Anda di halaman 1dari 59

MAKALAH EKONOMI POLITIK

“EKONOMI POLITIK BARU”

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Ekonomi Politik Pada
Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Raja Haji

Oleh Kelompok 7 :

Muhamad Agung 16101058


Nani Huzaifah 16101125
Nopisara Rama Dwilistariyah 16101126
Suhandri 16101095
Melinda

Dosen :

FITRI DEWI WULANDARI, M. Si

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK

SEKOLAH TINGGI ILMU SOSIAL DAN POLITIK RAJA HAJI

TANJUNGPINANG

2019
i
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu ekonomi relatif berkembang pesat dibandingkan dengan ilmu-ilmu


humaniora lainnya. Paling tidak hal itu terlihat dari perkembangan cabang-cabang
ilmu ekonomi yang muncul pada saat ini. Cabang-cabang ilmu ekonomi tersebut
mengalami perkembangan menjurus ke arah disiplin ilmu yang ketat, cenderung
terpisah satu sama lain dan hilang kaitannya dengan ilmu-ilmu sosial dan politik.
Masing-masing berkembang dalam kerangka teori dengan perspektif sendiri-
sendiri yang bersifat spesifik.

Perkembangan yang pesat seperti ini pada satu sisi memperlihatkan adanya
kemajuan yang khusus dengan berbagai spesialisasi dan konsentrasi disiplin
tersendiri. Namun, pada sisi lain, spesialisasi yang amat sempit, terpisah dan lepas
kaitan dengan disiplin ilmu lainnya menyebabkan disiplin-disiplin ilmu ekonomi
tersebut sulit menangkap totalitas kenyataan dan fenomena ekonomi masyarakat
yang kian kompleks dan rumit. Fenomena ekonomi tersebut tidak bendiri sendiri
tetapi berkembang di antara fenomena sosial dan politik secara bersama-sama.

Perkembangan baru ini terlihat dari gairah pakar ekomomi untuk


mendalami lebih jauh tentang ilmu ekomomi politik. Perluasan arah pemikiran
ekonomi sempit menuju ke arah pemikiran ilmu ekonomi politik ini semakin
memberi peluang bagi ilmu ekonomi untuk memperluas jangkauannya. ilmu
ekonomi sebagai cabang dari ilmu humaniora pada dasarnya sangat kaya dengan
paradigma dasar yang lebih bermanfaat jika didayagunakan lebih mendalam. Imu
ekonomi politik bisa menjadi jembatan untuk memahami realitas dan proses
ekonomi yang berkaitan dengan proses politik. Sebenarnya, ilmu ekonomi politik
telah diperkenalkan oleh Adam Smith ketika nenulis bukunya yang monumental
tentang kemakmuran Negara. Namun, perkembangannya dari waktu ke waktu
tidak terlalu pesat sebagai ilmu ekonomi politik, melainkan bercabang-cabang
menjadi bidang-bidang ilmu tersendiri. Ilmu ekonomi politik bahkan cenderung

1
semakin tertinggal jauh dibandingkan dengan disiplin ilmu-ilmu ekonomi positif
lainnya.

Disiplin dan cabang-cabang ilmu ekonomi lainnya berkembang begitu


Pesat, seperti ilmu ekonomi keuangan, ekonomi perusahan, ekonomi
pembangunan dan regional. Bahkan, dari pengembangan cabang-cabang ilmu
tersebut tumbuh alat-alat analisis matematika yang baru, seperti ekonometrika.
Namun, semua cabang dan disiplin ilmu ekonomi tersebut hanya berkaitan dengan
dan hanya ada dalam lingkup pengetahuan mengenai mekanis pasar.
Namun demikian, perkembangan ilmu ekonomi politik menunjukkan
gairah dan semangat baru setelah lahir dan tumbuh perspektif teori ekonomi
politik baru (EPB) atau The New Political Economy dalam dua decade terakhir
ini. Perspektif teori ini kemudian popular dengan sebutan rasitional choice (RC)
dan Public Choice (PC). Perspketif baru ini berusaha untuk menjembatani ilmu
ekonomi yang canggih dalam menelaah fenomena ekonomi dalam perspektif
mekanisme pasar dengan fenomena-fenomena dan kelembagaan non pasar
(nonmarket institutions) pada bidang-bidang diluar ekonomi. Ilmu ekonomi baru
(EPB) ini berbeda dengan ilmu politik sejak kelahirannya yang menjangkau
fenomena dan kelembagaan ekonomi pasar.

2
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Lahirnya Ekonomi Politik Baru

Proses-proses ekonomi dan proses-proses politik tidak bisa dipisahkan.


Tak peduli bentuk negaranya, sepanjang dua pihak melihat keuntungan dari
pertukaran, maka pasar akan terbentuk. Di sisi lain, negara menetapkan konteks di
mana pasar beroperasi dan setiap saat siap untuk mengintrupsi pasar.
Kenyataannya, pasar diatur oleh institusi-institusi negara dengan paksa.
Masyarakat sendiri tidak hanya berperan sebagai konsumen dan produsen, tetapi
juga sebagi warga negara dengan berbagai kecenderungan politik yang selain
mampu mengatur pasar juga mampu mengalokasi sumber-sumber ekonomi ke
pasar.

Dari uraian di atas, sangat sangat tidak lumrah bila ilmu ekonomi dan ilmu
politik dibagi atas displin yang berbeda. Logika sederhana mengatakan bahwa
ekonomi dan politik dapat diakomodasikan ke dalam sebuah prinsip pengambilan
keputusan tunggal tentang perilaku manusia yang didasarkan pada rasionalitas
individu. Jika individu dapat menata pilihan-pilihan atau alternatif dalam setting
pasar, mereka tentu juga dapat menatanya dalam setting politik dalam kedua
setting tersebut para pelaku atau aktornya dilandaskan pada kepentingan individu.

Karena alasan diatas, beberapa pakar ekonomi politik baru berupaya


mensinergikan ekonomi dengan ilmu politik. Mereka yang dianggap paling
berjasa ”merujukkan” kembali ekonomi dan ilmu politik antara lain Kenneth
Arrow, Mancur Olson, Williiam Riker, James Buchanan, dan Gordon Tullock.

Tulisan Kennneth Arrow Social Choice and Individual Values (1951) dan
karya Mancur Olson The Logic of Collective Action (1965) telah memberi
sumbangan sangat penting bagi pengembangan ilmu ekonomi politik. Karya lain
yang mencoba menggabung pendekatan ekonomi dan politik adalah The Theory of
Political Coalitions yang ditulis William Riker tahun 1962. Pada tahun sama, juga
muncul karya James Buchanan dan Gordon Tullock berjudul The Calculus of

3
Concent, di mana ilmu ekonomi politik yang selama ini bersifat sosial mulai
didekati dengan hitungan-hitungan matematis.

Walau pendekatan ekonomi politik baru mengandung beberapa


kelemahan, berkat metodologi yang lebih canggih maka pendekatan ini telah
memunculkan aliran baru dalam ekonomi politik. Banyak dari antara pakar-pakar
ekonomi politik baru yang menerima hadiah nobel ekonomi antaranya Kenneth
Arrow tahun 1972 dan James McGill Buchanan tahun 1986. Arrow
mengembangakan teori pilihan sosial (theory of social choice), sedangakan
Buchanan di sampiang mengembangakan teori pilihan publik, juga banyak
menyumbangkan pemikiran dalam mengembangkan keuangan negara.

Ekonomi politik baru berusaha menjembatani antara ilmu ekonomi yang


canggih dalam menelaah fenomena-fenomena ekonomi dari perspektif mekanisme
pasar dengan fenomena-fenomena dan kelembagaan nonpasar pada bidang-bidang
politik. Secara umum, ekonomi politik baru fokus pada masalah-masalah agregasi
preferensi-preferensi individu, maksimisasi fungsi kesejahterahan sosial, atau
pilihan rasional lain.

Atas perluasan ilmu ekonomi diatas, pakar-pakar ekonomi politik baru


megklaim dan menawarkan pemahaman tentang politik dan bentuk-bentuk
perilaku sosial lainnya yang tidak dijual dalam pendekatan-pendekatan yang
berorintasi konflik, budaya, dan pluralis yang selama ini menetukan karakteristik
sosiologi politik dan disipiln ilmu politik. Dalam analisanya, ekonomi politik baru
berusaha memahami realitas politik dan bentuk-bentuk sikap sosial lainnya, tetapi
atas dasar bahwa aktor intektual berusaha untuk mencapai kepentingan masing-
masing.

Kerangka analisis ekonomi politik baru didasarkan pada aktor individu


yang memperjuangkaan kepentingan pribadi, tepatnya individu-individu
diasumsikan sebagai ”goal seeking and choosing creatures” yang beroperasi di
lingkungan yang berbeda-beda. Aktor individu diasumsikan mempunyai sifat
khusus yang spesifik, termasuk di dalamnya seperangkat selera atau perangkingan

4
prefensi kemampuan mengambil keputusan secara rasional atau kemampuan
memilih aternatif terbaik paling efisien dari berbagai pilihan yang ada (Mitchell,
1968 dalam Deliarnov, 2006).

Dari uraian di atas, terlihat bahwa dalam ekonomi politik baru prinsif
dasar ekonomi masih diadopsi. Hanya saja dalam pendekatan ekonomi politik
baru asumsi-asumi ekonomi baru diterapkan dalam lembaga pasar, melainkan
dalam lembaga nonpasar. Lebih jauh dari itu, perspektif ekonomi politik baru,
sistem politik dianggap sinonim dengan pasar. Sebagaimana dijelaskan oleh
Willian Mitchell, 1968 (Deliarnov, 2006) sistem-sistem politik harus dipandang
tidak hanya sebagai mekanisme pilihan untuk mengambil keputusan-keputusan
ekonomi yang berdampak terhadap ekonomi privat, tetapi juga sebagai alat bantu
yang ekonomis dalam pengambilan keputusan perihal anggaran atau produksi dan
distribusi barang-barang dan jasa publik. Sebagaimana teori pasar menjadi fokus
utama dalam pilihan ekonomi privat, begitu juga institusi-institusi politik menjadi
fokus perhatian bagi ekonomi politik.

Dengan cara seperti disebutkan diatas, ekonomi politik baru tidak hanya
dapat diaplikasikan dalam berbagai keputusan ekonomi, seperti terhadap
konsumen dalam membelanjakan uangnya, atau terhadap produsen dalam
menghasilkan berbagai jenis barang dan jasa, tetapi juga dapat diaplikasikan
untuk berbagai fenomena sosial-politik lainnya. Seperti: sikap pemilih dalam
pemilu; sikap wajib pajak atau sikap petani pemakai air; sikap aktor-aktor politik
(aparat, birokrat); dan bahkan juga sikap pemerintah dalam proses pengabilan
keputusan bagi kebijakan publik.

Upaya yang dilakukan pakar-pakar ekonomi politik baru menggabungkan


perangkat ekonomi mikro dengan prilaku individu dalam setting politik telah
menciptakan versi baru dalam bidang ekonomi politik, di mana metode yang
dipakai adalah metode ekonomi, sedangkan lapangan aktivitas atau arenanya
adalah politik. Atas upaya pengembangan yang dilakukan di atas, ada yang
mengatakan bahwa ekonomi politik baru layak disebut sebagai titik kulminasi

5
metodologi ekonomi mikro yang dikembangkan pakar-pakar ekonomi Neoklasik
sebelumnya. Adapun kontribusi terbesar teorisasi ekonomi dalam pasar politik
adalah penggunaan pertukaran sukarela untuk meperbaiki kondisi-kondisi di
antara agen-agen politik.

Walau banyak memuji pendekatan ekonomi politik baru, banyak pula


pakar politik yang menganggapnya sebagai “penjajahan” teori-teori ekonomi
terhadap ilmu politik. Pendekatan yang digunakan dinilai terlalu sederhana,
bahkan naif, sebab hanya mengaplikasikan bahasa ekonomi ke institusi-intitusi
dan prilaku politik. Politik dianggap dijadikan sebagai koloni ekonomi, tetapi
mereka tidak hanya basis teori yang dapat menjelaskan bermacam ragam institusi-
institusi politik.

Bagaimana tanggapan pendukung ekonomi politik baru terhadap berbagai


kritik di atas? Mereka mengakaui bahwa pendekatan ekonomi politik baru yang
mereka kembangkan memang sekedar mengaplikasikan ilmu ekonomi ke ilmu
politik (lebih tegas, mengaplikasikan asumsi-asumsi dasar ekonomi ke ilmu
politik). Akan tetapi, kata mereka hal ini dapat dimaklumi, sebab secara ilmiah
metodologi ilmu politik sangat terbelakang dibanding metodologi ilmu ekonomi
yang maju sangat pesat.

Walapun pada awalnya ekonomi politik lebih dilihat sebagai penjajahan


ilmu ekonomi ke proses-proses politik, kemungkinan terjadinya sinergi di antar
keduanya bukan hal yang mustahil. Artinya, walau pedekatan ekonomi politik
baru pada awalnya lebih banyak menerapkan metodologi ekonomi ke dalam pasar
dan institusi-institusi serta proses-proses politik, bukan mustahil metodologi
politik yang sudah dikembangakan lebih maju bisa pula diterapkan dalam institusi
pasar atau ekonomi. Jika hal ini terjadi, maka suatu saat diperkirakan akan terjadi
senergi atau cross fertilization di antara kedua cabang ilmu ekonomi dan ilmu
politik tersebut. Artinya, suatu saat juga diyakini akan ada penerapan metodologi
politik dalam pasar ekonomi.

6
Kemungkinan akan terjadinya kerja sama dan sinergi yang lebih baik
antara ilmu ekonomi dan ilmu politik bunkanlah sebuah utopia. Menurut
Ordeshook (1994), Dalam karya pakar-pakar ekonomi politik baru paling awal
seperti Arrow dalam Social Choice and Individual Values (1951); William Riker
dalam The Theory of Plitical Coalition (1962); Buchanan & Tullock dalam The
Calculus of Consent (1962); dan Mancur Olson dalam The Logic of Collective
Action (1965), memang lebih banyak metodologi ekonomi “menjajah” ilmu
politik, dan bukan sebaliknya. Akan tetapi, perhatikan karya-karya Arthur
Bentley, David Truman, Robert Dahl, Hans Morgenthau, Charles Lindblom, dan
V. O. Key, maka kesan imperialisme ilmu ekonomi terhadap ilmu politik akan
hilang.

Bahwa imperialisme ilmu ekonomi terhadap ilmu politik lambat laun akan
dapat dilihat dari kenyataan bahwa pakar-pakar yang disebutkan terakhir diatas
tidak lagi melibatkan analisis deduktif seperti yang lazim digunakan oleh pakar-
pakar ekonomi murni. Begitu juga sekarang muncul struktur teoritis sehingga
ekonomi politik baru tidak hanya menjanjikan sebuah basis komprehensif dalam
pemodelan proses-proses politik, tetapi juga dalam mengintergrasikan studi
tentang ekonomi dan politik. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa sekarang
mucul jurnal-jurnal yang mempresentasikan aliran utama kedua disiplin ilmu
ekonomi dan politik tersebut (Alt & Sheple, 1994).

Aplikasi metode-metode ekonomi terhadap politik sangat jelas terlihat


dalam teori pilihan rasional, teori pilihan publik, serta teori permainan ketika
diaplikasikan terhadap aktor-aktor institusi-institusi politik, dan dalam analisis
ekonomi tentang institusi-institusi hukum dan politik. Walau banyak aplikasi
metode-metode ekonomi terhadap politik, tetapi pada pembahasan selanjutnya
kita hanya akan meghapus lebih jauh dari teori yang terpopuler saja dari aliran
ekonomi politik ini, yaitu teori pilihan rasional dan teori pilihan publik.

