Anda di halaman 1dari 98

PENGARUH EKSTRAK ETANOL DAUN ALPUKAT

(Persea americana mill’s’s) TERHADAP JUMLAH SEL FIBROBLAST


PADA SOKET PASCA EKSTRAKSI GIGI INCISIVUS MAKSILA
PADA TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus)

TUGAS AKHIR

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh :

Giza Romadhoni Rahmawati

125070401111017

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2016

i
HALAMAN PERSETUJUAN

TUGAS AKHIR

PENGARUH EKSTRAK ETANOL DAUN ALPUKAT


(Persea americana mill’s’s) TERHADAP JUMLAH SEL FIBROBLAST
PADA SOKET PASCA EKSTRAKSI GIGI INCISIVUS MAKSILA
PADA TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus)

Oleh:

Giza Romadhoni Rahmawati

NIM: 125070401111017

Menyetujui untuk diuji:

Pembimbing I Pembimbing II

dr. Endang Asmaningsih, MS. drg. Widyastomo, Sp. BM


NIP. 080 943 206 NIP. 19610520 198711 1 001

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
proposal tugas akhir yang berjudul “ Pengaruh Ekstrak Etanol Daun Alpukat
(Persea americana mill’s) Terhadap Jumlah Sel Fibroblast Pada Soket Pasca
Ekstraksi Gigi Insisivus Maksila Pada Tikus Wistar (Rattus norvegicus)” dengan
baik.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih

kepada pihak yang telah membantu dalam pembuatan proposal ini, yaitu :

1. Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir ini.

2. Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan syafaatnya.

3. Dr. dr. Sri Anadrini, M.Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Brawijaya yang telah memberikan sarana dan prasarana

sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir ini.

4. Dr. drg. Muhamad Chair Effendi, SU, Sp. KGA selaku KPS Pendidikan

Dokter Gigi yang telah memberikan sarana dan prasarana sehingga

penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir ini.

5. dr. Endang Asmaningsih, MS selaku dosen pembimbing proposal I

karena dengan sabar telah meluangkan waktu, membimbing dan

memberikan saran serta ilmu dalam penulisan tugas akhir ini.

6. Drg. Widyastomo, Sp. BM selaku dosen pembimbing proposal II

karena dengan sabar telah meluangkan waktu, membimbing dan

memberikan saran serta ilmu dalam tugas akhir ini.

iii
7. drg. Delfi Fitriani, M.Kes selaku dosen metodologi penelitian dan

segenap staf pengajar metodologi penelitian atas ilmu yang telah

diberikan sebagai bekal penulisan tugas akhir ini.

8. Kedua orang tua penulis, Dra. Dwi Rahayu, MMPd selaku ibu penulis

dan Drs. Lis Supriyanto, MMPd selaku ayah penulis yang telah

memberikan dukungan baik moral dan material dalam penelitian dan

penulisan tugas akhir sehingga penulis dapat menyelesaikan dengan

baik.

9. Kakak dan adik penulis yang senantiasa memberikan dukungan baik

moral dan material kepada penulis, dengan sabar memberikan

motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas

akhir.

10. Sahabat dan teman-teman yang senantiasa memberikan dukungan

dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas

akhir ini.

11. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian penelitian dan

penulisan tugas akhir ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan proposal tugas akhir ini masih jauh

dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik

dari pembaca demi kesempurnaan proposal ini. Semoga proposal tugas akhir ini

bermanfaat bagi pembaca terutama berkaitan dengan pemanfaatan daun alpukat

untuk mempercepat proses penyembuhan pasca ekstraksi gigi.

Malang, 16 Februari 2016

Penulis

iv
ABSTRAK

Romadhoni, Giza. 2016. Pengaruh Ekstrak Etanol Daun Alpukat (Persea


Americana mill’s) Terhadap Jumlah Sel Fibrolast Pada Soket Pasca
Ekstraksi Gigi Incisivus Maksila Pada Tikus Wistar (Rattus Norvegicus).
Tugas Akhir, Program Studi Pendidikan Dokter Gigi Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya. Pembimbing: (1) dr. Endang Asmaningsih, MS. (2)
drg. Widyastomo, Sp.BM

Penyembuhan luka pasca ekstraksi gigi dipengaruhi oleh kemampuan sel


dalam melakukan regenerasi ke struktur normal. Sel yang berperan penting
dalam proses penyembuhan pasca ekstraksi salah satunya adalah sel fibroblast.
Daun alpukat mengandung senyawa aktif saponin, flavonoids, dan tanin yang
dapat berperan sebagai agen anti-inflamasi, analgesic dan antiseptic sehingga
dapat membantu menyembuhkan luka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh ekstrak etanol daun alpukat terhadap jumlah sel fibroblast pada proses
penyembuhan luka pasca ekstraksi gigi incisivus maksila tikus wistar. Desain
penelitian ini adalah eksperimental murni. Subjek pada penelitian ini
menggunakan tikus wistar (Rattus Norvegicus) sebanyak 24 ekor. Dalam
penelitian ini subjek dibagi menjadi empat kelompok yaitu kelompok kontrol,
kelompok perlakuan I (50 mg), kelompok perlakuan II (100 mg), dan kelompok
perlakuan III (200 mg). Tikus wistar didekapitulasi pada hari ketiga dan ketujuh.
Analisa data menggunakan uji normalitas Shapiro Wilk, kemudian dilakukan uji
hipotesis One Way Anova, dan uji lanjutan dengan uji Tukey HSD (Honestly
Significant Difference). Hasil uji normalitas Shapiro Wilk menunjukan distribusi
data yang normal (p > 0,05). Hasil uji One Way Anova diperoleh nilai signifikansi
0,000 (p < 0,05), terdapat perbedaan jumlah sel fibroblast pada keempat
kelompok, hasil uji diperoleh jumlah sel fibroblast signifikan pada kelompok II hari
ke-7 (pemberian ekstrak etanol daun alpukat sebanyak 100 mg selama 7 hari).
Kesimpulan dari penelitian ini adalah pemberian ekstrak etanol daun alpukat
(Persea Americana mill’s) dengan dosis 100 mg selama 7 hari lebih efektif
terhadap peningkatan jumlah sel fibroblast pada proses penyembuhan luka
pasca pencabutan gigi tikus wistar (Rattus Norvegicus) (p < 0,05).

Kata Kunci : ekstraksi gigi, penyembuhan luka, sel fibroblast, daun alpukat

v
ABSTRACT

Romadhoni, Giza. 2016. Pengaruh Ekstrak Etanol Daun Alpukat (Persea


Americana mill’s) Terhadap Jumlah Sel Fibrolast Pada Soket Pasca
Ekstraksi Gigi Incisivus Maksila Pada Tikus Wistar (Rattus Norvegicus).
Final Assigment, Dentistry Program, Faculty of Medicine, Brawijaya
University. Supervisors: (1) dr. Endang Asmaningsih, MS. (2) drg.
Widyastomo, Sp.BM

Wound healing after tooth extraction is influenced by the ability of cells to


regenerate to normal structure. The important cell in wound healing process is
the fibroblast cells. The leaf of avocado, contains some active compound of
saponins, tannins, and flavonoids can be as wound healing. This research aims
to determine the influence extract etanol avocado leaves towards amount of
fibroblast cells in the process of wound healing after tooth extraction on wistar
rats (Rattus Norvegicus). The research design was purely experimental. The
subject of this research was 24 male wistar rats which were divided into four
treatment groups. The first group is (without treatment) as a control, the second
group is given extract etanol of avocado leaves with (50 mg), the third group is
given extract etanol of avocado leaves with (100 mg), and the fourth group given
extract etanol of avocado leaves with (200 mg). The wistar rats experience the
cutting of their jaw on the third, and seventh day. The preparat of tool was colored
by HE. Data analysis was using the Shapiro Wilk normality test, and the it was
tested by using the hypothesis One Way Anova, and advanced testing with the
Tukey HSD (Honestly Significant Difference). This research results, the Shapiro
Wilk normality, it indicates that the data has normal distribution of data (p > 0,05).
One Way Anova test results significance value of 0,000 (p < 0,05), it means there
is a difference test results the significant fibroblast cells on third group which
given etanol extract of avocado leaves with dosage 100 mg during seven days.
Conclusion ist the provision of fibroblast cells on third group which given etanol
extract of avocado leaves with dosage 100 mg during seven days in the process
of wound healing after tooth extraction (p < 0,05).

Keywords: avocado leaf, wound healing, tooth extraction, fibrolast celss

vi
DAFTAR ISI

Judul.......................................................................................................................
i

Lembar Persetujuan................................................................................................
ii

Kata Pengantar.......................................................................................................
iii

Abstrak ...................................................................................................................
v

Daftar Isi ................................................................................................................


vii

Daftar Tabel............................................................................................................
xi

Daftar Gambar........................................................................................................
xii

Daftar Lampiran......................................................................................................
xiii

Daftar Singkatan.....................................................................................................
xv

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1

1.2 Rumusan Masalah


3

1.3 Tujuan Penelitian


3

1.3.1 Tujuan Umum

1.3.1 Tujuan Khusus

1.4 Manfaat Penelitian


4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

vii
2.1 Ekstraksi Gigi 6

2.1.1 Definisi 6

2.1.2 Indikasi dan Kontraindikasi .......... 7

2.1.2.1 Indikasi ... 7

2.1.2.2 Kontraindikasi 9

2.2 Proses Penyembuhan Luka Pasca Ekstraksi Gigi . 9

2.2.1 Penyembuhan Primer 10

2.2.2 Penyembuhan Sekunder 16

2.2.3 Faktor-Faktor yang Memperngaruhi Penyembuhan Luka 17

2.3 Fase Penyembuhan Luka Pasca Pencabutan Gigi pada Jaringan Keras .
18

2.3.1 Proses Penyembuhan Tulang Primer 21

2.3.2 Proses Penyembuhan Tulang Sekunder 21

2.4 Sel Fibroblas . 26

2.4.1 Struktur Sel Fibroblas 26

2.4.2 Fungsi Sel Fibroblas 28

2.4.3 Peran Sel Fibroblas dalam Penyembuhan Luk 29

2.5 Tumbuhan Alpukat 31

2.5.1 Morfologi Tumbuhan Alpukat 31

2.5.2 Sistematika Tumbuhan Alpukat 32

2.5.3 Manfaat Tumbuhan Alpukat 32

2.5.4 Kandungan Tumbuhan Alpukat 32

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep Penelitian 36

3.2 Deskripsi Kerangka Konsep 37

3.3 Hipotesis Penelitian 37

BAB 4 METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian 38

4.2 Populasi dan Sampel 38

viii
4.2.1 Pemilihan Hewan Coba dan Teknik Randomisasi 39

4.2.2 Estimasi Jumlah Pengulanga 39

4.3 Variabel Penelitian 40

4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian 41

4.5 Bahan dan Alat Penelitian 41

4.5.1 Bahan Penelitian 42

4.5.1.1 Bahan Pemeliharaan Hewan Coba 42

4.5.1.2 Bahan Perlakuan Hewan Coba 42

4.5.1.3 Bahan Pengambilan Sampel 42

4.5.1.4 Bahan Persiapan Pembuatan Sediaan .42

4.5.1.5 Bahan Pembuatan Ekstrak Persea Americana .43

4.5.2 Alat Penelitian 43

4.5.2.1 Tempat Pemeliharaan Hewan Coba 43

4.5.2.2 Alat Penimbang Hewan Coba 43

4.5.2.3 Alat Pembuatan Ekstrak Daun Persea Americana 43

4.5.2.4 Alat Pencabutan Gigi Tikus 44

4.5.2.5 Alat Pemberian Ekstrak Etanol Daun Persea Americana Pada


Tikus 44

4.5.2.6 Alat Pengambilan Sampel 44

4.5.2.7 Alat Pembuatan Sediaan 44

4.5.2.7 Alat Pemeriksaan Histologi 44

4.6 Definisi Operasional 44

4.7 Pendekatan Penelitian 45

4.8 Skema Prosedur Penelitian 54

4.9 Analisis Data 55

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

5.1 Hasil Penelitian 57

5.2 Analisis Data 63

5.2.1 Uji Normalitas Data .63

ix
5.2.2 Uji Homogenitas Ragam 64

5.2.3 Uji One Way Anova . 64

5.2.4 Uji Post Hoc Tukey 66

5.2.5 Uji Korelasi Pearson . 67

5.2.4 Uji Regresi Sederhana 68

BAB 6 PEMBAHASAN

Pembahasan 70

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan 74

7.2 Kesimpulan 74

Daftar Pustaka 76

LAMPIRAN

Lampiran 1(Pernyataan Keaslian Tulisan) 79

Lampiran 2 (Hasil Uji Statistik) 80

Lampiran 3 (Dokumentasi Penelitian) 84

Lampiran 4 (Ethical Clearance) 87

Lampiran 5 (Surat Determinasi Daun Alpukat) 88

x
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Proses Penyembuhan Luka .18

Tabel 2.2 Perbandingan senyawa dalam daun alpukat .32

Tabel 4.1 Proses Persiapan Sediaan Histologi .50

Tabel 5.1 Hasil Perhitungan Rata-rata Jumlah Fibroblast .63

Tabel 5.2 Uji Normalitas Fibroblast .63

Tabel 5.3 Uji Homogenitas Ragam Fibroblast .64

Tabel 5.4 Uji One Way Anova .65

Tabel 5.5 Uji Post Hoc Tukey .66

Grafik 5.6 Perhitungan Rata-rata Jumah Fibroblast .67

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Tahap Penyembuhan Luka .10

Gambar 2.2 Perbandingan Proses Penyembuhan Primer dan Sekunder ...12

Gambar 2.3 Proses Penyembuhan Kalus ..25

Gambar 2.4 Fungsi Fibrobast dalam membentuk dan meletakkan serat-serat


dalam matriks, terutama kolagen .......28

Gambar 5.1 Gambaran Fibroblast Pada Kelompok Kontrol Hari ke-3 ..58

Gambar 5.2 Gambaran Fibroblast Pada Kelompok PI (50 mg) Hari ke-3 ..58

Gambar 5.3 Gambaran Fibroblast Pada Kelompok PII (100 mg) Hari ke-3 .59

Gambar 5.4 Gambaran Fibroblast Pada Kelompok PIII (200 mg) Hari ke-3 59

Gambar 5.5 Gambaran Fibroblast Pada Kelompok Kontrol Hari ke-7 ..60

Gambar 5.6 Gambaran Fibroblast Pada Kelompok PI (50 mg) Hari ke-7 ..60

Gambar 5.7 Gambaran Fibroblast Pada Kelompok PII (100 mg) Hari ke-7 .61

Gambar 5.4 Gambaran Fibroblast Pada Kelompok PIII (200 mg) Hari ke-7 62

xii
xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1(Pernyataan Keaslian Tulisan) 79

Lampiran 2 (Hasil Uji Statistik) 80

Lampiran 3 (Dokumentasi Penelitian) 84

Lampiran 4 (Ethical Clearance) 87

Lampiran 5 (Surat Determinasi Daun Alpukat) 88

DAFTAR SINGKATAN

HE Hematoksilin Eosin
IL-1 Interleukin-1
PMN Polymorphonucleo cytes
TNF-α Tumor Necrosis Factor-α
TGF-β Transforming growth factor-β
PDGF Platelet-derived growth factor
VeGF Vascular Endothelial Growth Factor
LPS Lipopolisakarida
ECM Extracellular matrix
IFN-y Interferon-y

TNF

IL-1

v
PMN Polimorfo Nukleat

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tindakan pencabutan gigi merupakan salah satu tindakan yang paling

sederhana di bidang bedah mulut dan banyak dilakukan oleh dokter gigi, baik

pada praktek pribadi dokter gigi, klinik swasta, puskesmas maupun rumah sakit.

Pencabutan gigi merupakan suatu prosedur bedah yang dapat dilakukan dengan

menggunakan tang dan elevator (Pedlar dkk, 2011). Pencabutan ideal adalah

pencabutan tanpa menimbulkan rasa sakit dengan trauma sekecil mungkin pada

jaringan penyangga, sehingga luka bekas pencabutan dapat sembuh normal dan

tidak menimbulkan komplikasi (Karalis, 2007).


Penyembuhan luka merupakan suatu proses penggantian jaringan yang

mati/rusak dengan jaringan baru dan sehat oleh tubuh dengan jalan regenerasi.

vi
Luka dikatakan sembuh apabila permukaannya dapat bersatu kembali dan

didapatkan kekuatan jaringan yang mencapai normal (Mawardi-Hasan, 2002).

