Anda di halaman 1dari 50

IDENTIFIKASI FILUM MOLLUSCA DAN ECHINODERMATA DI PANTAI BAMA

TAMAN NASIONAL BALURAN KABUPATEN SITUBONDO

LAPORAN PRAKTIKUM KULIAH KERJA LAPANGAN

Untuk memenuhi tugas salah satu mata kuliah

“Zoologi”

Dosen Pengampu:

Desi Kartikasari, M. Si

Disusun oleh:
KELOMPOK 5
1. Mahmudlotun Nikmah (12208173053)
2. Syaiful Amfri (12208173057)
3. Fa’iz Firmansyah Fahmi (12208173103)
4. Tuwy Yuniati Putri Ikhtiary (12208173128)
5. Nur Laili Anis Khumairoh (12208173132)
6. Ela Fitrotul Umami (12208173134)
7. Elika Arum Mahrdika (12208173136)

JURUSAN TADRIS BIOLOGI


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
MEI 2019
HALAMAN PERNYATAAN DAN DESKRIPSI TUGAS KELOMPOK
Laporan praktikum Zoologi yang berjudul “Identifikasi Filum Mollusca Dan Echinodermata
Di Pantai Bama Taman Nasional Baluran Kabupaten Situbondo” ini merupakan hasil kerja
kelompok 5 Tadris Biologi 4C dan tidak ada unsur plagiarisme (menyalin dari kelompok lain).

No. Nama NIM Penjabaran Tugas


1 Mahmudlotun Nikmah 12208173053 Tinjauan Pustaka

2 Syaiful Amfri 12208173057 Bab I (Kegunaan Penelitian, Ruang Lingkup


dan Batasan Masalah, Definisi Operasional),
Pembahasan, dan Membuat Video
3 Fa’iz Firmansyah 12208173103 Kata Pengantar, Daftar Isi, Daftar Tabel,
Fahmi Daftar Gambar, dan Pembahasan
4 Tuwy Yuniati Putri 12208173128 Bab III Metode Penelitian (Rancangan
Ikhtiary Penelitian, Populasi dan Sampel, Waktu dan
Tempat, Prosedur Kerja, Teknik Analisis
Data) dan Pembahasan
5 Nur Laili Anis 12208173132 Tinjauan Pustaka
Khumairoh
6 Ela Fitrotul Umami 12208173134 Halaman Judul, Halaman Pernyataan dan
Deskripsi Tugas Kelompok, Abstrak, Bab I
(Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan
Penelitian) dan Pembahasan
7 Elika Arum Mahrdika 12208173136 Bab VI (Kesimpulan dan Saran) dan
Pembahasan

2
Tulungagung, 17 Mei 2019

Yang menyatakan,

Mahmudlotun Nikmah Syaiful Amfri Fa’iz Firmansyah Fahmi


NIM. 12208173053 NIM. 12208173057 NIM. 12208173103

Tuwy Yuniati Putri Ikhtiary Nur Laili Anis Khumairoh Ela Fitrotul Umami
NIM. 12208173128 NIM. 12208173132 NIM. 12208173134

Elika Arum Mahardika


NIM. 12208173136

Mengetahui,
Asisten Dosen,

Rafinda Herina Suci


NIM: 17208163082

3
ABSTRAK
Taman Nasional Baluran merupakan kawasan Konservasi Sumberdaya Alam, yang
berarti di dalam kawasan Taman Nasional Baluran terdapat pengelolaan sumberdaya alam
hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana, untuk menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan
nilainya. Pantai merupakan tempat yang paling tepat digunakan untuk melakukan penelitian
mengenai biota-biota laut. Pantai Bama memiliki laut yang tinggi karena merupakan wilayah
konservasi. Salah satu keanekaragamannya adalah memiliki biota dari kelompok Mollusca dan
Echinodermata, seperti Trochus niloticus, Barbata amygdalumtostum, Tripneustes gratilla,
Ophioderma brevispinum.

Kata kunci : Taman Nasional Baluran, Pantai Bama, Trochus niloticus, Barbata
amygdalumtostum, Tripneustes gratilla, Ophioderma brevispinum.

ABSTRACT
Baluran National Park is a Natural Resource Conservation area, which means that
within the Baluran National Park area there is a management of biological natural resources
whose utilization is carried out wisely, to ensure the continuity of its supply while maintaining
and improving the quality of diversity and value. The beach is the most appropriate place to
use to conduct research on marine biota. Bama Beach has a high sea because it is a conservation
area. One of its diversity is having biota from groups of Molluscs and Echinoderms, such as
Trochus niloticus, Barbata amygdalumtostum, Tripneustes gratilla, Ophioderma brevispinum.

Keywords : Baluran National Park, Bama Beach, Trochus niloticus, Barbata


amygdalumtostum, Tripneustes gratilla, Ophioderma brevispinum.

4
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala
karunianya sehingga laporan praktikum yang berjudul Identifikasi Filum Mollusca dan
Echinodermata di Pantai Bama Taman Nasional Baluran Kabupaten Situbndo dapat
terselesaikan untuk memenuhi tugas matakuliah Zoologi. Shalawat serta salam semoga
senantiasa abadi tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW dan seluruh umatnya.
Sehubungan dengan selesainya penulisan makalah ini, maka penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. H. Maftukin, M.Ag., selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri
Tulungagung.
2. Ibu Dr. Hj. Binti Maunah, M.Pd.I., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan Institut Agama Islam Negeri Tulungagung.
3. Ibu Desi Kartika Sari, M.si., selaku Dosen Pengampu Matakuliah Dasar-Dasar
Ekologi.
4. Semua pihak yang telah membantu dalam terselesaikannya penyusunan makalah ini.
Dengan penuh harap semoga jasa kebaikan mereka diterima Allah SWT. dan
tercatat sebagai amal shalih. Akhirnya, karya ini penulis suguhkan kepada segenap
pembaca dengan harapan adanya kritik dan saran yang konstruktif demi kesempurnaan
makalah ini. Semoga dapat bermanfaat bagi semua pihak khususnya bagi penulis dan
para pembaca pada umumnya.

Tulungagung, 16 Mei 2019

Penulis

5
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................................ i
HALAMAN PERNYATAAN DAN DESKTIPSI TUGAS KELOMPOK ................. ii
ABSTRAK ...................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... v
DAFTAR ISI.................................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ......................................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................................... 4
1.4 Kegunaan Penelitian ................................................................................................. 4
1.5 Ruang Lingkup dan Batasan Masalah.................................................................... 4
1.6 Definisi Operasional.................................................................................................. 4
BAB II KAJIAN PUSTAKA .......................................................................................... 5
BAB III METODE PENELITIAN .............................................................................. 10
3.1 Rancangan Penelitian ............................................................................................. 10
3.2 Populasi dan Sampel ............................................................................................... 10
3.3 Waktu dan Tempat ................................................................................................. 10
3.4 Alat dan Bahan........................................................................................................ 10
3.5 Prosedur Kerja ........................................................................................................ 10
3.6 Teknik Analisis Data............................................................................................... 11
BAB IV DATA DAN ANALISIS DATA..................................................................... 12
BAB V PEMBAHASAN ............................................................................................... 15
BAB VI PENUTUP ....................................................................................................... 42
6.1 Kesimpulan .............................................................................................................. 44
6.2 Saran ........................................................................................................................ 44
Daftar Rujukan

6
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara yang memiliki perairan yang sangat luas
dibandingkan dengan daratannya. Salah satunya adalah pantai. Pantai merupakan
sebuah bentuk geografis yang terdiri dari pasir, dan terdapat di daerah pesisir laut.
Daerah pantai menjadi batas antara daratan dan perairan laut. Panjang garis pantai ini
diukur mengeliling seluruh pantai yang merupakan daerah teritorial suatu negara.
Menurut koreksi PBB tahun 2008, Indonesia merupakan negara berpantai terpanjang
keempat di dunia setelah Amerika Serikat (AS), Kanada dan Rusia. Panjang garis pantai
Indonesia tercatat sebesar 95.181 km.
Pantai merupakan tempat yang paling tepat digunakan untuk melakukan
penelitian mengenai biota-biota laut. Maka tak heran jika pantai yang masih bagus dan
asri, artinya tidak terjadi kerusakan lingkungan atau tercemari dengan sampah atau
limbah produksi manusia, pantai akan banyak diminati oleh mahasiswa atau
sekelompok orang untuk melakukan penelitian. Karena hal ini juga akan mempengaruhi
kualitas dari pantai itu sendiri dan berpengaruh daripada minat peneliti.
Jawa Timur merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang memiliki. Taman
Nasional Baluran, didalamnya terdapat Pantai Bama. Pantai Bama sudah sangat dikenal
oleh masyarakat Indonesia dengan kearifan lokalnya, airnya yang jernih nan biru, pasir
pesisir pantai yang putih, banyak terdapat kerang, dan disuguhkan dengan mangrove
hijau yang memikat pandangan mata setiap pengunjung.
Pantai Bama terletak di wilayah Situbondo yaitu berada di Jalan Banyuwangi
– Situbondo km 35, Desa Wonorejo, Kecamatan Banyuputih, Situbondo, Jawa
Timur. Untuk sampai di lokasi Pantai Bama, harus melalui dari gerbang Taman
Nasional Baluran yang memiliki jarak sekitar 8 km. Sepanjang perjalanan, Taman
Nasional Baluran akan menyajikan keindahannya, yang hijau di musim hujan dan
terlihat gersang di musim kemarau. Di Pantai Bama banyak terdapat kawanan kera
berekor panjang berwarna abu-abu, ikan yang sering muncul diatas permukaan bibir
pantai, beberapa ada alga hijau dan alga coklat yang banyak terdampar di bibir pantai,
dan berbagai burung langka endemik Jawa Timur.
Kondisi perairan Pantai Bama secara tidak langsung dapat menunjukkan
kondisi lingkungan. Pesatnya pembangunan suatu kawasan di satu sisi membawa

7
dampak positif berupa produk yang bermanfaat bagi masyarakat, akan tetapi di sisi lain
juga menghasilkan limbah yang apabila tidak ditangani dengan tepat dapat
mengganggu keseimbangan lingkungan. Menurut informasi yang kami peroleh dari
pihak Taman Nasional Baluran, Pantai Bama merupakan destinasi yang paling banyak
dikunjungi oleh mahasiswa dari berbagai kampus negeri maupun swasta guna
melakukan penelitian.
Parameter biologi atau bioindikator sering dipergunakan sebagai salah satu
parameter kualitas perairan. Bioindikator dapat berupa organisme atau respon biologi
yang keberadaannya menjadi penanda kondisi lingkungan. Secara khusus bahwa
bioindikator adalah kelompok atau komunitas organisme yang keberadaannya atau
perilakunya di alam berhubungan dengan kondisi lingkungan, apabila terjadi perubahan
kualitas air maka akan berpengaruh terhadap keberadaaan dan perilaku organisme
tersebut, sehingga dapat digunakan sebagai penunjuk kualitas lingkungan.
Pantai Bama memiliki laut yang tinggi karena merupakan wilayah konservasi.
Salah satu keanekaragamannya adalah memiliki biota dari kelompok Mollusca dan
Echinodermata, seperti Trochus niloticus, Barbata amygdalumtostum, Tripneustes
gratilla, Ophioderma brevispinum. Mollusca berasal dari bahasa Latin yaitu molluscus
artinya lunak, atau disebut hewan bertubuh lunak. Kelompok hewan ini memiliki
keanekaragaman jenis yang tinggi dan menyebar luas di berbagai habitat laut tidak
terkecuali di zona intertidal (pasang surut). Substrat berbatu merupakan daerah yang
paling padat makroorganismenya. Permukaan batuan dalam laut melindungi organisme
dari panas dan predator serta sebagai substrat yang baik untuk tumbuh dan berkembang
berbagai jenis tumbuhan dan hewan, salah satunya Mollusca. Echinodermata berasal
dari bahasa Yunani yang memiliki arti kulit berduri, yaitu kelompok hewan yang
memiliki kulit berduri yang mencakup bulu babi, bintang laut, teripang dan beberapa
kerabatnya. Echinodermata merupakan kelompok hewan berduri yang bergerak lamban
dengan bantuan kaki tabung, dan ditemukan di hampir semua kedalaman laut.
Keberadaan Echinodermata di habitatnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan baik
faktor biotik dan abiotik yang saling terkait satu dengan yang lain, serta interaksi antara
berbagai spesies yang membentuk sistem tersebut.

