Makalah Pemimpin Wanita Menurut Kacamata Islam
Makalah Pemimpin Wanita Menurut Kacamata Islam
Disusun oleh:
1
DAFTAR ISI
I. Pendahuluan ...........................................................................................3
I. Kesimpulan ................................................................................................15
2
BAB I
PENDAHULUAN
I. Pendahuluan
Konsep kepemimpinan dalam Islam sebenarnya memiliki dasar yang sangat kuat
dan kokoh.Ia dibangun tidak saja oleh nilai-nilai transendental, namun telah
dipraktekkan sejak berabad-abad yang lalu oleh Nabi Muhammad SAW, para
Shahabat dan Al-Khulafa’ Al-Rosyidin. Pijakan kuat yang bersumber dari Al-
Qur’an dan Assunnah serta dengan bukti empiriknya telah menempatkan konsep
kepemimpinan Islam sebagai salah satu model kepemimpinan yang diakui dan
dikagumi oleh dunia internasional.
PEMBAHASAN
4
B. Prinsip Dasar Kepemimpinan
Impian dan harapan besar umat terhadap pemimpin, mengantarkan
betapa penting dan berartinya peran seorang pemimpin dalam mendesain sebuah
masyarakat, bangsa dan negara. Sejarah membuktikan, kejayaan dan keemasan
sebuah bangsa sangat ditentukan oleh kualitas dan kapasitas para pemimpinnya.
Sebaliknya sebuah bangsa yang sebelumnya besar dan beradab hancur
dan tak berarti karena kerakusan, keserakahan dan buruknya sikap mental para
pemimpinnya. Suatu contoh, hancurnya Daulah Umayyah dan Daulah Abbasiyah,
lebih disebabkan oleh karena penerus tahta mahkota kekhalifahan berada di
tangan-tangan pemimpin yang lemah dan tak bermoral. Hubbuddunnya (cinta
dunia) lebih ketara dan lebih lekat dibanding dengan hubbul-akhirah (cinta
akhirat).
Prinsip-prinsip kepemimpinan dalam Islam adalah sebagai berikut:
Pertama, hikmah, ajaklah manusia ke jalan Tuhan-mu dengan hikmah
dan nasehat yang baik lagi bijaksana (QS. al-Nahl:125).
Kedua, qudwah, kepemimpinan menjadi efektif apabila dilakukan tidak
hanya dengan nasihat tapi juga dengan ketauladanan yang baik dan bijaksana (QS.
al-Ahdzab:21). Pepatah mengatakan, satu ketauladanan yang baik lebih utama dari
seribu satu nasehat. Memang kesan dari sebuah keteladanan lebih melekat dan
membekas dibanding hanya sekedar nasehat seorang pemimpin.
Ketiga, musyawarah diskusi, adalah suatu bentuk pelibatan seluruh
komponen masyarakat secara proporsional dalam keikutsertaan dalam
pengambilan sebuah keputusan atau kebijaksanaan (QS. Ali Imran:159, QS. As-
Syura:38). Dengan musyawarah diskusi dan bertukar pikiran, maka tidak ada
suatu permasalahan yang tak dapat diselesaikan. Tentu dengan prinsip-prinsip
bilhikmah wamauidhatil khasanah yang harus dipegang teguh oleh setiap
komponen pemerintah atau imamah.
Keempat, adil, tidak memihak pada salah satu pihak. Pemimpin yang
berdiri pada semua kelompok dan golongan, (QS.al-Nisa’:58&135, QS. al-
Maidah:8) Dalam memimpin pegangannya hanya pada kebenaran, shirathal
mustaqim (jalan yang lurus). Timbangan dan ukurannya bersumber pada al-
Qur’an dan al-Hadits. Kecintaannya hanya karena Allah dan kebencian pun
5
hanya karena Allah. Hukum menjadi kuat tidak hanya saat berhadapan dengan
orang lemah, tapi juga menjadi kuat saat berhadap-hadapan dengan orang kuat.