7
1. Teori Pilihan Rasional

Kenneth Arrow dianggap sangat berjasa dalam meyebabkan


paradigma pilihan rasional (rational choice theory) medapat tempat dalam
ilmu ekonomi politik. Pendukung teori pilihan rasional lainnya adalah
Anthony Downs dengan karyanya An Economic Theory of Democracy
(1997) dan Mancur Olson dalam buku The Logic of Collective Action
(1965). Secara umum teori pilihan rasional berusaha mengembangkan
aksioma-aksioma tentang pilihan terbaik dan preferensi yang sudah
dianggap oleh pakar-pakar Klasik dan Nonklasik sebelumnya.

Kaum klasik sudah mengembangkan asumsi manusia rasional yang


selalu berusaha megembangkan arternatif tebaik dari berbagai pilihan yang
tersedia. Kemudian, pakar-pakar Neoklasik mengembangkan lebih jauh
konsep rasionalitas tersebut ke proses-proses dan institusi-institusi politik.
Dalam perspektif ekonomi politik Neoklasik tersebut, para penyelenggara
negara diasumsikan sebagai makhluk ekonomi yang didorong oleh
kepentingan masing-masing, baik individu-individu, kelompok, atau
partai. Namun sayangnya, mereka berhenti di situ. Di sinilah ekonomi
politik baru megambil perannya, yaitu berusaha menjembatani ilmu
ekonomi yang lebih canggih metodologinya dalam menelaah fenomena-
fenomena dan kelembagaan nonpasar pada bidang politik, yang oleh pakar
Neoklasik dianggap berada diluar domain ilmu ekonomi.

Secara umum rasionalitas yang dikembangkan oleh pakar-pakar


ekonomi politik baru, terutama dalam pilihan rasional, terkait dengan
konsep-konsep seperti kesukaan atau preferensi kepercayaan (beliefs),
peluang (opportunities), dan tindakan (action). Agar lebih mudah
dipahami, misalkan kita dihadapkan pada dua pilihan, yaitu A dan B. Tiga
cara untuk mengungkapkan prefensi antara kedua pilihan tersebut adalah
(1) A lebih baik dari B (dinotasikan dengan A>B), (2) B lebih baik dari A
(B >A atau A<B), dan (3) A sama baik (atau sama jelek) dengan B (A=B).

8
Kalau seandainya Anda merangking A > B; dan B > C, berdasarkan theory
of revealed, sesuai aksioma transitivitas, kesimpulanya ialah A > C.

Menurut William H. Riker dalam Political Science and Rational


Choice (1994), model pilihan rasional terdiri atas elemen-elemen berikut:
(1) para aktor dapat merangking tujuan-tujuan, nilai-nilai, selera, dan
strategi-strategi mereka, dan (2) para aktor dapat memilih alternatif terbaik
yang bisa memaksimumkan kepuasan mereka. Dari alemen-alemen di atas,
kompenen utama pilihan rasional adalah perangkingan. Dalam melakukan
perangkingan, perangkat alternatif diasumsikan tertentu dan tetap
jumlahnya, sedangkan hal-hal yang dapat diabaikan atau dipercaya tidak
relevan dikategorikan sebagai pilihan-pilihan yang tak mungkin.
Kompenen kedua adalah kepercayaan. Sebagaimana diugkapkan oleh
Elster (1986): In order to know what to do, we first have to know what to
believe with respect to the relevant factual matters. Hence a theory of
rational choice must be supplemented by a theory of rational beliefs”.
Tekanan pada kepercayaan menunjukan bahwa individu-individu tidak
bertindak semata-mata berdasar kebiasaan dan emosi, tetapi juga atas dasar
kepercayaan tentang struktur sebab akibat dunia nyata. Komponen ketiga
adalah kesempatan, yang terkait dengan sumber daya dan kendala. Tiap
orang punya banyak keinginan, tetapi tidak semua keinginan bisa dicapai
karena sumber daya dan kemampuan untuk memperoleh yang diinginkan
terbatas adanya. Pada suatu waktu, kita hanya akan memperoleh hasil
tertentu sesuai keterbatasan logika, fisik, dan ekonomi yang ada.
Kompenen keempat tindakan itu sendiri, yaitu pilihan oleh agen-agen yang
diamati. Tujuan teori pilihan rasional adalah untuk menjelaskan pilihan-
pilihan yang dilakukan oleh agen-agen, di mana preferensi-preferensi dan
kepercayaan-kepercayaan yang diasumsikan tidak ditentukan dari dalam
mekainkan dari luar dan bersifat tetap, sedangkan pilihan-pilihan adalah
hasil respons terhadap perubahan-perubahan dalam insentif dan biaya-
biaya.

9
Dari uraian di atas dapat kita pahami inti dari pendekatan pilihan
rasional. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Elster (1986): “The
essence of rational choice explanation embodies a conception of how
preferences, beliefs, resources and actions stand in relation to one
another”. Hubungan ini dapat dipecah atas dua bagian, yaitu (1) terdapat
sebuah kriteria yang konsisten yang dapat diaplikasikan terhadap struktur
preferensi dan kepercayaan-kepercayaan, dan (2), terdapat serangkaian
persyaratan yang megikat. Lebih lajut, Elster menjelaskan bahwa suatu
aksi disebuat rasional jika dapat memperhatikan keterkaitan dengan
preferensi-preferensi, kepercayaan-kepercayaan dan sumber-sumber daya.
Sebuah tindakan dikatakan rasional jika (1) dapat dibuktikan (secara ex-
ante ketimbang ex-post) sebagai tindakan terbaik yang mungkin dilakukan
untuk memenuhi preferensi-preferensi agen sesauai kepercayaan-
kepercayaan, (2) bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut rasional sesuai
bukti-bukti yang ada, dan (3) bahwa jalan atau proses dan kualitas dari
bukti-bukti yang tersedia dapat dijustifikasi sesuai rasio biaya dan
keuntugan.

Kaum klasik menegaskan bahwa manusia rasional adalah yang


selalu berusaha memilih alternatif tebaik dari berbagai pilihan yang
tersedia, sesuai kendala dan keterbatasan yang dimiliki. Menurut Jurgen
Habermas dalam The Theory of Communicative Action (1984). Tindakan
rasional adalah tindakan yang disengaja untuk mencapai hasil maksimal
dengan menciptakan kondisi yang kondusif dan institusi-institusi yang
mendukung sehingga dapat dilakukan tindakan dengan tingkat kesalahan
minimal.

Konsep pilihan rasional bisa diaplikasikan pada pemerintah


sebagai aktor atau pada pemilih individu dalam pemilu karena kriteria
yang digunakan sama, dan begitu juga kesempatan-kesempatan dianggap
bisa dibandingkan. Bagi pakar ekonomi politik baru, yang penting adalah
bahwa pilihan rasional bisa dilaksanakan, baik oleh pribadi-pribadi atau

10
oleh pemerintah. Mereka tidak menolak kerangka eksistensi politik, tetapi
mereka mengasumsikan bahwa perilaku politik dan institusi-institusi
politik bisa dianalisis seperti halnya perilaku ekonomi dan institusi-
institusi pasar.

Rasionalitas politik terkait dengan pilihan-pilihan tindakan dan


keputusan yang diambil untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, termasuk
tujuan-tujuan politik. Dalam perspektif pilihan rasional, pasar dalam arti
luas dianggap sebagai modus operandi yang paling efisien dalam
mengalokasikan sumber daya, perluasan lingkup preferensi individu, dan
menjamin kebebasan tiap orang dalam masyarakat untuk berpolitik.

Dengan mengunakan pendekatan pilihan rasional, kita bisa


memahami rasionalitas politik dalam pemilihan. Di mana sebelum
menentukan pilihan, masyarakat sudah melakukan interpretasi politik
tentang tujuan-tujuan bersama yang ingin dicapai, tindakan yang akan
diambil untuk tujuan, sarana yang digunakan atau diperlukan, institusi-
institusi dan aktor-aktor politik dianggap kompeten untuk mencapai
tujuan-tujuan yang ditetapkan. Tujuan bersamanya adalah kesejahteraan,
kemakmuran, keamanan, dan ketertiban. Adapun aktor yang diharapkan
mampu membawa masyarakat ke arah tujuan bersama tersebut adalah
presiden dan para menteri di cabinet. Siapa yang dipercaya paling mampu
memimpin bangsa untuk mencapai semua tujuan bersama tersebut, dia dan
kabinetnya yang akan dipilih.

Di atas sudah dijelaskan bahwa teori pilihan rasional berusaha


mengaplikasikan metode-metode ekonomi terhadap politik. Yang jadi
masalah, transfer metode-metode ekonomi ke politik melibatkan berbagai
komplikasi, beberapa pertanyaan yang sulit dijawab antara lain: bagaimana
mengagregasikan preferensi-preferensi individu ke kolektif atau publik;
bagaimana mengoordinasikan keputusan-keputusan individu, Caporaso &
Levine, 1993 (Deliarnov 2006).

11
a. Pilihan Sosial Arrow Teori

Sulitnya mengagregasikan preferensi individu-individu ini


dikemukakan oleh Kenneth Arrow dalam Social Choice and
Individual Values (1951). Arrow sebetulnya ingin megetahui
dengan logika apakah orang-orang yang mempunyai tujuan yang
berbeda-beda dapat menggunakan voting untuk membuat suatu
tindakan kolektif yang dapat membahagiakan semua orang. Dari
hasil studinya, ia menyimpulkan hal tersebut sebagai sesuatu yang
tidak mungkin. Karena itu argumennya sering disebut
“impossibility theorem”

Menerut Arrow, dalam pemilihan demokratis bisa dijumpai


kasus di mana preferensi individu tidak konsisten dan preferensi
publik. Lebih lanjut, Arrow menyatakan: ketika keputusan-
keputusan dibuat dalam kelompok-kelompok lewat prosedur
demokratis, tidak akan dengan sendirinya muncul sebuah fungsi
kesejaterahan sosial yang (1) mengekspresikan preferensi-
preferensi dari kolektivitas sebagai suatu keseluruhan dan (2)
sesuai dengan persyaratan konsistensi yang untuk perangkingan
preferensi individual. Berdasarkan kedua asumsi di atas, maka
penjelasan pilihan rasional bisa gagal pada level sistem politik, baik
karena agen-agen kolektif tidak bertindak rasional atau karena ide
tentang rasional untuk kolektivitas itu sendiri tidak utuh. Tegasnya,
perangkingan preferensi individu (individual preference orderings)
secara umum tidak menghasikan preferensi sosial yang konsisten.

Secara literal, kelompok tidak membentuk pikiran kolektif.


Hal tersebut digambarkan sebagai berikut. Misalkan, ada tiga
pilihan, yaitu orang pertama, kedua, dan ketiga. Ketiga pilihan
tersebut ingin memilih tiga calon, yaitu A, B dan C. Misalkan hasil

12
perangkingan ketiga pilihan terhadap ketiga calon tersebut adalah
sebagai berikut:

Perangkingan orang pertama :A>B>C

Perangkingan orang kedua :C>A>B

Perangkingan orang ketiga : B>C>A

Jika dijumlah, perangkingan kolektifnya adalah: A > B > C


> A. Hal ini jelas menunjukan ketidak konsistenaan. Dari contoh di
atas, Arrow menghasilkan sebuah impossible theorem secara umum
yang menyerang dasar-dasar demokrasi. Dari teorema tersebuat,
Arrow menyimpulkan: tanpa adanya pembatasan tentang bentuk
perangkingan preferensi individu maka cara-cara demokrasi
tidaklah demokratis. Teorema Arrow mengimplikasikan bahwa
sistem demokrasi bersifat tidak stabil atau tidak dalam posisi
keseimbangan yang stabil.

Dengan dikembagakanya teori pilihan rasional maka orang


juga mempertanyakan teori perilaku yang menyatakan bahwa
organisme berperilaku dengan cara-cara tertentu. Misalnya, orang
yang ketika diwawancarai mengatakan anggota Partai A cenderung
memilih calon yang disodorkan Partai A. Hukum di atas menjadi
perdebatan panjang antara pendukung pilihan rasional dengan kubu
penganut aliran perilaku. Di Indonesia, terbukti tidak semua partai
Golkar memilih pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid yang
disodorkan Golkar pada pilpres 2004 pertama. Sebagian melenceng
ke pasangan SBY-Kalla.

b. Tanggapan Terhadap Model Pilihan Rasional

Banyak pujian diberikan pada pendekatan pilihan rasional.


Ada yang mengatakan pendekatan nasional ini elegan, sangat
sederhana tetapi besar manfaatnya. Pendekatan pilihan rasional bisa

13
diaplikasikan dalam berbagai analisis dan perspektif, antara lain
bisa digunakan untuk membantu bagaimana perilaku
diinterpretasikan sesuai ideology atau budaya, dan bisa pula di
gunakan untuk membantu pengambil keputusan (baik individu atau
institusi) utuk memilih keputusan yang lebih baik (dalam
pengertian lebih efisien).

Dengan dikembangkannya teori pilihan rasional, terbuka


peluang bagi ekonomi politik sebagai bagian dari ilmu politik.
Salah satu aplikasi pendekatan pilihan rasional yang sangat sukses
di Amerika Serikat dan Eropa Barat dalam bidang politik adalah
penerapan pada perilaku voting, formasi koalisi, aspek-aspek
konflik tertentu, aksi kolektif, dan juga dalam sejarah perbandingan
ekonomi. Walau pendekatan pilihan rasional sangat berhasil di
Negara-negara demokratis seperti Amerika Serikat dan Negara-
negara Eropa Barat, tetapi keberhasilannya masih diragukan jika
diterapkan diluar batas demokrasi liberal anglo sakson.

Kelemahan teori pilihan rasional yang paling utama justru


terletak pada asumsi yang digunakan, yaitu bahwa semua actor
(individu, dan institusi, termasuk agen-agen dan institusi politik)
selalu bertindak rasional. Dengan asusmsi ini, berarti orang akan
selalu memilih alternatif terbaik dari berbagai pilihan yang ada.
Dalam kenyataan, tidak semua orang termasuk para agen politik
bertindak rasional. Sebagian bahkan melakukan kesalahan
berulang-ulang.

Atas kelemahan tersebut, banyak pakar-pakar sosial yang


mengecam pendekatan pilihan rasional yang menjadikan manusia
sebagai objek atau mesin yang disetir oleh kekuatan-kekuatan
mekanis dan mengabaikan aspek kemanusiaan. Dalam pendekatan
piloihan rasional, hamper tidak ada ruang untuk maksud-maksud

14
humanis, kecuali sebagai respon otomatis terhadap kekuatan-
kekuatan material. Padahal, setiap individu adalah unik dan bukan
merupakan subjek untuk generalisasi. Pakar-pakar yang mengikuti
tradisi ilmu perilaku dan banyak dipengaruhi oleh ilmu psikologi
dan sosiologi paling skeptic tentang relevansi paradigm pilihan
rasional. Mereka menganggap bahwa definisi tentang rasionalitas
terlalu restriktif, lagi pula konsep kepentingan diri sendiri yang
digunakan dalam pilihan rasional mengabaikan motivasi-motivasi
altruisme yang tetap dijumpai dalam masyarakat, betapapun
majunya masyarakat atau Negara tersebut.

