Penelitian ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian
Komunikasi
Oleh :
BANDUNG
2019
2
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit ini memunculkan berbagai macam stigma masyarakat. Stigma yang muncul di
masyarakat merupakan fenomena global. Stigma masyarakat yang menganggap infeksi
HIV/AIDS merupakan akibat dari pelanggaran norma dan perilaku amoral yang tidak dapat
diterima oleh masyarakat. Orang yang mengidap penyakit HIV pun menyebutkan bahwa
mereka mendapat sikap antipati dari masyarakat karena stigma bahwa penyakit HIV
disebabkan karena kelakuan tidak baik, meskipun pada kenyataannya, penularan HIV tidak
hanya disebabkan karena hubungan seksual saja (Li dkk, 2016:292).
Beberapa orang mempercayai bahwa infeksi HIV disebabkan oleh kebiasaan yang penuh
“dosa” dan dikutuk dalam isi Alkitab. Beberapa orang lainnya juga percaya bahwa infeksi
HIV merupakan sebuah konsekuensi karena tidak menghormati tubuh yang diberikan oleh
5
Asumsi terakhir, stigma masyarakat bahwa HIV/AIDS adalah penyakit yang sangat
mudah ditularkan. Dalam sebuah penelitian terdapat narasumber perempuan yang
menyatakan bahwa ODHA harus di karantina dan harus disediakan tempat sendiri, di kota
dimana yang tinggal hanyalah ODHA. Karena mereka tidak mau menyentuh, duduk, atau
makan dengan ODHA (Fair dan Brackett, 2008:176).
Namun, pada kenyataannya, banyak mitos yang keliru soal penularan HIV, sehingga
pengidap HIV dijauhi bukan berdasarkan alasan yang tepat. HIV tidak dapat ditularkan
melalui air liur, keringat, sentuhan, ciuman, gigitan nyamuk atau bekas toilet. Faktor terbesar
Penularan HIV berasal dari kontak cairan tubuh seperti darah dan sperma melalui perilaku
seksual dan penggunaan jarum suntik1.
Stigma yang muncul tak hanya mengubah pandangan masyarakat saja, tapi juga kerabat
terdekat seperti keluarga,teman, rekan kerja. Stigma HIV/AIDS yang negatif memengaruhi
interaksi sosial dengan keluarga, teman, mitra seksual, rekan kerja, dan kesehatan
profesional. Beberapa konsekuensi yang mereka gambarkan adalah hilangnya dukungan
sosial, penganiayaan, isolasi, kehilangan pekerjaan, dan masalah mengakses layanan
kesehatan (Nelson dkk, 2005:169).
Menurut Herek (1999) terdapat beberapa alasan utama mengapa HIV sangat stigmatisasi.
Pertama, mereka yang terinfeksi dianggap bertanggung jawab atas status mereka karena
infeksi dapat dicegah. Kedua, HIV pada akhirnya berakibat fatal yang kemudian dapat
menimbulkan penyakit kronis. Ketiga, HIV bisa menular (Fair dan Brackett, 2008:222).
Stigma-stigma ini yang kemudian membuat ODHA mendapatkan perlakuan yang tidak
menyenangkan di kalangan masyarakat. Tekanan yang mereka rasakan bukan hanya dari
virus yang menyerang mereka tetapi dari stigma dan diskriminasi dari masyarakat (Wong
dan Wong, 2006:96).
1
https://www.liputan6.com/health/read/3780083/cara-penularan-hiv-aids-yang-wajib-kamu-tahu-agar-tidak-keliru
6
Stigma terkait HIV/AIDS kerap kali membuat para ODHA diperlakukan tidak baik,
dikucilkan, atau bahkan dibuang dari keluarganya. Kebanyakan ODHA merasa bahwa
masyarakat masih tidak dapat menerima orang yang hidup dengan menderita HIV/AIDS.
Masyarakat menyatakan jijik hanya dengan melakukan kontak mata dengan mereka, melihat
mereka, dan bahkan cara mereka berbicara mengenai orang yang menderita HIV/AIDS.
Berbagai tindakan seperti mengolok-ngolok ODHA kerap kali di lontarkan. Masyarakat juga
menolak untuk terlibat dalam kegiatan kelompok atau kegiatan yang sama dengan mereka
(Fongkaew dkk, 2013:73).
Pemahaman HIV/AIDS baik sebagai penyakit yang tak dapat disembuhkan atau penyakit
yang menular dari pekerja seks menciptakan perbedaan dalam lingkup sosial antara mereka
yang menstigmatisasi dan mereka yang mendapat stigma (Kittikorn, 2006:1286).
Oleh karena itu, dalam penelitian ini, berdasarkan asumsi-asumsi stigma terkait yang di
dapatkan oleh penderita penyakit tersebut, peneliti ingin meneliti bagaimana ODHA
memanajemen stigma yang berkembang di masyarakat tentang diri mereka. Sebuah
penelitian mengenai manajemen stigma ODHA meneliti stigma dan manajemen stigma
kehidupan anak muda yang positif terkena HIV. Penelitian tersebut memberikan hasil:
dalam menghadapi stigma masyarakat terkait HIV, cara paling ampuh untuk memanajemen
stigma adalah diam. Diam merupakan sebuah bentuk pertahanan meskipun ditindas dan
diperlakukan tidak adil.
Teori yang akan digunakan sebagai dasar penelitian kami adalah teori Stigma
Management Communication (SMC). Dalam model SMC ini menyatakan bahwa reaksi
terhadap pesan stigmatisasi dimulai oleh pesan tersebut dan berakhir oleh hasil manajemen.
7
Pesan stigmatisasi biasanya menandai sesuatu yang distigmatisasi dan membuat label yang
dapat dikenal. Lingkungan sekitar individu dapat mempengaruhi sikap individu terhadap
persepsi publik terhadap stigma dan penerapan stigma pada individu (Meisenbach,
2010:276).
Teori SMC ini digunakan untuk mengukur bagaimana reaksi ODHA di Rumah Cemara
terhadap stigma yang berkembang di masyarakat dan bagaimana lingkungan Rumah Cemara
mempengaruhi sikap ODHA terhadap stigma di masyarakat. Penelitian ini akan difokuskan
pada ODHA yang diadvokasi di Rumah Cemara karena saat ini Rumah Cemara merupakan
organisasi komunitas terbesar di Bandung yang merawat, memberikan dukungan, dan
melindungi ODHA.
Rumah Cemara memberikan layanan konsultasi bagi ODHA baik secara langsung
maupun online. Rumah Cemara juga memberikan pendampingan kepada ODHA sejak
terjangkit HIV/AIDS hingga mereka mendapatkan pengobatan atau perawatan yang sesuai.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus untuk
mengetahui bagaimana ODHA memanajemen stigma sebagai akibat dari stigmatisasi dari
masyarakat.
d. Untuk mengetahui bentuk stigma yang didapat oleh ODHA di Rumah Cemara.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 HIV/AIDS
Definisi HIV/AIDS
Acquired Immunodeficiency syndrome (AIDS) merupakan tahap akhir dari
infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Weiss, 1993:1273). Infeksi HIV adalah
ancaman yang sangat baru dan dapat dengan mudah disebut sebagai kutukan terhadap ras
manusia. Kehadiran AIDS sebagai penyakit menimbulkan peningkatan terhadap infeksi
yang langka dan kanker pada pria homoseksual (Bhatti dkk, 2016:1).
Sub-Kelompok HIV
a. HIV-1
HIV-1 dikenal karena keragaman genetiknya yang luas. HIV-1 dikelompokkan
menjadi empat jenis, yaitu: M, N, O, dan P. Virus HIV yang paling sering ditemukan di
seluruh dunia adalah jenis M. Jenis N kurang lazim, hanya dilaporkan dari Kamerun.
Jenis O bertanggung jawab atas 1% dari total kasus HIV-1 dan sebagian besar ditemukan
di Kamerun dan Gabon. Jenis P adalah yang paling langka dan telah diidentifikasi pada
wanita hamil Kamerun di Perancis (Batthi dkk, 2016:3).
b. HIV 2
HIV-2 paling sering dilaporkan di Afrika Barat (Guinea-Bissau dan Senegal
memiliki insiden tertinggi). Ada delapan jenis HIV-2, jenisnya adalah HIV-A hingga
HIV-H.
Penyebaran HIV
11
Latar belakang ekonomi merupakan salah satu faktor penyebab penyebaran virus
HIV. Tingkat perekonomian yang rendah menyebabkan tingkat pendidikan juga rendah,
pengangguran, penggunaan narkotika, konsumsi alkohol, serta pelaku prostitusi semakin
tinggi yang kemudian meningkatkan penyebaran HIV. Mereka tidak begitu peduli dengan
tindakan preventif akan kesehatan, seperti imunisasi pada anak. Pengangguran yang
semakin banyak menyebabkan konsumsi akan narkotika dan alkohol meningkat.
Kemudian pelaku prostitusi yang semakin tinggi juga mempengaruhi penyebaran HIV.
Mereka melakukan hubungan seksual dengan sembarang orang. Keadaan ekonomi dan
tingkat pendidikan yang rendah juga membuat mereka tidak menggunakan kondom
dalam melakukan hubungan seksual (Heffernan, 2002:167-168).
HIV/AIDS di Indonesia
Sejak pertama kali ditemukan sampai dengan Juni 2018, HIV/ AIDS telah
dilaporkan keberadaannya oleh 433 (84,2%) dari 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di
12
Indonesia. Jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai dengan Juni 2018
sebanyak 301.959 jiwa (47% dari estimasi ODHA jumlah orang dengan HIV AIDS tahun
2018 sebanyak 640.443 jiwa) dan paling banyak ditemukan di kelompok umur 25-49
tahun dan 20-24 tahun.2
Pengobatan
Infeksi HIV memiliki patogenesis yang sangat kompleks dan bervariasi secara
substansial pada pasien yang berbeda. Oleh karena itu, infeksi HIV dapat dengan mudah
dianggap sebagai infeksi yang sangat spesifik untuk inang virus. Spesifisitas patogenesis
sering mempersulit pilihan pengobatan yang saat ini tersedia untuk infeksi HIV.
Manajemen infeksi HIV yang efektif dimungkinkan dengan menggunakan kombinasi
obat yang berbeda. Metode pengobatannya secara kolektif dikenal sebagai terapi
antiretroviral (ART). ART standar terdiri dari ramuan setidaknya tiga obat. ART yang
efektif sering membantu mengendalikan multiplikasi HIV pada pasien yang terinfeksi
dan meningkatkan jumlah sel CD4, dengan demikian, memperpanjang fase infeksi
asimtomatik, memperlambat perkembangan penyakit, dan juga membantu mengurangi
risiko penularan.
2.2 STIGMA
Definisi Stigma
Stigma terjadi ketika seseorang tidak cocok dengan stereotip yang diterima secara
tentang bagaimana seharusnya orang ‘normal’ di lingkungan sosial. Akibatnya, dugaan
menyimpang dianggap memiliki ‘perbedaan’ yang tidak diharapkan oleh kebanyakan
masyarakat serta dinilai negatif oleh masyarakat. Erving Goffman mendefinisikan stigma
2
http://www.depkes.go.id/article/view/18120300001/hari-aids-sedunia-momen-stop-penularan-hiv-saya-berani-
saya-sehat-.html
13
sebagai suatu fenomena saat seorang individu dengan atribut tertentu yang sangat
didiskreditkan oleh masyarakatnya, ditolak ataupun dikucilkan sebagai akibat dari atribut
tersebut (Finn dan Sarangi, 2009:56).
Menurut Goffman, stigma merupakan suatu proses dinamik mendevaluasi, yang
mendiskreditkan secara bermakna seorang individu di mata orang lain. Kualitas yang
melekat pada stigma bisa ditetapkan secara sewenang-wenang (arbitary), misalnya warna
kulit, preferensi seksual, dan kondisi kesehatan. Stafford dan Scott mendefinisikan stigma
sebagai karakteristik seseorang yang berlawawan dengan norma kelompok sosial (Link
dan Phelan, 2001:364). Namun, pendekatan sosiologis berpendapat bahwa stigma
bukanlah sesuatu yang melekat pada individu tetapi hasil dari proses sosial yang
kompleks, terkait dengan persaingan untuk kekuasaan, dan terkait dengan mekanisme
dominasi dan eksklusi yang ada (Koku, 2010:2).
Berdasarkan konseptualisasi oleh Link dan Phelan, mereka menerapkan istilah
stigma ketika elemen pelabelan, stereotip, pemisahan, kehilangan status, dan diskriminasi
terjadi bersamaan yang memungkinkan komponen stigma terungkap. Stigma ada ketika
komponen yang saling berhubungan bersatu. Komponen yang dimaksud adalah,
komponen pertama orang membedakan dan melabel perebedaan-perbedaan pada
manusia, komponen kedua adalah kelompok dominan, menghubungkan atau
mengkategorikan orang-orang yang dilabel dengan karakteristik yang tidak diinginkan
dalam lingkungan sosial, komponen ketiga adalah orang-orang yang mendapatkan label
ditempatkan pada kategori yang berbeda untuk membuat derajat pemisahan antara
“kami” dan “mereka”, dan komponen terakhir yaitu orang-orang yang dilabel mengalami
kehilangan status dan diskriminasi yang berujung pada ketidaksetaraan (Link dan Phelan,
2001:367).
Stigma sepenuhnya bergantung pada kekuatan sosial, ekonomi, dan juga kekuatan
politik guna membuat stigma itu sendiri. Bagi orang-orang yang menerima stigmatisasi,
mereka tidak berdaya untuk membuat label dan stereotip tentang orang-orang yang lebih
kuat sesuai dengan stereotip tersebut. Realisasi tersebut menjelaskan mengapa stigma
sangat bergantung pada kekuatan atau kekuasaan. Ketika orang berpikir tentang penyakit
mental, obesitas, tuli ataupun pengidap HIV/AIDS ada kecenderungan untuk fokus hanya
14
pada atribut yang terkait dengan kondisi ini daripada perbedaan kekuatan antara orang
yang memiliki dan orang yang tidak. Kekuatan atau kekuasaan dalam hal ini sangat
penting untuk menciptakan stigma sosial (Lindayani dkk, 2018:708)
Goffman mangatakan, stigma telah dikonseptualisasi sebagai karakter ‘cacat’
yang dihasilkan dari perilaku tidak bermoral atau tidak terhormat. Akibatnya, ODHA dan
kelompok-kelompok yang berhubungan dengan mereka cenderung dikonstruksi sebagai
‘orang lain’ yang memalukan yang kebutuhannya berbeda dan tidak sesuai dengan
mereka yang ‘tidak terstigmatisasi’ (Koku, 2010:2).
Stigma HIV
Stigma HIV dapat dibedakan dalam beberapa bentuk stigma yaitu Stigma Publik
dan Stigma Diri. Stigma publik atau sosial, merujuk pada pengalaman dan telah
mendapatkan prasangka dan diskriminasi dari orang lain. Stigma publik bermanifestasi
dalam bentuk penghindaran, membuat jarak secara sosial, dan penggunaan kekerasan.
Sedangkan stigma diri merupakan antisipasi dari kepercayaan negatif dari masyarakat
terhadap individu yang mengidap HIV. Stigma diri akan mucul ketika seseorang sadar
akan stigma yang mereka dapat. Mereka akan menyetujui stigma tersebut dan
menerapkannya pada diri sendiri. Hal tersebut yang menyebabkan berkurang atau
hilangnya kepercayaan diri (self-esteem) dan efikasi diri (self-efficacy) (Lindayani dkk,
2018:7).
Struktur kognitif dan perilaku yang terkait dengan stigma, seperti identitas sosial
yang didevaluasi, prasangka, stereotip, diskriminasi, dan pengabaian. Dampak negatif
juga termasuk penurunan harga diri, prestasi akademik, dan kesehatan, termasuk
peningkatan kecemasan, penurunan kapasitas memori dan penyakit yang diderita
berkelanjutan (Meisenbach, 2010:269).
Banyak ODHA yang menyembunyikan penyakitnya karena takut akan stigma
masyarakat yang menyebabkan penolakan, rasa malu, dan depresi. Mereka beranggapan
dengan mengungkap statusnya dapat membuat situasi semakin rumit. Hal ini merupakan
konsekuensi negatif dari stigma HIV, karena dengan menyembunyikan statusnya dapat
membuat ODHA tidak mendapatakan pengobatan (Saki dkk, 2015:1).
15
seseorang, (d) menggunakan stigma untuk keuntungan sekunder seperti alasan kegagalan,
(e) memandang stigma sebagai sebuah berkah yang mengajari individu, (f) membingkai
orang-orang yang tidak distigmatisasi sebagai individu yang benar-benar membutuhkan
bantuan, (g) terlibat dalam ‘‘sympathetic re-education of the normal’’ (Meisenbach,
2013:270)
BAB III
METODE PENELITIAN
3. 1 Desain Penelitian
3.1.1 Pendekatan Penelitian
laporan. Sumber informasi harus beragam agar dapat memberikan gambaran yang lebih
mendalam.
Kasus yang digunakan dalam penelitian studi kasus dapat berupa single case
study atau collective case study. Dalam single case terdapat dua kategori kasus yaitu,
instrinsik (fenomenai unik) dan instrumental (pemahaman umum suatu fenomena).
Sedangkan collective case study bertujuan untuk memberikan pemahaman umum akan
beberapa fenomena instrumental yang terjadi pada satu atau berbeda wilayah dan waktu
(Harling, 2012:2).
Penelitian ini menggunakan collective case study karena melibatkan beragam
karakter narasumber yang kemudian memberikan beragam sudut pandang mengenai
manajemen stigma terhadap ODHA.
Melalui penelitian deskriptif dengan strategi studi kasus, penelitian ini akan
memberikan gambaran secara lengkap dan mengeksplorasi seacara mendalam mengenai
manajemen stigma Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam menghadapi stigma dari
masyarakat.
3.2.1 Partisipan
informan pendukung dalam penelitian ini seperti pengurus organisasi komunitas Rumah
Cemara yang sudah terbiasa menghadapi atau membantu ODHA.
mendapatkan pengobatan atau perawatan yang sesuai.3 Sudah banyak ODHA yang
datang untuk berkonsultasi dan menerima pendampingan dari Rumah Cemara.
Komunitas ini sudah sangat berpengalaman dalam menangani ODHA dari berbagai
kalangan. Maka dari itu, Rumah Cemara dipilih sebagai tempat penelitian manajemen
stigma ODHA ini.
Rumah Cemara didirikan pada tahun 2003 oleh lima mantan konsumen NAPZA.
Komunitas ini memimpikan Indonesia tanpa stigma dan diskriminasi. Menurut komunitas
Rumah Cemara, semua manusia memiliki kesempatan yang sama untuk maju,
memperoleh layanan kesehatan yang bermutu tak terkecuali bagi ODHA dan konsumen
NAPZA, dan dilindungi sesuai konstitusi. Rumah Cemara turut serta dalam upaya
penanggulangan AIDS dan pengendalian NAPZA nasional beserta perumusan kebijakan
yang berpihak pada pemenuhan HAM dan kesetaraan.4
Instrumen penelitian ini adalah peneliti itu sendiri. Peneliti secara langsung
terlibat dalam pengaturan, berinteraksi dengan partisipan, melibatkan perasaan, reaksi,
dan pengalaman pribadi yang kemudian menjadi ‘instumen’ pengukuran penelitian
(Neuman, 2014:523).
Dalam meneliti subjek, peneliti merupan instrumen atau media utama dalam
penelitian dan memiliki dua implikasi. Pertama, sebagai instrumen utama peneliti harus
waspada dan peka terhadap hal-hal yang terjadi di lapangan. Kedua, penelitian memiliki
konsekuensi pribadi. Penelitian ini melibatkan hubungan sosial, perasaan pribadi,
wawasan, pengalaman yang mempengaruhi penafsiran peristiwa di lapangan (Neuman,
2014:453)
3
https://rumahcemara.or.id/tentang-kami/
4
https://rumahcemara.or.id/tentang-kami/
23
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Wawancara Mendalam
(In Depth Interview)
Menentukan judul dan lokasi yang tepat untuk dilakukan penelitian. Terakhir dalam tahap
pra penelitian yaitu menyusun proposal penelitian.
b. Tahap Persiapan
Pada tahap persiapan, peneliti mempersiapkan pedoman dan kebutuhan penelitian yang
akan digunakan selama penelitian berlangsung di lokasi penelitian untuk menunjang
dalam pengumpulan data penelitian.
c. Tahap Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan merupakan tahapan inti dalam penelitian. Dalam tahapan ini
peneliti terjun langsung ke lapangan atau lokasi penelitian untuk mendapatkan informasi
dan data untuk menjawab permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian. Pada
pelaksanaannya, peneliti melakukan observasi partisipan, selain itu peneliti juga
melakukan wawancara dengan menanyakan berbagai pertanyaan yang telah disiapkan
sebelumnya, kepada berbagai informan mengenai manajemen stigma ODHA yang
berkembang di masyarakat mengenai diri mereka.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan teori dari miles
dan Huberman, yaitu kegiatan analisis terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara
bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verivikasi. Dari hasil
analisis data yang kemudian dapat ditarik kesimpulan.berikut ini adalah teknik analisis data yang
digunakan oleh peneliti:
a. Pertama, peneliti melakukan reduksi data yaitu suatu bentuk analisis yang menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data
dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik dan
diverifikasi. Dengan “reduksi data” peneliti tidak perlu mengartikannya sebagai
kuantifikasi. Data kualitatif dapat disederhanakan dan transformasikan dalam aneka
macam cara, yakni: melalui seleksi yang ketat, melalui ringkasan atau uraian singkat, dan
menggolongkan-nya dalam satu pola yang lebih luas. Peneliti akan meneliti mengenai
interaksi sosial orang dengan pengidap HIV/AIDS dalam pemudaran stigma. Jadi ketika
25
dalam penelitian menemukan sesuatu yang dipandang berhubungan maka hal tersebut
akan menjadi fokus penelitian dalam melakukan reduksi data.
b. Kedua, dalam bentuk uraian singkat. Dalam penelitian ini, ketika peneliti selesai
melakukan pengumpulan data di lapangan dengan informan-informan pengidap
HIV/ODHA, pengurus rumah cemara, maupun masyarakat. Peneliti akan melakukan
penyajian data untuk memahami apa yang terjadi dalam penelitian dan memudahkan
untuk melakukan tindakan selanjutnya berdasarkan pemahaman tersebut.
c. Ketiga, peneliti melakukan penarikan kesimpulan atau verifikasi dengan maksusd
mencari makna dari data yang dikumpulkan, agar mencapai suatu kesimpulan yang baik.
Kesimpulan tersebut akan senantiasa diverifikasi selama penelitian berlangsung. Langkah
ini dimaksudkan agar hasil penelitian interaksi sosial dengan HIV/AIDS dalam
menghadapi stigma menjadi jelas dan dapat dirumuskan dalam hasil yang akurat.
3.7 Penyusunan Alat Pengumpulan Data
a) Penyusunan Kisi-kisi Penelitian
Peneliti menentukan kisi-kisi penelitian mengenai penjabaran dari tujuan penelitian yang
diuraikan dalam pertanyaan penelitian.
b) Penyusunan Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam kepada
pihak yang dapat memberikan informasi dan data penelitian.
c) Penyusunan Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara digunakan peneliti untuk melakukan wawancara kepada
informan. Pedoman wawancara disusun agar proses wawancara berjalan terarah dan
fokus, karena di dalamnya terdapat indikator dari rumusan masalah yang berfungsi
memberikan batasan mengenai pertanyaan yang ditanyakan.
menyimpang ?
a. Jika ya, mengapa anda
dianggap berperilaku
menyimpang?
b. Jika tidak, mengapa
anda tidak dianggap
berperilaku
menyimpang ?
2. Siapa yang menganggap
anda sebagai seseorang
yang memiliki perilaku
menyimpang?
3. Dimana anda dianggap
sebagai seseorang dengan
perilaku menyimpang ?
4. Kapan anda pertama kali
dianggap sebagai seseorang
perilaku menyimpang ?
5. Bagaimana respon anda
terhadap pandangan
masyarakat yang
menaganggap anda
berperilaku menyimpang ?
perlakuan tersebut ?
b. Jika tidak, apa yang
anda lakukan sehingga
masyarakat tidak
menolak untuk
bersentuhan?
2. Apakah anda pernah
mendapatkan kata-kata
buruk dari lingkungan
anda?
a. Jika ya, bagaimana
respon anda terhadap
kata-kata tersebut?
b. Jika tidak, apa yang
anda lakukan sehingga
masyarakat tidak
berkata buruk?
3. Siapa yang melakukan hal
tesebut ?
4. Dimana anda mendapatkan
perlakuan tersebut ?
5. Kapan anda mendapatkan
perlakuan tersebut?
Sosial 1. Apakah anda pernah
dikucilkan di lingkungan
masyarakat ?
a. Jika ya, bagaimana
tanggapan anda terhadap
perlakuan tersebut ?
b. Jika tidak, langkah apa
28
ini terjadi ?
2. Siapa yang sering
melontarkan kalimat
tersebut ?
3. Dimana anda sering
mendengarkan kalimat
tersebut ?
4. Kapan anda mendengar
kalimat tersebut?
5. Bagiamana anda
menanggapi kalimat
tersebut ?
Tanggung 1. Apakah anda dianggap
Jawab sebagai orang yang tidak
bertanggung jawab ?
a. Jika Ya, mengapa anda
dianggap sebagai orang
yang tidak bertanggung
jawab ?
b. Jika tidak, apa yang
anda lakukan sehingga
anda dianggap
bertanggung jawab ?
mempengaruhi diri
anda?
d. Bagaiamana cara anda
agar tidak terpengaruh
respon masyarakat?
3. Kapan anda mendapatkan
dukungan atau penolakan
dari masyarakat ?
Keluarga 1. Bagaimana respon dari
keluarga saat mereka
mengetahui keadaan anda ?
2. Apakah pandangan keluarga
mempengaruhi diri anda ?
a. Jika ya, bagaimana
respon keluarga
mempengaruhi diri
anda?
b. Mengapa
mempengaruhi diri
anda?
c. Jika tidak, mengapa
respon keluarga tidak
mempengaruhi diri
anda?
d. Bagaiamana cara anda
agar tidak terpengaruh
respon keluarga?
3. Kapan anda mendapatkan
dukungan atau penolakan
dari keluarga ?
33
stigma tersebut ?
c. Bagaimana bentuk
penerimaan anda
terhadap stigma
tersebut?
d. Jika tidak, mengapa
anda tidak menerima
stigma tersebut ?
e. Bagaimana penolakan
terhadap stigma
tersebut?
2. Apakah anda merasa diri
anda tidak baik atas keadaan
ini ?
Menghindar Menghindari 1. Apakah anda menghindari
situasi stigma stigma yang diberikan
kepada anda?
a. Jika ya, bagaimana cara
anda menghindari
stigma tersebut ?
b. Mengapa anda
menghindari situasi
stigma tersebut ?
c. Dalam keadaan seperti
apa anda biasanya
menghindari situasi
stigma tersebut ?
d. Bagaimana keadaan
anda setelah
menghindari situasi
35
stigma teresebut ?
e. Jika tidak, mengapa
anda merespon stigma
tersebut?
f. Bagaimana merespon
stigma tersebut?
2. Siapa yang mendorong anda
untuk menghindari situasi
stigma tersebut ?
Menghindari Provokasi 1. Apakah anda pernah
Tanggung terprovokasi atas stigma
Jawab yang diberikan kepada
anda?
a. Jika ya, dalam keadaan
apa anda terprovokasi ?
b. Mengapa anda dapat
terprovokasi?
c. Jika tidak, mengapa
anda tidak terprovokasi
oleh stigma tersebut ?
d. Bagaimana anda
mengatasi provokasi
stigma yang anda
terima?
2. Siapa yang membuat anda
terprovokasi atas stigma
yang anda terima?
Menyangkal Menyangkal 1. Apakah anda menyangkal
situasi stigma stigma yang diberikan
kepada anda?
36
mengecek kesehatan
fisik dan psikologis
anda?
f. Bagaimana menjaga
kesehatan fisik dan
psikologis anda?
g. Jika tidak, mengapa
tidak mempengaruhi?
h. Bagaimana anda bisa
tahu bahwa hal tersebut
tidak mempengaruhi?
Pencapaian 1. Apakah stigma yang
ditujukan kepada anda
memenuhi pemenuhan hak
dalam kehidupan anda di
masyarakat?
a. Jika ya, seberapa besar
pengaruhnya terhadap
pemenuhan hak anda?
b. Bagaimana keadaan
anda setelah terpenuhi
haknya?
c. Jika tidak, mengapa
tidak mempengaruhi
pemenuhan hak anda?
d. Bagaimana anda
memperjuangkan hak
anda?
e. Kapan anda merasa hak
anda tidak terpenuhi
39
terhadap pekerjaan
anda?
c. Jika tidak, megapa
tidak berpengaruh?
d. Bagaimana cara anda
agar tidak terpengaruh
oleh stigma tersebut?
41
Keabsahan data penelitian merupakan validitas serta relibilitas dalam penelitian kualitatif.
Proses keabsahan data menurut Guba dan Lincoln dalam Streubert dan Carpenter (1999:47)
yaitu dilakukan oleh peneliti dengan kembali ke partisipan masing-masing untuk
menanyakan apakah deksripsi yang mendalam telah menjelaskan pengalaman partisipan. Ada
empat kriteria dalam memperoleh keabsahan data yaitu derajat kepercayaan (credibility),
keteralihan (transferability), ketergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability)
(Afianti, 2008:140)
Credibility
Dalam penelitian ini, peneliti menguji keabsahan data dengan memberikan kembali hasil
transkrip wawancara kepada informan ODHA di Rumah Cemara untuk di periksa. Jika
sudah sesuai informan memberikan tanda cheek (V).
Transferability
Salah satu cara yang dilakukan oleh seorang peneliti untuk menjamin transferability
penelitian ini adalah dengan cara menggambarkan tema-tema hasil penelitian kepada
partisipan lain yang tidak terlibat dalam penelitian dan memiliki karakteristik yang sama,
kemudian mengidentifikasi apakah partisipan tersebut menyetujui tema-tema yang
dihasilkan oleh peneliti. Dalam penelitian ini, peneliti tidak melakukan transferability
karena keterbatasan waktu. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan transferability dengan
cara menanyakan kembali kepada informan pendukung yaitu, pengurus Rumah Cemara
Bandung.
Confirmability
42
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan konfirmasi ulang mengenai hasil transkrip
wawancara kepada informan ODHA Rumah Cemara.
Dependability
Dependablitiy adalah kestabilan data pada setiap waktu dan kondisi. Hal ini dilakukan
dengan mengacu pada tingkat konsistensi peneliti dalam mengumpulkan data,
membentuk dan menggunakan konsep-konsep ketika membuat interpretasi untuk menarik
suatu kesimpulan.
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan dependability dengan cara menguji konsistensi
seluruh hasil transkrip wawancara apakah sudah sesuai dengan konsep-konsep dalam
penelitian ini untuk menarik kesimpulan.
43
BAB IV
HASIL PENELITIAN
satu booth cek virus HIV, karena penasaran informan pun mencoba tes tersebut dan
positif. Namun, ia kembali melakukan tes virus HIV sampai 6 kali karena informan
tidak percaya bahwa positif HIV. Ia merasa tidak pernah sakit dan merasa sehat.
Stigma yang muncul tak hanya mengubah pandangan masyarakat saja, tapi
juga kerabat terdekat seperti keluarga,teman, rekan kerja (Nelson dkk, 2005:169).
Pernyataan tersebut cocok dengan pernyataan narasumber bahwa muncul
pandangan negatif pada lingkungan disekitar mereka akibat dari perilaku mereka
yang dianggap menyimpang.
Orang-orang yang menganggap rifo sebagai orang yang berperilaku tidak
baik adalah teman-temannya sendiri termasuk teman komunitasnya di rumah
cemara.
“Kebanyakan adalah temen, salah satunya penghuni rumah cemara,” –
Rifo (S1W1J3).
46
Lain halnya dengan Rifo, Informan Eva sempat merasa sedih mendapati
respon masyarakat yang demikian, namun ia berpikir bahwa masyarakat yang
menstigma seperti itu adalah mereka yang tidak tahu akan informasi,
“Awalnya sih sedih, tapi ya kalau dipikir-pikir mereka kayak gitu ya
karena mereka gak tahu, jadinya mending the eva kasih tau aja yang bener
jadinya. Teh Eva kasih tau, ngobrol,” – Eva (S2W1J6).
Berbeda dengan Eva, Indra lebih menunjukkan sikap tidak peduli, karena
ia memiliki kebebeasan untuk berteman dengan siapa saja tanpa memedulikan
pandangan dari masyarakat. Selain itu, ia lebih suka menghindari orang-orang
yang menganggapnya berperilaku menyimpang.
“Tidak peduli karena saya lebih nyaman berteman dengan yang saya mau,
tahu kalau perbuatan saya ini salah tapi ya gimana lagi. Mencoba
menghindar dari orang-orang yang menganggap saya menyimpang,” –
Indra (S3W1J6).
mayoritas dari mereka semua menyatakan bahwa mereka tidak peduli dan
lebih baik diam tidak menanggapi.
Tabel 4.3 Respon terhadap Stigma
Respon Rifo Eva Indra Knio
48
Sedih - - -
Diam - - -
Tidak Peduli -
Menyetujui - - -
Menghindar - - -
Mengedukasi - - -
4.2.1.1.2 Fisik
Stigma masyarakat bahwa HIV/AIDS adalah penyakit yang sangat mudah
ditularkan. Dalam sebuah penelitian terdapat narasumber perempuan yang
menyatakan bahwa ODHA harus di karantina dan harus disediakan tempat
sendiri, di kota dimana yang tinggal hanyalah ODHA. Karena mereka tidak mau
menyentuh, duduk, atau makan dengan ODHA (Fair dan Brackett. 2008:176).
Dalam beberapa kasus, seringkali ODHA ditolak untuk melakukan kontak
fisik dengan orang lain karena ketakutan akan tertular virus HIV. Pernyataan ini
juga sesuai dengan keadaan di lapangan, informan Indra menyatakan bahwa
stigma secara fisik seperti ditolak untuk bersentuhan pernah ia alami, namun tidak
terlalu sering karena ia merupakan orang yang sulit untuk terbuka ataupun
bercerita mengenai statusnya pada orang lain.
“Iya pernah, tapi tidak terlalu sering karena saya jarang open status pada
orang lain” – Indra (S3W1J7).
Senada dengan apa yang dikatakan Rifo, Eva juga merasa bahwa ia tidak
pernah ada yang memberikan stigma secara fisik dengan contoh seperti menolak
untuk berjabat tangan, ia merasa biasa saja.
“Ngga, atau mungkin Teh Evanya yang gak merasa, Teh Eva merasa biasa
aja.– Eva (S2W1J7).
Knio juga menyatakan hal yang serupa dengan kedua informan, Menurut
Knio, ia tidak pernah mendapat penolakan untuk bersentuhan secara fisik karena
mungkin masyarakat tidak tahu statusnya yang positif mengidap HIV.
“Tidak, karena masyarakat mungkin tidak tahu status saya.” – Knio
(S4W1J7).
Pernah - - -
Tidak Pernah -
“Iya pernah, seperti dikatain “lu mau jadi apa” terus “sampah masyarakat”
“mati aja lu” kata-kata yang seperti itu pernah dilontarkan orang pada
saya.” – Indra (S3W1J19).
Pernah - - -
Tidak Pernah -
4.2.1.1.3 Sosial
Erving Goffman mendefinisikan stigma sebagai suatu fenomena saat
seorang individu dengan atribut tertentu yang sangat didiskreditkan oleh
masyarakatnya, ditolak ataupun dikucilkan sebagai akibat dari atribut tersebut
(Finn dan Sarangi, 2009:56). Pernyataan tersebut membuktikan bahwa maih
sangat banyak perlakuan masyarakat yang cenderung mendiskriminasi pengidap
HIV, contohnya adalah pengucilan seorang yang positif HIV dari lingkungannya.
Namun, berdasarkan pemaparan seluruh informan, mereka merasa tidak
pernah dikucilkan oleh masyarakat karena statusnya yang positif mengidap HIV
karena mereka tidak pernah membuka status mereka secara sukarela pada
masyarakat. Justru kebanyakan dari mereka mengaku bahwa lebih mereasa
dikucilkan karena citranya dulu sebagai orang yang menyimpang dan tidak taat
aturan di masyarakat,
Menurut Rifo, ia pernah di kucilkan oleh masyarakat ketika ia
menggunakan NAPZA. Namun, saat ia positif HIV btidak pernah dikucilkan.
“Kalau mengenai penyakit HIV belum pernah, kalau penggunaan jarum
suntik pernah.” – Rifo (S1W1J14).
“Bingung yah, karena teh eva juga banyak kerja, jarang di rumah, ga
sempet nanya-nanya begitu. Ya bentuknya apapun ngucilin, atau
ngomongin yang jelek-jelek yaudah ambil positif aja” – Eva (S2W1J14).
4.2.1.2 Komunikasi
4.2.1.2.1 Label
Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) seringkali mendapat penghakiman
negatif dari masyarakat. Stigma adalah lingkaran setan yang memandang ODHA
sebelah mata, menghentikan mereka untuk bersuara dan mencari bantuan karena
mereka takut dilabeli sebagai orang yang “buruk” atau “pendosa” (Usdin dalam
Jacquees dkk, 2010:393). Pernyataan tersebut diperkuat dengan apa yang terjadi
terhadap Informan Rifo. Rifo mendapatkan label sebagai anak nakal di
lingkungan masyarakat.
“Contohnya anak nakal, bandel, kalo Bahasa sunda mah ‘budak baong’”-
Rifo (S1W1J20).
Stigma yang muncul tak hanya mengubah pandangan masyarakat saja, tapi
juga kerabat terdekat seperti keluarga,teman, rekan kerja (Nelson dkk, 2005:169).
Pernyataan diatas diperkuat dengan pengalaman yang dialami oleh Informan Eva,
dimana stigma berkembang tidak hanya kepada Eva sendiri sebagaai ODHA
namun, berkembang kepada anggota keluarganya terkhusus anak-anak Eva.
Menuurut Eva sendiri stigma berkembang karena kurangnya pemahaman
masyarakat mengenai HIV itu sendiri.
“Mereka kurang informasi, padahal kan jaman sekarang tuh informasi tuh
mudah sekali” - Eva (S2W1J15).
“Ya mau gimana lagi, mereka bisa memberi label seperti itu juga dari
perilaku saya sendiri yang memang bisa dibilang ‘nakal’.” - Indra
(S3W1J23).
Informan label
Rifo Anak Nakal
4.2.1.2.2 Tanda
Ketika orang berpikir tentang penyakit mental, obesitas, tuli ataupun
pengidap HIV/AIDS ada kecenderungan untuk fokus hanya pada atribut yang
terkait dengan kondisi ini (Lindayani dkk, 2018:708). Berdasarkan pernyataan
diatas dapat diberikan gambaran bahwa ODHA memiliki pandangan yang
berfokus terhadap kondisi yang mereka alami, merujuk kepada penyakit yang
mereka idap.
Struktur kognitif dan perilaku yang terkait dengan stigma, seperti identitas
sosial yang didevaluasi, prasangka, stereotip, diskriminasi, dan pengabaian
(Meisenbach, 2010:269). Tidak hanya ada fokus khusus terhadap penyakit yang
diidap oleh ODHA, namun ODHA juga mendapatkan diskriminasi berupa bentuk
kalimat. Berdasarkan pengalaman informan Knio, ia seringkali disinggung dan
dipertanyakan statusnya oleh orang lain seperti, “hati-hati dia HIV”. Dan
singgungan masyarakat mengenai itu sangat menyinggung bagi Knio
“Iya, paling sering disinggung oleh orang lain seperti “kamu HIV ya?”
“hati-hati dia HIV” kalimat seperti itu membuat saya tersinggung.” -
Knio (S4W1J16).
Stigma yang muncul tak hanya mengubah pandangan masyarakat saja, tapi
juga kerabat terdekat seperti keluarga,teman, rekan kerja. Stigma HIV/AIDS yang
negatif memengaruhi interaksi sosial dengan keluarga, teman, mitra seksual,
rekan kerja, dan kesehatan professional (Nelson dkk, 2005:169). Bagi Informan
Rifo sendiri, kalimat-kalimat yang dilontarkan kepadanya, banyak muncul dari
teman-temanya apalagi setelah mengetahui status dia sebagai HIV Positif.
“Teman-teman di komunitas saat mengetahui bahwa saya positif HIV.” -
Rifo (S1W1J26).
Hal serupa sama dialami oleh Informan Eva. Stigma secara kata-kata ia
dapatkan dari teman dekatnya dan tetangga. Karena perilaku Eva sendiri yang
sudah terlihat saat ia sering berkumpul dengan laki-laki yang mabuk-mabukan.
“Teman dekat dan tetangga.” Ujar Eva (S2W1J18).
“Bebas, itu kan pilihan. Setiap orang punya sikap, pemikiran, dan
persepsinya masing-masing. Teh Eva sih yang penting jalanin hidup aja,
buktiin sama semua orang kalau teh Eva bisa” – Eva (S2W1J29).
“Yang nganggap saya tidak bertanggung jawab, orang tua sih.” - Rifo
(S1W1J32).
Ia mulai dianggap sebagai orang yang tidak bertanggung jawab khususnya
dalam keluarga pada saat sedang masih mengkonsumsi NAPZA.
Dan respon dari Informan sendiri, menerapkan bentuk stigma diri. Dimana
Informan menerima stigma yang mereka dapatkan dari masyarakat. Stigma diri
akan mucul ketika seseorang sadar akan stigma yang mereka dapat. Mereka akan
menyetujui stigma tersebut dan menerapkannya pada diri sendiri (Lindayani dkk,
2018:7). Respon Informan Indra terhadap tanggapan masyarakat bahwa dia
59
adalah orang yang tidak bertanggung jawab yaitu keras kepala dan tidak ingin
diatur. Waktu itu Indra memiliki prinsip sendiri yang membuat ia berjuang
sendirian, padahal prinsip tersebut belum tentu benar dimata orang lain.
“Dulu saya keras kepala, merasa “ya udah ini jalan hidup yang saya
pilih, ga usah atur-atur hidup saya”. Waktu dulu saya punya prinsip
sendiri, ketika prinsip itu tidak cocok dengan orang lain secara umum
seringkali kecewa dan memilih untuk berjuang sendirian, padahal belum
tentu juga prinsip saya benar.” - Indra (S3W1J35).
Sama halnya dengan yang dialami oleh Informan Rifo. Rifo sadar bahwa
perbuatan yang Ia lakukan tidak bertanggung jawab.
“Ya sudah tau, karena memang itu kesalahan saya.” - Rifo (S1W1J35).
Namun bentuk rasa tidak bertanggung jawab disini juga dialami oleh
Informan Knio dengan bentuk yang berbeda. Bukan tidak merasa bertanggung
jawab terhadap output yang ada karena latar belakang HIV Positifnya, namun
Knio pernah merasa menjadi orang yang tidak bertanggung jawab ketika ia
sedang berada dalam tahap denial, yaitu belum bisa menerima statusnya sebagai
positif pengidap HIV. Ia merasa sangat tidak bertanggung jawab terutama pada
pasangannya saat itu karena ia tidak memberitahunya dan terus melakukan
hubungan seks dalam kondisi ia yang sudah terverifikasi positif HIV.
“Ya, saat saya denial dan belum menerima sebagai positif HIV, terutama
pada pasangan saya saat itu saya merasa tidak bertanggung jawab sama
dia.” - Knio (S4W1J21).
Membuktikan Mengonsumsi
dengan prestasi NAPZA
Mencuri
Melakukan
hubungan seksual
dengan pasangan
ketika informan
berstatus HIV
Positif
4.2.1.2.4 Berbahaya
“Iya, sampai dulu ga mau lagi ada yang deketin saya” - Indra
(S3W1J36).
61
Informan Rifo dan Indra dianggap berbahaya karena ia positif HIV dan
pengguna NAPZA dengan dosis tinggi. Informan Rifo Ia dianggap sebagai orang
yang berbahaya karena kecanduannya terhadap zat yang efeknya tinggi dan
berbahaya, sehingga membuat teman-temannya tidak nyaman pada dirinya.
“Karena saya menggunakan zat yang efeknya tinggi atau berbahaya. jadi
mereka merasa dirinya tidak” - Rifo (S1W1J37).
Di samping itu dua informan lainnya yaitu, Eva dan Knio menyatakan
bahwa mereka tidak merasa dianggap berbahaya. Eva menyatakan bahwa dirinya
tidak mengetahui apakah dirinya dianggap berbahaya atau tidak karena ia tidak
pernah mendengar sebutan itu secara langsung.
sudah dicap buruk oleh masyarakat, maka jangan lagi diperlihatkan sisi buruknya.
Harus memperlihatkan sisi yang positif dan baik agar mereka sadar dengan
sendirinya.
“Bebas sih itumah, gimana orang mau menganggap apa, mereka punya
pandangan, keputusan, dan persepsi masing-masing. Ya terserah gitu, tapi
yang jelas ya kita yang udah di cap buruk jangan diperlihatkan lagi yang
buruk-buruknya, perlihatkan yang positif, biar mereka sadar sendiri,
wajar sih tapi awal-awal mah, tapi yang penting mah dibuktiin aja,
jalanin aja hidup. Karena orang-orang perlu bukti” - Eva (S2W1J37).
“Saya mengerti mereka kenapa menjadi seperti itu, karena perbuatan saya
yang addict terhadap narkoba sudah berlebihan, jadi saya memaklumi
mereka” - Rifo (S1W1J41).
“Saya tidak takut akan cap “berbahaya” itu, karena ya itu konsekuensi
saya dari menggunakan NAPZA. Orang mau berkata apapun ya sudah,
karena saya sudah melewati proses penerimaannya. Saya juga tidak bisa
menyalahkan mereka karena ini merupakan konsekuensi dari perbuatan
saya dulu” -Indra (S3W1J41).
4.2.1.2.5 Sikap
Stigma yang berkembang di masyarakat terkait HIV/AIDS mempengaruhi
sikap dari ODHA itu sendiri. Menurut teori SMC, pesan stigma terkait fisik,
sosial, dan moral yang berasal dari lingkungan sekitar dapat mempengaruhi sikap
individu terhadap penerapan stigma pada individu itu sendiri (Meisenbach,
2013:276). Stigma yang berasal dari lingkungan masayarakat mempengaruhi
penerapan stigma pada diri sendiri. Secara umum informan pernah merasa buruk
atas keadaan mereka saat ini.
Informan Rifo menyatakan dirinya pernah mengalami depresi karena
kelakuannya. Ia sempat berhenti mengkonsumsi NAPZA karena tertangkap oleh
polisi, sehingga ia harus di rehabilitasi. Setelahnya Rifo berhasil berhenti
menggunakan NAPZA namun karena rasa penasaran, Rifo terjerumus lagi hingga
menyebabkan perusahaannya bangkrut.
“Pernah, malah mengalami depresi. karena saya pernah menggunakan
NAPZA kemudian saya berhenti tetapi malah terjerumus lagi. dan itu
menghancurkan segalanya termasuk karir saya di perusahaan”- Rifo
(S1W1J42).
64
Informan Eva yang merupakan seorang ibu dan single parent merasa
buruk dan sedih saat mengetahui dirinya positif HIV. Pikiran Eva terfokus pada
anak-anaknya. Karena dulu ia berpikir kalau orang HIV hidupnya tidak akan
lama. Ia merasa sedih karena takut meninggal lalu memikirkan keberlangsungan
hidup anaknya.
“Ya, karena Teh Eva merasa sedih posisinya Teh Eva udah punya anak.
Jadi pikirannya jauh-jauh, orang sakit orang kan dulu mah berpikiran
orang HIV gaakan lama lagi bakal meninggal. Tapi sekarang sih Teh Eva
percaya, Tuhan kasih sakit pasti ada obat. Dulu sih sedihnya takut Teh
Eva meninggal terus anak-anak gimana” - Eva (S2W1J42).
Informan Indra juga sempat merasa buruk atas keadaanya saat ini.
“Ya, saya sempat merasa buruk atas keadaan saya” - Indra (S3W1J42).
pusing untuk memikirkan respon dan pandangan orang lain terhadap dirinya, ia
hanya fokus pada orang-orang terdekatnya. Memberikan edukasi pada mereka
agar tidak merasa takut lagi.
Berdasarkan penuturan mayoritas informan, pandangan masyarakat tidak
mempengaruhi diri para ODHA. Informan Rifo menyatakan pandangan
masyarakat tidak mempengaruhi diri Rifo pribadi.
“Tidak, karena saya bukan orang rumahan lagi pula teman saya banyak”
– Rifo (S1W1J49).
Sedangkan Knio, ia selalu mendapat dukungan dan tidak pernah ada yang
menolaknya. Ia mengaku dukungan yang ia dapatkan lebih banyak dari orangtua
dan komunitas yang ia ikuti.
“Dukungan lebih banyak dari orantua dan komunitas” – Knio
(S4W1J52).
Tabel 4.11 Penerimaan Masyarakat
4.2.2.1 Menerima
Salah satu aspek manajemen stigma adalah menerima stigma yang diberikan oleh
masyarakat. Individu yang mengalami stigma dapat menerima ekspektasi publik
mengenai stigma dan penerapannya pada diri mereka sendiri, memasukkannya ke
dalam rasa diri mereka. Dengan kata lain, individu yang menerima stigma
menentukan bahwa aspek stigmatisasi adalah bagian dari identitas mereka (pekerjaan
atau pribadi) (Meisenbach, 2013: 278).
Sesuai dengan penyataan tersebut, peneliti menemukan beberapa ODHA yang
menerima stigma masyarakat atas diri mereka. Pernyataan tersebut sesuai dengan
pemaparan dua informan peneliti (Rifo dan Eva).
“Iya, karena memang saya seperti itu.” – Rifo (S1W1J63)
.
Untuk alasan ia menerima stigma ia memaparkan bahwa ia menerima stigma yang
ditujukan padanya karena ia sadar dirinya memang seperti itu sehingga ia tidak
mempermasalahkannya.
“Iya karena saya sadar memang saya sepeerti apa yang mereka katakana.” –
Rifo (S1W1J64).
Sama dengan Rifo, Eva menerima stigma yang diberikan padanya. Karena ia
berpikir saat seseorang dapat menerima keadaan dirinya maka apapun yang akan
terjadi kedepannya akan lancar.
“Saya terima, sudah ikhlas, Teh Eva sih berpikir begini ya, yang penting kita
terima dulu, nanti kedepannya akan lancar.” – Eva (S2W1J63).
Berbanding terbalik dengan dua pernyataan Eva dan Rifo, dua orang narasumber
lainnya mengaku bahwa mereka tidak menerima stigma yang diberikan masyarakat
pada mereka.
“Saya tidak menerima stigma yang ditujukan pada saya.” – Indra (S3W1J63).
Indra juga menjelaskan kenapa ia tidak menerima stigma dari masyarakat. Ia tidak
menerima stigma tersebut karena ia sudah belajar untuk mulai bisa menerima keadaan
sebagai ODHA, dan pada saat positif HIV ia sudah ‘bersih’ dan berhenti dari
penggunaan NAPZA. Selain itu, ia bekerja sebagai konselor mengenai isu HIV, jadi
mudah bagi Indra untuk melewatinya dan tidak terpengaruh oleh stigma.
71
“Karena saya sudah belajar untuk mulai bisa menerima keadaan saya sebagai
ODHA, dan pada saat saya positif HIV saya memang sudah berhenti dari
penggunaan NAPZA dan bekerja sebagai konselor, jadi saya mudah melewatinya
dan tidak terpengaruh oleh stigma.” – Indra (S3W1J64).
Berbeda dengan Indra, menurut Knio bentuk penolakan terhadap stigma adalah
dengan tidak meresponnya, menambah wawasan, dan menyebarkan informasi benar
lebih luas sesuai dengan penuturannya:
“Dengan tidak merespon stigma, menambah wawasan dan menyebarkan
informasi yang benar leih luas, kebetulan saya suka menjadi narasumber
mengenai HIV, seksual orientasi, gender, saya kasih tau semuanyan dengan
tujuan agar masyarakat lebih paham mengenai isu ini.” – Knio (S4W1J65).
Dengan munculnya stigma di masyarakat, sempat membuat dua orang dari empat
narasumber merasa bahwa mereka tidak baik karena keadaan mereka. Depresi yang
dialami Rifo ini muncul pertama kali saat ia mengetahui dirinya positif HIV. Ia
menuturkan bahwa saat pertama kali dikatakan positif HIV dirinya berpikir bahwa ia
tidak bisa menikah dan akan memiliki umur yang tidak panjang. Sampai saat
diwawancara, Rifo masih belajar untuk tidak terus menerus berpikiran seperti itu.
“Saya mengalami depresi, pada saat saya mengetahui bahwa saya terkena HIV
saya sempat berpikiran bahwa saya tidak akan menikah, terkadang ada pemikiran
bahwa umur saya tidak akan lebih panjang dari orang tua saya. dan sampai
sekarang saya masih dalam tahap belajar.” – Rifo (S1W1J66).
72
Sebagai seorang manusia biasa, Indra sempat merasa dirinya tidak baik dan sedih
saat pertama kali ia mengetahui bahwa dirinya positif HIV. Namun seiring
berjalannya waktu dengan keadaan Indra yang positif HIV bisa membuat Indra
menjadi seseorang yang lebih baik.
“Sebagai manusia biasa, saya sempat merasa sedih pada awal-awal tahu positif
HIV, tapi seiring berjalannya waktu justru dengan keadaan saya yang seperti ini
membuat saya menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Kayaknya, kalau saya tidak
terkena HIV, saya tidak akan menjadi pribadi saya saat ini.” – Indra (S3W1J66).
Berbeda dengan Indra dan Rifo, Eva dan Knio merasa bahwa dirinya baik-baik
saja bahkan sampai saat ini. Eva merasa apa yang ia alami saat ini membawa ia ke
jalan yang lebih baik, dan membuat ia bisa berprestasi seperti saat ini.
“Saat ini sih merasa baik. Toh teh Eva bisa membuktikan sama semua orang, dan
mungkin ini jalan yang diberikan Tuhan hingga teh Eva bisa jadi kayak gini
sekaraang.” – Eva (S2W1J66).
Knio juga mengatakan bahwa dirinya merasa baik-baik saja. Menurut Knio ia
merasa baik-baik saja dan tidak pernah merasa tidak baik atas keadaannya saat ini
“Tidak, sampai saat ini saya merasa baik-baik.”- Knio (S4W1J66)
4.2.2.2 Menghindar
Strategi ini mungkin paling tepat ketika individu didiskreditkan (Goffman, 1963).
Menghindari termasuk: menyembunyikan atribut stigma, menghindari situasi stigma,
menjauhkan diri dari stigma, menghilangkan perilaku atau atribut stigma, dan
membuat perbandingan sosial yang menguntungkan (Meisenbach, 2013: 280).
4.2.2.2.1 Menghindari situasi stigma
Dalam kasus ini keempat narasumber tidak ada yang menghindari stigma
yang masyarakat berikan kepada mereka. Diantara keempat narasumber, tidak ada
yang menyembunyikan atribut stigma atau menghindari situasi dimana mereka
akan mendapatkan. Atribut stigma dan situasi yang memungkinkan mereka
mendapatkan stigma dalam hal ini adalah pekerjaan di Rumah Cemara. Saat
masyarakat tahu mereka bekerja di Rumah Cemara maka langsung akan dibilang
bahwa mereka adalah ODHA.
Dari empat orang narasumber, tiga orang diantaranya mengaku bahwa
mereka tidak pernah merasa menghindari stigma yang diberikan masyarakat.
Mereka lebih cenderung tidak peduli dengan stigma yang ada di masyarakat.
“Dibilang menghindar sih tidak, tapi saya lebih ke tidak peduli terhadap
stigma yang orang berikan.” – Indra (S3W1J67).
“Tidak, karena tidak terlalu saya pedulikan.” – Rifo (S1W1J67).
“Gapernah menghindari stigma.” – Eva (S2W1J67).
benar pada orang tersebut. Bahkan sekarang saya merasa cukup banyak
pengalaman dan pengetahuan yang saya punya.” – Knio (S4W1J67).
Respon yang dilakukan Eva terhadap stigma yang diberikan oleh orang-
orang disekitarnya adalah dengan bekerja. Menunjukan bahwa sebenarnya
menjadi ODHA bukan berarti tidak bisa melakukan apa-apa.
“Merespon stigma teteh mah kerja, apalagi pekerjaannya kan
menginformasikan perihal ODHA ke anak-anak bola, ya masa aja teteh
nya ga terima.” – Eva (S2W1J68).
Namun, bagi Knio teman yang senasib dan memiliki status yang sama
adalah orang-orang yang paling sering mendorongnya untuk menghindari stigma.
75
“Dari teman yang senasib dan punya status yang sama seperti saya.” –
Knio (S4W1J70).
Dalam hal ini tiga dari empat narasumber pernah merasa terprovokasi
dengan stigma yang diberikan masyarakat pada diri mereka. Rifo mengatakan
bahwa ia tidak pernah merasa terprovokasi dengan stigma yang ditujukan pada
dirinya.
“Tidak.” – Rifo (S1W1K71).
Sedangkan Indra, Eva dan Knio sempat terprovokasi dengan stigma yang
diberikan masyarakat namun mereka menunjukan respon yang berbeda-beda
terhadap orang yang membuat mereka merasa terprovokasi.
Sebagai seorang ibu Eva sempat terprovokasi dengan stigma yang
diberikan kepada anaknya. Sampai ia hampir mendatangi ibu-ibu yang
memberikan stigma tersebut untuk mengajak mereka berdiskusi perihal stigma,
ODHA, dan HIV.
“Sempat, manusiawi lah punya rasa kesel dan marah, tapi da ya gimana
lagi udah mah iya, masa marah-marah. Dulu sempet pas anak saya
dijauhin di TK, saya sempet mau dateng ke sekolah, lebih mau ke ngajak
disksui ibu-ibu disana, tapi karena kata kepala sekolahnya gausah jadi
yaudah lah.” – Eva (S2W1J71).
Indra mengaku sempat terprovokasi atas stigma yang diberikan, tapi dalam
hal yang positif.
“Iya saya sempat terprovokasi, tapi dalam hal yang positif bukan negatif.”
– Indra (S3W1J71).
Bagi Indra cara dalam mengatasi provokasi stigma yaitu dengan memberi
informasi yang benar pada orang-orang yang memberi stigma, dengan begitu
dapat mengurangi rasa provokasi negatif pada dirinya.
“Dengan memberi informasi yang benar pada orang-orang yang memberi
stigma dapat mengurangi rasa provokasi yang negatif pada diri saya.” –
Indra (S3W1J74).
Menurut Indra juga orang yang tidak well informed atau tidak memiliki
informasi yang baik adalah orang yang membuat ia terprovokasi atas stigma yang
diberikan padanya.
“Orang yang tidak well informed.” – Indra (S3W1J75).
Berbeda dari Eva yang sudah hampir akan mendatangi ibu-ibu dan
mengajak mereka berdiskusi terkait stigma yang diberikan pada anaknya.
Menurut Knio, ia pernah terprovokasi atas stigma yang diberikan padanya, namun
ia hanya mengabaikan dan tidak menunjukan reaksi apapun.
“Iya pernah terprovokasi, tapi tidak bereaksi.” – Knio (S4W1J71).
4.2.2.4 Menyangkal
Substrategi menyangkal untuk mengurangi stigma yang bersifat ofensif dengan
menyoroti bagaimana stigma tidak merepotkan atau merugikan orang lain
(Meisenbach, 2013: 283).
4.2.2.4.1 Menyangkal situasi stigma
Berdasarkan wawancara yang sudah dilakukan, tiga orang narasumber
mengakui jika mereka memang menyangkal stigma yang diberikan masyarakat.
Namun satu orang lainnya mengaku bahwa ia tidak pernah menyangkal stigma
apapun yang diberikan masyarakat.
Rifo yang tidak pernah menyangkal stigma yang diberikan padanya. Ia
tidak pernah ambil pusing dengan stigma masyarakat terhadapnya. Ia hanya
membiarkan apapun yang dipikirkan oleh masyarakat.
“Tidak.” – Rifo (S1W1J76).
”Biarkan saja, mereka bebas mau berpikiran seperti apapun.” – Rifo
(S1W1J77).
Bagi Eva yang sudah menjadi ibu rumah tangga dan sudah memiliki anak,
ia cenderung lebih tidak peduli terhadap stigma untuknya, yang ia pikirkan yang
utama adalah anaknya. Karena anaknya pun mendapatkan stigma dari
lingkungannya, terutama di sekolah.
“Gapeduli yang penting buat Teh Eva sama anak dulu.” – Eva
(S2W1J76).
Cara Eva untuk menyangkal stigma adalah dengan ibadah dan fokus
dengan pekerjaannya yang padat. Ia juga menanamkan pada dirinya bahwa gosip-
gosip yang beredar akan menghilang dengan sendirinya.
“Cara menyangkalnya, lewat ibadah dilakuin walaupun bolong-bolong.
Kerja juga padet, pergi pagi pulang malem, capek. Walaupun ya selalu
ada kepikiran apakah oranng- orang masih ngomongin jelek soal Teh
Eva? Tapi yaudah lah da gossip mah cuman sebentar nanti juga hilang.” –
Eva (S2W1J77).
Bagi Indra, hal yang mendorong dirinya untuk menyangkal stigma yang
diberikan masyarakat adalah dirinya sendiri.
“Diri saya sendiri.” – Indra (S3W1J81)
Sama dengan Indra, cara Knio untuk menyangkal stigma tersebut adalah
dengan memberikan informasi dan pengetahuan yang benar pada orang yang
memberkan stigma.
81
Tidak jauh berbeda dengan Indra. Knio juga cenderung tidak peduli
dengan stigma yang diberikan masyarakat untuknya. Terlebih lagi ia tidak ingin
memperpanjang hal yang terjadi di masyarakat.
“Perasaan puas sih tidak, menganggap mungkin stigma jelek dia memang
untuk saya tapi karena tujuan saya untuk tidak memperpanjang hal itu jadi
ya udah biarkan.” – Knio (S4W1J79).
Bagi Knio diri sendiri adalah motivasi utama untuk mendorong dirinya
menyangkal stigma yang ada.
“Diri sendiri.” – Knio (S4W1J81).
4.2.2.5 Mengabaikan
82
Sedangkan Rifo memang tidak peduli terhadap stigma yang diberikan masyarakat.
“Iya saya tidak peduli dengan stigma yang diberikan masyarakat.” – Rifo
(S1W1J82).
Alasan Rifo tidak peduli terhadap stigma tersebut karena ia tidak peduli dengan
apa yang orang lain katakan mengenai dirinya. Ia merasa hidupnya pun sudah cukup
rumit jadi untuk apa ia memikirkan juga apa yang orang katakana tentang dirinya.
“Saya tidak peduli karena sudah saya jelaskan sebelumnya hidup saya sudah
rumit jadi untuk apa saya memikirkan perkataan orang.” – Rifo (S1W1J83).
Pada akhirnya Rifo tidak peduli pada stigma masyarakat karena stigma tersebut
dirasa tidak mempengaruhi hidupnya.
“Karena tidak mempengaruhi hidup saya.” – Rifo (S1W1J84).
Cara rifo dalam mengabaikan stigma tersebut yaitu dengan sikap tidak peduli dan
omongan mereka yang tidak perlu dibawa kehati.
“Omongan mereka tidak saya masukan ke hati.” – Rifo (S1W1J85).
Kondisi Rifo setalah mengabaikan stigma dari masyarakat baik-baik saja tidak
ada yang berubah dari dirnya karena memang pada dasarnya ia tidak peduli pada
stigma di masyarakat.
“Baik-baik saja, tidak ada yang berubah.” – Rifo (S1W1J86).
Jawaban Indra sama dengan Rifo, ia bukan orang yang mempedulikan stigma
yang diberikan masyarakat.
83
“Iya saya tidak peduli dengan stigma yang diberikan masyarakat.” – Indra
(S3W1J82).
Serupa dengan Eva, Indra tidak peduli terhadap stigma tersebut karena ia tidak
peduli dengan apa yang orang lain katakan mengenai dirinya. Indra lebih ingin
memberi tahu informasi yang benar pada mereka yang memberikan stigma tersebut.
“Saya tidak peduli apa yang orang katakan mengenai saya, untuk apa saya
memikirkan hal buruk mengenai diri saya.Seperti yang saya bilang sebelumnya
gitu ya malah saya ingin memberi tahu informasi yang benar pada mereka yang
memberikan stigma tersebut yang belum tentu benar.” – Indra (S3W1J83).
Sifat Indra yang memang lebih santai menanggapinya membuat ia pada akhirnya
tidak peduli terhadap stigma tersebut.
“Karena saya memang orangnya santai ya jadi terserah orang mau ngatain apa
aja tentang saya.” – Indra (S3W1J84).
Setelah tidak peduli dengan stigma tersebut, ia merasa lebih baik daripada harus
memikirkan stigma yang dapat membuatnya down.
“Merasa lebih baik daripada saya harus memikirkan stigma tersebut malah
membuat saya down.” – Indra (S3W1J86).
Bagi Indra cara dalam mengabaikan stigma tersebut yaitu dengan sikap tidak
peduli dan memberi informasi yang benar pada orang yang memberi stigma tersebut.
“Iya itu dia saya bodo amat orang mau bicara apa tapi saya malah ingin
memberi informasi pada orang yang memberi stigma tersebut.” – Indra
(S3W1J85).
Knio merupakan orang yang tidak peduli terhadap stigma yang diberikan oleh
masyarakat. Terlihat dari jawabannya saat ditanyai apakah ia seseorang yang tidak
peduli terhadap stigma.
“Ya.” – Knio (S4W1J82).
Sama dengan Rifo, menurut Knio, terserah apa yang masyarakat bicarakan
mengenai dirinya. Ia cenderung tidak peduli terhadap pikiran orang tentang dirinya.
“Karena terserah apa yang masyarakat bicarakan mengenai saya.” – Knio
(S4W1J83).
84
Menurut Knio, ia tidak peduli dengan stigma yang ditujukan padanya karena ia
memiliki pengetahuan sedangkan yang memberi stigma biasanya tidak memiliki
informasi yang baik.
“Karena dengan pengetahuan yang saya punya, sedangkan mereka yang memberi
stigma biasanya tidak didasarkan dengan informasi yang baik.” – Knio
(S4W1J84).
Bagi Knio cara mengabaikan stigma adalah dengan tidak menjawab dan merespon
dalam bentuk apapun stigma yang ditujukan padanya.
“Dengan tidak menjawab atau mengabaikan stigma tersebut.” – Knio
(S4W1J85).
4.2.3 DAMPAK
Dampak merupakan salah satu aspek dari teori manajemen stigma diambil dari penelitian
Rebecca J. Meisenbach yang dapat diaplikasikan pada penelitian kami. Dampak yang timbul dari
stigma yaitu dapat mempengaruhi kesehatan, pencapaian, kepercayaan diri, dan pekerjaan.
(Meisenbach, 2013:276).
Menurut Falk (2001) manusia akan selalu menghadapi stigma karena stigma membangun
solidaritas kelompok melalui pembedaan orang dalam dan orang luar. Dengan demikian,
stigmatisasi adalah sebuah proses yang tidak akan bisa dihilangkan namun dapat dikelola oleh
manusia. Kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan untuk memanajemen stigma terhadap
individu berasal dari berbagai hasil negatif dari stigmatisasi itu sendiri, seperti identitas sosial
yang didevaluasi, prasangka, stereotip, diskriminasi, dan pengabaian. Dampak negatif yang
lainnya juga termasuk penurunan harga diri, prestasi akademik, kesehatan dan peningkatan
kecemasan.
4.2.3.1.1 Kesehatan
Stigma HIV/AIDS yang negatif memengaruhi interaksi sosial dengan keluarga, teman,
mitra seksual, rekan kerja, dan kesehatan profesional. Beberapa konsekuensi yang mereka
gambarkan adalah hilangnya dukungan sosial, penganiayaan, isolasi, kehilangan pekerjaan, dan
masalah mengakses layanan kesehatan (Nelson dkk, 2005:169).
86
Dampak negatif dari stigma juga termasuk penurunan harga diri, prestasi akademik, dan
kesehatan, termasuk peningkatan kecemasan, penurunan kapasitas memori dan penyakit yang
diderita berkelanjutan (Meisenbach, 2010:269). Adanya perlakukan negatif dan diskriminasi
secara langsung yang artinya terdapat pembatasan pada akses kehidupan dan diskriminasi secara
langsung sehingga berdampak pada status sosial, psychological well-being dan kesehatan fisik
(Major dan O’Brien, 2005).
Pada pernyataan tersebut sesuai dengan yang disampaikan oleh salah satu informan
(Eva).
“stigma buruk ngga pernah mempengaruhi secara fisik, kalau secara psikis sih ada” ujar
Eva (S2W1J87), ia mengaku terpengaruh oleh stigma buruk terhadap kesehatan psikologisnya,
namun kesehatan secara fisik tidak terpengaruh. Stigma mempengaruhi kesehatan psikis Eva
karena ia sempat memikirkan stigma yang masyarakat berikan kepada dirinya dan anak-anaknya.
Berbeda dengan ketiga informan lainnya, mereka mengatakan bahwa stigma yang mereka
dapatkan tidak berpengengaruh terhadap kesehatan mereka. Ketiga informan beralasan bahwa
mereka tidak memikirkan stigma tersebut sehingga tidak mempengaruhi keadaan fisik maupun
psikologis.
“Tidak mempengaruhi, karena saya orangnya tidak mau ambil pusing dan tidak
pedulian.” – Rifo (S4W1187)
Sebagai ODHA, banyak hal yang dapat dilakukan untuk tetap sehat meskipun terdapat
HIV di dalam tubuh seseorang, bukan berarti ODHA akan berujung buruk. Maka dari itu,
menurut beberapa informan pada penelitian kami, menjaga kesehatan dan mengecek kesehatan
baik secara fisik dan psikologis itu perlu dilakukan. Cek kesehatan dilakukan oleh informan
minimal satu bulan sekali di Klinik Teratai Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.
“Perlu untuk mengecek kesehatan bagi ODHA, karena minimal tiap satu bulan sekali kita
harus cek kesehatan, ambil obat dan konsultasi dengan dokter. lalu setiap satu tahun
sekali wajib tes darah untuk melihat jumlah virus yang ada dalam tubuh kita sampai 5
tahun ke belakang.”- Indra (S3W1J91).
Pernyataan Indra diperkuat oleh informan lainnya, Informan Knio mengatakan bahwa cek
kesehatan itu perlu terutama bagi ODHA, cek kesehatan juga harus teratur minimal satu bulan
sekali.
“Perlu cek kesehatan fisik karena banyak hal-hal yang tidak kita ketahui, jangan sampai
kita tidak peduli dengan kesehatan kita dan terlambat untuk cek, seperti kasus pada teman
saya yang tidak peduli dengan isu kesehatannya sehingga ia meninggal karena terlambat
cek kesehatannya.” - Knio (S4W1J91).
88
Selain rutin cek kesehatan, ODHA harus menjaga kesehatan fisik dan psikologis mereka
dengan menjaga keseimbangan tubuh. Seperti yang dikatakan oleh informan (Knio)
“Cara menjaga kesehatan fisik dengan olahraga, makan teratur seperti sayuran, buah,
semua harus seimbang, juga kita harus mengerti kebutuhan tubuh sendiri.” Kata Knio
(S4W1J92).
4.2.3.1.2 Pencapaian
Stigma adalah prasangka memberikan label sosial yang bertujuan untuk memisahkan atau
mendiskreditkan seseorang atau sekelompok orang dengan cap atau pandangan buruk. Dalam
prakteknya, stigma mengakibatkan tindakan diskriminasi, yaitu tindakan tidak mengakui atau
tidak mengupayakan pemenuhan hak-hak dasar individu atau kelompok sebagaimana selayaknya
sebagai manusia yang bermartabat. Stigma dan diskriminasi masih sering terjadi pada orang
dengan HIV/AIDS (ODHA) (Kemenkes RI, 2012).
“Contohnya pada saat diundang BNN menjadi pembicara seminar di salah satu hotel,
setelah saya bercerita mengenai pengalaman saya sebagai mantan pengguna NAPZA,
orang-orang yang hadir tidak mau bersalaman/bersentuhan dengan saya. Pernah juga
waktu itu tim sepakbola dari Rumah Cemara yang rata-rata ODHA ingin ikut tanding di
tingkat internasional/juara dunia saat mau mengajukan proposal dan minta pencairan
89
dana malah dibilang sama orang-orang “kalian HIV, pecandu narkoba, bisa main boleh
emangnya?” kita pun sakit hati sehingga tahun 2010 tidak bisa berangkat karena tidak
ada yang support. Tapi akhirnya pada tahun 2012 kita berhasil berangkat ke tingkat
internasional dapat peringkat ke 6 dan termasuk ke tim terbaik juga” ujar Indra
(S3W1J96).
Namun, hal tersebut tidak membuat Indra dan teman-teman sepakbola nya menyerah diri.
Ia terus memperjuangkan haknya dengan membuktikan bahwa ODHA juga bisa berprestasi.
“Dengan membuktikan bahwa kita sebagai ODHA juga bisa untuk berprestasi, walaupun
keadaan kita seperti ini harusnya kita memiliki hak yang sama.” (S3W1J95)
Berbeda dengan ketiga informan lainnya yaitu Eva, Rifo, dan Knio, mereka menganggap
bahwa stigma yang mereka dapat kan tidak berpengaruh terhadap pemenuhan hak mereka. “Iya,
karena teh Eva tidak pernah merasakan adanya pembatasan hak.” Ujar Eva (S2W1J93).
Menurut Knio stigma yang ada tidak pernah mempengaruhi pemenuhan haknya. Selain itu, ia
tidak berusaha untuk memperjuangkan haknya sebagai seorang LGBT.
“Saya kan LGBT, tapi saya tidak memperjuangkan pernikahan sejenis karena saya tidak
berkebutuhan akan hal itu” - Knio (S4W1J94).
Stigma HIV dapat dibedakan dalam beberapa bentuk stigma yaitu Stigma Publik dan
Stigma Diri. Stigma publik atau sosial, merujuk pada pengalaman dan telah mendapatkan
prasangka dan diskriminasi dari orang lain. Stigma publik bermanifestasi dalam bentuk
penghindaran, membuat jarak secara sosial, dan penggunaan kekerasan. Sedangkan stigma diri
merupakan antisipasi dari kepercayaan negatif dari masyarakat terhadap individu yang mengidap
HIV. Stigma diri akan mucul ketika seseorang sadar akan stigma yang mereka dapat. Mereka
akan menyetujui stigma tersebut dan menerapkannya pada diri sendiri. Hal tersebut yang
menyebabkan berkurang atau hilangnya kepercayaan diri (self-esteem) dan efikasi diri (self-
efficacy) (Lindayani dkk, 2018:7).
Pernyataan dari penelitian Lindayani berbeda dengan pengalaman dari para informan,
mereka merasa bahwa stigma tidak mempengaruhi kepercayaan diri para informan yang
diwawancarai. “Tidak, kalo teh Eva mah stigma ini tidak mempengaruhi kepercayaan diri.” Ujar
Eva (S2W1J97). Sama halnya seperti informan yang lain “Tidak, kalo menurut saya stigma ini
tidak mempengaruhi kepercayaan diri saya.” Kata Rifo (S3W1J97).
Menurut informan stigma tidak mempengaruhi kepercayaan diri informan karena mereka
bersikap tidak peduli terhadap stigma tersebut. “Karena ya ngapain terpengaruh da hidup kita
mah kita yang ngatur dan jalanin, jadi ya udah” ujar Eva (S2W1J98) berbicara soal pengaruh
stigma terhadap kepercayaan diri.
4.2.3.1.4 Pekerjaan
Dari berbagai segi, stigma dan diskriminasi memberikan pengaruh yang jauh lebih luas
dibandingkan virus HIV itu sendiri. Stigma dan diskriminasi bukan hanya mempengaruhi hidup
orang yang positif HIV, namun juga orang-orang yang hidup di sekitarnya seperti misalnya
pasangan hidup, keluarga, atau bahkan rekan kerja mereka. Selain itu, stigma juga dapat
mempengaruhi orang, yakni melalui sikap-sikapnya atau tindakannya di tengah mastarakat,
dalam pekerjaan, tempat umum maupun di media (Purwanto dan Ruliati, 2014).
91
“Iya pernah waktu dulu, ketika rekan saya mengetahui bahwa saya pengguna NAPZA,
tetapi untuk yang sekarang tidak. Karena saya tidak pernah memberitahu mengenai status
saya. Karena itu bukan lah suatu hal yang harus di umbar.” Ujar Rifo (S1W1J105).
Selain Rifo, informan lainnya mengatakan bahwa stigma berpengaruh terhadap pekerjaan
yang dimiliki karena adanya keterkaitan antara stigma dan pekerjaan. Namun berbeda, bukan
stigma yang mempengaruhi pekerjaan yang Knio miliki tetapi pekerjaan Knio di Rumah Cemara
yang menimbulkan stigma dari masyarakat, karena banyak masyarakat tahu bahwa Rumah
Cemara merupakan ODHA.
“Bukan stigma yang berpengaruh pada pekerjaan sih, tapi pekerjaan yang membuat
stigma muncul karena saya kerja di Rumah Cemara yang rata-rata masyarakat sudah
tahu bahwa Rumah Cemara ini mengenai isu HIV” Knio (S4W1J105).
Sebagian dari informan lain memiliki pendapat yang berbeda, mereka menjawab stigma
yang mereka dapatkan tidak berpengaruh terhadap pekerjaan mereka saat ini. Mereka beralasan
bahwa mereka tidak terlalu memikirkan stigma yang mereka dapatkan, selain itu karena mereka
bekerja di Rumah Cemara yang mayoritas rekan kerjanya memiliki nashi yang sama dengan
mereka.
“Karena saya tidak terlalu terbuka terhadap orang lain yang tidak dekat dengan saya.
Kan saya bekerja di Rumah Cemara, disini hampir semua rekan kerja saya juga ODHA,
jadi kita saling support satu sama lain. Selain itu, saya juga sudah bertahun-tahun
92
menjadi konselor mengenai ODHA, jadi tidak mudah terpengaruh oleh stigma yang ada
di masyarakat dan sudah dapat memanajemen dengan baik.” - Indra (S3W1J106)
Dari hasil wawancara terhadap keempat informan, mereka semua bekerja di Rumah
Cemara Bandung. Informan pertama, Rifo selain bekerja di Rumah Cemara ia juga seorang
direktur perusahaan di bidang IT. Kedua, Eva selain di Rumah Cemara ia menjadi pelatih
sepakbola ibu-ibu ODHA, remaja, dan mengajar di komunitas Ruang Mimpi. Ketiga, Indra aktif
sebagai konselor dan kerja di Gereja sebagai fasilitator atau mendor anak muda Gereja.
Keempat, Knio selain di Rumah Cemara ia masih menjadi pekerja seks tapi hanya untuk client
yang lama dan masih menggunakan jasanya.
93
DAFTAR PUSTAKA
Afianti, Yati. (2008). Validitas dan reabilitas dalam penelitian kualitatif. Jurnal Keperawatan
Indonesia, 12 (2), 137-141
Bhatti A, Usman M, & Kandi V. (2016). Current Scenario of HIV/AIDS, Treatment Options, and
Major Challenges with Compliance to Antiretroviral Therapt. 8(3).
Chesebro, J., & Borisoff, D. (2007). What Makes Qualitative Research Qualitative? Qualitative
Research Reports in Communication, 8(1), 3-14.
Estrada, M., Diaz, N., Parker, R., Padilla , M., & Madera, S. (2018). Religion and HIV-Related
Stigma Among Nurses Who Work with People Living with HIV/AIDS in Puerto Rico.
Association of Providers of AIDS Care, 1-9.
Fair, C., & Brackett, B. (2008). "I Don't Want to SIt by You" : A Preliminary Study of
Experiences and Consequences of Stigma and Discrimination from HIV-positive Mothers
and Their Children. Journal of HIV/AIDS Prevention in Children & Youth, 219-242.
Finn, M., & Sarangi, S. (2009). Humanizing HIV/AIDS and its (re)stigmatizing effects: HIV
public "positive" speaking in India. Journal Health, 13(1), 47-65.
Fongkaew, W., Visekul, B., & Suksatit, B. (2013). Verifying Quantitative Stigma and
Medication Adherence Scales Using Qualitative Methods among Thai Youth Living with
HIV/ AIDS. Journal of the International Association of Providers of AIDS Care, 13, 69-
77.
Harling, Kenneth. (2012). An Overview of Case Study. SRRN Electronic Journal, 1-7
94
Hefferman, C. (2002). HIV, sexually transmitted infections and social inequalities: when the
transmission is more social than sexual. International Journal of Sociology and Social
Policy, 22(4), 159-17.
Jacques, Z., Hieke, W., Marga, V., & Gideon, D. (2010). Beyond silence and rumor, Storytelling
as an educational tool to reduce the stigma around HIV/AIDS in South Africa . Health
Education, 382-398.
Jacubowski, N. (2008). Marriage is not a safe place: Heterosexual marriage and HIV-related
vulnerability in Indonesia. Culture, Health & Sexuality, 10(1), 87-97.
Koku, E. (2010). HIV-Related Stigma among African Immigrants Living with HIV-AIDS in
USA. Sociological Research Online, 15(3), 1-14.
Kittikorn, N., Street, A., & Blackford, J. (n.d.). Managing Shame and Stigma: Case Studies of
Female Cares of People with AIDS in Southern Thailand. Qualitative Health Research,
16(9), 1286-1301.
Lindayani, L., Ibrahim , K., & Wang, J.-D. (2018). Independent and synergistic effects of self-
and public stigmas on quality of life of HIV-infected persons. AIDS Care, 706-7153.
Link, B. G., & Phelan, J. C. (2001). Conceptualizing Stigma. Annual Reviews Sociol, :364.
Li, A., Wong, J., Cain , R., & Fung, K. (2016). Engaging African Caribbean, Assian and Latino
Community Leaders to Address HIV Stigma in Toronto. International Journal of
Migration, Healtht, and Social Care, 12(4), 288-300.
Ali, Mohammad. (2014). Memahami Riset Perilaku dan Sosial. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Nelson, V.-D., Irma, S., & Jose, T. (2005). AIDS-Related Stigma and Social interaction Puerto
Ricans Living with HIV/AIDS. Qualitative Health Research, 15(2), 169-187.
95
Oskouie, F., Kashefi, F., & Gouya, M. (2017). Qualitative study of HIV related stigma and
discrimination: What women say in Iran. Electronic Physician, 9(7), 4718-4274.
Poindexter, Cannon, C., & Shippy, A. (2010). HIV Diagnosis Disclosure: Stigma Management
and Stigma Resistance. Journal of Gerontological Social Work, 366-380.
Saki, M., Kermanshahi, S., & Mohammadi, E. (2015). Perception of Patients with HIV/AIDS
from Stigma and Discrimination. Iran Red Crescent Med Journal, 17(6), 1-7.
EE, Tarkang., Gbogbo, S., & PM, L. (2015). HIV/AIDS-Related Knowledge among Person with
Physical Disability in Cameroon: A Qualitative Study. Journal of AIDS and HIV
Infectiions, 1-6.
Weiss, R. A. (1993). How does HIV cause AIDS? Science, 260, 1273-1279.
Winarso , I., Irawati, I., Eka, B., & Nevendorf, L. (2006). Indonesian National Strategy for
HIV/AIDS control in prisons : A Public health approach for prisoners. International
Journal of Prisoner Health, 2(3), 243-249.
Wong, V., & Wong , L. (2006). Mana¬¬gement of Stigma and Disclosure of HIV/AIDS Status
in Healtcare Setting. Journal of Health Organization and Management, 20(2).
96