Proses penyembuhan luka terdiri dari tiga fase, yaitu fase inflamasi, fase

proliferasi, dan fase remodeling. Pada fase inflamasi terjadi vasokonstriksi untuk

menghentikan perdarahan dan pengaktifan factor XII yang menginisiasi faktor-

faktor yang berperan dalam proses penyembuhan (Peterson, 2004). Inflamasi

dapat dibedakan menjadi akut dan kronik. Inflamasi akut memiliki onset dan

durasi lebih cepat (beberapa menit hingga hari), sedangkan inflamasi kronik

memiliki onset dan durasi yang lebih lama (hari hingga tahun) sehinggga

bersifat berbahaya. Tipe dari inflamasi kronik ditentukan oleh peningkatan

limfosit dan makrofag yang berhubungan dengan proliferasi vascular dan


fibrosis (Kumar et al, 2007). Fase kedua adalah fase proliferasi, terjadi

proliferasi fibroblast menghasilkan mukopolisakarida, asam aminoglisin, dan

prolin yang akan mempertautkan tepi luka, serta terbentuk jaringan granulasi.

Fase ketiga adalah remodeling, terjadi pematangan jaringan dan pembentukan

kembali jaringan yang baru (Peterson, 2004).


Diantara sel-sel jaringan ikat yang sangat penting dalam fase remodeling

dan penyembuhan dari jaringan yang rusak dalah fibroblast. Fibroblast adalah

komponen seluler primer dari jaringan ikat dan sumber sintetis utama dari matrik

protein misalnya kolagen. Kolagen yang dihasilkan fibroblast akan membentuk

struktur protein utama pada jaringan ikat yang memberikan daya renggang

(tensile strength) pada penyembuhan luka (Bucala, 2004).

Sejak zaman dahulu, tumbuhan sudah digunakan sebagai tanaman

obat, mengingat biaya pengobatan yang tidak terjangkau oleh semua orang,

pengobatan alamiah dengan tanaman obat tradisional dipandang sebagai

alternatif yang terjangkau. Salah satu tanaman yang berkhasiat sebagai

vii
tanaman obat adalah alpukat (Persea americana mill’s mill). Selama ini alpukat

hanya dimanfaatkan buahnya saja untuk dikonsumsi sedangkan daunnya

dibiarkan begitu saja jatuh hingga menjadi pupuk kompos. Daun buah alpukat

dapat untuk pengobatan sakit gigi, bengkak karena peradangan (sebagai

antiradang), menghilangkan sakit (sebagai analgesik), dan kencing manis.

(Yuniarti, 2008)

Kandungan yang terdapat didalam daun buah alpukat adalah senyawa

polifenol, flavonoid, alkaloid, saponin, dan quertin. Polifenol berperan sebagai

antioksidan, sehingga diduga mampu menghambat aktivasi karsinogen dan

mengurangi risiko terjangkitnya karsinoma. Penelitian secara in vivo maupun in

vitro menunjukkan bahwa flavonoid memiliki aktivitas biologis maupun

farmakologis, antara lain bersifat sebagai antiinflamasi, antibakteri, antialergi,

antioksidan, antikarsinogen, dan melindungi pembuluh darah (Sabir, 2003).

Flavonoid juga berfungsi untuk meningkatkan jumlah fibroblast, sehingga

merangsang proses penyembuhan agar lebih cepat terjadi (Sumartiningsih,

2009).
Untuk itu peneliti ingin meneliti ekstrak etanol daun alpukat (Persea

americana mill’s ) karena daun alpukat memiliki kandungan flavonoid yang cukup

tinggi dibandingkan dengan kandungan flavonoid pada biji dan buahnya,

sehingga dapat mempercepat proses penyembuhan luka.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ekstrak etanol daun alpukat (Persea americana mill’s) dapat

mempengaruhi jumlah fibrolast pada soket gigi incisivus maksilla pasca

ekstraksi gigi pada tikus Wistar (Rattus norvegicus)?

1.3 Tujuan

viii
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh ekstrak etanol daun alpukat (Persea americana

mill’s) pada jumlah fibroblast pada soket gigi incisivus maksilla pasca

ekstraksi gigi pada tikus Wistar (Rattus Norvegicus).


1.3.2 Tujuan Khusus
1. Menghitung jumlah sel fibroblast yang terbentuk pada soket gigi

tikus pada kelompok kontrol pada hari ke-3 dan ke-7 pasca

pencabutan gigi.
2. Menghitung jumlah sel fibroblast yang terbentuk pada soket gigi

tikus pada kelompok Perlakuan I (50 mg) pada hari ke-3 dan ke-7

pasca pencabutan gigi.


3. Menghitung jumlah sel fibroblast yang terbentuk pada soket gigi

tikus pada kelompok Perlakuan II (100 mg) pada hari ke-3 dan ke-

7 pasca pencabutan gigi.


4. Menghitung jumlah sel fibroblast yang terbentuk pada soket gigi

tikus pada kelompok Perlakuan III (200 mg) pada hari ke-3 dan

ke-7 pasca pencabutan gigi.


5. Menentukan hubungan antara dosis ekstrak daun alpukat dan

jumlah sel fibroblast pada soket gigi tikus pasca ekstraksi gigi

pada hari hari ke-3 dan ke-7.

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Klinis
1. Menambah nilai guna alpukat terutama pada daun alpukat yang

sering dibuang.
2. Dapat menjadi alternatif pengobatan dari bahan alami terhadap luka

pasca ekstraksi gigi dengan menggunakan daun alpukat (Persea

americana mill’s).
1.4.2 Manfaat Akademis Bagi Peneliti
1. Sebagai sarana bagi penulis untuk mengembangkan kemampuan

dalam menulis karya ilmiah.

ix
2. Menambah wawasan mengenai berbagi alternatif obat dari bahan

alami untuk memperceat proses penyembuhan luka pasca ekstraksi

gigi.
1.4.3 Manfaat Bagi Institusi Pendidikan
1. Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan di bidang

kedokteran gigi.
2. Memberi informasi mengenai alternatif pengobatan dari bahan alami

untuk mempercepat penyembuhan luka pasca ekstraksi gigi.

x
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekstraksi Gigi


2.1.1 Definisi

Ekstraksi gigi merupakan suatu proses pengeluaran gigi yang melibatkan

satu gigi utuh atau akar gigi dari tulang alveolar dengan alat-alat ekstraksi

(forceps), dimana pada gigi tersebut sudah tidak dapat dilakukan perawatan lagi.

Ekstraksi gigi juga merupakan operasi bedah yang melibatkan jaringan-jaringan

dari rongga mulut secara keseluruhan, yang aksesnya dibatasi oleh bibir dan

pipi. Pada tindakan ekstraksi gigi perlu dilaksanakan prinsip-prinsip asepsis dan

prinsip-prinsip pembedahan (surgery). Kesatuan dari jaringan lunak dan jaringan

keras gigi dalam cavum oris dapat mengalami kerusakan yang menyebabkan

adanya jalur terbuka untuk terjadinya infeksi yang menyebabkan komplikasi

(perdarahan, edema, trismus, dan dry socket) dalam penyembuhan luka akibat

ekstraksi gigi. Oleh karena itu tindakan asepsik merupakan aturan dalam bedah

mulut. Maka, definisi ekstraksi gigi yang ideal adalah ekstraksi tanpa rasa sakit

dengan trauma minimal terhadap jaringan pendukung gigi, sehingga bekas

ekstraksi dapat sembuh dengan sempurna dan tidak terdapat msalah prostetik di

masa mendatang (Fragiskos, 2007).

6
2.1.2 Indikasi dan Kontraindikasi Ekstraksi Gigi
2.1.2.1 Indikasi
Gigi perlu diekstraksi karena berbagai alasan seperti pada nyeri gigi itu

sendiri, nyeri pada gigi yang mempengaruhi jaringan di sekitarnya, karies

sehingga dapat merugikan gigi tersebut maupun gigi tetangga bila terus

dipertahankan, atau letak gigi yang salah. Berikut adalah indikasi dari

pencabutan gigi :
a. Karies yang parah
Sejauh ini gigi yang karies merupakan alasan yang tepat bagi dokter gigi

dan pasien untuk menghilangkan gigi dengan cara ekstraksi gigi (Peterson,

2013).
b. Nekrosis pulpa
Sebagai dasar pemikiran, yang berkaitan erat dengan ekstraksi gigi

adalah adanya nekrosis pulpa atau pulpitis irreversible yang tidak diindikasikan

untuk perawatan endodontik. Dikarenakan perawatan endodontic merupakan

perawatan saluran akar yang berliku-liku, klasifikasinya sudah tidak dapat diobati

dengan teknik endodontik standar. Dengan kondisi ini, perawatan endodontik

yang telah dilakukan ternyata gagal untuk menghilangkan nyeri sehingga

diindikasikan untuk dilakukan ekstraksi gigi (Peterson, 2003).


c. Alasan orthodontic
Pasien yang akan menjalani perawatan ortodonsi sering membutuhkan

ekstraksi gigi untuk memberikan ruang untuk keselarasan gigi. Gigi yang paling

sering diekstraksi adalah premolar satu rahang atas dan bawah, tetapi premolar

kedua dan gigi incisivus juga kadang-kadang dilakukan ekstraksi dengan alasan

yang sama (Rahardjo, 2008).


d. Gigi yang mengalami malposisi
Gigi yang mengalami malposisi dapat diindikasikan untuk ekstraksi dalam

situasi yang parah. Jika gigi mengalami trauma jaringan lunak dan tidak dapat

ditangani oleh perawatan ortodonsi, gigi tersebut harus diekstraksi. Contoh

umum, molar ketiga rahang atas yang keluar kearah bukal yang parah dan
menyebabkan ulserasi dan trauma jaringan lunak di pipi. Dalam situasi gigi yang

mengalami malposisi ini dapat dipertimbangkan untuk dilakukan ekstraksi

(Rahardjo, 2008).
e. Gigi impaksi
Gigi yang impaksi harus dipertimbangkan untuk dilakukan ekstraksi gigi

yang bersifat surgical. Jika terdapat sebagian gigi yang impaksi maka oklusi

fungsional tidak akan optimal karena ruang yang tidak memadai, maka harus

dilakukan odontektomi. Jika saat odontektomi terdapat kontraindikasi seperti

pada kasus kompromi medis, impaksi tulang penuh pada pasien yang berusia

diatas 35 tahun atau pada pasien dengan usia lanjut, maka gigi impaksi tersebut

dapat dibiarkan (Fragiskos, 2007).


f. Gigi yang fraktur tulang
Pasien yang mengalami fraktur mandibular atau tulang alveolar terkadang

perlu merelakan giginya untuk dicabut. Dalam sebagian besar kondisi gigi yang

terlibat dalam garis fraktur dapat dipertahankan, tetapi jika gigi terluka maka

ekstraksi mungkin diperlukan untuk mencegah infeksi (Peterson, 2003).

2.1.2.2 Kontraindikasi
Ada beberapa kontraindikasi untuk dapat dilakukannya tindakan ekstraksi

gigi, yaitu :
a. Faktor Lokal
Perikoronitis akut pada molar 3 dengan fasial selulitis, gingivitis,

stomatitis, sinusitis akut maksila pada molar dan premolar atas.


b. Factor Sistemik
- Diabetes mellitus yang tidak terkontrol
- Kelainan darah (hemofillia, leukemia, anemia)
- Kehamilan pada trisemester ke-1 dan ke-3
- Kelainan kardiovaskuler (hipertensi)
- Pasien dengan kelainan hati (hepatitis).

2.2 Proses Penyembuhan Luka Pasca Ekstrasi Gigi Pada Jaringan Lunak
Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks, tetapi

umumnya terjadi secara teratur. Sel khusus secara berurutan pertama-tama akan
membersihkan jejas, kemudian secara progresif membangun dasar (scaffolding)

untuk mengisi setiap defek yang dihasilkan. Peristiwa tersebut tertata rapi melalui

keadaan saling mempengaruhi antara faktor pertumbuhan terlarut dan ECM;

faktor fisik juga turut berperan, termasuk tenaga yang dihasilkan oleh perubahan

bentuk sel. Penyembuhan luka akhirnya dapat diringkas menjadi serangkaian

proses.
 induksi respons peradangan akut oleh jejas awal
 regenerasi sel parenkim (jika mungkin)
 migrasi dan proliferasi, baik sel parenkim maupun sel jaringan ikat
 sintesis protein ECM
 remodeling unsur parenkim untuk mengembalikan fungsi jaringan
 remodeling jaringan ikat untuk memperoleh kekuatan luka

Proses ini melibatkan, baik regenerasi epitel maupun pembentukan

jaringan parut, dan merupakan penggambaran prinsip umum yang berlaku pada

penyembuhan luka di semua jaringan.

2.1 Tahap Penyembuhan luka


2.2.1 Penyembuhan Primer
Salah satu contoh paling sederhana pemulihan luka adalah

penyembuhan suatu insisi bedah yang bersih dan tidak terinfeksi di sekitar luka

bekas pembedahan. Proses ini disebut dengan penyatuan primer atau

penyembuhan primer. Insisi tersebut hanya menyebabkna robekan fokal pada

kesinambungan membrane basalis epitel dan menyebabkan kematian sel epitel

dan jaringan ikat dalam jumlah yang relative sedikit. Akibatnya, regenerasi epitel

menonjol daripada fibrosis. Ruang insisi yang sempit segera terisi oleh darah

bekuan fibrin, dehidrasi pada permukaan menghasilkan suatu keropeng yang

menutupi dan melindungi tempat penyembuhan.

Dalam waktu 24 jam, neutrophil akan muncul pada tepi insisi, dan

bermigrasi menuju bekuan fibrin. Sel basal pada tepi irisan epidermis mulai

menunjukkan peningkatan aktivitas mitosis. Dalam waktu 24 jam hingga 48 jam,

sel epitel dari kedua tepi irisan telah mulai bermigrasi dan berproliferasi di

sepanjang dermis, dan mendepositkan komponen membrane basalis saat dalam

perjalanannya. Sel tersebut bertemu di garis tengah di bawah keropeng

permukaan, menghasilkan suatu lapisan epitel tipis yang tidak putus.

Pada hari ke-3, neutrofil sebagian telah besar digantikan oleh makrofag,

dan jaringan granulasi secara progresif menginvasi ruang insisi. Serat kolagen

pada tepi insisi sekarang timbul, tetapi mengarah vertical dan tidak menjembatani

insisi. Proliferasi sel epitel berlanjut, menghasilkan suatu lapisan epidermis

penutup yang menebal. Dan terdapat sel fibroblast.

Pada hari ke-5, neovaskularisasi mencapai puncaknya karena jaringan

granulasi mengisi ruang insisi. Serabut kolagen menjadi lebih berlimpah dan

mulai menjembatani insisi. Epidermis mengembalikan ketebalan normalnya


karena diferensiasi sel permukaan menghasilkan arsitekstur epidermis matur

yang disertai dengan keratinisasi permukaan.

Selama minggu kedua, penumpukan kolagen dan proliferasi fibroblast

masih berlanjut. Infiltrasi leukosit, edema, dan peningkatan vaskularitas telah

amat berkurang. Proses panjang “pemutihan” dimulai, dilakukan melalui

peningkatan deposisi kolagen di dalam jaringan parut bekas insisi dan regresi

saluran pembuluh darah.

Pada akhir bulan pertama, jaringan parut yang bersangkutan terdiri atas

suatu jaringan ikat sel yang sebagian besar tanpa disertai sel radang dan ditutupi

oleh epidermis yang sangat normal. Namun, tambahan dermis yang hancur pada

garis insisi akan menghilang secara permanen. Kekuatan regang pada luka

meningkat bersama perjalanan waktu.


2.2 Perbandingan proses penyembuhan primer dan sekunder

Respon tubuh dalam menormalkan kembali jaringan yang luka

merupakan gabungan beberapa fase yang saling tumpang tindih, tetapi secara

biologis dapat dibedakan. Setelah terjadi perlukaan, akan terjadi fase inflamasi

yang secara garis besar bertujuan untuk menghilangkan jaringan nonvital dan

mencegah infeksi bakteri invasive. Kemudian, terjadi fase proliferasi dimana

terjadi keseimbangan antara pembentukan jaringan parut dan regenerasi

jaringan. Pada fase yang terakhir, terjadi fase remodelling yang bertujuan untuk

memaksimalkan kekuatan dan integritas struktural dari luka. Pada setiap fase

penyembuhan tersebut terdapat satu jenis sel khusus yang mendominasi.


1. Fase Inflamasi
Fase inflamasi terjadi saat mulai terjadinya perlukaan sampai hari ke lima.

Kerusakan sel memicu reaksi vascular kompleks pada jaringan ikat dan

pembuluh darah. Pembuluh darah yang terputus akan meningkatkan respon

tubuh untuk menghentikannya dengan vasokontriksi, pengerutan ujung

pembuluh darah yang terputus (retraksi) dan reaksi hemostasis. Hemostasis

terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling melengket, dan

bersama jala fibrin yang terbentuk, membekukan darah yang keluar dari

pembuluh darah.
Platelet tidak hanya berfungsi membentuk bekuan darah tetapi juga

beberapa growth factor seperti transforming growth factor-β (TGF-β), platelet-

derived growth factor (PDGF ) dan Vascular Endothelial Growth Factor (VeGF).