Kelima, kelembutan hati dan saling mendoakan. Kesuksesan dan
keberhasilan Rasulallah dan para sahabat dalam memimpin umat, lebih banyak
didukung oleh faktor performa pribadi Rasul dan para sahabat yang lembut
hatinya, halus perangainya dan santun perkataannya. Maka Allah SWT
menempatkan Muhammad Rasulallah sebagai rujukan dalam pembinaan mental
dan moral sebagaimana firmannya, ”Laqad kana lakum fii Rasulillahi uswatun
hasanah” (Sungguh ada pada diri Rasul suri tauladan yang baik), (QS. al-
Ahdzab:21 dan al-Qalam:10).
Keenam, dari prinsip dasar kepemimpinan Islami adalah kebebasan
berfikir, kreativitas dan berijtihad. Sungguh amat luar biasa, sepeninggal
Rasulallah para sahabat dapat menunjukkan diri sebagai sosok pemimpin yang
mandiri, kuat, kreatif dan fleksibel.
Kelembutan pribadi Abu Bakar (khalifah ke-1) tak menjadikan dirinya
menjadi sosok pemimpin yang lemah, malah sebaliknya ia menjadi pemimpin
yang kuat dan tangguh. Tak gentar menghadapi musuh-musuh Islam. Ketegasan
beliau dibuktikan dengan kesungguhan memerangi para pemberontak, nabi palsu
dan kaum yang tak mau membayar zakat.
Kebalikannya ketegaran Khalifah Umar bin Khattab (khalifah ke-2)
akhirnya menjadi sosok yang lembut, sederhana dan bersahaja. Sekalipun ia
seorang khalifah dan menyandang gelar amirul mu’minin, tak menjadikan
kehidupan diri dan keluarganya berubah drastis, bergelimang harta dan tahta atau
menampilkan diri sebagai sosok pembesar yang suka ”petentang-petenteng” dan
pamer kekuasaan.
Yang terjadi justru sebaliknya, Umar bin Khattab lebih menampakkan
diri sebagai sosok yang low profil high produc. Tak salah kiranya bila banyak
rakyatnya dan pejabat negara lain yang terkecoh dengan penampilan fisiknya dan
tak mengira bahwa yang berdiri dihadapannya adalah seorang khalifah yang
disegani dan dicintai rakyatnya.
Dua sosok pemimpin penerus Rasulallah yang berbeda karakter tersebut,
disaat sama-sama diberi amanah untuk memimpin umat dan mengelola roda
6
pemerintahan yang tampak adalah sosok pemimpin yang banyak dipengaruhi dan
diwarnai oleh nilai-nilai al-Qur’an dan al-Hadits. Tidak sebagai pemimpin yang
dipengaruhi dan dikuasai oleh karakter pribadi dan hawa nafsu.
Ketujuh, sinergis membangun kebersamaan. Mengoptimalkan sumber
daya insani yang ada. Hebatnya Rasulullah salah satunya adalah kemampuan
beliau dalam mensinergikan dan membangun kekuatan dan potensi yang dimiliki
umatnya. Para sahabat dioptimalkan keberadaannya. Keberbedaan potensi yang
dimiliki sahabat dan umat dikembangkan sedemikian rupa, sehingga menjadi
pribadi-pribadi yang tangguh baik mental maupun spritualnya.
Berbagai misi kenegaraan dipercayakan Rasulallah kepada para sahabatnya
seperti misi ke Habasyah, Yaman, Persia dan Rumawi. Muncullah sosok-sosok
sahabat seperti Abu Dzar Al-Ghifari, Mu’adz bin Jabal, Salman al-Farisi dan Amr
bin Ash. Dalam usia yang relatif muda, mereka sudah memimpin berbagai
ekspedisi kenegaraan dan berbagai pertempuran penting.
C. Hakekat Kepemimpinan
Hakikat kepemimpinan dalam pandangan Islam yang secara garis besar dalam
lima lingkup.
