Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Ekonomi Politik Pada
Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Raja Haji
Oleh Kelompok 7 :
Dosen :
TANJUNGPINANG
2019
i
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan yang pesat seperti ini pada satu sisi memperlihatkan adanya
kemajuan yang khusus dengan berbagai spesialisasi dan konsentrasi disiplin
tersendiri. Namun, pada sisi lain, spesialisasi yang amat sempit, terpisah dan lepas
kaitan dengan disiplin ilmu lainnya menyebabkan disiplin-disiplin ilmu ekonomi
tersebut sulit menangkap totalitas kenyataan dan fenomena ekonomi masyarakat
yang kian kompleks dan rumit. Fenomena ekonomi tersebut tidak bendiri sendiri
tetapi berkembang di antara fenomena sosial dan politik secara bersama-sama.
1
semakin tertinggal jauh dibandingkan dengan disiplin ilmu-ilmu ekonomi positif
lainnya.
2
PEMBAHASAN
Dari uraian di atas, sangat sangat tidak lumrah bila ilmu ekonomi dan ilmu
politik dibagi atas displin yang berbeda. Logika sederhana mengatakan bahwa
ekonomi dan politik dapat diakomodasikan ke dalam sebuah prinsip pengambilan
keputusan tunggal tentang perilaku manusia yang didasarkan pada rasionalitas
individu. Jika individu dapat menata pilihan-pilihan atau alternatif dalam setting
pasar, mereka tentu juga dapat menatanya dalam setting politik dalam kedua
setting tersebut para pelaku atau aktornya dilandaskan pada kepentingan individu.
Tulisan Kennneth Arrow Social Choice and Individual Values (1951) dan
karya Mancur Olson The Logic of Collective Action (1965) telah memberi
sumbangan sangat penting bagi pengembangan ilmu ekonomi politik. Karya lain
yang mencoba menggabung pendekatan ekonomi dan politik adalah The Theory of
Political Coalitions yang ditulis William Riker tahun 1962. Pada tahun sama, juga
muncul karya James Buchanan dan Gordon Tullock berjudul The Calculus of
3
Concent, di mana ilmu ekonomi politik yang selama ini bersifat sosial mulai
didekati dengan hitungan-hitungan matematis.
4
prefensi kemampuan mengambil keputusan secara rasional atau kemampuan
memilih aternatif terbaik paling efisien dari berbagai pilihan yang ada (Mitchell,
1968 dalam Deliarnov, 2006).
Dari uraian di atas, terlihat bahwa dalam ekonomi politik baru prinsif
dasar ekonomi masih diadopsi. Hanya saja dalam pendekatan ekonomi politik
baru asumsi-asumi ekonomi baru diterapkan dalam lembaga pasar, melainkan
dalam lembaga nonpasar. Lebih jauh dari itu, perspektif ekonomi politik baru,
sistem politik dianggap sinonim dengan pasar. Sebagaimana dijelaskan oleh
Willian Mitchell, 1968 (Deliarnov, 2006) sistem-sistem politik harus dipandang
tidak hanya sebagai mekanisme pilihan untuk mengambil keputusan-keputusan
ekonomi yang berdampak terhadap ekonomi privat, tetapi juga sebagai alat bantu
yang ekonomis dalam pengambilan keputusan perihal anggaran atau produksi dan
distribusi barang-barang dan jasa publik. Sebagaimana teori pasar menjadi fokus
utama dalam pilihan ekonomi privat, begitu juga institusi-institusi politik menjadi
fokus perhatian bagi ekonomi politik.
Dengan cara seperti disebutkan diatas, ekonomi politik baru tidak hanya
dapat diaplikasikan dalam berbagai keputusan ekonomi, seperti terhadap
konsumen dalam membelanjakan uangnya, atau terhadap produsen dalam
menghasilkan berbagai jenis barang dan jasa, tetapi juga dapat diaplikasikan
untuk berbagai fenomena sosial-politik lainnya. Seperti: sikap pemilih dalam
pemilu; sikap wajib pajak atau sikap petani pemakai air; sikap aktor-aktor politik
(aparat, birokrat); dan bahkan juga sikap pemerintah dalam proses pengabilan
keputusan bagi kebijakan publik.
5
metodologi ekonomi mikro yang dikembangkan pakar-pakar ekonomi Neoklasik
sebelumnya. Adapun kontribusi terbesar teorisasi ekonomi dalam pasar politik
adalah penggunaan pertukaran sukarela untuk meperbaiki kondisi-kondisi di
antara agen-agen politik.
6
Kemungkinan akan terjadinya kerja sama dan sinergi yang lebih baik
antara ilmu ekonomi dan ilmu politik bunkanlah sebuah utopia. Menurut
Ordeshook (1994), Dalam karya pakar-pakar ekonomi politik baru paling awal
seperti Arrow dalam Social Choice and Individual Values (1951); William Riker
dalam The Theory of Plitical Coalition (1962); Buchanan & Tullock dalam The
Calculus of Consent (1962); dan Mancur Olson dalam The Logic of Collective
Action (1965), memang lebih banyak metodologi ekonomi “menjajah” ilmu
politik, dan bukan sebaliknya. Akan tetapi, perhatikan karya-karya Arthur
Bentley, David Truman, Robert Dahl, Hans Morgenthau, Charles Lindblom, dan
V. O. Key, maka kesan imperialisme ilmu ekonomi terhadap ilmu politik akan
hilang.