Growth factor tersebut berfungsi untuk merangsang pertumbuhan dan proliferasi

dari sel- luka seperti keratinosit dan fibroblast untuk bermigrasi kedalam ruang

luka ( Werner and Grose, 2003).


Berbagai mediator inflamasi yakni prostaglandin, interleukin-1 (IL-1),

tumor necrosis factor (TNF), C5a, TGF-β dan produk degradasi bakteri seperti

lipopolisakarida (LPS) akan menarik sel neutrofil sehingga menginfiltrasi matriks

fibrin dan mengisi kavitas luka. Sel PMN terutama neutrofil adalah sel pertama

yang menuju daerah luka. Migrasi neutrofil ke luka juga dimungkinkan karena

peningkatan permeabilitas kapiler akibat terlepasnya serotonin dan histamin oleh

sel mast dan jaringan ikat. Jumlah neutrofil akan meningkat dan mencapai

puncak pada 24-48 jam setelah perlukaan. Bila tidak terjadi infeksi, neutrofil akan

berumur pendek dan jumlahnya akan menurun pada hari ke tiga (Sudrajat,

2006).
Makrofag akan muncul setelahnya kurang lebih sekitar 48-96 jam setelah

perlukaan menggantikan neutrofil. Makrofag juga berperan utama memproduksi


berbagai growth factor yang dibutuhkan dalam produksi matriks ekstraseluler

oleh fibroblast dan pembentukan neovaskularisasi.


Limfosit dan sel mast merupakan sel terakhir yang bergerak menuju luka

dan dapat ditemukan dengan jumlah bermakna pada hari kelima dan mencapai

puncak pada hari ketujuh pasca perlukaan. Makrofag dan limfosit sangat

berperan dalam proses penyembuhan luka normal (Nugroho, 2006). Limfosit dan

makrofag mencerna dan memfagositosis organisme-organisme patologis dan

sisa-sisa jairngan. Limfosit melepaskan Limfokin Interferon γ (IFN- γ) yang

berpengaruh dalam agregasi makrofag. Makrofag yang telah diaktivasi oleh

limfosit menghasilkan beberapa produk biologis berupa enzim, protein plasma,

metabolit reaktif oksigen, mediator lipid radang dan faktor pengatur sel lain.

Produk-produk tersebut mempermudah terbentuknya sel inflamasi tambahan

yang membantu makrofag dalam dekontaminasi dan membersihkan sisa

jaringan. Makrofag juga melepaskan faktor pertumbuhan lain yang mengawali

dan mempercepat proses terbentuknya jaringan granulasi (Robbins, 2003).

1. Fase Proliferasi
Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia karena yag menonjol adalah

fase proliferasi fibroblas yang berlangsung mulai hari ke-3 hingga hari ke-21

pasca perlukaan. Fase ini ditandai dengan terbentuknya jaringan granulasi pada

luka. Jaringan granulasi merupakan kombinasi dari elemen seluler dan sel

inflamasi. Fibroblas muncul pertama kali pada hari ke-3 dan mencapai

puncaknya pada hari ke-7. Pembentukan fibroblast dipacu oleh sitokin yang

diproduksi oleh makrofag dan limfosit. Fibroblas dapat menghasilkan kolagen

dalam jumlah besar. Kolagen pertama kali terdeteksi pada hari ke-3 pasca

perlukaan dan meningkan sampai minggu ke-3. Proses proliferasi fibroblast dan

aktivasi sintetik ini dikenal dengan istilah fibroplasia (Sudrajat, 2006). Pada fase
fibroplasia ini, luka dipenuhi oleh sel radang, fibroblas, dan kolagen, membentuk

jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan berbenjol halus yang disebut

jaringan granulasi. Epitel tepi luka yang terdiri atas sel basal terlepas dari

dasarnya dan berpindah mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi

oleh sel baru yang terbentuk dari proses mitosis. Proses migrasi hanya terjadi ke

arah yang lebih rendah atau datar. Proses ini baru berhenti setelah epitel saling

menyentuh dan menutup permukaan luka. Pada saat permukaan luka sudah

tertutup, proses fibroplasia dengan pembentukan jaringan granulasi juga akan

terhenti dan mulailah proses pematangan dalam fase penyudahan (Hatz, 2004) .
2. Fase Maturasi
Fase ini dapat berlangsung dari hari ke-21 pasca perlukaan dan

berlangsung hingga waktu satu tahun. Fase ini dimulai segera setelah kavitas

luka terisi oleh jaringan granulasi dan proses reepitelialisasi usai. Tubuh

berusaha menormalkan kembali semua yang menjadi abnormal karena proses

penyembuhan. Edema dan sel radang diserap, sel muda menjadi matang, kapiler

baru menutup dan diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap dan sisanya

mengerut sesuai dengan regangan yang ada (Gurtner, 2007).


Selama proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis dan lemas,

serta mudah digerakkan dari dasar. Terlihat pengerutan maksimal pada luka.

Pada akhir fase ini, perupaan kulit mampu menahan regangan kira-kira 80%

kemampuan kulit normal. Hal ini tercapai kira-kira 3-6 bulan setelah

penyembuhan. Perupaan luka tulang (patah tulang) memerlukan waktu satu

tahun atau lebih untuk membentuk jaringan yang normal secara histologi atau

secara bentuk (Gurtrner, 2007).

2.2.2 Penyembuhan Sekunder

Jika kehilangan sel atau jaringan terjadi lebih luas, seperti pada infark,

ulserasi radang, pembentukan abses, atau bahkan luka besar, proses


pemulihannya menjadi lebih kompleks. Pada keadaan ini, regenerasi sel

parenkim saja tidak dapat mengembalikan arsitektur asal. Akibatnya, terjadi

pertumbuhan jaringan granulasi yang luas kea rah dalam dari tepi luka, diikuti

dengan penumpukan ECM serta pembentukan jaringan parut. Bentuk

penyembuhan ini disebut sebagai penyatuan sekunder, atau penyembuhan

sekunder.

Penyembuhan sekunder berbeda beberapa hal dengan penyembuhan

primer dalam beberapa hal :

1. Secara instrinsik, kerusakan jaringan yang luas mempunyai jumlah debris

nekrotik, eksudat, dan fibrin yang lebih besar yang harus disingkirkan. Akibatnya,

reaksi radang menjadi lebih hebat, dan berpotensi lebih besar mengalami cedera

sekunder yang diperantai radang.


2. Jaringan granulasi akan terbentuk dalam jumlah yang jauh lebih besar.

Kerusakan yang lebih luas meningkatkan jumlah jaringan granulasi yang lebih

besar untuk mengisi kekosongan dalam arsitektur stroma dan menyediakan

kerangka pertumbuhan kembali epitel jaringan yang mendasari. Pada umumnya,

jaringan granulasi yang lebih besar akan menghasilkan suatu massa jaringan

parut yang lebih besar.


3. Penyembuhan sekunder menunjukkan fenomena kontraksi luka. Sebagai

contoh, dalam waktu 6 minggu kerusakan kulit yang luas dapat berkurang

menjadi 5%-10% dari ukuran semula, terutama melalui kontraksi. Proses ini

dianggap berasal dari adanya miofibroblas, yaitu fibroblast yang diubah yang
menunjukkan berbagai gambaran ultrastruktural dan fungsional sel otot polos

kontraktil.

2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka


Terdapat beberapa faktor resiko yang mempengaruhi proses

penyembuhan luka pasca ekstraksi gigi :


1. umur
2. kondisi hormonal
3. vaskularisasi
4. benda asing pada luka
5. mobilisasi luka
6. area perluasan
7. infeksi bakteri

2.3 Fase Penyembuhan Luka Pasca Pencabutan Gigi Pada Jaringan Keras

Penyembuhan luka merupakan suatu proses dinamis yang tediri dari 4

fase yang terintegrasi, dimana dalam tiap fase harus terjadi secara cepat dan

teratur. Keempat fase ini serta fungsi biofisiologisnya dapat terjadi dalam suatu

rangkaian, pada waktu dan durasi yang spesifik dan berlanjut dengan integritas

yang optimal.

2.1 Proses penyembuhan luka tersebut terdiri dari :

Fase Proses Selular dan biofisiologis


Hemostasis  Konstraksi vascular
 Agregasi platelet, degranulasi, dan pembentukan fibrin atau

thrombin
Inflamasi  Infiltrasi neutrophil
 Infiltrasi monosit dan diferensiasi menjadi makrofag
 Infiltrasi limfosit
Proliferasi  Re-epitelisasi
 Angiogenesis
 Sintesis kolagen
 Pembentukan matriks ekstraseluler
Remodeling  Remodeling kolagen
 Maturasi vascular dan regresi

Ketika gigi dicabut, soket gigi yang kosong yang terdiri dari tulang kortikol

(secara radiografik terlihat sebagai lamina dura) ditutupi oleh ligamen periodontal
yang terputus, dengan sejumlah epitel mukosa yang tertinggal di bagian korona.

Segera setelah ekstraksi soket gigi akan diisi dengan darah dari pembuluh darah

yang terputus, yang mengandung protein dan sel-sel yang rusak.

Sel-sel yang rusak bersama dengan platelet memulai serangkaian

peristiwa yang akan mengarah pada pembentukan jaringan fibrin, kemudian

gumpalan darah atau koagulum dalam 24 jam pertama. Gumpalan ini bertindak

sebagai matriks yang mengarahkan perpindahan sel mesenkimal dan growth

factors. Neutrofil dan makrofag masuk ke daerah luka dan melawan baketri serta

sisa jaringan untuk mensterilkan luka.

Dalam beberapa hari koagulum mulai rusak (fibrinolysis). Setelah 2-4 hari

jaringan granulasi secara bertahap menggantikan koagulum. Jaringan vascular

dibentuk antara akhir minggu pertama dan minggu kedua. Bagian marginal dari

soket ekstraksi ditutupi oleh jaringan ikat muda yang kaya akan pembuluh darah

dan sel inflamasi.

Dua minggu pasca ekstraksi, pembuluh kapiler yang baru berpenetrasi ke

pusat koagulum. Ligament periodontal yang tersisa mengalami degenerasi dan

menghilang. Epitel berproliferasi melewati permukaan luka tetapi luka biasanya

belum tertutup terutama pada kasus gigi posterior. Pada soket yang kecil,

epitelisasi dapat berlangsung secara sempurna. Tepi dari soket alveolar

diresorpsi oleh osteoklas. Fragmen tulang nekrosis yang lepas dari pinggiran

soket pada saat ekstraksi akan diresorpsi.

Pada minggu ketiga, koagulum akan hamper terisi penuh oleh jaringan

granulasi yang matang. Tulang trabekula muda yang berasal dari osteosid atau

tulang yang belum terkalsifikasi terbentuk di seluruh tepi luka dari dinding soket.
Tulang ini terbentuk dari osteoblast yang berasal dari sel pluripotensial ligament

periodontal yang bersifat osteogenik. Tulang kortikol dari soket alveolar

mengalami remodeling sehingga terdiri dari lapisan yang padat. Tepi dari puncak

alveolar akan diresorpsi oleh osteoklas. Pada saat itu luka akan terepitelisasi

secara sempurna.

Pada minggu keempat, luka mengalami tahap akhir penyembuhan.

Sementara itu deposisi dan resorpsi tulang trejadi pada soket. Antara minggu

keempat dan kedelapan setelah ekstraksi, jaringan osteogenik dan tulang

trabecular dibentuk dan diikuti oleh proses pematangan tulang. Proses

remdelling akan berlanjut selama beberapa minggu. Tulang masih mengalami

sedikit kalsifikasi, sehingga akan terlihat radiolusen pada gambaran radiografik.

Pada gambaran radiografik, proses pembentukan tulang tidak terlihat menonjol

hingga minggu keenam pasca ekstraksi.

Menurut Jay R. liberman, M. D (2005) proses penyembuhan tulang terdiri

atas beberapa fase, sebagai berikut :

1. Fase Reaktif
a. Fase hematom dan inflamasi
b. Pembentukan jaringan granulasi
2. Fase Reparatif
a. Fase pembentukan callus
b. Pembentukan tulang lamellar
3. Fase Remodelling
a. Remodelling ke bentuk tulang semula

2.3.1 Proses Penyembuhan Tulang Primer


Penyembuhan cara ini terjadi secara internal remodeling yang meliputi

upaya langsung oleh korteks untuk membangun kembali dirinya ketika

kontinuitas terganggu.
Ada 3 persyaratan untuk remodeling Haversian pada jejas di tulang, yaitu :
1. Pelaksanaan reduksi yang tepat
2. Fiksasi yang stabil
3. Ekstensi suplai darah yang cukup

Penggunaan plate kompresi dinamis dalam model osteotomy telah

diperlihatkan menyebabkan penyembuhan tulang primer. Remodeling harvesian

aktif terlihat pada sekitar minggu ke empat fiksasi.

2.3.2 Proses Penyembuhan Tulang Sekunder

Penyembuhan sekunder meliputi respon dalam periostium dan jaringan-

jaringan lunak eksternal. Proses penyembuhan tulang ini secara garis besar

dibedakan atas 5 fase, yakni fase hematom (inflamasi), fase proliferasi, fase

kalus, osifikasi dan remodelling.

1. Fase Inflamasi :

Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan

berkurangnya pembengkakan dan nyeri. Terjadi perdarahan dalam jaringan yang

cidera dan pembentukan hematoma di tempat terjadinya jejas pada tulang. Ujung

fragmen tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya pasokan darah terjadi

hipoksia dan inflamasi yang menginduksi ekpresi gen dan mempromosikan

pembelahan sel dan migrasi menuju tempat fraktur untuk memulai

penyembuhan. Produksi atau pelepasan dari faktor pertumbuhan spesifik,

Sitokin, dapat membuat kondisi mikro yang sesuai untuk :

a. Menstimulasi pembentukan periosteal osteoblast dan osifikasi intra membran

pada tempat yang mengalami luka,


b. Menstimulasi pembelahan sel dan migrasi menuju tempat yang mengalami

luka, dan
c. Menstimulasi kondrosit untuk berdiferensiasi pada kalus lunak dengan

osifikasi endokondral yang mengiringinya.


Berkumpulnya darah pada fase hematom awalnya diduga akibat robekan

pembuluh darah lokal yang terfokus pada suatu tempat tertentu. Namun pada

perkembangan selanjutnya hematom bukan hanya disebabkan oleh robekan

pembuluh darah tetapi juga berperan factor-faktor inflamasi yang menimbulkan

kondisi pembengkakan lokal.

2. Fase proliferasi

Kira-kira 5 hari hematom akan mengalami organisasi, terbentuk benang-

benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan untuk revaskularisasi,

dan invasi fibroblast dan osteoblast. Fibroblast dan osteoblast (berkembang dari

osteosit, sel endotel, dan sel periosteum) akan menghasilkan kolagen dan

proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan

ikat fibrous dan tulang rawan (osteoid). Dari periosteum, tampak pertumbuhan

melingkar. Kalus tulang rawan tersebut dirangsang oleh gerakan mikro minimal

pada tempat patah tulang. Tetapi gerakan yang berlebihan akan merusak struktur

kalus. Tulang yang sedang aktif tumbuh menunjukkan potensial elektronegatif.

Pada fase ini dimulai pada minggu ke 2 – 3 setelah terjadinya jejas atau luka dan

berakhir pada minggu ke 4 – 8.

3. Fase Pembentukan Kalus

Merupakan fase lanjutan dari fase hematom dan proliferasi mulai

terbentuk jaringan tulang yakni jaringan tulang kondrosit yang mulai tumbuh atau

umumnya disebut sebagai jaringan tulang rawan. Sebenarnya tulang rawan ini

masih dibagi lagi menjadi tulang lamellar dan wovenbone. Pertumbuhan jaringan

berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah

sudah terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan

fibrous, tulang rawan, dan tulang serat matur. Bentuk kalus dan volume
dibutuhkan untuk menghubungkan efek secara langsung berhubungan dengan

jumlah kerusakan dan pergeseran tulang. Perlu waktu tiga sampai empat minggu

agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrous. Secara

klinis fragmen tulang tidak bisa lagi digerakkan. Regulasi dari pembentukan kalus

selama masa perbaikan luka atau jejas dimediasi oleh ekspresi dari faktor-faktor

pertumbuhan. Salah satu faktor yang paling dominan dari sekian banyak faktor

pertumbuhan adalah Transforming Growth Factor-Beta 1 (TGF-B1) yang

menunjukkan keterlibatannya dalam pengaturan differensiasi dari osteoblast dan

produksi matriks ekstra seluler.

Faktor lain yaitu:

 Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) yang berperan penting

pada proses angiogenesis selama penyembuhan fraktur.

(chen,et,al,2004).

Pusat dari kalus lunak adalah kartilogenous yang kemudian bersama

osteoblast akan berdiferensiasi membentuk suatu jaringan rantai osteosit, hal ini

menandakan adanya sel tulang serta kemampuan mengantisipasi tekanan

mekanis. (Rubin,E,1999)

Proses cepatnya pembentukan kalus lunak yang kemudian berlanjut

sampai fase remodeling adalah masa kritis untuk keberhasilan penyembuhan

fraktur. (Ford,J.L,et al,2003).

