha Petani Ternak dan Pengolahan Hasil
Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian RI.
Anonimous,1990. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Propinsi NTT. Dinas
Peternakan Propinsi NTT. Kupang/
Anonimous, 1995. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Propinsi Nusa
Tenggara Timur Tahun 1994-2018). Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara
Timur. Kupang.
Anonimous,2014. Jenis dan ciri-ciri Babi. http://www.pojok-
vet.com/peternakan/jenis-dan-ciri-ciri-babi.html. Diakses tanggal 12
September 2014.
BPS NTT. 1993. Propinsi Nusa Tenggara Timur dalam Angka. Biro Pusat Statistik
Nusa Tenggara Timur
BPS NTT. 2000. Propinsi Nusa Tenggara Timur dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Nusa Tenggara Timur.
BPS NTT. 2006. Propinsi Nusa Tenggara Timur dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Nusa Tenggara Timur.
BPS NTT. 2007. Propinsi Nusa Tenggara Timur dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Nusa Tenggara Timur.
BPS NTT. 2008. Propinsi Nusa Tenggara Timur dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Nusa Tenggara Timur.
BPS NTT. 2011. Propinsi Nusa Tenggara Timur dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Nusa Tenggara Timur.
BPS NTT. 2012. Propinsi Nusa Tenggara Timur dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Nusa Tenggara Timur.
BPS NTT. 2013. Propinsi Nusa Tenggara Timur dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Nusa Tenggara Timur.
Bamualim, A. 1996. Ternak Potong sebagai Komoditas Unggulan melalui
Pendekatan AgribisnisDi Nusa Tenggara Timur. Makalah disampaikan pada
Seminar Pengembangan Ternak Potong sebagai Komoditas Unggulan melalui
Pendekatan Agribisnis di Nusa Tenggara Timur. Universitas Nusa Cendana,
Kupang.
Chaniago, T.D., A. Bamualim, dan C. Liem, 1993. Draught Animal System in Nusa
Tenggara Timur. Dalam Teleni, E., R.S.F. Campbell, dan D. Hoffman (Eds):
Draugth Animal Systems and Management: An Indonesian study. Australian
Centre for International Agricultural Research, Canberra.
76
Devendra, C. & Burns, M., 1970. Goat production in the tropics. Common Wealth
Agricultural Bureaux, Farnham Royal Bucks. England.
Devendra, C., 1979. Goat and sheep production potential in the ASEAN region.
World. Anim. Rev. (FAO), 32:33-41.
Devendra, C., 1986. Prospects for developing small ruminant production in humid
tropical Asia, dalam Timon, V.M. and J.P. Hanrahan (Eds). Small ruminant
production in the developing countries. Proceedings of an Expert Consultation
held in Sofia, Bulgaria, 8–12 July 1985. FAO Animal Production And Health
Paper 58. Food And Agriculture Organization Of The United Nations, Rome.
Devendra, C. dan M. Burns. 1994. Produksi Kambing di daerah Tropis. Institut
Teknologi Bandung, Bandung.
Djari, P., dan D. Welkis. 1972. Usaha Paron di Nusa Tenggara Timur. Inspektorat
Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kupang.
Dodo, E. 2007. Analisis Kelayakan Usaha Ternak Kambing Melalui Penelitian Aksi
Partisipatif. http:/repository.ipb.ac.id. Diakses tangal 27 September 2014.
Ford, B. 1989. Forage Development. NTT Integrated Development Project. ACIL
Australia Pty.Ltd. Melbourne.
Fuah, A.M. 1994. A Study of Small Livestock Production systems in West Timor.
A Thesis submitted to The University of Queensland for the Degree of Doctor
of Philosophy. Brisbane, Australia.
Harjodipura, B. 1979. Masalah Populasi Sapi Bali, Pemeliharaan dan
Reproduksinya. Media Veteriner, 1: 35-43.
Hardjosubroto, W. 2004. Alternatif Kebijakan Pengelolaan Berkelanjutan
Sumberdaya
Genetik Sapi Potong Lokal dalam Sistem Perbibitan Ternak Nasional.
Wartazoa 14(3): 93-97.
Jelantik, I.G.N. 2001. Improving Bali Cattle (Bibos banteng Wagner) Production
Through Protein Supplmentation. PhD. Thesis. Faculty of Agric. Science,
George August University, Gottingen.
Jelantik, I.G.N., J.H Manggol, Y. Jegho, H. Sutejo, A. Keban, P. Kune, M. Deno
Ratu, M.M. Kleden, J. Sogen, P. Kelden, J. Jermias,dan C. Leo Penu, 2007.
Kajian Mutu Genetik Sapi Balidi Nusa Tenggara Timur. Laporan Akhir. Fapet
Undana.
Kapa, M.M.J. 1994. A Comparison of Beef Cattle Production Systems in West
Timor Indonesia. Unpublished Master Thesis The University of Melbourne,
Australia.
Kapa, M.M.J., F. Rolla-Rubzen, dan M. Bent, 2001. An Economic Model of Small
Ruminant Production in Small Scale Dryland Farming Systems in West Timor,
Indonesia. Paper presented to Australian Agricultural and Resource
Economics Society 45th Annual Conference 22 – 26 January 2001, Adelaide,
SA.
77
SISTEM USAHA TANI DI DAERAH LAHAN KERING NUSA TENGGARA TIMUR, 2018
ISBN: 978-602-647842-9
Penerbit :
Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana
Jl. Adisucipto Penfui Kupang, Kode Pos, 85228 Indonesia
Tlp: +62380881580
http://lppm.undana.ac.id/