Abstrak
Skripsi ini mengkaji mengenai pantangan makan di kalangan ibu hamil dan ibu masa nifas di
sebuah pedesaan di Jawa Barat, yaitu Desa Ciganjeng. Melalui wawancara mendalam dan
pengamatan terlibat saya berupaya memahami kebiasaan dan pantangan makan yang
dilakukan para ibu hamil dan masa nifas sebagai bentuk upaya mereka dalam menjaga
kehamilan, kelahiran dan masa nifas. Para ibu hamil dan masa nifas di Desa Ciganjeng
memiliki kebiasaan makan tertentu yang tidak telepas dari adanya pantangan makan yang
harus mereka jalani. Beberapa jenis makanan dilarang dikonsumsi oleh ibu hamil dan masa
nifas di Desa Ciganjeng terkait dengan alasan-alasan kesehatan. Pengetahuan para ibu
mengenai jenis dan alasan pantangan makan tersebut mereka peroleh dari orang yang
berperan membantu perawatan kehamilan dan kelahiran yaitu paraji Mak Enok yang dapat
dikatakan sebagai agen dalam penyebaran pengetahuan pantangan makan.Tulisan ini
menjelaskan mengenai kapasitas agensi yang dimiliki oleh Mak Enok sehingga ia dapat
disebut sebagai agen dalam penyebaran pengetahuan pantangan makan.
Food Taboo and Agency: A Study about Food Taboo among Pregnant and
Postpartum Mothers in Ciganjeng Village, Pangandaran District, West
Java.
Abstract
This research focuses on the food taboo for pregnant mothers post-pregnancy mothers in
Ciganjeng village, West java. Through in-depth interviews, I seek to understand the eating
habits and taboos by pregnant women during childbirth as a form of their efforts in
maintaining pregnancy, birth and the postpartum period. In this village, both pregnant
mothers and post-pregnancy mothers have a habbit to eat some specific food. It includes kind
of food, time of eating, and method of eating. Those aforementioned items have something to
do with the food taboo implemented by those pregnant mothers and post-pregnancy mothers.
The food is considered a taboo due to health reasons. The knowledge possessed by those
mothers is acquired from a ‘paraji’ (a shaman helping to deliver babies) called Mak Enok that
can be called as an ‘agent’.The agents are considered important in spreading the knowledge of
food taboo in Ciganjeng village. Mak Enok as an agent has a capacity that affects knowledge
and actions of mothers to obey the food taboo given to them.
1 Universitas Indonesia
Pendahluan
Skripsi ini mengkaji mengenai pantangan makan bagi ibu hamil dan ibu pasca
melahirkan (masa nifas) di sebuah desa di Jawa Barat yaitu Desa Ciganjeng. Menurut
Anggorodi (1998: 102) Food taboo atau makanan pantang adalah bahan makanan atau
masakan yang tidak boleh dimakan oleh para individu dalam masyarakat karena alasan-alasan
yang bersifat budaya. Anggorodi juga menyatakan bahwa biasanya pihak yang diharuskan
memantang memiliki ciri-ciri tertentu (misalnya warga kelompok dengan totem tertentu yang
dilarang makan tumbuh-tumbuhan atau hewan yang merupakan totemnya), atau sedang
mengalami keadaan tertentu (misalnya karena sedang hamil atau menyusui), dan karena
masyarakat setempat memiliki kepercayaan tertentu terhadap bahan makanan tersebut
(misalnya berkenaan dengan sifat keramatnya). Sukandar (2007: 44) menyatakan bahwa tabu
makanan atau food taboo (pantangan makan) merupakan suatu larangan dalam mengonsumsi
makanan tertentu karena ada beberapa ancaman atau hukuman bagi orang yang
mengonsumsinya. Sukandar (2007: 44) menjelaskan bahwa dalam ancaman ini, terdapat
kekuatan supranatural dan mistik yang akan menghukum mereka yang melanggar aturan ini.
Pantangan makan tersebut bisa berlaku bagi siapa pun pada berbagai jenis kelamin
maupun usia, seperti halnya yang terjadi di Malaysia Barat. Penelitian yang dilakukan oleh
Bolton mengenai pantangan makan di Malaysia Barat (1972: 791) menjelaskan bahwa seluruh
masyarakat Orang Asli di Malaysia Barat dilarang untuk membunuh dan memakan daging
harimau. Memakan daging harimau sama saja dengan memakan manusia, karena harimau
dianggap mengandung human spirit.
Isu mengenai food taboo berkembang di berbagai negara di dunia, seperti di Amerika
Selatan, India, Nigeria, Ghana, China, Ethiopia, Republic Congo, Mexico, Brazil dan
Malaysia Barat (lihat McRonald, 1977; Bolton, 1972; Torres dan Garibay, 2003; Lingomo
dan Kimura, 2009; Geddavalasa, 2013; Koon et al., 2005; Onifade, 2006; Demissie et al.,
1995; Begossi, 1992; Gadegbeku et al., 2013). Di Indonesia sendiri kepercayaan mengenai
pantangan makan masih ditemui di beberapa masyarakat di daerah pedesaan, khususnya bagi
kelompok resiko tertentu, seperti ibu hamil dan ibu menyusui (lihat Sholihah, 2013;
Sukandar, 2007; Devy et al., 2013; Hesty et al., 2013; Ulaen, 1998; Sukandi, 1998).