Bahwa imperialisme ilmu ekonomi terhadap ilmu politik lambat laun akan
dapat dilihat dari kenyataan bahwa pakar-pakar yang disebutkan terakhir diatas
tidak lagi melibatkan analisis deduktif seperti yang lazim digunakan oleh pakar-
pakar ekonomi murni. Begitu juga sekarang muncul struktur teoritis sehingga
ekonomi politik baru tidak hanya menjanjikan sebuah basis komprehensif dalam
pemodelan proses-proses politik, tetapi juga dalam mengintergrasikan studi
tentang ekonomi dan politik. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa sekarang
mucul jurnal-jurnal yang mempresentasikan aliran utama kedua disiplin ilmu
ekonomi dan politik tersebut (Alt & Sheple, 1994).
7
1. Teori Pilihan Rasional
8
Kalau seandainya Anda merangking A > B; dan B > C, berdasarkan theory
of revealed, sesuai aksioma transitivitas, kesimpulanya ialah A > C.
9
Dari uraian di atas dapat kita pahami inti dari pendekatan pilihan
rasional. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Elster (1986): “The
essence of rational choice explanation embodies a conception of how
preferences, beliefs, resources and actions stand in relation to one
another”. Hubungan ini dapat dipecah atas dua bagian, yaitu (1) terdapat
sebuah kriteria yang konsisten yang dapat diaplikasikan terhadap struktur
preferensi dan kepercayaan-kepercayaan, dan (2), terdapat serangkaian
persyaratan yang megikat. Lebih lajut, Elster menjelaskan bahwa suatu
aksi disebuat rasional jika dapat memperhatikan keterkaitan dengan
preferensi-preferensi, kepercayaan-kepercayaan dan sumber-sumber daya.
Sebuah tindakan dikatakan rasional jika (1) dapat dibuktikan (secara ex-
ante ketimbang ex-post) sebagai tindakan terbaik yang mungkin dilakukan
untuk memenuhi preferensi-preferensi agen sesauai kepercayaan-
kepercayaan, (2) bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut rasional sesuai
bukti-bukti yang ada, dan (3) bahwa jalan atau proses dan kualitas dari
bukti-bukti yang tersedia dapat dijustifikasi sesuai rasio biaya dan
keuntugan.
10
oleh pemerintah. Mereka tidak menolak kerangka eksistensi politik, tetapi
mereka mengasumsikan bahwa perilaku politik dan institusi-institusi
politik bisa dianalisis seperti halnya perilaku ekonomi dan institusi-
institusi pasar.
11
a. Pilihan Sosial Arrow Teori
12
perangkingan ketiga pilihan terhadap ketiga calon tersebut adalah
sebagai berikut:
13
diaplikasikan dalam berbagai analisis dan perspektif, antara lain
bisa digunakan untuk membantu bagaimana perilaku
diinterpretasikan sesuai ideology atau budaya, dan bisa pula di
gunakan untuk membantu pengambil keputusan (baik individu atau
institusi) utuk memilih keputusan yang lebih baik (dalam
pengertian lebih efisien).
14
humanis, kecuali sebagai respon otomatis terhadap kekuatan-
kekuatan material. Padahal, setiap individu adalah unik dan bukan
merupakan subjek untuk generalisasi. Pakar-pakar yang mengikuti
tradisi ilmu perilaku dan banyak dipengaruhi oleh ilmu psikologi
dan sosiologi paling skeptic tentang relevansi paradigm pilihan
rasional. Mereka menganggap bahwa definisi tentang rasionalitas
terlalu restriktif, lagi pula konsep kepentingan diri sendiri yang
digunakan dalam pilihan rasional mengabaikan motivasi-motivasi
altruisme yang tetap dijumpai dalam masyarakat, betapapun
majunya masyarakat atau Negara tersebut.
15
individu tidak konsisten dengan preferensi publik. Artinya, dalam
pemilihan demokratis yang sifatnya kolektif, apa yang dianggap
terbaik menurut individu elum tentu yang terbaik bagi publik.
16
Lebih lanjut MacIntyre mengatakan bahwa tingkat
rasionalitas juga berbeda-beda diantara kelompok-kelompok yang
ada dalam masyarakat. Ada pihak-pihak atau kelompok-kelompok
yang mengambil tindakan atas pertimbangan praktis-pragmatis
belaka, dimana pilihan tidakan diambil sekadar untuk pemenuhan
hasrat jangka pendek. Hal seperti ini lazim dijumpai dalam
masyarakat pedesaan dengan latar belakang pendidikan yang relatif
rendah. Akan tetapi, juga ada pihak atau kelompok yang dasar
pertimbangan pilihannya lebih bersifat abstrak-substansif, dimana
pilihan dilakukan untuk pemenuhan nilai-nilai yang lebih tinggi.
Hal ini lazim dijumpai dalam kelompok masyarakat perkotaan
dengan latar belakang pendidikan dan tingkat intelektualitas yang
lebih tinggi. Dari hasil penelitiannya secara umum, MacIntyre
menyimpulkan bahwa tingkatan rasionalitas suatu kelompok
masyarakat terkait dengan latar belakang budaya, kondisi geo-
politik, tingkat penyerapan dan pencernaan informasi, tingkat
intelektualitas, pendidikan politik, serta factor-faktor lingkungan
lainnya.
Dalam hal ini bisa saja aktor keliru dalam menafsirkan alter,
Rnatif-alternatif yang ada, atau salah dalam meilih alternatif yang
tidak sesuai dengan tujuan utama mereka, atau aktor tidak memilih
alternatif yang terbaik akrena kurangnya informasi. Untuk
17
menghilangkan keragu-raguan dalam menentukan pilihan, Riker
membedakan procedural rationality atau revealed preference (di
mana tidak ada tujuan ataupun hasil yang sudah dispesifikasikan
sebelumnya) dengan substantive rationality atau posited rationality
(di mana tujuan-tujuan tertentu sudah ditentukan sebelumnya,
misalnya dengan menetapkan bahwa hierarki tujuan adalah untuk
memuaskan: (1) rasa lapar; (2) sex, dan (3) kekayaan, dan
seterusnya).