 Jenis-jenis Kalus

Dikenal beberapa jenis kalus sesuai dengan letak kalus tersebut berada :

a. Terbentuk kalus primer sebagai akibat adanya fraktur terjadi dalam waktu 2

minggu Bridging (soft) callus terjadi bila tepi-tepi tulang yang fraktur tidak

bersambung.
b. Medullary (hard) Callus akan melengkapi bridging callus secara perlahan-

lahan. Kalus eksternal berada paling luar daerah fraktur di bawah


c. periosteum periosteal callus terbentuk di antara periosteum dan tulang yang

fraktur.
d. Interfragmentary callus merupakan kalus yang terbentuk dan mengisi celah

fraktur di antara tulang yang fraktur.


e. Medullary callus terbentuk di dalam medulla tulang disekitar daerah fraktur.

(Miller, 2000)

4. Stadium Konsolidasi

Dengan aktifitas osteoklast dan osteoblast yang terus menerus, tulang

yang immature (woven bone) diubah menjadi mature (lamellar bone). Keadaan

tulang ini menjadi lebih kuat sehingga osteoklast dapat menembus jaringan

debris pada daerah fraktur dan diikuti osteoblast yang akan mengisi celah di

antara fragmen dengan tulang yang baru.

Proses ini berjalan perlahan-lahan selama beberapa bulan sebelum

tulang cukup kuat untuk menerima beban yang normal.

5. Stadium Remodelling.

Fraktur telah dihubungkan dengan selubung tulang yang kuat dengan

bentuk yang berbeda dengan tulang normal. Dalam waktu berbulan-bulan

bahkan bertahun-tahun terjadi proses pembentukan dan penyerapan tulang yang

terus menerus lamella yang tebal akan terbentuk pada sisi dengan tekanan yang

tinggi. Rongga medulla akan terbentuk kembali dan diameter tulang kembali

pada ukuran semula. Akhirnya tulang akan kembali mendekati bentuk

semulanya, terutama pada anak-anak. Pada keadaan ini tulang telah sembuh

secara klinis dan radiologi.


Fase Inflamasi

Fase Proliferasi

Fase Pembentukan

Fase Remodelling

2.3 Proses Penyembuhan Kalus

Jay. R. liberman, M. D. and Gary E Friedlaender (2005)

2.4 Sel Fibroblas


Fibroblas (L. fibra, serat: Yunani. blatos, benih: Latin) adalah sel yang

menghasilkan serat dan substansi dasar amorf jaringan ikat biasa. Pada saat

sedang aktif menghasilkan substansi internal, sel ini memiliki juluran sitoplasma

lebar atau tampak berbentuk kumparan. Sitoplasmanya yang banyak bersifat


basofil dan anak intinya sangat jelas, yang menandakan adanya sintesis protein

secara aktif. Fibroblas merupakan salah satu sel jaringan ikat dalam rongga

mulut yang paling khas dan berperan penting dalam perkembangan dan

pembentukan struktur jaringan.


2.4.1 Struktur Sel Fibroblas

Fibroblas paling banyak terdapat dalam ligamen periodontal dan secara

rapat memenuhi populasi, bentuknya gelondong atau disk flat (pipih) dan

mempunyai inti yang panjang dan ovoid, serta banyak proses sitoplasmik yang

panjangnya bervariasi. Struktur sitoplasmiknya berhubungan dengan fibroblas

lain dalam jaringan penghubung manusia. Fibroblas membawa banyak vakoula

sitoplasmik yang berisi serat-serat kolagen yang pendek dan enzim proteolytic,

dimana bukti bahwa fibroblas juga turut serta dalam pembentukan badan serat

melalui resorpsi dari kolagen yang telah dibentuk.

Fibroblas merupakan sel dengan bentuk tidak beraturan, agak gepeng

dengan banyak cabang dan dari samping terlihat berbentuk gelondong atau

fusiform. Sitoplasmanya bergranula halus dan mempunyai inti lonjong, besar di

tengah dengan satu atau dua anak inti jelas.

Pengamatan menggunakan mikroskop elektron menampakan aparat golgi

secara jelas dan banyak sekali retikulum endoplasma kasar dalam fibroblas,

terutama jika sel secara aktif memproduksi matrik, seperti pada proses

penyembuhan luka. Aktin dan α-aktinin terletak di sekeliling sel dan miosin

terdapat di seluruh sitoplasma. Fibroblas aktif lebih kecil dan lebih ovoid serta

mempunyai sitoplasma asidofilik, nukleus lebih kecil, memanjang, dan lebih

berwarna gelap.
2.4.2 Fungsi Fibroblas
Fibroblas adalah sel yang paling banyak terdapat dalam jaringan ikat,

berfungsi menghasilkan serat dan substansi interseluler aktif amorf. Fibroblas

merupakan sel induk yang berperan membentuk dan meletakkan serat-serat

dalam matrik, terutama serat kolagen. Sel ini mensekresi molekul tropokolagen

kecil yang bergabung dalam substansi dasar membentuk serat kolagen. Kolagen

akan memberikan kekuatan dan integritas pada semua luka yang menyembuh

dengan baik.

2.4 Peran fibroblas dalam membentuk dan meletakkan serat-serat dalam matrik, terutama serat

kolagen.

Fibroblas merupakan sel yang menghasilkan serat-serat kolagen,

retikulum, elastin, glikosaminoglikan, dan glikoprotein dari substansi interseluler

amorf. Pada orang dewasa, fibroblas dalam jaringan mengalami perubahan.

Mitosis hanya tampak jika organisme memerlukan fibroblas tambahan, yaitu jika

jaringan ikat cedera. Fibroblas lebih aktif mensintesis komponen matriks sebagai

respon terhadap luka dengan berproliferasi dan peningkatan fibrinogenesis. Oleh

sebab itu, fibroblas menjadi agen utama dalam proses penyembuhan luka.

2.4.3 Peran Sel Fibroblas Pada Proses Penyembuhan Luka


Pada saat jaringan mengalami jejas yang menyebabkan terbentuknya lesi

atau perlukaan, maka proses penyembuhan luka tersebut merupakan fenomena

yang kompleks dan melibatkan beberapa proses. Penyembuhan luka sebagai

salah satu prototip dari proses perbaikan jaringan merupakan proses yang

dinamis, secara singkat meliputi proses inflamasi, diikuti oleh proses fibrosis atau

fibroplasia, selanjutnya remodeling jaringan dan pembentukan jaringan parut.

Proses fibrosis atau fibroplasia dan pembentukan jaringan parut

merupakan proses perbaikan yang melibatkan jaringan ikat yang memiliki empat

komponen, yaitu : (a) pembentukan pembuluh darah baru, (b) migrasi dan

proliferasi fibroblas, (c) deposisi ECM (extracellular matrix), dan (d) maturasi dan

organisasi jaringan fibrous (remodeling). Dari keseluruhan proses yang telah

disebutkan di atas, fibroblas memiliki peran penting pada proses fibrosis yang

melibatkan dua dari keempat komponen di atas yaitu migrasi dan proliferasi

fibroblas serta deposisi ECM oleh fibroblas.

Pada proses inflamasi terjadi perubahan vaskuler yang mempengaruhi

besar, jumlah, dan permeabilitas pembuluh darah dan perubahan seluler yang

menyebabkan kemotaksis ke arah jejas setelah proses inflamasi berkurang,

dilanjutkan dengan proses fibrosis tahap awal yaitu migrasi dan proliferasi di

daerah jejas. Migrasi dan proliferasi fibroblas terutama dipacu oleh transforming

growth factor-β (TGF-β), yaitu faktor pertumbuhan yang dihasilkan oleh jaringan

granulasi yang terbentuk selama proses inflamasi. Migrasi dan peningkatan

proliferasi fibroblas di daerah jejas akan meningkatkan sintesis kolagen dan

fibronektin, serta peningkatan deposisi matriks ekstraselular.


Pada tahap selanjutnya terjadi penurunan proliferasi sel endotel dan sel

fibroblas, namun fibroblas menjadi lebih progresif dalam mensintesis kolagen dan

fibronektin sehingga meningkatkan jumlah matriks ekstraselular yang berkurang

selama inflamasi. Selain TGF-β, beberapa faktor pertumbuhan lain yang ikut

mengatur proliferasi fibroblas juga membantu menstimulasi sintesis matriks

ekstraselular. Pembentukan serabut kolagen pada daerah jejas merupakan hal

yang penting untuk meningkatkan kekuatan penyembuhan luka. Sintesis kolagen

oleh fibroblas dimulai relatif awal pada proses penyembuhan (hari ke 3-5) dan

berlanjut terus sampai beberapa minggu tergantung ukuran luka. Menurut

Sodera & Saleh (1999), sintesis kolagen oleh fibroblas mencapai puncaknya

pada hari ke-5 sampai ke-7. Proses sintesis ini banyak bergantung pada

vaskularisasi dan perfusi di daerah lunak, dan mencapai hasil optimal dalam

lingkungan yang sedikit asam.

Proses akhir dari penyembuhan luka adalah pembentukan jaringan parut,

yaitu jaringan granulasi yang berbentuk spindel, kolagen, fragmen dari jaringan

elastik dan berbagai komponen matriks ekstraselular. Jadi, pada saat jaringan

mengalami perlukaan, maka fibroblas yang akan segera bermigrasi ke arah luka,

berproliferasi dan memproduksi matriks kolagen dalam jumlah besar yang akan

membantu mengisolasi dan memperbaiki jaringan yang rusak.

2.5 Tumbuhan Alpukat


2.5.1 Morfologi Tumbuhan Alpukat
Pohon buah ini berasal dari Amerika Tengah, tumbuh liar di hutan-hutan,

banyak yang juga ditanam di kebun, dan ada yang di pekarangan rumah yang

lapisan tanahnya gembur dan subur serta tidak tergenang air. Pohon kecil

berakar tunggang, batang berkayu, bulat, warnanya coklat kotor, banyak


bercabang, ranting berambut halus. Daun tunggal, letaknya berdesakan diujung

ranting, bentuknya jorong sampai bundar telung memanjang, tebal seperti kulit

ujung dan pangkal yang runcing. Tepi rata kadang agak menggulung ke atas,

bertulang menyirip, daun muda warnanya kemerahan dan berambut rapat, daun

tua warnanya hijau dan gundul. Bunganya majemuk, buahnya buah buni, bentuk

bola dan bulat telur, warnanya hijau atau hijau kekuningan, daging buah jika

sudah masak lunak, warnanya hijau kekuningan. Biji bulat seperti bola, keeping

biji putih kemerahan.

2.5 Morfologi daun alpukat

2.5.2 Sistematika Tumbuhan Alpukat


Sistematika tumbuhan alpukat sebagai berikut :
 Kingdom : Plantae
 Devisi : Spermatophyta
 Class : Dicotylendonae
 Ordo : Ranunculales
 Family : Lauraceace
 Genus : Persea
 Spesies : Persea gratissima Graertn.
2.5.3 Manfaat Daun Alpukat
Hasil pengujian farmakologi yang dilakukan Yasir et al, 2010

menunjukkan bahwa ekstrak daun alpukat memiliki aktifitas vasorelaksan,

hipotensi, antikonvulsan, antivirus, antihepatotoksik, antioksidan, hipoglikemik,

analgesik, dan anti-inflamasi.


2.5.4 Kandungan Daun Alpukat
Daun alpukat memiliki kandungan berupa saponin, polifenol, flavonoid,

dan alkaloid. Hasil penapisan fotokimia ekstrak etanol daun alpukat menunjukkan
adanya golongan senyawa flavonoid, tanin, katekat, kuinon, saponin, dan

steroid/triterpenoid.
Tabel 2.2 Perbandingan senyawa flavonoid, tanin, katekat, kuinon, saponin, dan

steroid pada daun, buah, dan biji alpukat

Constituents Daun Buah Biji


Saponins 1,29±0,08 0,14±0,01 19,21±2,81
Tanins 0,68±0,0 0.012±0,03 0,24±0,12
Flavonoids 8,11±0,14 4,25±0,16 1,90±0,07
Cyanogenic ND ND 0,06±0,02

glycosides
Alkaloids 0,51±0,21 0,14±0,00 0,72±0,12
Phenols 3,41±0,64 2,94±0,13 6,14±1,28
Steroids 1,21±0,14 1,88±0,19 0,09±0,00
Values are means±standart deviations of triplicate determinations ND = Not Detected

2.5.4.1 Polifenol
2.5.4.1.1 Definisi
Polifenol mudah larut dalam air karena berikatan dengan gula

sebagai glikosida dan biasanya terdapat dalam vakuola sel. Untuk mendeteksi

senyawa fenol sederhana ialah dengan menambahkan larutan besi (III) klorida

1% dalam air atau etanol ke dalam larutan cuplikan yang menimbulkan warna

hijau, merah, ungu, biru, dan hitam yang kuat.

2.5.4.1.2 Manfaat
 Sebagai antioksidan yang sangat kuat dalam menangkal radikal bebas
 Mampu meredam perkembangan aktifasi sel kanker hingga 50%
 Untuk mengobati asam urat, eksim, migrane, demam, dan asma
 Mencegah penyakit degenerative seperti, sel kanker, koresterol, jantung

maupun stroke
 Mampu menurunkan kadar gula dalam plasma darah sehingga bik diminum

untul penderita diabetes


 Memiliki efek antiaging (penuaan dini)
 Menghentikan eksudat dan pendarahan yang ringan

2.5.4.2 Saponin
2.5.4.2.1 Definisi
Saponin tidak larut dalam pelarut non polar, paling cocok diekstraksi

dengan etanol dan methanol panas 70-9%, kemudian lipid dan pigmen

disingkirkan dari ekstrak dengan benzene.


2.5.4.2.2 Manfaat
Saponin memiliki kemampuan sebagai pembersih dan antiseptic

yang berfungsi membunuh atau mencegah pertumbuhan mikroorganisme.

2.5.4.3 Flavonoid
2.5.4.3.1 Definisi

Aktivitas farmakologi dari flavonoid adalah sebagai anti-inflamasi,

analgesi, anti-oksidan. Mekanisme anti-inflamasi terjadi melalui efek

penghambatan pada jalur metabolism asam arakhidonat, pembentukan

prostaglandin, pelepasan histamin pada radang.

2.5.4.3.2 Manfaat
Sebagai anti-inflamasi, antihistamin, antioktidan, analgesic.

2.5.4.4 Alkaloid
2.5.4.4.1 Definisi
Alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau

lebih ataom N, biasanya dalam gabungan sebagai bagian dari system siklik.

Alkaloid biasanya tanpa warna, kebanyakan berbentuk Kristal, hanya sedikit

yang berupa cairan. Senyawa alkaloid dapat dideteksi dengan penetrasi

Dragendorf.
2.5.4.4.2 Manfaat
Fungsi alkaloid dalam tanaman saat ini belum diketahui dengan jelas. Ada

beberapa dugaan bhawa fungsi alkaloid dalam tanaman sebagai metabolit

sekunder yang berguna melindungi tanaman dari predator, sebagai metabolit

akhir yaitu limbah yang tidak berfungsi sebagai substansi simpanan atau sebagai

regulator pertumbuhan. Alkaloid banyak dimanfaatkan oleh manusia karena

memiliki efek farmakologi, diantaranya :


 Depresan saraf pusat
 Simulant saraf pusat
 Simpatomimetik
 Simpatolitik
 Parasimpatomimetik
 Antikolirgenik
 Ganglioplegik
 Anastesi local
 Mengobati fibrilasi
 Antitumor
 Antibakteri
BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3. 1 Kerangka Konsep

Daun Alpukat

(Persea americana mill’s) Pencabutan gigi

Luka pada soket gigi

Flavonoid Polifenol Alkaloid Saponin


Fase Hemostasis

- Anti-inflamasi - Antioksidan - antiseptik


- Antihismatin - Anti - Antibakteri Fase Inflamasi
- Analgesic karsinogen
- antioksidan
Fase Prolifeasi/

Fase Fibroplasia

Sekresi FGF, VEGF, TGF-


beta

Keterangan: Jumlah fibroblas

: Proses yang diteliti


Pembentukan Matriks
: Proses yang tidak diteliti Ekstraseluler

: Kandungan

: Stimulan Sintesis Kolagen

: Tahapan proses
Fase remodelling

Wound maturation
Proses ekstraksi gigi akan menyebabkan adanya luka pada soket geligi

sehingga memicu adanya proses penyembuhan luka (wound healing). Peterson

(2003) menyebutkan bahwa pada saat proses penyembuhan luka, terjadi

beberapa fase yaitu: fase inflamasi, fase fibroplasia (proliferasi), dan fase

remodelling.