Pantangan makan (food taboo) yang diberlakukan pada ibu hamil dan ibu menyusui seringkali
berpengaruh buruk pada gizi ataupun kesehatan mereka, seperti yang dinyatakan oleh
Rahmaniar et al (2013: 101) dalam penelitiannya di Sulawesi Barat bahwa pantangan makan
dapat menyebabkan kekurangan energi kronis pada ibu hamil. Hal ini juga dikemukakan oleh
Universitas Indonesia
Foster (2006) bahwa dalam konteks perilaku dan budaya tertentu, pantangan terhadap
makanan tertentu masih ada dan harus dijalani oleh ibu hamil dan melahirkan yang kemudian
dapat mengakibatkan banyak ibu hamil tidak dapat mengonsumsi makanan tinggi protein.
Menurut Foster (2006) masyarakat tradisional seringkali gagal dalam melihat susunan
makanan (gizi makanan) yang baik dengan kesehatan yang baik. Susunan makanan yang
dibutuhkan oleh seseorang justru tidak diberikan dengan seharusnya sesuai kebutuhan karena
alasan tertentu.
Food taboo sudah banyak dikaji oleh ahli dari berbagai disiplin ilmu, baik ilmu
kesehatan dan ilmu sosial, termasuk Antropologi. Para ahli ilmu kesehatan pada umumnya
membahas isu-isu food taboo (pantangan makanan) berkaitan dengan penyakit yang timbul
akibat para ibu menyusui mengikutinya sehingga berpengaruh pada status gizi dan kesehatan,
baik bagi si ibu maupun bayinya (lihat Harnany 2006; Maas, 2004; Abidin dan Wahyuna,
2013; Meiliono et al., 2004). Ada pula penelitian ilmu kesehatan (kebidanan) mengenai
pantangan makan bagi ibu pasca melahirkan yang mengakibatkan lamanya penyembuhan luka
Perineum (luka di antara anus dan vulva wanita) pada masa nifas (lihat Jannah, 2013;
Hartiningtiyaswati, 2010). Ahli kebidanan lainnya yang meneliti mengenai pantangan makan
juga mengkaji mengenai hubungan antara tingkat pengetahuan para ibu mengenai gizi bagi
ibu masa nifas dan menyusui (lihat Wahyuna, 2013; lihat juga Triyani, 2012).
Pantangan makan juga sudah dikaji oleh ahli ekologi, khususnya terkait dengan isu
kaitan antara pantangan makan dan konservasi alam (lihat Patnaik, 2007; Colding, 1998;
Lingomo dan Kimura, 2009). Pantangan makan juga sudah dikaji oleh ahli bidang kesehatan
masyarakat. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh ahli kesehatan masyarakat mengenai
pantangan makan lebih kepada penjelasan mengenai jenis-jenis dan alasan pantangan makan
sebagai bagian dari perawatan kehamilan di wilayah tertentu. Devy et al. (2013) yang
merupakan ahli kesehatan masyarakat membahas mengenai perawatan kehamilan dalam
perspektif budaya Madura di Desa Tambak dan Desa Rapalaok, Kabupaten Sampang. Dalam
penjelasannya mengenai perawatan kehamilan tersebut terdapat pembahasan mengenai
pantangan makan ibu hamil berdasarkan budaya Madura. Para ibu hamil di Desa Tambak dan
Desa Rapalaok saat hamil dipantang untuk mengonsumsi telur, ikan laut, nanas dan terong
karena dapat menimbulkan rasa panas pada perut, selain itu juga ibu hamil dilarang
mengonsumsi makanan pedas karena dapat membuat bayi sakit mata. Ahli kesehatan
masyarakat lainnya yaitu Hesty et al. (2013) juga mendeskripsikan perawatan kehamilan pada
masyarakat Bugis yang di dalamnya juga terdapat pantangan makan pada ibu hamil.
Universitas Indonesia
Pantangan makan tersebut dilakukan untuk menjaga para ibu hamil dari bahaya atau dampak
buruk yang diakibatkan karena mengonsumsi makanan yang dipantang.
Penelitian pantangan makan juga banyak dilakukan oleh ahli Gizi, salah satunya
adalah Sholihah (2013) yang menggambarkan secara keseluruhan mengenai tabu makanan
bagi ibu hamil pada masyarakat suku Tengger di Desa Ngadas. Penelitian tersebut
menjelaskan mengenai faktor pencetus, pendukung dan penguat yang menjadi alasan para ibu
hamil mematuhi pantangan makan. Hasil penelitian Sholihah (2013) tersebut menjelaskan
bahwa para ibu mempercayai tabu makanan karena adanya keyakinan untuk menghindarkan
janin dari bahaya. Sholihah (2013: 78) juga mendeskripsikan tingkat pengetahuan masyarakat
mengenai jenis-jenis pantangan makan serta alasannya. Hasil penelitian Sholihah
menunjukkan bahwa tetua masyarakat seperti dukun bayi merupakan orang yang memiliki
pengetahuan paling banyak mengenai pantangan makan dibandingkan dengan ibu hamil,
petugas kesehatan dan keluarga. Sementara itu, bidan merupakan informan yang memiliki
pengetahuan paling rendah terkait pantangan makan. Dalam penelitiannya tersebut, Sholihah
membahas tingkat pengetahuan, namun ia tidak menjelaskan mengenai transmisi atau
perolehan pengetahuan mengenai pantangan makan di kalangan ibu hamil.