Kita sebagai Khalifatul fil ardh atau pemimpin di bumi sudah menjadi tanggung
jawab dan kewajiban kita untuk selalu menjaga lingkungan hidup seperti pantai

8
maupun makhluk lainya seperti sabda Allah SWT dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah
ayat 164:

Artinya :

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam


dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia,
dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan
bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan
pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh
(terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”

Dengan adanya ayat itu kita bisa melihat kebesaran Allah dalam penciptaan
bumi dan apa yang diciptakan di bumi seperti gunung-gunung, lautan, pantai, tanaman,
dan hewan, sungai, dalam perbedaan siang dan malam yaitu dalam pergantian siang
dan malam; semua itu benar-benar merupakan bukti-bukti keesaan Allah SWT. Maka
dengan itu kita sebagai khalifah fil ardh atau pemimpin di bumi, kita harus selalu
menjaga titipan Allah yang telah dianugerahkan kepada kita. Seperti menjga ekosistem
air sungai, memanfaatkan dengan sebaik-baiknya, tidak mencemari sungai karena akan
berakibat buruk bagi makhluk yang ada didalamnya maupun disekitarnya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana diversitas/keanekaragaman biota invertebrata filum Mollusca dan
Echinodermata di pantai Bama Taman Nasional Baluran?
2. Bagaimana kelimpahan dan kepadatan biota invertebrata filum Mollusca dan
Echinodermata di pantai Bama Taman Nasional Baluran?
3. Bagaimana mikrohabitat dan karateristik biota invertebrata filum Mollusca dan
Echinodermata di pantai Bama Taman Nasional Baluran?
1.3 Tujuan Penelitian

9
1. Untuk mengetahui diversitas/keanekaragaman biota invertebrata filum Mollusca dan
Echinodermata di pantai Bama Taman Nasional Baluran.
2. Untuk mengetahui kelimpahan dan kepadatan biota invertebrata filum Mollusca dan
Echinodermata di pantai Bama Taman Nasional Baluran.
3. Untuk mengetahui mikrohabitat dan karateristik biota invertebrata filum Mollusca
dan Echinodermata di pantai Bama Taman Nasional Baluran.
1.4 Ruang Lingkup dan Batasan Masalah
1. Penelitian ini hanya sebatas spesies fauna yang ditemukan di lokasi pantai Bama
Taman Nasional Baluran Situbondo
2. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jelajah bebas
3. Model analisis dat ayang digunakan adalah deskriptif eksploratif
1.5 Definisi Operasional
1. Taman nasional merupakan suatu sarana untuk mewujudkan usaha konservasi
potensi sumberdaya alam, yang berfungsi sebagai pelindung unsur ekologis dan
sistem penyangga kehidupan.
2. Pantai merupakan ujung pertemuan dari zona terrestrial (darat) menuju zona aquatik
(Laut).
3. Metode Observasi. Definisi Menurut Para Ahli Dalam Penelitian - Pengertian
Observasi merupakan teknik pengumpulan data, dimana peneliti melakukan
pengamatan secara langsung ke objek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan
yang dilakukan (Riduwan, 2004 : 104).
1.6 Ruang Lingkup dan Batasan Masalah
1. Penelitian ini hanya terbatas pada satwa yang ada di Pantai Bama Taman Nasional
Baluran dan diidentifikasi selama masa penelitian.
2. Penelitian identifikasi satwa yang ada di Bama Taman Nasional Baluran dilakukan
dengan cara menggunakan metode “ Observasi”.
3. Pengambilan data dilakukan dengan cara mengamati satwa di Bama Taman Nasional
Situbondo.

10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Taman Nasional Baluran merupakan kawasan Konservasi Sumberdaya Alam, yang


berarti di dalam kawasan Taman Nasional Baluran terdapat pengelolaan sumberdaya alam
hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana, untuk menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan
nilainya. Tujuan pembangunan konservasi sumberdaya alam yaitu mengusahakan terwujudnya
kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih
mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia (Balai
Taman Nasional Baluran, 2007).

Taman Nasional Baluran merupakan kawasan Konservasi Sumberdaya Alam, yang


berarti di dalam kawasan Taman Nasional Baluran terdapat pengelolaan sumberdaya alam
hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana, untuk menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan
nilainya. Kawasan Taman Nasional Baluran terletak di Kecamatan Banyuputih, Kabupaten
Situbondo, Propinsi Jawa Timur dengan batas-batas wilayah sebelah utara Selat Madura,
sebelah timur Selat Bali, sebelah selatan Sungai Bajulmati, Desa Wonorejo dan sebelah
barat Sungai Klokoran, Desa Sumberanyar. Luas Wilayah 12.000 Ha, zona rimba seluas
5.537 ha (perairan = 1.063 Ha dan daratan = 4.574 Ha), zona pemanfaatan intensif dengan
luas 800 Ha, zona pemanfaatan khusus dengan luas 5.780 Ha, dan zona rehabilitasi seluas
783 Ha (Muhammad, 2017).

Kawasan konservasi Taman Nasional Baluran, khususnya Pantai Bama


memiliki kepentingan dalam pendukung siklus kehidupan. Pantai ini memiliki ekosistem
mangrove, seagrass, dan coral reef yang sering dijadikan sebagai habitat, sehingga dapat
secara langsung menyokong siklus hidup beberapa jenis flora dan fauna yang penting di
wilayah ekosistem Pantai Bama. Apabila ekosistem ini rusak atau hilang, maka tidak
mustahil beberapa jenis flora dan fauna yang sangat membutuhkan habitat ini akan
terdegradasi dan hilang dari perairan (BTNB, 2010).

Pantai Bama memili karakter zona intertidal yang landai. Selain itu, secara
keseluruhan pantai Bama memiliki 3 ekosistem yaitu mangrove, seagrass, and coral reef
ecosystem (Minarputri N et al, 2012). Ekosistem mangrove terdapat dibagian tepi dan
mendominasi bagian timur dan barat. Bagian tepi terdapat pantai dengan pasir yang putih

11
(Vendi, 2016). Pantai Bama memiliki pasir yang putih, air lautnya bersih, terdapat ekosistem
mangrove sebagai “rumah” ikan – ikan dan hewan laut lainnya, di belakang pantai terdapat
banyak pepohonan sebagai ekosistem hutan pantai. Pantai Bama merupakan pantai yang
dikelilingi oleh hutan mangrove dan merupakan pantai yang landai dan berpasir putih serta
mempunyai formasi terumbu karang. Pada perairan pantai Bama, terdapat beberapa
ekosistem yaitu ekosistem padang lamun, zona transisi antara lamun serta karang dan
ekosistem terumbu karang. Pantai Bama memiliki rataan terumbu karang (reef flat) yang
sangat landai. Setelah memasuki daerah subtidal beberapa ratus meter dari bibir pantai,
tampak adanya dasar pantai dengan kemiringan yang sangat terjal, hingga kedalaman
puluhan meter.

Pantai Bama terletak di kawansan Taman Nasional Baluran dengan titik koordinat 070
29’ – 070 55’ LS dan 1140 17’ – 1140 28’ BT. Untuk mencapai lokasi pantai yang dikenal sangat
alami itu, jarak sekitar 15 km dari pintu gerbang TNB harus ditempuh. Aneka jenis satwa
mamalia besar bisa dijumpai di sepanjang jalan menuju Pantai Bama. Diantaranya Banteng
Jawa (Bos javanicus), Rusa Timor (Cervus rusa), Kerbau Liar (Bubalus bubalis), Babi Hutan
(Sus scrofa), Anjing Hutan (Cuon alpinus) dan Macan Tutul (Panthera pardus) (Balai Taman
Nasional Baluran, 2010).

Echinodermata memiliki karakte- ristik hidup bebas, soliter, pergerakan yang lamban
dan tidak ada yang bersifat parasit . Hewan ini biasanya hidup dari pantai hingga kedalaman
sekitar 366 m. Hewan ini memiliki ciri yaitu hidup bebas, soliter, gerakan lamban dan tidak
ada yang bersifat parasit. Predator hanya sedikit di antaranya yaitu ikan dan manusia.
Secara umum, Echinodermata mencapai diversitas tertinggi di terumbu karang dan pantai
dangkal. Larva dari Echinodermata, terutama bintang laut dan bulu babi, bersifat pelagis,
dan bisa berenang sampai jarak yang jauh untuk memperluas distribusi. Keanekaragaman
Echinodermata di pantai Bama telah dilaporkan oleh Minarputri, et al (2012). Salah satu
subphylum dari Echinodermata yaitu Asterozoa yang yang memiliki tiga subphylum, yaitu
Asterozoa, Crinozoa, dan Echinozoa.

Porifera merupakan salah satu hewan primitif yang hidup menetap (sedentaire) dan
bersifat non selective filter feeder (menyaring apa yang ada). Spons tampak sebagai hewan
sederhana, tidak memiliki jaringan, sedikit otot maupun jaringan saraf serta organ dalam.
Hewan tersebut memberikan sumbangan yang penting terhadap komunitas benthik laut dan
sangat umum dijumpai di perairan tropik dan sub tropik. Persebaran mulai dari zona

12
intertidal hingga zona subtidal suatu perairan. Komunitas spons laut disuatu wilayah perairan
mampu menjadi salah satu bioindikator kualitas perairan laut mengingat sifat dari
spons laut yang immobile serta persebaran telur dan larvanya akan selalu terbatasi oleh barrier
yang ada mengharuskan spons tersebut selalu beradaptasi terhadap komponen- komponen
fisik maupun biotik yang terdapat pada wilayah tersebut. Salah satu interaksi ekologis inter
spesies yang mampu mempengaruhi komposisi struktur komunitas spons (Porifera) adalah
kompetisi ruang antara spons dan organisme benthik lain terutama coral (Iwenda, 2013).

Kelas mollusca merupakan salah satu contoh hewan benthos bertubuh lunak yang
banyak hidup di perairan tawar. Gastropoda (keong bercangkang tunggal) dan
Pelecypoda/Bivalvia (kerang bercangkang dua) merupakan jenis mollusca yang umum
ditemukan di perairan tawar seperti sungai (Djajasasmita, 1999). Mollusca merupakan
organisme hidup yang peka terhadap perubahan kualitas air tempat hidupnya sehingga
hal ini dapat juga menentukan kepadatan dan keragaman populasi dari kelas tersebut (Odum,
1993). Penggunaan Keragaman mollusca (gastropoda dan bivalvia) sebagai bioindikator
kualitas perairan telah dilakukan di kawasan pesisir Pulau Tunda Banten, hasilnya
menunjukan kualitas perairan pesisir Pulau Tunda tercemar sangat ringan dengan kriteria
indeks keanekaragaman yang tinggi (Indria et al.,2017).

Arthropoda berasal dari bahasa Yunani, yaitu arthro yang berarti ruas dan podos yang berarti
kaki. Jadi, Arthropoda berarti hewan yang kakinya beruas-ruas. Organisme yang tergolong
filum arthropoda memiliki kaki yang berbuku-buku. Hewan ini memiliki jumlah spesies yang
saat ini telah diketahui sekitar 900.000 spesies. Hewan yang tergolong arthropoda hidup di
darat sampai ketinggian 6.000 m, sedangkan yang hidup di air dapat ditemukan sampai
kedalaman 10.000 meter. Crustacea adalah hewan akuatik (air) yang terdapat di air laut
dan air tawar. Kata Crustacea berasal dari bahasa latin yaitu kata Crusta yang berarti cangkang
yang keras. Ilmu yang mempelajari tentang crustacean adalah karsinologi (Demarjati et
al.,1990). Crustacea mempunyai kulit (cangkang) yang keras disebabkan adanya endapan
kalsium karbonat pada kutikula. Semua atau sebagian ruas tubuh mengandung apendik yang
aslinya biramus. Bernafas dengan insang atau seluruh permukaan tubuh. Kelenjar antena
(kelenjar hijau) atau kelenjar maxilla merupakan alat ekskresi.
Faktor Abiotik

a. Suhu

13
Suhu berpengaruh terhadap ekosistem karena suhu merupakan syarat yang
diperlukan organisme untuk hidup. Ada jenis-jenis organisme yang hanya dapat hidup pada
kisaran suhu tertentu. Daerah perairan yang cukup luas dapat memengaruhi iklim daerah
daratan sekitarnya. Suhu air paling baik dan efisien diukur menggunakan sensor elektronis
seperti air mempunyai beberapa sifat unik yang berhubungan dengan panas yang secara
bersama-sama mengurangi perubahan suhu sampai tingkat minimal (Odum, 1971).
Perubahan suhu dapat mempengaruhi perubahan komposisi, kelimpahan dan
keanekaragaman suatu perairan. Secara umum kisaran suhu untuk hidup aktif organisme
laut dan air payau adalah 0-35°C. Organisme yang mampu bertahan pada kisaran suhu yang
luas disebut eurythermal, sedangkan organisme yang tahan pada kisaran suhu sempit
disebut stenothermal (Supriharyo, 2000).
b. Salinitas
Salinitas akan mempengaruhi penyebaran suatu organisme karena berkaitan dengan
kemampuan organisme untuk dapat hidup pada suatu perairan dengan salinitas tertentu.
Berdasarkan perbedaan salinitas, dikenal biota yang bersifat stenohaline dan euryhaline.
Biota yang mampu hidup pada kisaran yang sempit disebut sebagai biota bersifat
stenohaline dan sebailknya biota yang mampu hidup pada kisaran luas disebut sebagai biota
euryhaline. Salinitas optimal bagi moluska khususnya gastropoda berkisar antara 26°C-
32°C (Odum, 1993).
c. pH
pH merupakan faktor pembatas bagi organisme yang hidup disuatu perairan.
Perairan dengan pH yang terlalu tinggi atau rendah akan mempengaruhi ketahanan hidup
organisme yang ada di dalamnya (Odum, 1993). pH yang ideal berkisar antar 6,5-8,5.
Dimana setiap organisme air memiliki toleransi ph yang berbeda. Larutan atau air dikatakan
asam jika ph ˂7, dikatakan basa jika ph ˃7, sedangkan jika ph =7 maka larutan tersebut
dikatakan seimbang (Effendi, 2003).
d. Tipe substrat
Tipe substrat pada perairan air tawar biasanya berupa lumpur, pasir, dan batu.
Substrat yang terlalu lunak tidak cocok bagi bentos dan perifiton yang hidup di permukaan
dan dalam dasar perairan. Substrat berupa lumpur terjadi karena perpaduan antara air dan
tanah yang terdapat di dasar perairan dan hasil dari penguraian detrivor jua berupa lumpur
(Odum, 1998).
e. Kedalaman

14
Kedalaman suatu ekosistem perairan dapat bervariasi tergantung pada zona
kedalaman dari suatu perairan tersebut, semakin dalam perairan tersebut maka intensitas
cahaya matahari yang masuk semakin berkurang. Penetrasi cahaya seringkali dihalangi
oleh zat yang terlarut dalam air, membatasi zona fotosintesa, dimana habitat akuatik
dibatasi oleh kedalaman (Odum, 1971).

15
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode observasi dengan
jelajah bebas menggunakan teknik deskriptif eksploratif. Pengamatan dilakukan
secara langsung dengan jelajah bebas guna untuk mengumpulkan data. Kemudian data
yang telah diperoleh dari pengamatan tersebut di deskripsikan didalam pembahasan.
3.2 Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian “Identifikasi Filum Mollusca dan Echinodermata
di Pantai Bama Taman Nasional Baluran” adalah seluruh komunitas spesies dari
Filum Mollusca dan Echinodermata.
Sampel dalam penelitian “Identifikasi Filum Mollusca dan Echinodermata di
Pantai Bama Taman Nasional Baluran” adalah spesies dari Filum Mollusca dan
Echinodermata yang ditemukan di Pantai Bama Taman Nasional Baluran Kabupaten
Situbondo.
3.3 Waktu dan Tempat
Kegiatan penelitian yang berjudul “Identifikasi Filum Mollusca dan
Echinodermata di Pantai Bama Taman Nasional Baluran” dilaksanakan pada hari
Minggu tanggal 7 April 2019 saat air laut mengalami surut sekitar pukul 15.00 WIB
sampai dengan 18.00 WIB. Dilaksanakan di Pantai Bama Taman Nasional Baluran
Kabupaten Situbondo.
3.4 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu piring plastik, capit untuk
mengambil spesies yang ditemukan, kuas besar dan kecil, toples penyimpanan spesies
dan plastik besar serta kamera untuk dokumentasi. Sedangkan bahan yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu Alkohol 70%, formalin, aquades, spesies dari Mollusca dan
spesies dari Echinodermata.
3.5 Prosedur kerja
Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode observasi
dengan jelajah bebas. Metode observasi dengan jelajah bebas dilakukan dengan cara
mengadakan pengamatan langsung terhadap spesies masing-masing Filum Mollusca
dan Echinodermata yang ditemukan. Masing-masing sampel yang ditemukan
dikoleksi dan ditampung dalam plastik. Proses pengambilan sampel ini dilakukan

16
pada saat air laut mengalami surut sekitar pukul 15.00 WIB sampai dengan 18.00
WIB. Sampel yang telah terkumpul kemudian diamati dan didokumentasi.
Selanjutnya sampel-sampel tersebut dibersihkan dari kotoran menggunakan kuas
secara hati-hati, kemudian dimasukkan ke dalam plastik atau botol sampel yang telah
diberi alkohol 70%. Pemberian alkohol berguna untuk mengawetkan sampel agar
tidak busuk.
3.6 Teknik Analisa Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik
deskriptif eksploratif. Teknik deskriptif eksploratif diperoleh dari observasi dengan
jelajah bebas. Teknik deskripsi eksploratif ini digunakan untuk menjelaskan atau
menerangkan data hasil dari observasi dengan jelajah bebas tersebut.

17
BAB IV

DATA DAN ANALISIS DATA

4.1 Data Penelitian


Data yang ditemukan dalam penelitian ini yaitu dari kelas Trochidae, kelas
Echinoidea, kelas Ophiuroidea, kelas Turbinidae dan kelas Arcidae.
Tabel 1. Data Hasil Penelitian
Filum Kelas Family Spesies
Trochidae Trochus niloticus
Gastropoda
Turbinidae -
Mollusca
Barbatia
Bivalvia Arcidae
amygdalumtostum

Echinoidea Toxopneustidae Tripneustes gratilla


Echinodermata
Ophiuroidea Ophiodermatidae Ophioderma brevispinum

4.2 Analisis Data


Berdasarkan dari tabel 1 diketahui bahwa spesies yang ditemukan di Pantai
Bama Taman Nasional Baluran Situbondo adalah Trochus niloticus, Tripneustes
gratilla, Ophioderma brevispinum, dan Barbatia amygdalumtostum.
Pada filum Mollusca ditemukan spesies Trochus niloticus termasuk family
Trochidae, dan masuk ke dalam kelas Gastropoda. Selain itu, juga ditemukan family
Turbinidae dari filum Mollusca diantaranya yaitu dari kelas Gastropoda dan dari family
Arcidae masuk kelas Bivalvia dengan spesies Barbatia amygdalumtostum. Pada filum
Echinodermata ditemukan spesies dari kelas Echinoidea family Toxopneustidae dengan
spesies Tripneustes gratilla. Sedangkan pada family Ophiuroidea kelas
Ophiodermatidae ditemukan spesies Ophioderma brevispinum.

18
BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Trochus niloticus

Gambar 1. Trochus Niloticus

Klasifikasi :
Kingdom : Animalia
Phylum : Mollusca
Class : Gastropoda
Subclass : Vetigastropoda
Order : Trochida
Superfamily : Trochoidea
Family : Trochidae
Subfamily : Trochinae
Genus : Trochus
Species : Trochus niloticus

Morfologi

19
Trochus niloticus biota asli indopasifik, distribusi alaminya dari perairan Hindia
dan kepulauan Andaman sampai kepulauan Fiji Walis.1 Trochus niloticus mempunyai
ciri khas yaitu mempunyai cangkang berbentuk kerucut dengan 10-12 buah ulir
(suture), cangkang ini digunakan sebagai tempat berteduh dan menghindar dari
kekeringan. Cangkang Trocus niloticus berwarna putih kehijauan dengan corak merah
keunguan. Permukaan cangkangnya kasar berbutir sedangkan bagian dalam cangkang
mengkilap seperti perak sehingga dapat dimanfaatkan sebagai perhiasan atau mata
kancing. Bentuk Apex runcing serta aperture halus bergaris dan mengkilap. Inner lip
dan outer lip halus dan tidak mempunyai gigi. Operkulum berbentuk bulat, tipis, dan
bening. Habitatnya di laut dangkal dengan cara menempel pada permukaan batu
maupun di atas substrat berpasir. Sulit diketahui perbedaan jenis kelaminnya, karena
tidak adanya ciri-ciri kelamin sekunder yang membedakannya.

Siklus Hidup dan Reproduksi

Perkembangbiakan lola (Trochus niloticus) dilakukan di luar tubuh pada saat-


saat tertentu mengikuti siklus bulan. Setelah sel-sel kelamin betina dibuahi oleh jantan
maka perkembangan embrional akan dimulai dengan beberapa fase pembelahan dan
masa larva planktonik yang relatif pendek. Larva lola (Trochus niloticus) bersifat
lecithotrophic (memiliki makanan cadangan) dan berkembang relatif cepat (Pradina,
1997).
Siput lola (Trochus niloticus) merupakan hewan diesius (kelamin terpisah), dan
masing-masing individu memiliki kelamin tunggal. Berdasarkan morfologinya sulit
diketahui perbedaan jenis kelaminnya, karena tidak adanya ciri-ciri kelamin sekunder
yang membedakannya. Metode klasik yang diperkenalkan oleh Amirthalingan pada
tahun 1932, masih sering dipergunakan sampai saat ini yaitu melihat kelamin siput lola
dengan cara memotong bagian apeks secara longitudinal. Dari situ dapat dilihat adanya
perbedaan warna dari gonad jantan dan betina. Trochus adalah gonochoric, tanpa
dimorfisme seksual eksternal.2 Gonad jantan berwarna krem keputihan, sedangkan
gonad betina berwarna hijau tua. Jenis kelamin pada siput lola (Trochus niloticus)

1
Subhan, Analisis Kadar Protein Pada Daging Lola (Trochus niloticus. L) Basah dan Kering, (Jurnal
Biology Science&Education Vol 3 No 2, 2014), hal. 160.
2
Ramakrishna, C.Raghunathan dan C. Sivaperuman, Status Survey on Trochus niloticus (Linnaeus,
1767)
in Andaman and Nicobar Islands, (New Delhi, Director Zoological Survey of India, 2010), hal. 9.

20
dengan diameter cangkang kurang dari 3 cm belum dapat ditentukan karena warna
gonad belum dapat dibedakan (Pradina dan Arifin, 1993).
Menurut Pradina dan Dwiono, proses perkembangan gonad Lola (Trochus
niloticus) di golongkan menjadi empat tahapan perkembangan yaitu :
1. Proliferasi : gonad hanya memiliki ovum dalam jumlah sedikit, dari tingkat
kepadatan rendah hingga tinggi.
2. Perkembangan awal : diameter ovum meningkat dan beberapa oosit sudah
diselimuti dengan lapisan jeli (selaput yang berlubang) disekelilingnya.
Lapisan jeli tersebut dapat dijadikan indikator kematangan ovum. Tahap ini
didominasi oleh ovum muda dan berdiameter kecil.
3. Perkembangan lanjut : pada tahap ini ditandai dengan semakin banyaknya
ovum yang diselimuti oleh lapisan jeli pada bagian luarnya, dan
4. Matang gonad : ovum matang mendominasi ovarium, pada tahap ini kadang-
kadang dijumpai ovum yang berdiameter kecil.
Proses reproduksi pada siput Lola (Trochus niloticus), diawali dengan fertilisasi
eksternal yang terjadi dalam kolom air. Selanjutnya telur yang telah dibuahi akan
melekat pada “red coralline algae” pada dasar substrat perairan. Larva yang terbentuk
berupa larva trokofor yang bersifat planktonik yang berenang bebas menggunakan
velum yang bersilia). Setelah itu larva trokofor akan berkembang menjadi “veliger
lecithotrophic”, setelah beberapa hari akan mengendap mencari substrat yang sesuai.
Di Maluku, musim pemijahan Lola terjadi pada bulan Maret sampai Juni, yaitu
pada musim pancaroba (peralihan) dari musim barat ke musim timur.
Pembuahan pada Lola secara eksternal, pada umumnya induk jantan memijah
terlebih dahulu kemudian disusul oleh induk betina dengan selang waktu antara 5 menit
sampai 2 jam kemudian telur-telur dibuahi. Telur pada saat pertama kali dipijahkan
terdiri dari inti sel dan dilapisi dengan semacam lapisan transparan (chorion). Pada saat
telur berumur 0 jam, diameter telur adalah 388,31μm.

21
Gambar 2. Siklus hidup Trochus niloticus.

Pembelahan sel pertama terjadi 30 menit setelah dibuahi dengan membelah 2, 4


atau 8 sel dengan diameter telur adalah 573, 97 μm. Setelah telur-telur berumur 1,5 – 2
jam, sel-sel kemudian membelah lagi menjadi banyak sel dan berukuran diameter antara
527,75 - 600,87 μm. Pada umur 2 jam ini terlihat bahwa pertumbuhan atau pembelahan
sel telur tidak seragam, hal ini menandakan bahwa perkembangan sel telur sejak awal
tidak sama, artinya bahwa ada yang berkembang secara cepat dan ada yang berkembang
relatif lambat.
Pada saat telur-telur berumur antara 3-7 jam, proses pertumbuhan terus
berlangsung dan sel-sel terus membelah menjadi banyak sel sampai mencapai fase larva
trochophore. Tingkat larva trochopore berlangsung selama beberapa jam, pada saat
organ renang yang baru berkembang dan kemudian berubah ke fase veliger. Larva-larva
ini berukuran antara 625,70–652,10 μm. Pada saat larva-larva berumur antara 1–2 hari
sudah mulai tampak organ baru (pied, kaki) sudah mulai tumbuh dan menggerak-
gerakkan kakinya di dasar bak pemeliharaan. Dari organ yang ada tampak bahwa sudah
ada perkembangan menuju ke fase veliger dengan melakukan aktivitas yang berganti-
ganti antara berenang dan merayap. Pada saat ini larva Lola (Trochus niloticus) masih
tetap menggunakan cadangan makanannya sebagai sumber utama tenaga..

22
Metamorfosa adalah suatu masa di dalam kehidupan invertebrata pada
umumnya dan moluska pada khususnya, dimana larva mengalami perubahan besar dan
penting dalam periode yang sangat singkat baik ditinjau dari aspek morfologi, anatomi
maupun fisiologi, sehingga dikategorikan sebagai salah satu fase kritis dalam
kehidupan larva (Pradina dan Dwiono, 1997). Selanjutnya dikatakan bahwa pada
beberapa jenis moluska, perubahan besar ini akan mengantar larva dari kehidupan
melayang ke kehidupan menempel atau merayap di dasar substrat. Khusus untuk Lola
(Trochus niloticus) yang memiliki cadangan makanan (lecitotropic), maka fase ini akan
menjadi fase dimulainya pencarian makanan dari luar sebagai sumber energi.
Pengelolaan yang kurang matang atau kurang baik akan berakibat pada
kematian masal larva, baik karena ketidaksesuaian habitat maupun persediaan makanan
yang kurang sesuai. Adanya mikroalga yang hidup pada substrat keras juga akan
memicu larva untuk mulai menjalani proses metamorfosa.
Trochus kecil tumbuh lebih cepat dari Trochus dewasa. Laju pertumbuhan
Trochus adalah lebih tinggi pada musim kemarau (Maret ke Oktober) dibanding musim
hujan (November ke Maret), ketika temperatur rendah, kondisi berangin, dan
gelombang yang tinggi menyebabkan tingkat survival lebih rendah. Sepanjang musim
hujan runoff dari daratan membawa sedimen ke dalam air laut sehingga perairan
menjadi buram, sehingga menganggu pertumbuhan ganggang laut, sehingga makanan
Trochus menjadi berkurang. Walaupun demikian pada musim kemarau, terjadi runoff
namun kecil atau sedikit sehingga perairan laut masih bersih dari sedimen, yang
membuat ganggang laut tumbuh baik, dengan demikian akses makanan untuk Trochus
cukup, sehingga Trochus dapat tumbuh lebih cepat.3
Habitat dan Persebaran
Trochus sp. merupakan jenis yang hidup di daerah tropis dan subtropis yaitu
pada perairan samudra India, samudra Pasifik barat dan perairan Indonesia.4 Trochus
sp. mendiami habitat yang didominasi oleh substrat kasar pada perairan dangkal yang
memiliki aliran arus yang kuat. Tipe habitat ini membentuk topografi kompleks yang
menyediakan tidak hanya makanan tetapi juga tempat berlindung.
Habitat Trochus niloticus di laut dangkal dengan cara menempel pada
permukaan batu maupun di atas substrat berpasir.