Proses fibroplasia merupakan proses perbaikan jaringan ikat karena

terjadi migrasi fibroblas dan deposisi ECM (extracellular matrix). Adanya

flavonoid pada ekstrak daun alpukat berfungsi untuk membatasi pelepasan

mediator inflamasi. Sifat antiinflamasi pada flavonoid akan menghambat enzim

sikloogsigenase dan lipoksigenase sehingga terdapat pembatasan jumlah sel

inflamasi yang bergerak menuju jaringan yang luka (Nijvelt, dkk., 2001 dalam

Recita I., 2011).

Akibat terjadi pembatasan sel inflamasi yang bergerak pada jaringan luka

menyebabkan reaksi inflamasi yang lebih singkat sehingga kemampuan

proliferasi dari TGF-β tidak terhambat sehingga wound healing akan segera

terjadi (Recita I., 2011).

3. 2 Hipotesis Penelitian

Ekstrak etanol daun alpukat (Persea Americana mill’s) dapat

mempengaruhi jumlah sel fibroblas pada soket pasca ekstraksi gigi incisivus

maksila pada tikus Rattus novergicus.


BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Pendekatan yang digunakan untuk mencapai tujuan ini adalah rancangan

eksperimental murni (pure experimental) yang dikerjakan di laboratorium secara

in vivo. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Randomized Post Test

Only Control Group Design dimana subjek dibagi menjadi 4 kelompok (I sampai

IV) secara random. Kelompok I adalah tikus yang tanpa pemberian ekstrak daun

Persea americana (kelompok kontrol) dan kelompok II sampai IV sebagai

(kelompok perlakuan) diberi ekstrak etanol daun Persea americana dengan

dosis berbeda per oral dengan sonde setiap hari sekali selama 7 hari. Kemudian

diobservasi dan dibandingkan efek ekstrak etanol daun Persea Americana

terhadap jumlah sel fibroblast yang terbentuk.

4.2. Populasi dan Sampel

Tikus jenis Rattus norvegicus galur wistar dipilih sebagai populasi karena

tikus merupakan hewan coba karena tergolong jinak, mudah perawatannya dan

fungsi metabolismenya mirip dengan manusia. Lalu populasi dibagi kedalam

empat kelompok dengan teknik simple randon sampling. Populasi hewan coba

dalam penelitian ini adalah tikus jenis Rattus norvegicus galur wistar yang

dipelihara di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas

Brawijaya, Malang. Pemeliharaan dilakukan dalam kandang yang bersih.

38
39

4.2.1. Pemilihan Hewan Coba dan Teknik Randomisasi

Sampel penelitian dipilih berdasarkan ketentuan

Kriteria Inklusi:

a) Jenis kelamin jantan


b) Usia 2,5 – 3 bulan
c) Berat badan 250 – 350 gram
d) Sehat, ditandai dengan gerakannya yang aktif, mata jernih, dan bulu yang

tebal dan berwarna putih mengkilap.

Kriteria Drop Out:

a) Tikus yang selama penelitian tidak mau makan


b) Tikus yang kondisinya menurun atau mati selama penelitian berlangsung
c) Tikus yang mengalami infeksi paska pencabutan gigi insisvus kanan maksilla

Teknik randomisasi untuk pengelompokan perlakuan menggunakan

metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) mengingat baik hewan coba, bahan

pakan, dan bahan penelitian lainnya adalah homogen. Pada rancangan ini

dimungkinkan setiap hewan coba berpeluang sama untuk mendapat kesempatan

sebagai sampel baik dalam kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol.

4.2.2. Estimasi Jumlah Pengulangan

Jumlah sampel pada penelitian, setiap tikus mendapatkan perlakuan

berbeda dalam rongga mulut yaitu dibagi menjadi 8 perlakuan (kontrol, P1, P2,

P3). Penelitian ini menggunakan 2 time series yaitu hari ke-3 dan ke-7. Menurut

Hanafiah tahun 2005, jumlah sampel tiap perlakuan didapatkan dari rumus (t – 1)

(r – 1) 15, dengan t adalah jumlah perlakuan (P0, P1, P2, P3) dan r adalah

jumlah sampel yang dibutuhkan setiap perlakuan. Dari rumus tersebut maka

didapatkan hasil perhitungan:


40

(t – 1) (r – 1) 15

(4 perlakuan x 2 time series – 1) (r – 1) 15

(8 – 1) (r – 1) 15

8(r – 1) 15

8 r- 8 15

8r 23

r 2.875 = 3

Sehingga sampel yang digunakan adalah 3 tikus untuk setiap kelompok

perlakuan. Total tikus yang akan digunakan pada penelitian ini sejumlah 4

(perlakuan) x 2 (hari pengamatan) x 3 (tikus yang dibedah setiap time series) =

24 tikus, Maka diperlukan sampel sejumlah 24 tikus dengan penambahan 6 tikus

untuk mengantisipasi terjadinya tikus drop out sehingga total hewan coba yang

diperlukan adalah 30 ekor.

4.3. Variabel penelitian

Variabel dalam penelitian ini, yaitu:

a) Variabel tergantung : Jumlah sel fibroblast pada soket yang terlihat

dalam preparat Histologi


b) Variabel bebas : Ekstrak Etanol Daun Persea americana
c) Variabel Kendali : Makanan sampel, lingkungan dan kandang

4.4. Lokasi
41

Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmakologi dan Laboratorium

Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang dalam waktu empat

bulan (Oktober - Januari).

4.5. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan dan alat secara keseluruhan yang digunakan selama penelitian

diantaranya yaitu, pakan hewan coba comfeed, air PDAM, anestesi ketamin 60

ml/kgBB, aquades steril, eter dosis lethal, EDTA 14 %, larutan formalin 10 %,

HCL 5%, amonium oksalat 1 %, alkohol dengan konsentrasi 70 %, 80 %, 95 %,

dan 96 %, 96 % + prusi, xylol dan paraffin, hetoksilin, air, eosin serta balsem

kanada, etanol 96 %, aquades murni, kertas saring, daun buah alpukat, blender,

1 set alat evaporasi, gelas erlenmeyer, tabung steril, masker dan sarung tangan,

lima buah box plastic berukuran 15 x 30 x 42 cm³, kawat kasa sebagai tutup box,

sekam sebagai dasar box, tempat minum, neraca ohaus merk Sartorius untuk

menimbang berat badan tikus, pisau, needle holder modifikasi, lecron modifikasi,

kapas, cawan, spuit injeksi ukuran 2,5 ml dan sondegrastic, scalpel no. 11,

pinset, gunting bedah, dan tabung fiksasi yang sudah diberi label, oven, wadah

plastik untuk membuang zat-zat pewarnaan, object glass, cover glass, mikroskop

cahaya, kamera digital untuk foto histology.

4.5.1 Bahan Penelitian

4.5.1.1 Bahan Pemeliharaan Hewan Coba


42

Makanan hewan coba adalah pakan hewan coba comfeed dan minuman

hewan coba adalah air PDAM yang diberikan ad libitum atau seperlunya.

4.5.1.2 Bahan Perlakuan Hewan Coba

Perlakuan yang dilakukan terhadap hewan coba meliputi pemberian

ekstrak etanol daun Persea americana yang langsung ke lambung dan

pencabutan gigi insisvus pada rahang atas tikus. Bahan-bahan yang digunakan

adalah ketamin 60 ml/kgBB untuk anestesi secara intra Peritoneal, alkohol 70%

untuk sterilisasi pada saat pencabutan gigi tikus, aquades steril untuk irigasi

soket dan novalgin 500 mg/kgBB dengan dosis 0,3 ml secara intra muscular

perhari untuk analgesik.

4.5.1.3 Bahan Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dimulai dengan larutan eter dosis lethal. Kemudian

alkohol 70% untuk sterilisasi scalpel dan larutan formalin 10% untuk fiksasi

setelah rahang atas tikus diambil dan EDTA 14% untuk dekalsifikasi.

4.5.1.4 Bahan Persiapan Pembuatan Sediaan

Persiapan analisis histologi meliputi fiksasi, dekalsifikasi, dehidrasi,

bloking, pewarnaan, dan analisis mikroskop. Tahap fiksasi menggunakan

formalin 10%, kemudian tahap dekalsifikasi menggunakan bahan HCL 5% dan

ammonium oksalat 1 % sebagai indikator selesainya proses dekalsifikasi. Alkohol

dengan konsentrasi 70%, 80%, 95% dan 96%, 96% + prusi digunakan dalam

proses dehidrasi. Selanjutnya proses clearing dan impregnansi menggunakan

larutan xylol dan paraffin; untuk proses pewarnaan menggunakan xylol,

hematoksilin, air, aquades dan eosin serta balsem kanada.


43

4.5.1.5 Bahan Pembuatan Ekstrak Daun Persea Americana

Bahan untuk mengekstrak daun Persea Americana adalah etanol 96%,

aquades murni, kertas saring yang didapatkan dari apotek dan daun buah

alpukat yang didapatkan dari Dinas kesehatan Propinsi jawa Timur UPT Materia

Medica Batu.

4.5.2 Alat Penelitian

Setiap prosedur diharuskan menggunakan masker dan sarung tangan.

4.5.2.1 Tempat Pemeliharaan Hewan Coba

Lima buah box plastic berukuran 15 x 30 x 42 cm³ yang diisi 5 ekor tikus

Rattusnorvegicus, kawat kasa sebagai tutup box, sekam sebagai dasar box, dan

tempat minum.

4.5.2.2 Alat Penimbang Berat Badan Tikus

Neraca Ohaus merek Sartorius.

4.5.2.3 Alat Pembuat Ekstrak daun Persea Americana

Alat untuk pembuatan ekstrak Persea Americana adalah pisau,

timbangan, blender, 1 set alat evaporasi, gelas Erlenmeyer, oven, dan tabung

steril.

4.5.2.4 Alat Pencabutan Gigi Tikus

Alat yang digunakan untuk mencabut gigi tikus adalah needle holder

modifikasi, lecron modifikasi, kapas, dan cawan.


44

4.5.2.5 Alat Pemberian Ekstrak etanol daun Persea Americana Pada Tikus

Spuit injeksi ukuran 2,5 ml dan sonde gastric.

4.5.2.6 Alat Pengambilan Sampel

Alat yang diperlukan dalam pengambilan sampel yaitu scalpel no.11,

pinset, gunting, bedah, dan tabung fiksasi yang sudah diberi label.

4.5.2.7 Alat Pembuatan Sediaan

Alat yang digunakan untuk pembuatan sediaan diantaranya adalah rotary

mikrotom, objek glass, wather bath dan oven.

4.5.2.8 Alat Pemeriksaan Histologi

Alat yang digunakan untuk pemeriksaaan histologi diantaranya adalah

object glass, cover glass, mikroskop cahaya, kamera digital untuk foto histologi.

4.6. Definisi Operasional


a. Ekstraksi daun alpukat (Persea Americana.mills)
Proses ekstraksi simplisia menggunakan etanol 96% dengan beberapa

kali pengadukan pada suhu ruangan. Dengan metode ini, zat-zat aktif yang tahan

terhadap pemanasan maupun yang tidak tahan pemanasan dapat ditarik

sehingga mendapatkan hasil berupa ekstrak kental. Pada penelitian ini

digunakan konsentrasi 50 mg/Kg/BB, 100 mg/Kg/BB, dan 200 mg/Kg/BB yang

didapatkan dengan metode pengenceran seri. Daun alpukat (Persea

Americana.mills) didapatkan dari Dinas kesehatan Propinsi jawa Timur UPT

Materia Medica Batu.


b. Sel fibroblast
Sel fibroblast yang dimaksud adalah sel fibroblast yang diambil dari

mukosa soket gigi incisivus rahang atas dari tikus jenis rattus norvegicusgalur.
45

Yang kemudian, dilakukan pembuatan sediaan histologi dan diberi pewarnaan

HE (Hematoxylin-Eosin). Kemudian, sediaan histologi tersebut dilihat di bawah

mikroskop dengan pembesaran 400x dengan meletakkan skala pada hasil foto

yang terlihat sehingga dapat dilakukan perhitungan sel fibroblast.


c. Luka Pasca Ekstraksi Gigi
Luka yang dimaksud dalam penelitian ini adalah soket gigi incisivus

maksilla Rattus novergicus galur wistar yang mengalami perlukaan pasca

pencabutan gigi. Dan bagian tengah dari soket maksilla dipotong secara sagital

kemudian diambil untuk pembuatan sediaan histologi.

4.7 Pendekatan Penelitian

4.7.1 Persiapan Hewan Coba

Hewan coba diseleksi berdasarkan kriteria sampel, kemudian dibagi

menjadi 4 kelompok, masing-masing terdiri dari 6 ekor tikus yang dipelihara

dalam tempat pemeliharaan hewan coba.

4.7.2 Pemeliharaan Hewan Coba

Tikus dipelihara dan diadaptasikan dalam laboratorium selama minggu

pada temperature ruangan konstan (20-25ºC) dengan 12 jam siklus terang-gelap

(Gibson and Skett, 1994). Untuk tempat pemeliharaan diguakan box plastic

berukuran 15 x 30 x 42 cm³, masing-masing untuk 4-5 ekor tikus, ditutup dengan

kawat kasa, dan diberi alas sekam yang diganti setiap 3 hari sekali. Kebutuhan

makanan tikus dewasa adalah 50 gr/hari/ekor. Diet normal terdiri dari 67%

Comfeed PAR-S, 33% terigu dan air secukupnya (Anwari, 2003)

4.7.3 Pembuatan Ekstrak Persea Americana


46

4.7.3.1 Proses Ekstraksi

Daun alpukat dipilih sebanyak 100 gram diiris tipis lalu dikeringkan

dibawah sinar matahari dengan tujuan menguapkan kandungan air dalam daun

sehingga didapatkan konsentrasi ekstrak daun maksimum, sedangakan zat aktif

yang terkandung dalam daun akan menguap pada suhu yang lebih tinggi,

sehingga diperkirakan tidak ikut menguap bersama pengeringan tersebuut. Daun

yang telah dikeringakan kemudian dihaluskan menggunakan blender. Setelah

halus, ditimbang lalu dibungkus menggunakan kertas saring. Kertas saring yang

berisi daun alpukat dimasukkan ke dalam tabung ekstraksi. Tuang etanol ke

dalam tabung ekstraksi sehingga daun alpukat terendam etanol 96%. Supaya

etanol tercampur rata ke dalam bubuk ekstraksi sebaiknya larutan daun alpukat

diaduk selama 15 menit. Diamkan larutan tersebut selama kurang lebih 12 jam.

Setelah 12 jam, keluarkan etanol yang telah berisi zat aktif, kemudian ganti

dengan satu liter etanol yang baru. Aduk selama 15 menit dan diamkan selama

12 jam. Ulangi langkah tersebut beberapa kali sampai air ekstrak jernih. Lalu

hasil ekstraksi di evaporasi.

4.7.3.1. Proses Evaporasi

Evaporator dipasang pada tiang permanen agar dapat tergantung dengan

kemiringan 300-400 terhadap meja percobaan dengan susunan dari bawah ke

atas alat pemanas air, labu penampung hasil evaporasi, rotary evaporator, dan

tabung pendingin. Labu tabung pendingin dihubungkan dengan pompa sirkulasi

air dingin yang terhubung dengan bak penampung air dingin melalui pipa plastic.

Tabung pendingin juga terhubung dengan pompa vakum dan penampung hasil

penguapan.
47

Hasil ekstraksi dipindahkan ke labu penampung sedangkan rotary

evaporator, alat pompa sirkulasi air dingin dan alat pompa vakum dinyalakan.

Alat pemanas aquades juga dinyalakan sehingga hasil ekstraksi dalam labu

penampung hasil evaporasi mendidih dengan suhu 800 (sesuai titik didih etanol)

dan etanol menguap. Hasil penguapkan etanol direkomendasikan menuju labu

penampung etanol sehingga tidak bercampur dengan hasil evaporasi dan uap

lain tersedot pompa vakum.

Evaporasi dilakukan hingga hasil evaporasi berkurang sampai kental.

Setelah kental, evaporasi dihentikan dan hasil evaporasi diambil. Hasil evaporasi

ditampung dalam cairan penguap dan dioven selama 2 jam pada suhu 800C

untuk menguapkan pelarut yang tersisa sehingga didapat hasil ekstraksi 100%.

Hal ini bertujuan agar efek antibakteri ekstrak daun alpukat pada penelitian ini

tidak dipengaruhi etanol, karena ekstrak sudah mengalami proses evaporasi

pada suhu 800C, sedangkan titik didih etanol pada suhu 780C.

4.7.4 Pencabutan Gigi Tikus

Sebelum dilakukan pencabutan gigi insisvus rahang atas, pada masing-

masing tikus perlu dilakukan anestesi dengan ketamine 60 ml/Kg/BB secara intra

muscular sehingga tikus menjadi tidak sadarkan diri. Sebelum dianestesi,

dibagian yang yang akan dianestesi di sterilisasi dengan alkohol 70%. Dibawah

efek anestesi, gigi tikus tersebut dicabut dengan menggunakan needle holder

modifikasi. Pencabutan gigi dilakukan searah dengan akar gigi dan dilakukan

secara hati-hati dengan kekuatan yang sama untuk meminimalisir patahnya gigi.