18
Action, 1965); dan Popkins (The Rational Peasant, 1978). Teori-teori
tersebut oleh pakar-pakar ekonomi dikembangkan lebih lanjut menjadi
Teori Publik. Tujuannya adalah untuk membantu pakar-pakar politik
memfasilitasi konseptualisasi berbagai teori politik sebagai masalah-
masalah aksi kolektif.
Bagi Buchanan, teori pilihan publik bukan metode dalam arti biasa,
juga bukan seperangkat alat analisis, melainkan sebuah perspektif untuk
bidang politik. Perspektif ini muncul dari pengembangan dan
pengaplikasian perangkat dan metode ilmu ekonomi terhadap proses
pengambilan keputusan kolektif dan berbagai fenomena-fenomena yang
bersifat nonpasar. Lebih tegas, pilihan publik adalah "the economic study
of non-market decision making”.
19
penentuan pilihan kebijakan publik yang paling efektif. Yang menjadi
subjek dalam telaah pilihan publik adalah pemilih, partai politik, politisi,
birokrat, kelompok kepentingan, yang semuanya secara tradisional lebih
banyak dipelajari oleh pakar-pakar politik.
20
atau politikus, yang bertindak layaknya seorang wirausahawan yang
menginterpretasikan permintaan rakyat terhadap barang-barang publik dan
mencarikan jalan sekaligus memperjuangkan agar barang-barang publik tersebut
sampai pada kelompok-kelompok pemilih yang memilih mereka dalam pemilihan.
Dari uraian di atas terlihat bahwa dalam model pilihan publik, hasil politik
ditentukan oleh permintaan dan penawaran, persis sama seperti halnya proses
terbentuknya harga dalam pasar persaingan sempurna. Hanya saja dengan pilihan
publik, konsep barter dan pertukaran yang sederhana, sesuai konsep ekonomi
murni, menjadi lebih kompleks sifatnya. Pertukaran dalam pengertian yang lebih
kompleks ini diartikan sebagai suatu proses persetujuan kontrak yang lebih luas
makna dan cakupannya dari pertukaran yang dilakukan oleh dua orang yang
melakukan transaksi, sebab tekanan akhir dari persetujuan kontrak adalah proses
21
persetujuan sukarela di antara banyak orang dalam masyarakat. Dalam hal ini,
pilihan publik tidak menolak kemungkinan adanya kepentingan kolektif dan
tindakan kolektif, tetapi kalaupun ada maka semua itu hanya merupakan hasil dari
segenap kepentingan individu yang ada dalam kelompok.
22
tiap orang cenderung menjadi pembonceng. Dengan sikap masyarakat yang
cenderung bertindak sebagai pembonceng, organisasi menjadi tidak efisien, dan
biaya dalam melakukan transaksi menjadi semakin mahal. Di sinilah peran
pemerintah diharapkan mengambil alih fungsi pemasok. Jadi, berbeda dengan
kasus barang swasta yang tidak memerlukan campur tangan pemerintah, dalam
kasus barang publik, kehadiran atau campur tangan pemerintah justru merupakan
suatu keharusan.
23
distributor konsumen politik, birokrasi, pemerintah
24
pasar. Dalam proses ini, baik konsumen maupun produsen tidak mempunyai
kekuatan yang cukup untuk bisa mempengaruhi harga-harga di pasar. Secara
perorangan konsumen dan produsen bisa menaikkan atau menurunkan permintaan
dan penawaran mereka, tetapi karena jumlah pembeli dan penjual di pasar sangat
banyak maka tindakan perorangan tersebut tidak cukup signifikan untuk bisa
mempengaruhi harga di pasar. Pada akhirnya baik konsumen maupun produsen
bertindak sebagai price takers, menerima yang terbentuk di pasar. Dalam model
pasar persaingan sempurna, harga terbentuk sebagai proses interaksi sukarela
antara konsumen dan produsen.
25
Implikasi Penerapan Pilihan Publik
26
mengikuti rambu-rambu, hokum, dan kelembagaan yang ada. Sedangkan kita tahu
bahwa ajaran tentang homo economicus dan prinsip kepentingan pribadi, masih
terkesan sangat negatif di negara-negara berkembang.
Di sisi lain, teori pilihan publik positif tidak bicara tentang nilai-nilai,
melainkan lebih fokus pada upaya untuk menjelaskan. Dengan asumsi bahwa tiap
warga bertindak atas dasar kepentingan pribadi (dalam pengertian ekonomi),
sekarang bagaimana menciptakan politik yang bisa meraih kepentingan pribadi-
pribadi tersebut. Lebih tegas, pilihan publik positif terkait dengan upaya
menjelaskan perilaku politik yang dapat diobservasi dalam istilah-istilah pilihan
secara teoretis, Yang sering dibahas dalam pilihan publik positif ialah: mengapa
27
dan bagaimana orang membentuk hukum atau undang-undang, membentu
institusi-institusi politik, bergabung dengan kelompok, atau memilih?
Berikut kita tampilkan empat contoh aplikasi pilihan Publik positif, yaitu
(1) dari hasil kajian Anthony Down dalam an economic Theory of democracy
(1957), (2) hasil kajian Buchanan & Tulllock dalam The Calculus of Consent
(1962), (3) hasil studi Mancur Olson dalam The Logic of Collective action (1965)
dan (4) studi Popkin dalam The Rasional Peasant: The Poltical Eonomomy of
Rural Society in Vietnam (1978).