Ahli Gizi lainnya yang juga meneliti pantangan makan pada ibu hamil adalah Rahim
et al. (2013). Dalam penelitiannya tersebut mereka mendeskripsikan mengenai jenis-jenis dan
alasan pantangan makan ibu hamil di suku Toraja yang dikaitkan dengan kandungan gizi dari
makanan-makanan yang dipantang. Sukandar (2007) yang juga ahli gizi meneliti pantangan
makan pada masyarakat Barito Kuala di Kalimantan Selatan. Penelitian tersebut menjelaskan
jenis-jenis makanan pantang serta alasan-alasan pantangan makan bagi ibu hamil, ibu
menyusui, bayi dan balita, perempuan dewasa dan orang sakit. Dalam penelitian Sukandar
(2007) juga dijelaskan adanya pelatihan bagi masyarakat Barito untuk memperbaiki
pengetahuan gizi mereka. Pelatihan gizi tersebut dimaksudkan untuk mengurangi
kepercayaan masyarakat Barito akan tabu makanan yang dianggap dapat merugikan gizi dan
kesehatan.
Ahli lain yang membahas mengenai pantangan makan adalah ahli biologi yaitu Meyer-
Rochow (2009). Pada tulisannya yang berjudul “Food Taboos: Their Origins and Purposes”,
Meyer-Rochow (2009) menjelaskan mengenai pantangan makan yang dapat membantu
pengendalian penggunaan sumber daya secara efisien. Selain itu, terdapat ahli pendidikan
(keguruan) yang juga membahas mengenai pantangan di pedesaan Banyumas. Priyadi (2006)
meneliti mengenai makna simbolis pantangan pada wanita hamil mulai dari pantangan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
merupakan salah satu kelompok referensi (reference group) dalam masyarakat, apa yang
dikatakan, diperintahkan, dan dilakukan oleh tetua masyarakat dapat menjadi model atau
contoh bagi ibu hamil untuk berperilaku”. Di Desa Ciganjeng, food taboo dikembangkan oleh
orang yang berperan dalam hal penanganan kehamilan dan kelahiran ibu.
Pantangan makan di Ciganjeng berlaku bagi para ibu hamil dan para ibu pasca
melahirkan selama 40 hari hingga masa nifas selesai. Berbeda halnya dengan penelitian-
penelitian terdahulu yang menemukan bahwa alasan pantangan makan, pada umumnya selalu
berkaitan dengan hal-hal supranatural dan kaitannya dengan sifat asosiatif dari makanan (lihat
Anggorodi, 1998; Ulaen, 1998; Sukandi, 1998), pantangan makan di Desa Ciganjeng
dilakukan untuk alasan-alasan kesehatan.
Informasi tentang makanan yang dipantang bagi ibu pasca melahirkan di Desa
Ciganjeng disebarluaskan oleh paraji. Paraji atau dukun bayi pada umumnya erat terkait
dengan sektor tradisional. Oleh karena itu, pantangan makan (food taboo) di Desa Ciganjeng
yang dikembangkan oleh paraji atau dukun bayi demi alasan kesehatan tentunya menarik
untuk dikaji.
Pantangan makan dengan alasan kesehatan dipraktikkan oleh para ibu hamil dan ibu
masa nifas di Desa Ciganjeng. Pengetahuan mengenai pantangan makan tersebut dikonstruksi
oleh paraji Mak Enok yang berperan sebagai agen. Mak Enok dapat dikatakan sebagai
seorang agen karena kemampuannya mempengaruhi pengetahuan dan tindakan para ibu untuk
mematuhi anjuran pantangan makan. Apabila pantangan makan dengan alasan kesehatan
disebarluaskan oleh seorang ahli kesehatan, tentu tidaklah terlalu mengherankan. Namun,
berbeda halnya jika pengetahuan tentang kesehatan tersebut disebarluaskan oleh seorang
praktisi tradisional. Mak Enok tentu memiliki pengetahuan kesehatan tersendiri secara budaya
dan cara-cara tertentu untuk mempengaruhi para ibu hamil dan masa nifas di Desa Ciganjeng
agar mempercayai dan mematuhi pantangan makan yang disarankannya.
Terkait dengan masalah tersebut, empat pertanyaan penelitian yang akan dijawab di
dalam skripsi ini adalah Bagaimana gambaran pantangan makan ibu hamil dan ibu masa nifas
di Desa Ciganjeng? Bagaimana pengetahuan pantangan makan bisa terbentuk di Desa
Ciganjeng? Mengapa pantangan makan bagi ibu hamil dan ibu masa nifas dikonstruksi oleh
Mak Enok di Desa Ciganjeng? Bagaimana peran paraji Mak Enok dalam pembentukan
pengetahuan pantangan makan para ibu hamil dan masa nifas di Desa Ciganjeng?
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pantangan makan ibu hamil dan ibu
masa nifas di Desa Ciganjeng, untuk menjelaskan mengenai pembentukan pengetahuan
Universitas Indonesia
pantangan makan di Desa Ciganjeng, untuk menjelaskan alasan Mak Enok mengkonstruksi
pantangan makan bagi ibu hamil dan ibu masa nifas di Desa Ciganjeng, dan untuk
menjelaskan peran paraji Mak Enok sebagai seorang agen dalam penyebaran pengetahuan
pantangan makan di Desa Ciganjeng.