3
Ratno Achyani, Trochus Sp. : Pendekatan Ekologi dan Biologi, (Jurnal Harpodon Borneo Vol.4 No.2,
Oktober 2011), hal. 19.
4
Ibid, hal. 15.

23
Populasi alami Trochus niloticus terdistribusi antara garis bujur 90° W ( pulau
Andaman, India) dan 180° W, dan garis lintang 20° N dan 25° S. Trochus niloticus
menghuni daerah intertidal dan subtidal zone. Menurut McGowan, Gail, dan Smith
dalam Jurnal Harpodon Borneo Vol 4 No 2 Oktober 2011, tempat kediaman yang lebih
disukai Trochus niloticus adalah pantai dengan karang yang terekspose.
Distribusi alami dari Trochus niloticus dari perairan Hindia dan kepulauan
Andaman sampai kepulauan Fiji Walis. Di perairan Indonesia timur khususnya Maluku,

Manfaat
Cangkang Trochus sp. merupakan bagian yang memiliki nilai ekonomis paling
tinggi yaitu sebagai bahan untuk membuat kancing pakaian, perhiasan, keramik,
ornamen, kosmetik dan cat metalik, yang dipasarkan ke Asia, Eropa dan Amerika.5
Cangkang Trochus terutama dipoles dan dipotong dalam berbagai ukuran dan
digunakan dalam industri kerajinan cangkang. Kerang Trochus juga digunakan dalam
persiapan ornamen seperti anting-anting, liontin, kalung dan barang-barang rumah
tangga seperti lampu meja, asbak, dudukan agarbatti, hiasan pintu dll. Ini juga
digunakan dalam industri kapur, aditif pakan unggas dan kapur halus yang diperoleh
dari cangkang yang digunakan dalam glasir tembikar, pasta gigi dll. Penggunaan plastik
yang luas.6
Selain itu, Menurut Subhan dalam penelitiannya tentang analisis kadar protein
pada daging lola (Trochus niloticus. L.) basah dan kering menunjukkan bahwa daging
Lola (Trochus niloticus) memiliki kandungan protein tinggi dan dapat dikonsumsi
untuk memenuhi kebutuhan gizi dari masyarakat, apalagi sebagian besar masyarakat
Maluku tinggal di daerah pesisir pantai.7

5.2 Turbinidae sp.


Klasifikasi:
Kingdom: Animalia
Filum: Mollusca
Kelas: Gastropoda
Subkelas: Vetigastroppda

5
Ibid, hal. 12-13.
6
Ramakrishna, C.Raghunathan dan C. Sivaperuman, op. cit., hal. 4.
7
Subhan, op. cit., hal. 165.

24
Ordo: Trochida
Superfamili: Trochoidea
Famili: Turbinidae

Morfologi

Famili Turbinidae, adalah famili besar dengan cangkang yang besar dan bulat.
Cangkang ini berbentuk kerucut spiral (conispiral), tebal antara 20-200 mm. gastropoda
ini memiliki organ operculum yang kemungkinan ada hubungan evolusi dengan
cangkang.8 Gastropoda ini memiliki operculum yang kuat dan berkapur yang
membedakan mereka dari famili siput lain. Operculum in mempunyai macam-macam
warna seperti hitam, hijau gelap, putih, atau kecoklatan.9 Operculum ini berguna untuk
melindungi diri dari musuh yang mau memangsa mereka melalui bibir luar. Turbinidae
seperti gastropoda lain bagian dalam cangkangnya lunak , berjalan dengan perut
(gaster). Gerakan gastropoda disebabkan oleh adanya kontraksi-kontraksi otot seperti
gelombang dimulai dari belakang menjalar ke depan.

Lunella atau bisa juga disebut siput turbo memiliki ukuran cangkang yang
bervariasi antara 35 mm sampai 70 mm. Memiliki cangkang yang imperforat, padat dan
berbentuk helicioform. Ditutupi dengan kutikula kehitaman yang kuat, dibawanya
berwarna hijau.bibir luarnya tipis dan berwarna hitam. Nama lain untuk spesies ini
adalah “mata kucing” karena memiliki bentuk dan warna seperti mata kucing.

8
Eue Yanu Arbi, Operkulum: Bagian Kunci Untuk Identifikasi Gastropoda Yang sering Terabaikan,
Oseana Volume XXXVIII, Nomor 1, 2013, hlm 2
9
Andy Saleky dkk, Length-Weight Relationship and population Genetic of Two Marine Gastrophods
Species ( Turbo spaverius and Turbo bruneus) in The Bird Seascape Papua, Indonesia.Biodiversitas, Vol. 17.
Number 1, 2016 hlm. 208

25
Gambar 3. Turbinidae

Habitat

Turbinidae hidup di perairan yang tenang dan dangkal dan zona intertidal. Zona
intertidal atau zona pasang surut adalah bagian tepi pantai yang tergenang air pada
waktu air pasang, namun kering ketika air surut10. dan sering ditemukan pada celah-
celah batu atau karang yang datar. Siput ini ditemukan bersembunyi dari pemangsa
dengan menempelkan badannya pada sela-sela karang pada lobang batu tersebut.

Menurut penelitian dari Walsby, Lunella memiliki kepadatan tertinggi pada


daerah yang terlindungi yaitu di perairan di dekat pantai dan pantai yang semi terbuka
dimana terdapat banyak padang lamun yang dominan. Lunella hidup di sekitar koral.
Lunella kebanyakan hidup di air yang tenang.11 Lunella kebanyakan ditemukan di
celah-celah koral dan batuan yang banyak alganya yang menempel pada lamun.

Siput ini dijumpai pada perairan indo-pacific termasuk perairan samudra hindia
(kenya, seychelles, chagos, andaman dan kepulauan nicobar), asia tenggara (malaysia,
indonesia, thailand, philipina) dan kepulauan fiji dan pasifik selatan. Di pasifik barat,
siput ini dijumpai di perairan pesisir kepulauan ryukyu jepang, perairan melanesia utara
hingga selatan new caledonia.

Gambar 4. Persebaran habitat

10
Okto Supratman dkk, Kelimpahan dan Keanekaragaman Gastropoda Pada Zona Intertidal di Pulau
Bangka Bagian Timur, Jurnal Enggano. Vol 3. No. 1, 2018, hlm 11

11
John R. Walsby, Population Variations in the Grazing Turbinid Lunella Smaragda ( Mollusca: Gastropoda),
New Zealand Journal of Marine and Freshwater Research, Taylor & Francis, 1977, hlm 213

26
Perkembang biakan dan perkembangan

Siput ini merupakan hewan berumah dua yang pembuahannya dilakukan oleh
jantan dan betina. Pematangan sperma pada siput jantan berbeda tergantung musim.
Musim tertinggi terjadi pada bulan-bulan pemijahan. Pada tahap sebelum masa
pemijahan produksi spermatosit matang lebih sedikit daripada sel spermatogonial.
Akan tetapi ketika musim pemijahan akan terjadi sebaliknya. Sel-sel oogonial pada
siput betina ditemukan melekat pada trabekula ovarium dan lapisan dalam gonad.
Pematangan oosit terjadi paling tinggi pada masa pemijahan. Perkembangan oosit
terjadi pada trabacule atau bagian dalam ovarium. Oosit yang berkembang ini memiliki
nukleus yang bening dengan ada bintik nukleolus. Pada tahapan selanjutnya ada
endapan kuning telur. Dan oosit yang baik umumnya dilapisi dengan lapisan jeli.12

Siput yang telah memasuki masa kawingakan melakukan fertilisasi. Fertilisasi


yang dilakukan adalah fertilisasi eksternal. Telur yang telah dibuahi akan mengalami
fase embriogenesis. Pembelahan sel tahap satu terjadi pada 45 menit setelah terjadi
fertilisasi. Pembelahan menjadi empat sel terjadi setelah 15 menit kemudian.
Pembelahan delapan sel terjadi setelah 30 menit berikutnya. Stadium granula mencapai
pada waktu 1 jam setelah stadium multisel. Stadium trochopore terjadi dalam waktu
yang lama daripada tahap sebelumnya yaitu 5 jam setelah gastrula. Trocophore
bergerak aktif untuk keluar dari cangkang dan menjadi veliger 3 jam kemudian.13

Pada masa menjadi veliger ini larva siput sudah bisa makan fitoplankton.
Kemudian setelah tumbuh dan berkembang hingga bobot tubuhnya sudah berat dan
tidak mampu lagi untuk berenang bebas. Pada tahap ini siput sudah mengendap dan
mulai tumbuh cangkang. Cangkang itu sangat tipis dan transparan dan sangat rapuh.
Pada tahap ini siput rentan terhadap serangan predator. Jenis predator utama yang sering
menyerang adalah kopepoda dan cacing. Perkembangan selanjutnya adalah cangkang
yang semakin kuat dengan terbentuknya bakal cangkang. Pertumbuhan terus bertambah
dengan cangkang yang semakin keras.

Manfaat

12
R. Ramesh dkk, Annual Cycle of Reproduction in Turbo Brunneus, From Tuticorin South East Coast of
India, world Journal of Fish and Marine Sciences, 2 (1) : 14-20, 2010 hlm 15-16
13
Dwi E.D Setyono dkk, Pemijahan Siput Mata Bulan (Turbo chrystomus Linnaeus, 1758). Oseana

27
Turbinidae memiliki manfaat contoh seperti Turbo Chrysostomus atau siput
mata bulan (Ambon), matan terata (lombok) dan siput usel (pacitan dan gunung kidul).
Siput ini termasuk dalam komoditas konsumsi karena nilai proteinnya yang tinggi. Hal
ini dibuktikan dengan digunakannya siput ini sebagai makanan di beberapa wilayah di
Indonesia seperti di pesisir selatan jawa, madura, NTB, Maluku. Selain itu siput ini juga
ditangkap karena cangkangnya digunakan sebagai souvenir.

5.3 Ophioderma brevispinum


Klasifikasi dan Morfologi Ophioderma brevispinum

Kingdom : Animalia

Phylum : Echinodermata

Class : Ophiuroidea

Order : Ophiurida

Family : Ophiodermatidae

Genus : Ophioderma

Spesies : Ophioderma brevispinum

Ophioderma brevispinum dapat ditemukan di terumbu karang, lamun, puing


karang dan di bawah batu dan biasanya ditemukan bersama dengan genera air dangkal
lainnya, seperti Ophiocoma, Ophiothrix, Ophiolepis dan Ophiactis. Ophiocoma

28
brevipes ditemukan dibalik batu dan memiliki warna yang mirip dengan warna pasir
(kamuflase). Spesies O. brevipes yang ditemukan di wilayah Phuket (Thailand) di
perairan tenang dan terlindung dari gelombang air laut.14 Spesies ini memiliki ukuran
yang kecil dan tubuh yang lunak sehingga aktivitas bersembunyi dibalik batu
merupakan strategi untuk berlindung dari predator.15 Ophiocoma brevipes ini mampu
hidup di perairan tenang dan perairan dengan gelombang tinggi dengan cara berlindung
dibalik batu. Distribusi batimetri genus meluas dari air dangkal hingga 50 m dan
terbatas pada laut tropis dan sedang. Karakter yang digunakan untuk memisahkan
spesies adalah bentuk butiran cakram, ukuran cakram, panjang lengan, bentuk dan
tingkat fragmentasi pelat lengan dorsal, jumlah duri lengan dan warna. Pada umunya
hampir semua spesies bintang ular memiliki kenampakan morfologi anatomi serta
fisiologi yang sama, karena itu sering terjadi kesamaan antara spesies satu dengan yang
lain.
Ophiuroidea memiliki alur ambulakaral di bawah lengan dan tertutup
sepenuhnya oleh bagian kerangka keras (piringan lateral dan ventral); Ophiuroidea
tidak mempunyai anus dan madreporit pada bagian mulut skeletonnya (salah satu
keping oral) yang menghubungkan sistem vaskular air (kadang melalui satu atau lebih
hidrophora) dengan air laut sekelilingnya,. Pembukaan mulut Ophiuroidea ditutupi oleh
beberapa rahang yang sesuai dengan jumlah lengan. Kaki tabung Ophiuroidea tidak
memiliki lengkungan penghisap dan jarang digunakan untuk pergerakan. Sebaliknya,
Ophiuroidea bergerak dengan memutar dan menggulung lengannya, mendorong ke
permukaan seperti ular atau mencengkram dan mendorong diri ke depan. Ophiuroidea
mudah terpotong (autotomi lengan) ketika tertekan. Sifat jaringan kolagen yang dapat
berubah ini ditemukan pada semua Echinodermata.16 Pada Ophiuroidea tidak
ditemukan mata, tetapi keping lengan berfungsi sebagai microlensa calcitic di atas
jaringan peka cahaya yang teridentifikasi pada beberapa spesies fototaksis genus
Ophicoma.17

14
Bussarawit, S.; Rowe, F. W. E., A new species in the Ophiocomid genus Ophiocoma (Echinodermata:
Ophiuroidea) from the west coast of Thailand, Andaman Sea. Phuket mar. Biol. Center Res. Bull. 1985, 35, 1-6
15
Olbers, J., & Samyn, Y., The Ophiocoma species (Ophiurida: Ophiocomidae) of South Africa. Western
Indian Ocean Journal of Marine Science, 2012, 10, 137-154
16
Stohr. S,. O’Hara, T.D., dan Thuy, B., Global Diversity of Brittle Stars (Echinodermata: Ophiuroidea).
PLoS ONE 7(3): e31940. doi:10.1371/journal.pone.0031940 (2012)
17
Aizenberg, J., Tkachenko, A., Weiner, S., Addadi, L., dan Hendler, G, Calcitic Microlenses As Part Of
The Photoreceptor System In Brittlestars. Journal Nature, Vol. 412, 2001, Hal.:819–822.