28
transportasi, dan sebagainya). Bahkan dalam dunia politik sekarang, iklan,
pembiayaan kampanye, serta media konsultasi ikut bergabung. Down berhasil
membuat sketsa teori “baru” bahwa para politikus terdorong untuk menetapkan
kebijakan-kebijakan ekonomi yang dapat mereka terpilih kembali dalam
pemilihan berikutnya. Ia juga memperlihatkan bagaimana partai politik cenderung
bergerak ke arah tengah spectrum politik. Selain itu, juga meilhat semacam ada
sifat yang bertentangan dari voting, yang menyatakan tidaklah rasional bagi
pemilih untuk ikut suatu pemilihan karena kecilnya pengaruh seorang individu
dalam menentukan hasil pemilihan.
29
Menurut Down, pemilih menghasilkan hasil tunggal untuk semua, yaitu
sebuah partai berkuasa dan seperangkat kebijaksanaan. Misalnya, kebijakan
tentang anggaran pendidikan. Dengan jumlah penduduk Amerika Serikat sekitar
250 juta atau penduduk Indonesia 220 juta, tentu banyak pula pendapat tentang
anggaran yang harus dikeluarkan untuk pendidikan. Namun dalam kenyataan,
pada akhirnya hanya akan muncul satu kebijakan saja tentang besarnya anggaran
untuk pendidikan tersebut. Hal seperti ini juga berlaku untuk kebijakan
pembangunan jalan, penetapan anggaran pertahanan, kesehatan, dan sebagainya.
Sebagaimana dikemukakan Samuelson & Nordhaus (1995): "Unlike private
decisions, collective choice contains an esential indivisibility with but one
outcome on any particular issue”.
30
politik, tidak urung pendekatan ekonomi politik positif yang dikembangkan oleh
Down mendapat banyak pujian.
31
kebijakan-kebijakan yang disukai. Output partai politik mencakup program-
program dan kandidat-kandidat, yang sebagian dipilih untuk memenangkan
pemilihan. Akan tetapi, partai politik juga menyeleksi kandidat dan isu-isu untuk
menarik minat konstituen internal partai. Preferensi-preferensi anggota
perorangan konstiruen internal ini biasanya lebih besar daripada preferensi-
preferensi konstituen eksternal yang lebih tersebar. Partai-partai yang lebih
dilandaskan pada ideologi serta isu-isu yang biasanya cenderung mempertahankan
kandidat dan yang disukai konstituen internal bisa memperkecil probabilitas untuk
memenangkan pemilu. Namun, risiko ini kadang-kadang terpaksa ditempuh demi
menyenangkan konstituen internal. Jika menyangkut ideologi atau sebuah
program politik (misalnya, subsidi pertanian) yang sangat penting bagi konstituen
internal, partai politik akan mengorbankan kemenangan suara dari konstituen
eksternal. Sebagai contoh, Partai Sosialis di Amerika Serikat pasti tidak akan mau
mengompromikan ideologinya untuk memenangkan pemilu dibandingkan Partai
Demokrat atau Partai Republik.
Downs juga melihat ada semacam sifat yang bertentangan dari pemilihan.
Walau tiap orang berpendapat hasil pemilihan sangat penting, pilihan seorang
individu tidak banyak pengaruhnya terhadap hasil pemilihan secara keseluruhan.
Padahal, dalam mengikuti pemilihan itu ada biayanya, sementara itu hasil dari
32
pemilihan merupakan barang publik. Berdasarkan kenyatan di atas adalah tidak
rasional bagi pemilih untuk ikut memilih dalam suatu permilihan. Karena alasan
tersebut pemilih pada umumnya tidak mau tahu terhadap isu-isu politik. Dan
orang nggan menghabiskan waktu dan biaya untuk mengikuti berita-berita politik,
karena biayanya tidak sepadan dengan hasilnya. Bukti dari seorang poling
pendapat secara konsisten menemukan bahwa kurang dari separuh pemilih yang
mengetahu siapa wakil mereka di kongres( Shaw, 1993).
insentif untuk bertindak tidak peduli jarang dijumpai dalam sektor swasta.
Jika anda ingin membeli sebuah mobil, misalnya, hampir dipastikan Anda akan
berusaha mencari informasi tentang berbagai karakteristik mobil yang Anda
inginkan, apa iu ketanguhannya, power steering, kecepatannya, atau pemakaian
bensinnya. Kalau mobil yang dibeli sesuai dengan karakteristik yang diinginkan,
Anda untung. Akan tetapi. kalau keliru, buntung. Dalam voting, tidak demikian
halnya. Tidak ada insentif untuk mengetahui siapa dan bagaimana "karakteristik"
calon legislative atau presiden yang akan Anda pilih.
33
dapat menyukseskan kepentingan mereka, dan kalau perlu ikut membantu calon
yang diinginkan dengan dana kampanye. Sebagai imbalan atas bantuan dana
kampanye tersebut, mereka akan mendapat dukungan untuk tujuan-tuiuan yang
ingin dicapai, minimal mendapatkan “telinga” dari politikus yang mereka dukung
hingga bisa mengambil keputusan lebih baik (Shaw, 1993).
Selain tulisan Anthony Downs, karya lain yang lebih populer adalah hasil
kerja sama James Buchanan dengan Gordon Tullock dalam The Calculus of
Consent (1962). Mereka secara eksplisit menjelaskan bahwa pilihan-pilihan
ekonomi dan politik tidak dapat secara tajam dibedakan, dan bahwa proses-proses
ekonomi dan politik satu sama lain saling mempengaruhi. Adapun tantangan bagi
ahli-ahli ekonomi politik adalah bagaimana membuat model dari sekian banyak
institusi politik dan ekonomi dengan menggunakan peralatan-peralatan teoretis
yang sama.