Pengetahuan menurut Sunaryo (2004: 25) adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui
proses sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu. Menurut Borofsky (1987)
pengetahuan dapat diperoleh baik secara formal maupun informal melalui berbagai cara yang
disebut sebagai learning process. Menurut Borofsky terdapat beberapa cara dalam
memperoleh pengetahuan, di antaranya adalah dengan mendengarkan (listening) dan
pengalaman. Menurut Borofsky (1987: 83) “listening, though secondary to observation, plays
an important role in the acquisition of knowledge”. Borofsky menegaskan bahwa masyarakat
Pukapukan mempelajari kebudayaan yang mereka miliki dengan cara “mendengarkan”
percakapan orang lain.
Selain mendengarkan, pengalaman juga merupakan faktor yang juga penting dalam
memperoleh pengetahuan, seperti yang dikatakan oleh Borofsky (1987: 88) bahwa “What is
missed in one observation or in one listening is picked up in another. What is only partially
learned at one stage is improved on through repeated experienced.” Borofsky (1987: 88)
lebih lanjut juga mengatakan bahwa belajar merupakan proses yang dilakukan berangsur-
angsur atau secara perlahan, dan praktik atau tindakan akan membantu seseorang untuk
menguasai pengetahuan tersebut.
Pentingnya praktik dalam kaitannya dengan pengetahuan juga dijelaskan oleh Keller
dan Keller (1993) yang melihat pengetahuan dan tindakan sebagai suatu sistem aktivitas yang
saling berkaitan atau berhubungan satu sama lain. Keller dan Keller (1993: 127) menjelaskan
bahwa tindakan merupakan sesuatu yang berkembang yang merupakan hasil umpan balik
secara terus-menerus dari rangsangan eksternal ke representasi internal dan kemudian dari
representasi internal ditetapkan kembali menjadi tindakan, “action has an emergent quality,
which results from the continual feedback from external events to internal representations
and from internal representations back to enactment”. Oleh karena itu, menurut Keller dan
Keller (1993: 127) pengetahuan selalu dapat dimodifikasi, diperbaharui, didefinisikan kembali
berdasarkan pengalaman yang telah dialami, seperti yang dikutip berikut ini:
“Knowledge is continually being refined, enriched, or completely revised by
experience whereas external action accommodates unanticipated physical
contingencies or previously unrecalled spesifics of the activity”.
Universitas Indonesia
Berdasarkan yang dikatakan oleh Borofsky (1987) serta Keller dan Keller (1993)
pengetahuan dapat mempengaruhi tindakan, dan begitu pula sebaliknya tindakan dapat
mempengaruhi pengetahuan. Saat memutuskan untuk melakukan tindakan tertentu seorang
individu tidak hanya dipengaruhi oleh pengetahuan yang ia miliki sendiri, tetapi individu
tersebut juga dapat dipengaruhi oleh orang lain. Seseorang yang dapat mempengaruhi
tindakan orang lain ini disebut sebagai seorang agen. Karp (dalam Ahearn, 2001: 113)
membedakan agen dari aktor:
“Actor refers to a person whose action is rule-governed or rule-oriented, whereas an
agent refers to a person engaged in the exercise of power in the sense of the ability to
bring effects and (re)constitute the world”.
Seorang Agen menurut Sewell (1992: 21) memiliki kemampuan untuk mengoordinasi
tindakan orang lain dan terhadap orang lain, untuk membentuk rencana kolektif, untuk
mengajak, untuk memaksa dan memonitor dampaknya. Seorang agen harus memiliki
kemampuan tertentu yang oleh Ahearn (2001: 113) disebut sebagai agency, yaitu“…refers to
the socioculturally mediated capacity to act”. Seseorang dapat dikatakan sebagai seorang
agen apabila ia memiliki kemampuan untuk mempengaruhi tindakan orang lain. Kapasitas
dari agency itu sendiri menurut Sewell (1992: 20) yaitu kemampuan untuk berkeinginan,
untuk membentuk maksud/tujuan dan untuk bertindak secara kreatif, “…a capacity for
agency- for desiring, for forming intentions, and for acting creatively”. Menurut Ortner
(2006) terdapat beberapa komponen yang dapat menggambarkan agency, yaitu intentionality
dan power. Menurut Ortner (2006: 134) intentionality yaitu:
“Intentionality in agency might include highly conscious plots and schemes: somewhat
more nebulous aims goals, and ideals, and finally desires, wants, and needs that may
range from being deeply buried to quite consciously felt”.
Intinya intentionality dalam agency ini menurut Ortner melibatkan pemikiran dan
emosi yang diarahkan untuk tujuan tertentu. Ortner (2006: 136) mengutip Sewell mengatakan
bahwa setiap orang memiliki kapasitas agency, namun secara spesifik bentuknya dapat
beragam disesuaikan dengan waktu dan tempat yang berbeda.
“At the same time there is general agreement that agency is always culturally and
historically constructed… all humans have the capacity for agency, but the specific
forms it takes will vary in different times and places” (Ortner, 2006: 136).
Universitas Indonesia
Selain intentionality, komponen agency adalah power. Menurut Ortner (2006: 143)
power yang dimiliki oleh seorang agen terletak pada kemampuannya untuk bertindak sesuai
dengan kepentingannya sendiri, serta memiliki kontrol terhadap kehidupannya sendiri. Power
dalam agency menurut Sewell (1992: 21) muncul dalam bentuk kemampuannya untuk
mengkoordinasi tindakan seseorang terhadap orang lain.
