Anda di halaman 1dari 88

SISTEM USAHA TANI

DI DAERAH LAHAN KERING


NUSA TENGGARA TIMUR

Dr.Ir. Maximilian M.J. Kapa, M.Agr.Sc


SISTEM USAHA TANI
DI DAERAH LAHAN KERING
NUSA TENGGARA TIMUR

Dr.Ir. Maximilian M.J. Kapa, M.Agr.Sc


Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

SISTEM USAHA TANI DI DAERAH LAHAN KERING


NUSA TENGGARA TIMUR

Hak Cipta pada Penulis


Hak Penerbit pada Lembaga Penelitian Undana

Cetakan Pertama, November 2018

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang


All Right Reserved

Penulis : Maximilian M.J. Kapa


Perancang Sampul : Ivan H
Penata Letak : Ivan H
Editor : Ir. Lince Mukkun, MS, PhD

Penerbit :
Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana
Jl. Adisucipto Penfui Kupang, Kode Pos, 85228 Indonesia
Tlp: +62380881580
http://lppm.undana.ac.id/

ISBN : 978-602-647842-9

Vii + 83 hal. 15,5 cm x 23,5 cm

Dilarang keras mereproduksi sebagian atau seluruh isinya


dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penulis
i

Puji syukur patut dipanjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Pengasih atas
segala campur tanganNya sehingga penulis buku ini dapat terselesaikan .

Buku dengan judul Sistem Usahatani di Daerah Lahan Kering di Nusa


Tenggara Timur, berisikan suatu kajian tentang Peranan dan Produktivitas sistem
usahatani dan produk ternak sapi potong terhadap pembangunan ekonomi Nusa
Tenggara Timur, Sistem Pemeliharaan Ternak sapi potong sebagai salah satu
komponen penting sistem usahatani yang dipraktekan serta berbagai kendala dan
potensi pengembangan ternak sapi potong di NTT.

Dalam rangka penyelesaian Buku ini, penulis mendapatkan berbagai


bantuan, arahan dan bimbingan yang tak ternilai harganya untuk itu patutlah
penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga yang ditujukan kepada
Pihak Pimpinan dan semua Civitas Akademika Universitas Nusa Cendana, Serta
pimpinan dan semua dosen dan juga staf kependidikan pada Fakultas Pertanian
Undana, khususnya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
mengambil bagian dalam penulisan buku guna memerkaya refensi di bidang
pertanian lahan kering, Bantuan dana dari Undana melalui Dekan Fakultas
Pertanian sangat diapresiasi. Tuhan Yang Maha Esa akan membalas segala jasa
baik bapak/ibu.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu
segala kritik dan saran yang bersifat membangun demi sangat diharapkan dalam
upaya perbaikan makalah ini diwaktu mendatang, dan untuk itu sekali lagi
diucapkan terima kasih.

Kupang, November 2018


Penulis

Maximilian M. J. Kapa
ii

Halaman
KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. v

BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1


1.1.Latar Belakang............................................................................................. 1
1.2.Penduduk .................................................................................................... 1
1.3.Letak Geografi ............................................................................................. 2
1.4.Keragaan Sektor Pertanian Nusa TenggaraTimur ....................................... 3

BAB. II. SISTEM USAHATANI DI NUSA TENGGARA TIMUR ..................... 6


2.1.Sub-sistem Usahatani Ladang (Lahan Kering)............................................ 7
2.2.Sub-sistem Usahatani Sawah (Lahan Basah) .............................................. 12
2.3.Sub-sistem Usahatani Hortikultura.............................................................. 13
2.4.Sub-sistem Usaha Perkebunan .................................................................... 16

BAB III SISTEM USAHA TERNAK .................................................................. 19


3.1.Ternak Kecil ................................................................................................ 22
3.1.1.Ternak Kambing ................................................................................. 23
3.1.2.Ternak Babi ....................................................................................... 31
3.1.3.Ternak Unggas ................................................................................... 35
3.2.Ternak Besar ............................................................................................... 38
3.2.1.Ternak Sapi Bali Potong ..................................................................... 40
3.2.2.Populasi Ternak Sapi .......................................................................... 43
3.2.3.Manajemen Pemeliharaan Ternak sapi potong .................................. 43
3.2.3.1.Sistem Pemeliharaan Ekstensif ............................................... 44
3.2.3.2.Sistem Pemeliharaan Semi Intensif (Paron) ........................... 48

BAB IV SISTEM PADANG PENGGEMBALAAN............................................ 52


4.1. Potensi dan Daya Dukung ......................................................................... 52
4.2. Satuan Ternak ........................................................................................... 53
4.2.1.Definisi .............................................................................................. 53
4.2.2.Kegunaan Satuan Ternak ................................................................... 57
4.3.Kapasitas Tampung (Carrying Capacity) .................................................. 58
4.4.Potensi Produksi Pakan Lahan Kering ........................................................ 61

BAB V PERHITUNGAN USAHA BISNIS SAPI POTONG .............................. 64


5.1.Biaya Produksi............................................................................................. 65
5.2.Pendapatan .................................................................................................. 66
5.3.Benefit Cost Ratio (B/C Ratio).................................................................... 66
5.4.Return on Investment (ROI) ........................................................................ 67
5.5.Analisis Usaha Ternak Sapi Bali ................................................................. 68
iii

BAB VI PENUTUP ............................................................................................... 72


A. Kesimpulan .................................................................................................. 72
B. Saran ............................................................................................................ 73

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 75


iv

Halaman

Tabel 1. Luas panen beberapa jenis tanaman pangan lahan kering 9


di NTT, 2006 - 2010
Tabel 2. Total Produksi beberapa tanaman pangan lahan kering di 10
NTT, 2006 - 2010
Tabel 3. Luas Panen dan Produksi Tanaman Padi Sawah dan Padi 13
Ladang di NTT, Tahun 2006-2011
Tabel 4. Luas Panen dan Total Produksi Beberapa Tanaman 14
Sayur-mayur di NTT, Tahun 2008-2010
Tabel 5. Luas Panen dan Produksi Beberapa Tanaman Buah- 15
buahan di NTT, Tahun 2008 - 2010
Tabel 6. Perkembangan Luas Tanam dan Produksi Tanaman 18
Perkebunan di NTT, Tahun 2006-2011.
Tabel 7. Distributisi ternak kecil berdasarkan pulau di NTT, 2010 23
Tabel 8. Jumlah dan Distribusi Ternak Kambing/domba menurut 24
pulau di NTT, Tahun 2005-2010
Tabel 9. Jumlah dan Distribusi Ternak Babi menurut Kabupaten 30
di NTT, Tahun 2010-2017
Tabel 10. Jumlah dan Distribusi Ternak Babi menurut pulau di 33
NTT Tahun 2005-2010.
Tabel 11. Jumlah Populasi Ternak Unggas di NTT, Tahun 2005- 36
2010
Tabel 12. Distribusi Ternak Besar di Empat Pulau Besar di NTT, 39
Tahun 2010
Tabel 13. Beberapa Tampilan Produksi Sapi Bali di Empat Propinsi 42
di Indonesia
Tabel 14. Tampilan Produksi dan Reproduksi Sapi Bali di Timor, 42
NTT
Tabel 15. Jumlah dan Distribusi Ternak Sapi menurut Pulau di 44
NTT, Tahun 2005-2010
Tabel 16. Luas Padang Rumput dan Daya Tampung Padang 52
Pengembalaan di Nusa Tenggara Timur
Tabel 17. Dry Sheep Equivalent (DSE) untuk Beberapa Jenis dan 55
Kelas Ternak
Tabel 18. Satuan Ternak untuk Berbagai Jenis Ternak 57
Tabel 19. Daya Dukung Tanaman Pangan sebagai sumber Pakan 58
v

Halaman

Gambar 1. Peta Wilayah Nusa Tenggara Timur 1


Gambar 2. Usahatani Lahan Kering (ladang) di Kecamatan 8
Kupang Timur, Kabupaten Kupang
Gambar 3. Usahatani Padi Sawah Beririgasi teknis di 12
Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang
Gambar 4. Ternak Kambing Kacang yang dikandangkan 28
Gambar 5. Peternakan Domba Ekor Gemuk di Kecamatan 29
Sabu Tengah, Kabupaten Sabu Raijua,NTT
Gambar 6. Kelompok Ternak Babi yang dibiarkan berkeliaran 32
di Tepi Jalan,di Kabupaten Sumba Timur, NTT
Gambar 7. Induk Ternak Babi dan anak-anaknya pada pola 34
pada sistem pemeliharaan Ektensif
Gambar 8 Kelompok Ayam Buras yang dipelihara secara 36
ekstensif
Gambar 9. Kelompok Ternak Sapi Bali yang dipelihara secara 46
Ekstensif di Kabupaten Kupang, NTT
Gambar 10. Sapi Bali Betina dan anak merumput di pinggir 47
jalan, hutan, ladang dan diikat di sekitar lahan
sawah
Gambar 11 Usaha Penggemukan Sapi Bali Jantan (Sistem 48
Paron), di Kecamatan Amarasi, Kabupaten
Kupang, NTT
1

1.1.Latar Belakang

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu provinsi

kepulauan yang terdiri dari 566 pulau. Dari jumlah pulau tersebut sebanyak 524

pulau tidak berpenghuni (BPS NTT, 2013). Diketahui pula bahwa tidak semua pulau

bernama, hanya 246 pulau yang telah diberi nama. Timor, Flores, Sumba dan Alor

(disingkat FLOBAMORA) adalah empat pulau besar di provinsi yang resmi

didirikan pada tanggal 20 Desember 1958. Pronvinsi NTT terdiri dari 22 kabupaten

dan satu kota, empat kabupaten dan satu kota diantaranya terdapat di Timor Barat.

Gambar 1. Peta Wilayah Nusa Tenggara Timur (Biro Pusat Statistik NTT, 2013)
2

1.2. Penduduk

Jumlah penduduk NTT pada tahun 1971 adalah 2.295.297 orang, pada tahun

1980 sebanyak 2.737.166 orang, pada tahun 1990 sebanyak 3.268.644 dan pada

tahun 2000 berjumlah 3.706.536 orang. Dengan demikian, selama periode 1971-

1980 dan 1980-1990 dan 1990-2000 tingkat pertumbuhan penduduk di daerah ini

mengalami penurunan yakni berturut-turut 1.95, 1.79 dan 1.48 persen per tahun.

Jumlah penduduk NTT menurut data terakhir adalah 4.899.260 orang (BPS, 2013).

Kepadatan geografi penduduk pada tahun 1999 adalah 78 orang per kilometre

persegi (BPS NTT, 2000) sedangkan pada tahun 2010 bertambah menjadi 102 jiwa

per kilometre persegi (BPS NTT, 2011). Akan tetapi kepadatan penduduk antara

wilayah (kabupaten) bervariasi. Sebagai contoh di Flores kepadatan penduduk

mencapai 46,6 sementara di Timor, Sumba, dan Alor berturut-turut adalah 39, 14

dan 0,4 per km2 (BPS NTT, 2011).

Data tahun 2011 menampilkan lebih dari setengah penduduk NTT (51

persen) adalah perempuan. Data terakhir menunjukkan bahwa lebih dari 75 persen

penduduk hidup di daerah pedesaan dan bekerja di sektor pertanian. Namun mereka

juga terlibat dalam berbagai lapangan kerja pedesaan seperti buruh tani, tukang,

tenaga kerja musiman dan sebagainya (BPS, 2011).

1.3. Letak Geografi dan Iklim

Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) secara geografis membentang diantara

8o-12o Lintang Selatan dan 118o -125o Bujur Timur. Luas wilayah daratan dari 556

pulau secara keseluruhan 47.349,9 km2 (BPS NTT,2012). Provinsi NTT berbatasan

langsung dengan Negara Timor Leste di bagian timur dan Benua Australia di bagian

selatan. Karena posisi yang berdekatan dengan benua Australia sehingga iklim NTT
3

juga ikut dipengaruhi oleh angin moonson dingin dari Australia. Namun kondisi

lingkungan yang kering karena curah yang singkat menjadikan daerah ini sulit untuk

mengembang sektor pertanian. Sesuai dengan klasifikasi iklim dari Oldeman maka

provinsi NTT dikelompok dalam tipe iklim D, yang dicirikan oleh musim hujan yang

pendek (3-4 bulan basah), dengan rata-rata curah hujan tahunan 1,200 mm. Rentang

curah hujan tahunan antara 700-1500 mm berlangsung dari awal bulan November

sampai Maret. Temperatur harian relatif konstan sepanjang tahun dengan temperatur

tertinggi terjadi pada Oktober (33.50C), dan terendah terjadi pada Juli (230C). Variasi

ini terjadi karena pengaruh topografi dan tutupan awan. Berbagai keterbatasan ini

menyebabkan daerah NTT kurang sesuai untuk pengembangan tanaman pangan.

1.4. Keragaan Sektor Pertanian di NTT

Sektor pertanian di Indonesia masih merupakan sektor yang penting dalam

menunjang perekonomian nasional. Hal yang sama juga terjadi di NTT, dimana

sektor pertanian berkontribusi besar dalam perekenomian wilayah NTT. Hal ini

dimaklumi karena hampir sebagian besar penduduknya (lebih dari 75 persen) tinggal

di daerah pedesaan dengan mata pencaharian utama sebagai petani. Hingga saat ini,

sektor pertanian tetap merupakan sektor dominan dalam pembangunan ekonomi

Indonesia secara umum dan ekonomi daerah Nusa Tenggara Timur secara khusus.

Sumbangan sektor ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) NTT terus

meningkat, yakni 47,2 persen pada tahun 1970, naik menjadi 51,14 persen pada

tahun 1990, namun mulai setelah tahun 1990 cenderung menurun. Sebagai teladan

kontribusi sektor pertanian pada tahun 2000 hanya sebesar 43,36 persen. Sepuluh

tahun kemudian (2010) menjadi 38,45 persen. Meskipun demikian, peranan sektor
4

ini dalam menyokong percepatan pembangunan nasional dan wilayah sangatlah

signifikan (Anonimous, 2007).

Dalam sektor pertanian, sub-sektor peternakan merupakan sub-sektor

terbesar kedua setelah sub-sektor pertanian tanaman pangan berkontribusi terhadap

pembangunan pedesan. Peranannya antara lain dalam menyediakan bahan pangan

sumber protein hewani, meningkatkan produksi tanaman, menghasilkan barang dan

jasa lain dan juga pendapatan tunai. Penyertaan ternak dalam usahatani

meningkatkan keragaman total pendapatan usahatani yang pada gilirannya

meningkatkan pendapatan rumah tangga. Bahkan Perkins dan Semali (1992) dan

Bamualim (1996), menyatakan bahwa usaha ternak menyediakan lapangan kerja

sepanjang tahun serta mendistribusikan risiko kegagalan usaha. Penjualan hasil

ternak merupakan sumber dana (modal) untuk membeli faktor produksi pembiayaan

usahatani.

Hal yang sama dikemukakan oleh Wardoyo (1991) bahwa pada aras mikro

hampir seluruh modal usahatani bersumber dari ternak dan pada aras makro usaha

ternak menambah viabilitas dan keberlanjutan sistem usahtani.

Menyimak dokumen perencanaan pembangunan jangka panjang Indonesia

(1994-2018) tertuang bahwa pembangunan pertanian di NTT difokuskan pada upaya

untuk meningkatkan pendapatan tunai petani, memperbaiki nutrisi masyarakat,

meningkatkan keragaman sumber pendapatan, dan membuka lapangan kerja

terutama bagi penduduk di daerah pedesaan (Anonimous, 1995).

Sejalan dengan arah dan tujuan pembangunan di atas, sub sektor peternakan

sebagai bagian integral dari sektor pertanian harus diarahkan untuk meningkatkan

produksi untuk memenuhi kebutuhan permintaan domestik, meningkatkan


5

penyediaan bahan baku industri, meningkatkan ekspor dan substitusi impor dalam

rangka menaikan devisa. Merespon misi penting tersebut maka pemerintah bersama

pihak swasta berkomitmen untuk menitikberatkan pembangunan pada upaya

pendistribusian dan pemerataan kepemilikan ternak di antara rumah tangga petani.


6

Sebagai Negara agraris Indonesia menitikberatkan pembangunan ekonomi

nasional pada umumnya, dan khususnya perekonomian wilayah Nusa Tenggara

Timur pada sektor pertanian. Fakta menunjukan bahwa kontribusi sektor ini masih

dominan terhadap PDB. Sektor pertanian di NTT bukan hanya menyerap tenaga

kerja dalam jumlah besar (>70 persen) tapi juga menyediakan bahan makanan utama

bagi masyarakat.

Memahami kondisi riel tersebut maka sejak awal Orde Baru (1966) sektor

pertanian ditetapkan menjadi tulang punggung pembangunan ekonomi. Menyadari

betapa pentingnya sektor pertanian, berbagai upaya dan daya telah dilakukan

pemerintah untuk meningkatkan produktivitas pertanian maupun peternakan melalui

berbagai kebijakan pembangunan bidang pertanian seperti program Panca

Usahatani, Bimas, Inmas, Insus dan sebagainya. Sedang di bidang peternakan

contoh program PUTP, penggunaan Inseminasi Buatan (IB), Embrio Transfer, dan

teknologi di bidang pakan telah diperkenal kepada petani terutama dalam rangka

meningkatkan produktivitas ternak sapi potong.

Pada bagian ini akan dijelaskan lebih rinci mengenai Produksi Usahatani di

daerah semiringkai Nusa Tenggara Timur berdasarkan informasi dari hasil penelitian

terdahulu dan pustaka yang tersedia. Bab selanjutnya membahas sistem usaha

peternakan, diikuti pembahasan tentang Masalah dan Tantangan Peternakan dan


7

dibagian akhir akan disajikan Analisis usaha penggemukan ternak sapi bali potong

di NTT.

Sistem usahatani di NTT sangat unik dan berbeda dengan sistem usaha

pertanian di daerah lain di Indonesia. Secara umum, sistem pertanian di NTT dapat

dikelompokkan dalam dua sistem utama yakni sistem pertanian lahan kering

(semiringkai) yang secara umum terletak di daerah upland system dan sistem

pertanian dataran rendah (lowland system). Penggolongan sistem tersebut

dideterminasi oleh beberapa faktor misalnya kondisi tanah, topogarfi, ketersediaan

air, populasi dan akses ke pasar (Kepas, 1990).