34
bagaimana para legislator meredistribusikan pendapatan, dan bagaimana
kekuatan-kekuatan pasar dalam mempengaruhi hasil politik, kita harus memahami
ilmu politik dan ilmu ekonomi dari perspektif teoretikal yang sama.
Aplikasi pilihan publik lain yang bersifat positif dan sangat menarik untuk
ditampilkan adalah studi tentang kelompok kepentingan sebagaimana ditulis
Mancur Olson dalam The Logic of Collective Action (1965). Studi ini
memperlihatkan bahwa organisasi dan pengaruh kelompok kepentingan yang
merupakan fenomena sentral dalam politik adalah barang publik.
35
bagi individu-individu untuk ikut memberikan kontribusi bagi kepentingan-
kepentingan kolektif (Ordeshook, 1994).
36
impor yang lebih murah harganya? Menurut Olson, ada beberapa faktor yang
mempengaruhi insentif untuk mengorganisasi bentuk kebijakan pemerintah. Yang
lebih mampu melobi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang
menguntungkan kelompoknya adalah perusahaan-perusahaan besar. Sehubungan
dengan hal ini, Olson mengungkapkan: "Group findividuals with common
interests are expected to act on behalf of their common interests much as single
individuals are ofter expected to act on behalf of iheir personal interests”.
Jika keputusan politik tersebut dianggap adil, biasanya rakyat tidak akan
mempersoalkan. Akan tetapi, jika dipandang tidak "adil”, rakyat akan melakukan
demonstrasi, atau minimal tidak akan memilih partai pengendali kekuasaan
tersebut dalam pemilu berikutnya. Untuk menghindari “perlawanan” dari rakyat,
pemerintah harus pandai-pandai dalam memutuskan suatu kebijakan publik.
Mereka harus punya jiwa "kewirausahaan" yang bisa menghasilkan keputusan
politik yang disenangi rakyat, jika ingin tetap berkuasa.
37
menyimpulkan bahwa tidak ada insentif bagi individu-individu yang rasional
untuk bergabung dalam tindakan kelompok demi mencapai kepentingan bersama.
sebab untuk ikut melakukan tindakan kolektif harus ditanggung sendiri-sendiri,
sedangkan hasilnya berupa keuntungan yang dapat dinikmati oleh semua orang,
tidak peduli apakah mereka aktif ikut ambil bagian dalam tindakan kolektif
tersebut atau tidak.
38
Selain oleh Olson, sejak tahun 1965 juga banyak studi tentang kelompok-
kelompok kepentingan, baik: yang dilakukan sesuai dengan perspektif ekonomi
maupun menurut perspekrif pilihan publik. Namun, dari berbagai studi tersebut
argumentasi dasarnya sama. Semuanya sama -sama menyimpulkan bahwa manfat
maupun pengaruh dari organisasi kelompok bersifat publik. Sesuai karakteristik
barang publik sekali manfaat ada untuk suatu kelompok, setiap orang bisa ikut
menikmatinya tanpa ikut membayar atau memberikan kontribusi apa pun. Kalau
pengonsumsinya harus dibatasi diperlukan biaya yang relatif tinggi untuk itu.
Kalau apa yang disebutkan Olson tersebut benar, ini berarti bahwa
masalah-masalah organisasi yang dihadapi oleh buruh lebih besar dari masalah
yang dihadapi pemilik kapital: masalah konsumen lebih besar dari masalah
produsen; masalah yang dihadapi pemodal kecil lebih besar dari yang dihadapi
oleh pemodal besar.
Buku The logic of Collective Action adalah sebuah teori ekonomi tentang
organisasi dan pengaruh kelompok kepentingan, sekaligus sebuah teori ekonomi
39
tentang politik. Buku tersebut fokus pada Pengaruh basis rasional dan kepentingan
diri sendiri dari kelompok-kelompok kepentingan. Olson telah melahirkan sebuah
teori tentang apa jadinya bentuk hidup kelompok, termasuk kelompok-kelompok
mana yang tidak akan bertahan hidup kecuali sebagai agregasi dari kepentingan
yang dirasakan bersama jika dihadapkan pada kalkulasi kepentingan diri sendiri.
Selain karya Popkin, juga ada tulisan senada yang melihat bahwa
intervensi pemerintah jarang mempromosikan kebijakan harga yang
menguntungkan petani-petani kecil, yaitu karya Robert H. Bates, Market and
States in Tropical Africa: The Political basis of Agricultural Policies (1981).
Seperti halnya Popkin, Bares juga menemukan bahwa sebagian rakyat Afrika
yang hidup di pedesan sering dirugikan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah.
Akan tetapi, bukannya mereka mengorganisasi diri untuk membela kepentingan
kolektif mereka sebagai petani produsen, mereka justru cenderung berusaha
membela pengakuan etnis tradisional, seperti meminta untuk dibangunkan jalan,
jembatan, klinik-klinik kesehatan, dan sejenisnya pada pemerintah.
40
Pengaruh Olson juga terlihat dalam karya Donald Rothchild & Robert L.
Curry: Scarcity, Choice, and Public Policy in Middle Africa (1978), hasil riset
pendekatan eksperimental dan simulasi oleh Robert Axelrod (The Emergence of
Cooperation among Egoists, 1981) dan The Evolution of Cooperation (1984).
serta karya Taylor (1988) tentang revolusi sebagai tindakan kolektif hingga
penelitian Bowman (1989) tentang koperasi di antara para kapitalis.
