Anda di halaman 1dari 24

Food Taboo dan Agency: Studi Tentang Pantangan Makan Bagi Ibu Hamil

dan Ibu Masa Nifas di Desa Ciganjeng, Kabupaten Pangandaran,


Jawa Barat

Ira Utami Agusputri


Dian Sulistiawati
Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia
Email: irautamii@yahoo.com

Abstrak
Skripsi ini mengkaji mengenai pantangan makan di kalangan ibu hamil dan ibu masa nifas di
sebuah pedesaan di Jawa Barat, yaitu Desa Ciganjeng. Melalui wawancara mendalam dan
pengamatan terlibat saya berupaya memahami kebiasaan dan pantangan makan yang
dilakukan para ibu hamil dan masa nifas sebagai bentuk upaya mereka dalam menjaga
kehamilan, kelahiran dan masa nifas. Para ibu hamil dan masa nifas di Desa Ciganjeng
memiliki kebiasaan makan tertentu yang tidak telepas dari adanya pantangan makan yang
harus mereka jalani. Beberapa jenis makanan dilarang dikonsumsi oleh ibu hamil dan masa
nifas di Desa Ciganjeng terkait dengan alasan-alasan kesehatan. Pengetahuan para ibu
mengenai jenis dan alasan pantangan makan tersebut mereka peroleh dari orang yang
berperan membantu perawatan kehamilan dan kelahiran yaitu paraji Mak Enok yang dapat
dikatakan sebagai agen dalam penyebaran pengetahuan pantangan makan.Tulisan ini
menjelaskan mengenai kapasitas agensi yang dimiliki oleh Mak Enok sehingga ia dapat
disebut sebagai agen dalam penyebaran pengetahuan pantangan makan.

Kata Kunci: pantangan makan, transmisi pengetahuan, agensi

Food Taboo and Agency: A Study about Food Taboo among Pregnant and
Postpartum Mothers in Ciganjeng Village, Pangandaran District, West
Java.

Abstract
This research focuses on the food taboo for pregnant mothers post-pregnancy mothers in
Ciganjeng village, West java. Through in-depth interviews, I seek to understand the eating
habits and taboos by pregnant women during childbirth as a form of their efforts in
maintaining pregnancy, birth and the postpartum period. In this village, both pregnant
mothers and post-pregnancy mothers have a habbit to eat some specific food. It includes kind
of food, time of eating, and method of eating. Those aforementioned items have something to
do with the food taboo implemented by those pregnant mothers and post-pregnancy mothers.
The food is considered a taboo due to health reasons. The knowledge possessed by those
mothers is acquired from a ‘paraji’ (a shaman helping to deliver babies) called Mak Enok that
can be called as an ‘agent’.The agents are considered important in spreading the knowledge of
food taboo in Ciganjeng village. Mak Enok as an agent has a capacity that affects knowledge
and actions of mothers to obey the food taboo given to them.

Keywords: food taboo, transmission of knowledge, agency

1 Universitas Indonesia

Food taboo ..., Ira Utami Agusputri, FISIP UI, 2015


2

Pendahluan

Skripsi ini mengkaji mengenai pantangan makan bagi ibu hamil dan ibu pasca
melahirkan (masa nifas) di sebuah desa di Jawa Barat yaitu Desa Ciganjeng. Menurut
Anggorodi (1998: 102) Food taboo atau makanan pantang adalah bahan makanan atau
masakan yang tidak boleh dimakan oleh para individu dalam masyarakat karena alasan-alasan
yang bersifat budaya. Anggorodi juga menyatakan bahwa biasanya pihak yang diharuskan
memantang memiliki ciri-ciri tertentu (misalnya warga kelompok dengan totem tertentu yang
dilarang makan tumbuh-tumbuhan atau hewan yang merupakan totemnya), atau sedang
mengalami keadaan tertentu (misalnya karena sedang hamil atau menyusui), dan karena
masyarakat setempat memiliki kepercayaan tertentu terhadap bahan makanan tersebut
(misalnya berkenaan dengan sifat keramatnya). Sukandar (2007: 44) menyatakan bahwa tabu
makanan atau food taboo (pantangan makan) merupakan suatu larangan dalam mengonsumsi
makanan tertentu karena ada beberapa ancaman atau hukuman bagi orang yang
mengonsumsinya. Sukandar (2007: 44) menjelaskan bahwa dalam ancaman ini, terdapat
kekuatan supranatural dan mistik yang akan menghukum mereka yang melanggar aturan ini.
Pantangan makan tersebut bisa berlaku bagi siapa pun pada berbagai jenis kelamin
maupun usia, seperti halnya yang terjadi di Malaysia Barat. Penelitian yang dilakukan oleh
Bolton mengenai pantangan makan di Malaysia Barat (1972: 791) menjelaskan bahwa seluruh
masyarakat Orang Asli di Malaysia Barat dilarang untuk membunuh dan memakan daging
harimau. Memakan daging harimau sama saja dengan memakan manusia, karena harimau
dianggap mengandung human spirit.
Isu mengenai food taboo berkembang di berbagai negara di dunia, seperti di Amerika
Selatan, India, Nigeria, Ghana, China, Ethiopia, Republic Congo, Mexico, Brazil dan
Malaysia Barat (lihat McRonald, 1977; Bolton, 1972; Torres dan Garibay, 2003; Lingomo
dan Kimura, 2009; Geddavalasa, 2013; Koon et al., 2005; Onifade, 2006; Demissie et al.,
1995; Begossi, 1992; Gadegbeku et al., 2013). Di Indonesia sendiri kepercayaan mengenai
pantangan makan masih ditemui di beberapa masyarakat di daerah pedesaan, khususnya bagi
kelompok resiko tertentu, seperti ibu hamil dan ibu menyusui (lihat Sholihah, 2013;
Sukandar, 2007; Devy et al., 2013; Hesty et al., 2013; Ulaen, 1998; Sukandi, 1998).
Pantangan makan (food taboo) yang diberlakukan pada ibu hamil dan ibu menyusui seringkali
berpengaruh buruk pada gizi ataupun kesehatan mereka, seperti yang dinyatakan oleh
Rahmaniar et al (2013: 101) dalam penelitiannya di Sulawesi Barat bahwa pantangan makan
dapat menyebabkan kekurangan energi kronis pada ibu hamil. Hal ini juga dikemukakan oleh

Universitas Indonesia

Food taboo ..., Ira Utami Agusputri, FISIP UI, 2015


3

Foster (2006) bahwa dalam konteks perilaku dan budaya tertentu, pantangan terhadap
makanan tertentu masih ada dan harus dijalani oleh ibu hamil dan melahirkan yang kemudian
dapat mengakibatkan banyak ibu hamil tidak dapat mengonsumsi makanan tinggi protein.
Menurut Foster (2006) masyarakat tradisional seringkali gagal dalam melihat susunan
makanan (gizi makanan) yang baik dengan kesehatan yang baik. Susunan makanan yang
dibutuhkan oleh seseorang justru tidak diberikan dengan seharusnya sesuai kebutuhan karena
alasan tertentu.
Food taboo sudah banyak dikaji oleh ahli dari berbagai disiplin ilmu, baik ilmu
kesehatan dan ilmu sosial, termasuk Antropologi. Para ahli ilmu kesehatan pada umumnya
membahas isu-isu food taboo (pantangan makanan) berkaitan dengan penyakit yang timbul
akibat para ibu menyusui mengikutinya sehingga berpengaruh pada status gizi dan kesehatan,
baik bagi si ibu maupun bayinya (lihat Harnany 2006; Maas, 2004; Abidin dan Wahyuna,
2013; Meiliono et al., 2004). Ada pula penelitian ilmu kesehatan (kebidanan) mengenai
pantangan makan bagi ibu pasca melahirkan yang mengakibatkan lamanya penyembuhan luka
Perineum (luka di antara anus dan vulva wanita) pada masa nifas (lihat Jannah, 2013;
Hartiningtiyaswati, 2010). Ahli kebidanan lainnya yang meneliti mengenai pantangan makan
juga mengkaji mengenai hubungan antara tingkat pengetahuan para ibu mengenai gizi bagi
ibu masa nifas dan menyusui (lihat Wahyuna, 2013; lihat juga Triyani, 2012).
Pantangan makan juga sudah dikaji oleh ahli ekologi, khususnya terkait dengan isu
kaitan antara pantangan makan dan konservasi alam (lihat Patnaik, 2007; Colding, 1998;
Lingomo dan Kimura, 2009). Pantangan makan juga sudah dikaji oleh ahli bidang kesehatan
masyarakat. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh ahli kesehatan masyarakat mengenai
pantangan makan lebih kepada penjelasan mengenai jenis-jenis dan alasan pantangan makan
sebagai bagian dari perawatan kehamilan di wilayah tertentu. Devy et al. (2013) yang
merupakan ahli kesehatan masyarakat membahas mengenai perawatan kehamilan dalam
perspektif budaya Madura di Desa Tambak dan Desa Rapalaok, Kabupaten Sampang. Dalam
penjelasannya mengenai perawatan kehamilan tersebut terdapat pembahasan mengenai
pantangan makan ibu hamil berdasarkan budaya Madura. Para ibu hamil di Desa Tambak dan
Desa Rapalaok saat hamil dipantang untuk mengonsumsi telur, ikan laut, nanas dan terong
karena dapat menimbulkan rasa panas pada perut, selain itu juga ibu hamil dilarang
mengonsumsi makanan pedas karena dapat membuat bayi sakit mata. Ahli kesehatan
masyarakat lainnya yaitu Hesty et al. (2013) juga mendeskripsikan perawatan kehamilan pada
masyarakat Bugis yang di dalamnya juga terdapat pantangan makan pada ibu hamil.

Universitas Indonesia

Food taboo ..., Ira Utami Agusputri, FISIP UI, 2015


4

Pantangan makan tersebut dilakukan untuk menjaga para ibu hamil dari bahaya atau dampak
buruk yang diakibatkan karena mengonsumsi makanan yang dipantang.
Penelitian pantangan makan juga banyak dilakukan oleh ahli Gizi, salah satunya
adalah Sholihah (2013) yang menggambarkan secara keseluruhan mengenai tabu makanan
bagi ibu hamil pada masyarakat suku Tengger di Desa Ngadas. Penelitian tersebut
menjelaskan mengenai faktor pencetus, pendukung dan penguat yang menjadi alasan para ibu
hamil mematuhi pantangan makan. Hasil penelitian Sholihah (2013) tersebut menjelaskan
bahwa para ibu mempercayai tabu makanan karena adanya keyakinan untuk menghindarkan
janin dari bahaya. Sholihah (2013: 78) juga mendeskripsikan tingkat pengetahuan masyarakat
mengenai jenis-jenis pantangan makan serta alasannya. Hasil penelitian Sholihah
menunjukkan bahwa tetua masyarakat seperti dukun bayi merupakan orang yang memiliki
pengetahuan paling banyak mengenai pantangan makan dibandingkan dengan ibu hamil,
petugas kesehatan dan keluarga. Sementara itu, bidan merupakan informan yang memiliki
pengetahuan paling rendah terkait pantangan makan. Dalam penelitiannya tersebut, Sholihah
membahas tingkat pengetahuan, namun ia tidak menjelaskan mengenai transmisi atau
perolehan pengetahuan mengenai pantangan makan di kalangan ibu hamil.
Ahli Gizi lainnya yang juga meneliti pantangan makan pada ibu hamil adalah Rahim
et al. (2013). Dalam penelitiannya tersebut mereka mendeskripsikan mengenai jenis-jenis dan
alasan pantangan makan ibu hamil di suku Toraja yang dikaitkan dengan kandungan gizi dari
makanan-makanan yang dipantang. Sukandar (2007) yang juga ahli gizi meneliti pantangan
makan pada masyarakat Barito Kuala di Kalimantan Selatan. Penelitian tersebut menjelaskan
jenis-jenis makanan pantang serta alasan-alasan pantangan makan bagi ibu hamil, ibu
menyusui, bayi dan balita, perempuan dewasa dan orang sakit. Dalam penelitian Sukandar
(2007) juga dijelaskan adanya pelatihan bagi masyarakat Barito untuk memperbaiki
pengetahuan gizi mereka. Pelatihan gizi tersebut dimaksudkan untuk mengurangi
kepercayaan masyarakat Barito akan tabu makanan yang dianggap dapat merugikan gizi dan
kesehatan.
Ahli lain yang membahas mengenai pantangan makan adalah ahli biologi yaitu Meyer-
Rochow (2009). Pada tulisannya yang berjudul “Food Taboos: Their Origins and Purposes”,
Meyer-Rochow (2009) menjelaskan mengenai pantangan makan yang dapat membantu
pengendalian penggunaan sumber daya secara efisien. Selain itu, terdapat ahli pendidikan
(keguruan) yang juga membahas mengenai pantangan di pedesaan Banyumas. Priyadi (2006)
meneliti mengenai makna simbolis pantangan pada wanita hamil mulai dari pantangan

Universitas Indonesia

Food taboo ..., Ira Utami Agusputri, FISIP UI, 2015


5

perilaku hingga pantangan makan. Pantangan makanan di Banyumas menunjukkan hubungan


antara makanan dan makna perilaku calon orang tua yang dipercaya akan berpengaruh pada
sifat sang anak kelak, misalnya jengkol yang berbentuk keras dipercaya apabila dikonsumsi
oleh ibu hamil akan membuat sifat si anak menjadi keras kepala jika sudah besar nanti.
Berbeda dengan ahli ilmu lainnya, beberapa ahli Antropologi membahas isu food
taboo dalam kaitan antara pola makan atau kebiasaan makan dengan kebudayaan suatu
masyarakat tertentu (lihat Praditama, 2014; Apomfires, 2002; Anggorodi, 1998). Anggorodi
(1998: 91-114) membahas mengenai berbagai jenis makanan yang dipantang dan alasan
pantangan makan di kalangan para ibu hamil dan pasca melahirkan di Desa Simpar dan Desa
Kosambi, Jawa Barat. Apomfires (2002) menjelaskan mengenai kebiasaan makan pada
komuniti adat Jae, di Kabupaten Merauke. Masyarakat Jae memiliki berbagai kategorisasi
makanan mulai dari makanan pokok, makanan selingan, makanan sebagai obat dan obat
sebagai makanan, makanan bayi, makanan sebagai status sosial, dan pola makan hingga
pantangan makan bagi wanita hamil, menyusui, dan menstruasi. Apomfires (2002)
menjelaskan bahwa pada kondisi hamil atau menyusui, wanita pada masyarakat Jae tidak
diperbolehkan memakan daging kasuari, anak babi dan ikan kakap besar. Apabila para wanita
hamil atau menyusui mengonsumsi makanan tersebut dipercaya dapat mengakibatkan
kelumpuhan pada bayi.
Sementara itu, Praditama (2014) juga menjelaskan mengenai pola makan ibu hamil
dan pasca melahirkan di Desa Tiripan, Kabupaten Nganjuk. Ia menjelaskan bahwa para ibu
hamil di Desa Tiripan memiliki kebiasaan makan hanya dengan nasi, sayur bening, tempe
ditambah sambel dan kerupuk, sedangkan daging, ikan laut, telur, dan ayam sangat jarang
dikonsumsi. Selain pola makan, terdapat pantangan makan bagi ibu hamil di Desa Tiripan.
Para ibu hamil di Desa Tiripan dilarang mengonsumsi jenis makanan tertentu dengan alasan-
alasan budaya berdasarkan asosiasi bentuk makanan dengan bentuk fisik bayi, misalnya para
ibu hamil dilarang mengonsumsi ikan lele karena dipercaya kepala bayi akan menjadi besar
seperti lele, kemudian apabila para ibu mengonsumsi jantung pisang maka bayi yang lahir
seperti jantung pisang.
Dari kajian-kajian food taboo yang telah ada sebelumnya, terlihat bahwa belum ada
penelitian tentang cara-cara food taboo dikonstruksi. Food taboo biasanya dikembangkan oleh
orang-orang yang berperan penting dalam masyarakat atau memiliki power tertentu dalam
masyarakat, seperti ketua adat, orang yang dianggap sesepuh, atau orang yang ahli dalam
pengobatan, seperti yang dikatakan oleh Sholihah (2013: 90) bahwa “tetua masyarakat