Kelemahan lain adalah asumsi bahwa sebelum mengambil


tindakan tiap orang telah mendapat semua informasi yang
dibutuhkan sehingga dapat memilih alternatif baik. Ketersediaan
informasi bagi semua pihak sangat penting, sebab hanya
berdasarkan informasi yang sama maka setiap orang memiliki
kesempatan yang sama pula untuk berpartisipasi dalam pasar, baik
pasar ekonomi maupun pasar politik. Persoalan menjadi lain kalau
informasi hanya dikuasai suatu pihak, sedang pihak lain relatif
tidak memiliki informasi. Asumsi bahwa semua pihak memperoleh
informasi yang merata, sulit ditemui dalam realitas politik.

Kelemahan teori pilihan rasional lainnya terkait dengan unit


yang dipakai dalam analisis, apakah pada level individu atau
kolektif. Kelihatannya persoalan prefensi mudah untuk level
individu, tapi sewaktu diaplikasikan pada level publik yang
sifatnya kolektif dan lebih luas, masalahnya menjadi sedikit lebih
rumit, sebab kita akan dihadapkan dengan maalah-masalah
sehubungan dengan agregasi atau pejumlahan preferensi. Sulitnya
mengagregasikan preferensi individu-individu ini telah
dikemukakan oleh Kenneth Arrow (1951), dimana dalam pemilihan
demokratis kita bisa dihadapkan pada kasus dimana preferensi

15
individu tidak konsisten dengan preferensi publik. Artinya, dalam
pemilihan demokratis yang sifatnya kolektif, apa yang dianggap
terbaik menurut individu elum tentu yang terbaik bagi publik.

Salah satu komponen utama pendekatan pilihan rasioanal


ialah orientasi terhadap efisiensi. Dalam ilmu ekonomi, efisiensi
bererti bahwa kita bisa memperoleh utilitas tertinggi sesuai kendala
yang dihadapi. Dalam konsep efisiensi kolektif, yang dipakai
ekonom adalah pareto aptimu, yaitu suatu kondisi dimana distribusi
tidak bisa dibuat lebih baik tanpa membuat kesejahteraan pihak lain
lebih buruk. Jika sydah mencapai pareto optimum, ini berarti
bahwa aransemen yang ada sudah yang terbaik, dan tidak tak
mungkin dibuat lebih baik lagi. Dalam kondisi tercapainya pareto
optimum, jika ditambahkan kebijaksanaan redistribusi, akan
mengakibatkan kondisi tersebut terganggu. Dalam kenyataan, pasar
politik hanya mampu menjamin keadilan komutatif, tetapi tidak
menjamin keadilan distributife. Konsep pareto ini memiliki
kelemahan, terutama tidak peduli dengan keadilan. Karena itu
penggunaan politik untuk memperbaiki ketidakadilan tidak
dimungkinkan, sebab pendekatan pilihan rasional tidak
menyinggung soal kekuasaan dan domiasi dalam membahs politik.

Terakhir, teori pilihan rasioanl menganggap masyarakat dan


budaya sebagai sesuatu yang sudah tertentu adanya. Padahal,
rasioanalitas bukanlah sebuah konsep yang sederhana. Menurut
MacIntyre dalam whose justice?Which Rationality? (1996),
rasionalitas tidak bersifat tanggal, melainkan bersifat majemuk.
Artinya, ada berbagai macam rasionalitas berdasarkan pluralitas
budaya, tempat, dan waktu. Suatu tindakan yang rasional dalam
konteks budaya, tempat, dan waktu tertentu bisa tidak rasional
dalam konteks budaya, tempat, dan waktu lain.

16
Lebih lanjut MacIntyre mengatakan bahwa tingkat
rasionalitas juga berbeda-beda diantara kelompok-kelompok yang
ada dalam masyarakat. Ada pihak-pihak atau kelompok-kelompok
yang mengambil tindakan atas pertimbangan praktis-pragmatis
belaka, dimana pilihan tidakan diambil sekadar untuk pemenuhan
hasrat jangka pendek. Hal seperti ini lazim dijumpai dalam
masyarakat pedesaan dengan latar belakang pendidikan yang relatif
rendah. Akan tetapi, juga ada pihak atau kelompok yang dasar
pertimbangan pilihannya lebih bersifat abstrak-substansif, dimana
pilihan dilakukan untuk pemenuhan nilai-nilai yang lebih tinggi.
Hal ini lazim dijumpai dalam kelompok masyarakat perkotaan
dengan latar belakang pendidikan dan tingkat intelektualitas yang
lebih tinggi. Dari hasil penelitiannya secara umum, MacIntyre
menyimpulkan bahwa tingkatan rasionalitas suatu kelompok
masyarakat terkait dengan latar belakang budaya, kondisi geo-
politik, tingkat penyerapan dan pencernaan informasi, tingkat
intelektualitas, pendidikan politik, serta factor-faktor lingkungan
lainnya.

Walau model pilihan rasioanal cocok dengan persepsi akal


sehat, William H. Riker (1994) mengakui model ini mengandung
unsur ketidakpastian, baik dari segi teori maupun investigasi. Salah
satu jalan keluar dari kesulitan ini yang ditawarkan oleh Riker ialah
dengan mengasumsikan bahwa perangkat pilihan sudah berisikan
semua alternatif yang mungkin atau relevan. Dengan dilandaskan
pada asumsi tersebut, maka dari semua pilihan yang ada aktor bisa
memilih sebuah alternatif yang dianggapnya terbaik

Dalam hal ini bisa saja aktor keliru dalam menafsirkan alter,
Rnatif-alternatif yang ada, atau salah dalam meilih alternatif yang
tidak sesuai dengan tujuan utama mereka, atau aktor tidak memilih
alternatif yang terbaik akrena kurangnya informasi. Untuk

17
menghilangkan keragu-raguan dalam menentukan pilihan, Riker
membedakan procedural rationality atau revealed preference (di
mana tidak ada tujuan ataupun hasil yang sudah dispesifikasikan
sebelumnya) dengan substantive rationality atau posited rationality
(di mana tujuan-tujuan tertentu sudah ditentukan sebelumnya,
misalnya dengan menetapkan bahwa hierarki tujuan adalah untuk
memuaskan: (1) rasa lapar; (2) sex, dan (3) kekayaan, dan
seterusnya).

Dengan adanya pembedaan procedural rationality atau


substantive preference tersebut, walaupun dalam rasioanalitas
procedural mengasumsikan prosesnya sudah konsisten, dan dalam
rasionalitas substantive, pengamat hanya menawarkan pilihan,
dalam proses maupun hasilnay bisa saja tidak konsisten dengan
tujuan semula. Dengan jalan keluar yang ditawarkan Riker diatas,
maka model pilihan rasioanal bisa menggeneralisasi peristiwa-
peristiwa (tepatnya pilihan-pilihan) yang persis sama dengan
peristiwa-peristiwa pengambilan harga dalam pasar ekonomi, dan
yang lebih penting lagi, kita bisa menggeneralisasi tujuan dari para
aktor.

2. Teori Pilihan Publik

Selain teori pilihan rasional, aplikasi metodologi ekonomi mikro


terhadap politik lainnya adalah teori pilihan publik. Teori pilihan publik
sebagian berasal dari literatur-literatur tentang keuangan negara yang
dikembangkan tahun 50-an oleh Musgrave & Peacock (Classics in the
Theory of Public Finance, 1958); Musgrave (The Theory of Public
Finance, 1959); dan sebagian dari kontribusi Kenneth Arrow (Social
Choice and Individual Values, 1951); Anthony Downs (An Economic
Theory of Democracy, 1957); James Buchanan & Gordon Tullock (The
Calculus of Consent, 1962); Mancur Olson (The Logic of Collective

18
Action, 1965); dan Popkins (The Rational Peasant, 1978). Teori-teori
tersebut oleh pakar-pakar ekonomi dikembangkan lebih lanjut menjadi
Teori Publik. Tujuannya adalah untuk membantu pakar-pakar politik
memfasilitasi konseptualisasi berbagai teori politik sebagai masalah-
masalah aksi kolektif.

Menurut Samuelson & Nordhaus (1995), teori pilihan publik


adalah salah satu cabang ilmu ekonomi yang mempelajari bagaimana
pemerintah membuat keputusan yang terkait dengan kepentingan
masyarakat (publik). Lebih jelas, Samuelson & Nordhaus mendefinisikan
teori pilihan publik sebagai berikut: "Public Choice Theory asks about
how', 'what', and 'for whom' of the public sectors just as supply and
demand theory examines choices for the private sectors”.

Definisi yang lebih sederhana diberikan oleh Caporaso & Levine


(1993), yang mengartikan pilihan publik sebagai aplikasi metode-metode
ekonomi terhadap politik. Definisi tersebut sesuai dengan pendapat
Buchanan (1984) yang mengatakan bahwa teori pilihan publik
menggunakan alat-alat dan metode-metode yang sudah dikembangkan
hingga tingkat analitis canggih ke dalam teori-teori ekonomi dan
diaplikasikan ke sektor politik atau pemerintahan, ke ilmu politik atau ke
ekonomi publik.

Bagi Buchanan, teori pilihan publik bukan metode dalam arti biasa,
juga bukan seperangkat alat analisis, melainkan sebuah perspektif untuk
bidang politik. Perspektif ini muncul dari pengembangan dan
pengaplikasian perangkat dan metode ilmu ekonomi terhadap proses
pengambilan keputusan kolektif dan berbagai fenomena-fenomena yang
bersifat nonpasar. Lebih tegas, pilihan publik adalah "the economic study
of non-market decision making”.

Teori pilihan publik dapat digunakan untuk mempelajari perilaku


para aktor politik sebagai petunjuk bagi pengambilan keputusan dalam

19
penentuan pilihan kebijakan publik yang paling efektif. Yang menjadi
subjek dalam telaah pilihan publik adalah pemilih, partai politik, politisi,
birokrat, kelompok kepentingan, yang semuanya secara tradisional lebih
banyak dipelajari oleh pakar-pakar politik.

Politik Sebagai "Arena Permainan"

Dengan penalaran deduktif, ahli ekonomi menelusuri watak dan sikap


aktor negara yang diasumsikan rasional dan didasarkan pada kepentingan pribadi
cengan memaksimumkan peluang-peluang yang mungkin diperoleh dari suatu
pemilihan. Pengambilan keputusan dengan cara yang disebutkan di atas dapat
membuat prediksi-prediksi yang lebih pasti dan menghasilkan keputusan-
keputusan politik yang mempunyai dasar ilmiah dengan jangkauan lebih panjang
ke depan.

Premis dasar pilihan publik ialah bahwa pembuat keputusan politik


(pemilih, politisi, birokrat) dan pembuat keputusan privat (konsumen, produsen,
perantara) bertindak dengan cara yang sama bertindak sesuai kepentingan pribadi.
Dalam kenyataan, pembuat keputusan ekonomi (misalnya, konsumen) dan
pembuat keputusan politik (pemilih) biasanya adalah orang yang sama. Tegasnya,
orang yang membeli barang-barang keperluan sehari-hari (konsumen) adalah
orang yang juga memilih dalam suatu pemilihan.

Dalam model pilihan publik, politik tidak dipandang sebagai arena


memperebutkan kekuasaan seperti yang digunakan dalam pendekatan politik
murni, melainkan lebih dipandang sebagai arena permainan yang memungkinkan
terjadinya pertukaran di antara warga negara, partai-partai politik, pemerintah, dan
birokrat. Seperti halnya dalam permainan olahraga dan permainan pasar ekonomi,
permainan dalam pasar politik juga memiliki aturan-aturan yang harus dipatuhi
dan para pemain dengan tujuan utama memenangkan pertandingan. Aturan yang
harus diikuti dalam “permainan politik" adalah konstitusi dan sistem pemilihan.
Adapun yang menjadi pemain dalam pasar politik adalah para pemilih sebagai
konsumen atau pembeli barang-barang publik, dan wakil rakyat sebagai legislatif

20
atau politikus, yang bertindak layaknya seorang wirausahawan yang
menginterpretasikan permintaan rakyat terhadap barang-barang publik dan
mencarikan jalan sekaligus memperjuangkan agar barang-barang publik tersebut
sampai pada kelompok-kelompok pemilih yang memilih mereka dalam pemilihan.

Apakah motivasi para anggota legislatif dan partai hanya untuk


memperjuangkan kepentingan rakyat yang diwakilinya? Tidak juga. Motif orang
menjadi anggota legislatif sangat kompleks, mulai dari yang dimotivasi oleh
ideologi hingga pragmatisme untuk sekadar mencari makan. Dalam teori pilihan
publik, motivasi para anggota legislatif tersebut disederhanakan menjadi
“memaksimalkan kesempat-an dari pemilihan”, atau “vote maximizers”, sama
seperti perusahaan swasta diasumsikan sebagai “profit maximizers”.

Selain pemilih sebagai konsumen dan legislatif serta partai-partai sebagai


pemasok, kadang-kadang ikut serta juga organisasi kelompok kepentingan dalam
permainan politik. Mereka mewakili suatu kelompok masyarakat atau bisnis
tertentu yang diorganisiasi untuk melobi pengambil keputusan untuk
mengeluarkan kebijakan yang mengakomodasikan kepentingan para anggotanya,
apakah itu kelompok pertanian, guru, buruh, pebisnis, dan sebagainya. Kadang-
kadang kelompok kepentingan ini memiliki kekuatan politik melebihi jumlah
anggotanya. Jika kelompok kepentingan menguasai badan pengaturan dan badan
legislatif, ia bisa berubah menjadi apa yang disebut "non-representative
government”, Samuelson & Nordhaus, 1995 dalam Deliarnov, 2006.

Dari uraian di atas terlihat bahwa dalam model pilihan publik, hasil politik
ditentukan oleh permintaan dan penawaran, persis sama seperti halnya proses
terbentuknya harga dalam pasar persaingan sempurna. Hanya saja dengan pilihan
publik, konsep barter dan pertukaran yang sederhana, sesuai konsep ekonomi
murni, menjadi lebih kompleks sifatnya. Pertukaran dalam pengertian yang lebih
kompleks ini diartikan sebagai suatu proses persetujuan kontrak yang lebih luas
makna dan cakupannya dari pertukaran yang dilakukan oleh dua orang yang
melakukan transaksi, sebab tekanan akhir dari persetujuan kontrak adalah proses

21
persetujuan sukarela di antara banyak orang dalam masyarakat. Dalam hal ini,
pilihan publik tidak menolak kemungkinan adanya kepentingan kolektif dan
tindakan kolektif, tetapi kalaupun ada maka semua itu hanya merupakan hasil dari
segenap kepentingan individu yang ada dalam kelompok.

Transformasi konsep pertukaran ekonomi yang sederhana dalam


keputusan-keputusan ekonomi menjadi perjanjian atau konsensus sukarela yang
lebih kompleks dalam keputusan-keputusan politik, sangat menarik sebagai
pilihan paradigma baru dalam ilmu politik yang secara tradisional berbasis pada
analisis tentang kekuasaan. Kelebihan pendekatan pilihan publik yang langsung
dirasakan ialah bahwa proses politik tentang permainan kekuasaan menjadi lebih
"lunak” karena didasarkan pada kesukarelaan di antara partisipan dalam proses
dan pengambilan keputusan politik sesuai aturan dan konstitusi, tidak sekadar
didominasi oleh pihak yang dominan dan berkuasa. Pilihan publik juga ramah
terhadap perubahan dan anti status quo.

Perbedaan Pilihan Publik dengan Ekonomi Murni

Ada perbedaan antara pendekatan pilihan publik dengan pendekatan


ekonomi murni. Menurut lain McClean dalam Public Choice: An Introduction
(1987), ekonom murni biasanya hanya bersentuhan dengan pilihan individu untuk
kasus barang swasta. Sebagai contoh, jika seorang konsumen ingin membeli
sebuah barang swasta, katakanlah jeruk, ia dapat membeli ke penjual buah-buahan
atau supermarket, dengan tingkat harga jeruk yang berlaku, sesuai mekanisme
permintaan dan penawaran. Keputusan yang diambil pembeli jeruk, biasanya
tidak menimbulkan eksternalitas bagi individu lain. Dalam kasus ini, si konsumen
tidak memerlukan campur tangan pemerintah untuk mengontrol pasok dan harga
jeruk.

Di sisi lain, ekonomi politik bersentuhan dengan barang publik. Ciri


barang publik yang paling penting bagi kita adalah sifat pengonsumsiannya yang
tidak eksklusif. Oleh karena sifat pengonsumsian barang publik yang tidak bisa
dipisahkan tersebut, produsen swasta enggan menyediakan barang publik, sebab

22
tiap orang cenderung menjadi pembonceng. Dengan sikap masyarakat yang
cenderung bertindak sebagai pembonceng, organisasi menjadi tidak efisien, dan
biaya dalam melakukan transaksi menjadi semakin mahal. Di sinilah peran
pemerintah diharapkan mengambil alih fungsi pemasok. Jadi, berbeda dengan
kasus barang swasta yang tidak memerlukan campur tangan pemerintah, dalam
kasus barang publik, kehadiran atau campur tangan pemerintah justru merupakan
suatu keharusan.

Berbedanya pilihan publik dengan ekonomi konvensional bukan dalam


konsepsi tentang individu dan kekuatan-kekuatan yang memotivasi tindakan,
tetapi lebih pada kendala dan peluang-peluang yang ditawarkan oleh politik
sebagai lawar, dari lingkungan pasar. Di sini, ekonomi (sebagai pertukaran pasar,
produksi, dan konsumsi) dan politik (sebagai pertukaran politik, kekuasaan, dan
hubungan otoritas) muncul sebagai aplikasi khusus dibanding sebagai masalah
yang berbeda. Politik di sini merujuk pada institusi-institusi dan proses-proses
melalui mana individu-individu mengejar preferensi mereka masing-masing,
Caporaso & Levine, 1994 dalam (Deliarnov, 2006).

Dengan pendekatan pilihan publik, tidak ada lagi sekat-sekat pemisah


antara ekonomi dan politik, antara pasar dan pemerintah, antara pribadi dan
masyarakat publik. Dalam model pilihan publik, ekonomi diperluas mencakup
politik, pasar diperluas mencakup pemerintah, dan pribadi diperluas menjadi
masyarakat. Pendekatan perluasan seperti ini lazim disebut dengan catallactic.
Aras perluasan metodologi ekonomi ini, banyak ahli-ahli sosial yang khawatir
bahwa akhirnya ilmu ekonomi digunakan untuk menelaah segala hal yang dulu
menjadi objek kajian ilmu politik. Ini berarti bahwa orang-orang politik harus
belajar pada orang-orang ekonomi untuk membahas proses proses politik.

Perbandingan Paradigma Ekonomi Klasik Dan Pilihan Publik

variabel ekonomi klasik pilihan publik

Pemasok produsen, pengusaha, Pilihan Publik politisi, partai

23
distributor konsumen politik, birokrasi, pemerintah

Demander Konsumen pemilih (voters)

Komoditas barang swasta barang publik

Alat Transaksi Uang suara (votes)

Jenis Transaksi voluntary transaction politics as exchange

Sumber: Bustanul Arifin & D. J. Rachbini, 2001 halaman 20 dalam (Deliarnov,


2006).

Kekhawatiran di atas sebetulnya tidak beralasan, sebab walau dalam


pilihan publik banyak menggunakan konsep-konsep dan metodologi ekonomi,
bukan berarti telah terjadi kolonisasi ekonomi yang merambah ke bidang-bidang
sosial, budaya, dan politik. Pilihan publik justru dikembangkan untuk membantu
pakar-pakar sosial, budaya, dan terutama pakar politik dalam mengamati dan
menganalisis proses-proses politik dan keputusan-keputusan politik dengan
memanfaatkan konsep-konsep dan metodologi ekonomi yang lebih maju. Hanya
saja, karena perangkat dan metode yang digunakan untuk membahas proses-
proses politik tersebut lebih dikuasai oleh orang-orang ekonomi, wajar jika pakar-
pakar ekonomi murni mengembangkan sayapnya lebih lebar. Pemisahan ilmu
ekonomi dengan ilmu politik adalah kesalahan ekonor murni Neoklasik yang tidak
mau melibatkan diri dengan penataan nonpasar. Padahal, asumsi-asumsi ekonomi
juga bisa diterapkan dalam penataan nonpasar. Di sinilah, pakar-pakar pendekatan
pilihan publik berjasa. Mereka berhasil mengoptimalkan pemanfaatan kekayaan
paradigma ekonomi yang selama ini terfokus pada masalah kelangkaan sumber-
sumber ekonomi saja ke bidang-bidang sosial, dimulai dengan pengaplikasian
konsep barter dan perdagangan ke dalam bidang politik.

Dalam model pasar persaingan sempurna yang dikembangkan pakar-pakar


ekonomi murni, harga ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran di

24
pasar. Dalam proses ini, baik konsumen maupun produsen tidak mempunyai
kekuatan yang cukup untuk bisa mempengaruhi harga-harga di pasar. Secara
perorangan konsumen dan produsen bisa menaikkan atau menurunkan permintaan
dan penawaran mereka, tetapi karena jumlah pembeli dan penjual di pasar sangat
banyak maka tindakan perorangan tersebut tidak cukup signifikan untuk bisa
mempengaruhi harga di pasar. Pada akhirnya baik konsumen maupun produsen
bertindak sebagai price takers, menerima yang terbentuk di pasar. Dalam model
pasar persaingan sempurna, harga terbentuk sebagai proses interaksi sukarela
antara konsumen dan produsen.

Dengan mengaplikasikan metodologi ekonomi ke politik, proses-proses


dan keputusan-keputusan politik juga akan tercapai secara sukarela. Adanya
pertukaran yang terjadi secara sukarela dalam masyarakat, sesuai pilihan publik,
jelas lebih baik ketimbang model pemaksaan kekuasaan yang selama ini melekat
dalam politik. Sebagaimana diketahui, dalam pendekatan politik tradisional,
proses-proses dan pengambilan keputusan politik lebih didominasi oleh kekuasaan
yang sifatnya bukan sukarela. Karena dalam pilihan publik proses-proses dan
keputusan politik dicapai berdasarkan persetujuan sukarela, berarti dengan
menerapkan konsep-konsep ekonomi ke dalam proses-proses dan pengambilan
keputusan-keputusan politik, politik dan ilmu politik justru menjadi "lebih
lembut".

Demikianlah, berkat pilihan publik terjadi penyatuan kembali antara ilmu


ekonomi dengan ilmu politik. Dengan adanya perkembangan ini, diharapkan
bahwa di masa yang akan datang tidak ada lagi sekat-sekat atau kotak-kotak
disiplin ilmu sosial. Ilmu-ilmu sosial yang ada justru saling mengisi dan saling
menguatkan. Jika terjadi pemisahan-pemisahan, ilmu sosial bisa lemah dalam
analisis, sebab banyak gejala-gejala sosial yang tidak terungkap secara saksama
oleh masing-masing kelompok.

25
Implikasi Penerapan Pilihan Publik

Ada beberapa implikasi bagi penerapan pilihan publik. Pertama, perlu


reformasi kelembagaan politik, yaitu reformasi aturan-aturan dan kerangka dasar
di mana proses-proses dan pengambilan keputusan berlangsung. Kedua, perlu
desentralisasi kekuasaan dan kewenangan politik, sebab tatanan seperti transaksi
pasar dipandang lebih baik dibanding tatanan dominasi kekuasaan. Ketiga,
reorganisasi aturan-aturan perdagangan, kontrak, dan persetujuan.

Dua implikasi yang disebutkan pertama, yaitu perlunya informasi


kelembagaan publik dan desentralisasi kekuasaan, biasanya kurang disukai oleh
penguasa dan “politikus”, terutama di Negara-negara berkembang. Ini
menyebabkan mengapa para penguasa dan “politikus”, menolak pendekatan
pilihan publik. Kecenderungan seperti ini sangat menonjol di Negara-negara yang
belum atau kurang demokratis. Hal ini ditunjukan dengan kenyataan bahwa
pendekatan pilihan publik hanya berkembang lebih baik di negara-negara yang
sudah memiliki akar demokrasi yang kuat, sedang di negara-negara yang belum
demokratis, tidak terkecuali di Indonesia, penerapannya harus diperjuangkan lebih
keras lagi.

Masalah lain dalam penerapan pilihan publik di negara-negara


berkembang ialah pada asumsi bahwa pelaku-pelaku politik juga ingin
memaksimumkan kesejahteraan mereka sesuai prinsip kepentingan pribadi kaum
klasik. Seperti konsumen yang ingin memaksimumkan utilitas dan produsen yang
ingin memaksimumkan keuntungan, pelaku-pelaku politik juga dianggap sebagai
homo economicus yang ingin memaksimumkan kepentingan pribadi masing-
masing.

Penerapan asumsi homo economicus dan kepentingan pribadi di negara-negara


maju yang masyarakatnya sudah lebih demokrasi, tidak menjadi masalah. Seperti
yang dijelaskan oleh tokoh klasik Adam Smith, justru upaya untuk mengejar
kepentingan pribadi inilah yang secara tidak langsung meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, asalkan dalam upaya pencapaian tujuan pribadi tersebut

26
mengikuti rambu-rambu, hokum, dan kelembagaan yang ada. Sedangkan kita tahu
bahwa ajaran tentang homo economicus dan prinsip kepentingan pribadi, masih
terkesan sangat negatif di negara-negara berkembang.

Pilihan Publik: Positif atau Normatif?

Pada kesempatan ini menarik untuk dipertanyakan, apakah pendekatan


pilihan publik lebih bersifat positif atau lebih bersifat normatif? Jawabannya: bisa
kedua-duanya. Di satu sisi, pilihan publik normatif terlibat dengan karakteristik-
karakteristik yang diinginkan dari aturan-aturan, prosedur, dan institusi-institusi
melalui mana pilihan kolektif diambil, sedangkan disisi lain, pilihan publik positif
berusaha menawarkan penjelasan-penjelasan untuk aturan-aturan, proses-proses
pilihan, dan konsekuensi-konsekuensinya.

Teori pilihan publik normatif biasanya terkait dengan isu-isu desain


politik, aturan-aturan dasar politik, dan kerangka konstitusional di mana proses-
proses politik berlangsung. Teori pilihan publik normatif terkait dengan analisis
tentang sifat-sifat yang dinginkan dari sistem politik. Misalnya, pengaturan
kelembagaan mana yang lebih efisien, yang lebih adil, atau lebih responsif? Atau
tipe-tipe aturan voting mana yang betul-betul mentranslasikan preferensi individu
ke keputusan politik?. Struktur pemerintah yang bagaimana yang bisa mencegah
pemusatan kekuasan?. Contoh-contoh plihan publik normatif cukup banyak,
antara lain yang dikembangkan oleh Kenneth Arrow dalam Social Choice and
ndividual Values (1951) dan oleh Amartya Sen dalam collective Choice and
Social Welfare (1970).

Di sisi lain, teori pilihan publik positif tidak bicara tentang nilai-nilai,
melainkan lebih fokus pada upaya untuk menjelaskan. Dengan asumsi bahwa tiap
warga bertindak atas dasar kepentingan pribadi (dalam pengertian ekonomi),
sekarang bagaimana menciptakan politik yang bisa meraih kepentingan pribadi-
pribadi tersebut. Lebih tegas, pilihan publik positif terkait dengan upaya
menjelaskan perilaku politik yang dapat diobservasi dalam istilah-istilah pilihan
secara teoretis, Yang sering dibahas dalam pilihan publik positif ialah: mengapa

27
dan bagaimana orang membentuk hukum atau undang-undang, membentu
institusi-institusi politik, bergabung dengan kelompok, atau memilih?

Pendekatan penelitian aliran ekonomi politik lebih banyak didasarkan pada


metodologi ekonomi mikro actor rasional. Mereka lebih banyak melakukan studi
tentang keputusan-keputusan rasional dalam sebuah konteks institusi-institusi
politik dan ekonomi. Kajian mereka lebih bersifat analitikal dibandingkan
pendekatan-pendekatan tradisional. Pembahasan lebih terfokus pada regularitas
empiris, dengan tujuan utama penjelasan teoritis. Tentang cara kerja ekonomi
politik positif dapat diikuti dan tulisan-tulisan Paul Milgron & John Robert, David
M. Kreps serta Harold Demsetz. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas
tentang ekonomi politik positif, dapat dilihat pada artikel the emerging Discipline
of Politcal Economy oleh Peter C. Ordeshook (1994).

Aplikasi Pilihan Publik

Berikut kita tampilkan empat contoh aplikasi pilihan Publik positif, yaitu
(1) dari hasil kajian Anthony Down dalam an economic Theory of democracy
(1957), (2) hasil kajian Buchanan & Tulllock dalam The Calculus of Consent
(1962), (3) hasil studi Mancur Olson dalam The Logic of Collective action (1965)
dan (4) studi Popkin dalam The Rasional Peasant: The Poltical Eonomomy of
Rural Society in Vietnam (1978).

Teori Ekonomi Demokrasi Downs

Dalam An Economic Theory of democracy (1957), Anthony Down


nenggunakan metodologi ekonomi mikro dalam membahas pemilihan. Dampak
dari tulisan Down tersebut ialah beralihnya peran teori politik demokrasi diganti
dengan istilah-istilah ekonomi. Pemerintah diganti arti dan fungsinya sebagai
pemasok dari kebijakan-kebijakan dan pelayanan pemerintah. Politisi disamakan
pedagang yang menukar jasa-jasa dengan dukungan politik; pemilih diibaratkan
sebagai konsumen yang menggunakan hak pilih layaknya rupiah untuk
mengekpresika tuntutan politik atau sebagai pembeli yang menukarkan hak
pilihnya untuk jasa-jasa yang disediakan publik (pendidikan, kesehatan, sarana

28
transportasi, dan sebagainya). Bahkan dalam dunia politik sekarang, iklan,
pembiayaan kampanye, serta media konsultasi ikut bergabung. Down berhasil
membuat sketsa teori “baru” bahwa para politikus terdorong untuk menetapkan
kebijakan-kebijakan ekonomi yang dapat mereka terpilih kembali dalam
pemilihan berikutnya. Ia juga memperlihatkan bagaimana partai politik cenderung
bergerak ke arah tengah spectrum politik. Selain itu, juga meilhat semacam ada
sifat yang bertentangan dari voting, yang menyatakan tidaklah rasional bagi
pemilih untuk ikut suatu pemilihan karena kecilnya pengaruh seorang individu
dalam menentukan hasil pemilihan.

Dalam analisisnya, Downs mengasumsikan bahwa individu-individu.


walau memegang berbagai peran politik yang berbeda, tanpa ada pengecualian,
diasumsikan termotivasi oleh kepentingan pribadi dan siap melakulan pertukaran
untuk mengejar keperntingan diri masing-masing. Dalam pemilu, ada "log
rolling" atau "vote trading'. Misalkan, partai A ingin menyenangkan
konstituennya dengan lebih memprioritaskan pembangunan jalan, sedang partai B
ingin pula menyenangkan konstituennya dengan memprioritaskan peningkatan
anggaran pendidikan. Jika kedua partai ngotot memperjuangkan kepentingan
masing-masing, bisa-bisa kedua-duanya gagal dalam menyukseskan program-
program mereka. Oleh karena itu, lebih baik dilakukan kerja sama.

Bagaimana caranya? Dengan menerapkan konsep pertukaran hal ini


mudah diatur. Misalnya partai B ikut memperjuangkan keinginan partai A
memprioritaskan permbanguinan jalan, dan sebagai imbalannya partai A
membantu parai B memperjuangkan peningkatan anggaran pendidikan. Dengan
cara dapatkan log rolling dan vote trading sebagaimana dijelaskan diatas,
legislator kedua partai bias mendapatkan keinginan masing-masing. Dalam kasus
seperti ini, peran penting ideologi, kepercayaan, dan kekuatan-kekuatan
tradisional lain akan berkurang demi mengejar kepentingan dan persepsi-persepsi
tentang utilitas yang di asosiasikan dengan suatu partai tertentu atau kebijakan
tertentu.

29
Menurut Down, pemilih menghasilkan hasil tunggal untuk semua, yaitu
sebuah partai berkuasa dan seperangkat kebijaksanaan. Misalnya, kebijakan
tentang anggaran pendidikan. Dengan jumlah penduduk Amerika Serikat sekitar
250 juta atau penduduk Indonesia 220 juta, tentu banyak pula pendapat tentang
anggaran yang harus dikeluarkan untuk pendidikan. Namun dalam kenyataan,
pada akhirnya hanya akan muncul satu kebijakan saja tentang besarnya anggaran
untuk pendidikan tersebut. Hal seperti ini juga berlaku untuk kebijakan
pembangunan jalan, penetapan anggaran pertahanan, kesehatan, dan sebagainya.
Sebagaimana dikemukakan Samuelson & Nordhaus (1995): "Unlike private
decisions, collective choice contains an esential indivisibility with but one
outcome on any particular issue”.

Dari hasil studinya, Downs menyimpulkan bahwa pemilihan pada


umumnya mempunyai karakteristik barang publik. Dikatakan demikian sebab dari
hasil suatu pemilihan biasanya sulit memisahkan atau membatasi keuntungan dan
kerugian yang diasosiasikan dengan koalisi pemenang. Dalam kasus seperti ini,
jika ada biaya-biaya yang diasosiasikan dengan partisipasi, akan ada insentif bagi
orang untuk membonceng alias tidak membayar.

Dalam dunia politik kepartaian, Downs melalui median voter theorem


memperlihatkan bagaimana partai-partai politik cenderung bergerak ke tengah
spektrum politik. Menurut teori ini, kedua calon akan menyatu ke preferensi
pemilih median jika pemilihan antara dua calon ditentukan oleh aturan mayoritas
yarng lebih peduli terhadap sebuah isu tunggal; jika informasi yang dimiliki
pemilih tentang calon dan informasi yang dimiliki calon tentang pemilih
sempurna jika semua warga ikut dalam pemilihan; dan jika tidak ada batasan
terhadap strategi calon (Ordeshook, 1994).

Kalau diperhatikan, median voter theorem yang dikembangkan Downs di


atas hanya meminjam model spasial Hotelling. Walau model yang digunakan
Down relatif sederhana bagi para ekonom, namun karena baru bagi pakar-pakar

30
politik, tidak urung pendekatan ekonomi politik positif yang dikembangkan oleh
Down mendapat banyak pujian.

Menurut Ordeshook (1994): “We can credit Down’s seminal modelling of


elections and voting as the first major in road of the paradigm and its
mathematical formalism into theorizing about a particular political institution".
Begitu juga penelitian Down tentang teori spasial pemilihan dan publikasinya
dalam jurnal ilmu politik tradisional tahun 60-an menandai upaya yang konsisten
dalam pengembangan sebuah struktur teoretikal yang komplet tentang institusi
politik.

Kalau karya Down mendapat banyak pujian, kelemahanya juga ada.


Dalam model median voter yang dikembangkanya, Down mengasumikan bahwa
kepeningan konstituen terwakili secara akurat oleh institusi-institusi demokratik
dan legislator secara akurat juga mewakili kepentingan konstituen. Representasi
seperti ini, mungkin dan tidak membawa calon terplih pada kebijakan yang
disukai median voters, karena kelompok-kelompok kepentingun khusus memiliki
bobot politik yang lebih berat dan bukan proporsional terhadap jumlah pemilih.
Seperti halnya orang kaya memilik bagian output sektor privat yang lebih besar
dibanding kelompok masyarakat miskin begitu juga kelompok-kelompok
terorganisasi memiliki bagian sektor publik yang lebih besar dibanding mereka
yang tidak terorganisasi (Demsetz, 1994).

Lagi pula partai-partai politik di Amerika Serikat sangat berbeda dengan


partai-partai politik lain, terutama di Indonesia. Di Amerika Serikat, kedua partai
utama, yaitu Partai Republik dan Partai Demokrat cenderung meminta dukungan
dari populasi median yang sama tanpa melihat perbedaan kelas, pendapatan,suku,
agama, atau ideologi. Di Indonesia, Partai Golkar jelas sangat berbeda, misalnya
dengan Partai Keadilan Sosial atau partai Damai Sejahtera.

Menurut Demsetz. partai politik adalah sebuah organisasi berisikan orang-


orang yang mencurahkan waktu, energi, dan kapital kepada partai, baik karena
partai tersebut menawarkan prospek untuk jabatan atau karena menawarkan

31
kebijakan-kebijakan yang disukai. Output partai politik mencakup program-
program dan kandidat-kandidat, yang sebagian dipilih untuk memenangkan
pemilihan. Akan tetapi, partai politik juga menyeleksi kandidat dan isu-isu untuk
menarik minat konstituen internal partai. Preferensi-preferensi anggota
perorangan konstiruen internal ini biasanya lebih besar daripada preferensi-
preferensi konstituen eksternal yang lebih tersebar. Partai-partai yang lebih
dilandaskan pada ideologi serta isu-isu yang biasanya cenderung mempertahankan
kandidat dan yang disukai konstituen internal bisa memperkecil probabilitas untuk
memenangkan pemilu. Namun, risiko ini kadang-kadang terpaksa ditempuh demi
menyenangkan konstituen internal. Jika menyangkut ideologi atau sebuah
program politik (misalnya, subsidi pertanian) yang sangat penting bagi konstituen
internal, partai politik akan mengorbankan kemenangan suara dari konstituen
eksternal. Sebagai contoh, Partai Sosialis di Amerika Serikat pasti tidak akan mau
mengompromikan ideologinya untuk memenangkan pemilu dibandingkan Partai
Demokrat atau Partai Republik.

Partai Demokrat dan Partai Republik lebih menyerupai perusahaan yang


berorientasi laba, yang menempatkan nilai lebih tinggi untuk mendapatkan suara
dan memenangan pemilu. Sebagai konsekuensinya, mereka bisa saja lebih
berusaha untuk menyenangkan konstituen eksternal dibanding partai-partai yang
dilandaskan pada ideologi atau isu-isu internal seperti Partai Sosialis dan Liberal
di Amerika Serikat. Untuk kasus partai-partai politik di Indonesia, yang sebagian
besar lebih dilandaskan pada ideologi atau isu-isu internal, situasinya menjadi
berbeda. Bagi partai-partai yang lebih dilandaskan pada ideologi dan isu-isu
internal, upaya meraup suara dari konstituen eksternal bisa mendatangkan dampak
negatif, yaitu kehilangan pendukung dari konstituen internal. Dalam kondisi
seperti ini, sentimen pemilih lebih sukar diprediksi.

Downs juga melihat ada semacam sifat yang bertentangan dari pemilihan.
Walau tiap orang berpendapat hasil pemilihan sangat penting, pilihan seorang
individu tidak banyak pengaruhnya terhadap hasil pemilihan secara keseluruhan.
Padahal, dalam mengikuti pemilihan itu ada biayanya, sementara itu hasil dari

32
pemilihan merupakan barang publik. Berdasarkan kenyatan di atas adalah tidak
rasional bagi pemilih untuk ikut memilih dalam suatu permilihan. Karena alasan
tersebut pemilih pada umumnya tidak mau tahu terhadap isu-isu politik. Dan
orang nggan menghabiskan waktu dan biaya untuk mengikuti berita-berita politik,
karena biayanya tidak sepadan dengan hasilnya. Bukti dari seorang poling
pendapat secara konsisten menemukan bahwa kurang dari separuh pemilih yang
mengetahu siapa wakil mereka di kongres( Shaw, 1993).

Pendekatan pilihan publik yang dikembangkan Downs mengimplikasikan


bahwa dalam mengikuti dunia politik orang harus melakukannya dengan serius,
tidak bisa dilakukan secara sambil lalu. Para pakar politik sejak keluarnya karya
Downs (1957) sudah menyadari bahwa jika pemilh tidak mengikuti dunia politik
dengan sungguh-sungguh, mereka tidak akan mendapatkan informasi yang cukup
tentang perpolitikan. Bahkan, jika mereka secara rasional memilih-milih subjek
tertentu saja di koran-koran untuk dibaca, mereka akan menjadi "ationally
ignorant" (Tullock, 1976).

insentif untuk bertindak tidak peduli jarang dijumpai dalam sektor swasta.
Jika anda ingin membeli sebuah mobil, misalnya, hampir dipastikan Anda akan
berusaha mencari informasi tentang berbagai karakteristik mobil yang Anda
inginkan, apa iu ketanguhannya, power steering, kecepatannya, atau pemakaian
bensinnya. Kalau mobil yang dibeli sesuai dengan karakteristik yang diinginkan,
Anda untung. Akan tetapi. kalau keliru, buntung. Dalam voting, tidak demikian
halnya. Tidak ada insentif untuk mengetahui siapa dan bagaimana "karakteristik"
calon legislative atau presiden yang akan Anda pilih.

Bagaimana dengan kepentingan kelompok? Apakah mereka iuga


cenderung tidak peduli seperti pemilih individu? Berbeda dengan individu-
individu yang menerima manfaat lebih kecil dari biaya-biaya yang dikeluarkan
untuk ikut pemilihan, kelompok-kelompok kepentingan biasa menerima manfaat
langsung dari tindakan atau kebijakan pemerintah terpilih. Untuk itu, biasanya
sebelum pemilihan mereka sudah sibuk mencari siapa calon yang diperkirakan

33
dapat menyukseskan kepentingan mereka, dan kalau perlu ikut membantu calon
yang diinginkan dengan dana kampanye. Sebagai imbalan atas bantuan dana
kampanye tersebut, mereka akan mendapat dukungan untuk tujuan-tuiuan yang
ingin dicapai, minimal mendapatkan “telinga” dari politikus yang mereka dukung
hingga bisa mengambil keputusan lebih baik (Shaw, 1993).

Kalkulasi Politik Buchanan & Tullock

Selain tulisan Anthony Downs, karya lain yang lebih populer adalah hasil
kerja sama James Buchanan dengan Gordon Tullock dalam The Calculus of
Consent (1962). Mereka secara eksplisit menjelaskan bahwa pilihan-pilihan
ekonomi dan politik tidak dapat secara tajam dibedakan, dan bahwa proses-proses
ekonomi dan politik satu sama lain saling mempengaruhi. Adapun tantangan bagi
ahli-ahli ekonomi politik adalah bagaimana membuat model dari sekian banyak
institusi politik dan ekonomi dengan menggunakan peralatan-peralatan teoretis
yang sama.

Menurut Ordeshook (1994), karya Buchanan dan Tullock merupakan


"batu pijakan" dalam penelitian ekonomi politik. Selain itu, penelitian Buchanan
& Tullock yang menyatukan struktur teoretis untuk mempelajari pemilihan-
pemilihan, legislasi, dan politik internasioal menandai telah dimulainya kontribusi
ahli-ahli politik bagi pengembangan sebuah teori umum atas proses-proses
ekonomi politik. Premis mereka bahwa institusi dan prosedur-prosedur yang
mempengaruhi alokasi Sumber daya yang langka adalah kreasi manusia pada saat
sekarang tampaknya terbukti dengan sendirinya. Bahkan, premis Buchanan dan
Tullock berkembang lebih jauh dari sekedar pilihan tentang aturan-aturan
pemilihan, tetapi juga mencakup pilihan untuk membuat keputusan sosial dengan
mendesentralisasikan institusi-institusi pasar dan mekanis-mekanisme negara.

Premis Buchanan dan Tullock juga telah "memaksa" diintegrasikannya


ilmu ekonomi dengan ilmu politik, sebab operasi semua aturan-aturan dan
institusi-1nstitusi harus dapat dipahami dalam istilah dan paradigma yang sama
pula. Jelasnya, agar paham bagaimana mekanisme pasar berperan, mengapa dan

34
bagaimana para legislator meredistribusikan pendapatan, dan bagaimana
kekuatan-kekuatan pasar dalam mempengaruhi hasil politik, kita harus memahami
ilmu politik dan ilmu ekonomi dari perspektif teoretikal yang sama.

Menurut Ordeshook, sebagian besar monograf yang ditulis Buchanan &


Tullock didistribusikan pada pandangan ahli-ahli ekonomi seperi Samuelson,
Pigou, atau Pareto. Suatu hal yang tak terelakkan, sejak munculnya The Calculus
of Co Consent, ilmuan-ilmuwan politik semakin "familiar" saja dengan kurva-
kurva permintaan dan penawaran, kurva indifferens, juga konsep elastilitas,
keseimbangan pasar, efisiensi, barang-barang publik dan privat, surplus
konsumen, dan sebagainya. Berkat pemahaman tentang konsep-konsep ekonomi,
ahli-ahli politik juga lebih mampu memahami isi dari makalah-makalah yang
muncul dalam jurnal-jurnal ekonomi politik, keuangan publik, ekonomi publik,
dan sebagainya.

Logika Tindakan Kolektif Mancur Olson

Aplikasi pilihan publik lain yang bersifat positif dan sangat menarik untuk
ditampilkan adalah studi tentang kelompok kepentingan sebagaimana ditulis
Mancur Olson dalam The Logic of Collective Action (1965). Studi ini
memperlihatkan bahwa organisasi dan pengaruh kelompok kepentingan yang
merupakan fenomena sentral dalam politik adalah barang publik.

Olson telah merevisi cara pandang pakar-pakar politik tentang kelompok


kepentingan politik, teori Neo-Marxist, dan khuluk revolusi. Dalam tulisannya,
Olson mengkritik pendekatan yang dipakai oleh aliran pluralisme dan Marxisme
yang mengabailkan masalah tindakan kolektif untuk kelompok-kelompok dan
kelas-kelas dalam masyarakat. Kaum pluralis percaya bahwa organisasi
kelompok-kelompok kepentingan adalah ekspresi alamiah dari kepentingan-
kepentingan yang dianut secara kolektif, sedangkan Marxisme percaya bahwa
transisi dari kepentingan-kepentingan objektif bersama ke organisasi dan
mobilisasi kelas bersifat spontan; sebaliknya, menurut Olson adalah tidak rasional

35
bagi individu-individu untuk ikut memberikan kontribusi bagi kepentingan-
kepentingan kolektif (Ordeshook, 1994).

Olson tidak setuju dengan rasionalitas organisasi kelompok kepentingan


sebagai mekanisme utama untuk mentranslasikan preferensi-preferensi ke
kebijakan di antara pemilihan-pemilihan. Menurut Olson, ide bahwa kelompok-
kelompok akan bertindak seperti kepentingan mereka sesuai logika yang
mengikui premis perilaku rasional dan kepentingan diri sendiri adalah keliru.
Sangatbertentangan dengan anggapan pakar-pakar pluralisme, menurut Olson,
berbagai kepentingan publik tak pernah diorganisasi. Begitu juga berbagai
kelompok selamanya "laten" selamanya “classless in themselves".

Dalam mempelajari peran kelompok kepentingan, Olson mengamati


perilaku individu-individu di pasar di mana aktor memiliki insentif untuk
bertindak dalam perilaku strategis. Teori ini mengasumsikan bahwa harga-harga
pasar merupakan barang publik; semua agen menghadapi sebuah harga tunggal di
pasar dan bahwa semua agen akan beruntung jika harga naik.

Teori di atas sering dijadikan alasan bagi intervensi politik di pasar.


Sebagaimana diketahui, pemerintah punya kekuatan untuk mempengaruhi harga,
baik dengan mengatur harga-harga secara langsung atau dengan menetapkan tarif,
memberilan lisensi-lisensi, atau meregulasi produksi atau pemasaran. Akan tetapi,
dalam upaya melobi pemerintah untuk melakukan intervensi ada biayanya.
Karena itu, lebih baik menunggu orang lain melakukan hal tersebut, dan kalau
lobi sudah dilakukan pihak lain, bisa mendapatkan manfaat dari barang publik
yang disediakan pemerintah dengan gratis. Yang mejadi masalah, jika semua
orang bertindak sebagai pendompleng, tidak akan ada yang melobi. Dengan
demikian, juga tidak ada kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah yang
menguntung mereka.

Yang menarik ditanyakan: mengapa dalam kenyatan ada proteksi untuk


kelompok-kelompok tertentu; Mengapa perusahaan industri skala besar menerima
proteksi sementara industri kecil terpangkas pendapatannya oleh barang-barang

36
impor yang lebih murah harganya? Menurut Olson, ada beberapa faktor yang
mempengaruhi insentif untuk mengorganisasi bentuk kebijakan pemerintah. Yang
lebih mampu melobi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang
menguntungkan kelompoknya adalah perusahaan-perusahaan besar. Sehubungan
dengan hal ini, Olson mengungkapkan: "Group findividuals with common
interests are expected to act on behalf of their common interests much as single
individuals are ofter expected to act on behalf of iheir personal interests”.

Oleh kelompok-kelompok kepentingan yang lebih terorganisasi, lobi akan


dilakukan jika tambahan keuntungan yang dihasilkan oleh lobi tersebut lebih
besar dari ongkos yang harus dikeluarkan untuk melobi. Untuk kasus perusahaan
kecil, biaya lobi biasanya lebih besar dari tambahan keuntungan yang akan
diperoleh. Oleh karena itu, bagi perusahaan-perusahaan kecil adalah lebih rasional
jika bertindak sebagai pendompleng saja.

Sekarang, siapa konsumen yang memerlukan sekaligus berhak menikmati


barang-barang publik sebagai hasil keputusan pemerintah? Menurutt teori politik,
yang berhak untuk menikmati barang publik adalah semua warga negara yang ikut
sebagai pemilih. Namun, dalam kenyataan pemanfaatan barang publik bisa
"diatur" melalui hasil rekayasa keputusan politik.

Jika keputusan politik tersebut dianggap adil, biasanya rakyat tidak akan
mempersoalkan. Akan tetapi, jika dipandang tidak "adil”, rakyat akan melakukan
demonstrasi, atau minimal tidak akan memilih partai pengendali kekuasaan
tersebut dalam pemilu berikutnya. Untuk menghindari “perlawanan” dari rakyat,
pemerintah harus pandai-pandai dalam memutuskan suatu kebijakan publik.
Mereka harus punya jiwa "kewirausahaan" yang bisa menghasilkan keputusan
politik yang disenangi rakyat, jika ingin tetap berkuasa.

Selama ini, ada anggapan bahwa masyarakat di negara-negara demokratis


bekerja sama untuk mencapai ujuan bersama, dan bahwa tindakan kolektif bisa
dilakukan kapan saja, individu-individu bekerja sama untuk mencapai ujan
bersama. Angapan seperti ini keliru sebab dari hasil kajiannya, Olson justru

37
menyimpulkan bahwa tidak ada insentif bagi individu-individu yang rasional
untuk bergabung dalam tindakan kelompok demi mencapai kepentingan bersama.
sebab untuk ikut melakukan tindakan kolektif harus ditanggung sendiri-sendiri,
sedangkan hasilnya berupa keuntungan yang dapat dinikmati oleh semua orang,
tidak peduli apakah mereka aktif ikut ambil bagian dalam tindakan kolektif
tersebut atau tidak.

Kajian Olson tentang logika tindakan kolektif menekankan bahwa


berorganisasi itu ada biayanya, sedangkan hasilnya akan dinikmati oleh semua
orang, baik ia ikut ambil bagian dalam tindakan kolektif itu atau tidak. Atas
pertimbangan seperti ini, daripada susah-susah ikut bergabung dalam suatu
tindakan kolektif, adalah lebih rasional bertindak sebagai pendompleng, ialah
salah satu permasalahan utama dalam agregasi preferensi individu yang
dihadapkan pada preferensi sosial. Karena hasil dari suatu tindakan kolektif
memiliki karakter ristik barang publik, sedangkan untuk barang-barang publik,
orang cenderung mengambil posisi sebagai pendompleng, Olson menyimpul
bahwa barang-barang kolektif tidak bisa disediakan atas basis sukarela.
Melainkan, harus ada sedikit banyaknya tekanan untuk memaksa, atau insentif
(manfaat) sampingan unruk membujuk orang agar mau bergabung dalam suatu
tindakan kolektif.

Tindakan kolektif hanya efektif dalam kelompok-kelompok kecil, bukan


kelompok-kelompok besar. Menurut Olson (1965):"...Unless the number of
individuals in a group is quite small, or unless there is coersion or some other
special device to make individuals act in their common interest, rasional self-
interested individuals will not act to achive their common or group interests ".
Dalam kelompok-kelompok kecil, di mana kontribusi sertiap orang mudah
diidentifikasi dan dapat dilihat dengan jelas, baik untuk tiap kontributor maupun
anggota-anggota lain, dan di mana kontribusi dianggap sepadan dengan biaya-
biaya, persoalannya jadi lain.

38
Selain oleh Olson, sejak tahun 1965 juga banyak studi tentang kelompok-
kelompok kepentingan, baik: yang dilakukan sesuai dengan perspektif ekonomi
maupun menurut perspekrif pilihan publik. Namun, dari berbagai studi tersebut
argumentasi dasarnya sama. Semuanya sama -sama menyimpulkan bahwa manfat
maupun pengaruh dari organisasi kelompok bersifat publik. Sesuai karakteristik
barang publik sekali manfaat ada untuk suatu kelompok, setiap orang bisa ikut
menikmatinya tanpa ikut membayar atau memberikan kontribusi apa pun. Kalau
pengonsumsinya harus dibatasi diperlukan biaya yang relatif tinggi untuk itu.

Kalau manfaat kelompok kepentingan bersifat publik, mengapa kelompok


kepentingan ada? Menurut Olson, kelompok kepentingan ada bukan karena
individu-individu dalam kelompok tersebut tidak rasional. Orang mungkin
berpastisipasi dalam kelompok karena mereka terikat atau karena diberi insentif
tertentu (di luar manfaat barang publik), atau karena mereka terdiri atas sebuah
"kelompok istimewa”, di mana ada suatu subset dari keseluruhan kelompok yang
menerima manfaat lebih besar dan cara pandang seperti ini, maka distribusi
hegemoni kekuasan internasional (seperti Dengan cara pandang seperti
perdagangan bebas dan stabilitas moneter) juga bisa dianggap sebagai barang-
barang publik internasional.

Menurut Olson, kelompok-kelompok besar cenderung kurang berhasil


dibandingkan kelompok- kelompok kecil, dan kelompok-kelompok yang
terkonsentrasi, yaitu kelompok-kelompok dengan beberapa anggota besar,
cenderung lebih berhasil daripada kelompok-kelompok besar tetapi tersebar.

Kalau apa yang disebutkan Olson tersebut benar, ini berarti bahwa
masalah-masalah organisasi yang dihadapi oleh buruh lebih besar dari masalah
yang dihadapi pemilik kapital: masalah konsumen lebih besar dari masalah
produsen; masalah yang dihadapi pemodal kecil lebih besar dari yang dihadapi
oleh pemodal besar.

Buku The logic of Collective Action adalah sebuah teori ekonomi tentang
organisasi dan pengaruh kelompok kepentingan, sekaligus sebuah teori ekonomi

39
tentang politik. Buku tersebut fokus pada Pengaruh basis rasional dan kepentingan
diri sendiri dari kelompok-kelompok kepentingan. Olson telah melahirkan sebuah
teori tentang apa jadinya bentuk hidup kelompok, termasuk kelompok-kelompok
mana yang tidak akan bertahan hidup kecuali sebagai agregasi dari kepentingan
yang dirasakan bersama jika dihadapkan pada kalkulasi kepentingan diri sendiri.

Pengaruh Kajian Aksi Kolektif Olson

Upaya Olson mengidentifikasi kondisi-kondisi yang kondusif bagi aksi


kolektif, besar pengaruhnya dalam riset politik dan sosiologi. Yang jelas, logika
aksi kolektif berperan besar bagi studi-studi aplikasi teori pilihan publik positif
lainnya, di antaranya studi kasus tentang petani rasional oleh Popkin Theory of
Collective Action (1965) sudah mengamati bahwa perusahaan-perusahaan kecil
lebih rasional bertindak sebagai pendompleng sebab biaya yang harus dikeluarkan
untuk melobi pemerintah agar mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan
merek lebih besar dari manfaatnya yang mungkin dicapai dari suatu aksi tindakan
kolektif. Begitu juga, petani kecil punya insentif sangat kecil untuk ikut dalam
tindakan kolektif Sebagaimana akan dibahas pada subbab berikutnya, argumen ini
digunakan oleh Popkin untuk mematahkan teori Scot tentang pemberontakan
kaum petani di Vietnam.

Selain karya Popkin, juga ada tulisan senada yang melihat bahwa
intervensi pemerintah jarang mempromosikan kebijakan harga yang
menguntungkan petani-petani kecil, yaitu karya Robert H. Bates, Market and
States in Tropical Africa: The Political basis of Agricultural Policies (1981).
Seperti halnya Popkin, Bares juga menemukan bahwa sebagian rakyat Afrika
yang hidup di pedesan sering dirugikan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah.
Akan tetapi, bukannya mereka mengorganisasi diri untuk membela kepentingan
kolektif mereka sebagai petani produsen, mereka justru cenderung berusaha
membela pengakuan etnis tradisional, seperti meminta untuk dibangunkan jalan,
jembatan, klinik-klinik kesehatan, dan sejenisnya pada pemerintah.

40
Pengaruh Olson juga terlihat dalam karya Donald Rothchild & Robert L.
Curry: Scarcity, Choice, and Public Policy in Middle Africa (1978), hasil riset
pendekatan eksperimental dan simulasi oleh Robert Axelrod (The Emergence of
Cooperation among Egoists, 1981) dan The Evolution of Cooperation (1984).
serta karya Taylor (1988) tentang revolusi sebagai tindakan kolektif hingga
penelitian Bowman (1989) tentang koperasi di antara para kapitalis.

Dampak Keputusan Kolektif

Menurut Samuelson & Nordhaus dalam buku mereka Economics (1995)


sebagai berikut. Untuk penyederhaan, misalnya masyarakat terdiri dari dua
kelompok, yaitu A dan B. kedua kelompok tersebut bias terdiri dari kelompok
kaya dan miskin, atau kelompok masyarakat industry dan pertanian, atau
kelompok masyarakat perkotaan dan pedesaan, atau kelompok local dan
pendatang. Untuk tujuan analisis, kelompok tersebut terdiri atas kelompok yang
partainya menang dalam pemilu (A) dan kelompok yang partainya kalah (B).

Pada gambar terlihat dua sumbu yaitu horizontal (WA) merefleksikan


kesejahteraan yang mungkin di capai kelompok A dan sumbu vertical (WB)
merefleksikan kesejahteraan yang mungkin di capai kelompok B. Kemudian ada
kurva batas kemungkinan kesejahteraan yang mencerminkan batas maksimum
kesejahteraan yang mungkin di capai kedua kelompok jika semua sumberdaya
yang dimiliki masyarakat digunaka sebaik baiknya melalui hasil tindakan kolektif
yang efisien. Jika semua sumber daya yang ada di kerahkan untuk menghasilkan
barang publik yang di inginkan kelompok A, maka kelompok A memperoleh Am
barang publik, sedangkan kelompok B tidak mendapatkan apa-apa (0).
Sebaliknya, jika semua sumberdaya digunakan menghasilkan barang publik yang
diinginkan kelompok B, maka kelompok B memperoleh Bm, sedangkan
kelompok A tidak mendapatkan apa-apa.

Bagaimana dampak dari tindakan kolektif terhadap kelompok A dan


kelompok B banyak sekali. Tiga diantaranya adalah:

41
1. Kesejahteraan kedua kelompok makin baik seperti diperlihatkan oleh
perpindahan dari titik E ke titik F. Di sini tindakan kolektif telah
menghasilkan perbaikan pareto dimana kedua kelompok keadaannya lebih
baik dibanding keadaan sebelumnya. Hal ini di mungkinkan karena
melalui tindakan kolektif bisa dihasilkan program kebijaksanaan yang
tepat dan adil untuk kedua kelompok, dan dilaksanakan dengan efisien.
2. Kesejahteraan kedua kelompok justu makin buruk, diperlihatkan oleh
perpindahan dari titik E ke titik G. Dalam kasus seperti ini kedua
kelompok tidak berhasil merancang suatu indakan kolektif dengan baik
dan program-program kebijakan tidak dilakukan dengan efisien. Dalam
bahasa orang-orang social, kedua kelompok tidak memiiki modal sosial
yang memadai sehingga tidak mampu merancang program kebijakan-
kebijakan dan melaksanakan kebijakan dengan efisien.
3. Kesejahteraan kelompok yang satu, (katakanlah kelompok A) makin baik,
sementara kesejahteraan kelompok lainnya(B) makin rendah, diperlihatkan
oleh perpindahan dari E ke H. Dalam kasus ini aksi kolektif menghasilkan
kebijakan yang lebih berpihak pada kelompok A tetapi merugikan
kelompok B. Misalnya, kebijakan lebih banyak kepada kelompok
pemenang pemilu (A) sedangkan kepentingan kelompok yang klah (B) di
abaikan. Contoh lain ialah subsidi BBM, yang cenderung lebih
menguntungkan kelompok kaya dan merugikan kelompok miskin,
menimbulkan terjadinya perubahan dalam distribusi kesejahteraan.

WB

Bm

Kurva batas kemungkinan kesejahteraan

G 0 Wa

AM 42
Jika tidak ada aksi kolekif, masyarakat berada pada posisi E, dimana
kelompok A memperoleh kesejahteraan sebesar A0 dan kelompok B memperoleh
B0.

Tiga kemungkinan hasil dari suaru tindakan kolektif adalah (1) perbaikan
pareto membuat semua orang lebih baik, dimana E pindah ke F, (2) tindakan
kolektif yang tidak efisien menyebabkan kesejahteraan kedua kelompok turun,
dari E ke G; dan (3) program yang dilaksanakan hanya bersifat redistributif yang
lebih menguntungkan salah satu kelompok, misalnya kelompok A dan
keseimbangan bergeser dari E ke H.

Banyak cara untuk membuat keputusan dan tindakan kolektif, ada yang
menggunakan cara-cara tradisional, yang lainnya bersifat monarki dan Negara-
Negara yang lebih maju dengan pemerintahan representatif. Dalam sistem ini,
hasil keputusan ini ada yang dicapai lewat consensus dan ada pula yang
diandaskan pada aturan mayoritas. Sebagian besar pakar pakar ekonomi dan sosial
berpendapat bahwa tindakan kolektif yang paling baik adalah yang didasarkan
pada hasil consensus, dimana semua orang setuju dengan keputusan yang diambil.
Keputusn yang didasarkan pada hasil ini cenderung membuat semua pihak lebih
baik (sehigga menghasilkan perbaikan pareto), dan tidak ada kelompok yang
kondisinya dibuat lebih buruk.

Dalam kenyataan apalagi dalam pemilu, keputusan unanimity atau


konsensus ini sulit sekali dijumpai. Kalaupun bisa untuk mencapainya diperlukan
waktu, energi dan biaya yang besar. Pakar-pakar yang skeptis memandang
keputusan konsensus ini sebagai kemustahilan, sebab tiap orang memiliki
pandangan yang berbeda-beda tentang kebijakan publik yang mesti diambil.

Oleh karena keputusan konsensus hampir mustahil ditemukan dalam


pemilu, di negara-negara demokratis lebih cenderung menganut aturan mayoritas.
dalam sistem sesuai aturan mayoritas ini kepuusan dianggap sah jika di setujui
oleh 50% +1 suara. Di Amerika Serikat aturan mayoritas ini dipakai di kongres

43
mahkamah agung atau pemerintahan federal dan nasional, bahkan juga dengan
dewan-dewan perusahaan atau klub-klub olahraga.

Dampak tindakan kolektif sesuai aturan mayoritas terhadap tiap kelompok


masyarakat bervariasi seperti terlihaat pada gambar. Misalnya kelompok A adalah
pemenang atau mayoritas dalam pemilu, sementara kelompok B adalah kelompok
yang kalah atau minoritas. Karena A memenangkan pemilu, keputusan hampir
dipastikan lebih menguntungkan kelompok A yang dalam gambar di bawah
diperlihatkan oleh semua titik sebelah kanan titik E. Kalau keputusan dilakukan
secara efisien dan adil, dimana kelompok mayoritas tidak menindas kelompok
minoritas, hasilnya adalah perpindahan dari E ke P. Pada P kelompok minoritas
dan apalagi kelompok mayoritas keadaannya

Wa X Tindakan kolektif yang didasarkan pada


E consensus cenderung menghasilkan
kebijakan dan program yang efisien yang
dapat membuat keadaan semua pihak lebih
baik, dimana tidak ada kelompok yang
keadaannya lebih buruk. Hal ini
E Y ditunjukkan oleh perpindahan dari titik E
ke salah satu titik pada areal EXY.

0 WA

lebih baik. Yang paling sering dijumpai ialah kelompok pemenang kesejahteraan
sangat tinggi, sementara kelompok B sedikit lebih menderita, seperti diperlihatkan
oleh perpindahan dari E ke Q. Pada titik Q, kelompok A sangat bahagia, tetapi
kelompok B sedikit lebih menderita. Bagaimana dengan perpindahan dari E ke R?
Dalam kasus ini. kelompok pemenang tidak berhasil membuat keputusan yang
efisien, sehingga peningkatan kesejahteraan yang diterima sedikit sekali.
Sementara itu kelompok minoritas dibuat sangat menderita. Keputusan yang tidak
efisien dan tidak adil ini lazim disebut sebagai tirani oleh mayoritas.

44
Dari uraian di atas, jelas bahwa keputusan yang dilandaskan pada sistem
aturan mayoritas tidak menjamin tercapainya pareto optimum, yaitu tercapainya
perbaikan kesejahteraan bagi semua kelompok masyarakat yang tidak membuat
salah satu kelompok masyarakat lainnya menderita. Ahli-ahli politik seperti James
medison dan Alexander Hamilton, tidak suka adanya tirani olch mayoritas. Untuk
itu mereka menganjurkan aturan “super mayoritas" untuk isu-isu sangat penting
(seperti amandemen konstitusi). Dengan aturan "super mayoritas” tersebut.
keputusan dicapai oleh lebih dari 50% + 1, katakanlah oleh dua pertiga suara,
Samuelson & Nordhaus, 1995 dalam (Deliarnov, 2006).

Teori Petani Rasional Popkin

Salah satu aplikasi ekonomi politik baru (khususnya menurut perspektif


pilihan publik) yang paling populer dalam kelompok masyarakat petani di negara-
negara dunia ketiga adalah hasil studi Samuel L. Popkin dalam The Rasional
Peasant: The Political Econom of Runal Sociey in Vietmam (1978). Hasil
penelitian Popkin tersebut ingin menjembatani pemikiran-pemikiran para ahli
ekonomi Neoklasik untuk diterapkan dalam konteks nonpasar.

Selama ini, para ahli ekonomi aliran utama hanya mencurahkan perhatian
untuk memecahkan masalah ekonomi pasar, tetapi mereka tidak memberikan
perhatian yang sebanding untuk konteks institusi-institusi nonpasar. Di sinilah,
teori pilihan publik diharapkan berperan. Oleh Popkin, Pendekatan plihan publik
dipakai untuk mempelajari institusi-institusi ekonomi nonpasar dan perluasan dari
metode ekonomi mikro terhadap institusi-institusi nonpasar tersebut. Pendekatan
pilihan publik dimanfaatkan karena dinilai mampu mengaplikasikan model-model
ekonomi ke bidang sosial, termasuk ke institusi-institusi pedesaan dan pertanian
tradisional di negara-negara berkembang, Berkat karya Popkin tersebut,
pendekatan pilihan publik menjadi semakin aplikatif untuk mempelajari dan
menganalisis fenomena-fenomena ekonomi dan politik yang tejadi di negara
berkembang yang masih bertumpu pada pertanian dan pedesaan.

45
Tulisan Popkin tentang petani rasional di Vietnam sangat bertentangan
dengan karya James C. Scott, The Moral Economy of Peasant: Rebellion and
Subsistence in Southeast Asia (1976) yang berusaha mempelajari perilaku petani
di Indocina. Menurut Popkin, aliran ekonomi moral, termasuk di dalamnya
pandangan J. C. Scott, keliru dalam memahami masyarakat petani, dan bahkan
juga salah dalam memahami pengambilan kebijakan di Indocina. Popkin
mempertanyakan asumsi-asumsi, analisis-analisis, dan kesimpulan dari hasil studi
yang dilakukan kelompok yang disebutnya aliran "ekonomi moral”.

Pandangan Ekonomi Moral Scott

Menurut pandangan ekonomi moral, petani umumnya tidak memiliki sikap


manusia rasional yang berusaha memaksimalkan, melainkan lebih memiliki sikap
yang lebih mementingkan keselamatan karena sifat pertanian mereka yang
subsisten. Karena sifat pertanian mereka yang subsisten itu pula, kadang-kadang
petani enggan mengadopsi inovasi baru. Misalnya, mereka takut menggunakan
bibit baru dan tetap menggunakan bibit lokal yang tidak unggul, sebab jika
"eksperimen" ini tidak berhasil atau panen gagal, kehidupan mereka bisa terancam
karena tidak ada yang bisa dimakan.

Sebagai akibatnya, petani subsisten takut pada kemajuan dan tidak berani
mengambil risiko. Dengan menggunakan model penghindaran risiko yang
sederhana, Scott (1976 menjelaskan preferensi petani terhadap aransemen
ekonomi, sosial, dan politik yang cenderung lebih menyukai "tingkat pendapatan
yang relatif rendah tetapı pasti ketimbang "hasil yang lebih tinggi tetapl berisiko
lebih tinggi". masalahnya, jika "eksperimen" mereka gagal hal ini bisa membawa
mereka pada tingkat kehidupan yang lebih buruk dari marjin subsistensi. Bahkan,
situasi yang dihadapi sedemikian rupa sehinga membuat mereka lebih menyukai
sistem pajak progresif ketimbang system pajak prorata.

Dalam masvarakat petani subsisten, biasanya mekanisme pasar tidak jalan.


Karena mechanism pasar tidak jalan, sukar diharapkan kemajuan. Kemajuan akan
semakin jauh karena masyarakat tradisional beroriencasi ke dalam dan lebih

46
mendahulukan keselamatan ketimbang laba yang lebih besar. Mereka tidak
mungkin melibatkan diri dalam perkembangan ekonomi kapitalisme yang lebih
didasarkan pada rasionalitas, motif laba maksimum, asas kepentingan pribadi,
inovatif, dan berani mengambil risiko.

Dalam pandangan ekonomi moral., petani subsistem dianggap lebih


"bermoral", lebih baik pada tetangga, dan hidup tolong-menolong dalam suasana
gotong-royong. Padahal, menurut Popkin, mereka lebih "bermoral" bukan karena
mereka lebih baik. tetapi karena aturan hidup di desa yang memaksa mereka
berbuat demikian. Petani subsisten "terpaksa" menolong orang lain agar pada
waktu mengalami bencana (misalnya, mengalami gagal panen) mercka juga
ditolong orang lain. Adanya keharusan "membantu" anggota masyarakat lain yang
ditimpa kesusahan menyebabkan rasa. Kekerabatan dalam masyarakat petani
terjaga. Dan adanya ikatan kelompok yang kuat memungkinkan kelompok
menjadi tempat menggantungkan risiko dan sebagai medium untuk membagi-bagi
risiko tersebut secara kolektif. Hal ini pada gilirannya menyebabkan kepentingan
kolektif menjadi lebih menonjol daripada kepentingan individu.

Di desa, kepincangan antara warga bisa saja terjadi. Akan tetapi, biasanya
pihak yang lebih beruntung harus menunjukkan sifat dermawan pada mereka yang
kurang beruntung kalau tetap ingin dianggap sebagai warga desa. Kenyataannya,
legitimasi "orang besar" (patron, tuan tanah) dinilai dari kedermawanan mereka
terhadap pihak-pihak yang kurang berunrung, dan dari bantuan mereka pada orang
yang sedang ditimpa kesusahan.

masvarakat petani subsistem lebih berorientasi ke dalam. Artinya, dasar


berpijak tindakan petani secara perorangan lebih dipenguruhi oleh elompok
tatanan., dan kelembagan yang didasarkan pada hubungan yang sangat erat dan
bersifat personal di antara individu-individu dalam masvarakat. Karena tindakan
petani lebih berorientasi ke dalam. keterlibatannya dengan dunia luar tidak bisa
secara total.

47
Para petani dalam pandangan ekonomi moral umumnya curiga dan takut
pada hubungan pasar Mereka tidak tertarik menanam tanaman komersial yang
nilai ekonomisnya lebih tinggi sebab kalau berhasil maka para tetangga akan
dengan senang hati ingin pula "membantu" menilkmati atau cicipi hasil yang lebih
besar tersebut. Sifat "bantu-membantu" di atas memaksa para petani lebih suka
menanam sekedar untuk memenuhi kebutuhan. Karena mereka berusaha
seadanya, hasil yang diperoleh juga seadanya. Yang jelas, hasil yang diterima
petani subsisten jauh dari hasil yang dinikmati petani maju yang dimotivasi oleh
keinginan memperoleh laba maksimum.

Selain takut pada hubungan pasar, para peran subsisten umumnya juga
takut (lebih tepat curiga) pada pemodal yang datang dari luar, sebab dipandang
"berbeda dengan mereka. Para pemodal dari luar ingin memperoleh laba sebesar-
besarnya. Padahal, dalam masyarakat petani subsistem sifat individualisme yang
mengutamakan kepentingan pribadi dianggap sebagai sifat yang tidak baik dan
karena itu sering dicerca. Menurut Scott, petani subsisten sering curiga pada dunia
luar, adanya penetrasi kapital bisa membangkitkan resistansi, perlawanan, atau
bahkan pemberontakan dari para petani untuk mempertahankan pola subsistensi.

Mengapa sampai ada revolusi petani? Menurut Scott, kekuatan-kekuatan


kolonial yang mempromosikan perluasan kekayaan privat dan pasar telah
mengakibatkan semakin melemahkan pertahanan sosial petani dalam menghadapi
risiko. Selain itu, pemerintah kolonial juga telah mengubah sistem pajak dari yang
scbelumnya bersifat progresif ke pajak prorata, yang dipandang merugikan
mereka. Sebagai akibatnya, di bawah kolonialisme, para petani menghadapi risiko
yang lebih besar untuk hidup di bawah level subsistensi. Sebagai akumulasi.
Semua yang disebutkan diatas telah mendorong para peetani di Indocina untuk
melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan kolonial.

Pemikiran Scot di atas didasarkan atas hasil studi sejarah pemberontakan


petani di Asia Tenggara. Petani tradisional melakukan perlawanan terhadap
penetrasi kapital karena khawatir hal ini akan mengacaukan sistem subsistensi

48
yang sudah mapan dalam masyarakat petani tersebut. Dengan kata lain. sikap
responsif mereka terwujud dalam bentuk perlawanan terhadap ancaman dari luar
penetrasi dan dalam rangka memperjuangkan kelangsungan subsistensi mereka
sendiri. Berdasarkan uraian di atas, Scott menilai bahwa dari sudut pandang
ekonomi moral, desa bukan merupakan asosiasi petani produsen seperti yang
dijumpai dinegara-negara maju, melainkan lebih mendekati suatu unit ritual dan
budaya yang memiliki rasa nasib yang sepenanggungan.

Ekonomi moral Petani rasional


Pertanian Subsisten Modern
Landasan aksi Emosional Rasional
Orientasi Kedalam Kedalam dan keluar
Prinsip usaha Mengutamakan keselamatan Memaksimalkan keuntungan
Sikap terhadap resiko Enggan mengambil resiko Berani mengambil resiko
Sikap terhadap inovasi Enggan menerapkan inovasi baru Berani menerapkan inovasi
Yang diutamakan Kepentingan kolektif Kepentingan individu

Resep Popkin untuk Memajukan Petani

Bagaimana reaksi popkin terhadap sifat ortodoks ekonomi moral dalam


memandang kemajuan? Tanggapannya mirip dengan reaksi lawak Will Rogers:
"Things aint as good as they used to be but they never werw”, yang artinya kira-
kira" keadaan juga sekarang juga tak sebaik waktu dulu. Namun masalahnya
keadaan waktu dulu juga tak pernah baik.

Menurut Popkin, ajaran tentang moral petani lebih buruk dari penjajahan
dan kapitalisme. Dengan moral petani, tidak ada hasil yang dapat dikumpulkan
dan dengan demikian juga tidak ada harta yang bisa dihancurkan. Lebih lanjut,
Popkin menilai bahwa aliran ekonomi moral terlalu melebih-lebihkan aspek
kebaikan hati dari hubungan patron-client. Nyatanya, "orang besar" (Big Men,
landlord, atau patron) lebih sering memanipulasi petani.

Popkin justru menemukan bukti bahwa petani kaya di pedesan lebih sering
mengeksploitasi dan memanfaatkan kedudukan istimewanya dalam politik dan
status sosial. Banyak orang besar mengeksploitasi lembaga-lembaga pedesaan

49
untuk kepentingan sendiri. Bahkan, banyak “orang besar” menolak tawaran
perusahaaan (seperti perbaikan pendidikan dan teknik pertanian) sebab hal ini
akan mengurangi kekuasaan mereka dan ketergantungan petani kepada mereka.

Menurut Popkin, cara terbaik untuk membantu petani bukan dengan nilai-
nilai moral yang mengajarkan kekompakan senasib dan sepenanggungan di antara
petani, melainkan dengan memperkenalkan individualisme dan pilihan individual
sehingga mereka bisa memilih alternatif terbaik untuk meningkatkan
kesejahteraan mereka.

Selain itu untuk membantu petani, Popkin juga menganjurkan


dilakukannya reevaluasi sejarah pedesaan Vietnam dari periode perkapitalis
hingga tahun-tahun kolonialisasi Prancis hingga tahun1945. Karena reevaluasi
ialah sebuah pandangan ekonomi politik tentang prilaku petani, dengan
menggantikan pendekatan ekonomi moral yang lebih terfokus pada “budaya” dan
“nilai-nilai” dengan pendekatan yang terfokus pada pengambilan keputusan
individu-individu. Menurut Popkin, langkah di atas akan menungkinkan kita
menentukan rasionalitas di belakang nila-nilai dan aturan. Hal ini dipandang lebih
baik daripada memperlakukan budaya dan nila-nilai tersebut sebagai suatu yang
sudah given.

Berbeda dengan pandangan ekonomi moral, Popkin menilai bahwa para


petani tradisional di Asia Tenggara melakukan tindakan ekonomi atas dasar
prinsip-prinsip rasional. Popkin menerima pendapat bahwa petani secara individu
memperhatikan ancaman terhadap subsistensinya, tetapi ia mempertanyakan
asumsi bahwa petani enggan mengambil resiko.

Menurut Popkin, tindakan petani yang enggan mencoba inovasi baru,


misalnya menggunakan bibit unggul untuk menggantikan bibit lokal, bukanlah
tindakan yang tanpa perhitungan. Justru karena mereka rasional, mereka harus
hati-hati dalam menerapkan suatu inovasi baru, sebab kalau penggunaan bibit
unggul tersebut ternyata gagal, mereka terancam kelaparan selama satu musim
tanam.

50
Dari hasil penelitian yang dilakukan di Vietnam, Popkin membuat
kesimpulan yang bersifat antithesis terhadap pandangan Scott. Kalau Scott
mengatakan bahwa petani di Asia Tenggara memiliki sikap yang lebih
mengutamakan keselamatan dibanding memperoleh laba maksimum serta
berorientasi pada kelompok, Popkin justru berpendapat petani tradisional
termotivasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi, bukan kelompok.

Dari hasil studinya, Popkin menemukan premis bahwa petani di Vietnam


adalah “a rational problem slover” dan sekaligus “homo economicus rusticus”
yang tahu kepentingannya sendiri dan selalu mempertimbangkan untung rugi serta
mengevaluasi hasil terbaik yang mungkin dicapai, dikaitkan dengan pilihannya
sesuai preverensi dan nilai-nilai yang dianutnya. Bahkan, mereka juga tahu
bagaimana melakukan tawar-menawar dengan pihak-pihak lain untu mencapai
hasi yang dapat diterima semua pihak.

Pandangan Popkin tentang pola hubungan petani dengan “orang besar”


dan kelompok juga sangat berbeda jika dibandingkan dengan pandangan Scott.
Kalau scott mengatakan bahwa petani sering menggantungkan hidupnya pada
“orang besar“ dan kelompok, Popkin melalui hasil pengamatannya menyimpulkan
bahwa petani tradisional lebih menggantungkan hidupnya pada keluarga atau
kelompok-kelopok yang lebih kecil untuk menjamin subsistensi mereka,
bukannya kepada “orang besar” dan masyarakat keseluruhan. Petani tidak tertarik
menggantungkan hidup mereka pada “orang besar” dan pada kelompok besar
sebab tidak efektif, karena setiap orang di dalamnya masyarakat pada dasarnya
menginginkan keuntungan dari tindakan kolektif dengan partisipasi seminimal
mungkin.

Kalau diperhatikan dengan seksama, banyak yang sependapat bahwa


pandangan Popkin tidak orisinal, melainkan banyak dipengaruhi oleh pandangan
Teodor w. Schultz, ekonom pertanian yang pernah menerima hadiah nobel
ekonomi karena karyanya dinilai telah memberikan sumbangan yang signifikan
bagi pembangunan pertanian. Hal ini paling tidak dilihat dari kenyataan bahwa

51
Popkin dan Scultz sama-sama berkesimpulan bahwa petani tradisional melakuka
tindakan rasional dan efisien dalam mengalokasikan sumber daya, tapi mereka
miskin.

Jalan keluar yang ditawarkan popkin untuk membantu masyarakat petani


di Asia Tenggara juga percis sama dengan saran Scultz. Bagaimana cara
membantu petani keluar dari kungkungan kemiskinan dan keterbelakangan,
menurut Scultz? Dalam transforming tradisional agre culture (1964), ia
memberikan resep sebagai berikut: bangun pendidikan bagi mereka, dan
kemudian injeksikan teknologi yang dapat dijangkau dan murah. Kalau kedua hal
ini dilakukan, demikian Scultz melanjutkan, petani miskin itu bahkan dapat
merubah lumpur menjadi emas.

Kritik terhadap popkin

Walau banyak pakar sosial yang memuji pandangan Popkin dalam the
rational peasant, kritikan bukan tidak ada. Kritikan yang muncul antara lain
terhadap pandangannya tentang ekonomi moral; tentang pendekatan ekonomi
politik yang digunakannya; dan tentang aplikasi pendekatannya terhadap
masyarakat petani di Vietnam.

Dari pandangannya tentang ekonomi moral, banyak yang


mempertanyakan; apakah pandangannya tentang ekonomi moral akurat? Dan
apakah kritiknya terhadap ekonomi moral “adil” dan relavan? Dari segi
pendekatan ekonomi politik yang digunakannya, orang mempertanyakan apa
pendekatan tersebut koheren dan berguna? Dan, apa pendekatan ekonomi
politiknya tidak memiliki kelemahan? Tentang aplikasi pendekatannya terhadap
masyarakat petani Vietnam, orang mempertanyakan apa interpretasi yang
diberikan terhadap prilaku individu petani tersbut? Selain itu, bagaimana
hubungan antara penduduk desa dengan pihak luar (pedagang kapitalis atau
organitator revolusioner)?

Popkin dinilai terlalu menyederhanakan posisi Scott sewaktu ia mengkritik


ekonomi moral yang dikembangkan Scott sebagai amal gamasi dari pemikiran

52
Durheim, Rousseau, San Good Samaritan. Popkin dinilai salah dalam menafsiran
moralitas kehidupan desa prakapitalis. Scott tidak pernah menyatakan bahwa
kehidupan di pedesaan sangat terhormat atau bahwa orang desa tidak
berperhitungan. Yang diutarakan oleh Scott bahwa ada pengetahuan umum
tentang aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat desa. Aturan tersebut penting
karena mencerminkan suatu rasionalitas ekonomi yang berbeda dan aturan ini
sendiri tersebar luas dalam komunitas pedesaan. Artinya, kalau Popkin sekedar
memprotes romantisme kehidipan pedesaan, bolehlah. Akan tetapi, hendaknya ia
jangan menyebut romantisme pedesaan tersebut sbagai ide dari Scott.

Kalau disimak analisis Scott didasarkan pada teori pilihan rasional.


Perilaku petani konsisten dengan perilaku individu rasional, sesuai preverensi-
preverendi indifferens mereka. Bagi Scott, praktik dan aransemen masyarakat pra
industri memberikan yang sesuai dengan preverensi individu. Waktu nilai-nilai
yang mereka anut dilanggar, mereka memberontak. Yang menjadi masalah
tidaklah ada alasan untuk mengharapkan hasil sosial secara sistematis terkait
dengan preverensi individu. Berbagai hasil penelitian(diantaranya oleh arrow
1968; hardin&barry, 1982) menunjukkan bahwa individu rasional dapat membuat
keputusan yang hasilnya tidak rasional secara sosial. Sperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya, hasil sosial adalah barang publik dan individu yang rasional lebih
suka jadi membonceng. Mereka lebih suka membiarkan orang lain yang inisiatif
dan membayar ogkos, dan setelah barang publik tersebut ada, mereka lantas
membonceng dengan percuma.

Rasionalitas petani di pedesaan Indonesia

Sama dengan keadaan di indocina, banyak ahli-ahli sosial berpendapat


bawwa keadaan petani tradisional kita di Indonesia yang lebih banyak beroperasi
dalam skala super mikro juga tidak begitu berbeda . misalnya, banyak ahli sosial
yang mengatakan bahwa petani Indonesia, terutama di Jawa, juga mempunyai
sikap yang mementingkan keselamatan karena sifat pertanian mereka yang
subsistem; mereka tidak mempunyai sikap manusia rasional yang berusaha

53
memaksimumkan keuntungan; kebanyakan petani enggan mengadopsi inovasi
baru dan kurang berani mengambil resiko, takut pada kemajuan.

Sebagian besar ahli-ahli sosial di Indonesia mendukung pendapat Scott


bahwa dalam kenyataan hidup sehari-hari para petani di Indonesia juga lebih suka
hidup dengan pola gotong royong dan saling tolong menong; rasa kekerabatan
masyarakat petani kita juga sangat tinggi; masyarakat sering menggantungkan
hidup pada orang lain, kepentingan kolektif lebih menonjol disbanding
kepentingan individu; msyarakat petani subsisten lebih berorientasi kedalam; pola
tindakan petani secara perorangan lebih dipengaruhi oleh kelompok, tatanan, dan
kelembagaan yang didasarkan pada hubungan yang sangat erat dan bersifat
personal di antara individu dalam masyarakat, keterlibatan masarakat desa dengan
dunia luar terbatas; para petani sering curiga dan takut pada pendatang atau orang
luar; para prtani tradisional umuya tidak atau sedikit sekali menggunakan
mekanisme pasar.

Di sebagian daerah di Indonesia, para petani tradisional tidak tertarik


menanam tanaman komerisial yang nilai ekonomisnya lebih tinggi, sebab kalau
berhasil maka para tetangga akan bersenang hati ingin pula mencicipi hasil yang
lebih besar tersebut. Sifat ”bantu membantu” diatas, memaksa masyarakat petani
lebih suka menanam sekedar atau memenuhi kebutuhan karena mereka berusaha
seadanya, hasil yang diperoleh juga eadanya. Yang jelas hasil yang diterima
subsisten jauh dari hasil yang dinikmati petani maju yang dimotivasi oleah
keinginana memperoleh laba maksimum.

Kalau diperhatikan, pandangan ahli-ahli sosial dalam membahas prilaku


petani tidak hanya merujuk pada pemikiran James C. Scott. Jika disimak lebih
jauh ke belakang, pandangan tentang moral petani subsistem bisa dirujuk
kepemikiran boeke. Dalam buku economic and ekonomie policy of dual societies
as exemplified by Indonesia (1953), boeke yang meniliti kondisi kaum pribumi di
Indonesia menyimpulkan bahwa sikap kaum pribumi lebih tertumpu pada moral
subsistemsi prakapitalisme sulit berubah dan dengan sendirinya sulit elaksanakan

54
pembangunan. Orang Indonesia lebih mengutamakan kepentingan sosial.
Pengakuan sosial dan hubungan kekerabatan yang sangat erat mengalahkan
hubungan lain yang bersifat rasional. Kebutuhan mereka sedikit sekali. Hal- Hal
yang berkaitan dengan masalah ekonimi di anggap sekunder, dan lebih di
perhatikan adalah kebanggaan sosial. Mereka tidak terangsang untuk
menghasilkan lebih. Bahkan kegiatan produksi dipandang sebagai bagian dari
kegiatan social. Kerana petani Indonesia tidak punya rasionalitas ekonomi, boeke
sangat pesimis tentang prospek pembangunan di Indonesia.

Boeke berpendapat bahwa dalam masyarakat seperti yang diuraikan di atas


perinsip prinsip ekonomi tidak mempunyai makna apa apa. Hukum-hukum
rasional permintaan-penawaran menjadi tidak relavan. Mekanisme pasar menjadi
tidak jalan. Menurut Boeke pendekatan ekonomi pasar yang rasional tidak bisa
ditetapkan atas sendi-sendi tradisional dan moral substensi petani jika masyarakat
tidak mampu mengubah pandangan yang lebih didasarkan pada moral dan emosi
kepandangan yang lebih rasional tidak ada kemajuan.

Perspektif Boeke tentang moral subsistensi mirip dengan pandangan


Geertz dalam agri cultural involution (1963) yang menyimpulkan bahwa
pembangunan pada masyarakat tradisional Indonesia mengalami proses
kemunduran (involution) dari tahun ketahun karena sikap masyarakat yang lebih
berorientasi pada moral substensi, dalam bukunya geetz membandingkan jepang
dan jawa seabad yang lalu dengan keadaan di sekitar 60-an.

Seabad yang lalu kejadian di Jawa dengan di Jepang tidak banyak berbeda,
sistem feodalnya sama, penduduknya sama-sama padat, dan usaha tani mereka
samasama bersifat kecil dengan produktifitas yang tidak begitu berbeda akan
tetapi keadaan tahun 60-an sangat berbeda, pendapatan perkapita rakyat jepang
lima belas kali lebih besar di banding penduduk Jawa dan produksi padi jepang
satu setengah kali lebih produktif dari hasil padi di Jawa. Mengapa bisa demikian?
Menurut Geetz jawabannya berada di luar proses ekologi dan ekonomi yaitu pada
dinamika politik dan budaya Jawa yang feodalitas yang cenderung mematikan

55
kemajuan ekonomi sebagi contoh pedagangan beras jawa ke daerah seberang mati
sebagai akibat politik mataram, sunan memonopoli perdagangan luar negeri untuk
dirinya sendiri dan tidak seorangpun dari kawulanya di perbolehka nmendapat
keuntungan dari perdagangannya tersebut, monopoli raja ditetapkan atas beras dan
orang partikelir yang berani mengekspor berasakan di hukum mati. Kekuasaan
bagi sultan agung jauh lebih penting dari kemakmuran rakyatnya, sunan
Amangkurat juga pernah menyatakan kepada Rijklof van Goers bahwa ia tidak
perlu memakmurkan rakyatnya sebab jika rakyat makmur maka kedudukannya
akan terancam. Bahkan, konon kabarnya sultan Agung sengaja membiarkan
rakyatnya dalam kemiskinan, sebab rakyat miskin lebih gampang untuk di kuasai.
Sebagai dampak dari prilaku budaya feudal tersebut,ekonomi masyarakat petani di
jawa terjebak pada tingkat keseimbangan rendah, proses kemunduran terjadi
bukan karena metode produktifitasnya lemah, melaikan Karen acara (norma)
pendistribusian hasil dalam masyarakat yang jauh dari rasionalitas dan lebih
mengutamakan kepentingan kolektif ini. Bentuk perbaikan macam apa pun tidak
ada memberikan hasil yang memuaskan.

56
DAFTAR PUSTAKA

Deliarnov. (2006). Ekonomi Politik. Jakarta: ERLANGGA.

Rachbini, D. J. (2006). Ekonomi Politik Dan Teori Pilihan Publik (Edisi Kedua).
Bogor: GHALIA INDONESIA.

57

Anda mungkin juga menyukai