“Agency entails an ability to coordinate one’s actions with others and against others,
to form collective projects, to persuade, to coerce, and to monitor the simultaneous
effects of one’s own and others’ activities. Moreover, the extent of the agency
exercised by individual persons depends profoundly on their positions in collective
organizations” (Sewell, 1992: 21).
Dalam persoalan pantangan makan, kapasitas agency ini muncul dalam bentuk cara-
cara seorang agen menyampaikan maksud dan tujuan yang ia miliki dalam menyebarkan
pengetahuan pantangan makan dan kemampuannya untuk mempengaruhi tindakan orang lain
agar mengikuti pantangan makan.
Penelitian kualitatif ini dilakukan di Desa Ciganjeng, tepatnya di Kecamatan
Padaherang Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan di sebuah dusun
bernama Dusun Cihideung dan Dusun Babakan. Penelitian dilakukan selama 30 hari,
dilakukan secara berkala sejak Agustus 2014 hingga Februari 2015. Subjek penelitian ini
terdiri dari: seorang paraji, seorang bidan, dan 4 orang ibu yang sudah pernah mengalami fase
hamil, melahirkan, dan masa nifas. Data penelitian dikumpulkan melalui wawancara
mendalam. Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang paling penting dalam
melakukan penelitian etnografi. Wawancara mendalam menurut Bogdan dan Taylor (1984:
77) adalah wawancara tatap muka antara peneliti dengan informan secara langsung, yang
dimaksudkan untuk memahami cara pandang informan mengenai hidupnya, pengalamannya
atau kejadian-kejadian yang dialaminya melalui perkataan mereka sendiri.
Jenis-Jenis Pantangan Makan Ibu Hamil dan Masa Nifas di Desa Ciganjeng
Terdapat jenis-jenis makanan yang dipantangan bagi ibu hamil dan masa nifas di Desa
Ciganjeng. Pantangan makan tersebut harus dijaga dan dipatuhi oleh ibu-ibu sejak hamil
hingga pasca melahirkan (masa nifas selama 40 hari). Pantangan makan adalah larangan
untuk mengonsumsi makanan tertentu dan apabila dilanggar akan terdapat akibat yang
diterima oleh si pelanggar. Dalam konteks ibu hamil dan masa nifas, pantangan makan
merupakan jenis-jenis makanan yang tidak boleh dikonsumsi oleh ibu hamil dan masa nifas,
dan apabila dilanggar akan terdapat akibat yang diterima oleh ibu maupun bayi. Menurut
Universitas Indonesia
Di Desa Ciganjeng, jenis-jenis makanan tertentu dipantang dengan alasan karena dapat
menyebabkan keguguran, menyebabkan bau amis pada darah ibu saat melahirkan, serta
menyebabkan perdarahan (luka kambuh pasca melahirkan), dan gangguan pencernaan pada
bayi (lihat Tabel 1 dan Tabel 2).
Pantangan makan bagi ibu hamil di Desa Ciganjeng dilakukan dengan alasan terkait
dengan kualitas/ sifat asosiatif makanan yang kemudian dikaitkan dengan alasan-alasan
kesehatan. Secara medis, jenis makanan yang dipantang bagi para ibu hamil di Desa
Ciganjeng memang memiliki dampak negatif baik bagi kesehatan ibu maupun bayinya (lihat
Tabel 1). Berbeda halnya dengan pantangan makan ibu hamil, pantangan makan ibu masa
nifas tidak berkaitan dengan kualitas makanan dan berdasarkan sifat asosiatif makanan,
melainkan hanya berdasarkan alasan-alasan kesehatan saja. Pantangan makan bagi ibu pasca
melahirkan (masa nifas) lebih beragam jenisnya. Kondisi ibu pasca melahirkan (masa nifas)
yang berada pada masa penyembuhan luka dan menyusui bayi, membuat mereka sangat
diperhatikan, terutama terkait dengan makanan yang mereka konsumsi.
Di Desa Ciganjeng, makanan dianggap dapat mempengaruhi penyembuhan luka ibu
pasca melahirkan (masa nifas) dan mempengaruhi pencernaan bayi. Oleh karena itu, berbagai
makanan yang dianggap dapat memperlambat penyembuhan luka pasca melahirkan,
menyebabkan gangguan penceranan pada bayi maupun ibu, serta menyebabkan bayi muntah
dilarang dikonsumsi oleh ibu masa nifas (lihat Tabel 2). Berbeda halnya dengan pantangan
makan ibu hamil yang secara medis telah dapat dibuktikan memiliki dampak negatif bagi para
ibu hamil, jenis-jenis makanan yang dipantang bagi ibu masa nifas di Desa Ciganjeng, belum
terbukti memiliki dampak negatif bagi kesehatan para ibu masa nifas.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Ibu Dahlia:
“yah ngasih tau cuma katanya kalo usia kandungan udah 8 bulan 9 bulan, jangan makan
es gitu.. yah kasih taunya gitu doang, supaya dijaga yang berat-berat jangan dimakan.