Kemudian soket gigi diirigasi dengan larutan akuades steril. Setelah dilakukan
48

pencabutan dan perlakuan, hewan coba diberi analgesik novalgin 500 mg/Kg/BB

untuk menghindari tikus mati dini dan diberi makanan dengan cara memasukkan

pipa lambung sampai ke lambung tikus secukupnya agar kesehatan hewan coba

terjaga.

4.7.5 Penentuan Dosis

Dosis yang digunakan untuk diuji adalah ekstrak etanol daun alpukat

dengan teknik maserasi dengan etanol 96%. Dosis yang digunakan pada

penelitian ini adalah, dosis I (50 mg/Kg/BB), dosis II (100 mg/Kg/BB), dan dosis

III (200 mg/Kg/BB), yang digunakan pada penelitian yang dilakukan oleh Aldhy

Winandra, et al dalam Efek Ekstrak Daun Alpukat terhadap Penurunan Kadar

Keratinin Serum Tikus.

4.7.6 Pemberian Ekstrak Daun Persea Americana

Pemberian ekstrak etanol daun alpukat diberikan sekali sehari secara oral

setelah pencabutan gigi selama 3 dan 7 hari pada pukul 16.00. Pemberian pada

kelompok perlakuan I (50 mg ekstrak/hari), dosis II (100 mg ekstrak/hari) dan

dosis III (200 mg ekstrak/hari) secara per oral (p.o) dengan menggunakan spuit

yang ujungnya dipasang sonde gastric sehingga dapat masuk ke mulut tikus

hingga ke lambung. Pemberian dilakukan satu kali per hari sebanyak 1 ml.

4.7.7 Perawatan Rattus norvegicus Pasca Pencabutan Gigi

Sebelum dan sesudah pencabutan dilakukan cara pemberian makan

yang berbeda, untuk menghindari gangguan penyembuhan luka pada soket dan

rasa sakit pada soket karena makanan. Sebelum pencabutan, pemberian

makanan berupa Comfeed tanpa pengeceran, sedangkan untuk pemberian


49

makanan setelah pencabutan gigi dengan mengencerkan makanan tikus dan

pemberiannya dilakukan secara per oral dengan sonde grastic yang langsung

menuju lambung tanpa melewati mulut. Pemberian makan dilakukan secara rutin

setiap jam makan tikus. Selain itu, diberikan pemberian air PDAM secukupnya.

4.7.8 Pegambilan Sampel

Pada hari ke-3 dan ke-7 pasca ekstraksi gigi incisivus maksila kanan dan

pasca pemebrian ekstrak etanol daun alpukat dilakukan pengorbanan 6 ekor

tikus pada masing-masing kelompok perlakuan dengan menggunakan inhalasi

eter dosis lethal yang diletakkan pada kapas, lalu kapas dimasukkan ke dalam

toples bersama dengan tikus dan ditutup rapat, sehingga tikus tidak sadarkan

diri. Sebelum rahang atas diambil, tikus harus dipastikan mati dengan cara

melihat respirasinya. Apabila sudah tidak ada aktifitas respirasi. Dilakukan

pengambilan rahang atas tikus menggunakan scalpel no. 11. Rahang atas tikus

kemudian dimasukan ke dalam tabung berisi larutan formalin 10% dan diberi

label. Jasad hewan coba kemudian dikuburkan.

4.7.9 Perlakuan terhadap sampel

Hasil potongan maksilla didekalsifikasikan dengan direndam dalam

larutan EDTA (Etilen diamin Tetraasetad acid) 14% selama 30 hari untuk

menunggu jaringan tulang maksila menjadi lunak dan dapat dipotong kecil

berbentuk persegi panjang.

4.7.10 Teknik Pemprosesan Jaringan


50

Melakukan proses fiksasi, dekalsifikasi, clearing, dan impregnasi

embedding dengan cara mencelupkan jaringan ke dalam larutan seperti di

bawah ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan

Table. 2.3 Proses Persiapan sediaan Histologi

Tabung Larutan Waktu Proses


1 Formalin 2 jam Fiksasi
2 Alkohol 70% 1 jam Dehidrrasi
3 Alkohol 80% 2 jam Dehidrasi
4 Alkohol 95% 2 jam Dehidrasi
5 Alkohol 96% + prusi 2 jam Dehidrasi
6 Alkohol 96% + prusi 1 jam Dehidrasi
7 Alkohol 96% + prusi 2 jam Dehidrasi
8 Xylol 1 jam Clearing
9 Xylol 2 jam Clearing
10 Xylol 2 jam Clearing
11 Parafin cair (58-600C) 2 jam Impregnasi
0
12 Parafin cair (58-60 C) 2 jam Impregnasi
4.7.11 Embedding dan Penyayatan Jaringan

Kemudian dilakukan embedding dan penyayatan jaringan dengan

mikrotom dengan tata urutan sebagai berikut :

a. Alat cetak yang berbentuk logam berbentuk siku-siku disusun diatas

permukaan kaca yang telah diolesi gliserin. Penggunaan gliserin ini untuk

mempermudah pemisahan alat cetak dari blok paraffin yang sudah beku.
b. Dua tempat paraffin cair, yaitu paraffin sebagai bahan embedding dan

paraffin sebagai media penyesuaian temperature jaringan yang akan

ditanam, dipersiapkan dengan temperature optimum tetapi tidak

mengembangkan alat cetak blok.


c. Paraffin cair pada tempat pertama dituangkan ke dalam alat cetak hingga

penuh pada permukaannya, lalu jaringan ditanam pada posisi yang sesuai

dengan bagian permukaan jaringan yang menempel pada kaca diusahakan

rata.
51

d. Alat cetak dilepas bila paraffin sudah cukup keras, lalu blok jaringan diberi

label dan slap sayatan.


e. Blok paraffin tadi ditempelkan pada alat pemegang yang berupa lempengan

logam yang sudah dipanasi. Perhatikan sisi blok mana yang akan dipotong,

kemudian didinginkan pada suhu kamar agar merekat erat.


f. Pisau mikrotom dipasang pada penggangan mikrotom berbentuk sudut 5-100.

Pisau harus selalu tajam dengan permukaan yang benar-benar rata.


g. Water bath dipersiapkan dengan mengatur suhu air dibawah titik leleh

paraffin (±480C).
h. Blok yang sudah menempel pada pemegangnya dipasang pada mikrotom

dan siap dilakukan pemotongan tipis dengan ketebalan yang dikehendaki,

umumnya 4-8 mikron.


i. Hasil pemotongan berupa pita tipis dengan hati-hati dipindahkan ke dalam

water bath agar sayatan jaringan mengembang dengan baik.


j. Sayatan diseleksi dan dipindahkan ke atas kaca objek yang telah diolesi

dengan mayer albumin (putih telur) atau posilin sebagai bahan perekatnya

dan sudah diberi label pada blok.


k. Sediaan dibiarkan kering dan dimasukan ke dalam oven dengan suhu

optimum (580C-600C) selama 30 menit, dan sediaan siap dicat.

4.7.12 Teknik Pengecatan Dengan Hemaktosilin Eosin

a) Sediaan dicelup dalam larutan xylol bak 1 selama 2 menit.


b) Pindahkan dalam larutan xylol II selama 2 menit.
c) Dalam alkohol absolut 2 bak, bak I dan bak II, masing-masing 1 menit.
d) Dalam alkohol 95% 2 bak, bak I dan bak II, masing-masing 1 menit.
e) Cuci dalam air mengalir selama 10 menit.
f) Masukkan dalam larutan mayer hemotoksilin selama 15 menit.
g) Cuci kembali dengan air.
h) Masukkan ke dalam eosin antara 15 detik sampai 2 menit.
i) Masukkan dalam alkohol (95% 2 bak, bak I dan bak II, masing-masing 1

menit
j) Dalam alkohol absolut 3 bak, bak I, bak II, masing-masing 2 menit
k) Terakhir dalam xylol bak I, bak II, masing-masing 2 menit.
l) Mounting
52

4.7.13 Pengamatan Sediaan Histologi Soket Rattus Norvegicus

Pengamatan dilakukan setelah terbentuknya preparat dari jaringan soket

tikus yang diamati secara histologis menggunakan mikroskop cahaya dengan

pembesaran 400 kali dan dibuat foto dari preparat histology tersebut.

Penghitungan jumlah fibroblast dilakukan dengan pengamatan 10 lapang

pandang, Kemudian membandingkan proses penyembuhan pada kelompok

perlakuan tersebut dengan kelompok perlakuan yang lainnya. Setelah dilakukan

penghitungan didokumentasikan dan dilakukan analisis data.


53

4.8. Skema Prosedur Penelitian


Sampel Rattus Novergicus (24
ekor)

Adaptasi tikus selama 7 hari

 Anestesi Intraperitoneal dengan Ketamin dosis 60 ml/kgBB


 Pencabutan insisivus kanan rahang atas lalu diirigasi dengan akuades steril

Pemberian novalgin
500mg/kgBB

6 ekor tikus tanpa 6 ekor tikus diberikan 6 ekor tikus diberikan 6 ekor tikus diberikan
diberikan ekstrak daun 50 mg/kgBB/hari 100 mg/kgBB/hari 150 mg/kgBB/hari
alpukat (kelompok ekstrak daun alpukat ekstrak daun alpukat ekstrak daun alpukat
kontrol) Selama 7 hari (P1) selama 7 hari (P2) selama 7 hari (P3) selama 7 hari

Hari ke-3, 3 Hari ke-7, 3 Hari ke-3, 3 Hari ke-7, 3 Hari ke-3, 3 Hari ke-7, 3 Hari ke-3, 3 Hari ke-7, 3
ekor tikus ekor tikus di ekor tikus di ekor tikus di ekor tikus di ekor tikus di ekor tikus ekor tikus
di euthanasia. euthanasia. euthanasia. euthanasia. euthanasia. di di
euthanasia. Maksila Maksila Maksila Maksila Maksila euthanasia. euthanasia.
Maksila diambil, lalu diambil, lalu diambil, lalu diambil, lalu diambil, lalu Maksila Maksila
diambil, dekalsifikasi dekalsifikasi dekalsifikasi dekalsifikasi dekalsifikasi diambil, diambil,
lalu selama 30 selama 30 selama 30 selama 30 selama 30 lalu lalu
dekalsifika- hari hari hari hari hari dekalsifika- dekalsifika-
si selama si selama si selama
30 hari 30 hari 30 hari

Pemprosesan jaringan dan pengecatan dengan Hematoksilin Eosin

Pengamatan di bawah mikrosop cahaya

Penghitungan jumlah sel fibroblast

Analisa data dengan uji statistik


54

4.9 Analisis Data

Hasil pengukuran jumlah sel fibroblast yang posisitf pada tikus kontrol dan

perlakuan dianalisa secara statistic dengan menggunakan program SPSS 16.0

Window dengan tingkat signifikansi 0,05 (p = 0,05) dan taraf kepercayaan 95%

(a = 0,05).

Langkah-langkah untuk uji hipotesis komparatif dan korelatif adalah

dengan uji normalitas data yang mana bertujuan untuk menginterpretasikan

apakah suatu data memiliki sebaran normal atau tidak. Karena pemilihan

penyajian data dan uji hipotersis tergantung dari normal tidaknya distribusi data.

Untuk penyajian data yang terdistribusi normal, maka digunakan mean dan

standar deviasi sebagai pasangan ukuran pemusatan dan penyebaran.

Sedangkan untuk penyajian data yang tidak terdistribusi normal digunakan

median dan minimum-maksimum sebagai pasangan ukuran pemusatan dan

penyebaran. Untuk uji hipotesis, jika sebaran data normal, maka digunakan uji

parametric. Sedangkan jika sebaran data tidak normal digunakan uji non

parametric.

Kemudian ada uji homogenitas varian, yaitu uji yang bertujuan untuk

menguji berlku tidaknya asumsi ANOVA, yaitu apakah data yang diperoleh dari

setiap perlakuan memiliki varian yang homogen, maka analisa dapat dilanjutkan

dengan uji ANOVA.

Selanjutnya ada uji coba One-way ANOVA yang bertujuan untuk

membadingkan nilai rata-rata dari masing-masing kelompok yang berbeda

signifikan. Dan berikutnya ada post hoc test (uji Least Significant Difference)
55

yang bertujuan untuk megetahui kelompok mana yang berbeda secara signifikan

dari hasil tes ANOVA.

Uji Post hoc yang digunakan adalah uji Tuke dengan tingkat kemaknaan

95% (p<0,05). Uji post hoc digunakan untuk mengetahui kelompok mana yang

berbeda secara signifikan dari tes uji one-way ANOVA. Uji korelasi Pearson

untuk mencari hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat yang telah

ditentukan sebelumnya dari hasil uji post hoc (LSD).


57

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

5.1 Hasil Penelitian

Pada penelitian ini hewan coba dibagi menjadi 4 kelompok yaitu,

kelompok kontrol (tikus wistar yang dilakukan pencabutan gigi incisivus maksila

kanan dan diinjeksikan novalgin sampai hari ke-3 dan ke-7), kelompok perlakuan

I (tikus wistar yang dilakukan pencabutan gigi incisivus maksila kanan,

diinjeksikan novalgin, dan diberi ekstrak daun alpukat (Persea americana mill’s)

50 mg 1 kali sehari menggunakan sonde gastric sampai hari ke-3 dan ke-7),

kelompok perlakuan II (tikus wistar yang dilakukan pencabutan gigi incisivus

maksila kanan, diinjeksikan novalgin, dan diberi ekstrak daun alpukat (Persea

americana mill’s) 100 mg 1 kali sehari menggunakan sonde gastric sampai hari

ke-3 dan ke-7), dan kelompok perlakuan III (tikus wistar yang dilakukan

pencabutan gigi incisivus maksila kanan, diinjeksikan novalgin, dan diberi ekstrak

daun alpukat (Persea americana mill’s) 200 mg 1 kali sehari menggunakan

sonde gastric sampai hari ke-3 dan ke-7).

Sampel didapatkan dengan mengambil soket gigi tikus wistar (Rattus

norvegicus) yang didekaputasi pada hari ke-3 dan ke-7 pasca pembuatan

pencabutan gigi kemudian dilakukan dekalsifikasi untuk melunakkan soket dan

dilakukan pembuatan preparat dengan pengecatan Haematoxylin-Eosin.

Berdasarkan gambar hasil pewarnaan Haematoxylin-Eosin yang diamati

menggunakan software OlyVIA (Olympus Viewer for Imagine Applications)

dengan perbesaran 20 kali, didapatkan gambaran fibroblas dengan bentukan


58

gelendong atau fusiform, inti lonjong atau memanjang dan diliputi membran inti

halus bewarna biru keunguan.

Gambar 5.1 : Gambaran Fibroblas pada Kelompok Kontrol hari ke-3


(Menggunakan Software OlyVIA dengan Perbesaran 20x,
Pewarnaan Haematoxylin-Eosin)
Anak panah menunjukkan gambaran firbrolast pada kelompok kontrol

Gambar 5.2 : Gambaran Fibroblas pada Kelompok Perlakuan I hari ke-3


(Pemberian ekstrak Persea Americana mills 50 mg)
(Menggunakan Software OlyVIA dengan Perbesaran 20x,
Pewarnaan Haematoxylin-Eosin)
Anak panah menunjukkan gambaran firbrolast pada kelompok kontrol
59

Gambar 5.3 : Gambaran Fibroblas pada Kelompok Perlakuan II hari ke-3


(Pemberian ekstrak Persea Americana mills 100 mg)
(Menggunakan Software OlyVIA dengan Perbesaran 20x,
Pewarnaan Haematoxylin-Eosin)
Anak panah menunjukkan gambaran firbrolast pada kelompok kontrol

Gambar 5.4 : Gambaran Fibroblas pada Kelompok Perlakuan III hari ke-3
(Pemberian ekstrak Persea Americana mills 200 mg)
(Menggunakan Software OlyVIA dengan Perbesaran 20x,
Pewarnaan Haematoxylin-Eosin)
Anak panah menunjukkan gambaran firbrolast pada kelompok kontrol
60

Gambar 5.5 : Gambaran Fibroblas pada Kelompok Kontrol hari ke-7


(Menggunakan Software OlyVIA dengan Perbesaran 20x,
Pewarnaan Haematoxylin-Eosin)
Anak panah menunjukkan gambaran firbrolast pada kelompok kontrol

Gambar 5.6 : Gambaran Fibroblas pada Kelompok Perlakuan I hari ke-7


(Pemberian ekstrak Persea Americana mills 50 mg)
(Menggunakan Software OlyVIA dengan Perbesaran 20x,
Pewarnaan Haematoxylin-Eosin)
Anak panah menunjukkan gambaran firbrolast pada kelompok kontrol
61

Gambar 5.7 : Gambaran Fibroblas pada Kelompok Perlakuan II hari ke-7


(Pemberian ekstrak Persea Americana mills 100 mg)
(Menggunakan Software OlyVIA dengan Perbesaran 20x,
Pewarnaan Haematoxylin-Eosin)
Anak panah menunjukkan gambaran firbrolast pada kelompok kontrol

Gambar 5.8 : Gambaran Fibroblas pada Kelompok Kontrol hari ke-7


(Menggunakan Software OlyVIA dengan Perbesaran 20x,
Pewarnaan Haematoxylin-Eosin)
Anak panah menunjukkan gambaran firbrolast pada kelompok kontrol
62

Untuk analisa data hasil penghitungan fibroblas ditulis dengan format

mean ± standar deviasi.