29
Deskripsi Kelas Ophiuroidea
Kelas Ophiuroidea terdiri atas dua ordo, 16 famili, 276 genus, dan diperkirakan
terdapat sekitar 1600 spesies Ophiuroidea yang telah teridentifikasi. Perairan Indonesia
dan Filipina memiliki 451 jenis Ophiuroidea yang termasuk kedalam 135 genus, dengan
batasan batimetrik antara 0 meter sampai dengan 4000 meter. Ophiuroidea atau bintang
mengular merupakan kelompok biota laut yang termasuk ke dalam filum
Echinodermata. Hewan ini merupakan salah satu biota bentik (hidup di dasar) dan
mempunyai kebiasaan bersembunyi. Ophiuroidea pada umumnya bersifat fototaksis
negatif sehingga hidup bersembunyi merupakan upaya untuk menghindari intensitas
cahaya yang kuat dan sebagai upaya perlindungan dari serangan biota predator.18
Jenis kelamin Ophiuroidea terpisah, fertilisasi eksternal dan mengalami tahap
larva yang disebut pluteus. Hewan ini juga dapat melakukan regenerasi pada lengannya.
Beberapa spesies Ophiuroidea merupakan hewan pemakan suspensi, dan yang lain
adalah predator atau pemakan bangkai (Kastawi, 2003).
Ophiuroidea telah beradaptasi pada banyak variasi cara hidup. Ophiuroidea
yang hidup di daerah tropis pada umumnya hidup pada peraiaran dengan suhu antara
27 – 30 ⁰C (Nybakken, 1992). Mayoritas Ophiuroidea adalah penghuni bawah dasar
laut, terkubur dalam lumpur, bersembunyi dalam celah dan lubang pada batu atau
karang. Ophiuroidea mempunyai kemampuan untuk menghindar dari kondisi buruk
yaitu dengan gesitnya segera masuk ke dalam sela-sela karang dan batu sehingga
terhindar dari suhu yang tinggi.19
Ophiuroidea mempunyai bentuk tubuh simetri pentaradial. Tubuh berbentuk
cakram, yang dilindungi oleh cangkang kapur berbentuk keping (ossicle) dan dilapisi
dengan granula dan duri-duri. Di dalam tubuh (disk) terdapat berbagai organ seperti
gonad, saluran pencernaan dan sistem pembuluh air. Tubuh berbentuk cakram radial
dengan lima atau lebih tangan-tangan yang memanjang berbentuk silindris dan sangat
fleksibel. Gerakan tangan-tangan ini kadangkadang mirip gerakan ular, oleh sebab itu
biota ini dikenal dengan nama umum bintang mengular. Sebagian besar Ophiuroidea
memiliki ukuran seragam dengan diameter cakram antara 3 mm dan 50 mm. Panjang

18
Kissling, D dan Taylor, G., Habitat Factors For Reef Dwelling Ophiuroids In The Florida Keys. Coral
Reef Symp, Vol 1. University Of Miami, Miami, Fla., (1977), Hal. 225–231
19
Nugroho, W., Ruswahyuni, dan Suryanti, Kelimpahan Bintang Mengular (Ophiuroidea) Di Perairan
Pantai Sundak Dan Pantai Kukup Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Diponegoro Journal Of Maquares,
Volume 3,
Nomor 4, Tahun 2014, Hal. 51-57.

30
lengan biasanya diukur berdasarkan hubungannya dengan diameter cakram dan
bervariasi mulai 2-3 kali lipat diameter cakram sampai 20 kali atau lebih.

Sistematika
Kelompok bintang mengular termasuk kedalam filum echinodermata, kelas
Stelleroidea, anak kelas Ophiuroidea. Ophiuroidea, terdiri atas 3 bangsa (ordo), 16 suku
(family), dan 276 marga (genus). Pada saat ini diperkirakan terdapat sekitar 1600 jenis
(species) bintang mengular. Bintang mengular ini ditemui pada semua laut dan lautan
dengan batas kedalaman antara 0 meter sampai 6720 meter.20 Pada umumnya biota ini
hidup mengelompok (agregasi) pada dasar laut, terutama pada dasar perairan yang
terdiri dari lumpur atau campuran lumpur dan pasir. Untuk perairan Indonesia dan
Filipina biota ini diwakili oleh 451 jenis yang termasuk kedalam 135 marga, dengan
batasan batimetrik antara 0 meter sampai dengan 4000 meter.21

Habitat dan Sebaran


Bintang mengular dapat menempati ekosistem terumbu karang, atau hidup
bebas
di dasar perairan lepas pantai. Di daerah ekosistem terumbu karang biota ini menempati
berbagai habitat seperti karang hidup, karang mati, pecahan karang, dan daerah lamun.
Biota ini mempunyai sifat fototaksis negatif dan cenderung hidup bersembunyi di
daerah
penyebarannya. Suku yang dominan di daerah terumbu karang adalah Ophiocomidae,
Ophiothricidae, Ophiolepididae, Ophiodermatidae, Ophionereidae, Ophiomyxidae.
Sedangkan di daerah lereng terumbu bagian luar (outer reef slope), ditempati oleh suku
Gorgonocephalidae dan Euryalidae.
Pada perairan lepas pantai kelompok bintang mengular hidup mengelompok
pada
dasar perairan, biota ini dapat menempati dasar berlumpur, berpasir, atau campuran
lumpur dan pasir. Suku yang menonjol pada perairan lepas pantai ini adalah
Amphiuridae, Ophiuridae, Ophiochitonidae, Ophiothricidae, Gorgonocephalidae, dan
Euryalidae. Ada kecenderungan suku tertentu berdominasi pada macam dasar tertentu,

20
MARSHALL, N.B. Developments in Deep-Sea Biology (London: Blanford Press, 1979), Hal. 566
21
GUILLE, A., Les Ophiurides des marges continentales de la region Philippines, — Indonesie
distribution bathymetrique et etagement. Coll. Europ. Echino. 1979, Brussels: 97 - 105

31
seperti suku Ophiothricidae menyukai dasar keras dengan campuran pasir dan gravel,
suku Amphiuridae, Ophiuridae dan Ophiocomidae lebih menyukai dasar lunak yang
berupa campuran lumpur dan pasir halus.

Cara Makan dan Macam Makanan


Sistem pencernaan Ophiuroidea tersusun atas esofagus pendek dan perut seperti
kantung dengan epithel bersilia.22 Ophiuroidea tidak memiliki anus sehingga tidak
sempurna dalam mengekstrak nutrisi dari lumpur yang dicerna. Ophiuroidea
menunjukkan variasi yang luas terhadap jenis-jenis makanan, seperti pemakan suspensi
(suspension feeding), pemakan deposit (deposit feeding), pemakan sisa (scavenger) dan
predasi. Ophiuroidea memiliki berbagai macam cara makan agar dapat lebih memilih
asupan nutrisi. Pada dasarnya Ophiuroidea dikelompokkan menjadi pemakan biota
(karnivora) dan pemakan partikel-partikel kecil (mikrofagus). Kelompok pertama
(karnivora), biasanya mempunyai tangan-tangan berduri pendek, kaki tabung yang
bertugas memindahkan mangsa yang tertangkap ke arah mulut. Contoh kelompok
pertama (karnivora) adalah suku Ophiomyxidae, Ophiodermatidae, dan Ophiuridae.
Kelompok kedua (mikrofagus) merupakan kelompok yang paling umum. Cara
pengambilan makanannya dengan mengambil langsung partikel-partikel kecil dari
substrat (surface deposit feeder), atau mengambil partikel-partikel dari massa air (filter
feeder). Pada kelompok kedua ini tangan-tangan relatif lebih panjang dan dilengkapi
pula dengan duri-duri yang lebih panjang. Untuk menangkap partikel-partikel kecil
selain kaki tabung, juga dibantu oleh mukus yang terdapat di sepanjang alur makanan
di sisi ventral dari tangan-tangannya. Contoh Ophiuroidea dari kelompok mikrofagus
ini adalah suku Ophiocomidae, Ophiactidae, Amphiuridae, dan Ophiothricidae. Tidak
terlihat batasan yang tajam untuk kedua kelompok ini. Di alam seringkali ditemukan
kelompok yang merupakan kombinasi dari kedua cara makan tersebut.23 Cara makan
dan macam makanan dari berbagai jenis Ophiuroidea dapat dilihat pada (Tabel 1)

Beberapa spesies mungkin menggunakan lebih dari satu strategi makan.


Perbedaan adaptasi perilaku dan morfologi menentukan strategi makan primer,
walaupun beberapa spesies lebih umum menggunakan cara menangkap mangsa

22
Hyman, L.H., The Invertebrates: Echinodermata, (New York, Toronto, London: McGraw-Hill, 1955)
23
Aziz, A., Beberapa Catatan Tentang Bintang Mengular (Ophiuroidea) Sebagai Biota Bentik. Oseana,
Volume Xvi, Nomor 1 ; 13 - 22 Issn 0216-1877 (1991)

32
alternatif.24 Beberapa spesies karnivora seperti Ophiura ophiura Linnaeus makan
dengan berburu hewan epibentik, Ophiura albida Forbes dan Ophiura sarsii
Lutken,memangsa hewan infauna, memakan bangkai atau makan dari materi organik
dasar laut.25 Ophionereis reticulate adalah omnivora, mengkonsumsi tanaman (alga)
dan materi hewan (polychaeta), begitu juga dengan sedimen, mungkin juga memakan
bangkai atau deposit.26 Amphiurid biasanya tinggal dalam liang, memanjangkan
beberapa lengannya ke atas permukaan sedimen, mengumpulkan makanan dari dinding
liang, permukaan sedimen dan kolom air dengan kaki tabungnya,27 teteapi isi perut
Amphipolis squamata mengandung partikel halus sesuai dengan kisaran luas potongan
hewan dan tanaman yang menunjukkan kebiasaan omnivora.28

Daur Hidup
Bintang mengular mempunyai kelamin terpisah. Hewan jantan dan hewan
betina
masing-masing melepaskan telur dan sperma ke massa air di sekitarnya pada musim
memijah. Fertilisasi terjadi di air laut. Telur yang telah dibuahi akan tumbuh jadi
zygote,
kemudian tumbuh menjadi larva yang disebut ophiopluteus. Larva ophiopluteus ini
hidup bebas sebagai plankton, dan kelak akan mengalami metamorfose dan akan
menjelma menjadi "juvenile" (biota muda) yang bersifat bentonik. Lamanya masa
larva,
tergantung kepada jenis. letak geografis, dan kondisi lingkungan. Dua faktor abiotik
seperti salinitas dan suhu mempunyai pengaruh langsung terhadap lamanya masa larva
dan fase embryonik.29 Secara umum kondisi di bawah atau di atas persyaratan optimal

24
Oak, T. dan Scheibling, R.E., Tidal Activity Pattern And Feeding Behaviour Of The Ophiuroid
Ophiocoma Scolopendrina On A Kenyan Reef Flat. Coral Reefs. DOI 10.1007/s00338-006-0089-6, (2005)
25
Boos, K., Gutow, L., Mundry, R., dan Franke, H.D., Sediment Preference And Burrowing Behaviour In
The Sympatric Brittlestars Ophiura albida Forbes, 1839 and Ophiura ophiura (Linnaeus, 1758) (Ophiuroidea,
Echinodermata). Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 393, (2010), Hal. 176–181.
26
Yokoyama, L.Q., dan Amaral, A.C.Z., The Diet Of Ophionereis Reticulata (Echinodermata:
Ophiuroidea) In Southeastern Brazil. Revista Brasileira de Zoologia 25, (2008), Hal. 576–578.
27
Woodley, J. D., The Behaviour Of Some Amphiurid Brittle Stars. Journal of Experimental Marine
Biology and Ecology 18, (1975), Hal. 29–46.
28
Jones, M. B. dan Smaldon, G., Aspects Of The Biology Of A Population Of The Cosmopolitan
Brittlestar Amphipholis Squamata (Echinodermata) From The Firth Of Forth, Scotland. Journal of Natural
History 23: (1989), Hal. 613–625
29
HENDLER, G, Adaptational significance of the patterns of Ophiuroid development. Amer. Zool.,
1975, 15 : 691 — 718.