41
1. Kesejahteraan kedua kelompok makin baik seperti diperlihatkan oleh
perpindahan dari titik E ke titik F. Di sini tindakan kolektif telah
menghasilkan perbaikan pareto dimana kedua kelompok keadaannya lebih
baik dibanding keadaan sebelumnya. Hal ini di mungkinkan karena
melalui tindakan kolektif bisa dihasilkan program kebijaksanaan yang
tepat dan adil untuk kedua kelompok, dan dilaksanakan dengan efisien.
2. Kesejahteraan kedua kelompok justu makin buruk, diperlihatkan oleh
perpindahan dari titik E ke titik G. Dalam kasus seperti ini kedua
kelompok tidak berhasil merancang suatu indakan kolektif dengan baik
dan program-program kebijakan tidak dilakukan dengan efisien. Dalam
bahasa orang-orang social, kedua kelompok tidak memiiki modal sosial
yang memadai sehingga tidak mampu merancang program kebijakan-
kebijakan dan melaksanakan kebijakan dengan efisien.
3. Kesejahteraan kelompok yang satu, (katakanlah kelompok A) makin baik,
sementara kesejahteraan kelompok lainnya(B) makin rendah, diperlihatkan
oleh perpindahan dari E ke H. Dalam kasus ini aksi kolektif menghasilkan
kebijakan yang lebih berpihak pada kelompok A tetapi merugikan
kelompok B. Misalnya, kebijakan lebih banyak kepada kelompok
pemenang pemilu (A) sedangkan kepentingan kelompok yang klah (B) di
abaikan. Contoh lain ialah subsidi BBM, yang cenderung lebih
menguntungkan kelompok kaya dan merugikan kelompok miskin,
menimbulkan terjadinya perubahan dalam distribusi kesejahteraan.
WB
Bm
G 0 Wa
AM 42
Jika tidak ada aksi kolekif, masyarakat berada pada posisi E, dimana
kelompok A memperoleh kesejahteraan sebesar A0 dan kelompok B memperoleh
B0.
Tiga kemungkinan hasil dari suaru tindakan kolektif adalah (1) perbaikan
pareto membuat semua orang lebih baik, dimana E pindah ke F, (2) tindakan
kolektif yang tidak efisien menyebabkan kesejahteraan kedua kelompok turun,
dari E ke G; dan (3) program yang dilaksanakan hanya bersifat redistributif yang
lebih menguntungkan salah satu kelompok, misalnya kelompok A dan
keseimbangan bergeser dari E ke H.
Banyak cara untuk membuat keputusan dan tindakan kolektif, ada yang
menggunakan cara-cara tradisional, yang lainnya bersifat monarki dan Negara-
Negara yang lebih maju dengan pemerintahan representatif. Dalam sistem ini,
hasil keputusan ini ada yang dicapai lewat consensus dan ada pula yang
diandaskan pada aturan mayoritas. Sebagian besar pakar pakar ekonomi dan sosial
berpendapat bahwa tindakan kolektif yang paling baik adalah yang didasarkan
pada hasil consensus, dimana semua orang setuju dengan keputusan yang diambil.
Keputusn yang didasarkan pada hasil ini cenderung membuat semua pihak lebih
baik (sehigga menghasilkan perbaikan pareto), dan tidak ada kelompok yang
kondisinya dibuat lebih buruk.
43
mahkamah agung atau pemerintahan federal dan nasional, bahkan juga dengan
dewan-dewan perusahaan atau klub-klub olahraga.
0 WA
lebih baik. Yang paling sering dijumpai ialah kelompok pemenang kesejahteraan
sangat tinggi, sementara kelompok B sedikit lebih menderita, seperti diperlihatkan
oleh perpindahan dari E ke Q. Pada titik Q, kelompok A sangat bahagia, tetapi
kelompok B sedikit lebih menderita. Bagaimana dengan perpindahan dari E ke R?
Dalam kasus ini. kelompok pemenang tidak berhasil membuat keputusan yang
efisien, sehingga peningkatan kesejahteraan yang diterima sedikit sekali.
Sementara itu kelompok minoritas dibuat sangat menderita. Keputusan yang tidak
efisien dan tidak adil ini lazim disebut sebagai tirani oleh mayoritas.
44
Dari uraian di atas, jelas bahwa keputusan yang dilandaskan pada sistem
aturan mayoritas tidak menjamin tercapainya pareto optimum, yaitu tercapainya
perbaikan kesejahteraan bagi semua kelompok masyarakat yang tidak membuat
salah satu kelompok masyarakat lainnya menderita. Ahli-ahli politik seperti James
medison dan Alexander Hamilton, tidak suka adanya tirani olch mayoritas. Untuk
itu mereka menganjurkan aturan “super mayoritas" untuk isu-isu sangat penting
(seperti amandemen konstitusi). Dengan aturan "super mayoritas” tersebut.
keputusan dicapai oleh lebih dari 50% + 1, katakanlah oleh dua pertiga suara,
Samuelson & Nordhaus, 1995 dalam (Deliarnov, 2006).
Selama ini, para ahli ekonomi aliran utama hanya mencurahkan perhatian
untuk memecahkan masalah ekonomi pasar, tetapi mereka tidak memberikan
perhatian yang sebanding untuk konteks institusi-institusi nonpasar. Di sinilah,
teori pilihan publik diharapkan berperan. Oleh Popkin, Pendekatan plihan publik
dipakai untuk mempelajari institusi-institusi ekonomi nonpasar dan perluasan dari
metode ekonomi mikro terhadap institusi-institusi nonpasar tersebut. Pendekatan
pilihan publik dimanfaatkan karena dinilai mampu mengaplikasikan model-model
ekonomi ke bidang sosial, termasuk ke institusi-institusi pedesaan dan pertanian
tradisional di negara-negara berkembang, Berkat karya Popkin tersebut,
pendekatan pilihan publik menjadi semakin aplikatif untuk mempelajari dan
menganalisis fenomena-fenomena ekonomi dan politik yang tejadi di negara
berkembang yang masih bertumpu pada pertanian dan pedesaan.