Tabel 5.1. Hasil Penghitungan Rata-rata Jumlah Fibroblas

Kelompok Mean Standar Deviasi

Kontrol hari ke-3 31.433 3.2347

Kontrol hari ke-7 38.167 0.8622

Perlakuan I hari ke-3 51.567 4.3016

Perlakuan I hari ke-7 94.733 14.1670

Perlakuan II hari ke-3 61.533 4.3616

Perlakuan II hari ke-7 100.567 3.8031

Perlakuan III hari ke-3 62.933 3.8812

Perlakuan III hari ke-7 88.600 28.1832

5.2 Analisis Data

Data hasil penelitian berupa jumlah fibroblas dianalisis menggunakan

metode one way Anova. Sebelum dilakukan pengujian dengan one way Anova,
63

dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas ragam. Uji normalitas menggunakan

Shapiro-Wilk dan Uji homogenitas menggunakan Levene’s Test.

Pada uji one way Anova, hipotesis ditentukan melalui suatu rumusan

yaitu Ho diterima jika signifikasi yang diperoleh ˃0,05. Ho dari penelitian ini

adalah ekstrak daun alpukat (Persea americana mill’s) berpengaruh terhadap

perubahan jumlah fibroblas pada proses penyembukan luka pasca ekstraksi gigi

incisivus maksila kanan pada tikus wistar (Rattus norvegicus), sedangkan HI dari

penelitian ini adalah adalah ekstrak daun alpukat (Persea americana mill’s) tidak

berpengaruh terhadap perubahan jumlah fibroblas pada proses penyembukan

luka pasca ekstraksi gigi incisivus maksila kanan pada tikus wistar (Rattus

norvegicus).

5.2.1 Uji Normalitas Data

Pengujian normalitas dilakukan dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk.

Uji normalitas terpenuhi jika nilai signifikansi hasil penghitungan p˃0,05.

Didapatkan hasil pengujian normalias sebagai berikut :

Table 5.2 : Uji Normalitas Fibroblas

Shapiro/p Sig. Keterangan

Fibroblas 944 0,200 Normal

Berdasarkan pada tabel diatas didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,22.

Jika nilai signifikansi dibandingkan dengan p=0,05 maka dapat disimpulkan

bahwa nilai signifikansi lebih besar daripada 0,05. Sehingga dari pengujian in

dapat diketahui bahwa uji normalitas telah terpenuhi dan data berdistribusi

normal.
64

5.2.2 Uji Homogenitas Ragam

Pengujian homogenitas ragam dilakukan dengan menggunkan Levene’s

Test. Uji homogenitas ragam dikatakan terpenuhi jika nilai signifikansi hasil

perhitungan p>0,05. Dari Hasil analisa data didapatkan pengujian homogenitas

ragam sebagai berikut.

Tabel 5.3 : Uji Homegenitas Ragam Fibroblas

Levene Statistic Sig.

2,550 0,057

Berdasarkan pada tabel diatas, didapatkan koefisien Levene statistis

sebesar 2,550 dengan nilai signifikansi sebesar 0,057 jika nilai signifikansi

dibandingkan dengan p=0,05 maka dapat disimpulkan bahwa nilai signifikansi

lebih besar daripada 0,05. Sehingga, dari pengujian ini dapat diketahui bahwa uji

homogenitas ragam telah terpenuhi.

5.2.3 Uji One Way Anova

Setelah kedua pengujian yang melandasi uji one way Anova telah

terpenuhi, selanjutnya dilakukan pengujian untuk mengetahui perubahan jumlah

fibroblas. Sebagaimana telah dijelaskan dalam metode penelitian, hewan coba

diberikan ekstrak daun alpukat (Persea americana mill’s) 50 mg pada kelompok

perlakuan I, hewan coba diberikan ekstrak daun alpukat (Persea americana

mill’s) 100 mg pada kelompok perlakuan II, dan hewan coba diberikan ekstrak

daun alpukat (Persea americana mill’s) 200 mg pada kelompok perlakuan III,

serta hewan coba tanpa perlakuan pada kelompok kontrol. Berikut hasil

penghitungan uji one way Anova.

Tabel 5.4 : Uji One Way Anova


65

Sum of Df Mean F Sig.


Squares Square

Between 14214,452 7 2030,636 15,136 0,000


Groups

Within 2146,507 16 134,157


Groups

Total 16360,958 23

Berdasarkan pada tabel diatas, didapatkan sumber keragaman (SK)

Perlakuan memiliki nilai F-hitung sebesar 15,136 dengan signifikansi sebesar

0,000. Nilai F-hitung tersebut lebih besar dari pada F-tabel pada taraf 5% serta

nilai signifikansi yang didapatkan dari proses penghitungan lebih kecil daripada

p=0,05. Sehingga dari pengujian ini dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh

yang signifikan penggunaan ekstrak daun alpukat (Persea americana mill’s)

berpengaruh terhadap perubahan jumlah fibroblas pada proses penyembuhan

luka pasca ekstraksi gigi incisivus maksila kanan pada tikus wistar (Rattus

Norvegicus). Dengan kata lain, terdapat perbedaan yang signifikan jumlah

fibroblas dari setiap kelompok.

5.2.4 Uji Post Hoc Tukey

Uji ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan rata-rata dari ketiga

kelompok perlakuan. Metode Post-Hoc yang digunakan adalah Uji HSD. Pada uji

ini, suatu data dikatakan berbeda secara bermakna apabila nilai signifikansi

p<0,05 serta pada interval kepercayaan 95%. Berdasarkan uji tersebut

didapatkan hasil sebagai berikut.


66

Tabel 5.5 : Uji Post Hoc Turkey

Subset for alpha = 0.05

Kelompok N 1 2 3 4

K hari ke-3 3 31.433

K hari ke-7 3 38.167

50 mg hari ke-3 3 51.567

100 mg hari ke-3 3 61.533 61.533

200 mg hari ke-3 3 62.933 62.933 62.933

200 mg hari ke-7 3 88.600 88.600 88.600

50 mg hari ke-7 3 94.733 94.733

100 mg hari ke-7 3 100.567

Sig. .064 .147 .060 .899

Berdasarkan hasil uji tersebut, dapat dijelaskan bahwa terdapat

perbedaan yang signifikan antara setiap kelompok. Sehingga dari pengujian ini

dapat disimpulakan bahwa penggunaan ekstrak daun alpukat (Persea americana

mill’s) dapat meningkatkan jumlah fibroblas pada proses penyembuhan luka

pasca ekstraksi gigi incisivus maksila kanan pada tikus wistar (Rattus

Norvegicus) tetapi pada dosis 200 mg yang diberikan selama 7 hari dapat

menurunkan jumlah fibroblas pada pada proses penyembuhan luka pasca

ekstraksi gigi incisivus maksila kanan pada tikus wistar (Rattus Norvegicus).

Grafik 5.6 Perhitungan Rata-Rata Jumlah Fibroblas


67

5.2.5 Uji Korelasi Pearson

Hasil dari uji Post Hoc Multiple Tukey yang sudah dilakukan sebelumnya,

diketahui bahwa terdapat pengaruh pemberian esktrak daun alpukat (Persea

Americana mills) terhadap perubahan jumlah fibroblas pada proses

penyembuhan luka pasca ekstraksi gigi incisivus maksila kanan pada tikus wistar

(Rattus Norvegicus) pada keempat kelompok perlakuan. Untuk mengetahui

hubungan variable-variable yang terlibat, dilakukan uji korelasi Pearson dengan

nilai signifikansi p<0,05 yang berarti terdapat hubungan antar variable dalam

empat kelompok perlakuan.

Didapatkan nilai signifikansi dari uji Korelasi Pearson adalah sebesar 0,01

lebih kecil daripada p=0,05 (0,000<0,05). Berarti dapat disimpulkan bahwa

terdapat hubugan atau korelasi yang nyata antar variable yaitu semakin lama

pemberian ekstrak daun alpukat (Persea americana mill’s) pada kelompok

perlakuan mampu meningkatkan jumlah sel fibroblast sehingga mempercepat

proses penyembuhan luka pasca ekstraksi gigi insicivus maksila pada tikus
68

wistar (Rattus norvegicus). Hal ini dapat dilihat dari jumlah rata-rata sel fibroblast

kelompok perlakuan, semakin hari jumlah sel fibroblast semakin meningkat

meskipun pada kelompok perlakuan III yang diberikan dosis ekstrak daun alpukat

sebanyak 200 mg selama 7 hari terjadi penurunan.

5.2.6. Uji Regresi Sederhana

Uji regresi sederhana merupakan uji lanjutan dari uji korelasi Pearson. Uji

regresi dilakukan untuk menemukan seberapa besar pengaruh variable yaitu

hubungan jumlah fibroblast dan lamanya hari pemberian esktrak daun alpukat

pada soket pasca ekstraksi gigi incisivus maksila pada tikus wistar (Rattus

Norvegicus). Hasil uji Regresi sederhana dapat diintepretasi dengan melihat nilai

koefesien R pada tabel. Nilai R berkisar antara (+1) sampai (-1). Nilai koefesien

R pada kelompok hari ke-3 sebesar 0.823 dan nilai R pada kelompok hari ke-7

sebesar 0.523. Hal ini menunjukkan hubungan yang cukup kuat diantara variabel

yang terlibat karena angka koefisien R diatas 0,5 menunjukkan hubungan yang

cukup kuat, sedangkan dibawah 0,5 menunjukkan hubungan yang lemah.

Sehingga dapat disimpulkan semakin lama ekstrak daun alpukat (Persea

americana mill’s) dapat mempengaruhi jumlah sel fibroblast pada proses

penyembuhan luka pada soket pasca ekstraksi gigi incisivus maksila kanan pada

tikus wistar (Rattus Norvegicus).


69

BAB 6

PEMBAHASAN

Penelitian eksperimental ini dilaksanakan dengan tujuan untuk

mengetahui pengaruh ekstrak etanol daun alpukat (Persea americana mill’s)

terhadap jumlah fibroblas pada soket pasca ekstraksi gigi incisivus masksila

pada tikus wistar (Rattus norvegicus) dengan cara menghitung jumlah fibroblas
70

pada masing-masing preparat. Tindakan pencabutan gigi merupakan salah satu

tindakan yang paling sederhana di bidang bedah mulut dan banyak dilakukan

oleh dokter gigi, baik pada praktek pribadi dokter gigi, klinik swasta, puskesmas

maupun rumah sakit. Pencabutan gigi merupakan suatu prosedur bedah yang

dapat dilakukan dengan menggunakan tang dan elevator (Pedlar dkk, 2011).

Pencabutan ideal adalah pencabutan tanpa menimbulkan rasa sakit dengan

trauma sekecil mungkin pada jaringan penyangga, sehingga luka bekas

pencabutan dapat sembuh normal dan tidak menimbulkan komplikasi (Karalis,

2007).
Pengamatan pada penelitian ini dilakukan pada hari ke-3 dan ke-7

setelah semua hewan coba dilakukan ekstraksi gigi incisivus maksila kanan,

kemudian diberi novalgin sebagai antinyeri dan diaplikasikan ekstrak etanol daun

alpukat yang mengandung flavonoid. Dimana flavonoid memiliki fungsi aktivitas

biologis maupun farmakologis, antara lain bersifat sebagai antiinflamasi,

antibakteri, antialergi, antioksidan, antikarsinogen, dan melindungi pembuluh

darah (Sabir, 2003). Flavonoid juga berfungsi untuk meningkatkan jumlah

fibroblast, sehingga merangsang proses penyembuhan agar lebih cepat terjadi

(Sumartiningsih, 2009).
Hasil penelitian didapatkan dari hasil uji one way Anova, bahwa adanya

peningkatan jumlah fibroblas dari hari ke-3 dan puncaknya pada hari ke-7, tetapi

pada dosis 200 mg hari ke-7 mengalami penurunan. Penurunan fibroblast pada

dosis 200 mg hari ke-7 dapat disebabkan karena proses penyembuhan yang

lebih cepat dari biasanya. (Ardisa dkk, 2013). Semakin lama pemberian ekstrak

etanol daun alpukat (Persea americana mill’s) pada kelompok perlakuan, serta

tanpa perlakuan pada kelompok kontrol dapat mempengaruhi jumlah sel fibroblas

pada proses penyembuhan luka pasca ekstraksi gigi incisivus maksila pada tikus
71

wistar (Rattus norvgicus). Sesuai pernyataan Volgas dan Harder bahwa fibroblas

pada area luka atau healing center ditemukan meningkat mulai hari ke-3 dan

mencapai puncaknya pada hari ke-7. Sel fibroblas yang merupakan sel utama

untuk menggantikan sel-sel yang rusak yang tidak dapat digantikan dengan sel-

sel yang asli dan berfungsi mensintesis protein seperti kolagen, retikulin, elastin,

glikosaminoglikan, glikoprotein dari matriks ekstra sel (Junquiera et al., 2007).

Pada perjalanannya terjadi penuruan jumlah sel radang termasuk limfosit dan

makrofag, yang menandakan bahwa proses penyembuhan telah masuk ke tahap

proliferasi yang ditandai dengan tebentuknya jaringan granulasi, yaitu fibroblas

dan angiogenesis. Sehingga fase inflamasi menjadi lebih singkat dan proses

penyembuhan luka menjadi lebih cepat (Pratiwi, 2011).


Pada kelompok perlakuan yang diberi ekstrak daun alpukat (Persea

americana mill’s) dengan dosis yang bervariasi yaitu 50 mg, 100 mg, dan 200 mg

dengan jumlah fibroblas menunjukkan hubungan yang cukup kuat. Hal ini

ditandai dengan adanya peningkatan rata-rata jumlah fibroblas pada kelompok

perlakuan hari ke-3 dengan dosis 50 mg sebesar 51,57 ±4,3016, dosis 100 mg

sebesar 61,53 ±4,3616 dan dosis 200 mg sebesar 62,93 ±3,8812, pada

kelompok perlakuan hari ke-7 dengan dosis 50 mg sebesar 94,73 ±14,1670,

dosis 100 mg sebesar 100,57 ±3,8031 dan dosis 200 mg sebesar 88,60

±28,18323. Pada kelompok kontrol yaitu tanpa perlakuan menunjukkan

hubungan yang cukup kuat. Hal ini ditandai dengan adanya peningkatan rata-

rata jumlah fibroblas pada kelompok Perlakuan hari ke-3 sebesar 31,43 ±3,2347 ,

dan hari ke-7 sebesar 38,167 ±0,8622. Dari perbandingan diatas pada kelompok

perlakuan yaitu pemberian ekstrak etanol daun buah alpukat (Persea americana

mill’s) memiliki jumlah fibroblas lebih banyak dibandingkan dengan kelompok

kontrol yang memiliki jumlah rata-rata fibroblas terendah .


72

Ekstrak etanol daun alpukat (Persea americana mill’s) berpengaruh

terhadap proses penyembuhan soket pasca ekstraksi gigi incisivus maksila

karena zat-zat aktif yang terkandung dalam dalam ekstrak daun alpukat (Persea

americana mill’s) yaitu senyawa polifenol, flavonoid, kuionon, tanin dan saponin

(Zuhrotun,2007). Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Nayak BS dkk,

mengenai Evaluation of the wound-healing activity of ethanolic extract of Morinda

citrifolia L. leaf terbukti membantu penyembuhan luka secara bermakna pada

beberapa parameter yaitu penurunan infltrasi sel infamasi, peningkatan jumlah

dan maturasi protein kolagen, juga peningkatan epitelialisasi, neovaskularisasi,

peningkatan jumlah fibroblas, dan mempercepat kontraksi luka. Pada penelitian

tersebut terdapat zat aktif seperti saponin dan flavonoid yang berperan dalam

membantu proses penyembuhan luka. Saponin pada daun alpukat dapat

mempunyai kemampuan sebagai pembersih dan mampu memacu pembentukan

kolagen I yang merupakan suatu protein yang berperan dalam proses

penyembuhan luka. Saponin dapat menstimulasi sintesis fibronektin dan dapat

meningkatkan kemampuan reseptor sel TGF-β dalam fibroblas sehingga

kemampuan fibroblas. Serta flavonoid dapat meningkatkan aktivitas makrofag

dan memiliki aktivitas biologis maupun farmakologis, antara lain bersifat sebagai

anti inflamasi, antibakteri, antialergi, antioksidan, antikarsinogen, dan melindungi

pembuluh darah (Handayani, 2009). Hal serupa juga dikemukakan oleh Adeyani,

dkk, dalam penelitiannya dengan judul Analgesic and anti-inflammatory effect of

the aqueous extract of leaves of Persea ameriacana mill’s menunjukkan bahwa

daun alpukat memiliki proses analgesic dan antiinflamasi, penghambatannya

tergantung dosis dari kedua fase uji nyeri, terlihat terdapat pengurangan

menggeliat tikus yang diinduksi oleh asam asetat dan elevasi ambang nyeri di tes
73

hot plate pada tikus . Ekstrak juga menghasilkan penghambatan tergantung

dosis karagenan yang diinduksikan pada tikus kaki yang oedem. Hasil yang

diperoleh menunjukkan bahwa ekstrak daun alpukat memiliki efek analgesik dan

anti – inflamasi, sehingga daun alpukat terbukti dapat menyembuhkan luka lebih

cepat dibandingkan dengan kelompok tanpa diberi ekstrak etanol daun alpukat.