33
dari salinitas dan suhu dapat menghambat atau memperpanjang fase embryonik dan
masa larva.
Ophiuroidea yaitu fase blastula untuk berbagai jenis bintang mengular, berkisar
antara 6 jam sampai 36 jam, fase gastrula berkisar antara 1 hari sampai 2 hari, fase larva
berkisar antara 5 hari sampai 42 hari, dan fase metamorfose berkisar antara 8 hari
sampai 40 hari. Secara umum pola perkembangan biakkan seksual dari bintang
mengular dapat dibedakan atas 3 tipe, yaitu planktotroflk, lecithotroflk, dan
"abbreviated development". Planktotrofik adalah tipe yang dikenal paling umum,
ditandai oleh adanya fase larva yang hidup aktif sebagai plankton (ophiopluteus larva).
Lecithotroflk adalah tipe pertumbuhan env briyonik di mana fase larva yang hidup
bebas absen. Dalam hal ini semua fase yang dilewati berlangsung di dalam dinding telur
dan memakan waktu cukup lama (sampai berbulan-bulan). Fase metamorfose juga
terjadi di dalam telur tersebut, sehingga sewaktu menetas telah terwujud individu
dewasa (juvenile). Tipe ini diduga sebagai salah satu adaptasi untuk menghindari
kondisi lingkungan yang buruk. Sedangkan tipe ketiga yang disebut "abbreviated
development", mirip dengan tipe lecithotroflk tetapi fase embryonik dalam telur
berlangsung relatif sangat cepat. Tipe ketiga ini diduga kebanyakkan dimiliki oleh
bintang mengular yang hidup di tempat dalam dan hidup pada perairan dingin (dekat
kutub).30 Sebagai contohnya bintang mengular jenis Amphioplus abditus hanya melalui
fase embryonik dalam telur selama 4 hari, segera setelah menetas berwujud biota
dewasa yang mampu mencari makan dan menyelusup ke dalam lumpur. Bintang
mengular dengan tipe pertumbuhan embryonik planktotroflk mempunyai telur
berukuran kecil (kurang dari 0,1 mm), sedangkan bintang mengular dari tipe
lecithotroflk
mempunyai telur berukuran relatif lebih besar, yaitu antara 0,2 mm sampai 0,35 mm.
Pada umumnya bintang mengular memijah pada musim panas di daerah ugahari dan
sepanjang tahun untuk daerah tropis, tetapi beberapa pengamatan di daerah Panama
menunjukkan bahwa pengaruh musim ini tidak begitu jelas. Musim memijah tidak
menunjukkan hubungan yang jelas dengan musim.31 Bintang mengular jenis
Ophiarthrum pictum yang hidup di perairan Palau memijah di malam hari.

30
HENDLER, G., Development of Amphioplus abditus (VERRILL) (Echinodermata : Ophiuroidea) : Larval
biology. Biol. Bull. 1977, 152 : 51 - 63
31
SINGLETARY, R.L., The Biology andEcology of Amphioplus cornioto-des, Ophionepthys limicola, and
Micro-pholis gracillima (Ophiuroidea : Amphiu-ridea). Carib. J. Set 16 (1 - 4), (1980.), Hal. 39 - 55.

34
Selain reproduksi seksual, bintang mengular juga mengenal reproduksi
aseksual, yaitu individu yang terpotong dua pada bagian cakramnya akan tumbuh
menjadi
2 individu baru. Selanjutnya juga dilaporkan bahwa perkembangbiakkan aseksual ini
sering terjadi pada perairan yang persediaan makanannya sangat kurang. 32

Toleransi Terhadap Suhu dan Salinitas


Bintang mengular yang hidup di daerah tropis pada umumnya hidup pada
perairan dengan suhu yang berkisar antara 27°C sampai 30°, namun daya tahan
terhadap
suhu ini bergantung kepada kedudukan geografis dan faktor kedalaman. Misalnya jenis
Ophiacantha vivipara yang hidup di daerah Antartik mempunyai batasan toleransi
.antara -2°C sampai 8°C.33 Berbagai jenis bintang mengular dari suku Amphiuridae,
Ophiothricidae, Ophicomidae dan Ophinereidae mempunyai ambang batas suhu
maksimal yang mematikan (lethal temperature) antara 37,5°C sampai 4O,5°C.
Sedangkan ambang batas minimal berada sekitar 10°C. Penurunan suhu di bawah 10°C
menyebabkan biota tersebut akan mengalami kematian dalam waktu 7 jam sampai 16
jam. Bintang mengular jenis Amphioplus abditus akan mengalami perlambatan
pertumbuhan fase ernbriyo-nik selama 72 jam apabila suhu diturunkan dari 21°C
sampai dengan 16°C. Jenis Amphioplus abditus mempunyai daya toleransi terhadap
salinitas antara 20°/oo. sampai 40°/oo., diperkirakan salinitas optimal selama fase
embryonik berkisar antara 25°/oo. sampai 30°/oo., pada salinitas 25°/oo. sampai
40°/oo. Pertumbuhan tidak terganggu, tapi pada penurunan salinitas sampai dengan
20°/oo. embriyo tersebut membengkak dan pada penurunan dibawah 15°/oo. akan
menyebabkan kematian. Sedangkan untuk hewan dewasa penurunan salinitas dibawah
5°/oo. Atau penaikan salinitas diatas 50°/oo. Akan menyebabkan kematian kurang dari
36 jam.
Pada umumnya bintang mengular mempunyai batasan toleransi terhadap
salinitas pada air laut normal. Namun terdapat jenis-jenis tertentu dengan batas toleransi
relatif rendah, seperti jenis Ophiophragmus filograneus yang hidup di perairan sekitar

32
EMSON, R.H. and I.C. WILKIE, An apparent instance of recruitment following sexual reproduction in
the flssiparous brittlestar Ophiactis savignyi Muller & Troschel. /. Exp. Mar. Biol. Ecol. 11, (1984), Hal. 23 - 28.
33
FELL, H.B., The ecology of ophiuroids. In : Treatise on Invertebrate Paeontology (MOORE R.C. ed.)
Part U, Echinodermata 3(1). Univ. Kansas Press, Kansas: U214 - U220, (1966)

35
Florida dapat bertahan pada salinitas sekitar 7,7°/oo. dan bintang mengular jenis
Ophiura albida yang hidup di laut Baltik dapat hidup pada salinitas sekitar 10°/oo.
Peranan di Lingkungan Bentik
Seperti telah disinggung pada pembicaraan terdahulu salah satu anggota bintang
mengular ini, yaitu jenis Asteronyx loveni bisa dipakai sebagai indikator arus.34 Peranan
lain dari biota ini adalah merupakan sumber makanan bagi biota lainnya, seperti ikan
demersal, kepiting dan bintang laut. Berbagai jenis kepiting yang hidup di daerah lepas
pantai ataupun di terumbu karang menjadikan hewan ini sebagai mangsanya . Hewan
pemangsa yang paling penting untuk kelompok bintang mengular ini adalah kelompok
ikan demersal, seperti ikan"haddock" marga Gadus, ikan sebelah, dan banyak ikan
lainnya. Ikan suku Gadidae dengan ukuran panjang TL 55 cm sampai 60 cm yang
tertangkap disekitar Dimon Island, Atlantik, ternyata bintang mengular jenis
Ophiopholis sp. merupakan 95% isi lambungnya.35 Sedangkan dari hasil analisis isi
lambung ikan sebelah marga Hippoglosus yang hidup di perairan Norwegia,
menunjukkan bahwa 50% dari isi lambung ikan tersebut terdiri dari bintang mengular
jenis Ophiura albida (LANDEL 1976). Menurut WARNER (1971), dari analisis isi
lambung ikan sebelah dari perairan Inggris ternyata bintang mengular marga Ophiotrix
fragilis merupakan 39% dari isi lambungnya. ARONSON (1988), yang meneliti macam
makanan ikan jenis Halichoeres bivittatus (Labridae) dan ikan Sparisoma sp .
(Scaridae). Ikan-ikan ini diuji kesukaannya dengan berbagai jenis bintang mengular.
Penelitian ini dilakukan di perairan Rod Bay, Karibia, ternyata bahwa jenis bintang
mengular yang paling disukai adalah Ophiocoma pumilla, kemudian berturut-turut
pilihan jatuh kepada jenis Ophiocoma echinata, Ophiolepis impressa, Ophioderma
appressum dan Ophiotrix oerstedi. Kedua jenis bintang mengular yang disebut paling
belakangan tidak atau kurang disukai oleh ikan, karena mempunyai tekstur kapur yang
lebih kompak dan mempunyai duri-duri yang lebih panjang. SHIRLEY (1982), dalam
menganalisa isi lambung ikan-ikan karang di Pulaupulau Padre, Amerika mendapatkan
sekitar 8 jenis ikan karang dari toal 31 jenis ikan yang ada memperlihatkan
ekhinodermata (terutama kelompok bintang mengular marga Ophiactis dan Ophiotrix)
sebagai makanannya (merupakan 9% sampai 33% isi lambung).

34
FUJITA, T. and S. OHTA, Photographic observations of the life style of a deep— sea ophiuroid
Astronyx loveni (Echinodermata).. Deep-Sea Res. 35 (12, (1988), Hal. 2029-2043.
35
JONES, R., The rate of elimination of food from the stomach of haddock Melanogrammus aeglefinus,
cod, Gadus morhua and whiting Merlangius merlangus. J. Cons. Int. Explor. Mer. t 35 (3), (1974), Hal. 225 - 243.

36
5.4 Bulu Babi T. gratilla
Klasifikasi
Menurut Clark dan Rowe (1971), David dan George (1979), klasifikasi bulu
babi jenis T. gratiila adalah:

Filum : Echinodermata

Kelas : Echinoidea

Ordo : Temnopleuroida

Famili : Toxopneustidae

Genus : Tripneustes

Spesies : Tripneustes gratilla Linnaeus 1758

Morfologi

Gambar 8. Morfologi Tripneustes gratilla (Sumber: Noar Muda satyawan, 2014)

T. gratilla merupakan salah satu jenis bulu babi yang merupakan struktur
cangkang beraturan dan berbentuk membulat. Struktur cangkang ini merupakan
struktur yang melindungi organ bagian dalam, dilengkapi dengan spina yang dapat
digerak-gerakkan dan tanpa lengan (arms). Bulu babi ini memiliki bentuk tubuh bulat
pipih dengan diameter tubuh 6,2-7,1 cm dan tinggi tubuh 4,3-5,4 cm. Duri-duri primer
panjang dengan ukuran yang relatif sama diseluruh bagian cangkang, sedangkan duri
sekunder jarang.36

Pada umumnya T. gratilla memiliki warna yang khas bila dibandingkan dengan
bulu babi yang lainnya. Pada sisi abilakralnya berwarna putih dan hitam, dan yang
lainnya kadang berwarna kemerahan atau kehijauan. Podia yang menjulur keluar
biasanya berwarna putih. Tripneustes gratilla memperlihatkan bentuk umum cangkang
yang beraturan. Lempengan yang membentuk cangkang tersebut adalah ambulacrum
dan interambulakrum. Daerah antara ambulakrum disebut daderah interambulakrum,

36
Moh Reza Sese dkk, Keanekaragaman Echinodermata (Echinoidea dan Holothuroidea) di Pulau
Bakalan, Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, Indonesia, Scripta Biologica , Vol. 5 No. 2, 2018 , hlm. 75.

37
lebar dan tak mempunyai kaki. Pada keping-keping terdapat rangkaian tentakel yang
membulat, terdapat spina, yag terdiri atas kristal CaCO3, mempunyai dasar seperti
mangkuk dan di antara spina terdapat pedikelaria yang bercabang tiga.
Bentuk cangkang yang membulat menempatkan posisi mulut pada salah satu
ujung badan bagian bawah (sisi oral) dan posisi anus pada ujung yang berlawanan (sisi
aboral). Hewan ini bergerak pindah pada posisi mulut. Hewan ini tidak memiliki bagian
depan (anterior), dan dapat bergerak pindah ke semua arah tanpa memutar atau
membalikan tubuhnya. Meskipun dengan pergerkan yang lambat hewan ini dapat
dengan mudah memanjat permukaan yang vertikal karena mempunyai kaki tabung
(podia) yang ukurannya lebih panjang dari spinanya.37
Habitat
Padang lamun merupakan salah satu habitat yang penting di perairan danagkal.
Selain berperan sebagai produsen, penangkap sedimen, pendaur zat hara, padang lamun
juga berperan sebagai habitat biota laut lainnya. Bulu babi sebagai salah satu penghuni
padang lamun, kerap kali ditemukan di daerah padang lamun campuran. T. Gratilla
adalah salah satu jenis bulu babi yang hidup di padang lamun campuran. Kondisi ini
terutama disebabkan karena hewan ini bergantung kepada berbagai jenis tumbuhan
lamun. Selain itu hewan ini juga menyukai substrat yang agak keras, dengan substrat
padang lamun campuran terutama yang terdiri atas pasir dan pecahan karang.
Disamping dijumpai pada daerah lamun campuran juga ditemukan di daerah
pertumbuhan alga. Hal ini disebabkan karena disamping memakan daun lamun mereka
juga memakan alga. Di padang lamun bulu babi dapat tumbuh soliter atau
mengelompok, tergantung pada jenis dan habitatnya. Bulu babi T. Gratilla seringkali
terlihat hidup mengelompok pada suatu habitat lamun dengan tingkat kepadatan
tertentu.38
Reproduksi
Umumnya bulu babi memiliki jenis kelamin yang terpisah yaitu kelamin jantan
dan betina. Pembiakan terjadi secara eksternal di dalam medium air laut. Telur yang
telah dibuahi akan berkembang menjadi larva pluteus yang selanjutnya mengalami
proses metamorfosis menjadi bentuk muda atau juvenil.
1. Telur atau Gonad Bulu Babi

37
Noar Muda Satyawan, Tesis: Dinamika Populasi Bulu Babi (Tripneustes Gratilla Linnaeus 1758) Di
Perairan Pantai Semerang, Lombok Timur, (Bogor: ITB, 2014), hlm. 4-5.
38
Ibid., hlm. 9.