Ketika seseorang diangkat atau ditunjuk untuk memimpin suatu lembaga atau
institusi, maka ia sebenarnya mengemban tanggung jawab yang besar sebagai
seorang pemimpin yang harus mampu mempertanggungjawabkannya,.Bukan
hanya dihadapan manusia tapi juga dihadapan Allah SWT. Oleh karena itu,
jabatan dalam semua level atau tingkatan bukanlah suatu keistimewaan sehingga
seorang pemimpin atau pejabat tidak boleh merasa menjadi manusia yang
istimewa sehingga ia merasa harus diistimewakan dan ia sangat marah bila orang
lain tidak mengistimewakan dirinya.
Para pemimpin mendapat tanggung jawab yang besar untuk menghadapi dan
mengatasi berbagai persoalan yang menghantui masyarakat yang dipimpinnya
untuk selanjutnya mengarahkan kehidupan masyarakat untuk bisa menjalani
kehidupan yang baik dan benar serta mencapai kemajuan dan kesejahteraan.
Untuk itu, para pemimpin dituntut bekerja keras dengan penuh kesungguhan dan
optimisme.
Sebagai cerminan, saat menghadapi krisis ekonomi, Khalifah Umar bin Khattab
membagikan sembako (bahan pangan) kepada rakyatnya. Meskipun sore hari ia
sudah menerima laporan tentang pembagian yang merata, pada malam hari, saat
masyarakat sudah mulai tidur, Umar mengecek langsung dengan mendatangi
lorong-lorong kampung, Umar mendapati masih ada rakyatnya yang masak batu
sekedar untuk memberi harapan kepada anaknya yang menangis karena lapar akan
kemungkinan mendapatkan makanan. Meskipun malam sudah semakin larut,
Umar pulang ke rumahnya dan ternyata ia memanggul sendiri satu karung bahan
makanan untuk diberikan kepada rakyatnya yang belum memperolehnya.
Pemimpin adalah pelayan bagi orang yang dipimpinnya, karena itu menjadi
pemimpin atau pejabat berarti mendapatkan kewenangan yang besar untuk bisa
melayani masyarakat dengan pelayanan yang lebih baik dari pemimpin
sebelumnya, Rasulullah Saw bersabda: Pemimpin suatu kaum adalah pelayan
mereka (HR. Abu Na'im)
8
Oleh karena itu, setiap pemimpin harus memiliki visi dan misi pelayanan terhadap
orang-orang yang dipimpinnya guna meningkatkan kesejahteraan hidup, ini
berarti tidak ada keinginan sedikitpun untuk menzalimi rakyatnya apalagi menjual
rakyat, berbicara atas nama rakyat atau kepentingan rakyat padahal sebenarnya
untuk kepentingan diri, keluarga atau golongannya. Bila pemimpin seperti ini
terdapat dalam kehidupan kita, maka ini adalah pengkhianat yang paling
besar, Rasulullah Saw bersabda: Khianat yang paling besar adalah bila seorang
penguasa memperdagangkan rakyatnya (HR. Thabrani).
9
D. Sumber Hukum Kepemimpinan Dalam Islam
“kaum laki-laki adalah pemimpin kaum wanita, karena Allah telah melebihkan
sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka menafkahkan
sebagian dari kekeyaan mereka.”
“Khalifah (kepala negara) haruslah seorang laki-laki dan para fuqoha telah
bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi Imam (khalifah/kepala negara).”
“Hai orang – orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil
amri di antara kamu.”
Dalam ayat ini terdapat perintah untuk taat kepada pemimpin dengan
menggunakan lafaz ulil amri. Berdasarkan kaidah bahasa Arab maka bisa di
11
pahami bahwa perintah untuk taat kepada pemimpin yang di maksud dalam ayat
tersebut adalah pemimpin laki – laki. Sebab apabila pemimpin wanita maka
seharusnya menggunakan lafaz Uulatul Amri.