Cuma gitu doang, makanan mah ga banyak kata paraji.. jadi emak mah bilang kalo apa
Universitas Indonesia
yang aku mau dimakan aja, kalo udah lahiran justru jarang ada yang dimakan… si Mak
Enok yang kasih.. pas udah lahiran dikasih tau, semua pantangan taunya dari Mak
Enok” (Wawancara Ibu Dahlia,13 Januari 2015).
Ibu Amih:
“Kan itu kata Mak Enok kan katanya jangan, yaudah saya nurut aja ga boleh. Dikasih
tau pantangannya dari Mak Enok. Orang tua juga kan taunya dari Mak Enok pernah
lahiran sama Mak Enok kan waktu itu” (Wawancara Ibu Amih, 15 Januari 2015).
Ibu Rere:
“Kalo di sini mah ngikutinnya paraji teh, pantangannya dikasih dari Mak Enok. Nah
orang tua juga kasih tau tapi sama ajah sama kaya yang Mak Enok bilang” (Wawancara
Ibu Rere,13 Januari 2015).
Borofsky (1987) juga mengatakan bahwa selain pentingnya aspek mendengarkan, faktor
yang juga penting dalam pembentukan pengetahuan adalah pengalaman langsung. Praktik
atau tindakan dapat membantu seseorang untuk menguasai pengetahuan mereka. Pengalaman
juga merupakan faktor penting dalam pembentukan pengetahuan dan praktik food taboo di
Desa Ciganjeng. Pengalaman para ibu dalam menjalankan pantangan makan menjadi penguat
penyebaran pengetahuan tentang pantangan makan.
Mak Enok sebagai orang yang menyebarkan pengetahuan pantangan makan
memperoleh pengetahuan pantangan makan tersebut berdasarkan pengalamannya pada waktu
hamil dan masa nifas. Mak Enok memperoleh pengetahuan pantangan makan awalnya dari
orang tua, kemudian ia mempraktikkan pengatahuan pantangan makan tersebut dengan
mencoba melanggar dan mengonsumsi jenis makanan tertentu. Setelah Mak Enok mencoba
dan mendapatkan dampak, seperti perdarahan atau akibat-akibat lainnya yang mengganggu
kesehatan dirinya dan janin, hal itu kemudian membentuk pengetahuan Mak Enok akan jenis-
jenis dan alasan pantangan makan bagi ibu hamil dan ibu masa nifas. Pengetahuan dan
pengalaman mengenai jenis-jenis serta alasan pantangan makan yang ia miliki tersebut ia
kumpulkan, kemudian ia konstruksi kembali dengan cara menyebarkan pengetahuan
pantangan makan tersebut kepada para pasiennya.
Pengalaman para pasiennya yang pernah melanggar dan kemudian mendapatkan
dampak setelah memakan-makanan tersebut juga membuat Mak Enok percaya bahwa jenis
dan alasan pantangan makan yang ia sebarkan dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan bayi.
Ibu yang melanggar pantangan dan mengalami dampak dari pelanggaran tersebut pada
umumnya akan berkonsultasi kembali dengan Mak Enok. Pengalaman-pengalaman pasiennya
tersebut kemudian akan disebarkan kembali oleh Mak Enok kepada para ibu hamil dan masa
nifas yang dirawatnya. Berikut cerita Mak Enok:
Universitas Indonesia
“Iyah kasih tau, nah kalo lama sembuhnya berarti makannya ga pantang yang makan
ibunya nanti yang terasa bayinya, nanti ada radang usus, berdampak sama bayinya
karna ibunya ga pantang. Pernah ada yang langgar… kemudian meninggal ga ketolong
usus buntu, padahal ususnya udah dipotong yang meninggal bayinya… terus akhirnya
yang anak ke dua baru ikutin pantangan. Akhirnya setahun kemudian hamil lagi,
melahirkan, dan akhirnya emak mau ngerawat anaknya lagi tapi emak bilang
pantangannya harus dijaga. Ga boleh engga dijaga pantangannya, akhirnya nurut ga
kenapa-kenapa, dia punya anak tiga emak yang ngerawat.. yang langgar mak ceritain
lagi ke pasien lain biar tau udah itu contohnya kaya gitu kalo langgar terasa sendiri
nanti ke mak lagi minta rawat” (Wawancara Mak Enok, 19 Agustus 2014).
Selain pengalaman Mak Enok serta pengalaman para pasiennya yang ia sebarkan
kembali kepada para pasien lainnya sebagai contoh penguat bagi para pasien lainnya,
pengalaman pelanggaran yang dilakukan para ibu subjek penelitian ini juga memperkuat
kepercayaan mereka sendiri terhadap pengetahuan pantangan makan yang mereka peroleh
dari Mak Enok. Pada saat hamil, Ibu Rere pernah melanggar pantangan memakan durian,
petai, dan jengkol yang disarankan oleh Mak Enok. Setelah mengonsumsi makanan tersebut,
perutnya mengalami kontraksi (perut panas) dan saat melahirkan darahnya berbau amis.
Setelah mengalami hal itu, Ibu Rere akhirnya kembali mempercayai pantangan makan yang
diberikan oleh Mak Enok. Selain Ibu Rere, Ibu Dahlia juga pernah melanggar pantangan
makan. Ibu Dahlia melanggar pantangan saat masa nifas dengan memakan nangka, tangkil
(melinjo), labu siam (walu siam) dan makanan pedas. Akibatnya, ia pun mengalami
perdarahan kembali saat masa nifas. Pengalaman melanggar pantangan makan yang dilakukan
oleh Ibu Rere dan Ibu Dahlia membantu memperkuat pengetahuan pantangan makan yang
mereka peroleh dari Mak Enok. Berdasakan cara perolehan pengetahuan tersebut, menjadi
jelas bahwa informasi awal mengenai pantangan makan diperoleh para ibu hamil dan masa
nifas dari paraji Mak Enok. Pengetahuan pantangan makan tersebut diberikan oleh Mak Enok
secara langsung saat melakukan perawatan kehamilan dan kelahiran kepada para ibu hamil
dan masa nifas.