38
Struktur gonad bulu babi menempel pada lapisan "perisvisceral epithelium
lempeng interambulakral" yang mengisi lebih dari separuh rongga badan pada sisi
apikal. Bila diperhatikan, organ gonad terlihat 13-15 pasangan percabangan "racemose"
pada sisi-sisi gonaduct. Percabangan tersebut disebut "acini", masing-masing berbentuk
Y (Y-Shaped). Tidak ada perbedaan penting struktur kasar antara gonad jantan dan
betina pada spesimen dengan ukuran diameter cangkang sampai 40 mm. Ovari yang
matang (mature) berwarna merah kecoklatan (raddish brown), testes matang berwarna
putih kekuningan. Kenampakan umum gonad bulu babi secara morfologi pada saat
menempel di bagian dalam cangkang bulu babi. Bulu babi jenis T. gratilla apabila
mencapai tingkat kematangan (TKG) matang awal mempunyai ukuran diameter
cangkang 60 mm - 70 mm dan berat 160 gr - 170 gr.
2. Pemijahan (Spawning)
Beberapa kelompok bulu babi yang telah matang gonad sebelum memijah biota
tersebut memiliki tanda khusus yaitu semacam signal untuk mendorong pelepasan telur
(proses pemijahan). Faktor pisik air sangat berpengaruh terhadap potensial pemijahan
seperti kisaran suhu, salinitas/kadar garam, cahaya dan arus dan juga perubahan pisik
lingkungan seperti adanya pertambahan unsur hara dimana biota tersebut berada yang
banyak menyebabkan induk-induk bulu babi lebih cepat untuk memijah. Bulubabi
dapat memijah seperti biota laut lainnya, pada umumnya induk jantan mengeluarkan
sperma terlebih dulu baru kemudian diikuti oleh induk betina yang mengeluarkan telur.
Pembuahan terjadi di luar tubuh dimana induk jantan terlebih dahulu mengeluarkan
sperma yang berwarna putih susu, selang beberapa menit (biasanya 0,5 - 3 menit), biota
yang berkelamin betina mengeluarkan telur-telur yang berwarna kuning (apabila
telurnya matang) namun apabila telur yang tidak matang maka akan berwama putih dan
apabila diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran kuat maka telur yang belum
matang ini terbungkus oleh semacam albumin yang relatif tebal sehmgga mungkin
mengakibatkan telur sulit ditembusi oleh sperma.
3. Pembuahan (Fertilization)
Pembuahan. terjadi di luar tubuh dimana sperma yang berasal dari induk jantan
membuahi telur-telur yang berasal dari induk betina. Telur bulu babi dibungkus dengan
semacam gelatinous yang biasa disebut "jelly coat". Beberapa penulis menyatakan
bahwa pembuahan terjadi oleh molekul-molekul yaitu interaksi antara sperma dan telur.
"Jelly coat" sangat berpengaruh terhadap aktifitas sperma namun daya tembus sperma
cukup kuat. Selanjutnya dikatakan bahwa interaksi antara sperma bulu babi berkontak

39
dengan bagian luar telur dimana kepala sperma aktif bergerak mencari telur-telur,
beberapa sperma mampu melewati akrosom dan aktif menembus telur-telur. Telur yang
telah mengalami pembuahan dan beberapa buah telur yang sedang mengalami
pembelahan.
4. Embrio
Pada peristiwa pembuahan telur-telur bulu babi membelah dengan frekuensi
yang tinggi pada pembelahan dan pergerakan mengikuti formasi seperti umumnya biota
echinodermata lainya yang dibudidaya di air laut. Pembelahan pertama berlangsung
kurang lebih selama 60 menit untuk membelah menjadi 2 sel. Pembelahan 2 sel
membutuhkan waktu yang sama untuk mencapai pembelahan 4 sel. Setelah itu
pembelahan selanjutnya terjadi setiap 30 menit. Setelah mencapai tahap embrio terus
masuk pada fase morula dan embrio muda yang disebut blastula. 10 jam setelah
terbuahi sejak fase blastula, makaembrio tersebut mulai aktif berenang. Pembuahan
blastula yang mempunyai berkas "stereocilia" dan terdapat banyak silia mengelilingi
embrio. Walaupun konsentrasi suspensi sperma tinggi, maka ada satu sel sperma yang
menetrasi "jelly coat" dan permukaan telur akan ditembusi sperma secara spontan.
5. Anakan Bulu Babi
Bulu babi sudah dapat dikatakan telah menjadi anakan bila sudah terdapat
tentakel-tentakel (tentacles), duri-duri(spines) dan pediselaria (pedicelaria).
Pertambahan berat bulu babi lebih cepat dari pertambahan diameter. Dari hasil
pengamatan pengukuran di lapangan ternyata pertambahan diameter rata-rata harian
-1 -1
bulu babi 0,01 mm hari dan pertambahan berat rata-rata hariannya adalah 0,05 hari .
Secaraperhitungan matematis dapat ditemukan berapa lama seekor bulu babi untuk
dapat mencapai ukuran dewasa dengan asumsi bahwa bulu babi mempunyai
pertumbuhan yang sama sejak umur 0 hari.
6. Bulu Babi Dewasa
Bulu babi dewasa telah mempunyai organ tubuh yang lengkap mulai dari tubuh
bagian dalam sampai pada organ tubuh bagian luar semuanya telah tampak dengan
jelas. Namun bulu babi dapat dikatakan dewasa betul apabila bulu babi sudah dapat
dijadikan sebagai induk dan telah mencapai ukuran cangkang 60 mm. Selain itu bulu
babi dewasa mempunyai organ lengkap secara morfologi. Bulu babi dewasa telah
mempunyai kulit (cangkang) yang keras, jari-jari dan duri-duri(spine) yang sudah dapat
berfungsi dengan sempurna, misalnya jari-jari sudah dapat memegang pada substrat.

40
Struktur eksternal bulu babi beraturan, struktur internal dan struktur diagramatik kulit
dan jari-jari bulu babi.39
Manfaat
1. Komoditas Pangan
Bulu babi memiliki gonad yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan.
Gonad tersebut terdapat dalam cangkang bulu babi jantan dan betina dengan
ukuran panjang dapat mencapai 2 inci dan lebar satu inci. Di dalam gonad tersebut
terdapat sel-sel makanan. Sebagai bahan pangan, gonad memiliki kandungan gizi
yang baik. Gonad mengandung protein, lipid dan glikogen, juga kalsium, fosfor,
vitamin A, B, B2, B12, asam nikotinik, asam pantotenik, asam folik dan karotin
(Kato dan Schroeter, 1985). Dalam gonad bulu babi D. setosum ditemukan 5 asam
amino esensial bagi manusia dewasa (lisin, metionin, fenilalanin, treonin, dan
valin) dua asam amino esensial bagi anak-anak (arginin dan histidin) serta terdapat
asam amino semi esensial seperti sistin. Selain itu terdapat asam amino non
esensial seperti asam aspartat, asam glutamat, glisin dan serin.
2. Manfaat Ekologi
Manfaat ekologi bulu babi beragam termasuk diantaranya adalah sebagai
organisme tempat berlindung beberapa jenis ikan tertentu; makanan beberapa jenis
ikan; organisme penentu struktur ganggang, rumput laut, dan serta berperan dalam
berbagai interaksi dengan biota laut lain. Bulu babi sering digunakan sebagai
hewan uji dalam penelitian lingkungan. Bulu babi digunakan untuk penentuan
pencemaran air. Embrio bulu babi menurut Dinnel et al. (1987) adalah bahan yang
telah sering digunakan dalam uji biologis untuk mengukur toksisitas suatu bahan
atau substansi di perairan laut karena mempunyai prosedur yang cepat, sensitif dan
biaya yang relative mudah.
3. Kajian Relevansi Dengan Penyakit Manusia
Bulu babi juga terkait dengan kesehatan manusia. Sebagai contoh adalah
reseptor guanilat siklase terikat pada membran yang berimplifikasi pada penyakit
manusia, disentri enterotoksin stabil panas, pertama diisolasi dari sperma bulu babi.
Penemuan dalam bulu babi ini selanjutnya digunakan untuk mempelajari kesehatan
manusia. Masih banyak lagi studi yang relevan dengan penyakit manusia yang

39
Abdul Wahab Radjab, Reproduksi Dan Siklus Bulu Babi (Echinoidea), Oseana, Vol. 26 No. 3, 2001,
hlm. 27-33.

41
menggunakan bulu babi sebagai organisme model. Angka dan Suhartono (2000),
menyatakan bahwa terdapat efek penghambat pada fase mitosis perkembangan
embrio bulu babi yang berimplifikasi pada kemungkinannya sebagai senyawa anti
kanker. Bulu babi juga mengandung asam lemak tak jenuh omega 3 yang berkhasiat
untuk menurunkan kandungan kolesterol yang bersarang dalam tubuh manusia.40
5.5 Barbatia amygdalumtostum

Mollusca berasal dari bahasa Latin yaitu molluscus artinya lunak adalah hewan
bertubuh lunak. Kelompok hewan ini memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi dan
menyebar luas di berbagai habitat laut tidak terkecuali di zona intertidal (pasang surut).
Menurut Nybaken (1992) zona pasang surut merupakan daerah pantai yang terletak
antara pasang tertinggi dan surut terendah. Berdasarkan kondisi lingkungan/substrat,
zona pasang surut dibedakan menjadi substrat berbatu, berpasir, dan berlumpur.
Substrat berbatu merupakan daerah yang paling padat makroorganismenya. Ramli
(1989) menyatakan bahwa permukaan batuan dalam laut melindungi organisme dari
panas dan predator serta sebagai substrat yang baik untuk tumbuh dan berkembang
berbagai jenis tumbuhan dan hewan, salah satunya Mollusca (gastropoda, bivalvia). 41

Mollusca mempunyai peranan yang penting baik dari segi ekonomi maupun
ekologi. Beberapa Mollusca mempunyai nilai penting yaitu sumber makanan yang
bernilai ekonomi cukup tinggi, Bahan baku kerajinan hiasan, dan bahan baku bangunan
(Kusnadi dkk, 2007). Sedangkan dari segi ekologi Mollusca mempunyai peranan dalam
rantai makanan dan menentukan kualitas perairan. Salah satu faktor yang
mempengaruhi kemelimpahan Mollusca di zona pasang surut adalah kondisi substrat.
Substrat berperan sebagai habitat, tempat mencari makan, berlindung, dan
bereproduksi. Kerusakan substrat akan menurunkan jumlah bahkan menghilangkan
beberapa jenis Mollusca. Hal ini didukung pernyataan Odum (1994) bahwa lingkungan
fisik, kimia, dan biologi suatu ekosistem akan mempengaruhi biota yang terdapat di
dalamnya.

Arcidae terdiri dari sembilan genus yaitu Arca, Anadara, Bathyarca, Barbatia,
Cucullaea, Litharca, Noetia, Senilia dan Trisidos. Arcidae yang banyak dimanfaatkan

40
Abdul Hamid A. Toha, Manfaat Bulu Babi (Echinoidea), Dari Sumber Pangan Sampai Organisme
Hias, Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, Vol.13 No. 1, 2006, hlm. 77-81.
41
Arindra Trisna Widiansyah, dkk., Inventarisasi Jenis Dan Potensi Mollusca Di Zona Pasang Surut Tipe
Substrat Berbatu Pantai Gatra Kabupaten Malang, Malang : Universitas Negeri Malang, 2016.

42
secara komersial oleh manusia, karena bernilai ekonomi dan merupakan salah satu
sumber protein hewani diantaranya adalah kerang darah dan kerang bulu. Permintaan
yang terus meningkat menyebabkan kerang ini menjadi salah satu target utama dalam
penangkapan. Penyebaran kekerangan secara geografis meliputi Red Sea, New
Caledonia, China, Jepang, Vietnam, Thailand, Filipina, Laut China Selatan, Indonesia,
Perairan Pasifik bagian Barat, dan Australia. Penyebaran hewan di Perairan Indonesia
meliputi Pesisir Sumatera bagian Barat, Selat Malaka, Pantai Utara Jawa, Pantai Timur
Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Maluku,
dan Papua. 42

Klasifikasi dan Morfologi Barbatia amygdalumtostum :

Filum : Mollusca

Kelas : Bivalvia

Sub kelas : Pteriomorphia

Famili : Arcidae

Genus : Barbatia

Spesies : Barbatia amygdalumtostum

Gambar 9. Barbatia amygdalumtostum

Habitat

Arcidae merupakan bivalvia yang bersifat filter feeder yang mendiami perairan
intertidal dengan substrat lumpur berpasir pada kedalaman air antara dua sampai 20 m.
Bivalvia memiliki peran ekologis dalam siklus rantai makanan, mempengaruhi struktur
komunitas makrozoobentos dan sebagai bioindikator.

Manfaat

42
Melvia Yundha Cantika Simatupang, dkk., Keanekaragaman Echinodermata Dan Kondisi Lingkungan
Perairan Dangkal Pulau Pandang Kabupaten Batu Bara Provinsi Sumatera Utara, Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Kelautan dan Perikanan Unsyiah, Volume 2, Nomor 1: 97-103, Banda Aceh : Universitas Syiah Kuala, 2017.