Universitas Indonesia

Food taboo ..., Ira Utami Agusputri, FISIP UI, 2015


6

merupakan salah satu kelompok referensi (reference group) dalam masyarakat, apa yang
dikatakan, diperintahkan, dan dilakukan oleh tetua masyarakat dapat menjadi model atau
contoh bagi ibu hamil untuk berperilaku”. Di Desa Ciganjeng, food taboo dikembangkan oleh
orang yang berperan dalam hal penanganan kehamilan dan kelahiran ibu.
Pantangan makan di Ciganjeng berlaku bagi para ibu hamil dan para ibu pasca
melahirkan selama 40 hari hingga masa nifas selesai. Berbeda halnya dengan penelitian-
penelitian terdahulu yang menemukan bahwa alasan pantangan makan, pada umumnya selalu
berkaitan dengan hal-hal supranatural dan kaitannya dengan sifat asosiatif dari makanan (lihat
Anggorodi, 1998; Ulaen, 1998; Sukandi, 1998), pantangan makan di Desa Ciganjeng
dilakukan untuk alasan-alasan kesehatan.
Informasi tentang makanan yang dipantang bagi ibu pasca melahirkan di Desa
Ciganjeng disebarluaskan oleh paraji. Paraji atau dukun bayi pada umumnya erat terkait
dengan sektor tradisional. Oleh karena itu, pantangan makan (food taboo) di Desa Ciganjeng
yang dikembangkan oleh paraji atau dukun bayi demi alasan kesehatan tentunya menarik
untuk dikaji.
Pantangan makan dengan alasan kesehatan dipraktikkan oleh para ibu hamil dan ibu
masa nifas di Desa Ciganjeng. Pengetahuan mengenai pantangan makan tersebut dikonstruksi
oleh paraji Mak Enok yang berperan sebagai agen. Mak Enok dapat dikatakan sebagai
seorang agen karena kemampuannya mempengaruhi pengetahuan dan tindakan para ibu untuk
mematuhi anjuran pantangan makan. Apabila pantangan makan dengan alasan kesehatan
disebarluaskan oleh seorang ahli kesehatan, tentu tidaklah terlalu mengherankan. Namun,
berbeda halnya jika pengetahuan tentang kesehatan tersebut disebarluaskan oleh seorang
praktisi tradisional. Mak Enok tentu memiliki pengetahuan kesehatan tersendiri secara budaya
dan cara-cara tertentu untuk mempengaruhi para ibu hamil dan masa nifas di Desa Ciganjeng
agar mempercayai dan mematuhi pantangan makan yang disarankannya.
Terkait dengan masalah tersebut, empat pertanyaan penelitian yang akan dijawab di
dalam skripsi ini adalah Bagaimana gambaran pantangan makan ibu hamil dan ibu masa nifas
di Desa Ciganjeng? Bagaimana pengetahuan pantangan makan bisa terbentuk di Desa
Ciganjeng? Mengapa pantangan makan bagi ibu hamil dan ibu masa nifas dikonstruksi oleh
Mak Enok di Desa Ciganjeng? Bagaimana peran paraji Mak Enok dalam pembentukan
pengetahuan pantangan makan para ibu hamil dan masa nifas di Desa Ciganjeng?
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pantangan makan ibu hamil dan ibu
masa nifas di Desa Ciganjeng, untuk menjelaskan mengenai pembentukan pengetahuan

Universitas Indonesia

Food taboo ..., Ira Utami Agusputri, FISIP UI, 2015


7

pantangan makan di Desa Ciganjeng, untuk menjelaskan alasan Mak Enok mengkonstruksi
pantangan makan bagi ibu hamil dan ibu masa nifas di Desa Ciganjeng, dan untuk
menjelaskan peran paraji Mak Enok sebagai seorang agen dalam penyebaran pengetahuan
pantangan makan di Desa Ciganjeng.
Pengetahuan menurut Sunaryo (2004: 25) adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui
proses sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu. Menurut Borofsky (1987)
pengetahuan dapat diperoleh baik secara formal maupun informal melalui berbagai cara yang
disebut sebagai learning process. Menurut Borofsky terdapat beberapa cara dalam
memperoleh pengetahuan, di antaranya adalah dengan mendengarkan (listening) dan
pengalaman. Menurut Borofsky (1987: 83) “listening, though secondary to observation, plays
an important role in the acquisition of knowledge”. Borofsky menegaskan bahwa masyarakat
Pukapukan mempelajari kebudayaan yang mereka miliki dengan cara “mendengarkan”
percakapan orang lain.
Selain mendengarkan, pengalaman juga merupakan faktor yang juga penting dalam
memperoleh pengetahuan, seperti yang dikatakan oleh Borofsky (1987: 88) bahwa “What is
missed in one observation or in one listening is picked up in another. What is only partially
learned at one stage is improved on through repeated experienced.” Borofsky (1987: 88)
lebih lanjut juga mengatakan bahwa belajar merupakan proses yang dilakukan berangsur-
angsur atau secara perlahan, dan praktik atau tindakan akan membantu seseorang untuk
menguasai pengetahuan tersebut.
Pentingnya praktik dalam kaitannya dengan pengetahuan juga dijelaskan oleh Keller
dan Keller (1993) yang melihat pengetahuan dan tindakan sebagai suatu sistem aktivitas yang
saling berkaitan atau berhubungan satu sama lain. Keller dan Keller (1993: 127) menjelaskan
bahwa tindakan merupakan sesuatu yang berkembang yang merupakan hasil umpan balik
secara terus-menerus dari rangsangan eksternal ke representasi internal dan kemudian dari
representasi internal ditetapkan kembali menjadi tindakan, “action has an emergent quality,
which results from the continual feedback from external events to internal representations
and from internal representations back to enactment”. Oleh karena itu, menurut Keller dan
Keller (1993: 127) pengetahuan selalu dapat dimodifikasi, diperbaharui, didefinisikan kembali
berdasarkan pengalaman yang telah dialami, seperti yang dikutip berikut ini:
“Knowledge is continually being refined, enriched, or completely revised by
experience whereas external action accommodates unanticipated physical
contingencies or previously unrecalled spesifics of the activity”.

Universitas Indonesia

Food taboo ..., Ira Utami Agusputri, FISIP UI, 2015


8

Berdasarkan yang dikatakan oleh Borofsky (1987) serta Keller dan Keller (1993)
pengetahuan dapat mempengaruhi tindakan, dan begitu pula sebaliknya tindakan dapat
mempengaruhi pengetahuan. Saat memutuskan untuk melakukan tindakan tertentu seorang
individu tidak hanya dipengaruhi oleh pengetahuan yang ia miliki sendiri, tetapi individu
tersebut juga dapat dipengaruhi oleh orang lain. Seseorang yang dapat mempengaruhi
tindakan orang lain ini disebut sebagai seorang agen. Karp (dalam Ahearn, 2001: 113)
membedakan agen dari aktor:
“Actor refers to a person whose action is rule-governed or rule-oriented, whereas an
agent refers to a person engaged in the exercise of power in the sense of the ability to
bring effects and (re)constitute the world”.

Seorang Agen menurut Sewell (1992: 21) memiliki kemampuan untuk mengoordinasi
tindakan orang lain dan terhadap orang lain, untuk membentuk rencana kolektif, untuk
mengajak, untuk memaksa dan memonitor dampaknya. Seorang agen harus memiliki
kemampuan tertentu yang oleh Ahearn (2001: 113) disebut sebagai agency, yaitu“…refers to
the socioculturally mediated capacity to act”. Seseorang dapat dikatakan sebagai seorang
agen apabila ia memiliki kemampuan untuk mempengaruhi tindakan orang lain. Kapasitas
dari agency itu sendiri menurut Sewell (1992: 20) yaitu kemampuan untuk berkeinginan,
untuk membentuk maksud/tujuan dan untuk bertindak secara kreatif, “…a capacity for
agency- for desiring, for forming intentions, and for acting creatively”. Menurut Ortner
(2006) terdapat beberapa komponen yang dapat menggambarkan agency, yaitu intentionality
dan power. Menurut Ortner (2006: 134) intentionality yaitu:
“Intentionality in agency might include highly conscious plots and schemes: somewhat
more nebulous aims goals, and ideals, and finally desires, wants, and needs that may
range from being deeply buried to quite consciously felt”.

Intinya intentionality dalam agency ini menurut Ortner melibatkan pemikiran dan
emosi yang diarahkan untuk tujuan tertentu. Ortner (2006: 136) mengutip Sewell mengatakan
bahwa setiap orang memiliki kapasitas agency, namun secara spesifik bentuknya dapat
beragam disesuaikan dengan waktu dan tempat yang berbeda.
“At the same time there is general agreement that agency is always culturally and
historically constructed… all humans have the capacity for agency, but the specific
forms it takes will vary in different times and places” (Ortner, 2006: 136).

Universitas Indonesia

Food taboo ..., Ira Utami Agusputri, FISIP UI, 2015


9

Selain intentionality, komponen agency adalah power. Menurut Ortner (2006: 143)
power yang dimiliki oleh seorang agen terletak pada kemampuannya untuk bertindak sesuai
dengan kepentingannya sendiri, serta memiliki kontrol terhadap kehidupannya sendiri. Power
dalam agency menurut Sewell (1992: 21) muncul dalam bentuk kemampuannya untuk
mengkoordinasi tindakan seseorang terhadap orang lain.
“Agency entails an ability to coordinate one’s actions with others and against others,
to form collective projects, to persuade, to coerce, and to monitor the simultaneous
effects of one’s own and others’ activities. Moreover, the extent of the agency
exercised by individual persons depends profoundly on their positions in collective
organizations” (Sewell, 1992: 21).

Dalam persoalan pantangan makan, kapasitas agency ini muncul dalam bentuk cara-
cara seorang agen menyampaikan maksud dan tujuan yang ia miliki dalam menyebarkan
pengetahuan pantangan makan dan kemampuannya untuk mempengaruhi tindakan orang lain
agar mengikuti pantangan makan.
Penelitian kualitatif ini dilakukan di Desa Ciganjeng, tepatnya di Kecamatan
Padaherang Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan di sebuah dusun
bernama Dusun Cihideung dan Dusun Babakan. Penelitian dilakukan selama 30 hari,
dilakukan secara berkala sejak Agustus 2014 hingga Februari 2015. Subjek penelitian ini
terdiri dari: seorang paraji, seorang bidan, dan 4 orang ibu yang sudah pernah mengalami fase
hamil, melahirkan, dan masa nifas. Data penelitian dikumpulkan melalui wawancara
mendalam. Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang paling penting dalam
melakukan penelitian etnografi. Wawancara mendalam menurut Bogdan dan Taylor (1984:
77) adalah wawancara tatap muka antara peneliti dengan informan secara langsung, yang
dimaksudkan untuk memahami cara pandang informan mengenai hidupnya, pengalamannya
atau kejadian-kejadian yang dialaminya melalui perkataan mereka sendiri.

Jenis-Jenis Pantangan Makan Ibu Hamil dan Masa Nifas di Desa Ciganjeng
Terdapat jenis-jenis makanan yang dipantangan bagi ibu hamil dan masa nifas di Desa
Ciganjeng. Pantangan makan tersebut harus dijaga dan dipatuhi oleh ibu-ibu sejak hamil
hingga pasca melahirkan (masa nifas selama 40 hari). Pantangan makan adalah larangan
untuk mengonsumsi makanan tertentu dan apabila dilanggar akan terdapat akibat yang
diterima oleh si pelanggar. Dalam konteks ibu hamil dan masa nifas, pantangan makan
merupakan jenis-jenis makanan yang tidak boleh dikonsumsi oleh ibu hamil dan masa nifas,
dan apabila dilanggar akan terdapat akibat yang diterima oleh ibu maupun bayi. Menurut
Universitas Indonesia

Food taboo ..., Ira Utami Agusputri, FISIP UI, 2015


10

Anggorodi (1998: 179) pantangan dilakukan untuk bermacam-macam tujuan, yang


dimaksudkan untuk melindungi sang bayi dan juga wanita hamil itu sendiri. Swasono dan
Soselisa (dalam Swasono, 1998: 179) bahwa salah satu tujuan pantangan makan adalah
menghindari bahaya yang ditimbulkan oleh kualitas bahan makanan tertentu. Swasono (1998:
7) lebih lanjut menjelaskan bahwa
“Di lingkungan masyarakat yang menganut keyakinan tentang dikotomi panas-dingin,
kondisi hamil sering dianggap menyebabkan wanita berada dalam “keadaan panas”,
sehingga ia harus melakukan pantangan makan, yakni dilarang mengonsumsi bahan-
bahan makanan yang dikategorikan mengandung sifat atau kualitas “panas” juga. Ia
harus makan bahan-bahan makanan yang dianggap berkualitas “dingin” saja. Setelah
tahapan kehamilan dilewati, kondisi ibu melahirkan sebaliknya, ialah “dingin”. Karena
itu ia dilarang mengonsumsi bahan-bahan makanan yang berkualitas dingin pula”.

Di Desa Ciganjeng, jenis-jenis makanan tertentu dipantang dengan alasan karena dapat
menyebabkan keguguran, menyebabkan bau amis pada darah ibu saat melahirkan, serta
menyebabkan perdarahan (luka kambuh pasca melahirkan), dan gangguan pencernaan pada
bayi (lihat Tabel 1 dan Tabel 2).
Pantangan makan bagi ibu hamil di Desa Ciganjeng dilakukan dengan alasan terkait
dengan kualitas/ sifat asosiatif makanan yang kemudian dikaitkan dengan alasan-alasan
kesehatan. Secara medis, jenis makanan yang dipantang bagi para ibu hamil di Desa
Ciganjeng memang memiliki dampak negatif baik bagi kesehatan ibu maupun bayinya (lihat
Tabel 1). Berbeda halnya dengan pantangan makan ibu hamil, pantangan makan ibu masa
nifas tidak berkaitan dengan kualitas makanan dan berdasarkan sifat asosiatif makanan,
melainkan hanya berdasarkan alasan-alasan kesehatan saja. Pantangan makan bagi ibu pasca
melahirkan (masa nifas) lebih beragam jenisnya. Kondisi ibu pasca melahirkan (masa nifas)
yang berada pada masa penyembuhan luka dan menyusui bayi, membuat mereka sangat
diperhatikan, terutama terkait dengan makanan yang mereka konsumsi.
Di Desa Ciganjeng, makanan dianggap dapat mempengaruhi penyembuhan luka ibu
pasca melahirkan (masa nifas) dan mempengaruhi pencernaan bayi. Oleh karena itu, berbagai
makanan yang dianggap dapat memperlambat penyembuhan luka pasca melahirkan,
menyebabkan gangguan penceranan pada bayi maupun ibu, serta menyebabkan bayi muntah
dilarang dikonsumsi oleh ibu masa nifas (lihat Tabel 2). Berbeda halnya dengan pantangan
makan ibu hamil yang secara medis telah dapat dibuktikan memiliki dampak negatif bagi para
ibu hamil, jenis-jenis makanan yang dipantang bagi ibu masa nifas di Desa Ciganjeng, belum
terbukti memiliki dampak negatif bagi kesehatan para ibu masa nifas.

Universitas Indonesia

Food taboo ..., Ira Utami Agusputri, FISIP UI, 2015


11

Tabel 1. Klasifikasi Pantangan Makan Ibu Hamil

Universitas Indonesia

Food taboo ..., Ira Utami Agusputri, FISIP UI, 2015


12

Tabel 2. Klasifikasi Pantangan Makan Ibu Masa Nifas


Jenis Pantangan Makan Ibu
Alasan Dipantang Menurut Pandangan
Masa Nifas Medis
Nangka
Kulur atau buah sukun
Waluh atau labu siam Dapat menyebabkan
Tangkil atau melinjo perdarahan pada ibu masa
Tidak Dipantang
Durian nifas dan memperlama luka
Pisang nangka pasca melahirkan.
Dodol ketan
Ikan yang memiliki patil
Mencemari air susu ibu,
mengakibatkan bayi
muntah, mengganggu
pencernaan bayi, dapat
Ikan laut Tidak Dipantang
membuat rahim si ibu
bengkak dan lama untuk
sembuh, serta bisa
menimbulkan gatal
Makanan gurih (makanan
Membuat ibu mengalami
yang digoreng atau makanan Makanan dengan
gangguan pencernaan,
yang bersantan) cita rasa yang
membuat rahim si ibu lama ekstrem (sangat
Makanan pedas pahit, sangat pedas,
untuk pulih dan
atau sangat asam)
berpengaruh pada dapat
pencernaan anak yang mempengaruhi
Makanan asam kesehatan bayi,
mendapat asupan makan misalnya iritasi
lambung pada bayi.
dari ASI

Transmisi Pengetahuan Tentang Pantangan Makan


Para ibu hamil dan masa nifas yang menjadi subjek penelitian ini mendapatkan
pengetahuan tentang pantangan makan secara informal, yaitu dengan mendengarkan nasihat-
nasihat dan juga berdasarkan pengalaman. Hal ini mendukung pernyataan Borofsky (1987)
bahwa listening atau mendengarkan memang merupakan hal yang berperan penting dalam
memperoleh pengetahuan. Para ibu yang menjadi subjek penelitian ini mengetahui pantangan
makan berdasarkan nasihat-nasihat yang diberikan oleh Mak Enok saat melakukan perawatan
kehamilan dan kelahiran. Nasihat yang diberikan oleh Mak Enok kepada ibu hamil dan masa
nifas adalah terkait dengan jenis-jenis makanan pantang dan alasannya, sebagaimana
penuturan para ibu berikut ini:
Ibu Neneng:
“Iyah Mak Enok yang kasih tau.. yah dikasih tau aja jangan boleh makan ini itu, ngasih
taunya pas lagi duduk ngobrol, abis melahirkan, dikasih tau jangan makan-makan kaya
gituan.. yah katanya nanti bisa berdarah lagi, terus sakit perutnya” (Wawancara Ibu
Neneng, 15 Januari 2015).

Ibu Dahlia:
“yah ngasih tau cuma katanya kalo usia kandungan udah 8 bulan 9 bulan, jangan makan
es gitu.. yah kasih taunya gitu doang, supaya dijaga yang berat-berat jangan dimakan.
Cuma gitu doang, makanan mah ga banyak kata paraji.. jadi emak mah bilang kalo apa
Universitas Indonesia

Food taboo ..., Ira Utami Agusputri, FISIP UI, 2015


13

yang aku mau dimakan aja, kalo udah lahiran justru jarang ada yang dimakan… si Mak
Enok yang kasih.. pas udah lahiran dikasih tau, semua pantangan taunya dari Mak
Enok” (Wawancara Ibu Dahlia,13 Januari 2015).

Ibu Amih:
“Kan itu kata Mak Enok kan katanya jangan, yaudah saya nurut aja ga boleh. Dikasih
tau pantangannya dari Mak Enok. Orang tua juga kan taunya dari Mak Enok pernah
lahiran sama Mak Enok kan waktu itu” (Wawancara Ibu Amih, 15 Januari 2015).

Ibu Rere:
“Kalo di sini mah ngikutinnya paraji teh, pantangannya dikasih dari Mak Enok. Nah
orang tua juga kasih tau tapi sama ajah sama kaya yang Mak Enok bilang” (Wawancara
Ibu Rere,13 Januari 2015).

Borofsky (1987) juga mengatakan bahwa selain pentingnya aspek mendengarkan, faktor
yang juga penting dalam pembentukan pengetahuan adalah pengalaman langsung. Praktik
atau tindakan dapat membantu seseorang untuk menguasai pengetahuan mereka. Pengalaman
juga merupakan faktor penting dalam pembentukan pengetahuan dan praktik food taboo di
Desa Ciganjeng. Pengalaman para ibu dalam menjalankan pantangan makan menjadi penguat
penyebaran pengetahuan tentang pantangan makan.
Mak Enok sebagai orang yang menyebarkan pengetahuan pantangan makan
memperoleh pengetahuan pantangan makan tersebut berdasarkan pengalamannya pada waktu
hamil dan masa nifas. Mak Enok memperoleh pengetahuan pantangan makan awalnya dari
orang tua, kemudian ia mempraktikkan pengatahuan pantangan makan tersebut dengan
mencoba melanggar dan mengonsumsi jenis makanan tertentu. Setelah Mak Enok mencoba
dan mendapatkan dampak, seperti perdarahan atau akibat-akibat lainnya yang mengganggu
kesehatan dirinya dan janin, hal itu kemudian membentuk pengetahuan Mak Enok akan jenis-
jenis dan alasan pantangan makan bagi ibu hamil dan ibu masa nifas. Pengetahuan dan
pengalaman mengenai jenis-jenis serta alasan pantangan makan yang ia miliki tersebut ia
kumpulkan, kemudian ia konstruksi kembali dengan cara menyebarkan pengetahuan
pantangan makan tersebut kepada para pasiennya.
Pengalaman para pasiennya yang pernah melanggar dan kemudian mendapatkan
dampak setelah memakan-makanan tersebut juga membuat Mak Enok percaya bahwa jenis
dan alasan pantangan makan yang ia sebarkan dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan bayi.
Ibu yang melanggar pantangan dan mengalami dampak dari pelanggaran tersebut pada
umumnya akan berkonsultasi kembali dengan Mak Enok. Pengalaman-pengalaman pasiennya
tersebut kemudian akan disebarkan kembali oleh Mak Enok kepada para ibu hamil dan masa
nifas yang dirawatnya. Berikut cerita Mak Enok:
Universitas Indonesia

Food taboo ..., Ira Utami Agusputri, FISIP UI, 2015


14

“Iyah kasih tau, nah kalo lama sembuhnya berarti makannya ga pantang yang makan
ibunya nanti yang terasa bayinya, nanti ada radang usus, berdampak sama bayinya
karna ibunya ga pantang. Pernah ada yang langgar… kemudian meninggal ga ketolong
usus buntu, padahal ususnya udah dipotong yang meninggal bayinya… terus akhirnya
yang anak ke dua baru ikutin pantangan. Akhirnya setahun kemudian hamil lagi,
melahirkan, dan akhirnya emak mau ngerawat anaknya lagi tapi emak bilang
pantangannya harus dijaga. Ga boleh engga dijaga pantangannya, akhirnya nurut ga
kenapa-kenapa, dia punya anak tiga emak yang ngerawat.. yang langgar mak ceritain
lagi ke pasien lain biar tau udah itu contohnya kaya gitu kalo langgar terasa sendiri
nanti ke mak lagi minta rawat” (Wawancara Mak Enok, 19 Agustus 2014).

Selain pengalaman Mak Enok serta pengalaman para pasiennya yang ia sebarkan
kembali kepada para pasien lainnya sebagai contoh penguat bagi para pasien lainnya,
pengalaman pelanggaran yang dilakukan para ibu subjek penelitian ini juga memperkuat
kepercayaan mereka sendiri terhadap pengetahuan pantangan makan yang mereka peroleh
dari Mak Enok. Pada saat hamil, Ibu Rere pernah melanggar pantangan memakan durian,
petai, dan jengkol yang disarankan oleh Mak Enok. Setelah mengonsumsi makanan tersebut,
perutnya mengalami kontraksi (perut panas) dan saat melahirkan darahnya berbau amis.
Setelah mengalami hal itu, Ibu Rere akhirnya kembali mempercayai pantangan makan yang
diberikan oleh Mak Enok. Selain Ibu Rere, Ibu Dahlia juga pernah melanggar pantangan
makan. Ibu Dahlia melanggar pantangan saat masa nifas dengan memakan nangka, tangkil
(melinjo), labu siam (walu siam) dan makanan pedas. Akibatnya, ia pun mengalami
perdarahan kembali saat masa nifas. Pengalaman melanggar pantangan makan yang dilakukan
oleh Ibu Rere dan Ibu Dahlia membantu memperkuat pengetahuan pantangan makan yang
mereka peroleh dari Mak Enok. Berdasakan cara perolehan pengetahuan tersebut, menjadi
jelas bahwa informasi awal mengenai pantangan makan diperoleh para ibu hamil dan masa
nifas dari paraji Mak Enok. Pengetahuan pantangan makan tersebut diberikan oleh Mak Enok
secara langsung saat melakukan perawatan kehamilan dan kelahiran kepada para ibu hamil
dan masa nifas.

Peran Agen dalam Pembentukan Pengetahuan Pantangan Makan Di Desa Ciganjeng

Paraji Mak Enok merupakan orang yang dipercaya dan banyak digunakan jasanya oleh para
ibu hamil di Desa Ciganjeng. Kepiawaian dan pengalaman Mak Enok membuatnya dipercaya
menangani kehamilan dan kelahiran dari satu generasi ke generasi lain dalam satu keluarga
yang sama. Dalam menjalankan kewajibannya melakukan perawatan kehamilan dan
kelahiran, Mak Enok selalu memberikan nasihat kepada para pasiennya. Salah satu nasihat

Universitas Indonesia

Food taboo ..., Ira Utami Agusputri, FISIP UI, 2015


15

yang ia berikan kepada pasiennya adalah memantang makanan-makanan tertentu yang


dianggap berbahaya bagi kesehatan ibu dan janin. Biasanya nasihat-nasihat tersebut diberikan
oleh Mak Enok kepada para pasiennya saat melakukan pemeriksaan kehamilan yaitu saat para
ibu dipiijat atau digedog. Nasihat-nasihat mengenai pantangan makan yang diberikan oleh
Mak Enok tersebut biasanya ditekankan kepada para ibu yang baru pertama kali hamil dan
melahirkan, karena para ibu tersebut dianggap belum mengetahui informasi mengenai
pantangan makan. Bagi para ibu yang sudah pernah melakukan pemeriksaan kehamilan dan
proses kelahirannya dibantu oleh Mak Enok, biasanya informasi tentang pantangan makan
tidak akan diberitahukan kembali secara rinci, tetapi hanya diingatkan saja karena para ibu
dianggap sudah mengetahuinya.
Para ibu yang awalnya tidak mengetahui pantangan makan menjadi mengetahui
pantangan makan dari Mak Enok. Pengetahuan tentang pantangan makan yang diberikan Mak
Enok kepada Ibu hamil dan masa nifas mencakup jenis makanan yang dipantang dan alasan-
alasannya seperti sudah dijabarkan di atas (lihat Tabel 1 dan Tabel 2). Nasihat-nasihat tentang
pantangan makan yang diberikan oleh Mak Enok kemudian mempengaruhi tindakan para ibu
hamil dan masa nifas, sehingga memunculkan kebiasaan makan para ibu hamil dan masa nifas
di Desa Ciganjeng. Kemampuan Mak Enok yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan
tindakan para ibu tersebut membuat Mak Enok dapat dikatakan sebagai seorang agen dalam
penyebaran pengetahuan pantangan makan. Agen menurut Karp (dalam Ahearn, 2001: 113)
“an agent refers to a person engaged in the exercise of power in the sense of the ability to
bring effects…”. Jadi seorang dapat dikatakan sebagai seorang agen apabila ia memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi tindakan orang lain. Seorang agen harus memiliki
kemampuan tertentu yang oleh Ahearn (2001: 113) disebut sebagai agency, yaitu“…refers to
the socioculturally mediated capacity to act”.
Menurut Ortner (2006:137) agency merupakan kapasitas untuk mempengaruhi sesuatu
“agency is the capacity to affect things”. Mak Enok sebagai seorang agen memiliki kapasitas
agency. Menurut Sewell (1992: 20) kapasitas agency yaitu kemampuan untuk berkeinginan,
untuk membentuk maksud/tujuan dan untuk bertindak secara kreatif “…a capacity for
agency- for desiring, for forming intentions, and for acting creatively”. Mak Enok sebagai
agen memiliki kapasitas agency yaitu intentionality dan power. Kapasitas agency yang ia
miliki tersebut yang kemudian dapat mempengaruhi pengetahuan dan tindakan para ibu hamil
dan masa nifas untuk menjaga pantangan makan sehingga ia dapat disebut sebagai seorang
agen dalam penyebaran pengetahuan pantangan makan.