Luas Lahan pertanian di NTT sekitar 73,4 juta ha dan hampir 90 persen

adalah lahan kering, dan sisanya lahan basah. Menurut Kepas (1990), sistem

usahatani di NTT dapat diklasisfikasikan ke dalam enam sistem yakni, ladang

berpindah, kebun (lahan kering), lahan sawah, mamar, pekarangan dan usaha ternak.

Pada umumnya setiap rumah tangga mengusahakan lebih dari satu cabang usahatani.

Meskipun dijumpai keragaman sistem Pertanian di daerah ini, pembahasan akan

difokuskan pada dua sistem utama.

2.1. Sub-Sistem Usahatani Ladang (Lahan Kering)

Usahatani lahan kering merupakan usahatani dominan di NTT, sistem ini

juga dikenal sebagai sistem usahatani campuran (mixed farming system). Berbagai

jenis sistem usahatani lahan kering yang dipraktek petani di NTT adalah sistem

usahatani berpindah, ladang (kebun) menetap, pekarangan, mamar, dan padang

penggembalaan savanah.

Komponen tanaman pada sistem ini adalah jagung, kacang-kacangan, ubi

kayu, kacang tanah, padi ladang, ubi jalar, sorgum dan labu (waluh). Semua tanaman
8

ditanam dengan pola campuran kecuali padi ladang yang ditanam sebagai monocrop.

Tanaman sayuran dan tanaman buah-buahan merupakan tanaman suplemen. Variasi

jenis tanaman dalam sistem pola tanaman campuran tergantung pada ketersediaan

air, jenis tanah, jarak pasar, dan preferensi konsumen.

Di antara jenis tanaman lahan kering, jagung merupakan makanan pokok

(staple food) bagi rumah tangga petani di NTT, disusul ubi kayu. Ubi kayu

disamping sebagai makanan pokok kedua setelah jagung juga dimanfaatkan sebagai

pakan ternak. Ubi kayu biasanya ditanam pada lahan yang sama dengan jagung dan

kacang-kacangan. Namun di beberapa tempat seperti di Pulau Flores ubi kayu

ditanam sebagai tanaman monokultur.

Gambar 2. Usahatani Lahan Kering (ladang) di Kecamatan Kupang Timur,


Kabupaten Kupang.
9

Bagi masyarakat NTT tujuan berproduksi masih diutamakan untuk

pemenuhan kebutuhan hidup keluarganya (susbsisten), dan bila ada kelebihan

produksi dan kebutuhan yang mendesak baru dijual. Oleh karena orientasi produksi

adalah untuk pemenuhan hidup keluarga maka teknologi berproduksi juga masih

sederhana.

Perkembangan Luas panen dan produksi dari beberapa tanaman pangan pada

sistem usahatani lahan lahan kering di NTT selama kurun waktu lima tahun dapat

diikuti pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1. Luas panen beberapa Jenis tanaman pangan lahan kering di NTT,
2006 - 2010.
Jenis Tanaman 2006 2007 2008 2009 2010
Jagung (ha) 252.410 217.478 270.717 250.536 244.583
Ubi kayu (ha) 85.591 76.247 87.906 89.154 102.460
Ubi Jalar (ha) 14.480 12.940 13.437 12.902 14.963
Kacang tanah (ha) 17.356 18.517 21.894 18.396 16.574
Kacang hijau (ha) 22.956 24.694 28.015 24.277 15.767
Kacang Kedelai (ha) 2.694 1.529 2.326 1.910 1.758
Sumber: Badan Pusat Statistik NTT, 2007 -2011

Tidak bisa dipungkiri bagi masyarakat NTT tanaman jagung begitu penting

dan menempati urutan teratas dalam kaitannya dengan luas panen, dan produksi,

diikuti ubi kayu dan kacang hijau. Sedangkan luas panen tanaman kedelai jauh di

bawah tanaman lainnya karena kedalai baru diintrodusir ke NTT pada tahun 2000-

an, apalagi kedelai membutuhkan syarat tumbuh tertentu.

Informasi pada tabel di atas mengindikasikan adanya fluktuasi luas panen

selama kurun waktu tahun 2006-2010. Mulai tahun 2008 terjadi penurunan luas

panen pada semua jenis tanaman pangan kecuali ubi kayu yang menunjukkan trend

menaik. Hal ini berimplikasi pada flukatuasi perkembangan produksi dalam kurun
10

waktu yang sama (Tabel 3). Kondisi tersebut terjadi karena adanya tekanan

penduduk, risiko dan ketidakpastian yang disebabkan oleh adanya variasi iklim, serta

terjadinya badai panas el nino yang melanda NTT.

Tabel 2. Total Produksi beberapa tanaman pangan lahan kering di NTT, 2006
- 2010.
Jenis Tanaman 2006 2007 2008 2009 2010
Jagung (ton) 582.964 514.360 673.112 638.902 653.621
Ubi kayu (ton) 939.010 794.121 928.974 913.053 1.032.538
Ubi Jalar (ton) 111.006 102.375 107.316 103.635 121.283
Kacang tanah (ton) 17.832 21.353 25.678 22.466 20.069
Kacang hijau (ton) 19.354 21.353 25.678 22.466 13.462
Kacang Kedelai(ton) 2.786 1.561 2.295 2.101 1.780
Sumber: Badan Pusat Statistik NTT, 2007-2011

Data pada tabel di atas menunjukkan adanya fluktuasi produksi selama kurun

waktu tersebut. Tidak satupun angka pertumbuhan produksi dari tanaman palawija

mengalami pertumbuhan positif, sebagai contoh produksi tanaman jagung pada

tahun 2007 mengalami pertumbuhan negatif sebesar -11,76 persen, selanjutnya

mengalami pertumbuhan positif pada tahun 2008 sebesar 30,86 persen dari tahun

sebelum. Akan tetapi pertumbuhan terus menurun sampai tahun 2010. Hal yang

sama juga terjadi pada produksi tanaman palawija lainnya. Adanya fluktuasi ini

bertalian erat dengan ketidakpastian iklim yang menyebabkan tingginya areal

kerusakan tanaman, dan juga tekanan penduduk.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah

NTT untuk meningkatkan produktivitas pangan melalui program-program antara

lain diversivikasi, intensifikasi, ekstensifikasi dan rehabilitasi dan yang paling kini

yang dilakukan pemerintah propinsi NTT mencanangkan empat tekad yakni:


11

1. Mewujudkan NTT sebagai Provinsi penghasil jagung;

2. Menjadikan NTT sebagai gudang ternak (sapi);

3. Menjadikan NTT Provinsi koperasi sebagai pilar pembangunan ekonomi

daerah;

4. Mewujudkan Provinsi NTT sebagai Provinsi cendana.

Tekad pertama bertujuan untuk menjamin kecukupan pangan dan

peningkatan pendapatan petani. Dengan strategi pengembangannya ditempuh

melalui, (1) keterpaduan program, (2) pengembangan sistem penyediaan sarana

produksi, (3) peningkatan produktifitas (penggunaan benih unggul seperti, jagung

komposit & hibrida), (4) Perluasan areal tanam, (5) pengamanan produksi, (6)

peningkatan nilai tambah dan daya saing hasil melalui pengolahan hasil pertanian,

(7) penguatan kelembagaan petani sebagai cikal bakal koperasi, (8) penyediaan

fasilitas pemasaran, dan (9) dukungan pembiayaan atau modal (Gubernur NTT,

2011).

Apa yang menjadi tekad pemerintah NTT, sebenarnya tidak lain melanjutkan

program swasembada pangan dalam berbagai program aksi seperti intensifikasi yang

bermakna meningkatkan produksi pertanian tanpa menambah areal tanam disertai

intervensi teknologi seperti penggunaan varietas unggul, pemanfaatan pupuk,

pestisida dan sistem irigasi yang baik. Di samping itu, di daerah lahan kering yang

relatif luas digalakkan program ekstensifikasi yakni meningkatkan produksi dengan

menambah luas areal tanam, sedangkan untuk lahan marjinal dan kritis dilakukan

upaya rehabilitasi lahan.


12

2.2.Sub-Sistem Usahatani Padi Sawah (Lahan Basah)

Lahan sawah (lahan basah) juga dikenal sebagai low land areas karena

terletak pada daerah dataran rendah. Luas areal lahan sawah relatif kecil dan

biasanya diperioritaskan untuk menanam padi. Namun demikian, di beberapa daerah

di NTT di mana irigasi tesedia petani juga menanam sayur dan kacang-kacangan

seperti kedelai. Tanaman sayur biasanya ditanam segera setelah padi dipanen.

Secara umum, lahan sawah dapat dikategorikan ke dalam dua bentuk yakni

sawah irigasi dan sawah tadah hujan. Total luas panen padi di NTT menurut data

dari BPS NTT (2011) adalah 106.604 ha dengan rata-rata produksi per ha 3.202 kg.

Di beberapa daerah seperti di Flores dan Sumba dimana irigasi teknis tersedia, petani

dapat menanam padi dua kali dalam satu tahun.

Gambar 3. Usahatani padi sawah beririgasi teknis di Kecamatan Kupang Timur,


Kabupaten Kupang.

Di beberapa daerah dimana irigasi tersedia padi ditanam dua kali setahun,

setelah padi dipanen petani menanam sayur-sayuran bahkan jagung pada rotasi
13

berikutnya. Selain padi sawah, petani di NTT juga mengusahakan padi ladang. Hal

ini dipahami bahwa mayoritas lahan pertanian di NTT adalah lahan kering dan lahan

sawah tadah hujuh.

Luas panen dan jumlah produksi padi sawah dan padi ladang di NTT selama

kurun waktu lima tahun terakhir dipaparkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Luas Panen dan Produksi Tanaman Padi Sawah dan Padi Ladang di
NTT, 2006 - 2011
Luas (ha) Produksi (ton) Produktivitas(kg/ha)
Tahun
Sawah Ladang Sawah Ladang Sawah Ladang
2006 110.469 62.739 386.385 125.525 2 488 2.000
2007 114.769 51.984 399.124 106.504 3168 2.048
2008 124.810 63.097 440.999 136.920 3180 2.170
2009 127.896 66.323 464.703 142.656 3174 2.150
2010 113.515 61.159 427.799 127.896 2611 2.087
Sumber: Badan Pusat Statistik NTT, 2006 - 2011

Mengacu pada data yang tertera pada tabel di atas dapat disimpulkan bahwa

terdapat kecenderungan peningkatan baik dalam hal luas panen maupun jumlah

produksi tanaman padi sawah maupun padi ladang di NTT, meskipun pada tahun

2010 terjadi penurunan produksi seiring dengan berkurangnya luas panen. Namun

demikian jumlah produksi padi belum dapat memenuhi permintaan kebutuhan

masyarakat NTT saat ini. Untuk itu, dalam jangka pendek perlu upaya strategis oleh

pemerintah untuk mengimport beras dan jangka panjang perlu dilaksanakan program

meningkatkan potensi produksi padi di NTT melalui pemanfaatan teknologi tepat

guna.

2.3. Sub-Sistem Tanaman hortikultura

Usahatani hortikultura dapat dikelompokan dalam dua macam yakni tanaman

sayur mayur dan tanaman buah-buahan. Usaha hortikultura banyak diusahakan oleh
14

keluarga petani di NTT. Dimana terdapat perbedaan dalam hal penggunaan lahan.

Umumnya tanaman sayur-mayur ditanam di lahan sawah dan di lahan pekarangan

sedangkan tanaman buah-buahan diusahakan petani di kebun dan juga di lahan

pekarangan. Meskipun beragam jenis tanaman sayur dan buah-buahan diusahakan

petani, namun informasi terinci mengenai luas tanam dan produksi per komoditas

sangat bervariasi. Data yang baik yang tersedia selama lima tahun terakhir hanyalah

data tentang total produksi dan luas panen tanaman hortikultura secara keseluruhan

yang dicatat BPS NTT dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan NTT sebagaimana

dipaparkan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Luas Panen dan Produksi Beberapa Sayur-mayur di NTT, Tahun 2008
- 2010

2008 2009 2010


Jenis Tanaman
Luas Produksi Luas Produksi Luas Produksi
Panen(ha) (ton) Panen(ha) (ton) Panen(ha) (ton)
Bawang Merah 2.071 15.137 2.268 16.602 923 38.790
Sawi 1.391 7.960 1.299 7.961 1.309 31.646
Wotel 290 2.155 279 2.410 2.568 54.860
Kacang Merah 3.940 6.244 2.801 4.734 406 12.349
Kacang Panjang 1.507 12.379 1.280 10.929 1.194 41.779
Cabe Besar 617 3.497 685 4.020 549 26.371
Cabe Rawit 1.057 7.027 915 5.639 741 33.313
Tomat 853 8.174 768 7.394 824 61.508
Terung 926 18.867 939 14.612 908 92.472
Buncis 437 5.850 626 6.711 671 42.030
Ketimun 707 9.452 659 6.928 525 27.434
Labu Siam 1.298 22.931 1.321 16.218 911 80.699
Kangkung 1.149 13.172 1.227 14.199 1.162 54.430
Bayam 1.127 6.138 1.073 5.864 1.140 28.428
Sumber: Badan Pusat Statistik NTT, 2009 - 2011

Tanaman sayur-sayuran yang umum diusahakan petani adalah sawi, tomat,

kangkung, terung, kacang panjang, ketimun, cabe, kentang, wortel, bawang merah,

dan bayam.
15

Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa selama kurun waktu 2008-2010

terjadi kenaikan total produksi yang sangat signifikan pada semua komoditas sayur-

mayur. Sebagai teladan, total produksi komoditas bawang merah naik sekitar 133,6

persen dari tahun sebelumnya. Data tersebut sepertinya kurang realistis meskipun

data tersebut diperoleh dari BPS NTT dari sumber NTT dalam Angka.

Tanaman buah-buahan diusahakan petani dan memiliki nilai ekonomis tinggi

adalah Alpukat, Jambu Biji, pisang, mangga, nenas, jeruk, pepaya, nangka, dan

sirsak. Total produksi dan luas panen dari beberapa tanaman buah-buahan

ditampilkan pada Tabel 5.

Table 5. Luas Panen dan Produksi Beberapa Tanaman Buah-buahan di NTT,


Tahun 2008 - 2010

2008 2009 2010


Jenis Tanaman
Luas Produksi Luas Produksi Luas Produksi
Panen(ha) (ton) Panen(ha) (ton) Panen(ha) (ton)
Alpukat 1.508 11.545 2.163 20.494 1.988 11.605
Jambu Biji 398 7.579 479 9.270 405 7.030
Jeruk Keprok 1.213 21.574 748 28.630 1.029 1.824
Jeruk Besar 163 6.743 126 8.286 155 5.910
Mangga 7.851 109.893 7.533 155.999 6.963 68.950
Nangka 2.722 30.888 1.858 30.008 2.567 24.000
Nenas 59 5.674 35 7.298 67 8.980
Pepaya 778 64.247 724 63.534 862 70.136
Pisang 3.186 191.342 8.070 94.769 2.605 18.791
Sirsak 212 3.024 170 2.571 220 2.260
Sumber: Badan Pusat Statistik NTT, 2009 - 2011

Pada tahun 2008-2010, produksi semua komoditas buah-buahan mengalami

kenaikan. Kondisi tersebut dideterminasi oleh adanya kenaikan luas panen. Akan

tetapi, pada tahun 2010 terjadi penurunan produksi disebabkan adanya penurunan

luas panen.
16

Dukungan pemerintah untuk pengembangan tanaman hortikultura di NTT

sangat signifikan melalui program yang dikenal dengan nama Agribusiness

Development Centre for Advantaged Commodity (ADCAC) yang mulai

diperkenalkan pada tahun 2004. Program ini bertujuan untuk meningkatkan

penghasilan petani, dan pada akhirnya meningkatkan pembangunan ekonomi

wilayah maupun nasional (Anonimous, 1991).

Perkebunan di Indonesia digolongkan dalam dua kelompok yaitu perkebunan

rakyat dan perkebunan besar (privat) dimiliki oleh swasta dan pemerintah. Menurut

laporan dari Dinas Pertanian dan Perkebunan NTT (2003) kebanyakan usaha

perkebunan dikelola oleh petani kecil dan hanya sebagian kecil perkebunan dikelola

oleh sektor swasta dan pemerintah.

Pada permulaan tahun 1990, pemerintah memperkenalkan suatu usaha

perkebunan yang disebut Perkebunan Inti Rakyat atau yang popular dengan nama

PIR. PIR dilaksanakan dengan tujuan untuk memperbaiki dan atau meningkatkan

pendapatan petani peserta dengan jalan membangun kemitraan dengan perusahaan

perkebunan besar dalam bentuk penyediaan modal kerja bagi petani klien. Pada

awalnya hanya dua perusahaan yang terlibat dalam PIR yakni PT Bali Anacardia

dan PT Timor Mitra Niaga. PT Bali Anacardia bergerak dalam bidang usaha

tanaman jambu mente yang berpusat di Pulau Sumba. Sedangkan perusahaan PT

Timor Mitra Niaga mengembangkan usaha perkebunan coklat (kakao) di Timor

Barat dan Sumba Barat. Kehadiran dua perusahaan besar tersebut telah memberikan

dampak positif pada pembangunan sub-sektor perkebunan di NTT dan juga telah

memberikan dampak terhadap kehidupan petani peserta.


17

Tanaman perkebunan penting di NTT adalah kopi, kakao, kelapa, jambu

mete, kapas, vanili, kemiri, pala, pinang dan tembakau. Meskipun kontribusi sub-

sektor perkebunan terhadap PDRB daerah tidak signifikan, namun bila dilihat dari

tren peningkatan produksi dari tahun ke tahun cenderung meningkat yang dipicu oleh

adanya peningkatan luas tanam dan luas panen mempunyai prospek yang cerah

dimasa mendatang. Luas tanam tanaman perkebunan yang berdaya saing di NTT

selama 5 tahun terkhir (2006-2010) dipaparkan dalam Tabel 6.

Tabel 6 mengindikasikan tren luas tanam pada hampir semua jenis tanaman

perkebunan mengalami penurunan kecuali jambu mente, kakao, pala, kopi, kemiri,

dan cengkeh. Kenaikan luas tanam bagi tanaman tertentu juga berimplikasi pada

naik produksi, dalam kurun waktu 2006 sampai 2010 misalnya produksi kemiri

meningkat sebesar 11,97 persen atau rata-rata 2,4 persen pertahun. Sementara itu

dalam kurun waktu yang sama produktivitasnya juga meningkat sebesar 1.53 persen.