Paraji Mak Enok merupakan orang yang dipercaya dan banyak digunakan jasanya oleh para
ibu hamil di Desa Ciganjeng. Kepiawaian dan pengalaman Mak Enok membuatnya dipercaya
menangani kehamilan dan kelahiran dari satu generasi ke generasi lain dalam satu keluarga
yang sama. Dalam menjalankan kewajibannya melakukan perawatan kehamilan dan
kelahiran, Mak Enok selalu memberikan nasihat kepada para pasiennya. Salah satu nasihat
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tindakan Mak Enok memberikan informasi tentang pantangan makan kepada ibu
hamil jelas memiliki tujuan tertentu. Ia tentu berharap para ibu hamil yang dirawatnya
bersedia menuruti nasihatnya. Dengan demikian jelas bahwa Mak Enok memiliki intensi.
Menurut Ortner (2006: 134)
“Intentionality in agency might include highly conscious plots and schemes: somewhat
more nebulous aims goals, and ideals, and finally desires, wants, and needs that may
range from being deeply buried to quite consciously felt.”
Universitas Indonesia
sebagai bentuk tanggung jawabnya dalam menjalankan tugas menjadi paraji yang membantu
perawatan kehamilan, kelahiran, dan masa nifas. Dengan begitu jasanya akan terus digunakan
oleh para ibu di Desa Ciganjeng karena ia menjalankan tugasnya dengan baik. Mak Enok
dapat dikatakan sebagai seorang agen, karena mampu untuk mengkoordinasi, mengajak, dan
membuat perubahan tindakan pada para ibu hamil dan masa nifas di Desa Ciganjeng dalam
kaitannya dengan mematuhi pantangan makan.
Dalam rangka menjaga/memastikan agar nasihat pantangan makan yang diberikannya
dituruti oleh ibu-ibu yang dirawatnya, Mak Enok juga memberikan peringatan kepada para
ibu yang telah melanggar. Mak Enok biasanya akan mengetahui apabila si ibu melanggar
pantangan makan, karena para ibu yang melanggar pantangan dan menerima dampak tersebut
biasanya akan kembali memeriksakan kandungannya ke Mak Enok dan memintanya untuk
memberikan ramuan agar cepat pulih. Kemudian Mak Enok akan memberikan peringatan
kepada para ibu tersebut untuk tidak melanggar pantangan makan lagi.
Dengan demikian jelas bahwa Mak Enok memiliki pengaruh untuk membuat
pasiennya menuruti nasihat pantangan makan yang disarankannya. Kemampuan Mak Enok
untuk mengoordinasi, memaksa, serta memantau tindakan pasiennya menunjukkan adanya
power dalam kapasitas agensi yang dimiliki Mak Enok. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan
oleh Sewell (1992: 21) mengenai Power dalam agency yaitu “Agency entails an ability to
coordinate one’s actions with others and against others, to form collective projects, to
persuade, to coerce, and to monitor the simultaneous effects of one’s own and others’
activities.”
Pengalaman para ibu yang pernah melanggar pantangan makan dan kembali menemui
Mak Enok untuk mendapatkan pengobatan, lalu akhirnya mempercayai nasihat Mak Enok
menunjukkan adanya power dalam kapasitas agensi yang dimiliki Mak Enok. Hal ini sejalan
yang dikatakan oleh Ortner (2006: 143) bahwa agen itu harus memiliki kemampuan agensi
yaitu kemampuan untuk bertindak untuk dirinya sendiri dan juga untuk mempengaruhi orang
lain dan memiliki kontrol terhadap kehidupannya sendiri.
“Agency can be virtually synonymous with the forms of power people have at their
disposal, their ability to act on their own behalf, influence other people and events,
and maintain some kind of control in their own lives” Ortner (2006: 143).
Mak Enok dapat membuat para ibu mengikuti kehedaknya dan mengontrol para ibu
agar tetap menjalankan pantangan yang ia berikan. Power yang dimiliki tersebut muncul
dalam bentuk memperingati dan mengancam secara halus agar para ibu tidak melangar
Universitas Indonesia
Keller dan Keller (1993: 126) lebih lanjut menjelaskan bahwa tindakan secara terus
menerus membawa manusia pada practical contact terhadap objek yang kemudian dapat
mengubah, dan memperkaya pengetahuan sebelumnya, “action continually brings the human
Universitas Indonesia
into practical contact with objects that deflect, change, and enrich prior organizations of
knowledge”.