45
Tulisan Popkin tentang petani rasional di Vietnam sangat bertentangan
dengan karya James C. Scott, The Moral Economy of Peasant: Rebellion and
Subsistence in Southeast Asia (1976) yang berusaha mempelajari perilaku petani
di Indocina. Menurut Popkin, aliran ekonomi moral, termasuk di dalamnya
pandangan J. C. Scott, keliru dalam memahami masyarakat petani, dan bahkan
juga salah dalam memahami pengambilan kebijakan di Indocina. Popkin
mempertanyakan asumsi-asumsi, analisis-analisis, dan kesimpulan dari hasil studi
yang dilakukan kelompok yang disebutnya aliran "ekonomi moral”.
Sebagai akibatnya, petani subsisten takut pada kemajuan dan tidak berani
mengambil risiko. Dengan menggunakan model penghindaran risiko yang
sederhana, Scott (1976 menjelaskan preferensi petani terhadap aransemen
ekonomi, sosial, dan politik yang cenderung lebih menyukai "tingkat pendapatan
yang relatif rendah tetapı pasti ketimbang "hasil yang lebih tinggi tetapl berisiko
lebih tinggi". masalahnya, jika "eksperimen" mereka gagal hal ini bisa membawa
mereka pada tingkat kehidupan yang lebih buruk dari marjin subsistensi. Bahkan,
situasi yang dihadapi sedemikian rupa sehinga membuat mereka lebih menyukai
sistem pajak progresif ketimbang system pajak prorata.
46
mendahulukan keselamatan ketimbang laba yang lebih besar. Mereka tidak
mungkin melibatkan diri dalam perkembangan ekonomi kapitalisme yang lebih
didasarkan pada rasionalitas, motif laba maksimum, asas kepentingan pribadi,
inovatif, dan berani mengambil risiko.
Di desa, kepincangan antara warga bisa saja terjadi. Akan tetapi, biasanya
pihak yang lebih beruntung harus menunjukkan sifat dermawan pada mereka yang
kurang beruntung kalau tetap ingin dianggap sebagai warga desa. Kenyataannya,
legitimasi "orang besar" (patron, tuan tanah) dinilai dari kedermawanan mereka
terhadap pihak-pihak yang kurang berunrung, dan dari bantuan mereka pada orang
yang sedang ditimpa kesusahan.
47
Para petani dalam pandangan ekonomi moral umumnya curiga dan takut
pada hubungan pasar Mereka tidak tertarik menanam tanaman komersial yang
nilai ekonomisnya lebih tinggi sebab kalau berhasil maka para tetangga akan
dengan senang hati ingin pula "membantu" menilkmati atau cicipi hasil yang lebih
besar tersebut. Sifat "bantu-membantu" di atas memaksa para petani lebih suka
menanam sekedar untuk memenuhi kebutuhan. Karena mereka berusaha
seadanya, hasil yang diperoleh juga seadanya. Yang jelas, hasil yang diterima
petani subsisten jauh dari hasil yang dinikmati petani maju yang dimotivasi oleh
keinginan memperoleh laba maksimum.
Selain takut pada hubungan pasar, para peran subsisten umumnya juga
takut (lebih tepat curiga) pada pemodal yang datang dari luar, sebab dipandang
"berbeda dengan mereka. Para pemodal dari luar ingin memperoleh laba sebesar-
besarnya. Padahal, dalam masyarakat petani subsistem sifat individualisme yang
mengutamakan kepentingan pribadi dianggap sebagai sifat yang tidak baik dan
karena itu sering dicerca. Menurut Scott, petani subsisten sering curiga pada dunia
luar, adanya penetrasi kapital bisa membangkitkan resistansi, perlawanan, atau
bahkan pemberontakan dari para petani untuk mempertahankan pola subsistensi.
48
yang sudah mapan dalam masyarakat petani tersebut. Dengan kata lain. sikap
responsif mereka terwujud dalam bentuk perlawanan terhadap ancaman dari luar
penetrasi dan dalam rangka memperjuangkan kelangsungan subsistensi mereka
sendiri. Berdasarkan uraian di atas, Scott menilai bahwa dari sudut pandang
ekonomi moral, desa bukan merupakan asosiasi petani produsen seperti yang
dijumpai dinegara-negara maju, melainkan lebih mendekati suatu unit ritual dan
budaya yang memiliki rasa nasib yang sepenanggungan.
Menurut Popkin, ajaran tentang moral petani lebih buruk dari penjajahan
dan kapitalisme. Dengan moral petani, tidak ada hasil yang dapat dikumpulkan
dan dengan demikian juga tidak ada harta yang bisa dihancurkan. Lebih lanjut,
Popkin menilai bahwa aliran ekonomi moral terlalu melebih-lebihkan aspek
kebaikan hati dari hubungan patron-client. Nyatanya, "orang besar" (Big Men,
landlord, atau patron) lebih sering memanipulasi petani.
Popkin justru menemukan bukti bahwa petani kaya di pedesan lebih sering
mengeksploitasi dan memanfaatkan kedudukan istimewanya dalam politik dan
status sosial. Banyak orang besar mengeksploitasi lembaga-lembaga pedesaan
49
untuk kepentingan sendiri. Bahkan, banyak “orang besar” menolak tawaran
perusahaaan (seperti perbaikan pendidikan dan teknik pertanian) sebab hal ini
akan mengurangi kekuasaan mereka dan ketergantungan petani kepada mereka.
Menurut Popkin, cara terbaik untuk membantu petani bukan dengan nilai-
nilai moral yang mengajarkan kekompakan senasib dan sepenanggungan di antara
petani, melainkan dengan memperkenalkan individualisme dan pilihan individual
sehingga mereka bisa memilih alternatif terbaik untuk meningkatkan
kesejahteraan mereka.
50
Dari hasil penelitian yang dilakukan di Vietnam, Popkin membuat
kesimpulan yang bersifat antithesis terhadap pandangan Scott. Kalau Scott
mengatakan bahwa petani di Asia Tenggara memiliki sikap yang lebih
mengutamakan keselamatan dibanding memperoleh laba maksimum serta
berorientasi pada kelompok, Popkin justru berpendapat petani tradisional
termotivasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi, bukan kelompok.
51
Popkin dan Scultz sama-sama berkesimpulan bahwa petani tradisional melakuka
tindakan rasional dan efisien dalam mengalokasikan sumber daya, tapi mereka
miskin.
Walau banyak pakar sosial yang memuji pandangan Popkin dalam the
rational peasant, kritikan bukan tidak ada. Kritikan yang muncul antara lain
terhadap pandangannya tentang ekonomi moral; tentang pendekatan ekonomi
politik yang digunakannya; dan tentang aplikasi pendekatannya terhadap
masyarakat petani di Vietnam.
52
Durheim, Rousseau, San Good Samaritan. Popkin dinilai salah dalam menafsiran
moralitas kehidupan desa prakapitalis. Scott tidak pernah menyatakan bahwa
kehidupan di pedesaan sangat terhormat atau bahwa orang desa tidak
berperhitungan. Yang diutarakan oleh Scott bahwa ada pengetahuan umum
tentang aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat desa. Aturan tersebut penting
karena mencerminkan suatu rasionalitas ekonomi yang berbeda dan aturan ini
sendiri tersebar luas dalam komunitas pedesaan. Artinya, kalau Popkin sekedar
memprotes romantisme kehidipan pedesaan, bolehlah. Akan tetapi, hendaknya ia
jangan menyebut romantisme pedesaan tersebut sbagai ide dari Scott.
53
memaksimumkan keuntungan; kebanyakan petani enggan mengadopsi inovasi
baru dan kurang berani mengambil resiko, takut pada kemajuan.
54
pembangunan. Orang Indonesia lebih mengutamakan kepentingan sosial.
Pengakuan sosial dan hubungan kekerabatan yang sangat erat mengalahkan
hubungan lain yang bersifat rasional. Kebutuhan mereka sedikit sekali. Hal- Hal
yang berkaitan dengan masalah ekonimi di anggap sekunder, dan lebih di
perhatikan adalah kebanggaan sosial. Mereka tidak terangsang untuk
menghasilkan lebih. Bahkan kegiatan produksi dipandang sebagai bagian dari
kegiatan social. Kerana petani Indonesia tidak punya rasionalitas ekonomi, boeke
sangat pesimis tentang prospek pembangunan di Indonesia.
Seabad yang lalu kejadian di Jawa dengan di Jepang tidak banyak berbeda,
sistem feodalnya sama, penduduknya sama-sama padat, dan usaha tani mereka
samasama bersifat kecil dengan produktifitas yang tidak begitu berbeda akan
tetapi keadaan tahun 60-an sangat berbeda, pendapatan perkapita rakyat jepang
lima belas kali lebih besar di banding penduduk Jawa dan produksi padi jepang
satu setengah kali lebih produktif dari hasil padi di Jawa. Mengapa bisa demikian?
Menurut Geetz jawabannya berada di luar proses ekologi dan ekonomi yaitu pada
dinamika politik dan budaya Jawa yang feodalitas yang cenderung mematikan
55
kemajuan ekonomi sebagi contoh pedagangan beras jawa ke daerah seberang mati
sebagai akibat politik mataram, sunan memonopoli perdagangan luar negeri untuk
dirinya sendiri dan tidak seorangpun dari kawulanya di perbolehka nmendapat
keuntungan dari perdagangannya tersebut, monopoli raja ditetapkan atas beras dan
orang partikelir yang berani mengekspor berasakan di hukum mati. Kekuasaan
bagi sultan agung jauh lebih penting dari kemakmuran rakyatnya, sunan
Amangkurat juga pernah menyatakan kepada Rijklof van Goers bahwa ia tidak
perlu memakmurkan rakyatnya sebab jika rakyat makmur maka kedudukannya
akan terancam. Bahkan, konon kabarnya sultan Agung sengaja membiarkan
rakyatnya dalam kemiskinan, sebab rakyat miskin lebih gampang untuk di kuasai.
Sebagai dampak dari prilaku budaya feudal tersebut,ekonomi masyarakat petani di
jawa terjebak pada tingkat keseimbangan rendah, proses kemunduran terjadi
bukan karena metode produktifitasnya lemah, melaikan Karen acara (norma)
pendistribusian hasil dalam masyarakat yang jauh dari rasionalitas dan lebih
mengutamakan kepentingan kolektif ini. Bentuk perbaikan macam apa pun tidak
ada memberikan hasil yang memuaskan.
56
DAFTAR PUSTAKA
Rachbini, D. J. (2006). Ekonomi Politik Dan Teori Pilihan Publik (Edisi Kedua).
Bogor: GHALIA INDONESIA.
57