Didalam islam, tidak ada pemisahan antara agama dan negara, agama dan politik
atau agama dan kepemimpinan, semuanya satu kesatuan. Karena hidup kita ini di
atur oleh agama dari hal yang paling kecil sampai pada hal yang terbesar. Hidup
adalah tingkah laku, dan tingkah laku di batasi oleh norma agama termasuk
tingkah laku dalam berpolitik.
“Dan kalau Kami bermaksud menjadikan Rasul itu dari golongan malaikat,
tentulah Kami jadikan dia berupa laki-laki”.(Qs. Al-an’am 6:9)
“Kami tidak mengutus kamu, melainkan orang laki-laki yang kami berikan
wahyu kepadanya di antara penduduk suatu negeri”.(Qs. Yusuf 12:109)
2. Imam dalam sholat tidak boleh wanita, kecuali makmumnya juga wanita
(berdasrkan Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Hambali dan
Ja’fari/Imammiah)
3. Laki-laki sudah di tetapkan sebagai pemimpin wanita.
Di jelaskan pada Qs.An-Nisaa’ ayat 34:
12
Ayat ini memang konteksnya berbicara seputar rumah tangga, akan tetapi
secara logikanya, seorang kepala rumah tangga saja haruslah laki-laki, apa lagi
seorang kepala negara yang notabene sebagai kepala atau pemimpin dari
banyak kepala keluarga lain, maka tidak lain dia haruslah laki-laki.
“Dan anak laki-laki tidaklah sama dengan anak wanita” (Qs. Ali Imron 3:36)
4. Hadist
Musnad Ahmad 19603: Abu Bakrah berkata;Nabi Muhammad SAW telah
bersabda: “Siapakah yang memimpin urusan penduduk Persi? Mereka
menjawab ; “seorang wanita”. Beliau bersabda: “ tidak akan beruntung kaum
yang menyerahkan urusannya kepada mereka.”
Jika datang waktu seperti ini, maka dimana tanggungjawab wanita sebagai
pemimpin?
“Bagi para wanita, mereka punya hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang benar. Tapi para suami memiliki satu tingkat kelebihan dari
istrinya.” (Qs. Al-Baqarah 2:228)
“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu bertanggung jawab atas
kepemimpinanmu. Laki-laki adalah pemimpin dlm keluarganya, dan dia harus
mempertanggung jawabkan kepemimpinannya itu. Perempuan adalah pemimpin
dlm rumah suaminya dan diapun bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya.”
(Hadist Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dari Ibnu Umar)
14
kepemimpinan semacam ini, apakah termasuk bagian dari kekuasaan, persaksian,
ataukah fatwa.
Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita tidak
berhak menjadi pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih terbatas. Sebab,
bagaimanapun juga, menjadi pemimpin, baik dengan kekuasaan luas maupun
terbatas, pada hakikatnya sama. Yang membedakan hanyalah wilayah
kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh jelas-jelas melarang seorang wanita
menjadi pemimpin.
15
BAB III
PENUTUP
I. Kesimpulan
Pada hakikatnya setiap manusia adalah seorang pemimpin dan setiap orang
akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Manusia
sebagai pemimpin minimal harus mampu memimpin dirinya sendiri.
16
II. Saran
Jika kita menjadi seorang pemimpin, maka jadilah seorang pemimpin yang
tegas, jujur, adil, sabar, serta bertanggung jawab atas apa yang anda
pimpin. Seorang pemimpin yang muslim harus bisa memiliki sikap dan
sifat kepemimpinan seperti Nabi Muhammad SAW. Yaitu Sidiq, Tabligh,
Amanah, Fathonah. Seorang pemimpin itu harus bisa seperti air yang
mampu menghidupi seluruh umat manusia, seperti api yang mampu
memberikan manfaat bagi umat manusia,seperti tanah yang mampu
memberikan pijakan bagi umat manusia, seperti pohon yang mampu
memberikan kesejukan bagi umat manusia,seperti udara yang mampu
memberikan kehidupan bagi umat manusia, dan seperti matahari yang
mampu memberikan cahaya kehidupan bagi umat manusia.
17
DAFTAR PUSTAKA
18