Universitas Indonesia

Food taboo ..., Ira Utami Agusputri, FISIP UI, 2015


16

Mak Enok menyebarkan pengetahuan pantangan makan yang ia sebut sebagai


penyuluhan dengan tujuan agar ibu hamil kelak bisa melahirkan normal, lancar serta ibu dan
bayinya sehat. Sementara itu, pantangan makan bagi ibu masa nifas diberitahukan oleh Mak
Enok kepada pasiennya dengan tujuan agar tidak terjadi perdarahan lagi dan bayinya sehat
(tidak mengalami muntah, dan gangguan pencernaan), seperti penuturannya berikut ini:
“Sama emak dikasih penyuluhanlah yang hamil.. itu aja sih.. engga.. ga dikasih tau
sama orang tua, sama dukun bayi juga engga.. cuma emaklah yang kasih penyuluhan..
kan berdasarkan pengalaman sendiri.. Itu ada kelainan beh sama bayi.. Iyah kalo
misalnya makan itu nanti bayinya bisa kelainan” (Wawancara Mak Enok, 16
Desember 2014).

Tindakan Mak Enok memberikan informasi tentang pantangan makan kepada ibu
hamil jelas memiliki tujuan tertentu. Ia tentu berharap para ibu hamil yang dirawatnya
bersedia menuruti nasihatnya. Dengan demikian jelas bahwa Mak Enok memiliki intensi.
Menurut Ortner (2006: 134)
“Intentionality in agency might include highly conscious plots and schemes: somewhat
more nebulous aims goals, and ideals, and finally desires, wants, and needs that may
range from being deeply buried to quite consciously felt.”

Lebih lanjut Ortner (2006: 134) menjelaskan bahwa intentionality merupakan


keseluruhan cara yang mana tindakan kognitif dan emosional mengarah pada tujuan tertentu
“intentionality as concept is meant to include all the ways in which action is cognitively and
emotionally pointed toward some purpose”. Intinya, intentionality yaitu berupa maksud,
tujuan, keinginan, yang dilakukan untuk melakukan perubahan (Hunaifi, 2012: 39). Mak
Enok memiliki tujuan dalam mempengaruhi tindakan para ibu untuk mengikuti pantangan
makan yang ia berikan agar para ibu dan bayi yang ia rawat tetap sehat. Nasihat-nasihat dan
peringatan mengenai pantangan makan yang diberikan Mak Enok berhasil membuat para ibu
takut untuk melanggar pantangan makan yang diberikan olehnya. Para ibu bersedia mentaati
aturan pantangan makan karena takut akan mendapatkan dampak buruk bagi diri dan bayinya,
mereka takut apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti terjadinya keguguran,
perdarahan, gangguan pencernaan.
Hal yang dilakukan Mak Enok tersebut merupakan wujud untuk memperkuat intensi
yang ia miliki sebagai agen. Setiap melakukan pemeriksaan kehamilan dan pasca melahirkan,
Mak Enok selalu mengingatkan agar para ibu mengikuti nasihat tentang pantangan makan
yang ia berikan demi untuk menjaga kesehatan ibu dan bayinya. Tujuan Mak Enok
menyebarkan pengetahuan pantangan makan kepada para ibu hamil dan masa nifas muncul

Universitas Indonesia

Food taboo ..., Ira Utami Agusputri, FISIP UI, 2015


17

sebagai bentuk tanggung jawabnya dalam menjalankan tugas menjadi paraji yang membantu
perawatan kehamilan, kelahiran, dan masa nifas. Dengan begitu jasanya akan terus digunakan
oleh para ibu di Desa Ciganjeng karena ia menjalankan tugasnya dengan baik. Mak Enok
dapat dikatakan sebagai seorang agen, karena mampu untuk mengkoordinasi, mengajak, dan
membuat perubahan tindakan pada para ibu hamil dan masa nifas di Desa Ciganjeng dalam
kaitannya dengan mematuhi pantangan makan.
Dalam rangka menjaga/memastikan agar nasihat pantangan makan yang diberikannya
dituruti oleh ibu-ibu yang dirawatnya, Mak Enok juga memberikan peringatan kepada para
ibu yang telah melanggar. Mak Enok biasanya akan mengetahui apabila si ibu melanggar
pantangan makan, karena para ibu yang melanggar pantangan dan menerima dampak tersebut
biasanya akan kembali memeriksakan kandungannya ke Mak Enok dan memintanya untuk
memberikan ramuan agar cepat pulih. Kemudian Mak Enok akan memberikan peringatan
kepada para ibu tersebut untuk tidak melanggar pantangan makan lagi.
Dengan demikian jelas bahwa Mak Enok memiliki pengaruh untuk membuat
pasiennya menuruti nasihat pantangan makan yang disarankannya. Kemampuan Mak Enok
untuk mengoordinasi, memaksa, serta memantau tindakan pasiennya menunjukkan adanya
power dalam kapasitas agensi yang dimiliki Mak Enok. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan
oleh Sewell (1992: 21) mengenai Power dalam agency yaitu “Agency entails an ability to
coordinate one’s actions with others and against others, to form collective projects, to
persuade, to coerce, and to monitor the simultaneous effects of one’s own and others’
activities.”
Pengalaman para ibu yang pernah melanggar pantangan makan dan kembali menemui
Mak Enok untuk mendapatkan pengobatan, lalu akhirnya mempercayai nasihat Mak Enok
menunjukkan adanya power dalam kapasitas agensi yang dimiliki Mak Enok. Hal ini sejalan
yang dikatakan oleh Ortner (2006: 143) bahwa agen itu harus memiliki kemampuan agensi
yaitu kemampuan untuk bertindak untuk dirinya sendiri dan juga untuk mempengaruhi orang
lain dan memiliki kontrol terhadap kehidupannya sendiri.
“Agency can be virtually synonymous with the forms of power people have at their
disposal, their ability to act on their own behalf, influence other people and events,
and maintain some kind of control in their own lives” Ortner (2006: 143).

Mak Enok dapat membuat para ibu mengikuti kehedaknya dan mengontrol para ibu
agar tetap menjalankan pantangan yang ia berikan. Power yang dimiliki tersebut muncul
dalam bentuk memperingati dan mengancam secara halus agar para ibu tidak melangar

Universitas Indonesia

Food taboo ..., Ira Utami Agusputri, FISIP UI, 2015


18

pantangan yang ia berikan.


Kapasitas agensi yang dimiliki oleh Mak Enok tersebut tidak begitu saja diperoleh
secara alamiah, melainkan diperoleh melalui proses belajar, seperti yang dikemukakan oleh
Ortner (2006: 136) bahwa agensi secara budaya dan historis selalu dikonstruksi, semua
manusia memiliki kapasitas agensi namun kapasitas tersebut diperoleh dengan cara dipelajari
sehingga seorang agen tersebut memiliki kemampuan untuk mempengaruhi tindakan dan
pengetahuan orang lain, “At the same time there is general agreement that agency is always
culturally and historically constructed. Just as all humans have a capacity for language but
must learn to speak a particular language…”.
Mak Enok mengetahui tentang makanan-makanan yang berbahaya bagi ibu hamil dan
masa nifas dari orang tuanya. Pada saat hamil, Mak Enok hanya dilarang mengonsumsi
nangka, kulur, dan waluh oleh orang tuanya. Pengetahuan pantangan makan yang ia peroleh
dari orang tuanya berkembang berdasarkan hasil belajar melalui pengalaman pribadi.
Perkembangan pengetahuan pantangan makan Mak Enok dari yang pernah dijelaskan oleh
orang tuanya terkait dengan jenis makanan pantang, mencakup: durian, nanas, dodol ketan,
ikan patil, ikan laut, jengkol, makanan-makanan gurih (makanan yang digoreng), makanan
pedas, es, bakso dan makanan asam.
Pengalaman Mak Enok saat hamil dan masa nifas dalam mencoba jenis-jenis makanan
tertentu yang sebelumnya tidak dipantang oleh orang tua, kemudian memunculkan dampak
tertentu terhadap dirinya membuat ia percaya bahwa jenis makanan tersebut tidak baik bila
dikonsumsi bagi ibu hamil dan masa nifas. Praktik yang dilakukannya dengan mencoba-coba
tersebut membuat pengetahuan Mak Enok mengenai jenis-jenis dan alasan pantangan makan
menjadi bertambah. Hal yang dilakukan oleh Mak Enok tersebut dapat disebut sebagai
modifikasi pengetahuan dalam pantangan makan. Menurut Keller dan Keller (1993: 127)
pengetahuan secara terus-menerus selalu diperhalus, diperkaya, dan diperbaiki melalui
pengalaman-pengalaman.
“Knowledge is continually being refines, enriched, or completely revised by
experience wherease external action accommodates unanticipated physical
contingencies or previously unrecalled specifics of the activity” Keller dan Keller
(1993: 127).

Keller dan Keller (1993: 126) lebih lanjut menjelaskan bahwa tindakan secara terus
menerus membawa manusia pada practical contact terhadap objek yang kemudian dapat
mengubah, dan memperkaya pengetahuan sebelumnya, “action continually brings the human

Universitas Indonesia

Food taboo ..., Ira Utami Agusputri, FISIP UI, 2015


19

into practical contact with objects that deflect, change, and enrich prior organizations of
knowledge”.

Kesimpulan
Pantangan makan di Desa Ciganjeng diberlakukan kepada ibu hamil dan masa nifas
dengan alasan-alasan kesehatan. Adapun jenis-jenis pantangan makan bagi ibu hamil yaitu
nanas, durian, makanan ragi (tape), makanan ragi, makanan soda, es, bakso, petai, jengkol,
ikan yang memiliki patil. Alasan-alasan jenis makanan tersebut antara lain terkait dengan
penyebab gangguan pada perut ibu hamil dan janin yang dikandung, luka pasca melahirkan,
pencemaran ASI, dan gangguan pencernaan ibu. Salah satu alasan pantangan makan bagi ibu
hamil terkait dengan pandangan adanya kesamaan kualitas panas dari makanan dan ibu hamil
sehingga apabila makanan tersebut dikonsumsi dapat menyebabkan keguguran atau
perdarahan.
Pengetahuan Mak Enok dan para ibu mengenai pantangan makan di Desa Ciganjeng
diperoleh melalui belajar informal, yaitu mendengarkan nasihat-nasihat dan juga berdasarkan
pengalaman. Hasil penelitian ini memperkuat penyataan Borofsky (1987) bahwa mendengar
dan pengalaman merupakan dua faktor penting dalam pembentukan pengetahuan. Mak Enok
sebagai paraji yang banyak digunakan jasanya oleh para ibu merupakan sumber awal
perolehan pengetahuan pantangan makan di Desa Ciganjeng. Mak Enok memberikan
pengetahuan pantangan makan saat melakukan pemeriksaan kehamilan dan kelahiran. Mak
Enok dapat dikatakan sebagai agen dalam transmisi pengetahuan pantangan makan karena
kemampuannya mempengaruhi, mengoordinasi, mengajak dan membuat perubahan tindakan
para ibu hamil dan masa nifas di desa Ciganjeng, terkait pantangann makan. Mak Enok
sebagai agen memiliki intensi dan power yang dapat membuat para ibu hamil dan masa nifas
mengikuti keinginannya untuk mematuhi anjuran pantangan makan yang ia berikan.
Saran saya adalah agar paraji saat melakukan kemitraan dengan bidan juga diberikan
pengetahuan mengenai gizi-gizi makanan bagi ibu hamil dan masa nifas sehingga alasan
pantangan makan yang berlaku bagi para ibu memang dapat memberikan dampak positif bagi
para ibu.Tujuan Mak Enok mengonstruksi pengetahuan pantangan makan adalah agar para
ibu dan bayi yang menjadi pasiennya sehat. Hal tersebut ia lakukan sebagai bentuk tanggung
jawabnya dalam menjalankan tugasnya sebagai paraji yang membantu kehamilan, kelahiran
hingga masa nifas seorang ibu. Jika pasien yang ditanganinya sehat, Mak Enok berharap
jasanya dapat terus digunakan oleh para ibu hamil dan masa nifas di Desa Ciganjeng. Intensi
Mak Enok terkait pantangan makan terbentuk berdasarkan pengalaman pribadi dan
Universitas Indonesia

Food taboo ..., Ira Utami Agusputri, FISIP UI, 2015


20

pengalaman para pasiennya yang mengalami dampak negatif setelah memakan jenis-jenis
makanan tertentu. Dengan cara menasihati, menceritakan pengalaman para pasiennya yang
lain yang pernah melanggar, dan memberikan peringatan kepada para ibu, Mak Enok
menerapkan power yang ia miliki sebagai seorang agen. Para ibu subjek penelitian ini pun
mentaati pantangan makan yang diberikan oleh Mak Enok.
Jenis-jenis pantangan makan bagi ibu hamil di Desa Ciganjeng dilihat secara medis
terbukti dapat menimbulkan dampak yang tidak baik bagi ibu hamil, sedangkan jenis-jenis
pantangan makanan bagi ibu masa nifas di Desa Ciganjeng belum terbukti secara medis dapat
menimbulkan dampak buruk bagi ibu masa nifas. Berdasarkan data yang saya peroleh,
nampaknya pantangan makan bagi ibu hamil di Desa Ciganjeng tidak menyebabkan pengaruh
negatif bagi kesehatan para ibu dan bayi. Saya menduga bahwa pantangan makan memiliki
pengaruh positif terhadap para ibu hamil di Desa Ciganjeng. Oleh karena itu, penelitian ini
membuktikan bahwa tidak sepenuhnya pantangan makan yang berlaku di suatu daerah
menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan para ibu maupun bayinya.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa dengan adanya paraji, pelayanan kesehatan
menjadi terbantu dalam hal melakukan perawatan kehamilan dan kelahiran para ibu. Peran
Mak Enok ini sebagai paraji yang menyebarkan pengetahuan pantangan makan sangat
penting.

SARAN
Menurut saya, pantangan makan yang berdampak positif tersebut harus tetap ada di
Desa Ciganjeng, namun harus dibarengi dengan penanaman pengetahuan gizi ibu hamil dan
ibu masa nifas oleh ahli kesehatan tidak hanya kepada para ibu tetapi juga kepada para paraji.
Saran saya adalah agar paraji saat melakukan kemitraan dengan bidan juga diberikan
pengetahuan mengenai gizi-gizi makanan bagi ibu hamil dan masa nifas sehingga alasan
pantangan makan yang berlaku bagi para ibu memang dapat memberikan dampak positif bagi
para ibu.

Universitas Indonesia

Food taboo ..., Ira Utami Agusputri, FISIP UI, 2015


21

Daftar Pustaka
Abidin, Zainal & Fitri Wahyuna
2013 Karya Tulis Ilmiah: Gambaran Sosial Budaya dengan Pola Makan Ibu
Menyusui di Kemukiman Jangka Buya Kecamatan Jangka Buya
Kabupaten Pidie Jaya.
Ahearn, Laura
2001 “Language and Agency” Annual Review of Anthropology 30: 109-137.

Anggorodi, Rina Artining


1998 “Pantangan Makan pada Wanita Sunda: Kasus Masyarakat Desa Simpar
dan Desa Kosambi” dalam Meutia F. Hatta Swasono (peny.) Kehamilan,
Kelahiran, Perawatan Ibu dan Bayi dalam Konteks Budaya. Jakarta:
Universitas Indonesia Press, Hal 91-114.
Apomfires, Frans
2002 “Makanan Pada Komuniti Adat Jae: Catatan Sepintas Lalu dalam
Penelitian Gizi”, Jurnal Antropologi Papua, Vol. 1 (2): 1-16.
Begossi, Alpina
1992 “Food Taboos at Buzios Island (Brazil): Their Significance and
Relation to Folk Medicine”, Journal of Ethnobiology 12 (1): 117-139.
Bolton, J M
1972 “Food Taboos among The Orang Asli in West Malaysia: A Potential
Nutritional Hazard”, The American Journal of Clinical Nutrition 25,
August: 789-799. Printed in USA.
Borofsky, Robert
1987 Making History: Pukapukan and Anthropological Constructions of
Knowledge. Cambridge: Cambridge University Press.
Colding, Johan
1998 “Analysis of Hunting Options by The Use of General Food Taboos”,
Ecological Modelling 110: 5-17.
Demissie, Tsegaye, Nelson Muroki & Wamboi Kogi-Makau
1998 “Food Taboos among Pregnant Women in Hadiya Zone, Ethiopia”,
Ethiopia Journal of Health Development 12 (1): 45-49.
Devy, Shrimarti R, Sofyan Haryanto, M. Hakimi, Yayi Suryo Prabandari, Totok
Mardikanto
2013 “Perawatan Kehamilan Dalam Prespektif Budaya Madura di Desa
Tambak Dan Desa Rapalaok Kecamatan Omben Kabupaten Sampang”,
Jurnal Promkes, Vol 1 (1): 25-33.
Foster, George M & Barbara Gallatin Anderson
2006 Antropologi Kesehatan, Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta
Swasono (Penerjemah), Jakarta: UI Press.
Gadegbeku, Cynthia, Rabaa Wayo, Gifty Ackah – Badu, Emefa Nukpe, Atukwei
Okai
2013 “Food Taboos among Residents at Ashongman- Accra, Ghana”, Food
Science and Quality Management, Vol. 15: 21-29.
Geddavalasa, Lakshmi
2013 “Food Preferences and Taboos during Ante-Natal Period among The
Tribal Women of North Coastal Andhra Pradesh”, Journal of
Community Nutrition and Health, Vol. 2, Issue 2: 32-37.

Universitas Indonesia

Food taboo ..., Ira Utami Agusputri, FISIP UI, 2015


22

Harnany, Afiyah Sri


2006 Pengaruh Tabu Makanan, Tingkat Kecukupan Gizi, Konsumsi Tablet
Besi, dan Teh Terhadap Kadar Hemoglobin Pada Ibu Hamil Di Kota
Pekalongan Tahun 2006. Tesis Tidak Diterbitkan. Semarang:
Universitas Diponegoro.
Hartiningtiyaswati, Setiya
2010 Hubungan Perilaku Pantangan Makanan dengan Lama Penyembuhan
Luka Perineum Pada Ibu Nifas Kecamatan Srengat Kabupaten Blitar.
Karya Tulis Ilmiah Tidak Diterbitkan. Surakarta: Universitas Sebelas
Maret.
Hesty, Muhammad Arsyad Rahman & Suriah
2013 Konsep Perawatan Kehamilan Etnis Bugis Pada Ibu Hamil Di Desa
Buareng Kecamatan Kajuara Kabupaten Bone. Karya Tulis Ilmiah
Tidak Diterbitkan. Fakultas Kesehatan Masyarakat: Universitas
Hasanudin.
http://repository.unhas.ac.id diakses pada tanggal 7 September 2014
pukul 13.30
Keller, Charles & Janet Dixon Keller
1993 “Thinking and Acting With Iron” dalam S. Chakilin dan J. Lave
(peny.) Understanding Practice: Perspectives on Activity and Context.
New York: Cambridge University Press, Hal 125-143.
Koon, Poh Bee, Wong Yuen Peng & Norimah A. Karim
2005 “Postpartum Dietary Intakes and Food Taboos among Chinese Women
Attending Maternal and Child Health Clinics and Maternity Hospital,
Kuala Lumpur”, Malaysian Journal of Nutrition 11(1): 1-21.
Jannah, Raudhatul
2013 Hubungan Pengetahuan Ibu Nifas dan Pantangan Makanan dengan
Perawatan Luka Ruptur Perineum di Rumah Sakit Ibu dan Anak.
Karya Tulis Ilmiah Tidak Diterbitkan. Banda Aceh: Sekolah Tinggi
Ilmu Keseharan U’budiyah.
Lingomo, Bongoli & Daiji Kimura
2009 “Taboo of Eating Bonobo among The Bongando People in The Wamba
Region, Democratic Republic of Congo”, African Study Monographs,
30(4), December: 209-225.
Maas, Linda T.
2004 Kesehatan Ibu dan Anak: Persepsi Budaya dan Dampak Kesehatannya.
Fakultas Kesehatan Masyarakat. Artikel Tidak Diterbikan. Universitas
Sumatera Utara: USU digital library.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3711/1/fkm%20linda2.
pdf diakses pada tanggal 7 September 2014 pukul 12.20
Meiliono, Irma & Budianto
2004 “Dimensi Etis Terhadap Budaya Makan dan Dampaknya Pada
Masyarakat”, Makara, Sosial Humaniora, Vol. 8 No. 2, Agustus: 65-
70.
McRonald, David R.
1977 “Food Taboos: A Primitive Environmental Protection Agency (South
America)”, Anthropos Bd.72: 734-748.
Meyer, Victor Benno & Rochow
2009 “Food Taboos: Their Origins and Purposes”, Journal of Ethnobiology
and Ethnomedicine, Vol.5 : 1-10.
Universitas Indonesia

Food taboo ..., Ira Utami Agusputri, FISIP UI, 2015


23

Onifade, Olasunkanmi Adeoye


2006 “Perception of Health Educator about the Effects of Food Taboos and
Fallacies on the Health of Nigerians”, Journal of Educational Research
and Development (JOERD) 1 (3): 44-50.
Ortner, Sherry B.
2006 Anthropology and Social Theory: Culture, Power and Acting Subject.
Durham and London: Duke University Press.
Patnaik, Rajesh
2007 “Ecology of Food Taboos and Fishing Technology: A Complex
System of Resource Partition among Jalari of North Coastal Andhra
Pradesh”, Anthropologist, 9 (2): 125-131.
Praditama, Agustina Dian
2014 “Pola Makan Pada Ibu Hamil dan Pasca Melahirkan di Desa Tiripan
Kecamatan Berbek Kabupaten Nganjuk”, Jurnal AntroUnairDotNet,
Vol. 3 (1): 1-16.
Priyadi, Sugeng
2006 “Makna Simbolis Pantangan Makan Pada Wanita Hamil di Pedesaan
Banyumas”, Jurnal Pembangunan Pedesaan, Vol.6 (3): 183-191.
Rahim, Muarifah, Citrakesumasari & Sri’ah Alhairini
2013 Gambaran Perilaku Ibu Hamil Terhadap Pantangan Makan Suku
Toraja di Makassar. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Sumatera Utara: USU digital library.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3711/1/fkm%20linda2.
pdf diakses pada tanggal 7 September 2014 pukul 12.20
Rahmaniar, Andi, Nurpudji A. Taslim & Burhanuddin Bahar
2013 “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kekurangan Energi Kronis
Pada Ibu Hamil di Tampa Padang, Kabupaten Mamuju, Sulawesi
Barat”, Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol. 2 (2): 98-103.
Sewell, William. H. Jr
1992 “A Theory of Structure: Duality, Agency, and Transformation”, The
American Journal of Sociology 98 (1): 1-29.
Sholihah, Lini Anisfatus
2013 Perilaku Tabu Makanan (Food Taboo) Pada Ibu Hamil Suku Tengger
Di Desa Ngadas Kabupaten Malang Jawa Timur. Skripsi Tidak
Diterbitkan. Depok: Universitas Indonesia.
Sukandar, Dadang
2007 “Makanan Tabu di Barito Kuala Kalimantan Selatan”, Jurnal Gizi dan
Pangan, Vol 2, No.1: 44-48.
Sukandi, Vita Priantina Dewi
1998 “Pandangan dan Perilaku Ibu Selama Kehamilan dan Pengaruhnya
pada Kematian Bayi di Desa Jalancagak, Subang Jawa Barat”, dalam
Meutia F. Hatta Swasono (peny.) Kehamilan, Kelahiran, Perawatan
Ibu dan Bayi dalam Konteks Budaya. Jakarta: Universitas Indonesia
Press, Hal 133-157.
Sunaryo
2004 Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Swasono, Meutia F.
1998 Kehamilan, Kelahiran, Perawatan Ibu dan Bayi dalam Konteks
Budaya. Jakarta: UI-Press.
Universitas Indonesia

Food taboo ..., Ira Utami Agusputri, FISIP UI, 2015


24

Taylor, Steven & Bogdan, Robert


1984 Introduction to Qualitative Research Methods: The Search For
Meanings. New York: John Wiley & Sons.
Torres, Maria Irene Santos & Edgar Vásquez Garibay
2003 “Food Taboos among Nursing Mothers of Mexico”, Jurnal Health
Population Nutrition Jun 21 (2): 142-149.
Triyani, Endang
2012 Tingkat Pengetahuan Ibu Nifas Tentang Gizi Ibu Menyusui di RB
Sukoasih Sukoharjo. Karya Tulis Ilmiah Tidak Diterbitkan. Surakarta:
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kusuma Husada.
Ulaen, Alex John
1998 “Pantangan Bagi Wanita Hamil dan Perawatan Persalinan di
Kepulauan Sangihe dan Talaud, Sulawesi Utara”, dalam Meutia F.
Hatta Swasono (peny.) Kehamilan, Kelahiran, Perawatan Ibu dan Bayi
dalam Konteks Budaya. Jakarta: Universitas Indonesia Press, Hal 115-
130.

Universitas Indonesia

Food taboo ..., Ira Utami Agusputri, FISIP UI, 2015

Anda mungkin juga menyukai