Berbagai program telah diiplemntasikan oleh pemerintah dalam rangka membangun

sektor perkebunan antara lain pengembangan komoditas bernilai ekonomi tinggi

seperti jambu mente dan kakao. Program kemitraan antara sektor swasta dengan

petani kecil bertujuan untuk memberikan bantuan kepada para petani yang terbatas

akses terhadap fasilitas kredit.


18

Tabel 6. Perkembangan Luas Tanam dan Produksi Tanaman Perkebunan di NTT

Luas Tanam (ha) Produksi (ton)


Komoditas
2006 2007 2008 2009 2010 2006 2007 2008 2009 2010

Kelapa 159.600 159.679 160.770 158.631 158.836 65.516 53.211 67.157 62.164 40.462

Coklat 41.277 43.212 44.585 45.129 46.447 14.929 11.762 12.046 12.247 12.978

Jambu mente 163.178 170.117 171.403 170.827 176.948 35.329 37.326 39.699 39.869 37.732

Kemiri 80.238 78.648 78.997 79.124 79.251 20.079 20.967 22.201 21.407 22.483

Pala 819 877 962 941 1.117 84 78 79 79 82

Kopi 68.347 70.508 70.645 54.072 54.453 18.856 19.385 20.061 15.319 15.268

Vanilla 4.417 3.541 3.508 3.530 3.507 610 526 464 498 520

Cengkeh 13.046 13.248 13.508 13.700 14.495 932 1.475 1.409 1.425 1.615

Pinang 39.952 39.307 40.771 6.900 6.484 7.874 6.900 6.484 6.021 6.382

Sumber: Badan Pusat Statistik NTT, (2006-2011)


19

Provinsi NTT memiliki kondisi topografi, tanah dan vegatasi yang unik.

Keunikan tersebut dipadukan dengan kondisi sosial ekonomi telah menciptakan suatu

sistem pertanian khas daerah lahan kering.

Sebagai daerah semi ringkai maka musim kering jauh lebih panjang dari musim

hujan. Disamping itu, topografi yang berbukit menyebabkan sebagian besar lahannya

adalah lahan marjinal yang tidak cocok untuk pengembangan tanaman pangan.

Pada kondisi seperti itu, usaha peternakan ternyata bisa beradaptasi dengan baik.

Oleh karena itu, pemerintah kemudian menetapkan sub sektor peternakan sebagai

komoditas strategis dalam menunjang pembangunan NTT.

Sejarah menunjukkan bahwa petani di NTT telah memelihara ternak sejak

beberapa decade yang lalu. Pada mulanya, petani hanya memelihara ternak-ternak asli

NTT seperti kerbau, kuda, kambing, domba, babi, dan ayam kampung. Ternak sapi baru

diperkenalkan oleh penjajah Belanda pada tahun 1912, dan sejak saat itu ternak sapi

menjadi salah satu ternak potong penting bagi petani (Djari dan Welkis, 1972).

Peranaan sub-sektor peternakan dalam menopang perekonomian NTT sangatlah

penting. Berdasarkan hasil sensus peternakan tahun 1993 dtemukan bahwa 46 persen

dari total 551 430 rumah tangga tani memelihara ternak, (BPS, 1993) sedangkan pada

tahun 2012 jumlah rumah tangga ternak di NTT sebanyak 600.865 BPS NTT, 2013).
20

Dari berbagai hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti (Bamualin,

1996) ditemukan berbagai alasan yang mendasari keputusan petani untuk memelihara

ternak. Alasan-alasan tersebut, antara lain (1) lambang status sosial, (2) sumber tenaga

kerja pertanian, (3) tabungan, (4) sumber pendapatan. Sejalan dengan itu Satari (1985)

menyatakan bahwa ternak khususnya ternak ruminant merupakan sumber tenaga kerja

pertanian terutama membantu petani dalam kegiatan persiapan (pengolahan) lahan, juga

merupakan sumber pupuk dan tambahan pendapatan bagi rumah tangga tani.

Kedudukan peternakan sebagai komoditas pelengkap dalam sistem usahatani

campuran berimpak pada rendahnya alokasi sumber daya untuk memperbaiki produksi

peternakan. Hal ini menyebabkan adanya kecenderungan penurunan produktivitas

peternakan. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah sejak 25 tahun rencana

pembangunan nasional jangka panjang (Repelita) hingga orde reformasi, namun masih

ada sejumlah masalah yang belum tertangani.

Iklim tropis yang panas dan humid merupakan kendala alam yang

dimanifestasikan oleh buruknya nutrisi yang mengakibatkan rendahnya kualitas

makanan ternak serta berimplikasi pada rendahnya produktivitas peternakan. Di

samping itu, kurangnya pengetahuan dan metode untuk meningkatkan angka reproduksi.

Sejalan dengan itu, teknologi tepat guna seperti Inseminasi Buatan tidak tersedianya di

tingkat petani. Hal lain adalah tidak memadainya fasilitas akibat kurangnya modal kerja,

serta kurang memadainya jumlah betina dengan mutu genetik yang baik. Hal-hal

tersebut ditengarai sebagai factor-faktor pembatas yang menyebabkan rendahnya

produktivitas ternak di NTT


21

Usaha ternak di NTT masih bersifat usaha tradisional yang diwariskan secara

turun temurun sejak lebih dari 60 tahun silam. Usaha ternak tradisional dicirikan oleh

inefisiensi usaha karena adanya ketimpangan jumlah pemilikan ternak, kurangnya

pengawasan dan pengelolaan usaha yang buruk menyebabkan terjadinya degradasi

produksi (Djari and Welkis (1972). Dalam kaitannya dengan sistem pengelolaan,

Amareko (1996) and Bamualim (1996) menengarai bahwa penurunan produktivitas

ternak juga diikuti oleh penurunan kualitas produk bahkan penurunan tersebut jauh di

bawah harapan pasar. Keduanya menyarankan agar dalam waktu dekat perlu dilakukan

peningkatan kuantitas dan kualitas produk sehingga permintaan pasar bisa segera

dipenuhi. Untuk itu, orientasi pembangunan peternakan dari sistem pemeliharaan

tradisonal harus dirubah menuju sitem pemeliharaan yang lebih intensif.

Toelihere et.al. (1994) mengemukakan bahwa selama dua decade terakhir

pembangunan peternakan di NTT telah mengalami kemajuan yang signifikan.

Kehadiran berbagai program dan proyek yang bertujuan untuk memperbaiki

produktivitas dan kesejahteraan petani peternak menunjukkan propek yang cerah. Salah

satu indikatornya ialah adanya indikasi kenaikan populasi semua jenis ternak yang

hampir mencapai 35 persen dengan pengeculaian pada ternak kuda yang mengalami

penurunan hampir sebesar -3,2 persen. Peningkatan populasi tertinggi adalah pada

ternak unggas diikuti ternak babi dan kambing.


22

3.1. Ternak Kecil

Ternak domba, kambing, babi, dan unggas dikelompokkan sebagai ternak kecil.

Di antara kelompok ternak kecil, ternak domba merupakan ternak yang kurang diminati

oleh masyarakat NTT.

Fuah (1994) menjelaskan bahwa di Negara-negara berkembang, ternak kecil

memberikan berbagai manfaat bagi keluarga petani seperti, menjamin kesejahteraan,

status sosial, pemenuhan kebutuhan adat dan keagamaan. Selanjutnya Kapa, Rola-

Rubzen and Bent (2001) menguraikan bahwa ternak kecil berkontribusi nyata terhadap

kesejahteraan petani di Indonesia. Ternak kecil seperti kambing, babi dan unggas

merupakan sumber protein hewani dan juga sumber cash penting bagi keluarga petani

di perdesaan. Apabila petani dalam keadaan emergensi dan membutuhkan uang tunai

maka ternak kecil menjadi pilihan utama untuk dijual. Pemikiran yang sama

dikemukakan Nestel (1984) mendeskripsikan betapa pentingnya peranan ternak kecil

dalam kehidupan petani kecil di daerah tropis. Peranan tersebut nyata terlihat dalam

beberapa aspek seperti sosial ekonomi, budaya, dan aspek keagamaan.

Meskipun peranan ternak kecil begitu penting dan populer di kalangan petani

kecil, status ternak kecil dalam sistem usahatani campuran seperti di NTT menempati

posisi sekunder (usaha sampingan) dan tanaman pangan masih dianggap sebagai cabang

usahatani utama. Distribusi ternak kecil di NTT pada Tahun 2010 tercatat pada Tabel 7

berikut.
23

Tabel 7. Distributisi ternak kecil berdasarkan pulau di NTT, 2010

Jenis Pulau

Timor*) Flores & Alor Sumba NTT

Kambing 385 804 315 518 36 879 738 201

Domba 155 454 15 671 3 337 174 462

Babi 1 732 727 926 826 261 073 2 820 786

Unggas 3 973 564 4 610 485 926 524 9 510 537

*) Termasuk Rote dan Sabu


Sumber: Badan Pusat Statistik NTT, 2011.

Informasi dalam Tabel 7 menunjukkan bahwa populasi ternak unggas (ayam

kampung, ayang ras, dan itik) menempati posisi teratas di antara kelompok ternak

kecil, di susul ternak babi. Sedangkan ternak kecil yang kurang popular di kalangan

petani adalah ternak domba. Hal ini dapat dipahami karena ternak domba ditengarai

sebagai pembawa virus penyakit mulut dan kuku bagi ternak sapi. Oleh karena itu

pemerintah membuat kebijakan sonasi pengembangan ternak domba di pulau Sabu

dan Rote. Konsentrasi populasi ternak antar pulau di NTT tidak merata, sebagian

besar ternak kecil terdapat di Timor Barat.

3.1.1. Ternak Kambing

Proses domestikasi kambing di daerah semi arid dan daerah arid terjadi sekitar

7500 dan 6500 BC (Harlan 1976, dikutip oleh Fuah 1994). Namun tidak ada informasi

yang jelas kapan ternak kambing masuk ke NTT. Meskipun dari sisi distribusi

(penyebaran) ternak kambing tidak merata di seluruh pulau di NTT. Laporan dari Dinas
24

Peternakan NTT tahun 2012 menyatakan bahwa ternak kambing hampir ditemukan di

semua pulau di provinsi ini. Hal ini mengindikasikan bahwa ternak kambing menjadi

bagian yang penting dalam sistem pertanian lahan kering di NTT.

Ternak kambing tergolong ternak ruminant kecil yang popular di kalangan

petani. Hampir semua rumah tangga perdesaan terutama di dataran rendah memelihara

ternak kambing. Devendra (1986) menjelaskan bahwa ada banyak faktor yang

mendasari keinginan petani untuk memelihara ternak kambing, antara lain kambing

dapat dengan segera memenuhi kebutuhan mendesak rumah tangga akan daging dan

susu, mudah dipelihara dan dapat berkembang dengan baik sekalipun di lahan marginal,

efisien dalam mengkonversi bahan makanan ternak menjadi daging dan susu, dan

kambing tergolong ternak yang sangat subur.

Data jumlah dan distribusi ternak kambing di beberapa pulau besar di NTT

disajikan pada Tabel 8 berikut.

Table 8. Jumlah dan Distribusi Ternak Kambing/domba menurut pulau di NTT


Tahun 2006-2010.
Pulau Tahun (ekor)
2005 2006 2007 2008 2010
Timor Barat*) 227.471 234.743 222.883 242.173 247.772
Flores 233.672 241.834 266.498 260 522 270.353
Sumba 50.184 51.931 53.390 54.710 57.472
Alor 25.661 26.563 28.242 30.027 30.870
NTT 537.034 555.071 571.013 587.432 606.467
Catatan: *)Timor Barat termasuk Rote dan Sabu
Sumber: Badan Pusat Statistik NTT (2006-2011)
25

Sebagaimana dipaparkan pada tabel di atas, penyebaran populasi ternak kambing

cenderung merata di Pulau Timor Bagian Barat dan Flores. Dari jumlah 537.034 ekor

di NTT pada tahun 2005, 42,36 persen ternak kambing dipelihara oleh petani di daratan

Timor Barat dan populasi terendah terdapat di pulau Alor yakni 25.661 ekor (4.78

persen). Tabel 8 juga menunjukan bahwa secara makro sejak tahun 2005 sampai dengan

2010 terdapat kenaikan populasi ternak kambing yang signifikan yakni kurang lebih

12,93 persen atau rata 2,58 persen per tahun. Data BPS NTT (2013) memperlihatkan

populasi ternak kambing/domba di NTT pada tahun 2012 berjumlah 638.938 ekor

dengan populasi kambing/domba terbanyak ada di Flores yakni 44,71 persen (BPS NTT,

2013). Jika dibandingkan dengan ternak kambing, perkembangan ternak domba di NTT

kurang menggembirakan. Hal ini terjadi karena adanya dugaan bahwa ternak domba

pembawa virus penyakit FMD bagi ternak sapi sehingga tidak boleh dipelihara di daerah

pusat pengembangan ternak sapi seperti di Timor. Daerah pengembangan ternak domba

di NTT adalah di Pulau Sabu dan Rote. Data terakhir menunjukan bahwa hampir 55,42

persen ternak domba ada di Rote dan 32,07 persen ada di Pulau Sabu.

Meskipun populasi ternak kambing di NTT menunjukkan tren yang positif,

tetapi menurut Laporan Dinas Peternakan NTT (2012) produktivitas ternak kambing

cenderung rendah oleh berbagai faktor penghambat seperti tingginya permintaan

konsumen seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, tingginya prevalensi

penyakit dan sistem pemuliabiakan yang tidak terkontrol karena tatalaksana (system)

pemeliharaan yang kurang baik (ekstensif tradisional).

Menurut Devendra dan Burns (1970), peranan penting ternak kambing bagi

keluarga petani skala kecil di daerah tropis sebagai sumber daging, susu, kulit, dan bulu,
26

menempatkan ternak kambing sebagai pilihan utama untuk dibudidayakan oleh

masyarakat petani di perdesaan. Jika di daerah empat musim ternak kambing

dibudidayakan terutama untuk daging dan susu, maka di daerah tropis ternak kambing

diprioritaskan untuk menghasilkan daging.

Memperhatikan nilai pentingnya bagi rumah tangga pedesaan, selayaknya upaya

untuk meningkatkan produktivitas ternak kambing juga penting, namun kenyataan

menunjukkan bahwa ternak kambing merupakan ternak yang terabaikan. Di kebanyakan

Negara-negara Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Indonesia, kambing dipelihara

sebagai tabungan dari pada sebagai unit produksi, konsekuensinya populasi ternak

kambingpun stagnan (Devendra 1979).

Produktivitas ternak kambing baik nasional maupun pada tataran regional (NTT)

masih rendah, hal ini ditengarai sebagai resultante dari kedudukan ternak kambing

dalam sistem usahatani masih dipandang sebagai cabang usaha suplemen (sambilan).

Kondisi ini diperparah oleh manajemen pemeliharaan ternak kambing yang dipraktek

petani kurang baik.

a. Bangsa (Jenis) Kambing di Indonesia

Dalam berbagai literature (Prabowo, 2010) dikemukan bahwa paling tidak ada 5

(lima) bangsa (jenis) ternak kambing yang dikembangkan di Indonesia yakni Kambing

Kacang, Etawah, Peranakan Etawah, Jumnaparih, Jawarandu dan Saanen. Namun dari

jenis-jenis tersebut hanya Kambing Kacang, yang paling banyak dibudidayakan oleh

petani di NTT.
27

Kambing Kacang sebagaimana yang dideskripsikan oleh Devendra dan Burns

(1994) adalah jenis kambing lokal yang banyak diternakan di Malaysia dan Indonesia

untuk tujuan menghasilkan daging. Sedangkan Prabowo (2001) menyatakan bahwa

kambing asli Indonesia berbadan kecil dan pendek dan leher pendek tetapi tebal,

punggunngnya melengkung, ukuran telinga sedang, ekornya kecil dan cenderung tegak,

kambing jantan berbulu agak panjang sedangkan yang betina berbulu pendek dengan

berat badan berkisar antara 35-40kg, dan warna kulitnya bervariasi hitam, coklat putih

atau kombinasinya (Gambar 4) . Karakteristik dari kambing kacang menurut Rumich

(1968) yang dikutip oleh Devendra dan Burns (1994) kambing lokal ini memiliki tubuh

yang relative kecil dengan tinggi badan 50-60 cm. Baik jantan dan betina memiliki rata-

rata berat badannya 30 kg. Meskipun memiliki warna yang beraneka ragam namun

warna domoinannya adalah hitam dan coklat hitam dengan sedikit warna putih pada

bagian kepala dan pinggulnya.

b. Tatalaksana Pemeliharaan (sistem manajemen)

Manajemen pemeliharaan ternak kambing di NTT tidak jauh berbeda dengan

cara pemeliharaan ternak kambing yang dipraktekkan oleh peternak lain di negara-

negara Asia Tenggara. Campur tangan pemilik sangat kecil demikian juga dengan

penggunaan faktor produksi lahan, tenaga kerja dan modal sangat terbatas. Kebanyakan

peternak kambing di daerah ini mengelola dan menguasai lahan yang sangat terbatas.

Tidak heran jika ketersediaan pakan bagi ternaknya sangat terbatas pula.

Fuah (1994) mengidentifikasi empat system pemeliharaan ternak kambing yang

dipraktek oleh petenai di NTT yakni, (1) ternak dibiarkan merumput di lahan
28

penggembalaan (free grazing), (2) ternak digembalakan dan dijaga oleh pemilik

(supervised grazing), (3) ternak diikat di kebun, sawah atau lahan kosong milik petani,

dan (4) ada pula yang dikandangkan siang dan malam. Kapa, Rola Rubzen dan Bent

(2004) menemukan 61 persen peternak mempraktekkan sistem penggembalaan bebas,

terutama di musim kemarau dimana ketersediaan hijauan makanan ternak sangat

terbatas. Umumnya, pemilik membawa ternaknya pada pagi hari ke lahan komunal atau

padang penggembalam umum dan dibiarkan merumput sepanjang hari, kemudian pada

sore hari ternak dibawa kembali ke rumah peternak untuk dikandangkan.

Gambar 4. Ternak Kambing Kacang yang di Kandangkan

Berbagai upaya telah dilakukan guna memperbaiki keturunan kambing local

antara lain dengan mendatangkan kambing bangsa sedang seperti Kambing Etawah

yang diketahui sebagai salah satu bangsa kambing unggul di Indonesia. Sebagaimana

yang dilaporkan oleh Fuah (1994) program perkawinan silang dengan kambing Etawah
29

sudah dilaksanakan untuk memperbaiki kualitas Kambing Kacang. Proyek percontohan

dari program crossed breeding ini dibangun di beberapa desa di Kabupaten Kupang

Timor Barat. Proyek ini mempergunakan pola (skema) kredit inkind. Skema yang

disediakan adalah setiap kelompok ternak diberikan lima ekor Kambing Etawah yang

terdiri dari satu ekor pejantan dan empat ekor betina. Lima tahun kemudian mereka

wajib mengembalikan kepada pemerintah dengan jumlah yang sam guna

didistribusikan kepada kelompok ternak yang lain. Dalam praktek, para peternak juga

memanfaatkan pejantan unggul tersebut untuk dikawinkan dengan betina local. Skema

ini ternyata cukup berhasil meningkatkan populasi kambing di daerah ini.

Gambar 5, Peternakan Domba Ekor Gemuk di Kecamatan Sabu Tengah,


Kabupaten Sabu Raijua,NTT

Berbeda dengan ternak kambing yang penyebarannya hampir di seluruh NTT, ternak
domba mayoritas ditemui di Kabupaten Sabu Raijua dan Rote Ndoa. Populasi Ternak
domba hal ini terjadi karena adanya larangan memelihara ternak domba di daerah
30

pengembangan ternak sapi Bali karena ternak domba ditengarai sebagai pembawa virus
Foot and Mouth Disease (FMD) bagi ternak sapi Bali. Namun demikian, di beberapa
kabupaten juga dijumpai ternak domba dalam jumlah (populasi) sedikit (Tabel

Tabel 9. Populasi Ternak Babi berdasarkan kabupaten di NTT, Tahun 2010-2017


Wilayah Tahun
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Sumba Barat 84 85 87 89 - 91 31 -

Sumba Timur 968 982 994 1006 - 1030 1042 1055

Kupang 27 28 29 30 - 30 151 176

Timor Tengah 0 - 0 - - 0 - -
Selatan
Timor Tengah 37 37 38 39 - 39 39 32
Utara
Belu 24 24 25 26 - 26 26 -

Alor 5 5 6 7 - 7 - -

Lembata 476 478 484 490 - 502 508 514

Flores Timur 2180 2182 2209 2236 - 2290 1811 1833

Sikka 212 214 217 220 - 226 229 232

Ende 49 49 50 51 - 53 13 13

Ngada 712 723 732 741 - 759 2118 2143

Manggarai 6 6 7 8 - 8 - -

Rote Ndao 34490 34554 34969 35389 - 36244 36679 37119

Manggarai 51 53 54 55 - 57 58 -
Barat
Sumba Tengah 4 4 104 6 - 108 - -

Sumba Barat 101 102 5 106 - 6 - -


Daya
Nagekeo 2690 2731 2764 2798 - 2866 2900 2935

Manggarai 51 52 53 54 - 56 - -
Timur
Sabu Raijua 19475 19999 20239 20482 - 20977 21229 21476

Malaka - - - - - 0 - -

Kota Kupang 41 42 43 44 - 46 50 51

Nusa Tenggara 61683 62350 63109 63877 - 65421 66884 67579


Timur
31

3.1.2. Ternak Babi

Ternak Babi termasuk jenis hewan ungulata mempunyai moncong panjang

serta bentuk hidung yang datar atau lemper. Ternak ini termasuk hewan asli Eurasia

serta tergolong jenis mamalia pemakan segala (omnivora), sehingga tidak sulit untuk

dipelihara (Anonimous, 2014).

Domestikasi ternak babi telah berlangsung beberapa abad yang lampau oleh

bangsa Eropa dan Asia untuk dikonsumsi. Bahkan di Indonesia, daging Babi adalah

makanan yang umum masyarakat Indonesia sebelum masuknya agama Islam dari

Timur Tengah (Wikipedia Indonesia, 2014).

Beberapa suku bangsa di Indonesia yang masih menjalankan tradisi aslinya

selain suku Tionghoa-Indonesia masih mengonsumsi babi sebagai makanan

keseharian, seperti suku Bali, Toraja, Papua, Batak, Manado, dan suku lain di

Indonesia Timur. Dalam masyarakat Jawa, babi disebut celeng dan juga merupakan

hewan ternak yang umum sebelum menyebarnya agama Islam yang mengharamkan

babi di nusantara (Wikipedia Indonesia, 2014).

Ternak babi juga banyak dipelihara oleh petani di daerah yang mayoritas

penduduknya beragama non muslim seperti di NTT. Ternak babi bagi masyarakat

NTT dipandang sebagai sumber protein hewani sekaligus berperan penting dalam

berbagai acara adat dan kegiatan sosial lain seperti saat kematian, pernikahan, dan

sebagainya.

a. Bangsa (Jenis) Ternak Babi

Babi asli Indonesia yang saat ini dipelihara berasal dari babi hutan yang

sekarang masih berkeliaran di hutan-hutan. Kurang lebih ada 13 sub-spesies babi liar

hidup Asia antara lain: babi Sumatra, Jawa, babi Bali, Flores, babi Sumba, Babi Nias
32

dan Malaysia. Ciri-ciri dari babi Jawa, sebagai berikut: Warna umumnya putih,

hitam, berbulu lebar; dengan bentuk badan tubuh pendek agak gemuk, punggung

agak cekung, badan dan moncongnya panjang, khusus untuk Babi Tangerang pada

kedua belah lehernya terdapat daging menggantung.

Ciri -ciri Babi Bali, berwarna, belang hitam putih, berbadan kecil, kaki

pendek,

punggung melengkung ke bawah sehingga bagian perutnya hampir

menyentuh tanah, kulitnya pada babi dewasa berlipat-lipat (Anonimous, 2014).

Gambar 6. Kelompok Babi yang dibiarkan berkeliaran di tepi jalan, di Kabupaten


Sumba, NTT (Sumber: Anonimous 2014)

Ternak babi yang berkembang dan banyak dipelihara masyarakat di NTT

berasal dari dua jenis yakni babi local (Sumba dan Flores) dan babi unggul

(improved breed). Di kalangan masyarakat perdesaan, ternak babi lokal lebih

digemari karena bangsa babi ini dapat beradaptasi dengan baik di lingkungan NTT

yang keras. Bangsa babi lokal mempunyai karakteristik spesifik badannya kecil

berwarna hitam dan coklat, penumpukkan lemak sedikit (Gambar 5), dan dapat
33

survive pada kondisi pemeliharaan sederhana dengan minimum intervensi

pemiliknya.

Ternak babi tergolong ternak dengan nilai ekonomis yang tinggi sebab ternak

ini merupakan salah satu sumber protein hewani yang tinggi, efisien dalam merubah

pakan menjadi daging dengan persentase karkas yang tinggi (mencapai 65 persen),

dapat menghasikan anak sampai dengan 12 ekor perkelahiran serta dapat beranak

dua kali dalam setahun (Aritonang, 1998).

Populasi Ternak Babi

Populasi ternak babi di Nusa Tenggara Timur pada tahun 2010 meningkat

sebesar 16,11 persen dengan rerata kenaikan 3,22 persen per tahun.

Table 10. Jumlah dan Distribusi Ternak Babi menurut pulau di NTT Tahun
2005-2010.
Pulau Tahun (ekor)
2005 2006 2007 2008 2010
Timor Barat*) 582.449 589.880 638.855 666.709 662.592
Flores 585.958 637.624 652.052 691.101 766.442
Sumba 88.595 93.075 96.722 100.540 105.780
Alor 62.235 65.382 69.920 74.722 77.617
NTT 1.391.237 1 385 961 1 457 549 1 533 072 1 615 487
Catatan: *)Timor Barat termasuk Rote dan Sabu
Sumber: Badan Pusat Statistik NTT (2006-2011)

Tabel di atas memperlihatkan bahwa penyebaran populasi ternak babi di

NTT cukup prospektif yang ditandai pula dengan adanya kenaikan populasi yang

cukup berarti setiap tahun.


34

Tatalaksana Pemeliharaan

Sistem pemeliharaan usaha ternak babi yang dipraktek oleh petani di daerah

lahan kering NTT didominasi oleh sistem pemeliharan yang subsisten atau juga disebut

sistem tradisonal dalam jumlah kecil (1-4 ekor). Pada system pemeliharaan seperti

ini ternak babi dibiarkan berkeliaran serta makanannya masih tergantung pada sisa-

sisa dapur dan ubi-ubian. Sebagian pemilik mengandangkan ternaknya tetapi

kadang-kadang dilepas dengan sistem perkandangan tradisional.

Tujuan utama pemeliharaan ternak bukan untuk dipasarkan namun

diutamakan pada pemenuhan kepentingan adat-istiadat dan kebutuhan mendesak.

Oleh karena itu, perhatian terhadap aspek ekonomisnya diabaikan. Untuk

meningkatkan produksi dan mutu ternak babi maka perlu usaha perbaikan

tatalaksana, makanan dan bibit yang dikelola.

Gambar 7. Ternak Babi yang dipelihara secara ekstensif

Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka permintaan akan

daging babi juga turut meningkat. Industri kuliner berbahan dasar daging bertumbuh

secara singnifikan sehingga dengan sistem pemeliharaan yang ada tentu tidak dapat

memenuhi kebutuhan permintaan domestik.


35

Upaya untuk meningkatkan produktivitas babi lokal dilakukan melalui

introduksi babi ras (exotic breed) telah dilakukan dengan bantuan Dinas Peternakan

sejak tahun 1990. Menurut Dinas Peternakan NTT berbagai upaya telah dilakukan

perbaikan mutu babi local dengan mendantang kurang lebih 238 ekor babi VDL

melalui program babi Banpres. Skema ini diberikan kepada kelompok ternak dalam

bentuk kredit inkind, yakni setiap kelompok ternak diberi seekor pejantan dan tiga

ekor induk. Setelah tiga tahun mereka harus mengembalikan lima ekor anak babi

kepada dinas peternakan untuk selanjutnya dibagikan kepada anggota kelompok

lainnya melalui prosedur dan persyaratan yang sama. Pada akhir setiap peternak akan

mendapatkan paket tersebut (Anonimous, 1990).

3.1.3. Ternak Unggas

Ayam, itik, dan puyuh adalah kelompok unggas yang banyak diternak di

Indonesia. Namun di antara ketiganya ternak ayam yang paling digemari. yang

tinggi.

Ayam kampung adalah sebutan di Indonesia bagi ayam peliharaan yang tidak

ditangani dengan cara budidaya massal komersial serta tidak berasal-usul dari

galur atau ras yang dihasilkan untuk kepentingan komersial tersebut.Ayam

kampung tidak memiliki istilah ayam kampung petelur ataupun pedaging. Hal ini

disebabkan ayam kampung bertelur sebagaimana halnya bangsa unggas dan

mempunyai daging selayaknya hewan pada umumnya.

Ayam kampung sesungguhnya memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Namun

hal itu belum bisa menjadi sumber ekonomi yang diandalkan untuk saat itu. Problem

tersebut lebih disebabkan karena manajemen bisnis ternak ayam kampung yang

belum efektif dan efisien karenasistem pemeliharaan yang dibuat secara umbaran.
36

Pada model pemeliharaan ayam semacam ini, penyakit sulit dikontrol dan efisiensi

pakan juga sangat rendah, sehingga tidak menguntungkan.

Tujuan utama pemeliharaan ternak ayam bagi petani kecil diperdesaan NTT

untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga dan kebutuhan domestik. Ternak

bebek juga termasuk ternak unggas yang dipelihara oleh masyarakat di NTT, namun

ternak unggas ini tidak sepopuler ternak ayam buras. Ternak itik umumnya dipelihari

oleh petani di sekitar areal persawahan terutama di Timor, Flores dan Sumba.

Ganbar 8. Kelompok Ayam Buras yang di Pelihara secara Ekstensif

Populasi Ternak Unggas

Di antara jenis ternak unggas yakni ayam buras atau dikenal dengan istilah

ayam kampong merupakan jenis unggas yang akrab dengan rumah tangga petani

lahan kering. Cara pemeliharan ayam kampong didomiasi oleh system pemeliharaan

ekstensif dimana ternak ayam dilepas berkeliaran untuk mencari makan. Pemberian
37

makan terhadap ternak ayam dilakukan sekali sehari yakni pada pagi hari ketika

ayam turun dari pohon tempat ayam bertengger. Jenis unggas lain seperti ayan negeri

(ayam ras), itik, dan puyuh, termasuk jenis unggas kurang yang popular di kalangan

rumah tangga petani kecil di NTT.

Data Tabel 11 mengungkapkan ternak ayam buras menempati urutan

pertama. Tingginya permintaan terhadap produk ayam buras mendorong tumbuhnya

industri ayam buras dari tahun 2005 sampai 2010 yang ditandai oleh tingkat

pertumbuhan sebesar 7,62 persen.

Tabel 11. Jumlah Populasi Unggas di NTT Tahun 2005-2010.


Tahun (ekor)
Jenis Ternak
2005 2006 2007 2008 2010
Ayam Ras 9.615.684 9.732.275 9.842.891 9.944.822 10.348.742
Ayam Kampung 94.820 100.455 103.436 105.243 105.635
Itik 242.483 249.568 253.484 256.987 284.551
Sumber: Badan Pusat Statistik NTT (2006-2011)

Sistem Pemeliharaan Ayam

Fuah (1994) menjelaskan tiga sistem pemeiharaan ayam yang dilakukan oleh

petani di NTT yakni system ekstensif tradisional, semi intensif dan intensif. Usaha

ternak ayam di NTT merupakan aktivitas domestik tradisonal yang biasanya

dikerjakan oleh wanita dan anak-anak. Umumnya pada sistem usaha ternak

dipelihara secara ekstensif tradisional, ternak ayam dibiarkan berkeliaran mencari

makan sendiri (Kapa, 1998). Lebih lanjut dijelaskan bahwa, campur tangan pemilik

dalam usaha ternak ayam hanya terbatas melepaskan ternak di pagi hari.

Pada system pemeliharaan semi intensif, ternak ayam kampung di kandang

siang dan malam dengan teknologi budidaya yang tradisional dan belum sesuai yang

diharapkan, hal ini berimplikasi pada rendahnya produktivitas.


38

Pemeliharaan ayam lokal sebagai penghasil daging /telur dilakukan secara

intensif melalui perbaikan manajemen pemeliharaan yakni pemberian ransum,

vaksinasi, perkandangan), peningkatan skala usaha dan permodalan dapat

menghasilkan tambahan pendapatan bagi peternak yang lebih besar.

Spesialisasi ini terutama dapat dilakukan di daerah sekitar kota besar, seperti

saat ini sudah mulai berkembang. Tetapi untuk daerah pelosok pedesaan sistem

pemeliharaan masih merupakan gabungan untuk menghasilkan telur tetas atau telur

konsumsi dan ayam potongan.

Jika pola manajemen ternak ayam kampung telah dilakukan dengan baik

maka tidak mustahil usaha ternak ayam kampung akan menjadi sumber ekonomi

bagi masyarakat. Tidak hanya itu produk ayam kampung menjadi komoditas yang

bisa diekspor.

Usaha peternakan unggas komersial juga berkembang pesat seiring dengan

meningkatnya jumlah permintaan di NTT. Usaha ayam potong (broiler) dan ayam

petelur (layer) berkembang terutama di Kota Kupang. Sesuai laporan Dinas

Peternakan NTT populasi ayam ras meningkat cukup signifikan dimana pada tahun

2005 populasinya 94.820 ekor meningkat menjadi 105635 ekor pada tahun 2010

(BPS NTT, 2005 dan 2011). Hal ini menunjukkan bahwa industry ternak unggas

mempunyai prospek yang baik ke depan.

Secara umum ternak besar terdiri dari dua golongan besar yakni ruminansia

(sapi dan kerbau) dan non ruminansia (kuda). Di antara ketiga jenis ternak besar,

ternak sapi yang paling banyak dipelihara sebagai sumber daging dan susu. Oleh

karena itu, pembahasan pada bagian ini lebih diarahkan pada ternak sapi. Akan tetapi
39

pembahasan secara umur untuk ternak kerbau dan kuda akan di paparkan

menyangkut populasi, sistem pemeliharaan, dan peran social ekonominya dalam

rumah tangga petani

BPS NTT (2013) melaporkan bahwa populasi ternak besar boleh dikayakan

hampir merata di empat pulau besar di NTT yakni Timor Barat, Flores, Sumba dan

Alor. Namun demikian, sebagian besar peternak sapi bermukim di Timor Barat.

Tabel 12 mencatat sekitar 86 persen ternak sapi potong dibudidayakan oleh rumah

tangga tani di Timor Barat. Ternak kerbau dan kuda rupanya kurang berkembang

baik seperti ternak sapi. Kerbau banyak dijumpai di pulau Flores dan Sumba, sedang

ternak kuda banyak diperlihara oleh penduduk di daerah Sumba Timur. Data pada

tahun 2010 menunjukkan populasi ternak Kuda terbanyak dijumpai di Pulau Flores

dan Sumba (44,11%). Hal ini terkait erat dengan acara adat dan kebudayaan

masyarakat Sumba dimana kerbau merupakan termasuk komponen utama dalam

urusan adat masyarakat Sumba seperti urusan pernikahan dan kematian.

Table 12. Distribusi Ternak Besar di Empat Pulau Besar di NTT, 2010.

Jenis Ternak Tahun (ekor)


Timor Barat Flores & Alor Sumba NTT
Kerbau 34 276 45 661 63 102 143 039

Kuda 45 617 47 598 42 594 136 537

Sumber: BPS NTT, 2011.

Dari Tabel 12 di atas, dapat dilihat bahwa sekitar 87 persen ternak kuda di

NTT terkonsentrasi di Pulau Flores dan Alor. Dilain pihak sebanyak 44 persen

Kerbau terdapat di Pulau Sumba. Hal ini dapat di maklumi karena ternak kerbau

mempunayi nilai yang sangat tinggi dalam peristiwa adat dan budaya orang Sumba

seperti pada acara pernikahan, dan kematian.


40

Sebagaimana dijelaskan oleh Mubyarto (1979), usaha peternakan umumnya

dikelola dengan pola tradisional untuk kebutuhan subsisten. Tidaklah mengherankan

jika produksi peternakan terutama ternak sapi rendah. Meskipun dari sisi permintaan

terhadap daging sapi baik pada aras domestik maupun internasioanl signifikan,

namun hal tersebut tidaklah cukup mendorong peningkatan produktivitas.

3.2.1 Ternak Sapi Bali Potong

Ternak sapi potong di Indonesia berasal atau turunan dari beberapa bangsa

sapi yakni sapi Bali, Madura, Ongole, Grati dan sapi Kedah-kelantan (Moran, 1987).

Di antara bangsa sapi tersebut, sapi Bali dan Ongole merupakan dua bangsa dominan

di NTT. Sapi Bali terkonsentrasi di Pulau Timor, sementara sapi Ongole banyak di

pelihara oleh rumah tangga tani di Pulau Sumba.

Kirby (1979) menyatakan bahwa sapi Bali merupakan turunan dari Banteng

(Bos sondaicus yang juga dikenal dengan nama Bos javanicus atau Bos banteng).

Menurut Payne and Rollinson (1973) sapi Bali mulanya terkonsentrasi di Pulau Bali,

namun sekarang sapi telah menjelma menjadi asli Indonesia dan menyebar hampir

ke seluruh Indonesia.

Sapi Bali pertama kali diintrodusir ke Timor antara tahun 1912 dan 1920

(Payne and Rollinson, 1973; Pane, 1990). Di antara bangsa-bangsa sapi yang ada di

Indonesia, sapi Bali berkembang cukup cepat dan dimasa mendatang akan menjadi

jenis sapi yang penting di Indonesia (Pane, 1990). Menurut BPS NTT (2013)

populasi sapi Bali di NTT hampir mencapai 80 persen dari total populasi sapi yang

ada.

Sapi Bali mempunyai karakter fisik yang relatif uniform dan bentuk

badannya kompak berdada dalam, berbulu halus pendek dan bercahaya. Pada sapi
41

betina dan pedet berwarna coklat pucat, sedang jantan dewasa berwarna coklat gelap

dan kemudian hitam. Perubahan warna terjadi setelah sapi jantan berumur 1-1,5

tahun (Payne and Rollinson, 1973).

Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa ada tanda-tanda khusus yang harus

dipenuhi sebagai sapi Bali murni, yaitu warna putih pada bagian belakang paha,

pinggiran bibir atas, dan pada paha kaki bawah mulai tarsus dan carpus sampai batas

pinggir atas kuku, bulu pada ujung ekor hitam, bulu pada bagian dalam telinga putih,

terdapat garis belut (garis hitam) yang jelas pada bagian atas punggung, bentuk

tanduk pada jantan yang paling edial disebut bentuk tanduk silak congklok yaitu

jalannya pertumbuhan tanduk mula-mula dari dasar sedikit keluar lalu membengkok

keatas, kemudian pada ujungnya membengkok sedikit keluar. Pada yang betina

bentuk tanduk yang edial yang disebut manggul gangsa yaitu jalannya pertumbuhan

tanduk satu garis dengan dahi arah kebelakang sedikit melengkung kebawah dan

pada ujungnya sedikit mengarah kebawah dan kedalam, tanduk ini berwarna hitam.

Sapi Bali sangat digemari oleh para petani kecil disebabkan sapi ini memiliki

beberapa keunggulan seperti: (1) sangat subur (ferlitasnya tinggi berkisar 83 - 86 %)

dapat beranak setiap tahun; (2) mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap

lingkungan keras dan kritis, (3) Pertumbuhan tetap baik walau pun dengan pakan

yang jelek; (4) Prosentase karkas tinggi dan kualitas daging baik, (5) namun ternak

sapi Bali sangat rentan terhadap beberapa penyakit seperti Anthrax, Septicaemia

Epizootic (S.E.) dan Penyakit Mulut dan Kuku (FMD) (Pane, 1990 dan

Masudana,1990).

Berbagai publikasi mengenai keragaan produksi dan reproduksi Sapi Bali

(Martojo, 1990; Chaniago, Bamulaim dan Liem, 1993; dan Payne dan Rollinson,
42

1973), sebagaimana disajikan dalam Tabel 13 berikut. Keragaan produksi sapi Bali

di semua provinsi tidak jauh berbeda terutama di tiga provinsi, NTT, NTB dan Bali.

Tabel 13. Beberapa Tampilan Produksi Sapi Bali di Empat Provinsi di


Indonesia

Provinsi
Karakteristik
Sulsel NTT NTB Bali
Umur pubertas (Bulan) 20 22 22 20
Berat badan kawin I (kg) 165 170 170 180
Persentase kelahiran pertama 76 70 72 69
Interval kelahiran(hari) 475 520 510 530
Rerata Berat Lahir (kg) 12 12 13 16
Rerata Berat kastrasi (kg) 70 75 72 86
Rerata Berat Umur 1 Thn (kg) 113 115 115 128
Rerata Berat Jantan umur 2 Thn (kg) 210 220 222 235
Rerata Berat betina umur 2 Thn (kg) 170 180 182 200
Rerata Berat Jantan umur 5 Thn (kg) 350 335 360 395
Rerata Berat Betina umur 5 Thn (kg) 225 235 238.5 264
Sumber: Adaptasi dari Martojo, 1990.

Payne dan Rollinson (1973) menyatakan sapi Bali mempunyai conception

rate yang tinggi sekalipun berada dalam linkungan yang kurang menguntunkan.

Umur pertama sapi betina muda bunting terjadi pada umur 30-36 bulan sedang

pejantan siap untuk kawin pada umur 36 bulan. Sedangkan Chaniago, Bamualim and

Liem (1993) mengemukakan, bahwa pada sistem cut-and-carry sapi betina pertama

kali melahirkan pada umur 33 bulan, sementara ternak sapi betina yang dipelihara

pada sistem penggembalan ekstensif di lahan kering maupun lahan basah rata-rata

terjadi pada usai 32 dan 35 bulan (Table 14). Di Australia yakni di Coburg

Peninsula, NT, sebagaimana dilaporkan oleh Kirby (1979) berat lahir anak sekitar
43

17 kg dengan pertambahan berat badan harian pada enam bulan pertama adalah 0.22-

0.27 kg. Sementara di NTT berat lahirnya hanya sekitar 12 kg.

Tabel 14. Tampilan Produksi dan Reproduksi Sapi Bali Timor

Sistem Pemeliharaan
Karakteristik Digembalakan di Digembalakan di Diikat
Lahan Kering lahan sawah
Umur pertama kali melahirkan
(bulan) 35 32 33
Musim beranak Mar-Sept Juni-Nov Apr-Okt
Metode perkawinan:
Inseminasi Buatan (IB) (%) 9 8 5
Pejantan milik sendiri (%) 82 81 76
Pejantan pinjaman (%) 9 11 19
Tingkat harapan hidup sampai 91 68 81
disapih (%)
Sumber: Chaniago, Bamualim and Liem (1993)

mengawinkan ternaknya dengan metode IB. Dari Tabel di atas tdiak lebih dari 9

persen peternak baik di daerah lahan kering maupun lahan basah yang melakukan

IB, mayoritas peternak menggunakan pejantan milik sendiri.

Di Pulau Bali ternak ini dipelihara sebagai sapi Bali murni (pure breed). Di

beberapa daerah seperti Timor dan Sulawesi selatan, sapi Bali tetap dipertahankan

sebagai breed murni tetapi juga ada yang disilangkan dengan bangsa sapi lainnya

terutama melalui IB (Pane, 1990).

3.2.2 Populasi Ternak Sapi

Camargo (1957) sebagaimana dikutip oleh Payne and Rollinson (1973),

menyatakan bahwa populasi ternak sapi Bali di Indonesia kurang lebih berjumlah

503,000 ekor. Lima belas tahun kemudian, jumlahnya meningkat menjadi 966,000
44

ekor. Menurut data dari Ditjend Peternakan (2013) jumlah ternak sapi potong di

Indonesia Tahun 2012 adalah 15.981.000 ekor. Hal ini mencerminkan adanya

peningkatan populasi yang cukup signifikan selama kurun waktu 40 tahun.

Di Propinsi NTT populasi Sapi Bali sebagaimana hasil sensus peternakan

yang dicatat pada tahun 1967 sejumlah 331 924 ekor (Djari and Welkis 1972).

Jumlah dan distribusi ternak sapi di pulau-pulau besar di NTT dapat diikuti

pada Tabel 15.

Tabel 15. Jumlah dan Distribusi Ternak Sapi menurut pulau di NTT Tahun
2005-2010.
Tahun (ekor)
Pulau
2005 2006 2007 2008 2010
Timor Barat*) 425.805 434.439 443.158 452.034 478.032
Flores 59.117 60306 61.520 62.749 66.827
Sumba 47.520 48.442 49.382 50.331 53.014
Alor 1.268 1.295 1.323 1.350 1.406
NTT 537.710 544.482 555.383 566.464 599.279
Catatan: *)Termasuk Pulau Rote dan Sabu
sumber: Badan Pusat Statistik NTT (2006-2011)

Pada kurun tahun 2005-2010 populasi ternak sapi meningkat sekitar 2,29

persen pertahun . Populasi ternak sapi di NTT pada tahun 2005 adalah 537.710 ekor

sedangkan pada tahun 2010 berjumlah 599.279 ekor. Dari Tabel 15, diketahui bahwa

mayoritas (79 persen) ternak sapi Bali terkonsentrasi di Pulau Timor. Sedangkan sapi

PO terkonsentrasi di Pulau Sumba.

Di NTT, ternak sapi sesungguhnya sebagian besar dipelihari oleh petani kecil

secara tradisional dengan maksud untuk mendapatkan daging, manure dan juga

sebagai sumber tenaga kerja pertanian (pada kegiatan pengolhan tanah). Di samping
45

manfaat tersebut, menurut Hardjodipuro (1979) ternak sapi di Indonesia umumnya

dan di NTT khususnya dipandang memiliki nilai kerja dan nilai sosial yang tinggi

dan juga mempunyai nilai ekonomi sebagai sapi pedaging yang baik.

Manajemen pemeliharaan ternak sapi di Indonesia bervariasi dan sangat

tergantung pada sistem usahatani yang dijalankan. Pellokila, Ginting dan Nisnoni

(1991) mengklasifikasikan manajemen usaha ternak di NTT ke dalam beberapa

sistem pemeliharaan dan biasanya pembagian tersebut terkait dengan hubungan

antara ternak dan sistem usahatani. Secara umum, ada dua sistem pemeliharaan

ternak sapi di NTT yakni sistem penggembalaan (sistem ekstensif) dan sistem paron

(cut and carry systems). Pembagian di atas di dasarkan pada pola pemberian

makanan.

3.2.3.1 Sistem ekstensif

Sistem penggembalaan masih terlihat dominan dilakukan oleh peternak di

NTT terutama di Pulau Timor Barat. Pada sistem ini ternak digembalakan di padang

penggembalaan umum dan umumnya oleh dua atau tiga orang anak-anak usia

remaja. Jumlah gembala tergantung jumlah ternak dalam satu kelompok pemilikan.

Pada kondisi tertentu dimana suplai tenaga kerja terbatas maka tugas ini dapat

dilakukan oleh anak-anak (dan perempuan), tetapi sesungguhnya anak-anak diberi

tanggungjawab untuk menggembalakan ternak kecil dan memelihara unggas

(Kapa, 1994).

Menggembalakan ternak sapi terbilang pekerjaan ringan, namun memakan

waktu yang banyak. Sebagai teladan, di desa Padamulya, Jawa Barat total waktu

yang dihabiskan untuk menggembalakan sapi perhari masing-masing 8,3 jam di

musim hujan dan 9,1 jam pada musim kemarau (Sumanto et al. 1987). Sedangkan
46

Gambar 9. KelompokTernak sapi bali digembalakan pada lahan penggembalaan di


Kabupaten Kupang, NTT
Pada sistem pemeliharaan secara ekstensif, sumber utama makanan ternak

sapi sepanjang tahun adalah rumput terutama pada musim hujan (Gambar 9). Pada

peralihan musim hujan ke musim kemarau (April-Juli) saat setelah panen, peternak

menggembalakan ternak sapi di sawah untuk memanfaatkan jerami padi atau di

ladang untuk jerami jagung dan limbah tanaman pangan lainnya. Namun selama

musim kemarau, sumber utama pakan berasal dari dedaunan semak-belukar, hutan

dan juga rerumpatan di pinggir jalan (Gambar 10).


47

Gambar 10. Sapi Bali Betina dan anak merumput pinggir jalan, hutan, ladang dan
diikat di sekitar lahan sawah
Kecukupan pakan bermutu menjadi kendali utama bagi produktivitas ternak

yang dipelihara secara ekstensif. Kekurangan pakan dalam jumlah maupun mutu

merupakan masalah serius bagi peningkatan produksi ternak pada sistem

penggembalaan terutama pada musim kemarau. Adalah hal yang umum pada

beberapa padang penggembalaan mengalami penurunan kemampuan daya tampung

(stocking rates) dan tekanan penggembalaan yang tinggi. Kehilangan berat badan

yang subtansial terjadi pada musim kemarau disebabkan karerna defisiensi kuantitas

dan kualitas rumput makanan ternak (Ford, 1989). Lebih lanjut, Ford (1989)

menyatakan bahwa persoalan serius bagi padang penggembalaan terutama di daratan

Timor dan Sumba adalah adanya invasi gulma Chromolaena odorata yang dengan

cepat mematikan rumput alam.


48

3.2.3.2. Sistem Pemeliharaan Semi Intensif (Sistem Paron)

Istilah "Sistem paron" mengacu pada model penggemukan ternak sapi

potong dengan cara diikat dan diberi makan secara teratur dan intensif dimana sapi

bakalan umumnya jantan berumur dua tahun digemukan selama kurang lebih 12

bulan sebelum dijual. Pemberian pakan dilakukan dengan cara cut and carry.

Peternak/pemilik memotong dan membawa hijauan makanan ternak berupa rumput,

dan daun-daunan seperti lamtoro, gala-gala dsbnya sebanyak kurang lebih 15 kg dan

diberikan pada ternak paron 2-3 kali sehari yakni pagi dan sore. Sebagai pengganti

air maka peternak juga memberikan potongan batang pisang terutama pada siang

hari. Ternak sapi jantan bakalan berasal dari kelompok pembibit ternak yang dikelola

oleh petani peternak ekstensif.

Gambar 11. Usaha Penggemukan Sapi Bali Jantan (sistem Paron), di


Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang, NTT

Pemeliharaan sapi paron umum dilakukan petani di daerah Amarasi

Kabupaten Kupang. Komponen utama pakan pada musim kemarau lamtoro dan

dedaunan dari berbagai jenis pohon yang ada di kebun dan di sekitar pekarangan.

Sebaliknya, pada musim hujan pakan ternak didominasi oleh rumput yang dicampur
49

dengan dedaunan terutama lamtoro. Lamtoro (Leucaena leucocephala) pakan

berkualitas tinggi yang mengandung protein tinggi.

Tanaman lamtoro pertama kali diperkenalkan oleh pemerintah kolonial

Belanda pada tahun 1930an. Pada mulanya tanaman ini ditanam dengan tujuan untuk

mengontrol tanaman Lantana camara yakni tumbuhan belukar yang tumbuh subur

menutupi hampir sebagian besar areal padang penggembalaan di daerah Baun dan

Amarasi. Tertutupnya area padang penggembalaan menyebabkan berkurangnya

populasi ternak sapi. Sepuluh tahun kemudian, tanaman lamtoro telah menyebar luas

di seluruh kecamatan Amarasi bahkan menyebar hampir di semua kecamatan di

Kabupaten Kupang. Sebagai teladan, Ormeling (1955)-sebagaimana dikutip oleh

Piggin dan Parera (1989)-pada tahun 1948 sekitar 465 ha lahan di Kabupaten Kupang

ditumbuhi oleh lamtoro, 437 ha diantaranya berada di daerah Amarasi. Pada saat

yang bersamaan semua Lantana camara telah hilang.

Melihat betapa pentingnnya lamtoro, maka petani di Amarasi

memandangnya sebagai tanaman ajaib, sebab selain berfungsi sebagai hijauan

tanaman makanan ternak, ternyata lamtoro juga berperan dalam konservasi tanah

serta menambah kesuburan tanah. Lebih lanjut dikatakan ditemukan bahwa

kehadiran lamtoro telah mengubah pola perladangan berpindah dan pola

pemeliharaan ternak bersifat ekstensif menjadi usaha pertanian semi intensif. Setelah

tahun 1960, hampir seluruh kebun, pekarangan, dan lahan kritis dipenuhi oleh

tegakkan lamtoro sehingga peternak memilih untuk mengikat ternaknya di sekitar

rumah maupun di kebun miliknya dan peternak membawa pakan (hand-feed).

Praktek seperti ini telah meingkatkankan produksi ternak sapi potong di NTT

(Metzner, 1981).
50

Pada tahun 1971, pemerintah NTT memperkenalkan sistem paron dimana

pemerintah memberi petani/peternak sapi bakalan jantan untuk digemukan dan

selanjutnya diberi makan dengan cut-and-carry system hingga mencapai berat pasar.

Sapi kemudian dijual melalui pedagang perantara untuk selanjutnya di ekspor ke luar

NTT.

Petani/peternak di Amarasi tentunya mendapatkan faedah yang luar biasa

dari system ini. Bila pada tahun 1940-an pemilikan ternak sapi sangat sedikit dimana

menurut Metzner (1981) hanya sekitar satu persen saja rumah tangga di Amarasi

memiliki ternak sapi namun dalam beberapa decade terakhir hampir 100 persen

rumah tangga memiliki ternak sapi. Jumlah pemikian berkisar antar 2-7 ekor dimana

banyak sedikitnya ternak yang dipelihara tergantung pada jumlah hijauan makanan

ternak yang tersedia.

Sebagaimana di jelaskan pada bagian terdahulu, bahwa invasi kutu loncat

terhadap tegakan lamtoro berpengaruh sangat besar terhadap usahatani lahan kering

dan usaha sapi paron yang bergantung pada lamtoro. Kaunang and Kapa (1989)

menemukan paling tidak ada empat dampak negative dari serangan kutu loncat

terhadaap lamtoro. Pertama, total produksi pertanian menurun drastic, karena

lamoto tidak hanya menyediakan unsur hara nitrogen bagi tanaman pangan tetapi

juga lamtoro mengeliminasi gulma dari lading milik petani. Kedua, hilangnya

tegakkan lamtoro menyebabkan tanah terbuka berakibat pada erosi dan pencucuian

hara tanah. Ketiga. Ketiga, keberadaan gulma meningkat yang mereduksi total

produksi tanaman pangan. Contohnya, produksi jagung menurun drastis sekitar

53,12 persen per ha, sedang produksi ubi kayu berkurang sebesar 33,33 persen .

Keempat, bagi usaha ternak paron dengan menurun ketersediaan daun lamtoro berat
51

badan pasar tidak bisa lagi dicapai dalam kurun waktu yang sama (6-12 bulan) ketika

lamtoro tersedia berlimpah. Meskipun banyak tersedia hijauan lainnya namun tidak

dapat menggantikan peran lantoro.

Petani/peternakan mencari sumber pakan local alternative dan hal ini

membutuhkan waktu yang lebih banyak. Untuk mengantisipasi hal ini, peternak

mulai mengurangi jumlah sapi untuk diparon serta menanam tanaman lain seperti

gala-gala, gamal dan beberapa jenis hiauan makanan ternak unggul baik di

pekarangan maupun di kebun. Upaya ini sangat krusial dalam mengatasi

keterbatasan makanan ternak dalam rangka menjamin keberlanjutan usaha ternak

menuju system pemeliharaan semi-intensif.


52

4.1. Potensi dan Daya Dukung

Salah satu faktor terpenting yang menunjang keberhasilan pembangunan

peternakan di NTT adalah tersedianya padang penggembalaan yang luas. Dengan

tersedianya padang penggembalaan tersebut mengantarkan NTT sebagai salah satu

daerah pemasok ternak bagi kebutuhan daging nasional.

Padang penggembalaan atau juga dikenal sebagai padang savanah umumnya

digunakan sebagai tempat penggembalaan ternak yang dipelihara secara ekstensif.

Luas padang penggembalaan di NTT bervariasi, sebagai teladan data

pada neraca sumberdaya NTT menunjukan bahwa luas padang rumput di NTT ±

1.78 juta ha. Namun Nulik dan Bamualim (1998) menyatakan bahwa luas padang

rumput NTT mendekati 1.9 juta ha dengan rerata daya tampung 3,23 unit ternak (UT)

per ha. Dibanding dengan luas padang rumput di pulau lainnya maka Sumba

memiliki padang rumput terluas di NTT yakni 770.600 ha dengan daya tampung 5,3

UT per ha. (Tabel 16).

Tabel 16. Luas Padang Rumput dan Daya Tampung Padang Pengembalaan di
Nusa Tenggara Timur
Lokasi Luas Pulau Padang Rumput Unit Ternak Daya
(ha) (ha) (UT) Dukung
(UT/ha)
Timor Barat 1.699.090 705.040 537.110 1.3

Flores 1.909.500 406.170 129.630 3.1

Sumba 1.085.440 770.600 145.060 5.3

Sumber : Nullik dan Bamualim (1998)


53

Sesungguhnya potensi padang penggembalaan yang dimiliki oleh NTT,

khususnya Pulau Timor bagi pengembangan peternakan sapi potong sangat

prospektif. Masalah klasik masih mengancam keberlangsungan populasi/eksistensi

ternak sapi di wilayah tersebut adalah pengelolaan padang penggembalaan yang

buruk, penggembalaan yang tidak terkontrol, ketiadaan sumber air dan pakan saat

musim kemarau, serta ancaman penyakit-penyakit hewan menular adalah masalah

utama bagi upaya pengembangan ternak sapi di wilayah ini

Kepemilikan terhadap lahan ini bersifat komunal dengan daya dukung yang

rendah yakni kurang dari 2 ha per livestock unit (Bamualim, Nulik dan Wirdahayati,

1996). Penurunan daya dukung padang penggembalaan terjadi karena ada

peningkatan jumlah ternak, upaya pengalihan fungsi lahan dan juga tekanan

penduduk. Data terakhir menunjukkan bahwa luas padang penggembalaan di NTT

berkurang sebanyak 10,7 persen setiap tahun (BPS NTT, 2011).

4.2. Satuan Ternak

4.2.1. Definisi

Satuan Ternak (ST) atau lasim disebut Animal Unit (AU) adalah suatu

ukuran yang mengkorelasikan berat badan dengan jumlah pakan yang dikonsumsi

ternak. ST sejatinya bermakna ganda yaitu ternak itu sendiri dan jumlah makanan

ternak yang dikonsumsi. Penggunaan ST ternak pada awalnya digunakan pada ternak

ruminansia yakni untuk mengukur daya tampung suatu padang pengembalaan

(rumput) terhadap jumlah ternak yang dapat dipelihara. Saat ini ST telah secara

entensif digunakan pada berbagai jenis ternak lainnya (Anonimous, TT). Konsep AU

telah digunakan di Amerika Utara untuk membantu dalam merencanakan,

menganalisis, dan mengatur makanan ternak yang dikonsumsi oleh ternak. Namun
54

aplikasi dari ST saat beragam tergantung pada keperluan masing-masing pengguna.

Konsekuensinya, apabila menggunakannya haruslah definisinya sesuai dengan

tujuan penggunaannya. Di Negara-negara empat musim perhitungan AU didasarkan

pada konsep berat badan sapi betina 1.000 pound ( 454 kg) yang sedang menyusui

anak maupun tidak, dengan pertimbangan bahwa sapi tersebut setiap hari

mengkonsumsi 26 pound (12 kg) Bahan Kering pakan

(http://en.wikipedia.org/wiki/Animal_unit, diunduh tgl 23 September 2014).

Bila di Amerika, negera-negara Eropa dan Indonesia menggunakan da sar

sapi untuk menghitung Animal Unit (Satuan Ternak), maka di Australia digunakan

standar yang berbeda yakni Dry Sheep Equivalent (DSE) dimana perhitungan

memakai ternak domba, koefisien ini sangat luas penggunaannya di Australia dan

New Zealand.

DSE (Dry Sheep Equivalent) menurut Cradle Coast NRM dan Colin

McLaren, Attwood (1997) digunakan untuk menerangkan jumlah pakan atau bahan

kering (kg DM) per hari yang dibutuhkan oleh seekor domba kastrasi atau betina

yang tidak sedang menyusui dengan berat badan 45-50 kg.

Menurut Wikipedia (2014) “Dry Sheep Equivalent (DSE) is a standard unit

frequently used in Australia to compare the feed requirements of different classes of

stock or to assess the carrying capacity and potential productivity of a given farm or

area of grazing land”. Dengan kata lain DSE adalah suatu unit baku yang digunakan

di Australia untuk membanding kebutuhan makanan dari berbagai jenis ternak dari

kelas yang berbeda. DSE dipakai sebagai standar untuk menghitung stocking rates

dan daya tampung (carrying capacity) atau potensi produksi dari suatu padang

penggembalaan.
55

Menurut Russel (2010) untuk menghitung kebutuhan energy ternak dipakai

standar berat badan seekor domba yang dikebiri yakni 45 kg (ada juga yang

menggunakan 50 kg) berat badan (BB) setara dengan 1 DSE. Makin tinggi BB , dan

kebutuhan energy makin besar juga unit DSEnya. DSE rating dari beberapa jenis

dan kelas ternak berdasarkan kebutuhan pakan disajikan pada Tabel 16

Tabel 17. Dry sheep equivalents (DSE) untuk beberapa jenis dan kelas ternak
domba dan sapi.
Kelas Ternak DSE menurut berat badan

Domba (Merino) 15 kg 25 kg
Anak Domba Sapih
PBB*) 100g/hr 0,9 1.2
PBB 200g/hr 1,4 1.8
Domba Dewasa 40 kg 50 kg
Betina tak menyusui, Jantan Kastrasi
PBB 50g/hr 0,9 1,1
PBB 100g/hr 1.2 1.4
Betina bunting 6 bulan (anak 1ekor) 1,4 1,7
Betina Bunting 6 bulan (anak kembar 1,8 1,6
dua) 2,4 3,1
Induk dengan 1 anak 2,8 3.3
Induk dengan 2 anak
Sapi Potong (British Breed) 200 kg 250 kg
Anak yang disapih
PBB 0,25 kg/hr 5,5 6,5
PBB 0,75 kg/hr 8,0 9,0
Anak sapi umur 1 tahun 300 kg 350 kg
PBB 0,25 kg/hr 7,0 8,0
PBB 0,75 kg/hr 10 11
Sapi dewasa 400 kg 500 kg
Betina tdk menyusui jantan muda 7 8
(bakalan) 8 9
PBB 0,25 kg/hr
Bullock (pejantan castrasi) (Bakalan) 12 14
PBB 0,75 kg/hr
Catatan: PBB = Pertambahan Berat Badan
Sumber: Collin McLaren, Attwood, 1997

Konsep di atas tentu saja tidak sesuai untuk daerah tropis seperti Indonesia.

Oleh karena itu Direktorat Jenderal Peternakan melalui Direktorat Bina Usaha Petani
56

Ternak dan Pengolahan Hasil Peternakan (Anonim,Tanpa Tahun) membuat ukuran

satuan ternak untuk setiap jenis ternak berlandaskan pada konsep atau ukuran yang

digunakan untuk ternak yg konsumsi pakannya setara dengan konsumsi pakan

seekor sapi betina dewasa.

Di Indonesia konsumsi pakan seekor sapi betina dewasa adalah ± 35 kg atau

jika dalam bentuk bahan kering (BK) adalah 9,1kg. Seekor sapi muda (umur 1-2

tahun) mengkonsumsi setengah dari sapi dewasa yaitu 15-17,5 kg pakan maka hal

ini setara dengan 0,5 ST. Sedangkan untuk seekor pedet akan mengkonsumsi

seperempat dari sapi dewasa yakni 7,5-9 kg pakan atau setara dengan 0,25 ST.

Dengan kata lain, ST adalah ukuran yang digunakan untuk menghubungkan berat

badan ternak dengan jumlah pakan ternak yang dimakan. Satuan Ternak dapat

diekspresikan dalam ST Bulan atau Tahun.

Dengan mengetahui ST, maka kita dapat mengetahui apakah suatu daerah

mengalami kekurangan pakan, atau daerah tersebut memiliki jumlah pakan yang

seimbang dengan jumlah ternak, atau dapat terjadi surplus pakan di suatu daerah.

Formula yang digunakan untuk menghitung potensi suatu wilayah adalah dengan
𝑆𝑇𝑚
membandingkan jumlah pakan yang tersedia dengan jumlah ternak ( 𝑆𝑇𝑡 ).

𝑆𝑇𝑚
1. Bila ( 𝑆𝑇𝑡 )< 1 maka daerah tersebut tergolong daerah yang kekurangan pakan

𝑆𝑇𝑚
2. ( 𝑆𝑇𝑡 )> 1 = maka daerah tersebut ada keseimbangan antara jumlah ternak dan

pakan
𝑆𝑇𝑚
3. ( 𝑆𝑇𝑡 )> 1 = maka daerah tersebut tergolong daerah yang surplus pakan.

(STm adalah satuan ternak untuk makanan ternak, dan STt adalah satuan

ternak untuk ternak.


57

Tabel berikut menyajikan Ukuran Satuan Ternak berbagai jenis ternak

berdasarkan kelompok umur.

Tabel 18. Satuan Ternak untuk Berbagai Jenis Ternak

Jenis ternak Kelompok umur umur Satuan Ternak

Sapi Dewasa >2 tahun 1,00


Muda 1 - 2 tahun 0,50
Anak < 1 tahun 0,25
Kerbau Dewasa >2 tahun 1,00
Muda 1 - 2 tahun 0,50
Anak < 1 tahun 0,25
Kambing/Domba Dewasa >1 tahun 0,14
Muda 0,5 – 1 tahun 0,07
Anak < 0,5 tahun 0,035
Babi Dewasa >1 tahun 0,40
Muda 0,5 – 1 tahun 0,20
Anak < 0,5 tahun 0,10
Ayam/itik Dewasa (100ekor) >0,5 tahun 1
Muda (100 ekor) 0,17-0,5 tahun 0,5
Anak (100 ekor) <0,17 0,25
Sumber: Direktorat Bina Usaha Petani Ternak dan Pengolahan Hasil Peternakan

(TT)

4.2.2. Kegunaan Satuan Ternak

Satuan ternak sebagai suatu koefisien teknis tidak saja berguna untuk

menghitung daya tampung makanan ternak suatu padang penggembalaan atau daya

tampung sisa hasil usahatani suatu areal pertanian terhadap jumlah ternak, ST juga

berguna untuk menghitung berbagai masukan dan keluaran finasial usaha ternak.

Kegunaan lainnya adalah untuk menghitung: potensi daerah, luas kandang, hasil
58

pupuk, estimasi harga ternak, biaya produksi (Tenaga kerja, breeding, pengobatan

dll).

Contoh-contoh berikut adalah penerapan ST dan DSE dalam usaha ternak.

a) Padang Rumput: Sebidang padang penggembalaan dengan luas 3 ha dalam

setahun dapat memproduksi rumput dan dedaunan segar sebanyak 31,2 ton.

Satu ST dalam sehari membutuhkan 35 kg hijauan (pakan), dalam setahun

jumlah pakan yang dibutuhkan adalah 365 x 35 kg = 12.775 kg. Sehingga

daya tampung padang rumput tersebut adalah 31.200 kg : 12.775 kg = 2,44

ST per tahun atau setara dengan 2 ekor sapi dewasa.

b) Sisa Hasil Pertanian: Sisa hasil tanaman pangan seperti jerami, dan

dedaunan, merupakan salah satu sumber pakan ternak. Guna mengetahui

berapa satuan ternak yang bisa didukung oleh 1 ha tanaman dilakukan

perhitungan sebagaimana tercantum dalam tabel berikut:

Tabel 19. Daya Dukung Tanaman Pangan sebagai sumber Pakan

Jenis Tanaman Daya Dukung Jenis Makanan


(ST/ha)
Padi 1.136 Jerami
Jagung 4.986 Jerami
Singkong 0,767 Daun
Ubi Jalar 1,874 Daun
Kedelai 1,269 Jerami
Kacang Tanah 1.740 Jerami
Sumber: Direktorat Bina Usaha Petani Ternak dan Pengolahan Hasil Peternakan

(TT)
59

c) Luas Kandang

Berdadasarkan acuan atau koefisien teknis bahwa 1 ST memerlukan luas

kandang 2 x ½ = 3 m2. Jadi andaikan seorang peternak memiliki sekelompok ternak

sapi dengan komposisi: 5 induk sapi = 5 ST; 1 pejantan = 1 ST; 5 dara = 2,5 ST; 6

ekor jantan muda = 3 ST; dan 10 ekor anak = 2,5 ST, sehingga total ST seluruhnya

= 14 ST, maka luas kandang yang dibutuhkan adalah 14 ST= 14 x 3 m2 = 42 m2.

4.3. Kapasitas Tampung (Carrying Capacity)

Keberhasilan usaha peternakan terkait erat dengan kemampuan padang

penggembalaan dalam menyediakan makanan ternak yang cukup bagi pemenuhan

kebutuhan ternak.

Padang penggembalaan yang dalam bahasa Inggris disebut Pasture adalah

lahan yang digunakan untuk penggembalaan dan sumber hijauan segar bagi ternak.

Parakkasi (1995) menyatakan, pasture adalah suatu lapangan terpagar yang

ditumbuhi hijauan dengan kualitas unggul dan digunakan untuk menggembalakan

ternak ruminansia. Definisi senada diberikan oleh Reksohadiprojo (1994) yakni

sehamparan area yang ditumbuhi oleh hijauan makanan ternak (HMT) untuk

memenuhi kebutuhan ternak pada periode waktu tertentu (biasanya dalam waktu

yang tidak lama. Singkatnya pasture sebagaimana didfinisikan oleh Dictionary.com

adalah suatu lahan atau area yang ditutupi oleh rumput ataupun HMT lainnya yang

cocok bagi ternak merumput.

Reksohadiprojo (1994) menggolongkan padang penggembalaan ke dalam

beberapa jenis yakni, (1) padang penggembalaan alam, (2) padang penggembalaan

permanen telah ditingkatkan, (3) padang penggembalaan termporer, dan (4) padang

penggembalaan irigasi.
60

Ciri-ciri pasture yang baik yaitu produksi bahan kering tinggi, memiliki

kandungan gizi terutama protein kasar yang tinggi, tahan renggutan dan injakan serta

kekeringan saat musim kemarau, pemeliharaannya mudah, daya tumbuh cepat,

nisbah daun dan batang tinggi, mudah dikembangkan jika dikombinasikan dengan

tanaman legume, ekonomis dan mempunyai palatabilitas yang tinggi.

Untuk menentukan kemampuan suatu padang penggembalaan menampung

ternak, maka perlu diketahui Kapasitas Tampung (Carrying Capacity). Sebab

kapasitas tampung sangat bertalian erat dengan jenis ternak, produksi hijaun rumput,

musim, luas padang penggembalaan. Dengan diketahuinya daya tampung maka

dapat ditentukan apakah lahan tersebut tersedian hijauan makanan ternak dalam

jumlah yang cukup dan berapa jumlah ternak yang dapat dilepas di lahan tersebut.

Kapasitas tampung juga sering disebut daya tampung adalah kemampuan

padang penggembalaan dalam menyediakan HMT bagi sejumlah ternak yang

digembalakan pada luasan 1 ha dalam waktu satu tahun (Reksohadiprodjo, 1994).

Jadi misalnya 1 ha padang penggembalaan mempunyai daya tampung 4 ST pertahun,

maka padang penggembalaan tersebut dapat menyediakan HMT yang memadai

untuk 4 ekor ternak sapi dewasa atau jika diperuntukan bagi ternak domba maka

padang tersebut dapat menampung 28 ekor domba.

Merujuk pada hasil penelitian Nulik dan Bamualim (1998) yang dipaparkan

pada Tabel 7 di atas serta Bamualim, Wirdahayati dan Smith (1991), maka daya

tampung padang rumput di tiga pulau besar di NTT yakni Timor Barat mempunyai

kapasitas tampung 1,3, di Flores 3,1 dan di Sumba 5,3. Sedang data yang dikompilasi

Wirdahayati (2010) dari BPS NTT (2007) menemukan penurunan kapasitas tampung

yakni di Timor 0,85, di Flores 1,56 dan di Sumba 1,66. Hal ini dimaklumi karena
61

dasar perhitungan bukan Unit Ternak (UT) melainkan luas lahan penggembalaan dan

populasi ternak besar (ha/ekor).

4.4. Potensi Produksi Pakan Lahan Kering

Peranan dan kedudukan peternakan bagi masyarakat di NTT tidak bisa

dipungkiri. Namun dalam upaya pengembangan peternakan baik jangka pendek

maupun jangka panjang harus mempertimbangkan daya dukung sumberdaya atau

potensi yakni ketersediaan pakan ternak dari berbagai sumber baik yang berasal dari

hijauan makanan ternak, maupun dari sumber lain seperti hasil limbah pertanian

yang sebetul berada dalam jumlah yang melimpah.

Luas lahan yang tersedia untuk pengembangan peternakan di NTT cukup

luas yakni 19.420 km2 atau kurang lebih 41 persen luas wilayah NTT. Dari luas

tersebut terdapat padang penggembalaan seluas 787.762 ha, kendati data ini berbeda

dengan data yang dikeluarkan oleh Dinas Peternakan NTT (2011) yaitu 832.228 ha.

Data tersebut memberi gambaran bahwa tersedia potensi rumput alam yang besar,

meskipun kualitasnya sangat rendah. Kondisi ini tentu saja bervariasi antar satu

pulau dengan pulau lainnya di NTT (Nulik dan Bamualim, 1998; Bamualim,

Wirdahayati dan Smith, 1991). Bagi NTT, ketersediaan lahan penggembalaan

merupakan comparative advantage terhadap daerah lain di Indonesia. Bukan saja

karena luas tetapi juga padang penggembalaan merupakan sumber hijauan makanan

ternak yang murah bagi ternak sapi, dengan kata lain cara pemeliharaan ternak secara

dilepas merumput di padang penggembalaan atau sistem ekstensif telah menekan

biaya pakan yang merupakan komponen biaya produksi terbesar dalam proses

produksi usaha ternak.


62

Meskipun potensi padang penggembalaan cukup luas, permasalahannya

adalah kondisi padang penggembalaan saat ini sangat memprihatinkan. Umumnya

kondisi lahan penggembalaan di NTT telah mengalami kerusakan yang serius.

Bukan saja kekurangan potensi hijauan makanan ternak dimana dari waktu ke waktu

terjadi penurunan kualitas, tetapi dari segi jumlah juga terus berkurang karena

adanya upaya konversi lahan menjadi lahan pertanaman tanaman pangan,

perkebunan dan kehadiran gulma seperti chromolaena odorata (Riwu Kaho, 1993).

Permasalahan lain yang memperburuk kuantitas dan kualitas hijuan di lahan

penggembalaan adalah adanya fluktuasi curah hujan.

Kondisi musim hujan yang relatif singkat (3-4 bulan) sedang musim kemarau

lebih panjang berdampak pada menurunnya produksi hijauan, diikuti dengan

penurunan kandungan protein, mineral dan energi hijauan. Bamualim, Wirdahayati

dan Smith (1991) menyatakan akibat adanya fluaktuasi mutu dan jumlah pakan dari

musin hujan ke musim kemarau, maka ternak ruminansia yang dipelihara secara

ekstensif di lahan penggembalaan akan mengalami kenaikan bobot badan selama

musim hujan dan sebaliknya mengalami penurunan bobot badan yang signifikan

pada musim kemarau. Hasil penelitian Bamualim, Wirdahayati dan Smith (1991)

menunjukkan bahwa ternak sapi bali mengalami pertambahan berat badan antara 50-

100 kg per ekor selama musim hujan, dan akan mengalami penurunan berat sebanyak

30-50 kg per ekor selama musim kemarau. Produksi hijauan meningkat selama

bulan-bulan basah (Januari – Juni) dan menurun selama bulan-bulan kering (Juli –

Desember). Dari Hasil survey yang dilakukan oleh Bamualim dkk (1994) dibeberapa

daerah di NTT memperlihatkan produksi hijauan rumput tertinggi terjadi pada bulan

Maret dan terendah pada bulan Desember. Konsekuensi dari kondisi tersebut, terjadi
63

penurunan daya tampung padang penggembalaan kadang melebihi 2 ha/1 UT selama

musim panas (September – November).

Peranan pakan yang bersumber dari luar padang rumput menjadi penting.

Sumber pakan lain terutama pada musim kemarau adalah beragam hijauan yang

berasal dari tanaman semak/pohon local seperti busi (Melochia umbelata), kabesak

(Acasia leucophloa), kapok (Ceiba petandra), waru (Hibiscus teleaceus) dan lain-

lain. Hijauan pohon leguminosa seperti lamtoro telah lama digunakan sebagai pakan

teutama pada sistem usaha penggemukan sapi, dan sejak beberapa tahun terakhir

upaya pengembangan tanaman leguminosa seperti gamal, kaliandra, dan acacia telah

digalakkan (Bamualim, Wirdahayati dan Smith, 1991).


64

Sapi Bali merupakan salah satu komoditas unggulan penggerak roda

perekonomian Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kontribusinya terhadap

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) mencapai Rp 0,4 triliun, yang berasal dari

61.279 ekor sapi yang diekspor dan 4.336.815 ton daging yang dihasilkan dari

48.187 ekor ternak sapi yang dipotong untuk konsumsi lokal (BPS NTT, 2008).

Tidaklah mengherankan kalau pemerintah Provinsi NTT dan sebagian kabupaten

bergairah untuk mengembalikan NTT sebagai salah satu gudang ternak potong

nasional. Sebab, di masa lalu predikat tersebut pernah disandang tetapi kemudian

terkubur oleh berbagai persoalan teknis, sosial dan kebijakan di seputar

pengembangan ternak Sapi Bali, yang hingga kini belum juga dapat diatasi.

Menilik manfaat ekonomi yang sangat signifikan tersebut, maka usaha bisnis

sapi potong sebenarnya adalah pilihan yang tepat bagi peternak atau pengusaha di

bidang peternakan yang hendak mencari sumber penghasilan. Hal ini didukung oleh

fakta semakin meningkatnya permintaan terhadap daging oleh konsumen domestik.

Sejauh ini permintaan yang tinggi tidak dapat terpenuhi oleh produsen sapi lokal.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, pemerintah mengimpor daging dan susu dari

luar negeri seperti dari Australia.

Sapi Bali merupakan sapi potong yang sangat baik dan memiliki beberapa

keunggulan seperti kualitas daging yang baik, persentase karkas yang tinggi, dan

kandungan lemak daging sedikit. Sapi Bali merupakan salah satu komoditas ternak

yang memiliki prospek bisnis yang baik untuk dikembangkan sebagai penghasil

daging, sumber pendapatan dan sarana investasi.


65

Sebagaimana usaha (bisnis) komiditi lainnya, dalam usaha peternakan sapi

potong perlu dilakukan analisis yang dapat menyediakan informasi lengkap tentang

hal-hal yang bertalian dengan biaya produksi, penerimaan dan pendapatan usaha

tersebut. Sehingga dapat menjadi acuan apabila ingin memulai usaha bisnis

peternakan sapi potong jenis sapi bali.

Pembahasan berikut adalah mengenai komponen-komponen analisis

ekonomi dalam usaha peternakan sapi potong seperti biaya, penerimaan, pendapatan

serta analisis finansial seperti Return on Investment (ROI) dan Benefit Cost Ratio

(BCR). Analisis finansial penting dilakukan sebagai arahan bagi pebisnis di bidang

sarana keuangan, sekaligus sebagai informasi yang sangat dibutuhkan institusi lain

seperti lebaga keuangan pemberi kredit.

5.1. Biaya Produksi

Salah faktor utama yang berperan dalam menjalankan kegiatan bisnis

termasuk usaha peternakan sapi adalah biaya produksi. Dalam teori ekonomi dikenal

dua jenis biaya yakni biaya tetap (fixed costs) dan biaya tidak tetap (variable costs).

Hasil penjumlahan dari kedua jenis biaya disebut Total Costs (Soekartawi, 1995, dan

Mubyarto,1995). Biaya tetap biasanya biaya yang dikeluarkan pada awal usaha dan

untuk kasus usaha ternak sapi misalnya biaya pembelian atau penyewaan lahan,

biaya pembuatan kandang dan bangunan lainnya, biaya peralatan dan inventaris,

biaya penyusutan terhadap kandang, peralatan dan inventaris lainnya. Biaya tetap

harus selalu dikeluarkan meskipun tidak ada proses produksi, karena sifatnya

tersebut sehingga biaya ini tidak dipengaruhi oleh volume usaha. Biaya variabel

untuk usaha ternak sapi potong meliputi, biaya-biaya untuk: pembelian pedet

(bakalan), pakan, upah tenaga kerja, pembelian obat-obatan, dan biaya tak terduga
66

yakni biaya cadangan untuk digunakan sewaktu-waktu manakala ada

kebutuhan/pengeluaran yang tidak diperhitungkan sebelumnya.

5.2. Pendapatan

Sebelum menghitung pendapataan maka terlebih dahulu diketahui

penerimaan usaha (Revenue) yakni hasil perkalian antara jumlah output (produk)

yang dihasilkan dengan harga produk tersebut. Pendapatan sejatinya adalah dapat

dikelompok menjadi dua yakni pendapatan kotor (Gross Income juga disebut Gross

Margin) dan pendapatan bersih (Net Income). Dalam formula matematika kedua

jenis pendapatan tersebut dirumuskan sebagai berikut:

GI = R – BV

NI = PK – BT

Dimana:

GI = Pendapatan kotor; R = Penerimaan; dan BV= Biaya variabel

NI = Pendapatan Bersih; BT = Biaya tetap

5.3. Benefit Cost Ratio (B/C Ratio)

Benefit-cost ratio atau juga disebut nisbah Biaya-Manfaat merupakan alat

analisis finasial suatu usaha. Benefit-cost ratio dapat dihitung dengan membandingkan

keuntungan atau pendapatan bersih usaha dengan total biaya produksi usaha. Secara

matematis, pernyataan tersebut dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut:

𝑇𝑅
𝐵/𝐶 =
𝑇𝐶

dimana:
B/C = benefit-cost ratio
TR = total penerimaan usaha ternak sapi bali
TC = total biaya produksi usaha ternak sapi bali
67

Nilai B/C banyak dipakai karena dengan menghitung B/C ratio, maka besarnya manfaat

dari proyek yang dilaksanakan dapat diprediksi. Adapun kriterianya adalah sebagai

berikut:

1. Jika B/C ratio > 1 = maka kegiatan usaha tersebut layak

2. Jika B/C ratio < 1 = maka kegiatan usaha tersebut tidak layak

5.4. Return of investment

Return of investment (ROI), menggambarkan tingkat efisiensi penggunaan

modal berkaitan dengan tingkat keuntungan usaha tani yang diperoleh. Besar

kecilnya nilai ROI ditentukan oleh besarnya keuntungan yang dicapai dan perputaran

modal.

ROI merupakan ukuran perbandingan antara keuntungan dengan biaya operasional.

Analisis ini digunakan untuk mengetahui efisiensi penggunaan modal.

Rangkuti (2011) menyatakan bahwa ROI merupakan rasio yang digunakan

untuk mengukur kemampuan modal yang diinvestasikan dalam keseluruhan aktiva

untuk menghasilkan keuntungan neto. Semakin tinggi nilai ROI, maka semakin baik

kinerja perusahaan dalam memanfaatkan aktiva. Secara matematis, ROI dapat

dihitung dengan menggunakan rumus seperti yang dibawah ini:

𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙𝑘𝑎𝑛


𝑅𝑂𝐼 = 𝑥100%
𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖 𝑇𝑎𝑛𝑎𝑚

dimana:

ROI = return of investment (Tingkat Pengembalian modal )

Pd = pendapatan bersih usaha ternak

TC = total biaya produksi usaha ternak


68

Dengan ketentuan:

- Bila ROI > tingkat suku bunga bank yang berlaku, maka usaha ini layak

untuk

dilaksanakan.

-Jika ROI ≤ tingkat suku bunga bank yang berlaku, maka usaha ini tidak layak

untuk dilaksanakan.

5.5. Analisis Usaha Ternak Sapi Bali

Analisis usaha ternak sapi bali potong adalah usaha komersial dengan tujuan:

Menyediakan informasi tentang peluang investasi di bidang usaha pembibitan/

penggemukan sapi bali yang sangat potensial untuk dikembangkan mengingat

kebutuhan akan daging yang terus meningkat.

Usaha penggemukan sapi potong merencanakan untuk memelihara 20 ekor

sapi bali dengan lama masa penggemukan adalah 6 bulan yang berlokasi di lokasi

produksi ternak di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur. Adapun data teknis atau

asumsi-asumsi dalam usaha penggemukan sapi bali adalah berikut:

1. Jumlah sapi Bali bakalan 20 ekor, umur ternak bakalan yang akan dipelihara

adalah 2,5 tahun.

2. Berat badan awal sapi bakalan adalah 250 kg. Jika harga 1 ekor sapi bakalan Rp.

4.500.000 maka biaya pengadaan sapi bakalan adalah 20 x Rp 4.500.000 = Rp

90.000.000.

3. Lama penggemukan 180 hari (6 bulan) dengan asumsi pertambahan berat badan

harian (ADG) 0,5 kg per hari sehingga dalam waktu 180 hari = 180 x 0,5 kg =

90 kg.
69

4. Pakan diberikan adalah sebagai berikut:

- Hijauan rumput setiap hari diberi pakan seberat 30 kg perekor. Jumlah

kebutuhan untuk 20 ekor sapi selama 180 hari = 20 x 180 x 30 kg = 108.000

kg. Jika harga per kg hijauan pakan Rp 200 maka jumlah biaya pakan =

108.000 x Rp 200 = Rp10.800.000

- Konsentrat yang tersedia secara lokal yakni dedak padi, putak, atau ampas

tahu. Jumlah pemberian 4 kg per ekor/hari. Jumlah konsentrat yang

dibutuhkan selama 180 hari = 20 x 180 x 4kg =14.400 kg. Jika harga 1 kg

konsentrat Rp. 500 maka jumlah biaya konsentrat = 14.400 kg x Rp 500 =

Rp 7.200.000

- Makanan tambahan (suplemen) diberikan setiap 3 hari dengan harga Rp500

per ekor. Sehingga dalam 6 bulan dibutuhkan makanan suplemen untuk 20

ekor sebanyak 20 x (180:3) x Rp 500 = Rp 600.000.

5. Kandang yang dibutuhkan untuk 1 ST seluas 3 m2 dengan biaya Rp. 400.000 per

m2, sehingga untuk 20 ekor (20 ST) dibutuhkan kandang seluas 60 m2 sehingga

biaya kandang = 60 x Rp 200.000 = Rp 12.000.000

6. Penyusutan kandang 20 % per tahun dengan demikian penyusutan untuk satu

periode 10 %.

7. Peralatan kandang dibutuhkan sebesar Rp 500.000/tahun, dengan demikian

untuk satu periode Rp. 250.000

8. Sapi membutuhkan obat-obatan sebesar Rp. 60.000/ekor/periode

9. Tenaga kerja tetap 2 orang dengan gaji Rp. 500.000/bulan

10. Biaya-biaya tak terduga dihitung 10 persen dari total biaya produksi
70

11. Berat badan akhir pemeliharaan selama 6 bulan 250 kg + 90 kg = 340 kg. Jika

harga per kg berat hidup Rp 28.000 maka jumlah penerimaan dari penjualan 20

ekor adalah = 20 x 340 x Rp 28.000 = Rp 190.400.000

12. Bila 1 ekor sapi (1 ST) dapat menghasilkan feses 5 kg per hari maka dalam 6

bulan akan mendapatkan feses sebanyak 20 x 180 x 5 kg = 18.000 kg. Jika harga

per kg Rp 250 maka jumlah penerimaan dari penjualan feses adalah 18.000 x

Rp.250 = Rp 4.500.000. Rekapitulasi Analsisi Usaha Penggemukan Ternak sapi

bali dapat diringkas sebagai berikut:

A. MODAL USAHA

1. Biaya Investasi
a. Pembuatan kandang 60 m2 x Rp. 200.000 Rp. 12.000.000
b. Peralatan kandang Rp. 500.000
2. Biaya Variabel
a. Sapi bakalan 20 x Rp. 4.500.000 Rp. 90.000.000
b. Hijauan Makanan Ternak 108.000 x Rp 200 Rp.21.600.000
c. Konsentrat14.400 kg x Rp 500 Rp. 7.200.000
d. Pakan Tambahan Rp. 600.000
e. Obat-obatan Rp. 1.200.000

Jumlah Biaya Variabel (BV) Rp. 120.600.000.-

Biaya Tetap:
a. Penyusutan Kandang 10% x Rp.12.000.000 Rp. 1.200.000
b. Penyusutan Peralatan Kandang 10% x Rp 250.000 Rp. 25.000
c. Tenaga Kerja 2 orang 2 x 6 x Rp.500.000 Rp. 6.000.000
Total Biaya Tetap (BT) Rp. 7.225.000
Total Biaya Produksi (TC) =(BV+BT) Rp. 127.825.000
71

B. PENERIMAAN
a. Penjualan 20 ekor sapi 20 x 340 x Rp 28.000 Rp.190.400.000
b. Penjualankotoran (feses) 18.000 x Rp.250 Rp. 4.500.000
Total Penerimaan (TR) Rp. 194.900.000
Pendapatan Bersih (Net Profit) = (TR – TC) Rp.67.075.000

C. ANALISIS FINANSIAL

1. B/C Ratio

Untuk mengetahui apakah secara financial usaha ternak potong sapi bali

layak untuk dilakukan maka selanjutnya dihitung B/C Ratio yakni:

𝟏𝟗𝟒.𝟗𝟎𝟎.𝟎𝟎𝟎
𝐵/𝐶𝑅𝑎𝑡𝑖𝑜 = 𝟏𝟐𝟕.𝟖𝟐𝟓.𝟎𝟎𝟎 = 1,52

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa B/C Ratio>1 sehingga usaha tersebut layak.

Hal ini bermakna dalam satu periode proses produksi, dari setiap modal Rp. 10.000

yang dikeluarkan akan memperoleh pendapatan sebanyak Rp. 152.000 .

2. BEP ( Break Even Point )

Untuk melengkapi analisis B/C ratio maka Analisis Break even atau analisis

Titik Impas perlu dilakukan agar peternak produsen mengetahui bagaimana pola

hubungan antara volume penjualan, biaya, dan tingkat keuntungan yang akan

diperoleh pada tingkat penjualan tertentu. Dengan mengetahui Analisis break even

maka pengusaha memperoleh gambaran berapa jumlah penjualan minimal yang

harus dipertahankan agar perusahaan tidak mengalami kerugian. Untuk menentukan

berapa besar harga jual minimal ternak sapi per kg berat hidup sehingga tidak

mengalami kerugian. Analisis BEP pada kasus ini adalah sebagai berikut:

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 (127.825.000)


a. 𝐵𝐸𝑃 𝐻𝑎𝑟𝑔𝑎 = = 𝑅𝑝. 18.797.79/kg atau Rp.18.800/kg
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑝𝑖 (6.800)

Total biaya produksi(127.825.000)


b. BEP Volume Produksi = = 4.565 𝑘𝑔
Harga jual (28.000)
72

Hasil kedua analisis BEP di atas memberi teladan bahwa usaha

penggemukan sapi ini akan mencapai titik impas jika 20 ekor sapi mencapai berat

badan minimal 4.565 kg atau pada harga jual Rp. 18.800 per kg berat hidup.

3. Analisis ROI

𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙𝑘𝑎𝑛 (Rp. 67.075.000)


𝑅𝑂𝐼 = 𝑥100%
𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖 𝑇𝑎𝑛𝑎𝑚 (Rp. 140.325.000 )

= 47,79 %

Nilai ROI dari usaha penggemukan sapi bali potong adalah cukup tinggi

yakni 47,79 %. Nilai ROI tersebut lebih tinggi dari tingkat suku bunga bank yang

saat ini berkisar antara 12 - 15 % yang bermakna bahwa usaha penggemukan ini

layak untuk dilaksanakan.

Semakin tinggi nilai ROI, maka semakin baiknya perputaran modal

perusahan, artinya semakin tinggi nilai ROI maka semakin baik nilai investasi suatu

perusahan (Dodo, 2007)


73

Provinsi NTT merupakan propinsi kepulauan yang menitikberatkan

pembangunan ekonominya pada sektor pertanian. Berbeda dengan daerah lain di

Indonesia, NTT memiliki keunikan yang dideterminasi oleh iklim kering basah yang

mengakibatkan sistem pertanian di daerah ini didominasi oleh pertanian lahan kering

yang dicirikan oleh musim panas yang panjang (8-9 bulan), konsekuensinya air

merupakan pembatas utama pengembangan pertanian. Dalam sistem pertanian lahan

kering tanaman yang dominan adalah palawija yang juga merupakan makanan pokok

penduduk NTT. Pilihan komiditi yang sesuai dengan karakter alam NTT tersebut

adalah usaha ternak. Usaha ternak yang dominan adalah usaha ternak sapi potong

yakni Sapi Bali di Timor Barat dan sapi peranakan ongol di Sumba. Namun usaha

ternak dikelola di bawah sistem ekstensif tradisional yang sangat bergantung pada

rumput alam dan padang pengembalaan sebagai sumber pakan, sehingga tak dapat

dipungkiri produktivitasnya rendah. Walaupun demikian ternak memegang peranan

penting dalam memenuhi kebutuhan daging sapi regional maupun kebutuhan daging

Nasional. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan kebijakan-kebijakan yang dapat

mendorong peningkatan produksi ternak dalam rangka menjamin terpenuhinya

permintaan daging yang terus meningkat, serta tercapainya swasembada daging pada

tahun 2014.

Kondisi peternakan sapi bali di daerah ini sebenarnya cukup

memprihatinkan. Penelitian Jelantik dkk (2007) mencatat bahwa sebagian besar

ternak Sapi Bali yang diekspor maupun dipotong untuk konsumsi lokal, bukan
74

dihasilkan dari sistem peternakan yang produktif dan efisien, melainkan dari sistem

peternakan tradisional dengan tingkat produktivitasnya rendah.

Produktivitas ternak yang rendah melahirkan dua permasalahan yang sangat

serius yakni penurunan populasi dan mutu ternak. Hasil survey Jelantik (2001) dan

Jelantik dkk (2007) mengungkapkan bahwa turn over rate ternak Sapi Bali di NTT

per tahun hanya berkisar 9,5% -16,11%. Artinya setiap peternak yang memelihara

10 ekor sapi, yang bersangkutan hanya mampu menjual 1-2 ekor setiap tahunnya.

Lebih lanjut Jelantik, dkk (2007) mengemukakan banyak faktor dikemukakan

sebagai penyebab produktivitas ternak Sapi Bali yang rendah, tetapi, penelusuran

literatur yang dilakukan para penulis bermuara pada sebuah simpulan bahwa ada tiga

faktor penyebab utama yakni penurunan angka kelahiran, tingginya angka kematian

pedet, dan rendahnya net growth rate.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan produktivitas, produksi

maupun populasi sapi potong dalam rangka mendukung program kecukupan daging

(PKD) 2010, yang direvisi menjadi 2014. Penjabaran dari kebijakan tersebut pada

aras lokal (Propinsi NTT) adalah dengan ditetapkan NTT sebagai propinsi ternak

dan menjadikan sub-sektor peternakaan lebih khusus ternak sapi bali sebagai

komoditas unggulan. Dengan demikian, produksi daging dalam negeri diharapkan

mampu memenuhi 90-95% kebutuhan daging nasional dalam rangka mendukung

pencapaian program swasembada daging sapid dan kerbau tahun 2014.


75

Amareko, S.L., 1996. Peningkatan Daya Saing Komoditas Sapi Potong melalui
Pendekatan Agribisnis. Makalah disampaikan pada Seminar Pengembangan
Ternak Potong sebagai Komoditas Unggulan melalui Pendekatan Agribisnis
di Nusa Tenggara Timur. Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Anonimous,Tanpa Tahun. Usaha Peternakan Perencanaan Usaha, Analisa dan
Pengelolaan. Direktorat Bina Usaha Petani Ternak dan Pengolahan Hasil
Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian RI.
Anonimous,1990. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Propinsi NTT. Dinas
Peternakan Propinsi NTT. Kupang/
Anonimous, 1995. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Propinsi Nusa
Tenggara Timur Tahun 1994-2018). Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara
Timur. Kupang.
Anonimous,2014. Jenis dan ciri-ciri Babi. http://www.pojok-
vet.com/peternakan/jenis-dan-ciri-ciri-babi.html. Diakses tanggal 12
September 2014.
BPS NTT. 1993. Propinsi Nusa Tenggara Timur dalam Angka. Biro Pusat Statistik
Nusa Tenggara Timur
BPS NTT. 2000. Propinsi Nusa Tenggara Timur dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Nusa Tenggara Timur.
BPS NTT. 2006. Propinsi Nusa Tenggara Timur dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Nusa Tenggara Timur.
BPS NTT. 2007. Propinsi Nusa Tenggara Timur dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Nusa Tenggara Timur.
BPS NTT. 2008. Propinsi Nusa Tenggara Timur dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Nusa Tenggara Timur.
BPS NTT. 2011. Propinsi Nusa Tenggara Timur dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Nusa Tenggara Timur.
BPS NTT. 2012. Propinsi Nusa Tenggara Timur dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Nusa Tenggara Timur.
BPS NTT. 2013. Propinsi Nusa Tenggara Timur dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Nusa Tenggara Timur.
Bamualim, A. 1996. Ternak Potong sebagai Komoditas Unggulan melalui
Pendekatan AgribisnisDi Nusa Tenggara Timur. Makalah disampaikan pada
Seminar Pengembangan Ternak Potong sebagai Komoditas Unggulan melalui
Pendekatan Agribisnis di Nusa Tenggara Timur. Universitas Nusa Cendana,
Kupang.
Chaniago, T.D., A. Bamualim, dan C. Liem, 1993. Draught Animal System in Nusa
Tenggara Timur. Dalam Teleni, E., R.S.F. Campbell, dan D. Hoffman (Eds):
Draugth Animal Systems and Management: An Indonesian study. Australian
Centre for International Agricultural Research, Canberra.
76

Devendra, C. & Burns, M., 1970. Goat production in the tropics. Common Wealth
Agricultural Bureaux, Farnham Royal Bucks. England.
Devendra, C., 1979. Goat and sheep production potential in the ASEAN region.
World. Anim. Rev. (FAO), 32:33-41.
Devendra, C., 1986. Prospects for developing small ruminant production in humid
tropical Asia, dalam Timon, V.M. and J.P. Hanrahan (Eds). Small ruminant
production in the developing countries. Proceedings of an Expert Consultation
held in Sofia, Bulgaria, 8–12 July 1985. FAO Animal Production And Health
Paper 58. Food And Agriculture Organization Of The United Nations, Rome.
Devendra, C. dan M. Burns. 1994. Produksi Kambing di daerah Tropis. Institut
Teknologi Bandung, Bandung.
Djari, P., dan D. Welkis. 1972. Usaha Paron di Nusa Tenggara Timur. Inspektorat
Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kupang.
Dodo, E. 2007. Analisis Kelayakan Usaha Ternak Kambing Melalui Penelitian Aksi
Partisipatif. http:/repository.ipb.ac.id. Diakses tangal 27 September 2014.
Ford, B. 1989. Forage Development. NTT Integrated Development Project. ACIL
Australia Pty.Ltd. Melbourne.
Fuah, A.M. 1994. A Study of Small Livestock Production systems in West Timor.
A Thesis submitted to The University of Queensland for the Degree of Doctor
of Philosophy. Brisbane, Australia.
Harjodipura, B. 1979. Masalah Populasi Sapi Bali, Pemeliharaan dan
Reproduksinya. Media Veteriner, 1: 35-43.
Hardjosubroto, W. 2004. Alternatif Kebijakan Pengelolaan Berkelanjutan
Sumberdaya
Genetik Sapi Potong Lokal dalam Sistem Perbibitan Ternak Nasional.
Wartazoa 14(3): 93-97.
Jelantik, I.G.N. 2001. Improving Bali Cattle (Bibos banteng Wagner) Production
Through Protein Supplmentation. PhD. Thesis. Faculty of Agric. Science,
George August University, Gottingen.
Jelantik, I.G.N., J.H Manggol, Y. Jegho, H. Sutejo, A. Keban, P. Kune, M. Deno
Ratu, M.M. Kleden, J. Sogen, P. Kelden, J. Jermias,dan C. Leo Penu, 2007.
Kajian Mutu Genetik Sapi Balidi Nusa Tenggara Timur. Laporan Akhir. Fapet
Undana.
Kapa, M.M.J. 1994. A Comparison of Beef Cattle Production Systems in West
Timor Indonesia. Unpublished Master Thesis The University of Melbourne,
Australia.
Kapa, M.M.J., F. Rolla-Rubzen, dan M. Bent, 2001. An Economic Model of Small
Ruminant Production in Small Scale Dryland Farming Systems in West Timor,
Indonesia. Paper presented to Australian Agricultural and Resource
Economics Society 45th Annual Conference 22 – 26 January 2001, Adelaide,
SA.
77

Kapa, M.M.J., 2007. Produktivitas Usahatani dalam Sistem Pertanian Terpadu.


Proceeding International Seminar on Integrated Rural Development in East
Nusa Tenggara Indonesia. Proceedings No. 126.
Kepas. 1990. Agro-ekosistem daerah kering di Nusa Tenggara Timur: studi kasus
enam desa pengembangan pertanian. Kelompok Penelitian Agro-ekosistem,
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian,
Jakarta.
Kirby, G.W. 1979. Bali Cattle in Australia. World Review of Animal
Production.31:24-29.
Martojo, H. 1990. Upaya Pemuliaan dan Pelestarian Sapi Bali untuk Menunjang
Pembangunan Peternaan Secara Nasional. Prosiding Seminar Nasional Sapi
Bali. Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar, Bali.
Masudana, I.W. 1990. Perkembangan Sapi Bali di Bali dalam Sepuluh Tahun (1980-
1990). Prosiding Seminar Nasional Sapi Bali. Fakultas Peternakan Universitas
Udayana, Denpasar, Bali
Metzner, J.K. 1981. The Old in the New: autochthonous Approach towards
Stabilizing an Agroecosystem: the Case of Amarasi (Timor). GEO Abstracts
D (Social and Historical Geography).
Moran, J. B. 1987. Beef and Buffalo Production by Smallholders in Indonesia.
World Rev. Of Animal Production, 7: 55-64.
Mubyarto. 1979. Economic Aspects of Animal Husbandry in Indonesia. Dalam:
Readings in Asian Farm Management.Tan Thiam dan Shao-Er Ong (Editor).
Singapore University Press. Singapore.
Mubyarto. 1995. Pengantar Ekonomi Pertanian . Cetakan keempat. LP3ES, Jakarta.
Nestel, B. 1984. Livestock farming, general factors. In: Development of Animal
Production Systems, pp.3-13. Ed. B. Nestel. World Animal Science A2.
Nulik, J., dan A. Bamualim, 1998. Pakan Ruminansia Besar di Nusa Tenggara
Timur. BPTP Naibonat bekerjasama dengan Eastern Island Veterinary
Services Project.
Pane, I.1990. Upaya Peningkatan Mutu Genetik Sapi Bali di P3 Bali. Prosiding
Seminar Nasional Sapi Bali. Fakultas Peternakan Universitas Udayana,
Denpasar, Bali
Parakkasi, A. 1995. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas
Indonesia
Press. Jakarta.
Payne, W.J.A., and D.H.L. Rollinson, 1973. Bali Cattle. World Review of Animal
Production. 7: 13-21.
Pellokila, S.Ch., U. Ginting dan F.J.J. Nisnoni. 1991. Potensi Sumberdaya Alam dan
Ternak serta Permasalahannya dalam Pembangunan Peternakan. Makalah
disampaikan pada Simposium Perencanaan Pembangunan Peternakan di NTB,
NTT, dan Timor Timor. Diselenggarakan atas Kerjasama Biro Perencanaan
78

Departemen Pertanian dengan Australian International Development


Assistance Bureau (AIDAB). Mataram, 20-23 Januari 1991.
Perkins, J., dan A.Semali. 1992. Why do Farmers Sell Young Cattle? Dalam Daniels,
P. W.(ed). Livestock Services for Small Holders: a Critikal Evaluation of the
Delivery of Animal Health and Production Services to the Small-Scale Farmer
in the Developing World. Proceeding International Seminar on Livestock
Services for Small Holders. INI-ANSREDEF, Bogor, Indonesia.
Prabowo, A., 2010. Petunjuk Teknis Budi Daya Ternak Kambing (Materi Pelatihan
Agribisnis bagi KMPH). Report No. 51. STE Final. BPTP Sumatera Selatan.
Piggin, C.M., dan V. Parera (1989). The Use of Leucaena In Nusa Tenggara Timur.
Australia Centre for International Research. Canberra.
Rangkuti, F. 2011. Analisa SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT Gramedia
Pustaka Utama ; Jakarta.
Rasyaf, M. 1995. Pengelolaan Usaha Peternakan Ayam Pedaging, PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Reksodiprodjo, S.1994. Produksi Hijauan Makanan Ternak Tropik. Edisi Ketiga.
BPPFE. Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta.
Riwu Kaho, L.M. 1993. Studi tentang rotasi merumput pada bioma Sabana Timor
Barat. Telaah pada Sabana Binel TTS. Thesis Pascasarjana. IPB. Bogor.
Russell, A. 2010. Using DSEs and carrying capacities to compare sheep enterprises.
Primary Industries Agriculture, NSW Department of Primary Industries,
Australia.http://www.dpi.nsw.gov.au/agriculture/farm-
usiness/budgets/livestock. Diakses Tanggal 2 September 2014.
Satari, G. 1985. Interrelationships of ruminant production and socio-economic
systems in Southeast Asia and the South Pacific. In: Forages in Southeast Asia
and South Pacific Agricultura. Ed. Blair et al. Aciar Proceedings No. 12.
Sumadi, 2009. Sebaran Populasi, Peningkatan Produktivitas Dan Pelestarian Sapi
Potong di Pulau Jawa. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang
Produksi Ternak pada Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Sumanto, Santoso, R.J. Petheram., J. Perkins, Nana, dan W. Rusastra. 1987. An Agro
Economic Profile of Padamulya Village, Subang – with Emphasis on Draught
Animal Rearing. DAP Project Bulletin, ACIAR, Canberra.
Soekartawati. 1995. Analisis Usaha Tani . Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Wardoyo, 1994. Inaugural Address on Seminar on Livestock and Feed Development
in The Tropics. Proceeding of International Seminar, Malang Indonesia.
Wikipedia Indonesia, 2014, id.wikipedia.org/wiki/Peternakan_babi. Diakses
tanggal 2 September 2014.
Williamson dan Payne, 2001. Buffalo and Bali cattle: Exploiting their reproductive
behaviour and physiology. Tropical Animal Health and Production 24: 165.
79

Wirdahayati, R.B. 2010. Penerapan Teknologi dalam Upaya Meningkatkan


Produktivitas Sapi Potong di Nusa Tenggara Timur. Balai Besar Pengkajian
dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor.
Penulis lahir di Kupang Nusa Tenggara Timur pada tanggal 14 Juli 1958,
adalah dosen tetap pada Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian Univer-
sitas Nusa Cendana sejak April 1993 sampai Sekarang. Pada tahun 1995
penulis pernah ditugaskan sebagai ketua Jurusan Lahan Kering pada
Politeknik Pertanian Negeri Kupang. Gelar Sarjana peternakan (Ir)
dengan minat social ekonomi peternakan pada Fakultas Peternakan Uni-
versitas Nusa Cendana pada tahun 1982. Pada Tahun 1992 dengan
bantuan beasiswa Ausaid dari pemerintah Australia penulis melanjutkan
pendidikan di School of Agriculture and Forestry The University of Mel-
bourne dalam bidang Farm Business Management dan memperoleh gelar Master of Agri-
cultural Science (M.Agr.Sc) pada tahun 2005. Penulis menyelesaikan program doktoral dari
Pasca sarjana Ilmu Pertanian dalam bidang Pembangunan Berkelanjutan pada Universitas
Brawijaya tahun 2017. Berbagai pelatihan diluar negeri pernah diikuti penulis seperti Curric-
ulum Development Training di Lincoln University Christchurch New Zealand Tahun 1985,
Academic Networking di Canada tahun 1995, di Filipina 1997, Training on Lab Based
Research and Education di Jepang tahun 2008.
Dalam lima tahun terakhir, penulis aktif sebagai presenter dalam berbagai pertemuan
ilmiah baik pada tataran nasional maupun internasional. Penulis juga aktif dalam menulis
artikel jurnal yang dipublikasikan pada berbagai jurnal internasional bereputasi.

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan

Dr.Ir. Maximilian M.J. Kapa, M.Agr.Sc

SISTEM USAHA TANI DI DAERAH LAHAN KERING NUSA TENGGARA TIMUR, 2018

vii + 83 hal. 15,5 cm x 23,5 cm

ISBN: 978-602-647842-9

Penerbit :
Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana
Jl. Adisucipto Penfui Kupang, Kode Pos, 85228 Indonesia
Tlp: +62380881580
http://lppm.undana.ac.id/

Anda mungkin juga menyukai