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat dikatakan bahwa ekstrak etanol

daun alpukat (Persea amricana mill’s) berpengaruh terhadap jumlah fibroblas

pada proses penyembuhan luka pasca ekstraksi gigi insicivus maksila pada tikus

wistar (Rattus norvegicus). Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis penelitian yang

telah disusun dapat diterima.


BAB 7

PENUTUP

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :

1. Pemberian ekstrak etanol daun alpukat (Persea americana mill’s)

berpengaruh meningkatkan jumlah sel fibroblas pada proses

penyembuhan luka pasca ekstraksi gigi incisivus maksila kanan pada

tikus wistar (Rattus norvegicus).


1. Jumlah fibroblas hari ke-3 pada proses penyembuhan luka pasca

ekstraksi gigi incisivus maksila kanan pada tikus wistar (Rattus

norvegicus) memiliki nilai rata-rata tertinggi pada kelompok pemberian

ekstrak 200 mg yaitu sebesar 62,93.


2. Jumlah fibroblashari ke-7 pada proses penyembuhan luka pasca

ekstraksi gigi incisivus maksila kanan pada tikus wistar (Rattus

norvegicus) memiliki nilai rata-rata tertinggi pada kelompok pemberian

ekstrak 100 mg yaitu sebesar 100,567.

7.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan penelitian, maka penulis memberikan

rekomendasi berupa saran sebagai berikut:

1. Penelitian lanjutan mengenai pengaruh ekstrak etanol daun alpukat

(Persea americana mill’s) terhadap jumlah fibroblas pada proses

penyembuhan luka pada soket pasca ekstraksi gigi incisivus maksila ada

tikus wistar (Rattus norvegicus) pada tingkatan hewan coba yang lebih

tinggi sehingga semakin mendekati aplikasi pada pengobatan manusia.

74
75

1. Pada penelitian lanjutan disarankan untuk mencari dosis ekstrak etanol

daun alpukat (Persea americana mill’s) yang optimal dalam proses

penyembuhan luka pasca ekstraksi gigi.


DAFTAR PUSTAKA

Andreasen J. O.,Peterson J.K, Laskin D. M. 1997. Textbook and Color Atlas of


Tooth Impaction. Munksgaard. St Louis. Mosby.

Archer, W. Harry. ORAL SURGERY : A Step-by-Step Atlas of Operative Tecnique.


3rd ed. W.B. Saunders Co.Philapdelphia.1961; p. 95-184

Fragiskos, D. Fragiskos. Oral Surgery. Athens, Greece. Springer Science &


Bussiness Media. 2007; p. 33-46; 155-76.

Laskin, D. M. 1971. Oral and Maxillofacial Surgery. Vol. 1, CV Mosby company.


St Louis, Toronto.

Peterson, Ellis, Hup, Tucker. Contemporary Oral and Maxilllofacial Surgery.


3rd ed. Mosby co. Philadelphia. 1998; p.44-8.

Pedersen, Gordon W. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Alih bahasa Purwanto,
drg., Basoeseno, MS., drg. EGC. Jakarta. 1996; h.47-52.

Dorland. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Edisi ke-25. Alih Bahasa dr. Poppy
K., dr. Sugiarto K., dr. Alexander H., etc. EGC. Jakarta. 1998. h. 433; 551.

Howe LH. Minor Oral Surgery, 3rd ed. Wright. 1985. p.144-83.

Parwica, Made. 2007. Fase Penyembuhan Luka Pasca Pencabutan Gigi.


Tersedia dalam
<http://www.academia.edu/5792321/Fase_penyembuhan_luka_pas
ca_pencabutan_gigi> [Diakses pada 02 Februari 2015]

AC, Adha/ 2009. Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Daun Alpukat Terhadap
Aktivitas Diuretik Tikus Putih Jantan. Tersedia dalam
<http://scholar.google.com/scholar?
q=ekstrak+etanol+daun+alpukat&hl=en&as_sdt=0&as_vis=1&o1=sc
holar&sa=X&ei=I0YTVfnKINDUuQSn-
4CoBw&ved=0CBkQgQMwAA> [Diakses pada 13 Februari 2015]

Wimandra, Aldhy. 2013. Efek Ekstrak Daun Alpukat (Persea Americanan Mill)
Terhadap Penurunan Kadar Kreatinin Serum Darah Wistar Yang

76
77

Diinduksi Paracetamol Dosis Toksik. Tersedia dalam


<http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/2311> [Diakses
pada 16 Februari 2015]

Arukwe, W, et al. 2012. Chemical Compposition of Persea Americana Leaf, Fruit,


and Seed. Tersedia dalam
<http://arpapress.com/Volumes/Vol11Issue2/IJRRAS_11_2_2.pdf>
[Diakses pada 04 Maret 2015]

Katja, DG et al. 2009. Potensi Daun Alpukat (Persea americana mill) Sebagai
Sumber Antioksidan Alami. Tersedia dalam
<http://scholar.google.com/scholar?
q=ekstrak+etanol+daun+alpukat&hl=en&as_sdt=0&&as_vis=1&o1=
scholar&sa=X&ei=I0YTVfnKINDUuQSn-
4CoBw&ved=0CBkQgQMwAA> [Diakses pada 08 Maret 2015]

Furham, B. dan M. Aviram. 2002. Polyphenols and flavonoids protect LDL against
atherogenic modification. 2nd Edition. Marcel Dekker, inc. New York

Gunawan, D., Mulyani, S. 2004. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi). Penerbit


Swadaya, Jakarta

Gurtner, G.C. 2007. Wound Healing : Normal and Abnormal. Grabb dan Smith’s
Plastic Surgery. Sixth Edition. Philadelphia. p. 15-22.

Junqueira LC, Carneiro J. 2007. Histologi Dasar. Edisi 10. Jakarta : EGC

Kardarron D. 2009. Nutrisi: Alpukat. http://www.asiamaya.com, diakses 24


November 2014.

Lenny S. 2006. Senyawa Flavonoid, Fenilpropanoida dan Alkaloida. Medan :


Fak. MIPA. USU

Syamsudin. dan Darmono. 2011. Buku Ajar Farmakologi Eksperimental. Jakarta:


Penerbit Universitas Indonesia. Hal: 1-12, 21.

Taebe B. 2010. Obat Tradisional. Available from:


http://muhammadcank.files.wordpress.com/2010/02/obat-
tradisional.ppt. Diakses 1 November 2014
78

Wilmana P.F dan Gan S. 2011.Analgesik-Antipiretik, Analgesik Anti-Inflamasi


Nonsteroid, dan Obat Gangguan Sendi Lainnya.Dalam Farmakologi
dan Terapi.Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Yuniarti, T. 2008. Ensiklopedia Tanaman Obat Tradisional. Yogyakarta:


MedPress. Hal: 3–25.

Zuhrotun, A. 2007. Aktivitas Antidiabetes Ekstrak Etanol Biji Buah Alpukat


(Persea americana mill) Bentuk Bulat. Tesis. Bandung : Program
Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Hal: 12.

Adeyemi, OO. 2002. Analgesic and anti-inflammatory effects of the aqueous


extract of leaves of Persea Americana mills. Fitoterapia: Elseiver.

Ojewole, John. 2006. Anticonvulsant effect of Persea Americana mills (Avocado)


leaf aqueous extract in mice. Fitoterapia: Elseiver.
79

LAMPIRAN

Lampiran 1

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Giza Romadhoni Rahmawati

NIM : 125070401111017

Program Studi : Program Studi Pendidikan Dokter Gigi

Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya,

menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini benar-

benar hasil karya sendiri, bukan merupakan pengambilan tulisan atau pikiran

orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila di

kemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah jiplakan, maka

saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Malang, 29 Februari 2016

Yang membuat pernyataan,

Giza Romadhoni Rahmawati

NIM. 125070401111017
80

Lampiran 2. Hasil Uji Statistik

Uji Normalitas
Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

JS_Fibroblas 142 24 .200* .944 24 .200

a. Lilliefors Significance Correction

Correlations
Correlations

Dosis Fibroblast
Dosis Pearson Correlation 1 .823**
Sig. (2-tailed) . .001
N 12 12
Fibroblast Pearson Correlation .823** 1
Sig. (2-tailed) .001 .
N 12 12
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Regression
Model Summary

Adjusted Std. Error of


Model R R Square R Square the Estimate
1 .823a .678 .646 8.0802
a. Predictors: (Constant), Dosis

ANOVAb

Sum of
Model Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 1373.791 1 1373.791 21.042 .001a
Residual 652.896 10 65.290
Total 2026.687 11
a. Predictors: (Constant), Dosis
b. Dependent Variable: Fibroblast
81

Coefficientsa

Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 39.207 3.614 10.850 .000
Dosis .145 .032 .823 4.587 .001
a. Dependent Variable: Fibroblast

Oneway
Descriptives

Fibroblast
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
Kontrol h3 3 31.433 3.2347 1.8676 23.398 39.469 27.8 34.0
50 mg h3 3 51.567 4.3016 2.4835 40.881 62.252 47.7 56.2
100 mg h3 3 61.533 4.3616 2.5182 50.699 72.368 57.0 65.7
200 mg h3 3 62.933 3.8812 2.2408 53.292 72.575 58.8 66.5
Kontrol h7 3 38.167 .8622 .4978 36.025 40.308 37.4 39.1
50 mg h7 3 94.733 14.1670 8.1793 59.541 129.926 78.5 104.6
100 mg h7 3 100.567 3.8031 2.1957 91.119 110.014 96.3 103.6
200 mg h7 3 88.600 28.1832 16.2715 18.589 158.611 56.1 106.3
Total 24 66.192 26.6711 5.4442 54.929 77.454 27.8 106.3

Test of Homogeneity of Variances

Fibroblast
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
2.550 7 16 .057

ANOVA

Fibroblast
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 14214.452 7 2030.636 15.136 .000
Within Groups 2146.507 16 134.157
Total 16360.958 23
82

Post Hoc Tests


Multiple Comparisons

Dependent Variable: Fibroblast


Tukey HSD

Mean
Difference 95% Confidence Interval
(I) Kelompok (J) Kelompok (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
Kontrol h3 50 mg h3 -20.1333 9.4572 .438 -52.875 12.609
100 mg h3 -30.1000 9.4572 .084 -62.842 2.642
200 mg h3 -31.5000 9.4572 .064 -64.242 1.242
Kontrol h7 -6.7333 9.4572 .995 -39.475 26.009
50 mg h7 -63.3000* 9.4572 .000 -96.042 -30.558
100 mg h7 -69.1333* 9.4572 .000 -101.875 -36.391
200 mg h7 -57.1667* 9.4572 .000 -89.909 -24.425
50 mg h3 Kontrol h3 20.1333 9.4572 .438 -12.609 52.875
100 mg h3 -9.9667 9.4572 .958 -42.709 22.775
200 mg h3 -11.3667 9.4572 .920 -44.109 21.375
Kontrol h7 13.4000 9.4572 .837 -19.342 46.142
50 mg h7 -43.1667* 9.4572 .006 -75.909 -10.425
100 mg h7 -49.0000* 9.4572 .002 -81.742 -16.258
200 mg h7 -37.0333* 9.4572 .021 -69.775 -4.291
100 mg h3 Kontrol h3 30.1000 9.4572 .084 -2.642 62.842
50 mg h3 9.9667 9.4572 .958 -22.775 42.709
200 mg h3 -1.4000 9.4572 1.000 -34.142 31.342
Kontrol h7 23.3667 9.4572 .274 -9.375 56.109
50 mg h7 -33.2000* 9.4572 .046 -65.942 -.458
100 mg h7 -39.0333* 9.4572 .014 -71.775 -6.291
200 mg h7 -27.0667 9.4572 .147 -59.809 5.675
200 mg h3 Kontrol h3 31.5000 9.4572 .064 -1.242 64.242
50 mg h3 11.3667 9.4572 .920 -21.375 44.109
100 mg h3 1.4000 9.4572 1.000 -31.342 34.142
Kontrol h7 24.7667 9.4572 .218 -7.975 57.509
50 mg h7 -31.8000 9.4572 .060 -64.542 .942
100 mg h7 -37.6333* 9.4572 .019 -70.375 -4.891
200 mg h7 -25.6667 9.4572 .188 -58.409 7.075
Kontrol h7 Kontrol h3 6.7333 9.4572 .995 -26.009 39.475
50 mg h3 -13.4000 9.4572 .837 -46.142 19.342
100 mg h3 -23.3667 9.4572 .274 -56.109 9.375
200 mg h3 -24.7667 9.4572 .218 -57.509 7.975
50 mg h7 -56.5667* 9.4572 .000 -89.309 -23.825
100 mg h7 -62.4000* 9.4572 .000 -95.142 -29.658
200 mg h7 -50.4333* 9.4572 .001 -83.175 -17.691
50 mg h7 Kontrol h3 63.3000* 9.4572 .000 30.558 96.042
50 mg h3 43.1667* 9.4572 .006 10.425 75.909
100 mg h3 33.2000* 9.4572 .046 .458 65.942
200 mg h3 31.8000 9.4572 .060 -.942 64.542
Kontrol h7 56.5667* 9.4572 .000 23.825 89.309
100 mg h7 -5.8333 9.4572 .998 -38.575 26.909
200 mg h7 6.1333 9.4572 .997 -26.609 38.875
100 mg h7 Kontrol h3 69.1333* 9.4572 .000 36.391 101.875
50 mg h3 49.0000* 9.4572 .002 16.258 81.742
100 mg h3 39.0333* 9.4572 .014 6.291 71.775
200 mg h3 37.6333* 9.4572 .019 4.891 70.375
Kontrol h7 62.4000* 9.4572 .000 29.658 95.142
50 mg h7 5.8333 9.4572 .998 -26.909 38.575
200 mg h7 11.9667 9.4572 .899 -20.775 44.709
200 mg h7 Kontrol h3 57.1667* 9.4572 .000 24.425 89.909
50 mg h3 37.0333* 9.4572 .021 4.291 69.775
100 mg h3 27.0667 9.4572 .147 -5.675 59.809
200 mg h3 25.6667 9.4572 .188 -7.075 58.409
Kontrol h7 50.4333* 9.4572 .001 17.691 83.175
50 mg h7 -6.1333 9.4572 .997 -38.875 26.609
100 mg h7 -11.9667 9.4572 .899 -44.709 20.775
*. The mean difference is significant at the .05 level.
83

Ko
th
n3 ro
l 5
0 m
g h
3 1 0
m
h g
e lo m p
K
3 2 0
m
h g
3 Ko
ok
th ro
n l7 5 0
mgh 7
1 0
m
7 g 2 0
h m
7 g
h

Homogeneous Subsets
s t
l a
ib ro b

0 .0
4
of F
a n
Me

0 .0
6

0 .0
8

1 0
.

Fibroblast
a
Tukey HSD
Subset for alpha = .05
Kelompok N 1 2 3 4
Kontrol h3 3 31.433
Kontrol h7 3 38.167
50 mg h3 3 51.567
100 mg h3 3 61.533 61.533
200 mg h3 3 62.933 62.933 62.933
200 mg h7 3 88.600 88.600 88.600
50 mg h7 3 94.733 94.733
100 mg h7 3 100.567
Sig. .064 .147 .060 .899
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

Means Plots
84

Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian

Menimbang berat badan tikus

Adaptasi tikus selama 1 minggu sebelum pencabutan gigi

Persiapan alat dan bahan untuk pencabutan gigi tikus


85

Pembuatan ekstrak etanol daun alpukat sesuai dengan dosis yaitu 50 mg, 100
mg, dan 200 mg

Proses pencabutan gigi incisivus maksila kanan

Pemberian ekstrak daun alpukat setiap sore selama 3 dan 7 hari pasca ekstraksi
gigi incisivus maksila
86

Inhalasi ether dosis lethal

Pembedahan untuk pengembilan maksila tikus wistar

Pengiriman ke lab Patologi Anatomi


87

Lampiran 4. Ethical Clearance


88

Lampiran 5. Surat Determinasi Daun Alpukat (Persea Americana mill’s)

Anda mungkin juga menyukai