Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Leptospirosis adalah penyakit akibat bakteri Leptospira sp yang dapat ditularkan dari

hewan ke manusia atau sebaliknya (zoonosis). Leptospirosis merupakan penyakit

yang dapat ditularkan melalui air (water borne disease), urine (air kencing) dan

individu yang terserang penyakit ini dapat menjadi sumber utama penularan, baik

pada manusia maupun pada hewan. Kemampuan leptospira untuk bergerak dengan

cepat dalam air menjadi salah satu faktor penentu utama dapat menginfeksi induk

semang (host) yang baru (Askandar,2015).

Penyakit ini pertama kali dikemukakan oleh Weil pada tahun 1886 sebagai

penyakit yang berbeda dengan penyakit lain yang juga ditandai oleh ikterus.

Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti mud fever, slime fever, swamp

fever, autumnal fever, infectious jaundice, field fever, cane cutter fever. Leptospirosis

sering salah didiagnosa karena gejala klinis yang kurang spesifik dan sulit dilakukan

konfirmasi diagnosa tanpa uji laboratorium (Umar,2014)

Menurut perkiraan WHO (2011), setiap tahun terjadi lebih dari 500.000 kasus

leptospirosis di seluruh dunia, dengan Case Fatality Rate (CFR) < 5% s/d 30%.

Penduduk dengan risiko terbesar tertular leptospirosis adalah masyarakat yang tinggal

di daerah kumuh perkotaan serta buruh tani dan peternak di daerah pedesaan. Secara

signifikan, kejadian leptospirosis juga lebih sering terjadi pada daerah beriklim tropis

dibandingkan daerah dengan iklim sedang. Leptospirosis ini juga bersifat musiman

dengan puncak kasus terjadi pada musim hujan.


Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementrian

Kesehatan Republik Indonesia melaporkan bahwa kejadian leptospirosis di Indonesia

tahun 2011 terdapat 857 kasus dan 82 orang meninggal (CFR 9,57%), tahun 2012

terdapat 239 kasus dan 29 orang meninggal (CFR 12,13%), tahun 2013 terdapat 641

kasus dan 60 orang meninggal (CFR 9,36%) . Peningkatan kasus leptospirosis terjadi

di Provinsi Jawa Tengah dan DKI Jakarta, hingga November 2014 Kemenkes

mencatat 435 kasus dengan 62 kematian (CFR 14,25%) akibat penyakit leptospirosis

(Kemenkes RI, 2015).

1.2. Rumusan masalah

Bagaimana mengatasi prevalensi leptospirosis yang tinggi di Kabupaten A?

1.3. Tujuan penulisan

Tujuan umum :

Untuk mengatasi prevalensi leptospirosis yang tinggi di Kabupaten A

Tujuan kusus :

a. Untuk mengetahui bagaimana pengetahuan masyarakat tentang penyakit

leptospirosis?

b. Untuk mengetahui apakah kebersihan lingkungan merupakan faktor dari penyakit

leptospirosis?

c. Untuk mengetahui apakah air yang kurang bersih merupakan faktor dari penyakit

leptospirosis?
DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarma SP, Garna H, Hadinegoro SR, Satara IH. Leptospirosis. In: Soedarma SP,

Garna H, Hadinegoro SR, Satara IH, editors. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis

(2nd ed). Jakarta: Badan penerbit IDAI, 2008; p. 364-9.

2. Zein U. Leptospirosis. In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, editors. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam (4th ed). Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 2006;

p.1845-9.

3. World Health Organization. Human leptospirosis: guidance for diagnosis,

surveillance, and control. 2011. Available from:

http://whqlibdoc.who.int/hq/2011/WHO_CDS_CSR_EPH_2002.23.pdf

4. Kementrian Kesehatan RI. 2015. Surat Pengantar Waspada Leptospirosis. Jakarta :

Kementrian Kesehatan. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan

Lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai