Anda di halaman 1dari 96

1

Manajemen Stigma Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)

(Studi Kasus terhadap ODHA di Rumah Cemara Bandung)

Penelitian ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian
Komunikasi

Oleh :

Aulia Bashir (1605504)


Helisa Alnadya (1600635)
Nisa Nur Hasanah (1606977)
Nisa Nuroniah (1601539)
Shaskya Dwi Nurani (1607207)
Umar Triwijoyo (1601818)
Aditya Putra Kusumah (1502006)

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

2019
2

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................... 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA .......................................................................................... 6

2.1 HIV/AIDS ................................................................................................ 6


2.2 Stigma ...................................................................................................... 9
2.3 Manajemen Stigma .................................................................................. 11
2.4 Rumah Cemara ........................................................................................ 13
2.5 Kerangka Berfikir .................................................................................... 14

BAB III METODE PENELITIAN................................................................................ 15

3.1 Desain Penelitian ..................................................................................... 15


3.1.1 Pendekatan Penelitian .................................................................. 15
3.1.2 Metode dan Strategi Penelitian .................................................... 15
3.2 Partisipan dan Tempat Penelitian ............................................................. 16
3.2.1 Partisipan ...................................................................................... 16
3.2.2 Tempat Penelitian ......................................................................... 18
3.3 Instrumen Penelitian ................................................................................. 19
3.4 Teknik Pengumpulan Data ....................................................................... 19
3.5 Prosedur Penelitian ................................................................................... 20
3.6 Teknik Analisis Data ................................................................................ 21
3.7 Penyusunan Alat Pengumpulan Data ....................................................... 21
3.8 Kriteria dan Keabsahan Data ................................................................. 37
3

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 39


4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) seringkali mendapat penghakiman negatif dari


masyarakat. Stigma adalah lingkaran setan yang memandang ODHA sebelah mata,
menghentikan mereka untuk bersuara dan mencari bantuan karena mereka takut dilabeli
sebagai orang yang “buruk” atau “pendosa” (Usdin dalam Jacquees dkk, 2010:393).

Penyakit ini memunculkan berbagai macam stigma masyarakat. Stigma yang muncul di
masyarakat merupakan fenomena global. Stigma masyarakat yang menganggap infeksi
HIV/AIDS merupakan akibat dari pelanggaran norma dan perilaku amoral yang tidak dapat
diterima oleh masyarakat. Orang yang mengidap penyakit HIV pun menyebutkan bahwa
mereka mendapat sikap antipati dari masyarakat karena stigma bahwa penyakit HIV
disebabkan karena kelakuan tidak baik, meskipun pada kenyataannya, penularan HIV tidak
hanya disebabkan karena hubungan seksual saja (Li dkk, 2016:292).

Misalnya, sejumlah wanita ODHA di Iran menyatakan muncul anggapan masyarakat


bahwa para ODHA adalah orang-orang buruk yang terjangkit penyakit akibat hubungan
seksual yang tidak baik juga penggunaan narkotika sehingga mereka merasa malu untuk
berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya (Oskouie dkk, 2017:4720).

Stigma masyarakat menganggap penyandang ODHA adalah pendosa. Salah satu


narasumber dari penelitian yang dilakukan oleh Puerto Rico mengatakan bahwa infeksi HIV
terjadi karena pembangkangan terhadap norma agama. Penyakit HIV bertentangan dengan
yang diajarkan dalam keagamaan karena awal mula terjadi penyakit ini karena kelakuan
buruk mereka (Li dkk, 2016:292).

Beberapa orang mempercayai bahwa infeksi HIV disebabkan oleh kebiasaan yang penuh
“dosa” dan dikutuk dalam isi Alkitab. Beberapa orang lainnya juga percaya bahwa infeksi
HIV merupakan sebuah konsekuensi karena tidak menghormati tubuh yang diberikan oleh
5

Tuhan. Contohnya menggunakan narkoba, menjadi seorang yang homoseksual, dan


memiliki banyak pasangan untuk berhubungan seksual (Estrada dkk, 2018:6).

Asumsi terakhir, stigma masyarakat bahwa HIV/AIDS adalah penyakit yang sangat
mudah ditularkan. Dalam sebuah penelitian terdapat narasumber perempuan yang
menyatakan bahwa ODHA harus di karantina dan harus disediakan tempat sendiri, di kota
dimana yang tinggal hanyalah ODHA. Karena mereka tidak mau menyentuh, duduk, atau
makan dengan ODHA (Fair dan Brackett, 2008:176).

Namun, pada kenyataannya, banyak mitos yang keliru soal penularan HIV, sehingga
pengidap HIV dijauhi bukan berdasarkan alasan yang tepat. HIV tidak dapat ditularkan
melalui air liur, keringat, sentuhan, ciuman, gigitan nyamuk atau bekas toilet. Faktor terbesar
Penularan HIV berasal dari kontak cairan tubuh seperti darah dan sperma melalui perilaku
seksual dan penggunaan jarum suntik1.

Stigma yang muncul tak hanya mengubah pandangan masyarakat saja, tapi juga kerabat
terdekat seperti keluarga,teman, rekan kerja. Stigma HIV/AIDS yang negatif memengaruhi
interaksi sosial dengan keluarga, teman, mitra seksual, rekan kerja, dan kesehatan
profesional. Beberapa konsekuensi yang mereka gambarkan adalah hilangnya dukungan
sosial, penganiayaan, isolasi, kehilangan pekerjaan, dan masalah mengakses layanan
kesehatan (Nelson dkk, 2005:169).

Menurut Herek (1999) terdapat beberapa alasan utama mengapa HIV sangat stigmatisasi.
Pertama, mereka yang terinfeksi dianggap bertanggung jawab atas status mereka karena
infeksi dapat dicegah. Kedua, HIV pada akhirnya berakibat fatal yang kemudian dapat
menimbulkan penyakit kronis. Ketiga, HIV bisa menular (Fair dan Brackett, 2008:222).
Stigma-stigma ini yang kemudian membuat ODHA mendapatkan perlakuan yang tidak
menyenangkan di kalangan masyarakat. Tekanan yang mereka rasakan bukan hanya dari
virus yang menyerang mereka tetapi dari stigma dan diskriminasi dari masyarakat (Wong
dan Wong, 2006:96).

1
https://www.liputan6.com/health/read/3780083/cara-penularan-hiv-aids-yang-wajib-kamu-tahu-agar-tidak-keliru
6

Stigma terkait HIV/AIDS kerap kali membuat para ODHA diperlakukan tidak baik,
dikucilkan, atau bahkan dibuang dari keluarganya. Kebanyakan ODHA merasa bahwa
masyarakat masih tidak dapat menerima orang yang hidup dengan menderita HIV/AIDS.
Masyarakat menyatakan jijik hanya dengan melakukan kontak mata dengan mereka, melihat
mereka, dan bahkan cara mereka berbicara mengenai orang yang menderita HIV/AIDS.
Berbagai tindakan seperti mengolok-ngolok ODHA kerap kali di lontarkan. Masyarakat juga
menolak untuk terlibat dalam kegiatan kelompok atau kegiatan yang sama dengan mereka
(Fongkaew dkk, 2013:73).

Sehingga banyak ODHA yang memilih untuk menyembunyikan perihal penyakitnya


karena khawatir akan stigma yang ada dan penolakan masyarakat. Mereka juga takut apabila
teman-teman merasa jijik atau takut dipermalukan diantara kelompok sebaya mereka. Oleh
karena itu, beberapa ODHA lebih memilih untuk tidak bersosialisasi dengan orang lain dan
hanya mengungkapkan status HIV mereka kepada anggota keluarga atau orang yang mereka
percaya saja (Fongkaew dkk, 2013:73-74).

Pemahaman HIV/AIDS baik sebagai penyakit yang tak dapat disembuhkan atau penyakit
yang menular dari pekerja seks menciptakan perbedaan dalam lingkup sosial antara mereka
yang menstigmatisasi dan mereka yang mendapat stigma (Kittikorn, 2006:1286).

Oleh karena itu, dalam penelitian ini, berdasarkan asumsi-asumsi stigma terkait yang di
dapatkan oleh penderita penyakit tersebut, peneliti ingin meneliti bagaimana ODHA
memanajemen stigma yang berkembang di masyarakat tentang diri mereka. Sebuah
penelitian mengenai manajemen stigma ODHA meneliti stigma dan manajemen stigma
kehidupan anak muda yang positif terkena HIV. Penelitian tersebut memberikan hasil:
dalam menghadapi stigma masyarakat terkait HIV, cara paling ampuh untuk memanajemen
stigma adalah diam. Diam merupakan sebuah bentuk pertahanan meskipun ditindas dan
diperlakukan tidak adil.

Teori yang akan digunakan sebagai dasar penelitian kami adalah teori Stigma
Management Communication (SMC). Dalam model SMC ini menyatakan bahwa reaksi
terhadap pesan stigmatisasi dimulai oleh pesan tersebut dan berakhir oleh hasil manajemen.
7

Pesan stigmatisasi biasanya menandai sesuatu yang distigmatisasi dan membuat label yang
dapat dikenal. Lingkungan sekitar individu dapat mempengaruhi sikap individu terhadap
persepsi publik terhadap stigma dan penerapan stigma pada individu (Meisenbach,
2010:276).

Teori SMC ini digunakan untuk mengukur bagaimana reaksi ODHA di Rumah Cemara
terhadap stigma yang berkembang di masyarakat dan bagaimana lingkungan Rumah Cemara
mempengaruhi sikap ODHA terhadap stigma di masyarakat. Penelitian ini akan difokuskan
pada ODHA yang diadvokasi di Rumah Cemara karena saat ini Rumah Cemara merupakan
organisasi komunitas terbesar di Bandung yang merawat, memberikan dukungan, dan
melindungi ODHA.

Rumah Cemara memberikan layanan konsultasi bagi ODHA baik secara langsung
maupun online. Rumah Cemara juga memberikan pendampingan kepada ODHA sejak
terjangkit HIV/AIDS hingga mereka mendapatkan pengobatan atau perawatan yang sesuai.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus untuk
mengetahui bagaimana ODHA memanajemen stigma sebagai akibat dari stigmatisasi dari
masyarakat.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
a. Bagaimana pengalaman stigma ODHA di Rumah Cemara?
b. Bagaimana manajemen stigma ODHA di Rumah Cemara?
c. Bagaimana dampak dari manajemen stigma ODHA di Rumah Cemara?
d. Bagaimana bentuk stigma yang didapat oleh ODHA di Rumah Cemara?

1.3 TUJUAN PENELITIAN


Tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui bagaimana pengalaman stigma ODHA di Rumah Cemara
b. Untuk mengetahui bagaimana cara manajemen stigma ODHA di Rumah Cemara
tentang stigma yang berkembang di masyarakat mengenai diri mereka
c. Untuk mengetahui dampak dari manajemen stigma ODHA di Rumah Cemara.
8

d. Untuk mengetahui bentuk stigma yang didapat oleh ODHA di Rumah Cemara.

1.4 MANFAAT PENELITIAN


a. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi positif mengenai
kajian manajemen stigma oleh ODHA dan dapat menjadi referensi untuk penelitian
selanjutnya
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada ODHA terkait bagaimana
manajemen stigma yang ada di masyarakat untuk diri mereka
c. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi yang dapat digunakan
oleh mahasiswa dan masyarakat terkait manajemen stigma ODHA.
9
10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 HIV/AIDS
Definisi HIV/AIDS
Acquired Immunodeficiency syndrome (AIDS) merupakan tahap akhir dari
infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Weiss, 1993:1273). Infeksi HIV adalah
ancaman yang sangat baru dan dapat dengan mudah disebut sebagai kutukan terhadap ras
manusia. Kehadiran AIDS sebagai penyakit menimbulkan peningkatan terhadap infeksi
yang langka dan kanker pada pria homoseksual (Bhatti dkk, 2016:1).

Sub-Kelompok HIV

a. HIV-1
HIV-1 dikenal karena keragaman genetiknya yang luas. HIV-1 dikelompokkan
menjadi empat jenis, yaitu: M, N, O, dan P. Virus HIV yang paling sering ditemukan di
seluruh dunia adalah jenis M. Jenis N kurang lazim, hanya dilaporkan dari Kamerun.
Jenis O bertanggung jawab atas 1% dari total kasus HIV-1 dan sebagian besar ditemukan
di Kamerun dan Gabon. Jenis P adalah yang paling langka dan telah diidentifikasi pada
wanita hamil Kamerun di Perancis (Batthi dkk, 2016:3).
b. HIV 2
HIV-2 paling sering dilaporkan di Afrika Barat (Guinea-Bissau dan Senegal
memiliki insiden tertinggi). Ada delapan jenis HIV-2, jenisnya adalah HIV-A hingga
HIV-H.

Penyebaran HIV
11

Pada dasarnya, penyebaran HIV dapat terjadi melalui hubungan seksual


(heteroseksual atau homoseksual), infeksi dari ibu ke bayi (saat kehamilan atau
menyusui) melalui darah dari penggunaan jarum suntik, transfusi darah, dan donor organ
tubuh yang mengandung HIV (EE dkk, 2015:4). Penyebaran HIV disebabkan oleh
beberapa faktor, seperti faktor biologis, gaya hidup, dan pengaruh sosial.

Latar belakang ekonomi merupakan salah satu faktor penyebab penyebaran virus
HIV. Tingkat perekonomian yang rendah menyebabkan tingkat pendidikan juga rendah,
pengangguran, penggunaan narkotika, konsumsi alkohol, serta pelaku prostitusi semakin
tinggi yang kemudian meningkatkan penyebaran HIV. Mereka tidak begitu peduli dengan
tindakan preventif akan kesehatan, seperti imunisasi pada anak. Pengangguran yang
semakin banyak menyebabkan konsumsi akan narkotika dan alkohol meningkat.
Kemudian pelaku prostitusi yang semakin tinggi juga mempengaruhi penyebaran HIV.
Mereka melakukan hubungan seksual dengan sembarang orang. Keadaan ekonomi dan
tingkat pendidikan yang rendah juga membuat mereka tidak menggunakan kondom
dalam melakukan hubungan seksual (Heffernan, 2002:167-168).

HIV/AIDS di Indonesia

Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia terhitung sangat cepat, dan sebagian besar


disebabkan oleh injecting drug use (IDU). Berdasarkan penelitian dari Badan Pusat
Statistik, IDU berisiko tinggi menyebarkan HIV dengan presentase 82% (Winarso dkk,
2006:244). Selain penggunaan jarum suntik narkotika, hubungan seksual juga menjadi
salah satu faktor penyebab penyebaran HIV/AIDS di Indonesia. The Indonesians
National Comission (INAC) menyatakan bahwa HIV dapat menyebar lebih luas
bergantung pada pola hubungan seksual. Apabila banyak orang yang berhubungan
seksual dengan orang-orang beresiko tinggi akan HIV, virus tersebut dapat menyebar
lebih luas lagi. Maka dari itu, diperlukan pendidikan atau penjelasan mengenai hubungan
seksual terhadap pasangan suami-istri di Indonesia (Jacubowski, 2008:88).

Sejak pertama kali ditemukan sampai dengan Juni 2018, HIV/ AIDS telah
dilaporkan keberadaannya oleh 433 (84,2%) dari 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di
12

Indonesia. Jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai dengan Juni 2018
sebanyak 301.959 jiwa (47% dari estimasi ODHA jumlah orang dengan HIV AIDS tahun
2018 sebanyak 640.443 jiwa) dan paling banyak ditemukan di kelompok umur 25-49
tahun dan 20-24 tahun.2

Adapun tindakan pencegahan yang dapat dilakukan terhadap penyebaran


HIV/AIDS adalah dengan menunda atau menghindari hubungan seksual usia dini, hanya
melakukan hubungan seksual dengan satu orang, dan menggunakan kondom (EE dkk,
2015:4).

Pengobatan

Infeksi HIV memiliki patogenesis yang sangat kompleks dan bervariasi secara
substansial pada pasien yang berbeda. Oleh karena itu, infeksi HIV dapat dengan mudah
dianggap sebagai infeksi yang sangat spesifik untuk inang virus. Spesifisitas patogenesis
sering mempersulit pilihan pengobatan yang saat ini tersedia untuk infeksi HIV.
Manajemen infeksi HIV yang efektif dimungkinkan dengan menggunakan kombinasi
obat yang berbeda. Metode pengobatannya secara kolektif dikenal sebagai terapi
antiretroviral (ART). ART standar terdiri dari ramuan setidaknya tiga obat. ART yang
efektif sering membantu mengendalikan multiplikasi HIV pada pasien yang terinfeksi
dan meningkatkan jumlah sel CD4, dengan demikian, memperpanjang fase infeksi
asimtomatik, memperlambat perkembangan penyakit, dan juga membantu mengurangi
risiko penularan.

2.2 STIGMA
Definisi Stigma
Stigma terjadi ketika seseorang tidak cocok dengan stereotip yang diterima secara
tentang bagaimana seharusnya orang ‘normal’ di lingkungan sosial. Akibatnya, dugaan
menyimpang dianggap memiliki ‘perbedaan’ yang tidak diharapkan oleh kebanyakan
masyarakat serta dinilai negatif oleh masyarakat. Erving Goffman mendefinisikan stigma

2
http://www.depkes.go.id/article/view/18120300001/hari-aids-sedunia-momen-stop-penularan-hiv-saya-berani-
saya-sehat-.html
13

sebagai suatu fenomena saat seorang individu dengan atribut tertentu yang sangat
didiskreditkan oleh masyarakatnya, ditolak ataupun dikucilkan sebagai akibat dari atribut
tersebut (Finn dan Sarangi, 2009:56).
Menurut Goffman, stigma merupakan suatu proses dinamik mendevaluasi, yang
mendiskreditkan secara bermakna seorang individu di mata orang lain. Kualitas yang
melekat pada stigma bisa ditetapkan secara sewenang-wenang (arbitary), misalnya warna
kulit, preferensi seksual, dan kondisi kesehatan. Stafford dan Scott mendefinisikan stigma
sebagai karakteristik seseorang yang berlawawan dengan norma kelompok sosial (Link
dan Phelan, 2001:364). Namun, pendekatan sosiologis berpendapat bahwa stigma
bukanlah sesuatu yang melekat pada individu tetapi hasil dari proses sosial yang
kompleks, terkait dengan persaingan untuk kekuasaan, dan terkait dengan mekanisme
dominasi dan eksklusi yang ada (Koku, 2010:2).
Berdasarkan konseptualisasi oleh Link dan Phelan, mereka menerapkan istilah
stigma ketika elemen pelabelan, stereotip, pemisahan, kehilangan status, dan diskriminasi
terjadi bersamaan yang memungkinkan komponen stigma terungkap. Stigma ada ketika
komponen yang saling berhubungan bersatu. Komponen yang dimaksud adalah,
komponen pertama orang membedakan dan melabel perebedaan-perbedaan pada
manusia, komponen kedua adalah kelompok dominan, menghubungkan atau
mengkategorikan orang-orang yang dilabel dengan karakteristik yang tidak diinginkan
dalam lingkungan sosial, komponen ketiga adalah orang-orang yang mendapatkan label
ditempatkan pada kategori yang berbeda untuk membuat derajat pemisahan antara
“kami” dan “mereka”, dan komponen terakhir yaitu orang-orang yang dilabel mengalami
kehilangan status dan diskriminasi yang berujung pada ketidaksetaraan (Link dan Phelan,
2001:367).
Stigma sepenuhnya bergantung pada kekuatan sosial, ekonomi, dan juga kekuatan
politik guna membuat stigma itu sendiri. Bagi orang-orang yang menerima stigmatisasi,
mereka tidak berdaya untuk membuat label dan stereotip tentang orang-orang yang lebih
kuat sesuai dengan stereotip tersebut. Realisasi tersebut menjelaskan mengapa stigma
sangat bergantung pada kekuatan atau kekuasaan. Ketika orang berpikir tentang penyakit
mental, obesitas, tuli ataupun pengidap HIV/AIDS ada kecenderungan untuk fokus hanya
14

pada atribut yang terkait dengan kondisi ini daripada perbedaan kekuatan antara orang
yang memiliki dan orang yang tidak. Kekuatan atau kekuasaan dalam hal ini sangat
penting untuk menciptakan stigma sosial (Lindayani dkk, 2018:708)
Goffman mangatakan, stigma telah dikonseptualisasi sebagai karakter ‘cacat’
yang dihasilkan dari perilaku tidak bermoral atau tidak terhormat. Akibatnya, ODHA dan
kelompok-kelompok yang berhubungan dengan mereka cenderung dikonstruksi sebagai
‘orang lain’ yang memalukan yang kebutuhannya berbeda dan tidak sesuai dengan
mereka yang ‘tidak terstigmatisasi’ (Koku, 2010:2).

Stigma HIV

Stigma HIV dapat dibedakan dalam beberapa bentuk stigma yaitu Stigma Publik
dan Stigma Diri. Stigma publik atau sosial, merujuk pada pengalaman dan telah
mendapatkan prasangka dan diskriminasi dari orang lain. Stigma publik bermanifestasi
dalam bentuk penghindaran, membuat jarak secara sosial, dan penggunaan kekerasan.
Sedangkan stigma diri merupakan antisipasi dari kepercayaan negatif dari masyarakat
terhadap individu yang mengidap HIV. Stigma diri akan mucul ketika seseorang sadar
akan stigma yang mereka dapat. Mereka akan menyetujui stigma tersebut dan
menerapkannya pada diri sendiri. Hal tersebut yang menyebabkan berkurang atau
hilangnya kepercayaan diri (self-esteem) dan efikasi diri (self-efficacy) (Lindayani dkk,
2018:7).
Struktur kognitif dan perilaku yang terkait dengan stigma, seperti identitas sosial
yang didevaluasi, prasangka, stereotip, diskriminasi, dan pengabaian. Dampak negatif
juga termasuk penurunan harga diri, prestasi akademik, dan kesehatan, termasuk
peningkatan kecemasan, penurunan kapasitas memori dan penyakit yang diderita
berkelanjutan (Meisenbach, 2010:269).
Banyak ODHA yang menyembunyikan penyakitnya karena takut akan stigma
masyarakat yang menyebabkan penolakan, rasa malu, dan depresi. Mereka beranggapan
dengan mengungkap statusnya dapat membuat situasi semakin rumit. Hal ini merupakan
konsekuensi negatif dari stigma HIV, karena dengan menyembunyikan statusnya dapat
membuat ODHA tidak mendapatakan pengobatan (Saki dkk, 2015:1).
15

2.3 MANAJEMEN STIGMA


Definisi Manajemen Stigma
Membuat keputusan untuk mengungkapkan keadaan diri merupakan hal yang
bijaksana dan salah satu bagian terpenting dari manajemen stigma. Tidak
mengungkapkan kondisi diri pribadi memang dapat membantu seseorang aman dari
stigma, namun itu juga menjadi penghalang seseorang untuk mendapatkan bantuan.
Pengungkapan status HIV seseorang harus didahului dengan meminta atau menerima
dukungan sosial. Pengungkapan status HIV seseorang merupakan sebuah keputusan yang
sangat sensitif, pengungkapan ini dapat menjadi sesuatu yang sangat menyakitkan atau
sangat membantu, tergantu dari bagaimana penanganan dan penerimaan lingkungan
sekitar (Poindexter dkk, 2010:367).
Orang dewasa yang berusia diatas 50 tahun kurang bersedia untuk
mengungkapkan diagnosis HIV mereka dibandingkan dengan orang yang usianya
dibawah 50 tahun. Pada sampel lebih dari 770 orang, orang yang berusia diatas 50 tahun
mengungkapkan status HIV mereka ke orang yang signifikan dibanding dengan orang
yang berusia kurang dari 50 tahun. Lekas, Schrimsaw, dan Siegel (2005) menemukan
bahwa usia meningkatkan antisipasi terhadap stigma (Poindexter dkk, 2010:367).
Menurut Falk (2001) manusia akan selalu menghadapi stigma karena stigma
membangun solidaritas kelompok melalui pembedaan orang dalam dan orang luar.
Dengan demikian, stigmatisasi adalah sebuah proses yang tidak akan bisa dihilangkan
namun dapat dikelola oleh manusia. Kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan untuk
memanajemen stigma terhadap individu berasal dari berbagai hasil negatif dari
stigmatisasi itu sendiri, seperti identitas sosial yang didevaluasi, prasangka, stereotip,
diskriminasi, dan pengabaian. Dampak negatif yang lainnya juga termasuk penurunan
harga diri, prestasi akademik, kesehatan dan peningkatan kecemasan.
Goffman yang akrab dengan penelitian psikologi sosial membahas mengenai opsi
strategi yang telah dia lihat dalam studi sebelumnya, yaitu: (a) memperbaiki atribut
stigma secara langsung, (b) menguasai bidang yang orang lain anggap sebagai kelemahan
dari orang yang memiliki stigma, (c) mencoba meninterpretasikan karakter identitas
16

seseorang, (d) menggunakan stigma untuk keuntungan sekunder seperti alasan kegagalan,
(e) memandang stigma sebagai sebuah berkah yang mengajari individu, (f) membingkai
orang-orang yang tidak distigmatisasi sebagai individu yang benar-benar membutuhkan
bantuan, (g) terlibat dalam ‘‘sympathetic re-education of the normal’’ (Meisenbach,
2013:270)

Model dan Teori


Model SMC (Stigma Management Communication) dimulai dengan sebuah pesan
stigmatisasi dan berakhir dengan hasil managemen. Manajemen stigma dapat muncul
sebagai reaksi dan respons terhadap pesan stigmatisasi. Teori SMC menggabungkan
argumen Smith (2007) bahwa pesan stigmatisasi biasanya menandai sesuatu yang di
stigmatisasi, membuat label yang dapat dikenal untuknya, menunjukkan siapa yang
bertanggung jawab atas label tersebut. Selain itu, teori SMC berpendapat bahwa pesan
stigma juga menunjukkan stigma (fisik, sosial, dan moral) yang berpotensi tumpang
tindih. Lingkungan sekitar individu dapat mempengaruhi sikap individu terhadap persepsi
publik terhadap stigma dan penerapan stigma pada individu.
Dibawah ini adalah gambar untuk model SMC yang diambil dari peneliatian
Rebecca J. Meisenbach yang dapat diaplikasikan pada penelitian kami (Meisenbach,
2013:276)
17

Gambar 1: Model SMC (Rebecca J. Meisenbach, 2010)

2.4 KERANGKA BERFIKIR


18

Sumber : Model SMC (Rebecca J. Meisenbach, 2010)


19

BAB III

METODE PENELITIAN
3. 1 Desain Penelitian
3.1.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah


pendekatan penelitian yang mengumpulkan data secara sistematis, terorganisasi, dan
merupakan interpretasi materi tekstual dari pembicaraan atau perbincangan. Pendekatan
ini digunakan untuk mengeksplorasi fenomena sosial berdasarkan pengalaman individu
tersebut secara alami (Grossoehme, 2014:109). Pada dasarnya para peneliti yang
melakukan pendekatan kualitatif menganalisis bentuk situasi, konten, dan pengalaman
sosial dalam bentuk kata-kata ketimbang angka. Data-data kualitatif disajikan dalam
bentuk studi kasus, kritik, ataupun laporan verbal (Chesebro dan Borisoff, 2007:6).

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena ingin mengetahui lebih


dalam mengenai manajemen stigma Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Pendekatan
kualitatif dapat digunakan untuk menemukan dan memahami hal-hal yang tersembunyi
dibalik suatu fenomena. Data yang diperoleh akan menjadi catatan untuk pemahaman
yang mendalam bagi peneliti.

3.1.2 Metode dan strategi penelitian


Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang bertujuan untuk menjelaskan
suatu fenomena beserta karakteristinya. Penelitian deskriptif memberikan gambaran
spesifik terkait situasi, aturan sosial, dan hubungan. Penelitian deskriptif bermula dari
latar belakang atau pertanyaan yang kemudian menghasilan penjelasan secara akurat.
Penelitian deskriptif menghasilkan gambaran secara detail dari isu atau pertanyaan yang
dijadikan latar belakang. Penelitian ini berfokus pada bagaimana, siapa, atau menjelaskan
sesuatu terlebih mengenai aktivitas sosial (Neuman, 2014:38-39).
Sementara itu, strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus.
Studi kasus merupakan suatu penelitian yang menyelidiki fenomena kontemporer dalam
lingkungan alami. Penelitian melibatkan pengumpulan data yang mendalam dan
terperinci melalui pengamatan langsung, wawancara, materi audio-visual, dokumen, dan
20

laporan. Sumber informasi harus beragam agar dapat memberikan gambaran yang lebih
mendalam.
Kasus yang digunakan dalam penelitian studi kasus dapat berupa single case
study atau collective case study. Dalam single case terdapat dua kategori kasus yaitu,
instrinsik (fenomenai unik) dan instrumental (pemahaman umum suatu fenomena).
Sedangkan collective case study bertujuan untuk memberikan pemahaman umum akan
beberapa fenomena instrumental yang terjadi pada satu atau berbeda wilayah dan waktu
(Harling, 2012:2).
Penelitian ini menggunakan collective case study karena melibatkan beragam
karakter narasumber yang kemudian memberikan beragam sudut pandang mengenai
manajemen stigma terhadap ODHA.
Melalui penelitian deskriptif dengan strategi studi kasus, penelitian ini akan
memberikan gambaran secara lengkap dan mengeksplorasi seacara mendalam mengenai
manajemen stigma Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam menghadapi stigma dari
masyarakat.

3. 2 Partisipan dan Tempat Penelitian

3.2.1 Partisipan

Pada dasarnya sampling untun menentukan partisipan dalam penelitian terbagi


dua yaitu, ‘probability sampling’ dan ‘non-probability sampling’. Penelitian ini
menggunakan kategori ‘non-probability sampling’ dengan teknik purposive sampling.
Penggunaan teknik ini semata-mata didasarkan pertimbangan perilaku riset sesuai dengan
fokus masalah yang dikaji (Ali, 2014:120)

Peneliti menggunakan teknik purposive sampling karena sudah mengetahui


dengan jelas karakteristik sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Oleh karena itu,
peneliti dapat lebih mudah memperoleh hasil yang diinginkan sesuai dengan tujuan
penelitian itu sendiri. Informan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah tiga hingga
lima orang yang terdiri dari Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Kriteria narasumber
yang dipilih dalam penelitian ini ditentutkan dari beberapa karakteristik. Adapun
21

informan pendukung dalam penelitian ini seperti pengurus organisasi komunitas Rumah
Cemara yang sudah terbiasa menghadapi atau membantu ODHA.

Tabel 3.1 Karakteristik Narasumber

No Karakteristik / Pengelompokan Keterangan


1. Waria a. ODHA Lama
b. ODHA Baru
2. Pengguna NAPZA a. ODHA Lama
b. ODHA Baru
3. Ibu Rumah Tangga a. ODHA Lama
b. ODHA Baru
4. Wanita PSK a. ODHA Lama
b. ODHA Baru
5. Remaja ODHA a. ODHA Lama
b. ODHA Baru

3.2.2 Tempat Penelitian


Tempat penelitian yang dipilih adalah komunitas Rumah Cemara yang telah
berdiri sejak tahun 2003. Rumah Cemara ini terletak di Jl. Gegerkalong Girang No.52,
Gegerkalong, Sukasari, Kota Bandung, Jawa Barat. Tujuan peneliti memilih tempat ini
sesuai dengan mimpi mereka terkait Indonesia tanpa stigma dan diskriminasi. Hal
tersebut sesuai dengan tujuan penelitian ini mengenai manajemen stigma ODHA.
RUMAH CEMARA
Rumah Cemara merupakan organisasi komunitas yang memiliki tujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS, konsumen narkoba, serta kaum
marginal lainnya di Indonesia. Rumah Cemara memberikan layanan konsultasi bagi
ODHA baik secara langsung maupun online (melalui website). Rumah Cemara juga
memberikan pendampingan kepada ODHA sejak terjangkit HIV/AIDS hingga mereka
22

mendapatkan pengobatan atau perawatan yang sesuai.3 Sudah banyak ODHA yang
datang untuk berkonsultasi dan menerima pendampingan dari Rumah Cemara.
Komunitas ini sudah sangat berpengalaman dalam menangani ODHA dari berbagai
kalangan. Maka dari itu, Rumah Cemara dipilih sebagai tempat penelitian manajemen
stigma ODHA ini.

Rumah Cemara didirikan pada tahun 2003 oleh lima mantan konsumen NAPZA.
Komunitas ini memimpikan Indonesia tanpa stigma dan diskriminasi. Menurut komunitas
Rumah Cemara, semua manusia memiliki kesempatan yang sama untuk maju,
memperoleh layanan kesehatan yang bermutu tak terkecuali bagi ODHA dan konsumen
NAPZA, dan dilindungi sesuai konstitusi. Rumah Cemara turut serta dalam upaya
penanggulangan AIDS dan pengendalian NAPZA nasional beserta perumusan kebijakan
yang berpihak pada pemenuhan HAM dan kesetaraan.4

3.3 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian ini adalah peneliti itu sendiri. Peneliti secara langsung
terlibat dalam pengaturan, berinteraksi dengan partisipan, melibatkan perasaan, reaksi,
dan pengalaman pribadi yang kemudian menjadi ‘instumen’ pengukuran penelitian
(Neuman, 2014:523).

Dalam meneliti subjek, peneliti merupan instrumen atau media utama dalam
penelitian dan memiliki dua implikasi. Pertama, sebagai instrumen utama peneliti harus
waspada dan peka terhadap hal-hal yang terjadi di lapangan. Kedua, penelitian memiliki
konsekuensi pribadi. Penelitian ini melibatkan hubungan sosial, perasaan pribadi,
wawasan, pengalaman yang mempengaruhi penafsiran peristiwa di lapangan (Neuman,
2014:453)

3.4 Teknik Pengumpulan Data

3
https://rumahcemara.or.id/tentang-kami/
4
https://rumahcemara.or.id/tentang-kami/
23

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Wawancara Mendalam
(In Depth Interview)

a. Wawancara Mendalam (In Depth Interview)


Wawancara Mendalam adalah teknik mengumpulkan data dengan cara bertatap muka one-
to-one interviews langsung dengan informan agar mendapatkan data lengkap dan
mendalam. Dengan wawancara langsung peneliti dapat melihat isyarat non-verbal melalui
pengamatan bahasa tubuh, ekspresi wajah dan kontak mata, dengan demikian dapat dilihat
tingkat pemahaman pewawancara tentang apa yang dikatakan (Coughlan, 2009:310).
Wawancara mendalam dalam penelitian fenomenologi bermakna mencari sesuatu yang
mendalam untuk mendapatkan satu pemahaman yang mendetail tentang fenomena sosial
yang diteliti. Peneliti merangkum teknik pengumpulan data penelitian ini dalam tabel
berikut:

Tabel 3.2 Teknik Pengumpulan Data


Teknik Pengumpulan Aspek Penelitian Sumber Data
Data
Wawancara Mendalam (In Proses kegiatan dengan 5 ODHA di Rumah Cemara
Depth Interview) melakukan wawancara Bandung.
mendalam untuk
mendapatkan pemahaman
yang mendetail tentang
manajemen stigma ODHA.

3.5 Prosedur Penelitian


a. Tahap Pra Penelitian
Pada tahap pra penelitian kegiatan yang pertama adalah melakukan studi pendahuluan
untuk mendapatkan gambaran awal mengenai ODHA dan konsep manajemen stigma
yang berkembang di masyarakat terhadap ODHA. Kedua, merumuskan permasalahan
yang akan dikaji dalam penelitian mengenai manajemen stigma ODHA. Ketiga,
24

Menentukan judul dan lokasi yang tepat untuk dilakukan penelitian. Terakhir dalam tahap
pra penelitian yaitu menyusun proposal penelitian.
b. Tahap Persiapan
Pada tahap persiapan, peneliti mempersiapkan pedoman dan kebutuhan penelitian yang
akan digunakan selama penelitian berlangsung di lokasi penelitian untuk menunjang
dalam pengumpulan data penelitian.
c. Tahap Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan merupakan tahapan inti dalam penelitian. Dalam tahapan ini
peneliti terjun langsung ke lapangan atau lokasi penelitian untuk mendapatkan informasi
dan data untuk menjawab permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian. Pada
pelaksanaannya, peneliti melakukan observasi partisipan, selain itu peneliti juga
melakukan wawancara dengan menanyakan berbagai pertanyaan yang telah disiapkan
sebelumnya, kepada berbagai informan mengenai manajemen stigma ODHA yang
berkembang di masyarakat mengenai diri mereka.

3.6 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan teori dari miles
dan Huberman, yaitu kegiatan analisis terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara
bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verivikasi. Dari hasil
analisis data yang kemudian dapat ditarik kesimpulan.berikut ini adalah teknik analisis data yang
digunakan oleh peneliti:

a. Pertama, peneliti melakukan reduksi data yaitu suatu bentuk analisis yang menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data
dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik dan
diverifikasi. Dengan “reduksi data” peneliti tidak perlu mengartikannya sebagai
kuantifikasi. Data kualitatif dapat disederhanakan dan transformasikan dalam aneka
macam cara, yakni: melalui seleksi yang ketat, melalui ringkasan atau uraian singkat, dan
menggolongkan-nya dalam satu pola yang lebih luas. Peneliti akan meneliti mengenai
interaksi sosial orang dengan pengidap HIV/AIDS dalam pemudaran stigma. Jadi ketika
25

dalam penelitian menemukan sesuatu yang dipandang berhubungan maka hal tersebut
akan menjadi fokus penelitian dalam melakukan reduksi data.
b. Kedua, dalam bentuk uraian singkat. Dalam penelitian ini, ketika peneliti selesai
melakukan pengumpulan data di lapangan dengan informan-informan pengidap
HIV/ODHA, pengurus rumah cemara, maupun masyarakat. Peneliti akan melakukan
penyajian data untuk memahami apa yang terjadi dalam penelitian dan memudahkan
untuk melakukan tindakan selanjutnya berdasarkan pemahaman tersebut.
c. Ketiga, peneliti melakukan penarikan kesimpulan atau verifikasi dengan maksusd
mencari makna dari data yang dikumpulkan, agar mencapai suatu kesimpulan yang baik.
Kesimpulan tersebut akan senantiasa diverifikasi selama penelitian berlangsung. Langkah
ini dimaksudkan agar hasil penelitian interaksi sosial dengan HIV/AIDS dalam
menghadapi stigma menjadi jelas dan dapat dirumuskan dalam hasil yang akurat.
3.7 Penyusunan Alat Pengumpulan Data
a) Penyusunan Kisi-kisi Penelitian
Peneliti menentukan kisi-kisi penelitian mengenai penjabaran dari tujuan penelitian yang
diuraikan dalam pertanyaan penelitian.
b) Penyusunan Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam kepada
pihak yang dapat memberikan informasi dan data penelitian.
c) Penyusunan Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara digunakan peneliti untuk melakukan wawancara kepada
informan. Pedoman wawancara disusun agar proses wawancara berjalan terarah dan
fokus, karena di dalamnya terdapat indikator dari rumusan masalah yang berfungsi
memberikan batasan mengenai pertanyaan yang ditanyakan.

Dimensi Kategorisasi Kata Kunci Pertanyaan Hasil yang


Teori diharapkan
Stigma Bentuk Moral 1. Apakah anda pernah
dianggap sebagai seseorang
dengan perilaku
26

menyimpang ?
a. Jika ya, mengapa anda
dianggap berperilaku
menyimpang?
b. Jika tidak, mengapa
anda tidak dianggap
berperilaku
menyimpang ?
2. Siapa yang menganggap
anda sebagai seseorang
yang memiliki perilaku
menyimpang?
3. Dimana anda dianggap
sebagai seseorang dengan
perilaku menyimpang ?
4. Kapan anda pertama kali
dianggap sebagai seseorang
perilaku menyimpang ?
5. Bagaimana respon anda
terhadap pandangan
masyarakat yang
menaganggap anda
berperilaku menyimpang ?

Fisik 1. Apakah anda pernah


mendapatkan stigma secara
fisik misalnya ditolak untuk
bersentuhan ?
a. Jika ya, bagaimana
respon anda terhadap
27

perlakuan tersebut ?
b. Jika tidak, apa yang
anda lakukan sehingga
masyarakat tidak
menolak untuk
bersentuhan?
2. Apakah anda pernah
mendapatkan kata-kata
buruk dari lingkungan
anda?
a. Jika ya, bagaimana
respon anda terhadap
kata-kata tersebut?
b. Jika tidak, apa yang
anda lakukan sehingga
masyarakat tidak
berkata buruk?
3. Siapa yang melakukan hal
tesebut ?
4. Dimana anda mendapatkan
perlakuan tersebut ?
5. Kapan anda mendapatkan
perlakuan tersebut?
Sosial 1. Apakah anda pernah
dikucilkan di lingkungan
masyarakat ?
a. Jika ya, bagaimana
tanggapan anda terhadap
perlakuan tersebut ?
b. Jika tidak, langkah apa
28

yang anda lakukan


sehingga anda tidak
dikucilkan masyarakat ?
2. Mengapa masyarakat
melakukan hal tesebut ?
3. Kapan anda mendapatkan
perlakuan tersebut ?
4. Dimana anda mendapatkan
perlakuan tersebut ?

Komunikasi Label 1. Apakah anda dilabeli oleh


masyarakat ?
a. Jika ya, apa label yang
anda terima ?
b. Jika tidak, apa yang
anda lakukan sehingga
anda tidak dilabeli ?

2. Siapa yang meberikan label


terhadap anda ?
3. Mengapa label tersebut
berkembang ?
4. Bagaimana tanggapan anda
tgerhadap label tersebut ?
Komunikasi Tanda 1. Apakah anda mendapatkan
stigma buruk berupa
kalimat ?
a. Jika ya, kalimat apa
yang anda dengar ?
b. Jika tidak, kenapa hal
29

ini terjadi ?
2. Siapa yang sering
melontarkan kalimat
tersebut ?
3. Dimana anda sering
mendengarkan kalimat
tersebut ?
4. Kapan anda mendengar
kalimat tersebut?
5. Bagiamana anda
menanggapi kalimat
tersebut ?
Tanggung 1. Apakah anda dianggap
Jawab sebagai orang yang tidak
bertanggung jawab ?
a. Jika Ya, mengapa anda
dianggap sebagai orang
yang tidak bertanggung
jawab ?
b. Jika tidak, apa yang
anda lakukan sehingga
anda dianggap
bertanggung jawab ?

2. Siapa yang menganggap


anda sebagai orang yang
tidak bertanggung jawab ?
3. Kapan anda mulai dianggap
tidak bertanggung jawab ?
4. Dimana anda dianggap
30

tidak bertanggung jawab ?


5. Bagaimana respon anda
terhadap tanggapan
masyarakat bahwa anda
adalah orang yang tidak
bertanggung jawab ?
Berbahaya 1. Apakah anda dianggap
sebagai orang yang
berbahaya?
a. Jika ya, mengapa anda
dianggap sebagai orang
yang berbahaya?
b. Jika tidak, apa yang
anda lakukan sehingga
anda tidak dianggap
berbahaya?

2. Siapa yang menganggap


anda berbahaya?
3. Dimana anda dianggap
sebagai orang yang
berbahaya?
4. Kapan anda mulai dianggap
sebagai orang yang
berbahaya?
5. Bagaimana anda respon
anda terhadap tanggapan
masyarakat bahwa anda
orang yang berbahaya ?
Sikap Penerapan 1. Apakah anda merasa buruk
31

stigma pada atas keadaan anda ?


diri sendiri a. Jika ya, mengapa?
b. Jika tidak, mengapa?
2. Jika anda mendapatkan
stigma dari masyarakat
bagaimana sikap anda?
3. Dimana anda mengutarakan
perasaan anda terkait stigma
yang anda terima?
4. Kapan anda merasa berada
di titik jenuh dalam
menghadapi stigma ?
5. Bagaimana anda bertahan
dalam menghadapi stigma ?

Pandangan 1. Bagaimana respon dari


Masyarakat masyarakat saat mereka
mengetahui keadaan anda ?
2. Apakah pandangan
masyarakat mempengaruhi
diri anda ?
a. Jika ya, bagaimana
respon masayarakat
mempengaruhi diri
anda?
b. Mengapa
mempengaruhi diri
anda?
c. Jika tidak, mengapa
respon masyarakt tidak
32

mempengaruhi diri
anda?
d. Bagaiamana cara anda
agar tidak terpengaruh
respon masyarakat?
3. Kapan anda mendapatkan
dukungan atau penolakan
dari masyarakat ?
Keluarga 1. Bagaimana respon dari
keluarga saat mereka
mengetahui keadaan anda ?
2. Apakah pandangan keluarga
mempengaruhi diri anda ?
a. Jika ya, bagaimana
respon keluarga
mempengaruhi diri
anda?
b. Mengapa
mempengaruhi diri
anda?
c. Jika tidak, mengapa
respon keluarga tidak
mempengaruhi diri
anda?
d. Bagaiamana cara anda
agar tidak terpengaruh
respon keluarga?
3. Kapan anda mendapatkan
dukungan atau penolakan
dari keluarga ?
33

Rekan 1. Bagaimana respon dari rekan


anda saat mereka mengetahui
keadaan anda?
2. Apakah pandangan rekan
mempengaruhi diri anda ?
e. Jika ya, bagaimana
respon rekan anda
mempengaruhi diri
anda?
f. Mengapa
mempengaruhi diri
anda?
g. Jika tidak, mengapa
respon rekan tidak
mempengaruhi diri
anda?
h. Bagaiamana cara anda
agar tidak terpengaruh
respon rekan?
3. Kapan anda mendapatkan
dukungan atau penolakan
dari rekan?
Manajemen Menerima 1. Apakah anda menerima
Stigma stigma yang ditujukan
kepada anda?
a. Jika ya, mengapa anda
menerima stigma
tersebut?
b. Berapa lama anda
menerima perlakuan
34

stigma tersebut ?
c. Bagaimana bentuk
penerimaan anda
terhadap stigma
tersebut?
d. Jika tidak, mengapa
anda tidak menerima
stigma tersebut ?
e. Bagaimana penolakan
terhadap stigma
tersebut?
2. Apakah anda merasa diri
anda tidak baik atas keadaan
ini ?
Menghindar Menghindari 1. Apakah anda menghindari
situasi stigma stigma yang diberikan
kepada anda?
a. Jika ya, bagaimana cara
anda menghindari
stigma tersebut ?
b. Mengapa anda
menghindari situasi
stigma tersebut ?
c. Dalam keadaan seperti
apa anda biasanya
menghindari situasi
stigma tersebut ?
d. Bagaimana keadaan
anda setelah
menghindari situasi
35

stigma teresebut ?
e. Jika tidak, mengapa
anda merespon stigma
tersebut?
f. Bagaimana merespon
stigma tersebut?
2. Siapa yang mendorong anda
untuk menghindari situasi
stigma tersebut ?
Menghindari Provokasi 1. Apakah anda pernah
Tanggung terprovokasi atas stigma
Jawab yang diberikan kepada
anda?
a. Jika ya, dalam keadaan
apa anda terprovokasi ?
b. Mengapa anda dapat
terprovokasi?
c. Jika tidak, mengapa
anda tidak terprovokasi
oleh stigma tersebut ?
d. Bagaimana anda
mengatasi provokasi
stigma yang anda
terima?
2. Siapa yang membuat anda
terprovokasi atas stigma
yang anda terima?
Menyangkal Menyangkal 1. Apakah anda menyangkal
situasi stigma stigma yang diberikan
kepada anda?
36

a. Jika ya, bagaimana cara


anda menyangkal stigma
tersebut ?
b. Mengapa anda
menyangkal situasi
stigma tersebut ?
c. Bagaimana keadaan
anda setelah
menyangkal situasi
stigma tersebut ?
d. Dalam keadaan seperti
apa anda biasanya
menyangkal situasi
stigma tersebut ?
e. Jika tidak, bagaimana
merespon stigma
tersebut ?
f. Mengapa anda
merespon situasi stigma
tersebut?
2. Siapa yang mendorong anda
untuk menyangkal situasi
stigma tersebut ?
Mengabaikan Tidak peduli 1. Apakah anda tidak peduli
terhadap dengan stigma yang
stigma yang diberikan masyarakat ?
diterima a. Jika ya, mengapa anda
tidak peduli dengan
stigma tersebut ?
b. Mengapa pada akhirnya
37

anda tidak peduli


dengan stigma tersebut?
c. Bagaimana cara
mengabaikan stigma
tersebut?
d. Bagaimana keadaan
anda setelah tidak peduli
dengan stigma tersebut ?
e. Jika tidak, mengapa
anda peduli dengan
stigma tersebut ?
Dampak Dampak yang Kesehatan 1. Apakah stigma buruk
timbul mempengaruhi kesehatan fisik
dan psikologis anda?
a. Jika ya, seperti apa
bentuk pengaruhnya
terhadap kesehatan fisik
dan psikologis anda?
b. Kepada siapa anda
mengecek kesehatan
fisik dan psikologis
anda?
c. Dimana anda biasa
mengecek kesehatan
fisik anda?
d. Kapan anda biasanya
mengecek kesehatan
fisik atau psikologis
anda?
e. Mengapa anda perlu
38

mengecek kesehatan
fisik dan psikologis
anda?
f. Bagaimana menjaga
kesehatan fisik dan
psikologis anda?
g. Jika tidak, mengapa
tidak mempengaruhi?
h. Bagaimana anda bisa
tahu bahwa hal tersebut
tidak mempengaruhi?
Pencapaian 1. Apakah stigma yang
ditujukan kepada anda
memenuhi pemenuhan hak
dalam kehidupan anda di
masyarakat?
a. Jika ya, seberapa besar
pengaruhnya terhadap
pemenuhan hak anda?
b. Bagaimana keadaan
anda setelah terpenuhi
haknya?
c. Jika tidak, mengapa
tidak mempengaruhi
pemenuhan hak anda?
d. Bagaimana anda
memperjuangkan hak
anda?
e. Kapan anda merasa hak
anda tidak terpenuhi
39

akibat stigma tersebut?


Kepercayaan 1. Apakah stigma
diri mempengaruhi kepercayaan
diri anda?
a. Jika ya, seberapa besar
pengaruhnya?
b. Siapa yang paling
mempengaruhi
kepercayaan diri anda?
c. Dalam keadaan seperti
apa kepercayaan diri
anda menurun
(terpengaruh)?
d. Jika tidak, mengapa
tidak terpengaruh?
e. Bagaimana cara anda
menjaga kepercayaan
diri anda?
Pekerjaan
1. Apakah anda bekerja ?
a. Jika ya, bekerja di
bidang apa?
b. Jika tidak, apa aktivitas
anda ?
2. Apakah stigma tersbut
berpengaruh terhadap
pekerjaan anda?
a. Jika ya, apa
pengaruhnya?
b. Bagaimana pengaruhnya
40

terhadap pekerjaan
anda?
c. Jika tidak, megapa
tidak berpengaruh?
d. Bagaimana cara anda
agar tidak terpengaruh
oleh stigma tersebut?
41

Kriteria dan Keabsahan Data

Keabsahan data penelitian merupakan validitas serta relibilitas dalam penelitian kualitatif.
Proses keabsahan data menurut Guba dan Lincoln dalam Streubert dan Carpenter (1999:47)
yaitu dilakukan oleh peneliti dengan kembali ke partisipan masing-masing untuk
menanyakan apakah deksripsi yang mendalam telah menjelaskan pengalaman partisipan. Ada
empat kriteria dalam memperoleh keabsahan data yaitu derajat kepercayaan (credibility),
keteralihan (transferability), ketergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability)
(Afianti, 2008:140)

Credibility

Credibility dilakukan peneliti dalam penelitian ini dengan mengembalikan transkrip


wawancara pada setiap partisipan untuk mengecek keakuratan transkrip dengan cara
memberikan tanda cheek (V). Selanjutnya peneliti menanyakan kepada partisipan, apakah
mereka akan mengubah, menambah atau mengurangi kata-kata kunci atau tema yang
diangkat sesuai partisipan.

Dalam penelitian ini, peneliti menguji keabsahan data dengan memberikan kembali hasil
transkrip wawancara kepada informan ODHA di Rumah Cemara untuk di periksa. Jika
sudah sesuai informan memberikan tanda cheek (V).

Transferability

Salah satu cara yang dilakukan oleh seorang peneliti untuk menjamin transferability
penelitian ini adalah dengan cara menggambarkan tema-tema hasil penelitian kepada
partisipan lain yang tidak terlibat dalam penelitian dan memiliki karakteristik yang sama,
kemudian mengidentifikasi apakah partisipan tersebut menyetujui tema-tema yang
dihasilkan oleh peneliti. Dalam penelitian ini, peneliti tidak melakukan transferability
karena keterbatasan waktu. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan transferability dengan
cara menanyakan kembali kepada informan pendukung yaitu, pengurus Rumah Cemara
Bandung.

Confirmability
42

Confirmability mengandung pengertian bahwa sesuatu obyektif jika mendapatkan


persetujuan dari pihak-pihak lain terhadap pandangan, pendapat dan penemuan seseorang.
Confirmability dalam penelitian ini dilakukan dengan meminta konfirmasi kepada partisipan
terkait transkrip wawancara atau kisi-kisi hasil analisis tema yang telah disusun.

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan konfirmasi ulang mengenai hasil transkrip
wawancara kepada informan ODHA Rumah Cemara.

Dependability

Dependablitiy adalah kestabilan data pada setiap waktu dan kondisi. Hal ini dilakukan
dengan mengacu pada tingkat konsistensi peneliti dalam mengumpulkan data,
membentuk dan menggunakan konsep-konsep ketika membuat interpretasi untuk menarik
suatu kesimpulan.

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan dependability dengan cara menguji konsistensi
seluruh hasil transkrip wawancara apakah sudah sesuai dengan konsep-konsep dalam
penelitian ini untuk menarik kesimpulan.
43

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 PROFIL INFORMAN


4.1.1 Profil Informan 1 (Rifo Taufik)
Rifo Taufik (35 tahun) seorang mantan Pengguna NAPZA, direktur di sebuah
perusahaan bidang IT, mengidap HIV karena penularan lewat jarum suntik. Awal
menggunakan NAPZA pada tahun 1998 karena rasa penasaran. Keluarga dan teman-
teman selalu memberikan dukungan terhadap rifo. Wawancara dengan informan
bertempat di Rumah Cemara yang berada di Jalan Gegerkalong, Kota Bandung.
4.1.2 Profil Informan 2 (Eva)

4.1.3 Profil Informan 3 (Indra)


Indra (40 tahun) seorang mantan Pengguna NAPZA, sekarang menjadi pengurus dan
konselor di Rumah Cemara Bandung. Tahun 2003 ketahuan positif HIV karena sakit
dan dirawat di rumah sakit, tetapi bukan sengaja untuk check up test HIV.
Menggunakan narkoba sejak SMP, karena penasaran dan pengaruh lingkungan
pertemanan/sekolah. Keluarga dan teman-teman informan selalu support terhadap
informan, tetapi ia tidak pernah membuka status mengenai positif ODHA pada orang
yang tidak dekat dengan Indra. Wawancara dengan informan bertempat di Rumah
Cemara yang berada di Jalan Gegerkalong, Kota Bandung.
4.1.4 Profil Informan 4 (Kustantonio/Knio)
Kustantonio/Knio seorang pria berumur 41 tahun bekerja menjadi staff di Rumah
Cemara sejak tahun 2015. Positif HIV sudah kurang lebih 17 tahun yaitu sejak tahun
2002. Latar belakang informan sehingga bisa positif HIV adalah karena ia pecandu
NAPZA dan pertama kali mengguanakan saat SMP, karena diajak oleh teman
sekolah, bekerja sebagai pekerja seks komersial, dan seoranag LGBT. Informan
berasal dari Kota Bandung, namun pernah tinggal dan bekerja di Bali selama 6 tahun
sejak tahun 1998. Pertama check saat di Bali di suatu acara yang menyediakan salah
44

satu booth cek virus HIV, karena penasaran informan pun mencoba tes tersebut dan
positif. Namun, ia kembali melakukan tes virus HIV sampai 6 kali karena informan
tidak percaya bahwa positif HIV. Ia merasa tidak pernah sakit dan merasa sehat.

4.2 DESKRIPSI DATA HASIL PENELITIAN


Berdasarkan hasil yang diperoleh di lapangan , peneliti menemukan beberapa
temuan dalam kaitannya dengan manajemen stigma kelima ODHA dengan
pengalamannya terhadap stigma. Pengalaman tersebut mencakup stigma yang didapat,
manajemen stigma yang dilakukan, serta dampak yang timbul akibat sikap yang diambil.
Berikut penjelasan mengenai hasil temuan yang diperoleh peneliti di lapangan.
4.2.1 STIGMA
4.2.1.1 Bentuk
4.2.1.1.1 Moral
Stigma terjadi ketika seseorang tidak cocok dengan stereotip yang
diterima tentang bagaimana seharusnya orang ‘normal’ di lingkungan sosial.
Akibatnya, dugaan menyimpang dianggap memiliki ‘perbedaan’ yang tidak
diharapkan oleh kebanyakan masyarakat serta dinilai negatif oleh masyarakat
(Finn dan Sarangi, 2009:56). Sesuai dengan pernyataan tersebut, peneliti
menemukan bahwa ODHA seringkali dianggap sebagai seseorang dengan
perilaku menyimpang. Pernyataan tersebut juga sesuai dengan keempat orang
informan penelitian.
“Iya dianggap menyimpang dan dipanggil anak nakal sama penghuni
rumah cemara, dan sejak kecil juga sudah di cap sebagai anak nakal,”-
Rifo (S1W1J1).

Pernyataan Rifo juga dibenarkan oleh pengalaman informan lain yang


sama dianggap sebagai seseorang dengan perilaku menyimpang. Informan kedua
(Eva) menyatakan ia juga pernah mendapatkan anggapan sebagai seseorang
dengan perilaku menyimpang,
“Iya, pernah tentu karena latar belakang saya,” – Eva (S2W1J1)
45

Informan ketiga (Indra), menyatakan pernah dianggap demikian karena


dari dulu pun ia telah di cap sebagai anak nakal dan rebel,
“Iya waktu jaman sekolah memang berperilaku nakal atau rebel. Memang
dari dulu sudah berani mencoba hal-hal yang menyimpang seperti itu.
Karena dulu itu jaman sekolah kalau belum mencoba yang seperti itu
dianggap cupu atau ga laki.” – Indra (S3W1J1)

Sama halnya dengan tiga informan terakhir, informan keempat yang


pernah dianggap sebagai orang dengan perilaku menyimpang bahkan hingga saat
ini karena latar belakangnya,
“Ya, karena latar belakang saya sebagai pengguna NAPZA, pekerja seks
dan juga saya LGBT,” – Knio (S4W1J1)

Tabel 4.1 Alasan dianggap Menyimpang


Stigma Stigma Moral
Menyimpang Tidak Menyimpang
ODHA Seluruh informan Tidak ada masyarakat
dianggap dianggap menyimpang yang menganggap seluruh
menyimpang dengan alasan : informan tidak memiliki
perilaku menyimpang.
Latar belakang sebelum
menjadi ODHA

Stigma yang muncul tak hanya mengubah pandangan masyarakat saja, tapi
juga kerabat terdekat seperti keluarga,teman, rekan kerja (Nelson dkk, 2005:169).
Pernyataan tersebut cocok dengan pernyataan narasumber bahwa muncul
pandangan negatif pada lingkungan disekitar mereka akibat dari perilaku mereka
yang dianggap menyimpang.
Orang-orang yang menganggap rifo sebagai orang yang berperilaku tidak
baik adalah teman-temannya sendiri termasuk teman komunitasnya di rumah
cemara.
“Kebanyakan adalah temen, salah satunya penghuni rumah cemara,” –
Rifo (S1W1J3).
46

Senada dengan Rifo, Eva juga menyatakan bahwa ia sering mendapat


stigma terutama dari warga sekitar yang sering melihat Eva berkumpul dengan
laki-laki yang sedang mabuk.
“Terutama warga di sekitar rumah ya, karena teh Eva kan mainnya sama
cowok, sering nongkrong di depan sama cowok. Walaupun mereka gak liat
secara langsung teh Eva mabok, ngerokok sih iya, tapikan ya namanya
orang apalagi kan orangtua pemikirannya akan beda ketika satu cewek
dilingkungan cowok semua lagi pada mabok semua, pasti jelek lah,” –
Eva (S2W1J3)

Menurut Indra, orang yang paling menganggapnya menyimpang justru


guru-guru disekolahnya, seperti misalnya guru di sekolah dan peraturan sekolah.
Guru yang tahu dengan latar belakang Indra, menganggap bahwa Indra adalah
anak yang nakal dan menyimpang. Uniknya, orang tua Indra tidak terlalu
menganggap ia menyimpang, menurut ia mau bagaimana pun sebagai anak tidak
bisa dihakimi langsung oleh orang tua.
“Otoritas diatas saya, seperti peraturan di sekolah, guru sekolah. Di
sekolah guru suka bilang “ini orang bandel”. Kalau orang tua tidak
terlalu menganggap seperti itu, mau gimana pun ya namanya anak sendiri
gak bisa langsung di judge begitu saja.” – Indra (S3W1J3)

Sedangkan untuk Knio, ia merasa bahwa dirinya sendirilah yang sadar


akan dirinya yang menyimpang,
“Pertama kali dari diri sendiri merasa saya berperilaku menyimpang.” –
Knio (S4W1J3).
Tabel 4.2 Pemberi Stigma
Pemberi Rifo Eva Indra Knio
Stigma
Rekan/ teman  - - -
Komunitas  - - -
Lingkungan sekitar    -
Orang tua -  - -
Diri sendiri - - - 
47

Mengenai respon yang ditunjukkan, dari keempat responden saat ditanyai


mengenai bagaimana respon mereka terhadap pandangan masyarakat yang
menganggap mereka menyimpang, informan Rifo menyatakan bahwa dengan
tidak memperdulikannya. Karena menurutnya dirinya sendiri bukanlah orang
yang bisa dibilang berperilaku baik.
“Tidak peduli, karena saya juga berkaca bahwa saya bukan orang yang
benar.” – Rifo (S1W1J6).

Lain halnya dengan Rifo, Informan Eva sempat merasa sedih mendapati
respon masyarakat yang demikian, namun ia berpikir bahwa masyarakat yang
menstigma seperti itu adalah mereka yang tidak tahu akan informasi,
“Awalnya sih sedih, tapi ya kalau dipikir-pikir mereka kayak gitu ya
karena mereka gak tahu, jadinya mending the eva kasih tau aja yang bener
jadinya. Teh Eva kasih tau, ngobrol,” – Eva (S2W1J6).

Berbeda dengan Eva, Indra lebih menunjukkan sikap tidak peduli, karena
ia memiliki kebebeasan untuk berteman dengan siapa saja tanpa memedulikan
pandangan dari masyarakat. Selain itu, ia lebih suka menghindari orang-orang
yang menganggapnya berperilaku menyimpang.
“Tidak peduli karena saya lebih nyaman berteman dengan yang saya mau,
tahu kalau perbuatan saya ini salah tapi ya gimana lagi. Mencoba
menghindar dari orang-orang yang menganggap saya menyimpang,” –
Indra (S3W1J6).

Knio, merespon pandangan masyarakat dengan cara yang sama seperti


Indra. Ia lebih memilih bungkam dan mengabaikan apa yang dikatakan
masyarakat meskipun menurutnya, judgement yang disampaikan masyarakat
hanya ia dengar dari orang ke orang.
“Lebih sering diam, biasanya mereka tidak pernah judgement secara
langsung, dari orang ke orang.” – Knio (S4W1J5).

mayoritas dari mereka semua menyatakan bahwa mereka tidak peduli dan
lebih baik diam tidak menanggapi.
Tabel 4.3 Respon terhadap Stigma
Respon Rifo Eva Indra Knio
48

Sedih -  - -
Diam - - - 
Tidak Peduli  -  
Menyetujui  - - -
Menghindar - -  -
Mengedukasi -  - -

4.2.1.1.2 Fisik
Stigma masyarakat bahwa HIV/AIDS adalah penyakit yang sangat mudah
ditularkan. Dalam sebuah penelitian terdapat narasumber perempuan yang
menyatakan bahwa ODHA harus di karantina dan harus disediakan tempat
sendiri, di kota dimana yang tinggal hanyalah ODHA. Karena mereka tidak mau
menyentuh, duduk, atau makan dengan ODHA (Fair dan Brackett. 2008:176).
Dalam beberapa kasus, seringkali ODHA ditolak untuk melakukan kontak
fisik dengan orang lain karena ketakutan akan tertular virus HIV. Pernyataan ini
juga sesuai dengan keadaan di lapangan, informan Indra menyatakan bahwa
stigma secara fisik seperti ditolak untuk bersentuhan pernah ia alami, namun tidak
terlalu sering karena ia merupakan orang yang sulit untuk terbuka ataupun
bercerita mengenai statusnya pada orang lain.
“Iya pernah, tapi tidak terlalu sering karena saya jarang open status pada
orang lain” – Indra (S3W1J7).

Namun, berbeda dengan pernyataan ketiga informan lain, mereka


mengaku bahwa mereka tidak pernah mengalami pengalaman ditolak untuk
bersentuhan secara fisik. Menurut Rifo, ia tidak pernah mendapatkan stigma
secara fisik karena ia menganggap bahwa HIV bukan lah penyakit yang dapat
menular melalui jabatan tangan. Sehingga ia tidak memberitahu perihal
penyakitnya kepada orang banyak.
“Tidak pernah, karena saya jarang buka status kecuali ke keluarga.
karena untuk teman tidak terlalu penting untuk open status, lagian tidak
akan menular karena jabat tangan.” – Rifo (S1W1J7).
49

Senada dengan apa yang dikatakan Rifo, Eva juga merasa bahwa ia tidak
pernah ada yang memberikan stigma secara fisik dengan contoh seperti menolak
untuk berjabat tangan, ia merasa biasa saja.
“Ngga, atau mungkin Teh Evanya yang gak merasa, Teh Eva merasa biasa
aja.– Eva (S2W1J7).

Knio juga menyatakan hal yang serupa dengan kedua informan, Menurut
Knio, ia tidak pernah mendapat penolakan untuk bersentuhan secara fisik karena
mungkin masyarakat tidak tahu statusnya yang positif mengidap HIV.
“Tidak, karena masyarakat mungkin tidak tahu status saya.” – Knio
(S4W1J7).

Tabel 4.4 Stigma Fisik


Respon Rifo Eva Indra Knio

Pernah - -  -
Tidak Pernah   - 

Dapat disimpulkan bahwa satu dari empat informan yang diwawancarai,


hanya satu diantaranya yang pernah mengalami stigma secara fisik. Akan tetapi
meskipun demikian, respon Indra terhadap perlakuan stigma secara fisik yaitu
tidak peduli.
“Saya lebih ke tidak peduli terhadap orang yang seperti itu.” – Indra
(S3W1J8).

Selain mendapatkan stigma secara fisik yaitu secara terang-terangan


ditolak untuk bersentuhan, ODHA juga tak jarang menerima stigma berupa kata-
kata yang menyakitkan atau memojokkan. Seperti pengakuan Indra, ia mengaku
bahwa ia pernah mendapat judgement kata-kata dari masyarakat. Kata-kata
meremehkan seperti bertanya mau jadi apa kedepannya jika berperilaku dan
memiliki keadaan seperti itu, selain itu kata-kata menyakitkan seperti “sampah
masyarakat” dan menyuruh indra untuk “mati saja” pun pernah dilontarkan
kepada Indra.
50

“Iya pernah, seperti dikatain “lu mau jadi apa” terus “sampah masyarakat”
“mati aja lu” kata-kata yang seperti itu pernah dilontarkan orang pada
saya.” – Indra (S3W1J19).

Berbeda dengan yang lainnya, menurut ketiga informan selain Indra,


mereka tidak pernah mendapatkan stigma buruk melalui kata-kata.
Tabel 4.5 Stigma Kata-kata
Respon Rifo Eva Indra Knio

Pernah - -  -
Tidak Pernah   - 

4.2.1.1.3 Sosial
Erving Goffman mendefinisikan stigma sebagai suatu fenomena saat
seorang individu dengan atribut tertentu yang sangat didiskreditkan oleh
masyarakatnya, ditolak ataupun dikucilkan sebagai akibat dari atribut tersebut
(Finn dan Sarangi, 2009:56). Pernyataan tersebut membuktikan bahwa maih
sangat banyak perlakuan masyarakat yang cenderung mendiskriminasi pengidap
HIV, contohnya adalah pengucilan seorang yang positif HIV dari lingkungannya.
Namun, berdasarkan pemaparan seluruh informan, mereka merasa tidak
pernah dikucilkan oleh masyarakat karena statusnya yang positif mengidap HIV
karena mereka tidak pernah membuka status mereka secara sukarela pada
masyarakat. Justru kebanyakan dari mereka mengaku bahwa lebih mereasa
dikucilkan karena citranya dulu sebagai orang yang menyimpang dan tidak taat
aturan di masyarakat,
Menurut Rifo, ia pernah di kucilkan oleh masyarakat ketika ia
menggunakan NAPZA. Namun, saat ia positif HIV btidak pernah dikucilkan.
“Kalau mengenai penyakit HIV belum pernah, kalau penggunaan jarum
suntik pernah.” – Rifo (S1W1J14).

Berbeda dengan pernyataan Rifo, Eva justru merasa bingung pada


pengucilan apa yang masyarakat berikan pada dirinya, karena Eva lebih banyak
bekerja dan jarang ada di rumah.
51

“Bingung yah, karena teh eva juga banyak kerja, jarang di rumah, ga
sempet nanya-nanya begitu. Ya bentuknya apapun ngucilin, atau
ngomongin yang jelek-jelek yaudah ambil positif aja” – Eva (S2W1J14).

Indra merasa dikucilkan di lingkungan masyarakat akibat dari apa yang ia


lakukan di masa lalunya.
“Iya, satu sisi saya merasa dikucilkan.” – Indra (S2W1J14)

Dan menurut penuturan Knio, ia tidak pernah merasa dikucilkan di


lingkungan masyarakat.
“Tidak Pernah” – Knio (S2W1J14)
Tabel 4.6 Alasan Pengucilan
Stigma Stigma Sosial
Dikucilkan Tidak Dikucilkan
ODHA Dua dari empat ODHA 1. Satu ODHA merasa
dikucilkan dikucilkan dengan alasan: bingung karena terlalu
sibuk bekerja
Latar belakang sebelum 2. Satu ODHA merasa
menjadi ODHA tidak pernah
dikucilkan

Menurut informan, latar belakang masyarakat melakukan tindakan


pengucilan terhadap diri mereka, karena masyarakat mengetahui latar belakang
informan, kurang edukasi,
Masyarakat melakukan hal tersebut terhadap rifo karena menurutnya
mereka mengetahui perilaku rifo yang tidak baik.
“Mungkin karena mereka mengetahui kelakuan saya.” – Rifo (S1W1J16).

Eva menganggap mereka yang mengucilkan dirinya tidak memahami HIV


itu sendiri.
“Ya itu dia, mungkin karena mereka kurang informasi” – Eva (S1W1J16).

Menurut Indra, masyarkat melakukan hal tersebut karena masyarakat tidak


percaya terhadap Indra. Setelah perbuatan yang ia lakukan dahulu, seperti saat
menjadi pengguna NAPZA.
52

“Karena masyarakat tidak percaya terhadap saya. Setelah perbuatan saya


dulu, seperti saat menjadi pengguna NAPZA masyarakat jadi kurang
percaya terhadap saya.” – Indra (S1W1J16).

4.2.1.2 Komunikasi
4.2.1.2.1 Label
Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) seringkali mendapat penghakiman
negatif dari masyarakat. Stigma adalah lingkaran setan yang memandang ODHA
sebelah mata, menghentikan mereka untuk bersuara dan mencari bantuan karena
mereka takut dilabeli sebagai orang yang “buruk” atau “pendosa” (Usdin dalam
Jacquees dkk, 2010:393). Pernyataan tersebut diperkuat dengan apa yang terjadi
terhadap Informan Rifo. Rifo mendapatkan label sebagai anak nakal di
lingkungan masyarakat.
“Contohnya anak nakal, bandel, kalo Bahasa sunda mah ‘budak baong’”-
Rifo (S1W1J20).

Pernyataan Rifo diperkuat lagi dengan label yang berkembang pada


Informan lainnya. Stigma HIV/AIDS yang negatif memengaruhi interaksi sosial
dengan keluarga (Nelson dkk, 2005:169). Berdasarkan label yang berkembang,
Informan Eva merasakan bahwa masyarakat tidak memberikan label pada Eva
sendiri, melainkan label berkembang terhadap keluarganya sendiri, terkhusus
anak Informan Eva.
“Ya, yang teh Eva tahu orang-orang tahunya teh Eva ODHA, kalau soal
stigma lebih ke anak-anak bukan ke teh Eva kalau sekarang.” - Eva
(S2W1J13).

Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) seringkali mendapat penghakiman


negatif dari masyarakat (Usdin dalam Jacquees dkk, 2010:393). Pernyataan ini,
didukung dengan pengalaman dari Informan-infroman peneliti. ODHA
mendapatkan label dari masyarakat, seperti pengalaman Informan Indra.
“Iya saya pernah dilabeli oleh orang lain” - Indra (S3W1J19).
53

Pengalaman mendapatkan stigma dari masyarakat juga di rasakan oleh


Informan lainnya, Informan Eva mengaku orang yang memberikan label pada
anak-anak Eva adalah orang tua murid di tempat anaknya sekolah.
“Yang memberikan label ke anak-anak itu ibu-ibu di sekolahan.”- Eva
(S2W1J14).

Sama halnya dengan pengalaman Infoman Rifo. Orang yang memberikan


label anak nakal terhadap Rifo adalah teman, keluarga, serta orang yang mengenal
Rifo.
“Teman saya, keluarga, dan orang yang pernah bersosialisasi dengan
saya.” - Rifo (S1W1J21).

Stigma yang muncul tak hanya mengubah pandangan masyarakat saja, tapi
juga kerabat terdekat seperti keluarga,teman, rekan kerja (Nelson dkk, 2005:169).
Pernyataan diatas diperkuat dengan pengalaman yang dialami oleh Informan Eva,
dimana stigma berkembang tidak hanya kepada Eva sendiri sebagaai ODHA
namun, berkembang kepada anggota keluarganya terkhusus anak-anak Eva.
Menuurut Eva sendiri stigma berkembang karena kurangnya pemahaman
masyarakat mengenai HIV itu sendiri.
“Mereka kurang informasi, padahal kan jaman sekarang tuh informasi tuh
mudah sekali” - Eva (S2W1J15).

Kebanyakan ODHA merasa bahwa masyarakat masih tidak dapat


menerima orang yang hidup dengan menderita HIV/AIDS (Fongkaew dkk,
2013:73). Berdasarkan pernyataan diatas, terdapat respon yang bervariatif
terhadap stigma yang mereka dapat. Seperti stigma yang dialami oleh Informan
Rifo, dia tidak memperdulikan stigma yang dia dapat dari masyarakat.
“Saya tidak terlalu memperdulikan, ya ini saya. jadi saya terima saja.” -
Rifo (S1W1J23).

Berbeda dengan Informan yang menerima stigma yang didapat Indra


menerima stigma yang diberikan kepada dia, karena label itu bisa Ia dapatkan
berdasarkan perilaku Indra yang memang nakal.
54

“Ya mau gimana lagi, mereka bisa memberi label seperti itu juga dari
perilaku saya sendiri yang memang bisa dibilang ‘nakal’.” - Indra
(S3W1J23).

Dapat dikatakan bahwa kondisi ODHA di masyarakat yang mana masih


tidak dapat diterima, memiliki respon yang berbeda-beda bagi ODHA yang
menerima stigma itu sendiri. Stigma diri akan mucul ketika seseorang sadar akan
stigma yang mereka dapat. Mereka akan menyetujui stigma tersebut dan
menerapkannya pada diri sendiri (Lindayani dkk, 2018:7).
Stigma tidak ditolak, namun muncul kesadaran bahwa, munculnya stigma
tersebut memang benar adanya berdasarkan latar belakang keadaan mereka
sampai menjadi ODHA. Secara garis besar, ODHA dengan keadaan seperti ini
mengalami stigma dalam bentuk stigma diri. Seperti yang dialami oleh Informan
Knio. Knio mengaku bahwa ia tidak pernah mendapatkan label dari masyarakat,
justru ia yang sadar diri dan tahu akan dirinya sendiri.
“Kalau dikasih label sih tidak, saya sendiri yang tahu mengenai diri saya
jadi dari diri sendiri sih labelnya.” - Knio (S4W1J15).
Tabel 4.7 Label dari masyarakat

Informan label
Rifo Anak Nakal

Eva Anak Nakal

Indra Anak Nakal

Knio Tidak Dilabeli


55

4.2.1.2.2 Tanda
Ketika orang berpikir tentang penyakit mental, obesitas, tuli ataupun
pengidap HIV/AIDS ada kecenderungan untuk fokus hanya pada atribut yang
terkait dengan kondisi ini (Lindayani dkk, 2018:708). Berdasarkan pernyataan
diatas dapat diberikan gambaran bahwa ODHA memiliki pandangan yang
berfokus terhadap kondisi yang mereka alami, merujuk kepada penyakit yang
mereka idap.
Struktur kognitif dan perilaku yang terkait dengan stigma, seperti identitas
sosial yang didevaluasi, prasangka, stereotip, diskriminasi, dan pengabaian
(Meisenbach, 2010:269). Tidak hanya ada fokus khusus terhadap penyakit yang
diidap oleh ODHA, namun ODHA juga mendapatkan diskriminasi berupa bentuk
kalimat. Berdasarkan pengalaman informan Knio, ia seringkali disinggung dan
dipertanyakan statusnya oleh orang lain seperti, “hati-hati dia HIV”. Dan
singgungan masyarakat mengenai itu sangat menyinggung bagi Knio
“Iya, paling sering disinggung oleh orang lain seperti “kamu HIV ya?”
“hati-hati dia HIV” kalimat seperti itu membuat saya tersinggung.” -
Knio (S4W1J16).

Stigma publik bermanifestasi dalam bentuk penghindaran, membuat jarak


secara sosial (Lindayani dkk, 2018:7). Tidak jauh dengan pengalaman yang
didapat oleh informan Eva. Stigma buruk berupa kalimat juga pernah didapatkan
oleh Eva. Kalimat yang paling sering ia dapatkan adalah larangan untuk
berdekatan dengan Eva.
“Sering, yang sering di denger sih kayak “jangan deket-deket” gitu sih.” -
Eva (S2W1J17).

Kalimat meremehkan seperti bertanya mau jadi apa kedepannya jika


berperilaku dan memiliki keadaan seperti itu, selain itu kalimat menyakitkan
seperti “sampah masyarakat” dan ucapan “mati saja” pun pernah dilontarkan
kepada Informan Indra.
“Saya pernah dengar seperti kalimat ‘lu mau jadi apa’ terus ‘sampah
masyarakat’ ‘mati aja lu’.” - Indra (S3W1J25).
56

Stigma yang muncul tak hanya mengubah pandangan masyarakat saja, tapi
juga kerabat terdekat seperti keluarga,teman, rekan kerja. Stigma HIV/AIDS yang
negatif memengaruhi interaksi sosial dengan keluarga, teman, mitra seksual,
rekan kerja, dan kesehatan professional (Nelson dkk, 2005:169). Bagi Informan
Rifo sendiri, kalimat-kalimat yang dilontarkan kepadanya, banyak muncul dari
teman-temanya apalagi setelah mengetahui status dia sebagai HIV Positif.
“Teman-teman di komunitas saat mengetahui bahwa saya positif HIV.” -
Rifo (S1W1J26).

Hal serupa sama dialami oleh Informan Eva. Stigma secara kata-kata ia
dapatkan dari teman dekatnya dan tetangga. Karena perilaku Eva sendiri yang
sudah terlihat saat ia sering berkumpul dengan laki-laki yang mabuk-mabukan.
“Teman dekat dan tetangga.” Ujar Eva (S2W1J18).

Dalam menanggapi stigma buruk berupa kalimat yang diberikan, sebagian


besar informan pada akhirnya menerima stigma yang diberikan. Untuk sampai ke
fase menerima, para informan juga mengalami masa-masa penyesuaian yang tidak
mudah. Informan Rifo merasa bersalah atas kejadian tersebut, namun pada
akhirnya ia dan temannya baik-baik saja.
“Awalnya ya kesal dan ada rasa bersalah, tapi akhirnya kami baik-baik
saja” – Rifo (S1W1J29)

Informan Indra menanggapi kalimat tersebut awalnya tidak mudah, namun


semua kaliamat tersebut dilontarkan bukan gara-gara mereka tapi dari perilaku
Indra sendiri. Orang yang sedang emosi kadang sulit untuk mengontrol kalimat
yang akan mereka ucapkan.
“Responnya awalnya ya ga gampang untuk menerima kata-kata tersebut,
tapi akhirnya ya mau gimana lagi, semua juga bukan gara-gara mereka
tapi dari perilaku saya sendiri. Orang sedang emosi kadang susah untuk
mengontrol kalimat” – Indra (S3W1J29)

Disamping itu, informan Eva menyatakan Eva tidak terlalu menanggapi


perkataan orang-orang dan membuktikannya dengan prestasi nyata.
57

“Bebas, itu kan pilihan. Setiap orang punya sikap, pemikiran, dan
persepsinya masing-masing. Teh Eva sih yang penting jalanin hidup aja,
buktiin sama semua orang kalau teh Eva bisa” – Eva (S2W1J29).

Tabel 4.8 Stigma berupa kalimat

Stigma Stigma Berbahaya


Menerima kata-kata buruk
ODHA Semua informan pernah mendapatkan stigma berupa kata
– kata seperti :
 “Jangan deket-deket”
 “Hati-hati dia HIV”
 “Sampah masyarakat”
 “Mau jadi apa?”
 “Mati aja”

4.2.1.2.3 Tanggung jawab


Menurut Herek (1999) terdapat beberapa alasan utama mengapa HIV
sangat stigmatisasi. Pertama, mereka yang terinfeksi dianggap bertanggung
jawab atas status mereka karena infeksi dapat dicegah. Perasaan tidak
bertanggung jawab dirasa dan diakui oleh Informan peneliti. Informan Indra
dianggap sebagai orang yang tidak bertanggung jawab karena perilaku ia dahulu
sehingga ia dianggap sebagai orang yang tidak bertanggung jawab.
“Otomatis Iya dengan perilaku saya dahulu saya dianggap sebagai orang
yang tidak bertanggung jawab.” - Indra (S3W1J30).
Bagi Informan Rifo, dia merasa dirinya tidak bertanggung jawab sendiri
karena selalu mendahulukan heroin ketimbang kewajiban lainnya termasuk dalam
hal urusan pekerjaan, sehingga ia dianggap sebagai orang yang tidak bertanggung
jawab.

“Faktor utamanya karena addict terhadap heorin, saya sering


mendahulukan heroin dari apapau. sebagai contoh saya punya tanggung
jawab di perusahaan saya abaikan, saya punya tanggung jawab sebagai
anak daya abaikan. yang penting heorin lebih dulu.” - Rifo (S1W1J31).
58

Stigma yang muncul tak hanya mengubah pandangan masyarakat saja,


melaiankan juga kerabat terdekat seperti keluarga,teman, rekan kerja (Nelson
dkk, 2005:169). Terdapat pandangan yang mengacu keapada tanggung jawab
dari pihak keluarga maupun Informan itu sendiri. Seperti yang terjadi pada
Informan Indra, ia dianggap sebagai orang yang tidak bertanggung jawab oleh
orang tuanya karena menurut orang tua, seharusnya tugas indra sebagai seorang
anak itu belajar dengan baik, dan harus memberi contoh yang baik pada adik-
adiknya.
“Saya dianggap tidak bertanggung jawab oleh orangtua saya karena
menurut mereka kan tugas anak itu harusnya belajar, harus memberi
contoh yang baik sama adik-adik saya. Bukan malah melakukan hal-hal
buruk seperti penggunaan narkotika dan sebagainya.” - Indra
(S3W1J31).
Hal serupa dialami juga oleh Informan Rifo dimana dia mendapatkan
tanggapan tidak bertanggung jawab dari keluarganya.

“Yang nganggap saya tidak bertanggung jawab, orang tua sih.” - Rifo
(S1W1J32).
Ia mulai dianggap sebagai orang yang tidak bertanggung jawab khususnya
dalam keluarga pada saat sedang masih mengkonsumsi NAPZA.

“Pada pertama menjadi pecandu NAPZA” - Rifo (S1W1J33).

Tanggapan tidak bertanggung jawab tidak hanya datang dari keluarga,


namun masyarakat juga turut memberikan tanggapan tersebut. Sesuai dengan apa
yang dialami oleh Informan Indra.
“Di keluarga dan di lingkungan sekitar saya.” - Indra (S3W1J34).

Dan respon dari Informan sendiri, menerapkan bentuk stigma diri. Dimana
Informan menerima stigma yang mereka dapatkan dari masyarakat. Stigma diri
akan mucul ketika seseorang sadar akan stigma yang mereka dapat. Mereka akan
menyetujui stigma tersebut dan menerapkannya pada diri sendiri (Lindayani dkk,
2018:7). Respon Informan Indra terhadap tanggapan masyarakat bahwa dia
59

adalah orang yang tidak bertanggung jawab yaitu keras kepala dan tidak ingin
diatur. Waktu itu Indra memiliki prinsip sendiri yang membuat ia berjuang
sendirian, padahal prinsip tersebut belum tentu benar dimata orang lain.
“Dulu saya keras kepala, merasa “ya udah ini jalan hidup yang saya
pilih, ga usah atur-atur hidup saya”. Waktu dulu saya punya prinsip
sendiri, ketika prinsip itu tidak cocok dengan orang lain secara umum
seringkali kecewa dan memilih untuk berjuang sendirian, padahal belum
tentu juga prinsip saya benar.” - Indra (S3W1J35).
Sama halnya dengan yang dialami oleh Informan Rifo. Rifo sadar bahwa
perbuatan yang Ia lakukan tidak bertanggung jawab.

“Ya sudah tau, karena memang itu kesalahan saya.” - Rifo (S1W1J35).

Namun bentuk rasa tidak bertanggung jawab disini juga dialami oleh
Informan Knio dengan bentuk yang berbeda. Bukan tidak merasa bertanggung
jawab terhadap output yang ada karena latar belakang HIV Positifnya, namun
Knio pernah merasa menjadi orang yang tidak bertanggung jawab ketika ia
sedang berada dalam tahap denial, yaitu belum bisa menerima statusnya sebagai
positif pengidap HIV. Ia merasa sangat tidak bertanggung jawab terutama pada
pasangannya saat itu karena ia tidak memberitahunya dan terus melakukan
hubungan seks dalam kondisi ia yang sudah terverifikasi positif HIV.
“Ya, saat saya denial dan belum menerima sebagai positif HIV, terutama
pada pasangan saya saat itu saya merasa tidak bertanggung jawab sama
dia.” - Knio (S4W1J21).

Pengungkapan status HIV seseorang merupakan sebuah keputusan yang


sangat sensitif, pengungkapan ini dapat menjadi sesuatu yang sangat
menyakitkan atau sangat membantu (Poindexter dkk, 2010:367). Perasaan rasa
bertanggung jawab tidak sepenuh nya dialami oleh Informan Eva. Menurut Eva,
Ia tidak pernah berpikir kearah bertanggung jawab atau tidak, dan ia juga tidak
pernah dianggap sebagai orang yang tidak bertanggung jawab karena Ia berfokus
membuktikan dengan prestasi yang bisa ia raih dengan keadaan Ia merupakan
ODHA.
60

“Ngga, dulu ga kepikiran sebagai orang yang bertanggung jawab. Teh


Eva membuktikan dengan cara menjadi pelatih sepak bola dan bisa pergi
keluar negeri.” - Eva (S2W1J21).

Tabel 4.9 Stigma Tidak Bertanggung Jawab

Stigma Stigma Berbahaya


Bertanggung Jawab Tidak Bertanggung
Jawab
ODHA Sebanyak 1 dari 4 informan Sebanyak 3 dari 4 informan
dianggap bertanggung dianggap tidak bertanggung
jawab dengan alasan : jawab denga alasan :

 Membuktikan  Mengonsumsi
dengan prestasi NAPZA
 Mencuri
 Melakukan
hubungan seksual
dengan pasangan
ketika informan
berstatus HIV
Positif

4.2.1.2.4 Berbahaya

Stigma terhadap HIV/AIDS di kalangan masyarakat adalah penyakit yang


sangat mudah ditularkan. Sebuah penelitian terdapat narasumber perempuan yang
menyatakan bahwa ODHA harus di karantina dan harus disediakan tempat
sendiri, di kota dimana yang tinggal hanyalah ODHA. Karena mereka tidak mau
menyentuh, duduk, atau makan dengan ODHA (Fair dan Brackett. 2008:176).
HIV dianggap sebagai penyakit yang berbahaya, anggapan ini kemudian
menimbulkan stigma terhadap ODHA sebagai orang yang berbahaya. Anggapan
ini dibenarkan oleh sebagian informan peneliti. Indra dan Rifo adalah informan
yang pernah dianggap sebagai orang yang berbahaya dan dijauhi orang-orang di
lingkungan sekitarnya.

“Iya, sampai dulu ga mau lagi ada yang deketin saya” - Indra
(S3W1J36).
61

Informan Rifo dan Indra dianggap berbahaya karena ia positif HIV dan
pengguna NAPZA dengan dosis tinggi. Informan Rifo Ia dianggap sebagai orang
yang berbahaya karena kecanduannya terhadap zat yang efeknya tinggi dan
berbahaya, sehingga membuat teman-temannya tidak nyaman pada dirinya.

“Karena saya menggunakan zat yang efeknya tinggi atau berbahaya. jadi
mereka merasa dirinya tidak” - Rifo (S1W1J37).

Sedangkan berdasarkan penuturan Indra Ia dianggap sebagai orang yang


berbahaya karena kecanduannya terhadap NAPZA, selain itu ia pernah mencuri
uang dan barang keluarganya untuk dijual dan hasilnya untuk beli narkoba, hal
tersebut yang membuat Indra dianggap sebagai orang yang berbahaya. Namun,
saat ia menjadi ODHA ia berpikir tidak pernah dianggap sebagai orang yang
berbahaya.

“Sebenarnya karena kecanduan terhadap NAPZA nya, sampai pernah


dulu waktu saya masih sebagai pecandu saya mencuri uang dan barang
keluarga saya untuk dijual dan hasilnya untuk beli narkoba. Tapi kalau
karena ODHA sepertinya tidak, tapi ga tau juga kalau ada yang merasa
begitu di belakang saya” - Indra (S3W1J37).

Di samping itu dua informan lainnya yaitu, Eva dan Knio menyatakan
bahwa mereka tidak merasa dianggap berbahaya. Eva menyatakan bahwa dirinya
tidak mengetahui apakah dirinya dianggap berbahaya atau tidak karena ia tidak
pernah mendengar sebutan itu secara langsung.

“Ngga tahu juga, gak pernah denger” - Eva (S2W1J37).

Sedangkan Knio tidak pernah dianggap dan menganggap dirinya sendiri


sebagai orang yang berbahaya karena ia merasa dirinya adalah orang yang baik
dan tidak pernah membahayakan orang lain.

“Tidak, karena saya orangnya baik tidak pernah membahayakan orang


lain” - Knio (S4W1J36)
Informan Eva merasa dirinya tidak dianggap berbahaya karena Ia tidak
pernah ambil pusing dengan anggapan orang-orang. Eva menekankan karena ia
62

sudah dicap buruk oleh masyarakat, maka jangan lagi diperlihatkan sisi buruknya.
Harus memperlihatkan sisi yang positif dan baik agar mereka sadar dengan
sendirinya.
“Bebas sih itumah, gimana orang mau menganggap apa, mereka punya
pandangan, keputusan, dan persepsi masing-masing. Ya terserah gitu, tapi
yang jelas ya kita yang udah di cap buruk jangan diperlihatkan lagi yang
buruk-buruknya, perlihatkan yang positif, biar mereka sadar sendiri,
wajar sih tapi awal-awal mah, tapi yang penting mah dibuktiin aja,
jalanin aja hidup. Karena orang-orang perlu bukti” - Eva (S2W1J37).

Tabel 4.10 Stigma Berbahaya

Stigma Stigma Berbahaya


Berbahaya Tidak Berbahaya
ODHA Sebanyak 2 dari 4 informan Sebanyak 2 dari 4 informan
dianggap berbahaya dengan tidak dianggap berbahaya
alasan : dengan alasan :

 ODHA pengguna  Membuktikan


NAPZA dengan prestasi
 ODHA mencuri  Menganggap
dirinya sebagai
pribadi yang baik

Pihak-pihak yang seringkali menganggap ODHA berbahaya adalah


lingkungan pertemanan, rumah dan masyarakat. Rifo dianggap sebagai orang
yang berbahaya di rumah atau di lingkungan pertemanan Indra dianggap sebagai
orang yang berbahaya di rumah atau di lingkungan masyarakat.

“di lingkungan pertemanan” – Rifo (S1W1J39)


Sedangkan Indra dianggap sebagai orang yang berbahaya di rumah atau di
lingkungan masyarakat.

“di rumah atau di lingkungan masyarakat” – Indra (S1W1J39)


Keduanya dianggap berbahaya sejak menggunakan NAPZA. Rifo
menanggapi stigma sebagai orang yang berbahaya dengan menerimanya karena ia
63

menyadari menyadari mengapa ia dianggap orang yang berbahaya dan Ia


memaklumi temannya yang menganggap ia berbahaya.

“Saya mengerti mereka kenapa menjadi seperti itu, karena perbuatan saya
yang addict terhadap narkoba sudah berlebihan, jadi saya memaklumi
mereka” - Rifo (S1W1J41).

Sedangkan Indra tidak takut terhadap cap “berbahaya” karena ia


menyadari bahwa ini merupakan konsekuensi dari perilaku Indra menggunakan
NAPZA. Indra sudah melewati proses penerimaannya, ia juga tidak bisa
menyalahkan mereka karena ini merupakan konsekuensi dari perbuatan ia dulu.

“Saya tidak takut akan cap “berbahaya” itu, karena ya itu konsekuensi
saya dari menggunakan NAPZA. Orang mau berkata apapun ya sudah,
karena saya sudah melewati proses penerimaannya. Saya juga tidak bisa
menyalahkan mereka karena ini merupakan konsekuensi dari perbuatan
saya dulu” -Indra (S3W1J41).

4.2.1.2.5 Sikap
Stigma yang berkembang di masyarakat terkait HIV/AIDS mempengaruhi
sikap dari ODHA itu sendiri. Menurut teori SMC, pesan stigma terkait fisik,
sosial, dan moral yang berasal dari lingkungan sekitar dapat mempengaruhi sikap
individu terhadap penerapan stigma pada individu itu sendiri (Meisenbach,
2013:276). Stigma yang berasal dari lingkungan masayarakat mempengaruhi
penerapan stigma pada diri sendiri. Secara umum informan pernah merasa buruk
atas keadaan mereka saat ini.
Informan Rifo menyatakan dirinya pernah mengalami depresi karena
kelakuannya. Ia sempat berhenti mengkonsumsi NAPZA karena tertangkap oleh
polisi, sehingga ia harus di rehabilitasi. Setelahnya Rifo berhasil berhenti
menggunakan NAPZA namun karena rasa penasaran, Rifo terjerumus lagi hingga
menyebabkan perusahaannya bangkrut.
“Pernah, malah mengalami depresi. karena saya pernah menggunakan
NAPZA kemudian saya berhenti tetapi malah terjerumus lagi. dan itu
menghancurkan segalanya termasuk karir saya di perusahaan”- Rifo
(S1W1J42).
64

Informan Eva yang merupakan seorang ibu dan single parent merasa
buruk dan sedih saat mengetahui dirinya positif HIV. Pikiran Eva terfokus pada
anak-anaknya. Karena dulu ia berpikir kalau orang HIV hidupnya tidak akan
lama. Ia merasa sedih karena takut meninggal lalu memikirkan keberlangsungan
hidup anaknya.
“Ya, karena Teh Eva merasa sedih posisinya Teh Eva udah punya anak.
Jadi pikirannya jauh-jauh, orang sakit orang kan dulu mah berpikiran
orang HIV gaakan lama lagi bakal meninggal. Tapi sekarang sih Teh Eva
percaya, Tuhan kasih sakit pasti ada obat. Dulu sih sedihnya takut Teh
Eva meninggal terus anak-anak gimana” - Eva (S2W1J42).

Informan Indra juga sempat merasa buruk atas keadaanya saat ini.
“Ya, saya sempat merasa buruk atas keadaan saya” - Indra (S3W1J42).

Sedangkan pandangan berbeda disampaikan oleh informan Knio. Ia


menyatakan bahwa penerapan stigma pada dirinya sendiri, atau perasaan buruk
atas dirinya sendiri tergantung situasi dan kondisi yang sedang ia alami. Knio
mengaku pernah merasa buruk atas keadaan dirinya yaitu saat memburuknya
kondisi fisik dan psikisnya. Akan tetapi pada saat keadaan normal (kondisi fisik
dan psikis tidak menurun), ia tidak merasa buruk karena ia sadar bahwa apa yang
ia lakukan merupakan pilihannya sendiri.
“Ya, saat kondisi fisik dan psikis saya buruk. Tapi pada saat biasa saja
tidak merasa buruk, karena semua yang saya lakukan itu merupakan
pilihan saya sendiri” - Knio (S4W1J42).

Selain mempengaruhi stigma pada diri sendiri, pesan stigma juga


mempengaruhi sikap individu terhadap persepsi publik (Meisenbach, 2013:276).
Sikap keempat informan seragam, mereka tidak peduli dengan stigma yang
diberikan masyarakat. Dalam menghadapi stigma, informan Rifo mengutarakan
atau menyalurkan perasaannya melaui orang-orang atau kegiatan tertentu. Rifo
mengutarakan perasaannya kepada teman dekatnya, selain itu ia lebih sering
menyalurkan ke hobby seperti main bola, tinju, dll.
“Kadang-kadang ke temen, cuma lebih banyak disalurin ke hobby. kaya
main bola, tinju dll.” - Rifo (S1W1J45).
65

Sementara itu, ketiga informan lainnya memilih untuk tidak mengutarakan


perasaanya dikarenakan berbagai macam alasan. Eva merupakan orang yang sulit
percaya pada orang lain. Maka ia sulit untuk menceritakan kondisi dia. Ia hanya
curhat pada Allah saat salat.
“Mengutarakan perasaan, Teh Eva mah susah deket sama orang. Untuk
cerita-cerita, gimana ya susah ya ga bisa percaya 100% sama orang, jadi
curhatnya sama Allah pas salat, pas tahu status spiritual Teh Eva makin
dalem, karena Teh Eva merasa hanya yang diatas yang bisa bantu” - Eva
(S2W1J45).

Indra tidak suka mengutarakan perasaan terkait stigma yang diterima


karena Indra tidak suka membuka statusnya pada orang lain.
“Biasanya saya pendam sendiri, karena saya jarang memberi tahu status
saya ke orang lain kecuali teman-teman dekat saya saja” - Indra
(S3W1J45).

Sedangkan Knio mengatakan bahwa ia tidak memiliki tempat untuk


mengutarakan perasaannya, karena ia merasa apabila ia mencurahkan isi hatinya
pada orang lain, ia seringkali tidak mendapat saran yang ia inginkan.
“Tidak ada, seringkali kalo saya curhat sama oranglain saya tidak
mendapatkan saran yang saya inginkan.” - Knio (S4W1J45).

Dalam menghadapi stigma, informan Rifo meyatakan dirinya pernah


berada di titik jenuh dalam menghadapi stigma ketika ia sudah berhenti
mengkonsumsi NAPZA.
“Ketika saya sudah berhenti mengkonsumsi NAPZA” – Rifo (S1W1J46)
Berbeda dengan Rifo, ketiga informan lainnya menyatakan bahwa mereka
tidak pernah merasa jenuh dalam menghadapi stigma. Informan Eva tidak pernah
merasa berada di dalam titik jenuh dalam menghadpai stigma apalagi sampai
berpikir untuk bunuh diri, begitupun dengan informan Indra dan Knio.
“Titik jenuh, ngga sampe sih, apalagi kepikiran untuk bunuh diri ngga ada
sama sekali” – Eva (S2W1J46)
66

Tabel 4.10 Penerapan Stigma Buruk pada Diri Sendiri

Informan Alasan merasa buruk


Rifo Perusahaannya bangkrut akibat NAPZA dan
status HIV Positifnya
Eva Khawatir akan keberlangsungan hidup
anaknya karena stasus HIV positifnya
Indra Karena penggunaan NAPZA

Knio Merasa buruk sewaktu-waktu ketika kondisi


fisik atau psikisnya menurun

4.2.1.2.6 Pandangan masyarakat


Penyakit HIV menimbulkan berbagai macam stigma masyarakat. Stigma
masyarakat yang menganggap infeksi HIV/AIDS merupakan akibat dari
pelanggaran norma dan perilaku amoral yang tidak dapat diterima oleh
masyarakat (Li, dkk. 2016:292). Pandangan masyarakat ini kemudian
menimbulkan berbagai perlakuan masyarakat terhadap ODHA. Informan Rifo
menyatakan respon masyarakat atau teman-teman rifo setelah mengetahui rifo
mengidap HIV bermacam-macam.
“Biasa saja, sebagian ada yang menjauh bahkan tidak mau menerima
telpon dari saya” – Rifo (S1W1J48).

Informan Indra menyatakan bahwa respon dari masyarakat saat mereka


mengetahui keadaan Indra saat ini yaitu masih ada bentuk penolakan, terutama
orang yang mayoritas (seperti orang dengan keadaan sehat) karena orang yang
senasib seperti Indra sebagai kaum minoritas akan selalu dicap walaupun belum
tentu minoritas yang salah.
“Masih ada bentuk penolakan dari masyarakat, terutama dari kalangan
orang yang mayoritas karena kami sebagai kaum minoritas akan selalu
dicap walaupun belumtentu minoritas yang salah” – Indra (S3W1J48)

Menurut informan Knio, masyarakat yang tahu mengenai statusnya


seringkali menunjukkan respon terkejut. Sedangan informan Eva Ia tidak ambil
67

pusing untuk memikirkan respon dan pandangan orang lain terhadap dirinya, ia
hanya fokus pada orang-orang terdekatnya. Memberikan edukasi pada mereka
agar tidak merasa takut lagi.
Berdasarkan penuturan mayoritas informan, pandangan masyarakat tidak
mempengaruhi diri para ODHA. Informan Rifo menyatakan pandangan
masyarakat tidak mempengaruhi diri Rifo pribadi.
“Tidak, karena saya bukan orang rumahan lagi pula teman saya banyak”
– Rifo (S1W1J49).

Eva menuturkan di masa awal mengetahui status HIV, pandangan orang-


orang sangat mempengaruhi dirinya, namun sekarang Eva sudah tidak
terpengaruh dengan pandangan masyarakat.
“Dulu mungkin iya, tapi sekarang sih ngga, yang penting teh Eva buktiin”
– Eva (S2W1J49).

Knio merasa bahwa pandangan masyarakat tidak pernah mempengaruhi


dirinya karena ia memiliki pengetahuan yang mumpuni dan selalu memperbanyak
pengetahuan mereka, sehingga tidak mudah terpancing. Hal itu juga merupakan
cara agar ia tidak mudah terpengaruh dengan pandangan masyarakat. Ia jua
memaklumi dan tahu bahwa masyarakat belum terbuka pemikirannya mengenai
masalah HIV sehingga banyak dari mereka yang ‘sok tahu’.
“Tidak terpengaruh, karena pengetahuan saya banyak. Sebenarnya
masyarakat pemikirannya belum terbuka mengenai masalah HIV,
sehingga mereka banyak yang ‘sok tahu’.Cara agar tidak terpengaruh
yaitu dengan memperbanyak pengetahuan saya, sehingga saya bisa
membalikan kata-kata mereka”- Knio (S4W1J49).

Pandangan masyarakat terhadap orang dengan HIV/AIDS sebenarnya


beragam, dapat berbentuk dukungan ataupun penolakan. Rifo mendapatkan
penolakan dan dukungan dari masyarakat pada saat ia masuk rehabilitasi.
“Ketika masuk rehabilitasi selalu ada yang support ada juga yang
penolakan” – Rifo (S1W1J52).
68

Informan Indra mendapatkan penolakan dari masyarakat pada saat ia


masih menjadi pecandu narkotika. Sekarang pada saat ia positif HIV tidak banyak
yang tahu karena ia jarang membuka statusnya pada orang lain.
“Sebenarnya lebih sering mendapat penolakan pada saat saya masih
menjadi pecandu. Kalau saat mereka tahu status saya positif HIV
sepertinya tidak banyak yang tahu karena saya jarang open status pada
orang lain yang tidak dekat dengan saya” – Indra (S3W1J52).

Informan Knio dan Eva menyatakan bahwa mereka mendapatkan


dukungan dari masyarakat. Eva mendapatkan dukungan dari masyarakat saat ia
akan pergi ke Prancis dengan anak yang tinggal di dekat rumahnya. Banyak orang
yang mendoakan untuk kesuksesannya. Mulai dari situ orang-orang sudah mulai
percaya, terbuka, memberi dukungan dan mulai bisa melihat Eva dari sisi
positifnya.
“Dapat dukungan pas merkea tahu Teh Eva mau ke Prancis, karena Teh
Eva kan bawa anak kesana, orang-orang mendoakan semoga sehat, lancar
sampe sana. Dari situ teteh merasa wah orang-orang sudah percaya,
terbuka, memberi dukungan, bisa melihat dari sisi positifnya kalau Teh
Eva itu gak buruk terus, kira-kira waktu 2016. Tahun 2018 ke Meksiko,
jadi teteh berusaha untuk menghasilkan sesuatu seiap tahunnya. Sebelum
itu ikutan marathon di Jakarta untuk temen-temen HIV, bikin video
dokumenter, donasinya buat temen-temen ODHA, banyak dukungan dari
temen-temen di Bandung, dari komunitas” – Eva (S2W1J52).

Sedangkan Knio, ia selalu mendapat dukungan dan tidak pernah ada yang
menolaknya. Ia mengaku dukungan yang ia dapatkan lebih banyak dari orangtua
dan komunitas yang ia ikuti.
“Dukungan lebih banyak dari orantua dan komunitas” – Knio
(S4W1J52).
Tabel 4.11 Penerimaan Masyarakat

Informan Penerimaan Masyarakat


Penolakan Dukungan
ODHA Keempat informan  Rifo mendaatkan
mengalami penolakan dukungan saat
dari kalangan masyarakat melakukan rehabilitasi
saat pertama kali  Eva mendapatkan
diketahui berstatus HIV dukungan saat akan
69

positif pergi ke luar negeri


untuk mendampingi
anak didiknya
(prestasi)
 Knio mendapatkan
dukungan dari
komunitasnya

4.2.1.2.7 Pandangan keluarga


Stigma terkait HIV/AIDS kerap kali membuat para ODHA diperlakukan
tidak baik, dikucilkan, atau bahkan dibuang dari keluarganya (Fongkaew, dkk.
2013:73). Stigma yang muncul tak hanya mengubah pandangan masyarakat saja,
tapi juga kerabat terdekat seperti keluarga. Stigma HIV/AIDS yang negatif
memengaruhi interaksi sosial dengan keluarga

Tabel 4.12 Dukungan

Informan Penerimaan Masyarakat


Penolakan Dukungan
ODHA Keempat informan  Rifo mendaatkan
mengalami penolakan dukungan saat
dari kalangan masyarakat melakukan rehabilitasi
saat pertama kali  Eva mendapatkan
diketahui berstatus HIV dukungan saat akan
positif pergi ke luar negeri
untuk mendampingi
anak didiknya
(prestasi)
 Knio mendapatkan
dukungan dari
komunitasnya

4.2.1.2.8 Pandangan rekan

4.2.2 MANAJEMEN STIGMA


70

4.2.2.1 Menerima
Salah satu aspek manajemen stigma adalah menerima stigma yang diberikan oleh
masyarakat. Individu yang mengalami stigma dapat menerima ekspektasi publik
mengenai stigma dan penerapannya pada diri mereka sendiri, memasukkannya ke
dalam rasa diri mereka. Dengan kata lain, individu yang menerima stigma
menentukan bahwa aspek stigmatisasi adalah bagian dari identitas mereka (pekerjaan
atau pribadi) (Meisenbach, 2013: 278).
Sesuai dengan penyataan tersebut, peneliti menemukan beberapa ODHA yang
menerima stigma masyarakat atas diri mereka. Pernyataan tersebut sesuai dengan
pemaparan dua informan peneliti (Rifo dan Eva).
“Iya, karena memang saya seperti itu.” – Rifo (S1W1J63)
.
Untuk alasan ia menerima stigma ia memaparkan bahwa ia menerima stigma yang
ditujukan padanya karena ia sadar dirinya memang seperti itu sehingga ia tidak
mempermasalahkannya.
“Iya karena saya sadar memang saya sepeerti apa yang mereka katakana.” –
Rifo (S1W1J64).

Sama dengan Rifo, Eva menerima stigma yang diberikan padanya. Karena ia
berpikir saat seseorang dapat menerima keadaan dirinya maka apapun yang akan
terjadi kedepannya akan lancar.
“Saya terima, sudah ikhlas, Teh Eva sih berpikir begini ya, yang penting kita
terima dulu, nanti kedepannya akan lancar.” – Eva (S2W1J63).

Berbanding terbalik dengan dua pernyataan Eva dan Rifo, dua orang narasumber
lainnya mengaku bahwa mereka tidak menerima stigma yang diberikan masyarakat
pada mereka.
“Saya tidak menerima stigma yang ditujukan pada saya.” – Indra (S3W1J63).

Indra juga menjelaskan kenapa ia tidak menerima stigma dari masyarakat. Ia tidak
menerima stigma tersebut karena ia sudah belajar untuk mulai bisa menerima keadaan
sebagai ODHA, dan pada saat positif HIV ia sudah ‘bersih’ dan berhenti dari
penggunaan NAPZA. Selain itu, ia bekerja sebagai konselor mengenai isu HIV, jadi
mudah bagi Indra untuk melewatinya dan tidak terpengaruh oleh stigma.
71

“Karena saya sudah belajar untuk mulai bisa menerima keadaan saya sebagai
ODHA, dan pada saat saya positif HIV saya memang sudah berhenti dari
penggunaan NAPZA dan bekerja sebagai konselor, jadi saya mudah melewatinya
dan tidak terpengaruh oleh stigma.” – Indra (S3W1J64).

Sedangkan narasumber lain yang bernama Knio mengatakan “Tidak, karena


namanya stigma ya cap jelek siapa sih yang mau menerima itu.” – Knio (S4W1J63).
Knio mengaku bahwa ia tidak pernah menerima stigma yang ditujukan padanya,
karena menurutnya tidak akan ada orang yang mau untuk menerima cap jelek.
Cara penolakan stigma dari dua narasumber yang tidak menerima stigma
masyarakat berbeda. Indra mengatakan caranya menunjukan penolakan terhadap
stigma yang yaitu dengan selalu berpikiran positif, bahwa ia bisa melewatinya.
“Selalu berpikiran positif, bahwa saya bisa melewati ini. Baik melewati keadaan
saya, maupun stigma dari masyarakat.” – Indra (S3W1J65).

Berbeda dengan Indra, menurut Knio bentuk penolakan terhadap stigma adalah
dengan tidak meresponnya, menambah wawasan, dan menyebarkan informasi benar
lebih luas sesuai dengan penuturannya:
“Dengan tidak merespon stigma, menambah wawasan dan menyebarkan
informasi yang benar leih luas, kebetulan saya suka menjadi narasumber
mengenai HIV, seksual orientasi, gender, saya kasih tau semuanyan dengan
tujuan agar masyarakat lebih paham mengenai isu ini.” – Knio (S4W1J65).

Dengan munculnya stigma di masyarakat, sempat membuat dua orang dari empat
narasumber merasa bahwa mereka tidak baik karena keadaan mereka. Depresi yang
dialami Rifo ini muncul pertama kali saat ia mengetahui dirinya positif HIV. Ia
menuturkan bahwa saat pertama kali dikatakan positif HIV dirinya berpikir bahwa ia
tidak bisa menikah dan akan memiliki umur yang tidak panjang. Sampai saat
diwawancara, Rifo masih belajar untuk tidak terus menerus berpikiran seperti itu.
“Saya mengalami depresi, pada saat saya mengetahui bahwa saya terkena HIV
saya sempat berpikiran bahwa saya tidak akan menikah, terkadang ada pemikiran
bahwa umur saya tidak akan lebih panjang dari orang tua saya. dan sampai
sekarang saya masih dalam tahap belajar.” – Rifo (S1W1J66).
72

Sebagai seorang manusia biasa, Indra sempat merasa dirinya tidak baik dan sedih
saat pertama kali ia mengetahui bahwa dirinya positif HIV. Namun seiring
berjalannya waktu dengan keadaan Indra yang positif HIV bisa membuat Indra
menjadi seseorang yang lebih baik.
“Sebagai manusia biasa, saya sempat merasa sedih pada awal-awal tahu positif
HIV, tapi seiring berjalannya waktu justru dengan keadaan saya yang seperti ini
membuat saya menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Kayaknya, kalau saya tidak
terkena HIV, saya tidak akan menjadi pribadi saya saat ini.” – Indra (S3W1J66).

Berbeda dengan Indra dan Rifo, Eva dan Knio merasa bahwa dirinya baik-baik
saja bahkan sampai saat ini. Eva merasa apa yang ia alami saat ini membawa ia ke
jalan yang lebih baik, dan membuat ia bisa berprestasi seperti saat ini.
“Saat ini sih merasa baik. Toh teh Eva bisa membuktikan sama semua orang, dan
mungkin ini jalan yang diberikan Tuhan hingga teh Eva bisa jadi kayak gini
sekaraang.” – Eva (S2W1J66).

Knio juga mengatakan bahwa dirinya merasa baik-baik saja. Menurut Knio ia
merasa baik-baik saja dan tidak pernah merasa tidak baik atas keadaannya saat ini
“Tidak, sampai saat ini saya merasa baik-baik.”- Knio (S4W1J66)

Tabel x Manajemen Stigma: Menerima


Stigma Menerima Stigma
Menerima Tidak Menerima
ODHA Sebanyak 2 dari 4 Sebanyak 2 dari 4
narasumber menerima narasumber tidak menerima
stigma yang diberikan oleh stigma yang diberikan
masyarakat dengan alasan: masyarakat dengan alasan:
1. Menyadari bahwa 1. Karena sudah
dirinya memang menerima keadaan
seperti apa yang sebagai ODHA dan
masyarakat katakan. sudah memiliki
2. Sebuah pandangan pengetahuan yang
agar mempermudah cukup.
73

perjalanan 2. Tidak ada orang


kedepannya yang mau diberikan
cap jelek.

4.2.2.2 Menghindar
Strategi ini mungkin paling tepat ketika individu didiskreditkan (Goffman, 1963).
Menghindari termasuk: menyembunyikan atribut stigma, menghindari situasi stigma,
menjauhkan diri dari stigma, menghilangkan perilaku atau atribut stigma, dan
membuat perbandingan sosial yang menguntungkan (Meisenbach, 2013: 280).
4.2.2.2.1 Menghindari situasi stigma
Dalam kasus ini keempat narasumber tidak ada yang menghindari stigma
yang masyarakat berikan kepada mereka. Diantara keempat narasumber, tidak ada
yang menyembunyikan atribut stigma atau menghindari situasi dimana mereka
akan mendapatkan. Atribut stigma dan situasi yang memungkinkan mereka
mendapatkan stigma dalam hal ini adalah pekerjaan di Rumah Cemara. Saat
masyarakat tahu mereka bekerja di Rumah Cemara maka langsung akan dibilang
bahwa mereka adalah ODHA.
Dari empat orang narasumber, tiga orang diantaranya mengaku bahwa
mereka tidak pernah merasa menghindari stigma yang diberikan masyarakat.
Mereka lebih cenderung tidak peduli dengan stigma yang ada di masyarakat.
“Dibilang menghindar sih tidak, tapi saya lebih ke tidak peduli terhadap
stigma yang orang berikan.” – Indra (S3W1J67).
“Tidak, karena tidak terlalu saya pedulikan.” – Rifo (S1W1J67).
“Gapernah menghindari stigma.” – Eva (S2W1J67).

Berbeda dengan ketiga narasumber sebelumnya yang cenderung tidak


peduli. Knio tidak menghindari stigma yang diberikan padanya, ia hanya cukup
menjawab dengan mengembalikan pertanyaan dan memberi informasi yang benar
pada orang yang memberi stigma terhadapnya. Ia bahkan merasa memiliki cukup
pengalaman dan pengetahuan.
“Tidak menghindari sebenarnya, ya kalau ada stigma yang diberikan pada
saya saya cukup menjawab dengan membalikan dan beri informasi yang
74

benar pada orang tersebut. Bahkan sekarang saya merasa cukup banyak
pengalaman dan pengetahuan yang saya punya.” – Knio (S4W1J67).

Respon yang dilakukan Eva terhadap stigma yang diberikan oleh orang-
orang disekitarnya adalah dengan bekerja. Menunjukan bahwa sebenarnya
menjadi ODHA bukan berarti tidak bisa melakukan apa-apa.
“Merespon stigma teteh mah kerja, apalagi pekerjaannya kan
menginformasikan perihal ODHA ke anak-anak bola, ya masa aja teteh
nya ga terima.” – Eva (S2W1J68).

Menurut penuturan Indra, sebenarnya ia merespon terhadap stigma yang


diberikan oleh masyarakat. Namun respon tersebut diberikan secara tidak
langsung. Menurutnya terserah apa yang orang katakan selama tidak mengganggu
kehidupannya.
“Sebenarnya terserah orang mau berkata apapun tentang saya. Selama
tidak mengusik kehidupan saya pribadi.” – Indra (S3W1J68).

Walaupun Indra tidak memberikan respon secara langsung mengenai


stigma yang ia dapatkan. Indra memberikan respon terhadap stigma dengan cara
memberikan informasi yang benar kepada orang yang memberi stigma tersebut.
Karena kebanyakan orang yang memberi stigma tidak didasarkan oleh informasi
yang baik.
“Dengan memberikan informasi yang benar kepada orang yang memberi
stigma tersebut, karena biasanya orang tersebut tidak well informed dan
‘sok tahu’.” – Indra (S3W1J69).

Dibalik mereka yang tidak menghindari stigma yang diberikan masyarakat,


dorongan dari diri sendiri berperan penting bagi mereka. Seperti Rifo dan Indra
dengan jawaban mereka yang serupa.
“Diri saya sendiri.” – Rifo (S1W1J70).
“Diri saya sendiri.” – Indra (S3W1J70).

Namun, bagi Knio teman yang senasib dan memiliki status yang sama
adalah orang-orang yang paling sering mendorongnya untuk menghindari stigma.
75

“Dari teman yang senasib dan punya status yang sama seperti saya.” –
Knio (S4W1J70).

Tabel x Manajemen Stigma: Menghindari Situasi Stigma


Stigma Menghindari Situasi Stigma
Menghindari Tidak Menghindari
ODHA Tidak ada narasumber yang Sebanyak 3 dari 4
menghindari stigma narasumber tidak
masyarakat menghindari stigma yang
diberikan pada mereka,
dengan alasan:
1. Dua orang
narasumber
menuturkan bahwa
mereka tidak peduli
dengan stigma yang
diberikan.
2. Dua orang
narasumber
merespon stigma
dengan memberikan
informasi seputar
HIV dan ODHA.

4.2.2.3 Menghindari tanggung jawab


Menghindari tanggung jawab untuk stigma yaitu mengakui stigma terhadap
seorang individu, tetapi berupaya untuk mengubah pemahaman publik tentang stigma
dengan menggunakan lembaga atau mengontrol individu yang mengalami stigma.
Strategi ini dapat melibatkan klaim provokasi (Meisenbach, 2013: 282).
4.2.2.3.1 Provokasi
76

Dalam hal ini tiga dari empat narasumber pernah merasa terprovokasi
dengan stigma yang diberikan masyarakat pada diri mereka. Rifo mengatakan
bahwa ia tidak pernah merasa terprovokasi dengan stigma yang ditujukan pada
dirinya.
“Tidak.” – Rifo (S1W1K71).

Sedangkan Indra, Eva dan Knio sempat terprovokasi dengan stigma yang
diberikan masyarakat namun mereka menunjukan respon yang berbeda-beda
terhadap orang yang membuat mereka merasa terprovokasi.
Sebagai seorang ibu Eva sempat terprovokasi dengan stigma yang
diberikan kepada anaknya. Sampai ia hampir mendatangi ibu-ibu yang
memberikan stigma tersebut untuk mengajak mereka berdiskusi perihal stigma,
ODHA, dan HIV.
“Sempat, manusiawi lah punya rasa kesel dan marah, tapi da ya gimana
lagi udah mah iya, masa marah-marah. Dulu sempet pas anak saya
dijauhin di TK, saya sempet mau dateng ke sekolah, lebih mau ke ngajak
disksui ibu-ibu disana, tapi karena kata kepala sekolahnya gausah jadi
yaudah lah.” – Eva (S2W1J71).

Indra mengaku sempat terprovokasi atas stigma yang diberikan, tapi dalam
hal yang positif.
“Iya saya sempat terprovokasi, tapi dalam hal yang positif bukan negatif.”
– Indra (S3W1J71).

Ia juga menuturkan bahwa ia terprovokasi atas stigma yang diberikan pada


saat mereka yang memberi stigma tidak memiliki informasi yang akurat atau tidak
didasari oleh informasi yang benar.
“Pada saat mereka yang memberi stigma tidak memiliki informasi yang
akurat atau sok tahu.” – Indra (S3W1J72).

Kemudian Indra juga mengatakan bahwa ia dapat terprovokasi karena apa


yang mereka bicarakan atas stigma tersebut belum tentu benar, membuat ia ingin
memberi informasi yang benar pada mereka yang memberikan stigma.
“Karena apa yang mereka bicarakan atas stigma tersebut belum tentu
benar, membuat saya ingin memberi informasi pada mereka.” – Indra
(S3W1J73).
77

Bagi Indra cara dalam mengatasi provokasi stigma yaitu dengan memberi
informasi yang benar pada orang-orang yang memberi stigma, dengan begitu
dapat mengurangi rasa provokasi negatif pada dirinya.
“Dengan memberi informasi yang benar pada orang-orang yang memberi
stigma dapat mengurangi rasa provokasi yang negatif pada diri saya.” –
Indra (S3W1J74).

Menurut Indra juga orang yang tidak well informed atau tidak memiliki
informasi yang baik adalah orang yang membuat ia terprovokasi atas stigma yang
diberikan padanya.
“Orang yang tidak well informed.” – Indra (S3W1J75).

Berbeda dari Eva yang sudah hampir akan mendatangi ibu-ibu dan
mengajak mereka berdiskusi terkait stigma yang diberikan pada anaknya.
Menurut Knio, ia pernah terprovokasi atas stigma yang diberikan padanya, namun
ia hanya mengabaikan dan tidak menunjukan reaksi apapun.
“Iya pernah terprovokasi, tapi tidak bereaksi.” – Knio (S4W1J71).

Sedangkan Rifo tidak pernah terprovokasi karena ia tidak memperdulikan


stigma yang berada di masyarakat.
“Karena saya tidak terlalu memperdulikan.” – Rifo (S1W1J72).

Cara Rifo sendiri untuk tidak terprovokasi adalah dengan tidak


memperdulikan stigma tersebut dan tidak dimasukan ke hati apa yang orang
bicarakan.
”Omongan orang tidak saya masukan ke hati. Jadi ya sudah saya tidak
memperdulikan.” – Rifo (S1W1J74).

Tabel x Manajemen Stigma: Provokasi


Stigma Menghindari Situasi Stigma
Menghindari Tidak Menghindari
ODHA Sebanyak 3 dari 4 Hanya 1 dari 4 narasumber
narasumber mengaku mengaku tidak terprovokasi
terprovokasi dengan alasan: dengan alasan:
78

1. Karena anaknya Tidak mempedulikan


yang menerima perkataan masyarakat.
stigma.
2. Karena mendapat
stigma dari orang
yang tidak memiliki
pengetahuan yang
cukup.

4.2.2.4 Menyangkal
Substrategi menyangkal untuk mengurangi stigma yang bersifat ofensif dengan
menyoroti bagaimana stigma tidak merepotkan atau merugikan orang lain
(Meisenbach, 2013: 283).
4.2.2.4.1 Menyangkal situasi stigma
Berdasarkan wawancara yang sudah dilakukan, tiga orang narasumber
mengakui jika mereka memang menyangkal stigma yang diberikan masyarakat.
Namun satu orang lainnya mengaku bahwa ia tidak pernah menyangkal stigma
apapun yang diberikan masyarakat.
Rifo yang tidak pernah menyangkal stigma yang diberikan padanya. Ia
tidak pernah ambil pusing dengan stigma masyarakat terhadapnya. Ia hanya
membiarkan apapun yang dipikirkan oleh masyarakat.
“Tidak.” – Rifo (S1W1J76).
”Biarkan saja, mereka bebas mau berpikiran seperti apapun.” – Rifo
(S1W1J77).

Sosok yang membuat Rifo untuk tidak memperdulikan stigma yang


masyarakat berikan adalah dirinya sendiri.
“Diri saya sendiri.” – Rifo (S1W1J81).
79

Bagi Eva yang sudah menjadi ibu rumah tangga dan sudah memiliki anak,
ia cenderung lebih tidak peduli terhadap stigma untuknya, yang ia pikirkan yang
utama adalah anaknya. Karena anaknya pun mendapatkan stigma dari
lingkungannya, terutama di sekolah.
“Gapeduli yang penting buat Teh Eva sama anak dulu.” – Eva
(S2W1J76).

Cara Eva untuk menyangkal stigma adalah dengan ibadah dan fokus
dengan pekerjaannya yang padat. Ia juga menanamkan pada dirinya bahwa gosip-
gosip yang beredar akan menghilang dengan sendirinya.
“Cara menyangkalnya, lewat ibadah dilakuin walaupun bolong-bolong.
Kerja juga padet, pergi pagi pulang malem, capek. Walaupun ya selalu
ada kepikiran apakah oranng- orang masih ngomongin jelek soal Teh
Eva? Tapi yaudah lah da gossip mah cuman sebentar nanti juga hilang.” –
Eva (S2W1J77).

Eva mengalihkan perhatinnya untuk lebih produktif dibandingkan


memikirkan hal-hal yang hanya memberikan tekanan. Karena menurut Eva tidak
ada manfaat untuknya saat memikirkan stigma yang ada di masyarakat.
“Karena ya buat apa kalau dipikirin makin pusing, malah jadi stress.” –
Eva (S2W1J78).

Untuk dapat menyangkal stigma yang masyarakat berikan, Eva selalu


menjadikan anak-anaknya sebagai sumber semangat. Kemudian Kang Adit dan
Teh Eli dari Rumah Cemara yang selalu mendampingi dan membukakan jalan
untuk Eva yang pada akhirnya bisa menjadi seperti sekarang.
“Anak-anak, Kang Adit, dan Teh Eli.” – Eva (S2W1J81).

Sementara, sama dengan Eva, Indra juga mengakui bahwa ia juga


menyangkal stigma yang diberikan padanya.
“Iya saya menyangkal stigma yang diberikan.” – Indra (S3W1J76).

Cara Indra dalam menyangkal stigma tersebut yaitu dengan memberikan


informasi dan pengetahuan yang ia miliki terhadap orang yang memberi stigma
tersebut. Karena orang yang memberi stigma biasnya tidak didasari oleh informasi
yang cukup sehingga mereka memberi stigma pada orang-orang seperti Indra.
80

“Dengan meberikan informasi yang benar terhadap orang yang memberi


stigma tersebut, biasanya orang memberi stigma karena mereka tidak
mempunyai informasi yang cukup atau tidak well informed.” – Indra
(S3W1J77).

Alasan yang diutarakan Indra pada peneliti saat melakukan wawancara


hampir mirip dengan Eva, ia tidak mau ambil pusing dengan apa yang dikatakan
orang mengenai dirinysa.
“Karena sebenarnya Saya tidak peduli apa yang orang katakan mengenai
saya.” – Indra (S3W1J78).

Keadaan Indra setelah menyangkal situasi stigma baik-baik saja. Karena


sebenarnya ia tidak peduli terhadap orang yang memberikan stigma tersebut,
respon Indra malah ingin memberi tahu informasi yang benar mengenai isu HIV
pada mereka yang memberi stigma tersebut.
“Saya sebenarnya tidak peduli mau orang bicara apapun tentang saya,
malah saya ingin memberi tahu informasi yang benar pada mereka yang
memberikan stigma tersebut yang belum tentu benar.” – Indra
(S3W1J79).

Indra sendiri akan menyangkal stigma-stigma yang ada di masyarakat saat


stigma itu langsung tertuju pada dirinya.
“Saat stigma tersebut tertuju pada saya..” – Indra (S3W1J80).

Bagi Indra, hal yang mendorong dirinya untuk menyangkal stigma yang
diberikan masyarakat adalah dirinya sendiri.
“Diri saya sendiri.” – Indra (S3W1J81)

Knio mengaku bahwa ia menyangkal stigma yang diberikan masyarakat


dengan tujuan agar mereka tidak terus menerus memberikan stigma.
“Iya menyangkal, dengan tujuan agar orang-orang tidak memberikan
stigma tersebut.” – Knio (S4W1J76).

Sama dengan Indra, cara Knio untuk menyangkal stigma tersebut adalah
dengan memberikan informasi dan pengetahuan yang benar pada orang yang
memberkan stigma.
81

“Dengan memberikan informasi dan pengetahuan yang benar pada


mereka.” – Knio (S4W1J77).

Tidak jauh berbeda dengan Indra. Knio juga cenderung tidak peduli
dengan stigma yang diberikan masyarakat untuknya. Terlebih lagi ia tidak ingin
memperpanjang hal yang terjadi di masyarakat.
“Perasaan puas sih tidak, menganggap mungkin stigma jelek dia memang
untuk saya tapi karena tujuan saya untuk tidak memperpanjang hal itu jadi
ya udah biarkan.” – Knio (S4W1J79).

Bagi Knio diri sendiri adalah motivasi utama untuk mendorong dirinya
menyangkal stigma yang ada.
“Diri sendiri.” – Knio (S4W1J81).

Tabel x Manajemen Stigma: Menyangkal


Stigma Menyangkal Situasi Stigma
Menyangkal Tidak Menyangkal
ODHA Sebanyak 3 dari 4 Hanya 1 dari 4 narasumber
narasumber mengaku mengaku tidak menyangkal
menyangkal stigma dengan stigma dengan alasan:
alasan: Tidak peduli dengan
1. Dua orang perkataan masyarakat
responden
mengatakan tidak
mau ambil pusing
dengan perkataan
masyarakat
2. Agar tidak mendapat
stigma terus-
menerus

4.2.2.5 Mengabaikan
82

Individu yang mengalami stigma dapat berusaha untuk menyangkal dan


menentang persepsi publik tentang stigma dengan mengabaikan (atau tampak
mengabaikan) momen-momen komunikasi stigma (Meisenbach, 2013: 285).
4.2.2.6 Tidak peduli terhadap stigma yang diterima
Hasil dari wawancara menunjukan bahwa hanya Eva yang masih sedikit peduli
dengan stigma yang muncul di masyarakat. Kepedulian Eva pada stigma ini dalam
bentuk ingin meluruskan informasi mengenai HIV.
“Ada peduli, tapi lebih ke pengen meluruskan informasi kalau HIV tuh gamudah
menular.” – Eva (S2W1J82).

Sedangkan Rifo memang tidak peduli terhadap stigma yang diberikan masyarakat.
“Iya saya tidak peduli dengan stigma yang diberikan masyarakat.” – Rifo
(S1W1J82).

Alasan Rifo tidak peduli terhadap stigma tersebut karena ia tidak peduli dengan
apa yang orang lain katakan mengenai dirinya. Ia merasa hidupnya pun sudah cukup
rumit jadi untuk apa ia memikirkan juga apa yang orang katakana tentang dirinya.
“Saya tidak peduli karena sudah saya jelaskan sebelumnya hidup saya sudah
rumit jadi untuk apa saya memikirkan perkataan orang.” – Rifo (S1W1J83).

Pada akhirnya Rifo tidak peduli pada stigma masyarakat karena stigma tersebut
dirasa tidak mempengaruhi hidupnya.
“Karena tidak mempengaruhi hidup saya.” – Rifo (S1W1J84).

Cara rifo dalam mengabaikan stigma tersebut yaitu dengan sikap tidak peduli dan
omongan mereka yang tidak perlu dibawa kehati.
“Omongan mereka tidak saya masukan ke hati.” – Rifo (S1W1J85).

Kondisi Rifo setalah mengabaikan stigma dari masyarakat baik-baik saja tidak
ada yang berubah dari dirnya karena memang pada dasarnya ia tidak peduli pada
stigma di masyarakat.
“Baik-baik saja, tidak ada yang berubah.” – Rifo (S1W1J86).

Jawaban Indra sama dengan Rifo, ia bukan orang yang mempedulikan stigma
yang diberikan masyarakat.
83

“Iya saya tidak peduli dengan stigma yang diberikan masyarakat.” – Indra
(S3W1J82).

Serupa dengan Eva, Indra tidak peduli terhadap stigma tersebut karena ia tidak
peduli dengan apa yang orang lain katakan mengenai dirinya. Indra lebih ingin
memberi tahu informasi yang benar pada mereka yang memberikan stigma tersebut.
“Saya tidak peduli apa yang orang katakan mengenai saya, untuk apa saya
memikirkan hal buruk mengenai diri saya.Seperti yang saya bilang sebelumnya
gitu ya malah saya ingin memberi tahu informasi yang benar pada mereka yang
memberikan stigma tersebut yang belum tentu benar.” – Indra (S3W1J83).

Sifat Indra yang memang lebih santai menanggapinya membuat ia pada akhirnya
tidak peduli terhadap stigma tersebut.
“Karena saya memang orangnya santai ya jadi terserah orang mau ngatain apa
aja tentang saya.” – Indra (S3W1J84).

Setelah tidak peduli dengan stigma tersebut, ia merasa lebih baik daripada harus
memikirkan stigma yang dapat membuatnya down.
“Merasa lebih baik daripada saya harus memikirkan stigma tersebut malah
membuat saya down.” – Indra (S3W1J86).

Bagi Indra cara dalam mengabaikan stigma tersebut yaitu dengan sikap tidak
peduli dan memberi informasi yang benar pada orang yang memberi stigma tersebut.
“Iya itu dia saya bodo amat orang mau bicara apa tapi saya malah ingin
memberi informasi pada orang yang memberi stigma tersebut.” – Indra
(S3W1J85).

Knio merupakan orang yang tidak peduli terhadap stigma yang diberikan oleh
masyarakat. Terlihat dari jawabannya saat ditanyai apakah ia seseorang yang tidak
peduli terhadap stigma.
“Ya.” – Knio (S4W1J82).

Sama dengan Rifo, menurut Knio, terserah apa yang masyarakat bicarakan
mengenai dirinya. Ia cenderung tidak peduli terhadap pikiran orang tentang dirinya.
“Karena terserah apa yang masyarakat bicarakan mengenai saya.” – Knio
(S4W1J83).
84

Menurut Knio, ia tidak peduli dengan stigma yang ditujukan padanya karena ia
memiliki pengetahuan sedangkan yang memberi stigma biasanya tidak memiliki
informasi yang baik.
“Karena dengan pengetahuan yang saya punya, sedangkan mereka yang memberi
stigma biasanya tidak didasarkan dengan informasi yang baik.” – Knio
(S4W1J84).

Bagi Knio cara mengabaikan stigma adalah dengan tidak menjawab dan merespon
dalam bentuk apapun stigma yang ditujukan padanya.
“Dengan tidak menjawab atau mengabaikan stigma tersebut.” – Knio
(S4W1J85).

Tabel x Manajemen Stigma: Peduli Terhadap Stigma

Stigma Peduli Terhadap Stigma


Peduli Tidak Peduli
ODHA Hanya 1 dari 4 orang Sebanyak 3 dari 4 orang
narasumber mengaku peduli narasumber mengaku tidak
pada stigma, dengan alasan: peduli pada stigma, dengan
Ingin meluruskan informasi alasan:
tentang HIV yang ada di 1. Tidak
masyarakat mempengaruhi
hidupnya.
2. Tidak peduli apa
yang orang
katakana mengenai
dirinya.
Memiliki pengetahuan
tentang HIV dan ODHA
yang lebih baik disbanding
orang yang memberikan
stigma
85

4.2.3 DAMPAK

4.2.3.1 Dampak yang timbul

Dampak merupakan salah satu aspek dari teori manajemen stigma diambil dari penelitian
Rebecca J. Meisenbach yang dapat diaplikasikan pada penelitian kami. Dampak yang timbul dari
stigma yaitu dapat mempengaruhi kesehatan, pencapaian, kepercayaan diri, dan pekerjaan.
(Meisenbach, 2013:276).

Menurut Falk (2001) manusia akan selalu menghadapi stigma karena stigma membangun
solidaritas kelompok melalui pembedaan orang dalam dan orang luar. Dengan demikian,
stigmatisasi adalah sebuah proses yang tidak akan bisa dihilangkan namun dapat dikelola oleh
manusia. Kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan untuk memanajemen stigma terhadap
individu berasal dari berbagai hasil negatif dari stigmatisasi itu sendiri, seperti identitas sosial
yang didevaluasi, prasangka, stereotip, diskriminasi, dan pengabaian. Dampak negatif yang
lainnya juga termasuk penurunan harga diri, prestasi akademik, kesehatan dan peningkatan
kecemasan.

Berdasarkan pernyataan tersebut, peneliti menemukan beberapa ODHA yang mengaku


bahwa dirinya terpengaruh oleh stigma buruk dari masyarakat terhadap kesehatan, pencapaian,
kepercayaan diri, dan pekerjaan mereka.

4.2.3.1.1 Kesehatan

Stigma HIV/AIDS yang negatif memengaruhi interaksi sosial dengan keluarga, teman,
mitra seksual, rekan kerja, dan kesehatan profesional. Beberapa konsekuensi yang mereka
gambarkan adalah hilangnya dukungan sosial, penganiayaan, isolasi, kehilangan pekerjaan, dan
masalah mengakses layanan kesehatan (Nelson dkk, 2005:169).
86

Dampak negatif dari stigma juga termasuk penurunan harga diri, prestasi akademik, dan
kesehatan, termasuk peningkatan kecemasan, penurunan kapasitas memori dan penyakit yang
diderita berkelanjutan (Meisenbach, 2010:269). Adanya perlakukan negatif dan diskriminasi
secara langsung yang artinya terdapat pembatasan pada akses kehidupan dan diskriminasi secara
langsung sehingga berdampak pada status sosial, psychological well-being dan kesehatan fisik
(Major dan O’Brien, 2005).

Pada pernyataan tersebut sesuai dengan yang disampaikan oleh salah satu informan
(Eva).

“stigma buruk ngga pernah mempengaruhi secara fisik, kalau secara psikis sih ada” ujar
Eva (S2W1J87), ia mengaku terpengaruh oleh stigma buruk terhadap kesehatan psikologisnya,
namun kesehatan secara fisik tidak terpengaruh. Stigma mempengaruhi kesehatan psikis Eva
karena ia sempat memikirkan stigma yang masyarakat berikan kepada dirinya dan anak-anaknya.

Walaupun informan (Eva) mengaku stigma mempengaruhi kesehatan secara psikologis,


ia tidak pernah melakukan cek kesehatan secara psikis. Dalam menjaga kesehatan psikologis dan
fisik, Eva selalu mencoba untuk berpikiran positif, selain itu ia juga rutin berlatih boxing untuk
belajar mengendalikan emosi.

Berbeda dengan ketiga informan lainnya, mereka mengatakan bahwa stigma yang mereka
dapatkan tidak berpengengaruh terhadap kesehatan mereka. Ketiga informan beralasan bahwa
mereka tidak memikirkan stigma tersebut sehingga tidak mempengaruhi keadaan fisik maupun
psikologis.

“Tidak mempengaruhi, karena saya orangnya tidak mau ambil pusing dan tidak
pedulian.” – Rifo (S4W1187)

Tabel x Dampak terhadap Kesehatan

Stigma Dampak Kesehatan


Berdampak Tidak Berdampak
87

ODHA Sebanyak 1 dari 4 informan Sebanyak 3 dari 4 informan


mengatakan stigma yang mengatakan stigma yang
diberikan masyarakat diberikan masyarakat tidak
berdampak terhadap berdampak terhadap
kesehatan dengan alasan : kesehatan dengan alasan:

1. Mempengaruhi  Tidak peduli


pikiran sehingga terhadap stigma
berdampak pada
kesehatan psikologis

Sebagai ODHA, banyak hal yang dapat dilakukan untuk tetap sehat meskipun terdapat
HIV di dalam tubuh seseorang, bukan berarti ODHA akan berujung buruk. Maka dari itu,
menurut beberapa informan pada penelitian kami, menjaga kesehatan dan mengecek kesehatan
baik secara fisik dan psikologis itu perlu dilakukan. Cek kesehatan dilakukan oleh informan
minimal satu bulan sekali di Klinik Teratai Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.

“Perlu untuk mengecek kesehatan bagi ODHA, karena minimal tiap satu bulan sekali kita
harus cek kesehatan, ambil obat dan konsultasi dengan dokter. lalu setiap satu tahun
sekali wajib tes darah untuk melihat jumlah virus yang ada dalam tubuh kita sampai 5
tahun ke belakang.”- Indra (S3W1J91).

Pernyataan Indra diperkuat oleh informan lainnya, Informan Knio mengatakan bahwa cek
kesehatan itu perlu terutama bagi ODHA, cek kesehatan juga harus teratur minimal satu bulan
sekali.

“Perlu cek kesehatan fisik karena banyak hal-hal yang tidak kita ketahui, jangan sampai
kita tidak peduli dengan kesehatan kita dan terlambat untuk cek, seperti kasus pada teman
saya yang tidak peduli dengan isu kesehatannya sehingga ia meninggal karena terlambat
cek kesehatannya.” - Knio (S4W1J91).
88

Selain rutin cek kesehatan, ODHA harus menjaga kesehatan fisik dan psikologis mereka
dengan menjaga keseimbangan tubuh. Seperti yang dikatakan oleh informan (Knio)

“Cara menjaga kesehatan fisik dengan olahraga, makan teratur seperti sayuran, buah,
semua harus seimbang, juga kita harus mengerti kebutuhan tubuh sendiri.” Kata Knio
(S4W1J92).

4.2.3.1.2 Pencapaian

Stigma adalah prasangka memberikan label sosial yang bertujuan untuk memisahkan atau
mendiskreditkan seseorang atau sekelompok orang dengan cap atau pandangan buruk. Dalam
prakteknya, stigma mengakibatkan tindakan diskriminasi, yaitu tindakan tidak mengakui atau
tidak mengupayakan pemenuhan hak-hak dasar individu atau kelompok sebagaimana selayaknya
sebagai manusia yang bermartabat. Stigma dan diskriminasi masih sering terjadi pada orang
dengan HIV/AIDS (ODHA) (Kemenkes RI, 2012).

Pernyataan tersebut didukung oleh pengalaman-pengalaman informan pada penelitian ini.


Seperti yang dialami Indra mengenai pemenuhan hak dalam kehidupan sehari-hari di
masyarakat. “Pernah tidak memenuhi pemenuhan hak di dalam kehidupan saya” (S3W1J93).
Pengalaman tersebut ia alami pada saat menjadi narasumber seminar di salah satu hotel. Saat ia
selesai memberi materi pada audiens, audiens tidak memberi salam atau tidak mau bersalaman
dengannya. Selain kejadian itu, ia dan tim sepak bola dari Rumah Cemara pernah ditolak untuk
maju ke tingkat Internasional karena mereka dianggap tidak mampu secara fisik oleh orang-
orang. Namun, pada akhirnya tim mereka berhasil berangkat ke tingkat internasional dan dapat
peringkat ke 6.

“Contohnya pada saat diundang BNN menjadi pembicara seminar di salah satu hotel,
setelah saya bercerita mengenai pengalaman saya sebagai mantan pengguna NAPZA,
orang-orang yang hadir tidak mau bersalaman/bersentuhan dengan saya. Pernah juga
waktu itu tim sepakbola dari Rumah Cemara yang rata-rata ODHA ingin ikut tanding di
tingkat internasional/juara dunia saat mau mengajukan proposal dan minta pencairan
89

dana malah dibilang sama orang-orang “kalian HIV, pecandu narkoba, bisa main boleh
emangnya?” kita pun sakit hati sehingga tahun 2010 tidak bisa berangkat karena tidak
ada yang support. Tapi akhirnya pada tahun 2012 kita berhasil berangkat ke tingkat
internasional dapat peringkat ke 6 dan termasuk ke tim terbaik juga” ujar Indra
(S3W1J96).

Namun, hal tersebut tidak membuat Indra dan teman-teman sepakbola nya menyerah diri.
Ia terus memperjuangkan haknya dengan membuktikan bahwa ODHA juga bisa berprestasi.
“Dengan membuktikan bahwa kita sebagai ODHA juga bisa untuk berprestasi, walaupun
keadaan kita seperti ini harusnya kita memiliki hak yang sama.” (S3W1J95)

Berbeda dengan ketiga informan lainnya yaitu Eva, Rifo, dan Knio, mereka menganggap
bahwa stigma yang mereka dapat kan tidak berpengaruh terhadap pemenuhan hak mereka. “Iya,
karena teh Eva tidak pernah merasakan adanya pembatasan hak.” Ujar Eva (S2W1J93).
Menurut Knio stigma yang ada tidak pernah mempengaruhi pemenuhan haknya. Selain itu, ia
tidak berusaha untuk memperjuangkan haknya sebagai seorang LGBT.

“Saya kan LGBT, tapi saya tidak memperjuangkan pernikahan sejenis karena saya tidak
berkebutuhan akan hal itu” - Knio (S4W1J94).

Tabel x Dampak terhadap Pencapaian

Stigma Dampak Pencapaian


Berdampak Tidak Berdampak
ODHA Sebanyak 1 dari 4 informan Sebanyak 3 dari 4 informan
mengatakan stigma yang mengatakan stigma yang
diberikan masyarakat diberikan masyarakat tidak
berdampak terhadap berdampak terhadap
pencapaian dengan alasan : pencapaian dengan alasan:

1. Ingin mendapatkan 1. Tidak peduli


hak yang sama terhadap stigma
2. Tidak memiliki
kebutuhan atas hak
tersebut
90

4.2.3.1.3 Kepercayaan Diri

Stigma HIV dapat dibedakan dalam beberapa bentuk stigma yaitu Stigma Publik dan
Stigma Diri. Stigma publik atau sosial, merujuk pada pengalaman dan telah mendapatkan
prasangka dan diskriminasi dari orang lain. Stigma publik bermanifestasi dalam bentuk
penghindaran, membuat jarak secara sosial, dan penggunaan kekerasan. Sedangkan stigma diri
merupakan antisipasi dari kepercayaan negatif dari masyarakat terhadap individu yang mengidap
HIV. Stigma diri akan mucul ketika seseorang sadar akan stigma yang mereka dapat. Mereka
akan menyetujui stigma tersebut dan menerapkannya pada diri sendiri. Hal tersebut yang
menyebabkan berkurang atau hilangnya kepercayaan diri (self-esteem) dan efikasi diri (self-
efficacy) (Lindayani dkk, 2018:7).

Pernyataan dari penelitian Lindayani berbeda dengan pengalaman dari para informan,
mereka merasa bahwa stigma tidak mempengaruhi kepercayaan diri para informan yang
diwawancarai. “Tidak, kalo teh Eva mah stigma ini tidak mempengaruhi kepercayaan diri.” Ujar
Eva (S2W1J97). Sama halnya seperti informan yang lain “Tidak, kalo menurut saya stigma ini
tidak mempengaruhi kepercayaan diri saya.” Kata Rifo (S3W1J97).

Menurut informan stigma tidak mempengaruhi kepercayaan diri informan karena mereka
bersikap tidak peduli terhadap stigma tersebut. “Karena ya ngapain terpengaruh da hidup kita
mah kita yang ngatur dan jalanin, jadi ya udah” ujar Eva (S2W1J98) berbicara soal pengaruh
stigma terhadap kepercayaan diri.

4.2.3.1.4 Pekerjaan

Dari berbagai segi, stigma dan diskriminasi memberikan pengaruh yang jauh lebih luas
dibandingkan virus HIV itu sendiri. Stigma dan diskriminasi bukan hanya mempengaruhi hidup
orang yang positif HIV, namun juga orang-orang yang hidup di sekitarnya seperti misalnya
pasangan hidup, keluarga, atau bahkan rekan kerja mereka. Selain itu, stigma juga dapat
mempengaruhi orang, yakni melalui sikap-sikapnya atau tindakannya di tengah mastarakat,
dalam pekerjaan, tempat umum maupun di media (Purwanto dan Ruliati, 2014).
91

Pernyataan diatas didukung dengan pengalaman informan mengenai pengaruh stigma


terhadap pekerjaan. Waktu Rifo bekerja sempat perusahaan yang Rifo jalani bangkrut karena
rekan kerja dan pegawai Rifo tahu bahwa ia pengguna NAPZA. Tetapi, mengenai status dia
sebagai positif HIV tidak berpengaruh pada pekerjaannya, karena ia tidak memberi tahu
statusnya pada orang lain yang tidak dekat dengannya.

“Iya pernah waktu dulu, ketika rekan saya mengetahui bahwa saya pengguna NAPZA,
tetapi untuk yang sekarang tidak. Karena saya tidak pernah memberitahu mengenai status
saya. Karena itu bukan lah suatu hal yang harus di umbar.” Ujar Rifo (S1W1J105).

Selain Rifo, informan lainnya mengatakan bahwa stigma berpengaruh terhadap pekerjaan
yang dimiliki karena adanya keterkaitan antara stigma dan pekerjaan. Namun berbeda, bukan
stigma yang mempengaruhi pekerjaan yang Knio miliki tetapi pekerjaan Knio di Rumah Cemara
yang menimbulkan stigma dari masyarakat, karena banyak masyarakat tahu bahwa Rumah
Cemara merupakan ODHA.

“Bukan stigma yang berpengaruh pada pekerjaan sih, tapi pekerjaan yang membuat
stigma muncul karena saya kerja di Rumah Cemara yang rata-rata masyarakat sudah
tahu bahwa Rumah Cemara ini mengenai isu HIV” Knio (S4W1J105).

Sebagian dari informan lain memiliki pendapat yang berbeda, mereka menjawab stigma
yang mereka dapatkan tidak berpengaruh terhadap pekerjaan mereka saat ini. Mereka beralasan
bahwa mereka tidak terlalu memikirkan stigma yang mereka dapatkan, selain itu karena mereka
bekerja di Rumah Cemara yang mayoritas rekan kerjanya memiliki nashi yang sama dengan
mereka.

“Karena saya tidak terlalu terbuka terhadap orang lain yang tidak dekat dengan saya.
Kan saya bekerja di Rumah Cemara, disini hampir semua rekan kerja saya juga ODHA,
jadi kita saling support satu sama lain. Selain itu, saya juga sudah bertahun-tahun
92

menjadi konselor mengenai ODHA, jadi tidak mudah terpengaruh oleh stigma yang ada
di masyarakat dan sudah dapat memanajemen dengan baik.” - Indra (S3W1J106)

Tabel x Dampak terhadap Pekerjaan

Stigma Dampak Pekerjaan


Berdampak Tidak Berdampak
ODHA Sebanyak 2 dari 4 informan Sebanyak 2 dari 4 informan
mengatakan stigma yang mengatakan stigma yang
diberikan masyarakat diberikan masyarakat tidak
berdampak terhadap berdampak terhadap
pekerjaan dengan alasan : pekerjaan dengan alasan:

1. ODHA pengguna 1. Bekerja di Rumah


NAPZA Cemara
2. Bekerja di Rumah
Cemara

Dari hasil wawancara terhadap keempat informan, mereka semua bekerja di Rumah
Cemara Bandung. Informan pertama, Rifo selain bekerja di Rumah Cemara ia juga seorang
direktur perusahaan di bidang IT. Kedua, Eva selain di Rumah Cemara ia menjadi pelatih
sepakbola ibu-ibu ODHA, remaja, dan mengajar di komunitas Ruang Mimpi. Ketiga, Indra aktif
sebagai konselor dan kerja di Gereja sebagai fasilitator atau mendor anak muda Gereja.
Keempat, Knio selain di Rumah Cemara ia masih menjadi pekerja seks tapi hanya untuk client
yang lama dan masih menggunakan jasanya.
93

DAFTAR PUSTAKA

Afianti, Yati. (2008). Validitas dan reabilitas dalam penelitian kualitatif. Jurnal Keperawatan
Indonesia, 12 (2), 137-141

Bhatti A, Usman M, & Kandi V. (2016). Current Scenario of HIV/AIDS, Treatment Options, and
Major Challenges with Compliance to Antiretroviral Therapt. 8(3).

Chesebro, J., & Borisoff, D. (2007). What Makes Qualitative Research Qualitative? Qualitative
Research Reports in Communication, 8(1), 3-14.

Coughlan, M. (2009). Interviewing in Qualitative Research. Journal of Therapy and


Rehabilitation, 16(6), 304-314.

Estrada, M., Diaz, N., Parker, R., Padilla , M., & Madera, S. (2018). Religion and HIV-Related
Stigma Among Nurses Who Work with People Living with HIV/AIDS in Puerto Rico.
Association of Providers of AIDS Care, 1-9.

Fair, C., & Brackett, B. (2008). "I Don't Want to SIt by You" : A Preliminary Study of
Experiences and Consequences of Stigma and Discrimination from HIV-positive Mothers
and Their Children. Journal of HIV/AIDS Prevention in Children & Youth, 219-242.

Finn, M., & Sarangi, S. (2009). Humanizing HIV/AIDS and its (re)stigmatizing effects: HIV
public "positive" speaking in India. Journal Health, 13(1), 47-65.

Fongkaew, W., Visekul, B., & Suksatit, B. (2013). Verifying Quantitative Stigma and
Medication Adherence Scales Using Qualitative Methods among Thai Youth Living with
HIV/ AIDS. Journal of the International Association of Providers of AIDS Care, 13, 69-
77.

Grossoehme, D. (2014). Overview of Qualitative Research. Journal of Health Care Chaplaincy,


20(3), 109-122.

Harling, Kenneth. (2012). An Overview of Case Study. SRRN Electronic Journal, 1-7
94

Hefferman, C. (2002). HIV, sexually transmitted infections and social inequalities: when the
transmission is more social than sexual. International Journal of Sociology and Social
Policy, 22(4), 159-17.

Jacques, Z., Hieke, W., Marga, V., & Gideon, D. (2010). Beyond silence and rumor, Storytelling
as an educational tool to reduce the stigma around HIV/AIDS in South Africa . Health
Education, 382-398.

Jacubowski, N. (2008). Marriage is not a safe place: Heterosexual marriage and HIV-related
vulnerability in Indonesia. Culture, Health & Sexuality, 10(1), 87-97.

Koku, E. (2010). HIV-Related Stigma among African Immigrants Living with HIV-AIDS in
USA. Sociological Research Online, 15(3), 1-14.

Kittikorn, N., Street, A., & Blackford, J. (n.d.). Managing Shame and Stigma: Case Studies of
Female Cares of People with AIDS in Southern Thailand. Qualitative Health Research,
16(9), 1286-1301.

Lindayani, L., Ibrahim , K., & Wang, J.-D. (2018). Independent and synergistic effects of self-
and public stigmas on quality of life of HIV-infected persons. AIDS Care, 706-7153.

Link, B. G., & Phelan, J. C. (2001). Conceptualizing Stigma. Annual Reviews Sociol, :364.

Li, A., Wong, J., Cain , R., & Fung, K. (2016). Engaging African Caribbean, Assian and Latino
Community Leaders to Address HIV Stigma in Toronto. International Journal of
Migration, Healtht, and Social Care, 12(4), 288-300.

Meisenbach, R. J. (2010). Stigma Management Communication: A Theory and Agenda for


Applied Research on How Individuals Manage Moments of Stigmatized Identity. Journal
of Applied Communication Research, 38(3), 268-292.

Ali, Mohammad. (2014). Memahami Riset Perilaku dan Sosial. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Nelson, V.-D., Irma, S., & Jose, T. (2005). AIDS-Related Stigma and Social interaction Puerto
Ricans Living with HIV/AIDS. Qualitative Health Research, 15(2), 169-187.
95

Neuman, W. (2014). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches


Seventh Edition. Edinburgh: Harlow: Pearson Education Limite.

Oskouie, F., Kashefi, F., & Gouya, M. (2017). Qualitative study of HIV related stigma and
discrimination: What women say in Iran. Electronic Physician, 9(7), 4718-4274.

Poindexter, Cannon, C., & Shippy, A. (2010). HIV Diagnosis Disclosure: Stigma Management
and Stigma Resistance. Journal of Gerontological Social Work, 366-380.

Saki, M., Kermanshahi, S., & Mohammadi, E. (2015). Perception of Patients with HIV/AIDS
from Stigma and Discrimination. Iran Red Crescent Med Journal, 17(6), 1-7.

EE, Tarkang., Gbogbo, S., & PM, L. (2015). HIV/AIDS-Related Knowledge among Person with
Physical Disability in Cameroon: A Qualitative Study. Journal of AIDS and HIV
Infectiions, 1-6.

Weiss, R. A. (1993). How does HIV cause AIDS? Science, 260, 1273-1279.

Winarso , I., Irawati, I., Eka, B., & Nevendorf, L. (2006). Indonesian National Strategy for
HIV/AIDS control in prisons : A Public health approach for prisoners. International
Journal of Prisoner Health, 2(3), 243-249.

Wong, V., & Wong , L. (2006). Mana¬¬gement of Stigma and Disclosure of HIV/AIDS Status
in Healtcare Setting. Journal of Health Organization and Management, 20(2).
96

Anda mungkin juga menyukai