43
Dua produk alami moluska yang digunakan untuk dekorasi dan perhiasan adalah
mutiara dan nacre. Mutiara adalah benda keras, bulat yang dihasilkan dalam mantel dari
moluska hidup bercangkang. Mutiara yang diproduksi oleh banyak bivalvia ketika
sebuah partikel kecil pasir atau grit terjebak antara mantel dan cangkang. Seolah-olah
moluska memiliki serpihan. Moluska ini membentuk pelindung di sekitar iritasi.
Sebagian besar mutiara digunakan sebagai perhiasan yang dibuat oleh tiram mutiara
dan kerang air tawar, sebagian besar yang dijual adalah hasil berbudaya dan bukan liar.
Mutiara alam telah sangat dihargai sebagai batu permata dan objek keindahan selama
berabad-abad. Mutiara yang paling diinginkan yang dihasilkan oleh tiram dan kerang
sungai. Zat yang digunakan untuk membentuk penutup mutiara, terbuat dari bahan
mutiara ibu yang melapisi bagian dalam cangkang. Ibu dari mutiara juga dikenal
sebagai nacre. Nacre adalah lapisan kulit warna-warni bagian dalam. Hal ini dapat
ditemukan dalam tombol, pisau, senjata, dan perhiasan. Hal ini juga digunakan untuk
menghias berbagai alat musik.

Beberapa moluska adalah subjek ideal untuk penyelidikan ilmiah dari sistem
saraf. Cumi-cumi raksasa memiliki sistem saraf yang canggih dan otak yang kompleks
untuk belajar. Siput laut California juga disebut kelinci laut California, yang digunakan
dalam studi pembelajaran dan memori karena memiliki sistem saraf sederhana, terdiri
dari hanya beberapa ribu, neuron yang mudah diidentifikasi. Neuron ini bertanggung
jawab untuk berbagai tugas-tugas belajar. Beberapa penelitian otak siput bahkan telah
memungkinkan para ilmuwan untuk lebih memahami otak manusia. Beberapa gurita
dan cumi-cumi yang sangat cerdas. Mereka mampu belajar untuk memecahkan masalah
dan melakukan labirin. 43

Kelas bivalvia atau pelecypoda memiliki karakteristik yang khas yaitu memiliki
tubuh pipih lateral dan seluruh tubuhnya tertutup dua keping cangkang. Kedua
cangkang tersebut tergabung dibagian dorsal oleh hinge ligament yang merupakan pita
elastis yang terdiri dari bahan organik seperti zat tanduk (chonchiolin) (Barnes 1987).
Kedua keping cangkang tersebut ditautkan oleh otot adduktor (adduktor posterior dan
adduktor anterior) yang dapat terbuka dengan adanya ligamen dan tertutup karena

43
Ibid. Hal. 12.

44
adanya kontraksi dari otot adduktor. Antara otot adduktor dan hinge ligament ini
bekerja secara otomatis (Franklin 1972).

Bagian lunak dari tubuh bivalvia tertutup oleh dua belahan yang disebut mantel
yang terletak antara tubuh dan cangkang. Cangkang tumbuh dari bagian hinge atau
umbo yang merupakan bagian tertua dari cangkang. Cangkang moluska terbentuk dari
deposit mineral kalsium karbonat dan berfungsi untuk melindungi diri dari perubahan
lingkungan dan serangan predator. Cangkang kerang terdiri dari tiga lapisan yaitu
lapisan periostrakum yang merupakan lapisan terluar dan melindungi dua lapisan kapur
yang terdapat dibawahnya yaitu lapisan prismatik dan lapisan nacre. Pada cangkang
terdapat garis lingkar yang menunjukkan adanya pertumbuhan cangkang, umur kerang
dan kondisi kerang. Garis lingkar ini dihasilkan pada saat cangkang menutup dan
pernafasan anaerob pada moluska akan menghasilkan asam organik yang menyebabkan
terjadinya penyerapan CaCO3 dan akan membentuk material kerangka organik yang
memberikan bentuk pada garis cangkang (Barnes 1987).

45
BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Keanekaragaman invertebrate di Pantai Bama Taman Nasional Baluran
Situbondo Jawa Timur. Filum Mollusca yaitu Trochus niloticus, Barbata
amygdagulumtestum dan Famili Turbinidae . Filum Echinodermata yaitu
Tripneustes gratilla dan Ophioderma brevispimum. Habitat Trochus sp. merupakan
jenis yang hidup di daerah tropis dan subtropis yaitu pada perairan samudra India,
samudra Pasifik barat dan perairan Indonesia. Habitat Trochus niloticus di laut
dangkal dengan cara menempel pada permukaan batu maupun di atas substrat
berpasir. T. Gratilla adalah salah satu jenis bulu babi yang hidup di padang lamun
campuran. Disamping dijumpai pada daerah lamun campuran juga ditemukan di
daerah pertumbuhan alga. Hal ini disebabkan karena disamping memakan daun
lamun mereka juga memakan alga. Habitat Ophioderma brevispimum adalah
terumbu karang, lamun, puing karang dan di bawah batu dan biasanya ditemukan
bersama dengan genera air dangkal lainnya. Turbinidae hidup di perairan yang
tenang dan dangkal dan zona intertidal. Zona intertidal atau zona pasang surut
adalah bagian tepi pantai yang tergenang air pada waktu air pasang, namun kering
ketika air surut dan sering ditemukan pada celah-celah batu atau karang yang datar.
Barbata amygdagulumtestum merupakan bivalvia yang bersifat filter feeder yang
mendiami perairan intertidal dengan substrat lumpur berpasir pada kedalaman air
antara dua sampai 20 m.
6.2 Saran

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah waktu yang singkat sehingga


peneliti hanya bisa mencapai responden lokasi yang tidak terlalu jauh. Diharapkan
untuk penelitian selanjutnya di lakukan dengan alokasi waktu yang lebih panjang.

46
DAFTAR PUSTAKA

Achyani, Ratno. 2011. Trochus Sp. : Pendekatan Ekologi dan Biologi. Jurnal Harpodon Borneo
Vol.4 No.2, Oktober 2011.

Arbi, Eue Yanu. 2013. Operkulum: Bagian Kunci Untuk Identifikasi Gastropoda Yang sering
Terabaikan, Oseana Volume XXXVIII, Nomor 1.

Aziz, A. 1991. ., Beberapa Catatan Tentang Bintang Mengular (Ophiuroidea) Sebagai Biota
Bentik. Oseana, Volume Xvi, Nomor 1 ; 13 - 22 Issn 0216-1877.

Aizenberg, J., Tkachenko, A., Weiner, S., Addadi, L., dan Hendler, G. 2001. Calcitic
Microlenses As Part Of The Photoreceptor System In Brittlestars. Journal Nature,
Vol. 412.

Achyani, Ratno. 2011. Trochus Sp. : Pendekatan Ekologi dan Biologi. Jurnal Harpodon Borneo
Vol.4 No.2, Oktober 2011.

C. Sivaperuman, Ramakrishna, dan C.Raghunathan. 2010. Status Survey on Trochus niloticus


(Linnaeus, 1767) in Andaman and Nicobar Islands. New Delhi : Director
Zoological Survey of India.

Subhan. 2014. Analisis Kadar Protein Pada Daging Lola (Trochus niloticus. L) Basah dan
Kering. Jurnal Biology Science&Education Vol 3 No 2.

Pradina, S.A.P Dwiono, P.E. Makatipu, dan Z. Arifin. 1997. Reproductive Biology of Trichus
niloticus L. From Maluku, Eastern Indonesia. Trochus: Status, Hatchery Protite
and Nutrion. ACIAR Proceeding No. 79. ACIAR, Canberra.

Pradina dan Z, Arifin. 1993. Struktur Jaringan Beberapa Organ Dalam Trochus niloticus L.
Balitbang Sumberdaya Laut, Puslitbang Oseanologi LIPI, Ambon.

Radjab, Abdul Wahab. 2001. Reproduksi Dan Siklus Bulu Babi (Echinoidea). Oseana. 26(3):
25-36
Satyawan, Noar Muda. 2014. Tesis: Dinamika Populasi Bulu Babi (Tripneustes Gratilla
Linnaeus 1758) Di Perairan Pantai Semerang, Lombok Timur. Bogor: ITB.
Sese, Moh Reza dkk. 2018. Keanekaragaman Echinodermata (Echinoidea dan
Holothuroidea) di Pulau Bakalan, Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah,
Indonesia. Scripta Biologica. 5(2): 73-77.

47
Toha, Abdul Hamid A. 2006. Manfaat Bulu Babi (Echinoidea), Dari Sumber Pangan Sampai
Organisme Hias. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 13(1): 77-82.
Odum, E. P. 1971. Fundamental Of Ecology. Third Edition. W. B.

Odum, E. P. 1998. Dasar-dasar Ekologi edisi ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta: Djambatan.

Odum, E. P. 1993. Dasar-dasar Ekologi edisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Yogyakarta: Kanisiu

Bussarawit, S.; Rowe, F. W. E. 1985. A new species in the Ophiocomid genus Ophiocoma
(Echinodermata: Ophiuroidea) from the west coast of Thailand, Andaman Sea.
Phuket mar. Biol. Center Res. Bull. 35.

Olbers, J., & Samyn Y. 2012. The Ophiocoma species (Ophiurida: Ophiocomidae) of South
Africa. Western Indian Ocean Journal of Marine Science

Stohr. S,. O’Hara, T.D., dan Thuy, B. 2012. Global Diversity of Brittle Stars (Echinodermata:
Ophiuroidea). PLoS ONE 7(3): e31940. doi:10.1371/journal.pone.0031940

Kissling, D dan Taylor, G. 1977. Habitat Factors For Reef Dwelling Ophiuroids In The Florida
Keys. Coral Reef Symp, Vol 1. University of Miami.

Nugroho, W., Ruswahyuni, dan Suryanti. 2014. Kelimpahan Bintang Mengular (Ophiuroidea)
Di Perairan Pantai Sundak Dan Pantai Kukup Kabupaten Gunungkidul,
Yogyakarta. Diponegoro Journal Of Maquares, Volume 3,
Nomor 4.

Marshall, N.B. 1979. Developments in Deep-Sea Biology (London: Blanford Press)

Guille, A. 1979. Les Ophiurides des marges continentales de la region Philippines, —


Indonesie distribution bathymetrique et etagement. Coll. Europ. Echino. Brussels.

Woodley, J. D. 1975. The Behaviour Of Some Amphiurid Brittle Stars. Journal of Experimental
Marine Biology and Ecology 18.

48
Jones, M. B. dan Smaldon, G. 1989. ., Aspects Of The Biology Of A Population Of The
Cosmopolitan Brittlestar Amphipholis Squamata (Echinodermata) From The Firth
Of Forth, Scotland. Journal of Natural History 23.

Hendler, G. 1975. , Adaptational significance of the patterns of Ophiuroid development. Amer.


Zool.

Hendler G. 1977. Development of Amphioplus abditus (VERRILL) (Echinodermata :


Ophiuroidea) : Larval biology. Biol. Bull.

Singletary, R.L. 1980. The Biology andEcology of Amphioplus cornioto-des, Ophionepthys


limicola, and Micro-pholis gracillima (Ophiuroidea : Amphiu-ridea). Carib. J. Set
16 (1 - 4).

Emson, R.H. & I.C. Wilkie. 1984. An apparent instance of recruitment following sexual
reproduction in the flssiparous brittlestar Ophiactis savignyi Muller & Troschel. /.
Exp. Mar. Biol. Ecol. 11.

Fell, H.B. 1966. The ecology of ophiuroids. In : Treatise on Invertebrate Paeontology


(MOORE R.C. ed.) Part U, Echinodermata 3(1). (Kansas : Univ. Kansas Press)

Fujita, T. & S. Ohta. 1988. Photographic observations of the life style of a deep— sea ophiuroid
Astronyx loveni (Echinodermata).. Deep-Sea Res. 35 (12).

Jones. R 1974. The rate of elimination of food from the stomach of haddock Melanogrammus
aeglefinus, cod, Gadus morhua and whiting Merlangius merlangus. J. Cons. Int.
Explor. Mer.t 35 (3.

C. Sivaperuman, Ramakrishna, dan C.Raghunathan. 2010. Status Survey on Trochus niloticus


(Linnaeus, 1767) in Andaman and Nicobar Islands. New Delhi : Director
Zoological Survey of India.

Subhan. 2014. Analisis Kadar Protein Pada Daging Lola (Trochus niloticus. L) Basah dan
Kering. Jurnal Biology Science&Education Vol 3 No 2.

Pradina, S.A.P Dwiono, P.E. Makatipu, dan Z. Arifin. 1997. Reproductive Biology of Trichus
niloticus L. From Maluku, Eastern Indonesia. Trochus: Status, Hatchery Protite
and Nutrion. ACIAR Proceeding No. 79. ACIAR, Canberra.

49
Pradina dan Z, Arifin. 1993. Struktur Jaringan Beberapa Organ Dalam Trochus niloticus L.
Balitbang Sumberdaya Laut, Puslitbang Oseanologi LIPI, Ambon.

Seleky, Andy dkk. 2016. Length-Weight Relationship and population Genetic of Two Marine
Gastrophods Species ( Turbo spaverius and Turbo bruneus) in The Bird Seascape
Papua, Indonesia. Biodiversitas, Vol. 17. Number 1

Supratman, Okto, dkk. 2018. Kelimpahan dan Keanekaragaman Gastropoda Pada Zona
Intertidal di Pulau Bangka Bagian Timur, Jurnal Enggano. Vol 3. No. 1

Walsby, John R. 1977. Population Variations in the Grazing Turbinid Lunella Smaragda (
Mollusca: Gastropoda), New Zealand Journal of Marine and Freshwater Research.
Taylor & Francis

Ramesh, R, dkk. 2010. Annual Cycle of Reproduction in Turbo Brunneus, From Tuticorin
South East Coast of India, world Journal of Fish and Marine Sciences, 2 (1)

Settyono, Dwi E.D. Pemijahan Siput Mata Bulan (Turbo chrystomus Linnaeus, 1758). Oseana

50

Anda mungkin juga menyukai