Kesimpulan
Pantangan makan di Desa Ciganjeng diberlakukan kepada ibu hamil dan masa nifas
dengan alasan-alasan kesehatan. Adapun jenis-jenis pantangan makan bagi ibu hamil yaitu
nanas, durian, makanan ragi (tape), makanan ragi, makanan soda, es, bakso, petai, jengkol,
ikan yang memiliki patil. Alasan-alasan jenis makanan tersebut antara lain terkait dengan
penyebab gangguan pada perut ibu hamil dan janin yang dikandung, luka pasca melahirkan,
pencemaran ASI, dan gangguan pencernaan ibu. Salah satu alasan pantangan makan bagi ibu
hamil terkait dengan pandangan adanya kesamaan kualitas panas dari makanan dan ibu hamil
sehingga apabila makanan tersebut dikonsumsi dapat menyebabkan keguguran atau
perdarahan.
Pengetahuan Mak Enok dan para ibu mengenai pantangan makan di Desa Ciganjeng
diperoleh melalui belajar informal, yaitu mendengarkan nasihat-nasihat dan juga berdasarkan
pengalaman. Hasil penelitian ini memperkuat penyataan Borofsky (1987) bahwa mendengar
dan pengalaman merupakan dua faktor penting dalam pembentukan pengetahuan. Mak Enok
sebagai paraji yang banyak digunakan jasanya oleh para ibu merupakan sumber awal
perolehan pengetahuan pantangan makan di Desa Ciganjeng. Mak Enok memberikan
pengetahuan pantangan makan saat melakukan pemeriksaan kehamilan dan kelahiran. Mak
Enok dapat dikatakan sebagai agen dalam transmisi pengetahuan pantangan makan karena
kemampuannya mempengaruhi, mengoordinasi, mengajak dan membuat perubahan tindakan
para ibu hamil dan masa nifas di desa Ciganjeng, terkait pantangann makan. Mak Enok
sebagai agen memiliki intensi dan power yang dapat membuat para ibu hamil dan masa nifas
mengikuti keinginannya untuk mematuhi anjuran pantangan makan yang ia berikan.
Saran saya adalah agar paraji saat melakukan kemitraan dengan bidan juga diberikan
pengetahuan mengenai gizi-gizi makanan bagi ibu hamil dan masa nifas sehingga alasan
pantangan makan yang berlaku bagi para ibu memang dapat memberikan dampak positif bagi
para ibu.Tujuan Mak Enok mengonstruksi pengetahuan pantangan makan adalah agar para
ibu dan bayi yang menjadi pasiennya sehat. Hal tersebut ia lakukan sebagai bentuk tanggung
jawabnya dalam menjalankan tugasnya sebagai paraji yang membantu kehamilan, kelahiran
hingga masa nifas seorang ibu. Jika pasien yang ditanganinya sehat, Mak Enok berharap
jasanya dapat terus digunakan oleh para ibu hamil dan masa nifas di Desa Ciganjeng. Intensi
Mak Enok terkait pantangan makan terbentuk berdasarkan pengalaman pribadi dan
Universitas Indonesia
pengalaman para pasiennya yang mengalami dampak negatif setelah memakan jenis-jenis
makanan tertentu. Dengan cara menasihati, menceritakan pengalaman para pasiennya yang
lain yang pernah melanggar, dan memberikan peringatan kepada para ibu, Mak Enok
menerapkan power yang ia miliki sebagai seorang agen. Para ibu subjek penelitian ini pun
mentaati pantangan makan yang diberikan oleh Mak Enok.
Jenis-jenis pantangan makan bagi ibu hamil di Desa Ciganjeng dilihat secara medis
terbukti dapat menimbulkan dampak yang tidak baik bagi ibu hamil, sedangkan jenis-jenis
pantangan makanan bagi ibu masa nifas di Desa Ciganjeng belum terbukti secara medis dapat
menimbulkan dampak buruk bagi ibu masa nifas. Berdasarkan data yang saya peroleh,
nampaknya pantangan makan bagi ibu hamil di Desa Ciganjeng tidak menyebabkan pengaruh
negatif bagi kesehatan para ibu dan bayi. Saya menduga bahwa pantangan makan memiliki
pengaruh positif terhadap para ibu hamil di Desa Ciganjeng. Oleh karena itu, penelitian ini
membuktikan bahwa tidak sepenuhnya pantangan makan yang berlaku di suatu daerah
menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan para ibu maupun bayinya.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa dengan adanya paraji, pelayanan kesehatan
menjadi terbantu dalam hal melakukan perawatan kehamilan dan kelahiran para ibu. Peran
Mak Enok ini sebagai paraji yang menyebarkan pengetahuan pantangan makan sangat
penting.
SARAN
Menurut saya, pantangan makan yang berdampak positif tersebut harus tetap ada di
Desa Ciganjeng, namun harus dibarengi dengan penanaman pengetahuan gizi ibu hamil dan
ibu masa nifas oleh ahli kesehatan tidak hanya kepada para ibu tetapi juga kepada para paraji.
Saran saya adalah agar paraji saat melakukan kemitraan dengan bidan juga diberikan
pengetahuan mengenai gizi-gizi makanan bagi ibu hamil dan masa nifas sehingga alasan
pantangan makan yang berlaku bagi para ibu memang dapat memberikan dampak positif bagi
para ibu.
Universitas Indonesia
Daftar Pustaka
Abidin, Zainal & Fitri Wahyuna
2013 Karya Tulis Ilmiah: Gambaran Sosial Budaya dengan Pola Makan Ibu
Menyusui di Kemukiman Jangka Buya Kecamatan Jangka Buya
Kabupaten Pidie Jaya.
Ahearn, Laura
2001 “Language and Agency” Annual Review of Anthropology 30: 109-137.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia