Anda di halaman 1dari 54

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masa nifas merupakan masa yang dimulai sejak satu jam setelah
lahirnya placenta sampai dengan 6 minggu (42 hari ) setelah itu. Sebagian
besar wanita setelah melahirkan tidak menginginkan adanya kehamilan atau
menunda kehamilan sampai 2 tahun setelah persalinan. Akan tetapi masih
sangat sedikit wanita yang meninggalkan rumah sakit dengan mendapat
konseling mengenai metode kontrasepsi (Widyastuti, 2011).
Konsep mengenai kontrasepsi pasca persalinan bukanlah hal yang baru,
akan tetapi tidak banyak perhatian yang diberikan pada masa yang penting
dari kehidupan wanita ini. Pada saat sekarang ini perhatian dari pengelola
program kesehatan, penyedia jasa pelayanan kesehatan dan pembuat
kebijakan semakin meningkat, karena menyadari akan tingginya efektivitas
dan keberhasilan program keluarga berencana jika pengenalan kontrasepsi
dilakukan pada saat pasca persalinan (Widyastuti, 2011).
Indonesia berada di urutan keempat untuk negara berpopulasi terbesar,
setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Populasi penduduknya mencapai
237,6 juta orang pada 2010. Menurut Kepala Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional Sugiri Syarief, laju pertumbuhan penduduk
Indonesia sekitar 1,49 persen per tahun. Ini berarti setiap tahun jumlah
populasi membengkak 3,5 juta hingga 4 juta orang. Untuk dapat mengangkat
derajat kehidupan bangsa telah dilaksanakan secara bersamaan pembangunan
ekonomi dan keluarga berencana yang merupakan sisi masing-masing mata
uang. Bila gerakan keluarga berencana tidak dilakukan bersamaan dengan
pembangunan ekonomi, dikhawatirkan hasil pembangunan tidak akan berarti
(Manuaba, 2010).
Jumlah kelahiran di Indonesia diperkirakan sekitar 4,2-4,5 juta dan
19,7% merupakan kehamilan yang tidak diinginkan dari jumlah kelahiran
(BPS, 2009). Mengingat tingginya jumlah kelahiran dan keguguran maka
diperlukan suatu perencanaan kehamilan sehingga kehamilan yang terjadi

1
merupakan kehamilan yang diinginkan. Salah satu program strategis untuk
menurunkan kehamilan yang tidak diinginkan menjadi 15% pada tahun 2014
adalah melalui KB pasca persalinan dan pasca keguguran (Widyastuti, 2011).
Salah satu kontrasepsi pascasalin yang sering digunakan di Indonesia
adalah IUD. IUD merupakan suatu alternatif pilihan bagi klien yang ingin
menunda kehamilan dengan jarak lebih dari 2 tahun. Keunggulan IUD adalah
dapat diterima masyarakat dengan baik, pemasangan tidak memerlukan alat
medis yang sulit, kontrol medis ringan, penyulit tidak terlalu berat, pulihnya
kesuburan setelah AKDR dicabut berlangsung cepat (Manuaba, 2010).
Disamping keunggulan tersebut IUD juga mempunyai risiko untuk
terjadinya komplikasi dan efek samping yang dapat terjadi, diantaranya
adalah rasa nyeri, perforasi, perdarahan, ekspulsi, translokasi, infeksi dan
yang sering terjadi adalah erosi portio. Erosi portio merupakan pengikisan
lapisan mulut rahim. Hal ini dapat terjadi karena lamanya pemakaian IUD
dan adanya gesekan-gesekan dari luar saat berhubungan seksual. Pada
pemeriksaan erosi portio yang berlanjut, ditemukan portio yang merah
(radang) dengan disertai gejala infeksi seperti suhu yang meningkat. Infeksi
yang dibiarkan tanpa penanganan yang memadai merangsang pertumbuhan
jaringan yang berisiko patologis pada portio, dan hal ini merupakan salah satu
penyebab munculnya kanker serviks (Febriana, 2013).
Dilatarbelakangi oleh data-data pada uraian di atas penulis tertarik
untuk membuat laporan praktik klinik profesi tentang asuhan kebidanan pada
ibu nifas dengan follow up IUD.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Mahasiswa mampu melaksanakan asuhan kebidanan pada ibu nifas
Post SC dan akseptor KB IUD (Follow up) dengan menerapkan pola pikir
melalui pendekatan manajemen Varney dan pendokumentasian
menggunakan SOAP.

1.2.2 Tujuan khusus

2
1.2.2.1.Mampu menjelaskan konsep dasar masa nifas, section caesaria dan
kontrasepsi IUD. Serta mampu memberikan dan melaksanakan
asuhan kebidanan pada ibu nifas
1.2.2.2.Mampu melaksanakan pengkajian subjektif dan objektif pada ibu
dengan nifas Post SC dengan kontrasepsi IUD
1.2.2.3.Mampu mengidentifikasi diagnosis dan masalah aktual pada ibu
dengan nifas Post SC dengan kontrasepsi IUD
1.2.2.4.Mampu mengidentifikasi diagnosis dan diagnosa potensial pada
ibu dengan nifas Post SC dengan kontrasepsi IUD
1.2.2.5.Mampu mengidentifikasi tindakan dan kebutuhan segera pada ibu
dengan nifas Post SC dengan kontrasepsi IUD
1.2.2.6.Mampu mengembangkan rencana asuhan pada ibu dengan nifas
Post SC dengan kontrasepsi IUD
1.2.2.7.Mampu melaksanankan rencana tindakan yang telah disusun pada
ibu dengan nifas Post SC dengan kontrasepsi IUD
1.2.2.8.Mampu melakukan evaluasi terhadap asuhan yang telah diberikan
pada nifas Post SC dengan kontrasepsi IUD
1.2.2.9.Mampu melakukan pendokumentasian terhadap asuhan yang telah
dilakukan
1.2.2.10. Mampu melakukan pembahasan terhadap teori dan kasus pada ibu
dengan nifas Post SC dengan kontrasepsi IUD
1.3 Manfaat
1. Manfaat bagi penulis
Penulis dapat mengaplikasikan ilmu yang telah didapatkan selama
pendidikan
2. Manfaat bagi klien
Klien mendapatkan asuhan kebidanan yang komprehensif dan terhindar
dari komplikasi yang tidak diinginkan

1.4 Pelaksanaan
Praktik klinik profesi dilaksanakan di Poli KB/ Nifas RSUD Dr.
Soetomo Surabaya pada tanggal 22 Februari – 11 Maret 2016.

3
1.5 Sistematika Penulisan
Bab 1 Pendahuluan
Menguraikan latar belakang, tujuan, manfaat, pelaksanaan, dan
sistematika penulisan.
Bab 2 Tinjauan Pustaka
Menguraikan konsep dasar masa nifas, Sectio Caesaria, kontrasepsi
IUD serta konsep dasar asuhan kebidanan pada Ibu nifas post SC dan
akseptor KB IUD.
Bab 3 Tinjauan Kasus
Menguraikan pengkajian data secara subyektif dan obyektif,
penetapan analisis serta penatalaksanaan.
Bab 4 Pembahasan
Menguraikan kesesuaian atau ketidaksesuaian antara kenyataan yang
ditemukan pada kasus dengan teori serta konsep dasar asuhan
kebidanan pada ibu nifas post SC dan akseptor KB IUD.
Bab 5 Penutup
Menguraikan simpulan asuhan kebidanan yang telah dilakukan dan
kesesuaian seluruh data dengan tujuan yang ingin dicapai serta saran
yang dapat diambil dari laporan ini.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Nifas
2.1.1. Definisi
Periode pascapartum adalah masa dari kelahiran plasenta dan selaput janin
(menandakan akhir periode intrapartum) hingga kembalinya traktus reproduksi
wanita pada kondisi tidak hamil, bukan kondisi prahamil (Varney, 2007).
Menurut Saifuddin (2009), masa nifas di mulai sejak 1 jam setelah
lahirnya placenta sampai dengan 6 minggu (42 hari) setelah itu.
Masa nifas (puerperium) adalah masa pemulihan kembali, mulai dari
persalinan selesai sampai alat-alat kandungan kembali seperti pra hamil. Lama
masa nifas 6-8 minggu (Sofian, 2013)
Periode post partum (puerperium) adalah jangka waktu 6 minggu yang
dimulai setelah kelahiran bayi sampai pemulihan kembali organ-organ reproduksi
seperti sebelum hamil (Irene, 2010).Lama masa nifas yaitu 6-8 minggu. Masa
nifas normal jika involusi uterus, pengeluaran lokhia, pengeluaran ASI dan
perubahan sistem tubuh, termasuk keadaan psikologis normal.Perubahan
fisiologis yang terjadi selama puerperium adalah khusus. Meskipun dianggap
normal sebagai proses pemulihan dari kehamilan, banyak faktor yang
mempengaruhi proses pemulihan ini, termasuk tingkat energi, fisiologis dan fisik.

2.1.2. Tahapan Masa Nifas


(Bahiyatun, 2009), membagi masa nifas menjadi 3 tahapan, yakni
diantaranya adalah :
1) Puerperium dini (awal)
Kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan,
dimulai dari lahirnya plasenta sampai 40 hari/ 6 minggu post partum.
2) Intermediat puerperium
Kepulihan menyeluruh alat-alat genitalia, dimulai dari 6 minggu sampai 8
minggu post partum.
3) Remote puerperium

5
Waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna terutama bila
selama hamil atau waktu persalinan ibu mengalami komplikasi maka waktu untuk
sehat sempurna bisa berminggu-minggu, bulanan bahkan tahunan, dimulai setelah
8 minggu post partum sampai organ reproduksi benar-benar mendekati kondisi
prahamil (Bahiyatun, 2009).
2.1.3. Perubahan fisiologis pada masa nifas
1) Sistem reproduksi
a. Uterus
Segera setelah plasenta lahir, uterus mengalami kontraksi dan retraksi.
Ototnya akan menjadi keras sehingga dapat menutup / menjepit pembuluh darah
besar yang bermuara pada bekas inplantasi plasenta. Proses involusi uterus terjadi
secara progressive dan teratur yaitu 1-2 cm setiap hari dari 24 jam pertama post
partum sampai akhir minggu pertama saat tinggi fundus sejajar dengan tulang
pubis. Pada minggu keenam uterus kembali normal seperti keadaan sebelum hamil
kurang lebih 50-60 gram. Uterus secara berangsur-angsur menjadi kecil (involusi)
sehingga akhirnya kembali seperti sebelum hamil.

Involusi Tinggi Fundus Uteri Berat Uterus


Bayi lahir Setinggi pusat 1000 gram
Plasenta Lahir 2 jari bawah pusat 750 gram
1 minggu Pertengahan pusat simfisis 500 gram
2 minggu Tidak teraba di atas simfisis 350 gram
6 minggu Bertambah kecil 50 gram
8 minggu Sebesar normal 30 gram

6
Sebab proses involusi uterus adalah sebagai berikut:
 Autolisis
Merupakan proses penghancuran diri sendiri yang terjadi di dalam otot uterus.
Enzim proteolitik akan memendekkan jaringan otot yang telah sempat mengendur.
Penghancuran jaringan otot-otot uterus yang tumbuh karena adanya
hyperplasi, dan jaringan otot yang membesar sewaktu hamil, pada masa nifas akan
susut mencapai keadaan semula. Hal ini disebabkan karena adanya penghancuran
protoplasma dan jaringan yang diserapoleh darah dan kemudian dikeluarkanoleh
ginjal. Inilah sebabnya beberapa hari setelah melahirkan Ibu mengalami sering
BAK (Coad, 2006).
 Atrofi jaringan
Jaringan yang berproliferasi dengan adanya estrogen dalam jumlah besar,
kemudian mengalami atrofi sebagai reaksi terhadap penghentian produksi
estrogen yang menyertai pelepasan plasenta.
Kekurangan darah pada uterus akibat pengurangan pengaliran darah ke uterus.
Setelah bayi lahir, pengaliran darah ke uterus tidak diperlukan lagi, aliran darah ke
uterus kembali seperti sebelum hamil, sehingga uterus mengalami atropi kembali
seperti semula (Suparyanto, 2011)
 Efek Oksitosin
Penyebab kontraksi dan retraksi otot rahim sehingga akan mengompres
pembuluh darah yang akan menyebabkan pengurangan suplai darah ke uterus,
sehingga jaringan otot dalam uterus menjadi lebih kecil karena tidak mendapat
suplay darah (Coad, 2006).
 Regenerasi epitelium

7
Epitel tumbuh pada bekas tempat perlekatan plasenta dari samping, sekitar
lapisan uterus serta keatas dari bawah tempat perlekatan plasenta. Pertumbuhan
endometrium ini membuat pembuluh darah yang mengalami pembekuan ini rapuh
sehingga meluruh menjadi bentuk lokhea. Proses ini membutuhkan waktu hampir
6 minggu.
Pelepasan plasenta dan selaput janin dari dinding rahim terjadi pada
stratum spongiosum bagian atas.Setelah 2-3 hari tampak bahwa lapisan atas dari
stratum spongiosum yang tinggal menjadi nekrotis, sedangkan lapisan bawahnya
yang berhubungan dengan lapisan otot terpelihara dengan baik.Bagian yang
nekrotis dikeluarkan dengan lokhea, sedangkan lapisan yang tetap sehat
menghasilkan endometrium yang baru.Epitel baru terjadi dengan proliferasi sel-
sel kelenjar, sedangkan stroma baru dibentuk dari jaringan ikat di antara kelenjar-
kelenjar.Epitelisasi siap dalam 10 hari, kecuali pada tempat plasenta di mana
epitelisasi memakan waktu 3 minggu (Coad, 2006).
b. Perineum
Dalam proses persalinan, terkadang dilakukan episiotomi atas indikasi atau
dapat juga terjadi robekan perineum. Luka itu akan di jahit untuk mengembalikan
fungsi perineum. Setelah persalinan perineum menjadi kendur karena teregang
oleh tekanan kepala bayi yang bergerak maju. Pulihnya otot perineum terjadi
sekitar 5-6 minggu post partum dan hal ini akan lebih cepat pulih bila dibantu
dengan latihan atau senam postpartum. Perineum mendapat suplai darah yang
banyak karena adanya laserasi atau luka episiotomi pada perineum. Luka jahitan
dapat sembuh dalam 7 hari tetapi laserasi yang luas akan bersifat sensitif dan
akan terasa sakit untuk beberapa minggu.
c. Lochea
Lochea adalah sekret yang keluar dari uterus yang keluar melalui vagina
selama puerperium. Macam-macam lochea :
- Locha Rubra (cruenta)
Merupakan lokia pertama yang mulai keluar segera setelah persalinan dan
terus berlanjut selama dua hingga tiga hari pertama pascapartum (Varney,2008)
Berisi darah segar dan sisa-sisa selaput ketuban, sel-sel desidua, verniks
caseosa, lanugo dan mekonium.

8
- Lochea Serosa
Mulai terjadi sebagai bentuk yang lebih pucat dari lokia rubra. Lokia ini
berhenti sekitar 7-8 hari dengan warna merah muda, kuning dan putih hingga
bertransisis menjadi lokia alba. Lokia serosa terutama mengandung cairan serosa,
jaringan desidua, leukosit dan eritrosit. Lokia serosa merupakan lokia yang
mempunyai bau paling kuat.
- Lochea Alba
Mulai terjadi sekitar hari kesepuluh pascapartu dan hilang sekitar periode dua
hingga empat minggu. Warna lokia alba putih krem dan terutama mengandung
leukosit dan sel desidua.
Lokia mulai terjadi pada jam-jam pertama pasca partum berupa sekret kental
dan banyak. Berturut-turut banyaknya lokia akan berkurangyaitu berupa
berjuamlah sedang (berupa lokia rubra), berjumlah sedikit (berupa lokia serosa)
dan berjumlah sangat sedikit (berupa lokia alba). Biasanya wanita mengeluarkan
sedikit lokia saat berbaring dan mengeluarkan lebih banyak atau bekuan darah
yang kecil saat bangkit, hal ini terjadi karena darah terkumpul di forniks vagina
atas saat wanita mengambil posisi rekumben.
Variasi dalam durasi aliran lokia sangat umum terjadi. Akan tetapi warna
aliran lokia harian cenderung semakin terang, yaitu berubah dari merah segar
menjadi merah tua, kemudian coklat dan merah muda. Aliran lokia yang tiba-tiba
kembali bewarna merah segar bukan merupakan teua yang normal dan
memerlukan evaluasi. Penyebabnya meliputi aktivitas yang berlebihan, bagian
plasenta atau selaput janin yang tertinggal, atonia uterus (Varney, 2008)
d. Serviks
Tepi luar serviks, yang berhubungan dengan os eksternum, biasanya
mengalami laserasi terutama dibagian lateral. Ostium serviks bekontraksi
perlahan, dan beberapa hari setelah bersalin ostium serviks hanya dapat ditembus
oleh 2 jari. Pada akhir minggu pertama, ostium tersebut telah menyempit. Karena
ostium menyempit, serviks menebal dan kanal kembali terbentuk. Meskipun
involusi telah selesai, os eksternum tidak dapat sepenuhnya kembali
kepenampakan sebelum hamil (william, 2006)
e. Payudara

9
Lepasnya plasenta dan berkurangnya fungsi korpus luteum,
mengakibatkan estrogen dan progesterone berkurang, prolaktin akan meningkat
dalam darah yang merangsang sel-sel acini untuk memproduksi ASI. Keadaan
payudara pada dua hari pertama post partum sama dengan keadaan dalam masa
kehamilan. Pada hari ketiga dan keempat buah dada membesar, keras dan nyeri
ditandai dengan sekresi air susu sehingga akan terjadi proses laktasi (Saleha,
2009).
Laktasi dimulai pada semua wanita dengan perubahan hormon pada saat
melahirkan. Apakah wanita memilih untuk menyusui atau tidak, ia dapat
mengalami kongesti payudara selama beberpa hari pertama pasca salinkarena
tubuhnya mempersiapkan untuk memberikan nutrisi pada bayi. Wanita yang
menyusui berespon terhadap mensttimulus bayi yang disusui akan terus
menstimulus alvelous untuk selalu memproduksi ASI. Pengkajian payudara pada
periode awal pascapartum meliputi penampilan dan integritas puting susu, memar
atau iritasi jaringan payudara karena posisi bayi pada payudara, adanya kolostrum,
apakah payudara terisi air susu, dan adanya sumbatan duktus, kongesti, dan tanda-
tanda mastitis potensial (Varney, 2009).
Payudara adalah kelenjar yang terletak dibawah kulit dan di atas otot dada,
merupakan perubahan dari kelenjar keringat. Payudara dewasa beratnya kira-kira
200 gram, yang kiri umumnya lebih besar dari kanan. Pada waktu hamil payudara
membesar mencapai 600 gram, dan pada ibu menyusui mencapai 800 gram. Ada 3
bagian utama payudara, yaitu :
1. Korpus (badan), yaitu bagian yang membesar
2. Areola, yaitu bagian yang kehitaman di tengah
3. Papilla atau puting, yaitu bagian yang menonjol di puncak payudara.
Di dalam badan payudara terdapat bangunan yang disebut alveolus, yang
merupakan tempat susu diproduksi. Dari alveolus ini air susu ibu dialirkan ke
dalam saluran kecil (duktulus), beberapa duktulus bergabung membentuk duktus.
Dibawah areola, saluran yang besar ini mengalami pelebaran yang disebut sinus
laktiferus. Ahirnya semua saluran yang besar ini memusat ke dalam puting dan
bermuara ke luar. Di dalam dinding alveolus maupun saluran, terdapat otot polos
yang bila berkontraksi dapat memompa ASI keluar.

10
Ada empat macam bentuk puting, yaitu bentuk normal/umum, pendek/datar,
panjang dan terbenam. Namun, bentuk-bentuk puting tidak selalu berpengaruh
pada proses laktasi, karena pada dasarnya bayi menyusu pada payudara ibu, bukan
pada puting. Pada papilla dan areola terdapat saraf peraba yang sangat penting
untuk refleks menyusui. Bila puting diisap, terjadilah refleks yang sangat
diperlukan dalam proses menyusui (Siswosudarmo, 2010).
FISIOLOGI LAKTASI :
Selama kehamilan, hormone prolaktin dari plasenta meningkat tetapi ASI
Biasanya belum keluar karea masih dihambat oleh kadar estrogen yang tinggi.
Pada hari kedua atau ketiga pasca perasalinan, kadar estrogen dan progesteron
menurun drastic, sehingga prolaktin lebih dominan dan pada saat inilah mulai
terjadi sekresi ASI. Dengan menyusukan lebih dini terjadi perangsangan putting
susu, terbentuklah prolaktin oleh hipofisis, sehingga sekresi ASI lebih lancar.
Dua reflek pada ibu yang sangat penting dalam proses laktasi yaitu prolaktin
dan reflek oksitosin. Kedua refleks ini bersumber dari perangsangan putting susu
karena hisapan oleh bayi.

- Reflek prolaktin
Pada akhir kehamilan hormon prolaktin memegang peranan untuk membuat
kolostrum, terbatas dikarenakan aktivitas prolaktin dihambat oleh estrogen dan
progesteron yang masih tinggi. Pasca persalinan, yaitu lepasnya plasenta dan
berkurangnya fungsi korpus luteum maka estrogen dan progesteron juga
berkurang. Hisapan bayi akan merangsang puting susu dan kalang payudara
karena ujung-ujung syaraf sensoris yang berfungsi sebagai reseptor mekanik.
Rangsangan ini dilanjutkan ke hipotalamus melalui medulla spinalis hipotalamus
dan akan menekan pengeluaran faktor penghambat sekresi prolaktin dan
sebaliknya merangsang pengeluaran faktor pemacu sekresi prolaktin. Faktor
pemacu sekresi prolaktin akan merangsang hipofise anterior sehingga keluar
prolaktin. Hormon ini merangsang sel-sel alveoli yang berfungsi untuk membuat
air susu.
Kadar prolaktin pada ibu menyusui akan menjadi normal 3 bulan setelah
melahirkan sampai penyapihan anak dan pada saat tersebut tidak akan ada

11
peningkatan prolaktin walau ada isapan bayi, namun pengeluaran air susu tetap
berlangsung. Pada ibu nifas yang tidak menyusui, kadar prolaktin akan menjadi
normal pada minggu ke 2-3.
- Reflek Oksitosin
Rangsangan yang berasal dari puting susu, tidak hanya diteruskan sampai
kelenjar hipofise anterior, tetapi juga dilanjutkan ke hipofise posterior
(neurohipofise) yang kemudian bagian ini akan mengeluarkan hormon oksitosin.
Hormon oksitosin berfungsi untuk memacu kontraksi otot polos yang ada di
dinding alveolus dan dinding saluran, sehingga ASI dipompa keluar. Melalui
aliran darah hormon ini menuju uterus sehingga menimbulkan kontraksi.
Kontraksi dari sel akan memeras air susu yang telah terbuat keluar dari alveoli dan
masuk melalui duktus lactiferus masuk ke mulut bayi. Makin sering menyusui,
pengosongan alveolus dan saluran akan semakin baik sehingga kemungkinan
terjadinya bendungan susu semakin kecil, dan menyusui akan semakin lancar.
Hal-hal yang berefek positif terhadap refleks oksitosin adalah rasa sayang kepada
bayi, mendengar dan melihat bayi. Sedangkan sebaliknya, rasa cemas, stres, nyeri,
ragu akan menghalangi reflek oksitosin.
Selain efek diatas, oksitosin memacu kontraksi otot rahim sehingga involusi
rahim makin cepat makin baik. Tidak jarang ibu-ibu merasakan mulas yang sangat
pada hari-hari pertama menyusui, hal ini adalah mekanisme alamiah yang baik
untuk kembalinya rahim ke bentuk semula (Siswosudarmo, 2010)
2) Sistem perkemihan
Pelvis, ginjal dan ureter yng teregang dan berdilatasi selama kehamilan
kembali normal pada akhir minggu keempat setelah melahirkan. Kurang lebih
40% wanita nifas mengalami proteinuria yang nonpatologis sejak pasca
melahirkan sampai 2 hari post partum. Diuresis yang normal dimulai segera
setelah bersalin sampai hari kelima setelah persalinan. Jumlah urine yang keluar
dapat melebihi 3000 ml per harinya. Hal ini diperkirakan merupakan salah satu
cara untuk menghilangkan peningkatan cairan ekstraseluler yang merupakan
bagian normal dari kehamilan. Ureter dan pelvis renalis yang mengalami distensi
akan kembali normal pada 2-8 minggu setelah persalinan (Varney, 2009).
3) Sistem gastrointestinal

12
Selama persalinan, motilitas lambung berkurang, terutama akibat nyeri,
rasa takut dan obat narkotik. Penurunan tonus sfingter esofagus bawah, penurunan
motilitas lambung dan peningkatan keasaman lambung menyebabkan perlambatan
pengosongan lambung. Tonus dan tekanan sfingter esofagus bawah kembali
normal dalam 6 minggu selama persalinan. Namun pada masa nifas dini,
penurunan tonus otot dan motilitas saluran cerna dapat menyebabkan relaksasi
abdomen, peningkatan distensi gas dan konstipasi segera setelah melahirkan.
Defekasi pertama biasanya terjadi dalam 2 atau 3 hari setelah persalinan (Coad,
2006).
4) Sistem hematologi
Kadar hemoglobin kembali ke kadar normal prahamil dalam 4-6 minggu
dan jumlah sel darah putih turun ke normal dalam seminggu setelah persalinan.
Jumlah trombosit meningkat pada beberapa hari pertama setelah persalinan,
kemudian turun secara bertahap sampai ke kadar prahamil. Aktifitas fibrinolitik
maksimum segera setelah persalinan selama beberapa jam sebagai respons
terhadap keluarnya plasenta, yang menghasilkan inhibitor fibrinolitik. Hasil akhir
adalah keadaan hiperkoagulabilitas pada kehamilan meningkat pada masa nifas
awal dan kemudian secara perlahan kembali ke keadaan prahamil dalam beberapa
minggu. Mobilisasi merupakan hal penting untuk mengoptimalkan aliran balik
vena untuk menghindari stasis di dalam jaringan vaskular sehingga resiko
trombosis vena profunda dapat berkurang (Coad, 2006)
5) Sistem kardiovaskular
Pada awalnya terjadi peningkatan mencolok curah jantung karena aliran
uteroplasenta kembali ke sistem vena dan uterus tidak lagi menghambat aliran
darah vena kava. Hal ini diperkuat oleh mobilisasi cairan ekstrasel. Walaupun
wanita hamil secara normal mampu menoleransi pengeluaran darah yang normal
saat persalinan, para wanita yang ekspansi vaskularnya kurang selama kehamilan,
misalnya mereka yang mengidap preeklamsia mungkin kurang mampu
menoleransi pengeluaran darah. Resolusi hipertrofi ventrikel berlangsung lambat.
Remodeling vaskular pada kehamilan menetap selama paling sedikit setahun
setelah persalinan dan diperkuat oleh kehamilan selanjutnya. Karena volume
darah dalam sirkulasi dan curah jantung turun pada masa nifas dan ventrikel yang

13
hipertrofi lambat mengalami remodelling, isi sekuncup relatif tetap tinggi. Hal ini
berarti kecepatan denyut jantung pada masa nifas berkurang karena isi sekuncup
secara proporsional memberi kontribusi yang lebih besar terhadap penurunan
curah jantung. Dengan demikian, wanita masa nifas lazim mengalami bradikardia
(penurunan kecepatan denyut jantung menjadi sekitar 60-70 kali per menit).
Peningkatan kecepatan denyut mungkin mengindikasikan anemia berat, trombosis
vena atau infeksi (Coad, 2006).
6) Sistem endokrin
Selama proses kehamilan dan persalinan terdapat perubahan pada sistem
endokrin, terutama pada hormone-hormon yang berperan dalam proses tersebut,
misalnya :
a. Oksitosin
Oksitosin disekresikan dari kelenjar otak bagian belakang. Selama tahap
ketiga persalinan, hormone oksitosin berperan dalam pelepasan plasenta dan
mempertahankan kontraksi, sehingga mencegah terjadinya perdarahan. Isapan
bayi dapat merangsang produksi ASI dan sekresi oksitosin. Hal tersebut
membantu uterus kembali ke bentuk normal seperti pra hamil.
b. Prolaktin
Menurunnya kadar esterogen menimbulkan terangsangnya kelenjar
pituitary bagian belakang untuk mengeluarkan prolaktin, hormone ini berperan
dalam pembesaran payudara untuk merangsang produksi susu. Pada wanita yang
menyusui bayinya, kadar prolaktin tetap tinggi dan pada permulaan ada
rangsangan folikel dalam ovarium yang ditekan. Pada wanita yang tidak menyusui
bayinya tingkat sirkulasi prolaktin menurun dalam 14-21 hari setelah persalinan,
sehingga merangsang kelenjar bawah depan otak yang mengontrol ovarium
kearah permulaan pola produksi esterogen dan progesterone yang normal,
pertumbuhan folikel, ovulasi dan menstruasi.

c. Esterogen dan progesteron


Selama hamil volume darah normal meningkat walaupun mekanismenya
secara penuh belum dimengerti. Diperkirakan bahwa tingkat esterogen yang tinggi
memperbesar hormone antidiuretik yang meningkatkan volume darah. Di samping

14
itu, progesteron mempengaruhi otot halus yang mengurangi perangsangan dan
peningkatan pembuluh darah. Hal ini sangat mempengaruhi saluran kemih, ginjal,
usus, diding vena, dasar panggul, perineum, vulva dan vagina.
7) Perubahan tanda-tanda vital
a. Suhu
Suhu tubuh wanita inpartu tidak lebih dari 37,20C. Sesudah partus dapat
naik kurang lebih 0,50C dari keadaan normal, namun tidak akan melebihi 380C.
sesudah 2 jam pertama melahirkan umumnya suhu badan akan kembali normal.
Bila suhu lebih dari 380C, mungkin terjadi infeksi pada klien.
b. Nadi dan pernapasan
Nadi berkisar antara 60-80 denyutan per menit setelah partus, dan dapat
terjadi bradikardi. Bila terdapat takikardi dan suhu tubuh tidak panas mungkin ada
perdarahan berlebihan atau ada vitium kordis pada penderita. Pada masa nifas
umumnya denyut nadi labil dibandingkan dengan suhu tubuh, sedangkan
pernapasan akan sedikit meningkat setelah partus kemudian kembali seperti
keadaan semula.
c. Tekanan darah
Pada beberapa kasus ditemukan keadaan hipertensi post partum dan akan
menghilang dengan sendirinya apabila tidak terdapat penyakit-penyakit lain yang
menyertainya dalam ½ bulan tanpa pengobatan (Saleha, 2009).
2.1.4. Adaptasi psikologis pada masa nifas
Periode postpartum menyebabkan stress emosional terhadap ibu baru, bahkan
lebih menyulitkan bila terjadi perubahan fisik yang hebat. Faktor- faktor yang
mempengaruhi suksesnya masa transisi ke masa menjadi orangtua pada masa post
partum adalah :
1). Respons dan dukungan dari keluarga dan teman
2). Hubungan antara pengalaman melahirkan dan harapan serta aspirasi
3). Pengalaman melahirkan dan membesarkan anak yang lain
4). Pengaruh budaya
Periode postpartum ini di uraikan oleh Rubin terjadi dalam 3 tahap yaitu :
1). Taking in

15
a. Periode ini terjadi 1 – 2 hari sesudah melahirkan. Ibu pada umumnya pasif
dan tergantung, perhatiannya tertuju pada kekhawatiran akan tubuhnya.
b. Ibu akan mengulang-ulang pengalamannya waktu melahirkan.
c. Tidur tanpa gangguan sangat penting untuk mencegah gangguan tidur.
d. Peningkatan nutrisi mungkin dibutuhkan karena selera makan ibu biasanya
bertambah. Nafsu makan yang kurang menandakan proses pengembalian
kondisi ibu tidak berlangsung normal.
2). Taking Hold
a. Berlangsung 2 – 4 hari postpartum. Ibu menjadi perhatian kemampuannya
menjadi orangtua yang sukses dan meningkatkan tanggung jawab terhadap
bayi.
b. Perhatian terhadap fungsi-fungsi tubuh (misalnya, eliminasi)
c. Ibu berusaha keras untuk menguasai ketrampilan untuk merawat bayi,
misalnya menggendong dan menyusui. Ibu agak sensitif dan merasa tidak
mahir dalam melakukan hal tersebut, sehingga cenderung menerima nasihat
dari bidan karena ia terbuka untuk menerima pengetahuan dan kritikan yang
bersifat pribadi.
3). Letting Go
a. Terjadi setelah ibu pulang ke rumah dan sangat berpengaruh terhadap waktu
dan perhatian yang diberikan oleh keluarga.
b. Ibu mengambil tanggung jawab terhadap perawatan bayi. Ia harus beradaptasi
dengan kebutuhan bayi yang sangat tergantung, yang menyebabkan
berkurangnya hak ibu dalam kebebasan dan berhubungan sosial.
c. Pada periode ini umumnya terjadi postpartum blues/baby blues. (Varney H,
dkk, 2008).
2.1.5. Tanda bahaya masa nifas
Tanda-tanda bahaya yang sering terjadi pada masa nifas adalah sebagai
berikut:
1. Kelelahan dan sulit tidur. Kelelahan dan sulit tidur bisa timbul dari
depresi, kekhawatiran berlebih, atau merupakan refleksi dari adanya
tanda-tanda bahaya yang lain.
2. Demam. Deman merupakan salah satu tanda infeksi.

16
3. Nyeri atau terasa panas ketika buang air kecil. Hal ini bisa disebabkan
karena adanya infeksi pada traktus urinarius.
4. Sembelit atau haemoroid. Adanya sembelit / haemoroid ini bisa
diperparah jika ibu mengalami BAB yang susah / keras.
5. Sakit kepala terus menerus, nyeri, bengkak. Merupakan gejala awal
dari preeklampsia postpartum.
6. Nyeri abdomen. Bisa karena diastasis muskulus rektus abdominalis
yang abnormal karena kehamilan yang overdistensi.
7. Cairan vagina (lokhea) berbau busuk. Hal ini merupakan salah satu
tanda infeksi.
8. Sangat sakit saat payudara disentuh, pembengkakan, puting yang
pecah-pecah. Hal ini dapat meningkatkan morbiditas ibu serta
kesulitan dalam menyusui.
9. Kesulitan dalam menyusui. Hal ini dapat membuat ibu gelisah dan
merasakan ketidakmampuan dalam merawat bayi. Jika hal itu terus
berlanjut dapat menyebabkan bayi kekurangan nutrisi yang
dibutuhkan.
10. Kesedihan dan merasa kurang mampu merawat bayi secara memadai.
Dua hal di atas dapat membuat ibu jatuh ke dalam depresi yang tentu
saja akan lebih mengganggu perawatan yang optimal terhadap bayi.
11. Rabun senja. Merupakan gangguan mata akibat kekurangan vitamin A,
ibu berkurang daya penglihatannya menjelang matahari terbenam (saat
senja)
12. Tromboflebitis. Gejala-gejalanya adalah rasa sakit yang sangat, merah,
lunak, dan/atau pembengkakan pada kaki.
13. Kehilangan nafsu makan dalam waktu yang lama, sangat letih, atau
nafas terengah-engah.
14. Perdarahan vagina yang banyak atau tiba-tiba bertambah banyak (lebih
dari perdarahan haid biasa atau bila memerlukan penggantian pembalut
2 kali dalam setengah jam) (Saifuddin,A.B. 2008).

2.1.6. Kebutuhan dasar dan perawatan masa nifas

17
1) Mobilisasi / ambulasi
Ambulasi sedini mungkin sangat dianjurkan, kecuali ada kontra
indikasi. Ambulasi ini akan meningkatkan sirkulasi dan mencegah
risiko tromboflebitis, meningkatkan fungsi kerja peristaltik dan
kandung kemih, sehingga mencegah distensia abdominal dan
konstipasi. Bidan harus menjelaskan pada ibu tentang tujuan dan
manfaat ambulasi dini. Ambulasi ini dilakukan secara bertahap sesuai
kekuatan ibu (Bahiyatun, 2009).
2) Diet / nutrisi
Tidak ada kontra indikasi dalam pemberian nutrisi postpartum. Ibu
harus mendapatakan nutrisi yang lengkap dengan tambahan kalori
(200 – 500 kkal), yang akan mempercepat pemulihan kesehatan dan
kekuatan. Ibu nifas memerlukan diet untuk mempertahankan tubuh
terhadap infeksi, mencegah konstipasi, dan untuk memulai proses
pemberian ASI ekslusif. Asupan kalori perhari ditingkatkan sampai
2700 kkal. Asupan cairan perhari ditingkatkan sampai 3000 ml (susu
1000 ml). Suplemen zat besi dapat diberikan kepada ibu nifas selama
4 minggu pertama setelah kelahiran (Bahiyatun, 2009).
3) Eliminasi
Menurut Saleha (2009) pola eliminasi pada ibu nifas dibagi menjadi :
- Buang air kecil
Ibu diminta untuk miksi 6 jam postpartum. Jika dalam 8 jam
postpartum ibu belum dapat berkemih atau sekali berkemih
belum melebihi 100 cc, maka dilakukan katerisasi. Akan tetapi,
kalau ternyata kandung kemih penuh, tidak perlu menunggu 8
jam untuk kateterisasi.
- Buang air besar
Ibu post partum diharapkan dapat BAB setelah hari kedua post
partum. Jika pada hari ketiga belum juga BAB, maka perlu
diberi obat pencahar per oral atau per rektal.
4) Hygiene

18
Masa nifas adalah masa yang rentan terjadi infeksi pada ibu. Oleh
karena itu, ibu nifas disarankan :
- Menjaga kebersihan seluruh tubuh dengan mandi.
- Membersihkan daerah kelamin sabun dan air. Untuk
membersihkan daerah disekitar kelamin dilakukan dari arah
depan ke belakang kemudian didaerah sekitar anus setiap selesai
buang air kecil maupun buang air besar. Keringkan dengan
handuk dengan cara ditepuk – tepuk dari arah muka ke
belakang.
- Menyarankan ibu untuk mengganti pembalut setidaknya dua kali
sehari.
- Cuci tangan dengan sabun sebelum dan sesudah membersihkan
daerah kelaminnya (Bahiyatun, 2009)
5) Perawatan payudara
Perawatan payudara dilakukan untuk memperlancar pengeluaran ASI.
Pada payudara terjadi proses laktasi, sehingga perlu pengkajian fisik
dengan perabaan apakah terdapat benjolan, pembesaran kelenjar, atau
abses serta bagaimana keadaan puting. Merawat payudara dengan
menjaga tetap bersih dan kering, menggunakan bra yang menyokong
payudara (Saleha, 2009)
6) Kebutuhan psikologis
Wanita mengalami banyak perubahan emosi / psikologis selama masa
nifas, sementara ia menyesuaikan diri menjadi seorang ibu. Cukup
sering ibu menunjukkan depresi ringan beberapa hari setelah
kelahiran. Hal ini sering terjadi akibat sejumlah faktor seperti :
 Kekecewaan emosional yang mengikuti rasa puas dan takut
yang dialami kebanyakan wanita selama kehamilan dan
persalinan.
 Rasa sakit masa nifas awal
 Kelelahan karena kurang tidur selama persalinan dan
postpartum
 Kecemasan tentang kemampuannya merawat bayi

19
 Ketakutan tentang penampilan yang tidak menarik lagi bagi
suaminya.
Pada sebagian besar kasus tidak diperlukan terapi yang efektif, kecuali
antisipasi, pemahaman dan rasa aman. Seorang bidan dapat lebih
dekat dengan ibu dan berusaha memberi nasihat yang berarti dan
meminta keluarga untuk tetap memberi dukungan moral dan perhatian
terhadap ibu. Kaji bagaimana perasaannya, termasuk mood (suasana
hati) dan perasaannya menjadi orangtua. Keluhan atau masalah yang
sekarang dirasakan, perasaan tentang persalinan dan kelahiran
bayinya. Bayi yang baru dilahirkan segera disusukan kepada ibu agar
ikatan antara ibu dan bayi (bounding) semakin erat. Menyusui bayi
sedini mungkin adalah terciptanya rasa kasih sayang, sehingga
tumbuh pertalian yang intim antara ibu dan anak (Bahiyatun, 2009).
7) Istirahat
Istirahat sangat penting untuk ibu yang menyusui. Seorang wanita
yang dalam masa nifas dan menyusui memerlukan waktu lebih banyak
untuk istirahat karena sedang dalam proses penyembuhan, terutama
organ-organ reproduksi dan untuk kebutuhan menyusui bayinya. Bayi
biasanya terjaga saat malam hari. Hal ini akan mengubah pola istirahat
ibu, oleh karena itu dianjurkan istirahat / tidur saat bayi sedang tidur.
Ibu dianjurkan untuk menyesuaikan jadwalnya dengan jadwal bayi
dan mengejar kesempatan untuk istirahat. Jika ibu kurang istirahat
akan mengakibatkan berkurangnya jumlah produksi ASI,
memperlambat proses involusi, menyebabkan depresi dan
menimbulkan rasa ketidakmampuan merawat bayi (Saleha, 2009)
8) Kebutuhan seksual
Secara fisik aman untuk memulai hubungan suami-isteri begitu darah
berhenti dan ibu dapat memasukkan 1 atau 2 jari ke dalam vagina
tanpa rasa nyeri. Begitu darah berhenti dan ibu tidak merasakan
ketidaknyamanan, inilah saat yang aman untuk memulai hubungan
suami-isteri kapan saja ibu siap. Banyak budaya yang mempunyai
tradisi menunda hubungan suami-isteri sampai waktu tertentu,

20
misalnya setelah 40 hari persalinan. Keputusan bergantung pada
pasangan yang bersangkutan (Bahiyatun, 2009)
9) Keluarga berencana (KB)
Idealnya pasangan harus menunggu sekurang-kurangnya 2 tahun
sebelum ibu hamil kembali. Setiap pasangan harus menentukan
sendiri kapan dan bagaimana mereka ingin merencanakan kehamilan.
Namun petugas kesehatan dapat membantu merencanakan dengan
mengajarkan kepada mereka tentang cara mencegah kehamilan yang
tidak diinginkan. Biasanya wanita tidak akan menghasilkan telur
(ovulasi) sebelum ia mendapatkan lagi haidnya selama meneteki. Oleh
karena itu, metode amenorhea laktasi dapat dipakai sebelum haid
pertama kembali untuk mencegah terjadinya kehamilan baru. Bila
tidak menyusui, siklus menstruasi biasanya akan kembali dalam waktu
6-8 minggu, tapi sulit untuk menentukan secara klinis waktu spesifik
terjadinya menstruasi pertama setelah melahirkan (amenore laktasi).
Menstruasi pertama pada wanita menyusui dapat terjadi paling cepat
pada bulan ke 2 – bulan ke 18 (Bahiyatun, 2009).

2.1.7 Kunjungan masa nifas


Kunjungan masa nifas dilakukan paling sedikit 4 kali. Kunjungan ini
bertujuan untuk menilai status ibu dan bayi baru lahir juga untuk
mencegah, mendeteksi serta menangani masalah-masalah yang terjadi
(Prawirohardjo, 2009).
Kunjungan Waktu Tujuan
1 6-8 jam setelah 1. Mencegah perdarahan masa nifas
Persalinan akibat dari atonia uteri
2. Mendeteksi dan merawat penyebab
lain perdarahan dan memberi rujukan
bila perdarahan berlanjut.
3. Memberikan konseling pada ibu atau
salah satu anggota keluarga mengenai
bagaiman mencegah perdarahan masa

21
nifas karena atonia uteri.
4. Pemberian ASI pada awal menjadi
ibu.
5. Melakukan hubungan antara ibu dan
bayi baru lahir
6. Menjaga bayi tetap sehat dengan cara
mencegah hipotermia.
jika bidan menolong persalinan, maka
bidan harus menjaga ibu dan bayi baru
lahir untuk 2 jam pertama setelah kelahiran
atau sampai ibu dan bayi dalam keadaan
stabil.
2 6 hari setelah 1. Memastikan involusi berjalan normal,
persalinan uterus berkontraksi, fundus dibawah
umbilikus, tidak ada perdarahan
abnormal, tidak ada bau.
2. Menilai adanya tanda-tanda demam,
infeksi atau perdarahan abnormal
3. Memastikan ibu mendapatkan cukup
makanan, cairan dan istirahat
4. Memastikan ibu menyusui dengan
baik dan tak memperlihatkan tanda-
tanda penyulit
5. Memberikan konseling pada ibu
mengenai asuhan pada bayi, tali pusat,
menjaga bayi tetap hangat dan
merawat bayi sehari-hari
3 2 minggu Sama seperti di atas (6 hari setelah
setelah persalinan)
persalinan

22
4 6 minggu Menanyakan pada ibu tentang penyulit-
setelah penyulit yang ibu atau bayi alami dan
persalinan memberikan konseling untuk KB secara
dini

2.2. Konsep Dasar Seksio Sesarea


2.2.1 Komplikasi luka
1) Hematoma
Balutan dilihat terhadap perdarahan (hemoragi) pada interval yang
sering selama 24 jam setelah pembedahan. Setiap perdarahan dalam
jumlah yang tidak semestinya dilaporkan. Pada waktunya, sedikit
perdarahan terjadi di bawah kulit. Hemoragi ini biasanya berhenti
secara spontan tetapi mengakibatkan pembentukan bekuan di dalam
luka. Jika bekuan kecil, maka akan terserap dan tidak harus ditangani.
Ketika lukanya besar dan luka biasanya menonjol dan penyembuhan
akan terhambat kecuali bekuan ni dibuang. Proses penyembuhan
biasanya dengan granulasi atau penutupan sekunder dapat dilakukan.
2) Infeksi
Staphylococcus Aureus menyebabkan banyak infeksi luka pasca
operatif. Infeksi lainnya dapat terjadi akibat E.Coli, Proteus Vulgaris.
Bila terjadi proses inflamatori, hal ini biasanya menyebabkan gejala
dalam 36 sampai 48 jam. Frekuensi nadi dan suhu tubuh meningkat,
dan luka biasanya membengkak, hangat dan nyeri tekan, tanda-tanda
lokal mungkin tidak terdapat ketika infeksi sudah mendalam.
3) Dehiscene dan Eviserasi
Dehiscene adalah gangguan insisi atau luka bedah dan eviserasi adalah
penonjolan isi luka. Komplikasi ini sering terjadi pada jahitan yang
lepas, infeksi dan yang lebih sering lagi karena batuk keras dan
mengejan.
2.2.2 Tipe penyembuhan luka
Menurut Moya, Morison (2003) proses penyembuhan luka akan melalui
beberapa intensi penyembuhan antara lain :

23
1) Penyembuhan melalui intensi pertama (primary intention)
Luka terjadi dengan pengrusakan jaringan yang minimum, dibuat secara
aseptic, penutupan terjadi dengan baik, jaringan granulasi tidak tampak
dan pembentukan jaringan parut minimal.
2) Penyembuhan melalui intensi kedua (granulasi)
Pada luka terjadi pembentukan pus atau tepi luka tidak saling merapat,
proses penyembuhannya membutuhkan waktu yang lama.
3) Penyembuhan melalui intensi ketiga (Scondary suture)
Terjadi pada luka yang dalam yang belum dijahit atau terlepas dan
kemudian dijahit kembali, dua permukaan granulasi yang berlawanan
disambungkan sehingga akan membentuk jaringan parut yang lebih
dalam dan luas.
2.2.3 Prinsip Perawatan Luka Pasca Operasi
Penutup atau pembalut luka berfungsi sebagai penghalang terhadap
infeksi selama proses penyembuhan yang dikenal dengan repitelisasi.
Pertahankan penutup luka ini selama hari pertama setelah pembedahan
untuk mencegah infeksi selama proses reepitelisasi berlangsung
(Prawirohardjo,2014)
Luka perlu ditutup dengan kassa steril, sehingga sisa darah dapat
diserap oleh kassa. Dengan menutup luka itu kita mencegah terjadinya
kontaminasi kuman, tersenggol.
Sehabis operasi, luka yang timbul langsung ditutup dengan kassa
steril selagi di kamar bedah dan biasanya tidak perlu diganti sampai
diangkat jahitannya, kecuali bila terjadi perdarahan sampai darahnya
menembus di atas kassa barulah diganti kassa steril lagi. Pada saat
mengganti kassa lama perlu diperhatikan teknik aseptik supaya tidak terjadi
infeksi.
Luka insisi diperiksa setiap hari. Karena itu bebat yang tipis tanpa
plester yang berlebihan lebih menguntungkan. Penutup luka dipertahankan
selama hari pertama setelah pembedahan untuk mencegah infeksi pada
saat proses penyembuhan berlangsung (Prawirohardjo, 2010).

24
Mengobservasi status luka apakah luka bersih atau kotor. Kasa
steril dipegang dengan pinset lalu dicelupkan ke savlon lalu bersihkan luka
(Kuswan, 2009).
Penutup/pembalut luka berfungsi sebagai penghalang terhadap infeksi
selama proses penyembuhan.
a. Jika pada pembalut luka terjadi perdarahan atau keluar cairan tidak terlalu
banyak, jangan mengganti pembalut, perkuat pembalutnya dan pantau
keluarnya cairan dan darah. Jika perdarahan tetap bertambah atau sudah
membasahi setengah atau lebih dari pembalutnya, buka pembalut, inspeksi
luka, atasi penyebabnya dan ganti dengan pembalut baru.
b. Jika pembalut kendor, jangan ganti pembalutnya tetapi berikan plester
untuk mengencangkan.
c. Ganti pembalut dengan cara yang steril
d. Luka harus dijaga agar tetap kering dan bersih.

2.3 Konsep dasar kontrasepsi IUD Post Plasenta


2.3.1 Definisi
IUD post plasenta adalah alat kontrasepsi yang termasuk dalam KB
pasca partum adalah alat kontrasepsi yang dapat langsung dipasang 10 menit
setelah plasenta dilahirkan, yaitu IUD (intra uterine device).pemesangan alat
kontrasepsi ini setelah plasenta dilahirkan diraskan menguntungkan untuk
beberapa alasan tertentu, seperti pada masa ini wanita tersebut tidak ingin hamil
dan motivasiny untuk memasang alatkontrasepsi msih tinggi ( Grimes, David A,
et al,2010).
IUD ini dapat digunakan bertahun-tahun dan ini dapat menghemat biaya
apalagi jika pemasangan dapat langsung dilakukan di fasilitas kesehatan tempat
ibu melahirkan (USAID,2008).
Pemasangan IUD post-plasenta dan segera pasca persalinan
direkomendasikan karena pada masa ini serviks masih terbuka dan lunak sehingga
memudahkan pemasangan IUD dan kurang nyeri bila dibandingkan pemasangan
setelah 48 jam pasca persalinan (BKKBN-PKBRS,2010)

25
Insersi IUD post-plasenta memiliki angka ekspulsi rata-rata 13-16% dan
dapat hingga 9-12,5% jika dipasang oleh tenaga terlatih. Angka ekspulsi ini lebih
rendah bila dibandingkan dengan waktu pemasangan padamasa segera pasca
persalinan (immediate post partum,yitu 28-37%. Sayangnya pengunaan IUD post
plasenta belum banyak digunakan karena masih kurangnya sosialisasi mengenai
hal ini dan masih adanya ketakuan pada calon akseptor mengenai terjadinya
komplikasi seperti perporasi uterus, infeksi, perdarahan, dan nyeri (Edelman et al,
2011).
Kelangsungan IUD pasca salin dalah pemakaian kontrasepsi pada akseptor
KB Pasangan usia subur yang didasari atau dibatasi oleh tujuan program KB
diantaranya apakah kelangsungan pemakaian kontrasepsi jangka panjang tersebut
bertujuan untuk menunda, menjarangkan, dan mengakhirikehamilan. Waktu
dimualainya kontrasepsi pasca salin berdasarkan satrus menyusui, metode
kontrasepsiyng dipilih, untuk ini dapt digunakan algotitma KB pasca salin sebagai
berikut :

Gambar 2.1 Algoritma pilihan KB (BKKBN,2012)


2.1.2 Mekanisme kerja
Sampai sekarang mekanisme kerja AKDR belum diketahui dengan
pasti. Kini pendapat yang terbanyak ialah bahwa AKDR dalam kavum
uteri menimbulkan reaksi peradangan endometrium yang disertai dengan

26
sebukan leukosit yang dapat menghancurkan blastokista atau sperma. Pada
pemeriksaan cairan uterus pada pemakai AKDR, sering kali dijumpai pula
sel-sel makrofag (fagosit) yang mengandung spermatozoa. Penelitian
selanjutnya menemukan bahwa sifat dan isi cairan uterus mengalami
perubahan pada pemakai AKDR, yang menyebabkan blastokista tidak
dapat hidup dalam uterus, walaupun sebelumnya terjadi nidasi. Penelitian
lain menemukan sering terjadinya kontraksi uterus pada pemakai AKDR,
sehingga akan dapat menghalangi terjadinya nidasi. Diduga hal ini
deisebabkan karena kadar prostaglandin dalam uterus pada wanita
tersebut. Pada AKDR bioaktif mekanisme kerjanya selain menimbulkan
peradangan seperti pada AKDR biasa, juga karena ion logam atau bahan
lain yang melarut dari AKDR mempunyai pengaruh terhadap sperma.
Menurut penelitian, ion logam yang paling efektif adalah ion logam
tembaga (Saifuddin, 2009).
Menurut Saifuddin (2010), cara kerja kontrasepsi IUD/ AKDR
adalah menghambat kemampuan sperma untuk masuk ke tuba falopii,
mempengaruhi fertilisasi sebelum ovum mencapai kavum uteri,
memungkinkan untuk mencegah implantasi telur dalam uterus serta
mencegah sperma dan ovum bertemu (walaupun AKDR membuat sperma
sulit masuk ke dalam alat reproduksi perempuan dan mengurangi
kemampuan sperma untuk fertilisasi).
Sedangkan menurut Manuaba (2010), mekanisme kerja kontrasepsi
IUD / AKDR adalah sebagai berikut :
1. AKDR merupakan benda asing dalam rahim sehingga menimbulkan
reaksi benda asing dengan timbunan leukosit, makrofag dan limfosit.
2. AKDR menimbulkan perubahan pengeluaran cairan prostaglandin yang
menghalangi kapasitasi spermatozoa.
3. Pemadatan endometrium oleh leukosit, makrofag dan limfosit
menyebabkan blastokis mungkin mungkin dirusak oleh makrofag
sehingga blastokis tidak mampu melaksanakan nidasi.

27
4. Ion Cu yang dikeluarkan AKDR dengan Cupper menyebabkan
gangguan gerak spermatozoa sehinggamengurangi kemampuan untuk
melaksanakan konsepsi.
2.1.3. Efektifitas IUD Post-Plasenta
AKDR post palsenta teklah dibuktikan tidak menambah risiko infeksi,
perforasi dan perdarahan. Diakui bahwa ekspulsi lebih tinggi (6-10%)
dan harus disadari pasien, bila mau dapat dipasang lagi.
Kontraindikadi pemasangan post plasenta adalah : ketuban pecah lama,
infeksi intrapartum, perdarahan post partum
2.1.4. Persyaratan pemakaian
Berikut ini merupakan persyaratan pemakaian kontrasepsi IUD
menurut Saifuddin (2010) :
(1) Yang dapat menggunakan kontrasepsi IUD / AKDR :
 Usia produktif
 Keadaan nulipara
 Menginginkan menggunakan kontrasepsi jangka panjang
 Menyusui yang menginginkan menggunakan kontrasepsi
 Setelah melahirkan dan tidak menyusui bayinya
 Setelah mengalami abortus dan tidak terlihat adanya infeksi
 Risiko rendah dari IMS
 Tidak menghendaki metode hormonal
 Tidak menyukai untuk mengingat-ingat minum pil setiap hari
 Tidak menghendaki kehamilan setelah 1-5 hari sanggama
(2) Yang mungkin dapat menggunakan kontrasepsi IUD / AKDR :
 Perokok
 Pasca keguguran atau kegagalan kehamilan apabila tidak terlihat
adanya infeksi
 Sedang memakai antibiotika atau anti kejang
 Gemuk ataupun yang kurus
 Sedang menyusui
 Penderita tumor jinak payudara
 Penderita kanker payudara

28
 Pusing-pusing, sakit kepala
 Tekanan darah tinggi
 Varises di tungkai atau di vulva
 Penderita penyakit jantung (termasuk penyakit jantung katup dapat
diberi antibiotika sebelum pemasangan IUD)
 Pernah menderita stroke
 Penderita diabetes
 Penderita penyakit hati atau empedu
 Malaria
 Skistosomiasis (tanpa anemia)
 Penyakit tiroid
 Epilepsi
 Nonpelvik TBC
 Setelah kehamilan aktopik
 Setelah pembedahan pelvik
(3) Yang tidak dapat menggunakan kontrasepsi IUD / AKDR :
 Sedang hamil (diketahui hamil atau kemungkinan hamil)
 Perdarahan vagina yang tidak diketahui (sampai dapat dievaluasi)
 Sedang menderita infeksi alat genital (vaginitis, servisitis)
 Tiga bulan terakhir sedang mengalami atau sering menderita PRP
atau abortus septik
 Kelainan bawaan uterus yang abnormal atau tumor jinak rahim
yang dapat mempengaruhi kavum uteri
 Penyakit trofoblas yang ganas
 Diketahui menderita TBC pelvik
 Kanker alat genital
 Ukuran rongga rahim kurang dari 5 cm

2.1.5. Keuntungan dan kerugian


Berikut ini merupakan keuntungan dan kerugian kontrasepsi IUD
menurut Manuaba (2010) :
1. Keuntungan

29
 IUD dapat diterima oleh masyarakat dunia, termasuk Indonesia
dan menempati urutan ketiga dalam pemakaiannya
 Pemasangan tidak memerlukan alat medis dan teknis yang sulit
 Kontrol medis yang ringan
 Penyulit tidak terlalu berat
 Pulihnya kesuburan setelah AKDR dicabut berlangsung baik
2. Kerugian
 Masih terjadi kehamilan dengan AKDR in situ
 Terdapat perdarahan (spotting dan menometroragia)
 Leukorea, sehingga menguras protein tubuh dan liang senggama
terasa lebih basah
 Dapat terjadi infeksi
 Tingkat akhir infeksi menimbulkan kemandulan primer atau
sekunder serta kehamilan ektopik
 Benang AKDR dapat menimbulkan perlukaan portio uteri dan
mengganggu hubungan seksual
Sedangkan keuntungan dan kerugian IUD menurut Saifuddin (2010)
adalah sebagai berikut :
1. Keuntungan
 Sebagai kontrasepsi, efektivitasnya tinggi yaitu > 0,6-0,8
kehamilan/ 1000 perempuan dalam 1 tahun pertama (1
kegagalan dalam 125-170 kehamilan)
 AKDR dapat efektif segera setelah pemasangan
 Metode kontrasepsi jangka panjang (10 tahun proteksi dari CuT-
380A dan tidak perlu diganti
 Sangat efektif karena tidak perlu lagi mengingat-ingat
 Tidak mempengaruhi hubungan seksual
 Meningkatkan kenyamanan seksual karena tidak perlu takut
untuk hamil
 Tidak mempunyai efek samping hormonal dengan Cu AKDR
(CuT-380A)
 Tidak mempengaruhi kualitas dan volume ASI

30
 Dapat dipasang segera setelah melahirkan atau sesudah abortus
(apabila tidak terjadi infeksi)
 Dapat digunakan sampai menopouse (1 tahun atau lebih setelah
haid terakhir)
 Tidak ada interaksi dengan obat-obat
 Membantu mencegah kehamilan ektopik
2. Kerugian
 Efek samping yang umum terjadi :
- Perubahan siklus haid (umumnya pada 3 bulan pertama dan
akan berkurang setelah 3 bulan pemakaian)
- Haid lebih lama dan banyak
- Perdarahan (spotting) antar menstruasi
- Saat haid lebih sakit
 Komplikasi lain :
- Merasakan sakit dan kejang selama 3-5 hari setelah
pemasangan
- Perdarahan berat pada waktu haid atau diantaranya yang
memungkinkan penyebab anemia
- Perforasi dinding uterus (sangat jarang apabila
pemasangannya benar)
 Tidak mencegah IMS termasuk HIV / AIDS
 Tidak baik digunakan pada perempuan dengan IMS atau
perempuan yang sering berganti pasangan
 Penyakit radang panggul terjadi sesudah perempuan dengan
IMS memakai AKDR. PRP dapat memicu infertilitas
 Prosedur medis termasuk pemeriksaan pelvik diperlukan dalam
pemasangan AKDR. Seringkali perempuan takut selama
pemasangan
 Sedikit nyeri dan perdarahan (spotting) terjadi segera setelah
pemasangan AKDR. Biasanya menghilang dalam 1-2 hari
 Klien tidak dapat melepas AKDR oleh dirinya sendiri, petugas
kesehatan terlatih yang harus melepaskan AKDR

31
 Mungkin AKDR keluar dari uterus tanpa diketahui (sering
terjadi apabila AKDR dipasang setelah melahirkan)
 Tidak mencegah terjadinya kehamilan ektopik karena fungsi
AKDR untuk mencegah kehamilan normal
 Perempuan harus memeriksa posisi benang AKDR dari waktu
ke waktu. Untuk melakukan ini perempuan harus memasukkan
jarinya ke dalam vagina, sebagian perempuan tidak mau
melakukan hal ini.

2.1.6. Jenis AKDR


Hartanto (2004) membedakan AKDR atau IUD menjadi 2 golongan
besar, yaitu :
1. Un-Medicated Devices (Inert Devices atau First Generation Devices)
Yang termasuk dalam golongan ini antara lain :
 Grafenberg ring
 Ota ring
 Margulies coil
 Saf-T-Coil
 Delta Loop: Modified Lippes Loop D dengan penambahan benang
chromic catgut pada lengan atas, terutama untuk insersi post partum.
 Lippes Loop (dianggap sebagai IUD standart)
Lippes Loop terbuat dari bahan polyethelene, bentuknya seperti
spiral atau huruf S bersambung. Untuk memudahkan kontrol,
dipasang benang pada ekornya. Lippes Loop mempunyai angka
kegagalan yang rendah. Keuntungan lain dari pemakaian spiral jenis
ini ialah bila terjadi perforasi jarang menyebabkan luka atau
penyumbatan usus, sebab terbuat dari bahan plastik. Yang banyak
dipergunakan dalam program KB nasional adalah IUD jenis ini.
Lippes loop dapat dibiarkan in-utero untuk selama-lamanya sampai
menopause, sepanjang tidak ada keluhan bagi akseptor. Lippes Loop
terdiri dari 4 jenis yang berbeda menurut ukuran panjang bagian
atasnya :

32
1) Tipe A panjang 26,2 mm, lebar 22,2 mm, benang biru, satu titik
pada pangkal IUD dekat benang ekor
2) Tipe B panjang 25,2 mm dan lebar 27,4 mm, memiliki 2 benang
hitam, dan bertitik 4
3) Tipe C panjang 27,5 mm dan lebar 30 mm, memiliki 2 benang
kuning, dan bertitik 3
4) Tipe D panjang 27,5 mm dan lebar 30 mm, tebal, memiliki 2
benang putih, dan bertitik 2.
2. Medicated Devices (Bio-Active Devices atau Second Generation
Devices)
a. Mengandung logam
1) AKDR-Cu generasi pertama (First Generation Copper Devices),
yang termasuk dalam kelompok ini adalah :
 CuT-200 (Tatum-T)
Memiliki panjang 36 mm dan lebar 32 mm, dengan luas
permukaan Cu 200 mm2 dan daya kerja selama 3 tahun.
 Cu-7 (Gravigard)
Berbentuk angka 7 dengan maksud untuk memudahkan
pemasangan. Jenis ini mempunyai ukuran panjang 36 mm,
lebar 26 mm dan ditambahkan gulungan kawat tembaga (Cu)
yang mempunyai luas permukaan 200 mm2 dengan daya
kerja selama 3 tahun. Jenis IUD ini memiliki tabung inserter
dengan diameter paling kecil dibandingkan lainnya, sehingga
dapat dianjurkan untuk nulligravida.
 MLCu-250 (Multiload Cu 250)
Terbuat dari dari plastik (polyethelene) dengan dua tangan
kiri dan kanan berbentuk sayap yang fleksibel. Batangnya
diberi gulungan tembaga dengan luas permukaan 250 mm2
dan memiliki daya kerja 3 tahun. Ada 3 ukuran, yaitu standar,
short, dan mini.
2) AKDR-Cu generasi kedua (Second Generation Copper
Devices), yang termasuk dalam kelompok ini adalah :

33
 CuT-380 A (Paragard)
Panjang 36 mm dan lebar 32 mm dengan 314 mm2 lilitan
tembaga mengelilingi batang vertikal dan 2 selubung Cu
seluas 33 mm2 pada masing-masing lengan horizontal. Daya
kerjanya 8 tahun, tetapi rekomendasi FDA adalah 10 tahun.
 CuT-380Ag
Seperti CuT-380A, hanya saja dengan tambahan inti Ag di
dalam kawat Cu-nya dan memiliki daya kerja selama 5 tahun.
 Nova T (Novagard)
Panjang 32 mm dan lebar 32 mm, 200 mm2 luas permukaan
Cu dengan inti Ag di dalam kawat Cu-nya dan memiliki daya
kerja selama 5 tahun.
 CuT-220C
Panjang 36 mm dan lebar 32 mm, dengan 220 mm2 Cu di
dalam tujuh selubung, 2 pada lengan dan 5 pada batang
vertikalnya. Jenis ini memiliki daya kerja selama 3 tahun.
 Delta T
Modified CuT-220C dengan penambahan benang chromic
catgut pada lengan atas, terutama untuk insersi post partum.
 MLCu-375 (Multiload Cu 375)
Terbuat dari dari plastik (polyethelene) dengan dua tangan
kiri dan kanan berbentuk sayap yang fleksibel. Batangnya
diberi gulungan tembaga dengan luas permukaan 375 mm2
dan memiliki daya kerja 5 tahun. Ada 3 ukuran, yaitu standar,
short, dan SL
b. Mengandung hormon
Disebut juga IUS (Intra Uterine System) yaitu bingkai berbentuk T
yang terbuat dari plastik dan memiliki sebuah reservoir steroid yang
mengelilingi batang tegak lurus yang berisi hormon progesteron atau
levonorgestrel. Beberapa jenis IUS :
 Progestasert (Alza-T)

34
Alat ini memiliki panjang 36 mm dan lebar 32 mm dengan 2
benang ekor berwarna hitam. Mengandung 38µg progesteron
dan barium sulfat dalam dasar silicon. Alat ini melepaskan 65
mcg progesteron per hari dengan daya kerja 18 bulan.
 LNG-20
Serupa progestasert, tetapi mengandung levonorgestrel. Alat
ini melepaskan levonorgestrel ke dalam uterus dengan
kecepatan relatif konstan 20 µg levonorgestrel selama 24 jam.
 Mirena®
Mempunyai panjang 32 mm dan diameter 4,8 mm. Mirena®
diperkaya dengan barium sulfat yang mengeluarkan radio-
opaqnya sendiri. Mirena® memiliki masa hidup 3 tahun, tetapi
durasi pemakaian yang dianjurkan selama 5 tahun.

Gambar 2.1 Beberapa jenis AKDR


Keterangan gambar (berurutan dari kiri)
Atas: Lippes Loop, Saf-T-Coil, dana device
Bawah: Cu-T, Cu-7, MLCu, Progestasert

2.1.7. Efek samping


Efek samping yang sering dan mungkin terjadi pada pengguna
akseptor kontrasepsi IUD / AKDR menurut Sifuddin (2009) adalah
sebagai berikut :
1. Perdarahan
Umumnya setelah pemasangan AKDR terjadi perdarahan sedikit-sedikit
yang cepat terhenti. Kalau pemasangan dilakukan sewaktu haid
perdarahan yang sedikit-sedikit ini tidak akan diketahui oleh akseptor.
Keluhan yang sering terjadi pada pemakai AKDR adalah menoragia,
spotting, metoragia. Jika terjdi perdarahan banyak yang tidak dapat

35
diatasi, sebaiknya AKDR dikeluarkan dan diganti AKDR yang
mempunyai ukuran kecil. Jika perdarahan sedikit-sedikit dapat
diusahakan mengatasinya dengan pengobatan konservatif. Pada
perdarahan yang tidak berhenti dengan tindakan-tindakan tersebut
diatas, sebaiknya AKDR diangkat dan digunakan pilihan kontrasepsi
yang lain.
2. Rasa nyeri dan kejang di perut
Terjadi segera setelah pemasangan AKDR biasanya rasa nyeri ini
berangsur-angsur hilang dengan sendirinya. Rasa nyeri dapat
dihilangkan dengan member analgesik. Jika keluhan berlangsung terus,
sebaiknya AKDR dikeluarkan dan diganti dengan AKDR yang
mempunyai ukuran yang lebih kecil.
3. Gangguan pada suami
Kadang-kadang suami dapat merasakan adanya benang AKDR sewaktu
senggama, dikarenakan oleh benang AKDR yang keluar dari portio
uteri terlalu pendek atau terlalu panjang. Untuk mengurangi/
menghilangkan keluhan ini, benang AKDR yang terlalu panjang
dipotong sampai kira-kira 2-3cm dari portio, sedang jika benang AKDR
terlalu pendek sebaiknya AKDRnya diganti. Dengan cara ini biasanya
keluhan suami akan hilang.
4. Ekspulsi (pengeluaran sendiri)
Ekspulsi AKDR dapat terjadi untuk sebagian atau seluruhnya. Ekspulsi
biasanya terjadi waktu haid dan dipengaruhi oleh :
 Umur dan paritas
Pada paritas yang rendah (1 atau 2), kemungkinan ekspulsi 2 kali
lebih besar daripada pada paritas 5 atau lebih.demikian pula pada
wanita muda. Ekspulsi lebih sering terjadi daripada wanita yang
umurnya lebih tua
 Lama pemakaian
Ekspulsi paling sering terjadi pada 3 bulan pertama setelah
pemasangan. Setelah itu angaka kejadian menurun dengan tajam.
 Ekspulsi sebelumnya

36
Pada wanita yang pernah mengalami ekspulsi, maka pada
pemasangan kedua kalinya, kecencerungan untuk terjadinya
ekspulsi lagi ialah sebesar 50%. Jika terjadi ekspulsi,
pasangkanlah AKDR jenis yang sama, tetapi dengan ukuran yang
lebih besar daripada sebelumnya. Dapat juga diganti dengan
AKDR jenis lain atau dipasang 2 AKDR.
 Jenis dan ukuran
Jenis dan ukuran AKDR yang dipasang sangat mempengaruhi
frekuensi ekspulsi. Pada Lippes Loop, makin besar ukuran AKDR
makin kecil kemungkinan terjadinya ekspulsi.
 Faktor psikis
Oleh karena motilitas usus dapat dipengaruhi oleh faktor psikis,
maka frekuensi ekspulsi lebih banyak dijumpai pada wanita-
wanita yang emosional dan ketakutan, atau yang mempunyai
psikis labil. Kepada wanita-wanita seperti ini, penting diberikan
penerangan yang cukup sebelum dilakukan pemasangan AKDR.
2.1.8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pengguna akseptor kontrasepsi
IUD / AKDR menurut Sifuddin (2009) adalah sebagai berikut :
1. Infeksi
AKDR itu sendiri, atau benang yang berada di dalam vagina umumnya
tidak menyebabkan terjadinya infeksi jika alat-alat yang digunakan
steril. Infeksi mungkin terjadi karena disebabkan oleh sudah adanya
infeksi yang subakut atau menahun pada traktus genitalis sebelum
pemasangan AKDR.
2. Perforasi
Umumnya perforasi terjadi sewaktu pemasangan AKDR walaupun
dapat terjadi pula dikemudian hari. Pada permulaan hanya ujung AKDR
saja yang menembus dinding uterus, tetapi lama kelamaan dengan
adanya kontraksi uterus, AKDR terdorong lebih jauh menembus
dinding uterus, sehingga akhirnya sampai ke rongga perut.
Kemungkinan adanya perforasi harus diperhatikan apabila pada

37
pemeriksaan dengan spekulum, benang AKDR tidak kelihatan. Dalam
hal ini pada pemeriksaan dengan sonde uterus atau mikrokuret tidak
dirasakan AKDR dalam rongga uterus. Jika ada kecurigaan kuat tentang
terjadinya perforasi, sebaiknya dilakukan foto rontgen, dan jika tampak
di foto AKDR dalam rongga panggul, hendaknya dilakukan histerografi
untuk menetukan apakah AKDR terletak di dalam atau diluar kavum
uteri. Dewasa ini dapat dilakukan dengan USG transvaginal atau USG
transabdominal.
3. Kehamilan
Jika timbul kehamilan pada AKDR in situ, tidak akan timbul cacat pada
bayi baru lahir, oleh karena AKDR terletak antara selaput ketuban dan
dinding rahim. Angka keguguran dengan AKDR in situ tinggi. Jika
ditemukan kehamilan dengan AKDR in situsedang benangnya masih
kelihatan, sebaiknya AKDR dikeluarkan oleh karena kemungkinan
terjadinya abortus setelah AKDR itu dikeluarkan lebih kecil daripada
jika AKDR dibiarkan terus berada dalam rongga uterus. Jika benang
AKDR tidak kelihatan, sebaiknya AKDR dibiarkan saja berada dalam
uterus.

2.1.9. Pemasangan
Menurut Saifuddin (2009), AKDR dapat dipasang dalam keadaan
berikut ini :
1. Sewaktu haid sedang berlangsung
Pemasangan AKDR pada waktu ini dapat dilakukan pada hari-hari
terakhir haid. Keuntungan pemasangan AKDR pada waktu ini antara
lain :
 Pemasangan lebih mudah oleh karena serviks pada waktu itu
agak terbuka dan lembek
 Rasa nyeri tidak seberapa keras
 Perdarahan yang timbul sebagai akibat pemasangan tidak
seberapa dirasakan

38
 Kemungkinan pemasangan AKDR pada uterusyang sedang hamil
tidak ada
2. Sewaktu postpartum
Pemasangan AKDR setelah melahirkan dapat dilakukan :
 Secara dini (immediate insertion) yaitu AKDR dipasang pada
wanita yang melahirkan sebelum dipulangkan dari rumah sakit
 Secara langsung (direct insertion) yaitu AKDR dipasang dalam
masa 3 bulan setelah partus atau abortus
 Secara tidak langsung (indirect insertion) yaitu AKDR dipasang
sesudah masa 3 bulan setelah partus atau abortus
 Pemasangan AKDR dilakukan pada saat yang tidak ada
hubungan sama sekali dengan partus atau abortus
Bila pemasangan AKDR tidak dilakukan dalam waktu seminggu setelah
bersalin, sebaiknya AKDR ditangguhan sampai 6-8 minggu postpartum
oleh karena jika pemasangan AKDR dilakukan antara minggu kedua
dan minggu keenam setelah partus, bahaya perforasi atau ekspulsi lebih
besar.
3. Sewaktu postabortum
Sebaiknya AKDR dipasang segera setelah abortus oleh karena dari segi
fisiologi dan psikologi waktu itu adalah paling ideal. Tetapi, septic
abortion merupakan kontraindikasi.
4. Beberapa hari setelah haid terakhir
Dalam hal yang terakhir ini wanita yang bersangkutan dilarang untuk
bersenggama sebelum AKDR dipasang. Sebelum pemasangan AKDR
dilakukan, sebaiknya diperlihatkan pada akseptor bentuk AKDR yang
dipasang, dan bagaimana AKDR tersebut terletak dalam uterus setelah
terpasang. Perlu dijelaskan kemungkinan terjadinya efek samping
seperti perdarahan, rasa sakit, atau AKDR keluar sendiri. Untuk
memilih AKDR yang akan dipasang, terlebih dahulu ditentukan
panjangnya rongga uterus. Selalu diusahakan untuk memasang AKDR
yang mempunyai ukuran yang sebesar mungkin oleh karena dengan
memakai AKDR yang mempunyai ukuran besar, kegagalan dan

39
kecenderungan untuk ekspulsi akan berkurang. Sebaliknya, ukuran
yang lebih kecil sebaiknya dipasang ada akseptor yang mengalami
banyak perdarahan dan rasa sakit.

2.1.10. Waktu Kunjungan Ulang


Segeralah pergi ke dokter jika menemukan gejala-gejala berikut satu
bulan setelah pemasangan:
a. Mengalami keterlambatan haid yang disertai tanda-tanda
kehamilan: mual, pusing, muntah-muntah.
b. Terjadi pendarahan yang lebih banyak (lebih hebat) dari haid
biasa.
c. Terdapat tanda-tanda infeksi, semisal keputihan, suhu badan
meningkat, mengigil, dan lain sebagainya. Pendeknya jika ibu
merasa tidak sehat
d. Sakit, misalnya diperut, pada saat melakukan senggama.
Bila tidak ada keluhan sebelumnya, waktu kunjungan ulang menurut
BKKBN (2003) yaitu;
a. 1 bulan pasca pemasangan
b. Tiga (3) bulan kemudian
c. Setiap 6 bulan berikutnya
d. Satu (1) tahun sekali
e. Bila terlambat haid 1 minggu
f. Perdarahan banyak dan tidak teratur.

2.4 Konsep dasar asuhan kebidanan pada akseptor KB IUD (Follow up)
2.4.1 Pengkajian
A. Data Subyektif
1. Identitas
 Umur
Kontrasepsi AKDR dapat digunakan oleh semua wanita usia
reproduksi. Hal ini sangat terkait dengan tujuan penggunaan
kontrasepsi, seperti menunda kehamilan (usia <20 tahun),

40
mengatur/ menjarangkan kehamilan (20-35 tahun), dan
mengakhiri kehamilan/ tidak ingin hamil lagi (usia >35 tahun).
Yang bisa menggunakan kontrasepsi IUD adalah wanita usia
reproduktif (Saifuddin, 2010).
2. Alasan kunjungan
Kontrol ulang (follow up) IUD dan kontrol nifas.
3. Keluhan utama
 Terdapat perdarahan (spotting dan menometroragia), Leukorea
sehingga menguras protein tubuh dan liang senggama terasa
lebih basah (Manuaba, 2010)
 Terjadi perdarahan diluar haid, kadang terjadi perdarahan post
coitus dan keluar lendir berwarna kecoklatan (Ferri, 2007)
 Perubahan siklus haid (umumnya pada 3 bulan pertama dan
akan berkurang setelah 3 bulan pemakaian), haid lebih lama
dan banyak, perdarahan (spotting) antar menstruasi, saat haid
lebih sakit (Saifuddin, 2010).
 Perdarahan, rasa nyeri dan kejang di perut, ketidaknyamanan
saat berhubungan seksual, dan bahkan sering tanpa gejala
(Saifuddin, 2009).
4. Riwayat menstruasi
Pada akseptor kontrasepsi IUD, siklus mestruasi biasanya tidak
teratur. Sering terjadi spotting, menometroragia dan leukorea.
Menstruasi lebih lama dan banyak, serta disertai dengan
dismenorrhea (Saifuddin, 2010).
Untuk klien dengan masa nifas ada beberapa pengeluaran lochea
yaitu rubra,serosa,sanguilenta dan alba.
5. Riwayat riwayat obstetri yang lalu
Kontrasepsi jangka panjang IUD biasanya digunakan oleh ibu
nulipara/ multipara, pasca melahirkan atau pasca abortus tanpa
disertai infeksi, sedang atau tidak menyusui, serta ibu dengan
penyulit kehamilan dan persalinan seperti PEB dan eklampsia
(Saifuddin, 2010).

41
6. Riwayat kontrasepsi
Hal ini penting untuk mengetahui penggunaan kontrasepsi apa saja
yang pernah digunakan, lama pemakaian, keluhan/ efek samping/
komplikasi yang pernah dialami, serta alasan mengganti cara (bagi
klien akseptor lama yang ingin ganti cara kontrasepsi).
7. Riwayat kesehatan ibu
Kontrasepsi IUD dapat digunakan pada ibu dengan hipertensi,
tumor, kanker, varises, jantung, stroke, DM, penyakit liver,
malaria, SLE, tiroid, epilepsy, nonpelvik TBC (Saifuddin, 2010)
8. Riwayat psikososial
Penggunaan kontrasepsi perlu didiskusikan bersama suami karena
berhubungan dengan fungsi kesuburan.
9. Data fungsional kesehatan
 Nutrisi
Pada akseptor kontrasepsi IUD memerlukan nutrisi yang cukup
terutama makanan yang banyak mengandung zat besi untuk
meningkatkan kadar hemoglobin dalam darah diakibatkan
perdarahan banyak dan lama sebagai efek samping dari
penggunaan kontrasepsi IUD. Untuk ibu yang menyusui
dianjurkan untuk meningkatkan konsumsi nutrisi yang bergizi.
 Aktivitas
Pekerjaan yang telalu berat akan berpengaruh terhadap keluhan
yang berhubungan dengan penggunaan AKDR.
 Istirahat
Sebaiknya ibu beristirahat setelah pemasangan AKDR karena
terkadang disertai nyeri setelah pemasangan AKDR
 Personal hygiene
Ibu dengan kontrasepsi AKDR harus menjaga kebersihan
genitalia karena benang yang menjulur pada vagina dapat
menjadi sumber infeksi ascenden jika tidak menjaga kebersihan
genitalia.
 Seksual

42
AKDR tidak mempengaruhi aktivitas sexual. AKDR efektif
karena tidak perlu mengingat-ngingat lagi

B. Data Obyektif
1. Pemeriksaan fisik
 Wajah
Tidak pucat dan tidak oedema. Konjungtiva merah muda, sklera
putih. Tidak ada pernapasan cuping hidung. Bibir lembab dan
tidak pucat.
 Abdomen
Terdapat luka bekas jahitan operasi, tidak teraba massa, tidak
ada nyeri tekan, dan tidak ada tanda-tanda kehamilan.
 Genetalia
Vulva dan vagina tidak oedema. Pada saat dilakukan
pemeriksaan bimanual didapatkan uterus antefleksi/ retrofleksi,
gerakan serviks bebas dan tidak terdapat nyeri goyang, tidak
terdapat nyeri tekan pada adneksa kanan maupun kiri, serta
teraba benang IUD. Pada saat dilakukan pemeriksaan inspekulo
didapatkan portio berwarna merah muda atau kemerahan, bisa
sebagian atau seluruhnya (berdasarkan klasifikasi erosi portio),
kadang disertai dengan lendir berwarna putih kecoklatan, dan
tampak benang IUD.
 Ekstremitas
Tidak terdapat oedema pada ekstremitas bagian atas maupun
bagian bawah
2. Pemeriksaan penunjang
USG : untuk menentukan posisi IUD apabila benang tidak terlihat

2.3.2 Identifikasi diagnosis dan masalah


 Diagnosis
P.... Post SC hari ke.. + akseptor KB IUD
 Masalah yang mungkin terjadi :

43
Infeksi, anemia, syok dan ketidaknyamanan saat berhubungan seksual
2.3.3 Identifikasi diagnosis dan masalah potensial
 Infeksi, perforasi dan kehamilan (Saifuddin, 2009)
 Keganasan pada leher rahim (Ferri, 2007)
2.3.4 Identifikasi kebutuhan tindakan segera
Kolaborasi dengan dr. SpOG untuk penatalaksanaan apabila ditemukan
adanya komplikasi
2.3.5 Perencanaan
1. Jelaskan hasil pemeriksaan pada ibu
R/ Informasi yang jelas akan mengoptimalkan asuhan yang diberikan.
2. Melakukan perawatan luka bekas jahitan operasi dengan larutan DTT
R/ melihat penyembuhan luka dan apakah ada tanda-tanda infeksi.
3. Berikan KIE pada ibu mengenai keuntungan, kerugian, serta efek
samping dari penggunaan kontrasepsi IUD
R/ apabila Ibu belum mengetahui secara jelas mengenai IUD, maka
dengan diberikannya KIE pada ibu, maka ibu akan menjadi lebih
mengetahui tentang kontrasepsi IUD.
3. Lakukan vulva hygiene sebelum dan sesudah tindakan
R/ vulva hygiene akan meminimalisir infeksi yang terjadi.
4. Lakukan pemeriksaan benang IUD, jika benang terlihat panjang maka
dapat dipotong dan sisakan 2-3 cm.
R/ Benang yang terlalu panjang dapat membuat ibu dan suami tidak
nyaman terutama dalam berhubungan seksual.
5. Anjurkan untuk kontrol ulang jika klien ada keluhan.
R/ kontrol ulang dapat memastikan letak IUD dan meminimalkan
komplikasi yang dapat terjadi.
2.3.6 Implementasi
Melakukan asuhan sesuai kebidanan sesuai dengan perencanaan yang telah
dibuat

44
2.3.7 Evaluasi
Melakukan evaluasi keefektifan dari asuhan yang telah diberikan, apakah
telah sesuai dengan rencana yang telah dibuat. Selain itu juga memantau
kemajuan dan kesejahteraan ibu terhadap dari asuhan yang telah diberikan

45
BAB 3
TINJAUAN KASUS

No. Register : 12.45.0x.xx


Tanggal pengkajian : 24-02-2016 jam 11.40 WIB
Tempat : Poli KB/ Nifas RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Oleh : Lady Wizia

(1) Data Subyektif


1. Identitas
Nama ibu : Ny. E Nama suami : Tn. D
Umur : 25 tahun Umur : 37 tahun
Agama : Islam Agama : Islam
Suku : Jawa Suku : Jawa
Pendidikan : SMK Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Tidak bekerja Pekerjaan : Service AC
Alamat : Pakal Pejuang
2. Alasan kunjungan
Kontrol nifas + kontrol IUD
3. Keluhan utama
Nyeri jahitan operasi jika beraktivitas
4. Riwayat obstetri lalu

Kehamilam Persalinan Bayi Nifas KB


Ke Suami UK Tempat Penol Jenis Peny JK BB H/M Peny ASI
1 1 40 RSDS dokter SC HIV P 2300 H. - (+) IUD
mg 13 hr

5. Riwayat kehamilan persalinan sekarang


Pada saat kehamilan 5 bulan ibu didiagnosis menderita HIV setelah
dilakukan pemeriksaan di RSI, kemudian ibu dirujuk ke RS Soetomo
untuk mendapatkan ARV, sejak kehamilan 6 bulan ibu sudah
mengkonsumsi ARV dengan teratur.

46
Ibu bersalin tanggal 09 Februari 2016 secara SC di OK IRD RSUD Dr.
Soetomo Surabaya. Persalinan secara SC dilakukan atas indikasi penyakit
Ibu yaitu HIV. Bayi lahir berjenis kelamin perempuan dengan berat
badan 2300 gram, panjang badan 49 cm, anus (+), kelainan kongenital (-
). Segera setelah lahir bayi di rawat di NICU IRD RSDS. Sedangkan Ibu
dirawat selama 5 hari. KRS tanggal 13 Februari 2016.
6. Riwayat KB
Sebelum menggunakan IUD ibu belum pernah menggunakan alat
kontasepsi lain.
7. Riwayat kesehatan ibu
Ibu menderita penyakit HIV sejak ibu hamil 5 bulan.
8. Riwayat kesehatan keluarga
Tidak ada keluarga yang pernah menderita penyakit SLE, hipertensi,
DM, jantung, asma, ginjal, hepatitis, TBC dan HIV.
9. Riwayat psikososial budaya
Menikah 1 kali saat berusia 24 tahun. Lama menikah 1 tahun. Ini
merupakan anak pertama, dan kelahirannnya memang diharapkan oleh
ibu dan keluarga. Di dalam keluarga tidak ada tradisi khusus perawatan
ibu nifas yang dapat mempengaruhi kesehatan ibu maupun bayinya.
10. Data fungsional kesehatan
- Nutrisi : makan 3 x sehari dengan porsi banyak, dan minum
cukup. Tidak ada alergi maupun pantangan makanan
- Eliminasi : BAK dan BAB normal tidak ada keluhan
- Istirahat : tidur siang ±2 jam
- Aktivitas : Ibu sudah mulai bisa beraktivitas normal
- Hygiene : mandi 2x sehari, dan ganti pembalut setiap terasa
penuh atau setelah selesai BAK dan BAB

(2) Data Obyektif


1. Pemeriksaan umum
- Keadaan umum : Baik
- Kesadaran : Compos Mentis

47
- Tanda Vital
TD : 110/80 mmHg
N : 84 x/m
S : 36,7oC
RR : 22 x/m
- Berat badan : 40 kg
2. Pemeriksaan fisik
Wajah : tidak pucat dan tidak oedema. Konjungtiva merah muda,
sklera putih. Bibir lembab dan tidak pucat
Payudara : simetris, konsistensi lunak, tidak teraba benjolan
abnormal, puting susu menonjol dan bersih, kolostrum
sudah keluar
Abdomen : terdapat bekas jahitan operasi melintang dan masih
tertutup kasa, jahitan baik dan kering, tidak ada rembesan
pus maupun darah, serta tidak terdapat tanda-tanda
infeksi. TFU tidak teraba
Genetalia : Pada pemeriksaan bimanual didapatkan uterus antefleksi,
gerakan serviks bebas dan tidak terdapat nyeri tekan pada
adneksa kanan maupun kiri, vulva dan vagina tidak
oedema, lochea rubra. Pada pemeriksaan inspekulo, tidak
terdapat erosi pada portio, dan tampak benang IUD ± 3
cm.
Ekstremitas : Tidak terdapat oedema pada ekstremitas bagian atas
maupun bagian bawah

(3) Analisis
P1001 post SC hari ke-14 dengan akseptor KB IUD (Follow up)

(4) Penatalaksanaan
1. Menjelaskan hasil pemeriksaan kepada ibu bahwa saat ini kondisinya
baik, masa nifas berjalan normal, dan benang IUD terlihat, Ibu mengerti
dengan penjelasan yang diberikan.

48
2. Mengajarkan ibu cara mengecek benang IUD sendiri saat di rumah, ibu
mengerti dan dapat mengulang kembali penjelasan yang diberikan.
3. Menjelaskan penyebab nyeri yang dirasakan yaitu dikarenakan
terputusnya jaringan dan saraf pada daerah operasi sehingga ibu akan
merasakan nyeri pada daerah tersebut selain itu nyeri perut bagian bawah
merupakan efek samping dari pemakaian IUD, Ibu mengetahui penyebab
nyeri yang dirasakannya.
4. Melakukan perawatan jahitan operasi dengan menggunakan kapas DTT,
Luka kering dan tidak ditutup kasa.
5. Mengajarkan kepada ibu cara melakukan perawatan jahitan operasi saat
di rumah, yaitu cukup dengan menjaga agar daerah jahitan tidak lembab
sehingga akan menghindari terjadinya infeksi, ibu mengerti dan dapat
mengulang kembali apa yang diajarkan.
6. Melakukan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi yaitu asam
mefenamat 3x500 mg, terapi telah diberikan.
7. Memberikan KIE tentang :
 Kebutuhan nutrisi
 Kebutuhan istirahat
 Personal hygiene
 Tanda bahaya nifas
Ibu mengerti dan dapat mengulang kembali penjelasan yang diberikan
8. Menganjurkan ibu untuk kontrol lagi ke poli KB apabila ada keluhan dan
kontrol mengenai penyakit HIV nya dan mendapatkan ARV, Ibu
bersedia untuk kontrol.

49
BAB 4
PEMBAHASAN

Berdasarkan asuhan kebidanan yang telah dilakukan pada Ny. E, pada


pengkajian data subyektif didapatkan usia ibu adalah 25 tahun, dimana usia
tersebut termasuk dalam usia reproduksi. Hal ini sesuai dengan teori yang
disebutkan oleh Saifuddin (2010), yang mengatakan bahwa kontrasepsi IUD dapat
digunakan oleh semua wanita pada usia reproduksi. Pada saat datang, ibu
mengeluhkan nyeri bekas luka operasi dan kadang ibu merasakan nyeri perut
bagian bawah. Nyeri perut bagian bawah yang dialami ibu merupakan efek
samping dari pemakaian kontrasepsi IUD. Hal ini telah sesuai dengan teori yang
disebutkan oleh Saifuddin (2009). Nyeri perut bagian bawah seringkali timbul
apabila terdapat pemicu, misalnya terlalu lelah, terlalu banyak beraktivitas dan
lain sebagainya.
Pada riwayat kesehatan dijumpai bahwa ibu mempunyai penyakit HIV.
Saifuddin (2010) menyebutkan bahwa kontrasepsi IUD dapat digunakan pada ibu
dengan hipertensi, SLE, tumor, kanker, varises, jantung, stroke, DM, penyakit
liver, malaria, tiroid, epilepsy, non pelvik. IUD merupakan kontrasepsi non
hormonal sehingga aman di pakai bagi ibu dengan penyakit seperti SLE ini.
Berdasarkan hasil pengkajian data subjektif dan objektif, penulis melakukan
interpretasi data. Pada kasus ini klien tidak mengalami masalah potensial,
sehingga rencana asuhan yang diberikan sebagai asuhan kebidanan disesuaikan
dengan kondisi klien yang normal. Rencana asuhan yang sudah dibuat
diimplementasikan secara efisien sesuai kebutuhan.
Peran bidan pada Ny. E dengan post SC dan akseptor KB IUD sudah sesuai
dengan peran dan fungsi bidan. Peran bidan dalam memberikan asuhan kebidanan
adalah menginformasikan keadaan ibu kepada ibu dan keluarga, memberikan KIE
tentang pengobatan yang mungkin diberikan, nutrisi, istirahat, personal hygene
serta memberikan kenyamanan pada ibu. Selain hal tersebut diatas peran bidan
yang lain adalah peran kolaborasi dengan dokter dalam melakukan tindakan
seperti perawatan luka bekas jahitan operasi, pemberian terapi serta observasi

50
keadaan ibu dan dokumentasi asuhan kebidanan yang telah diberikan selama
perawatan.

51
BAB 5
PENUTUP

5.1 Simpulan
Selama melaksanakan Asuhan Kebidanan pada Ny. E dengan post SC dan
Akseptor KB IUD, penulis tidak mengalami suatu kesulitan yang berarti. Hal
ini dikarenakan selama diberikan penjelasan dan asuhan, ibu tampak
kooperatif dalam semua tindakan sehingga dapat terjalin kerjasama yang baik
dan akhirnya dapat membantu terselesainya proses asuhan kebidanan yang
dilakukan oleh petugas kesehatan.
Penatalaksanaan kasus sudah sesuai dengan teori pada tinjauan teori
sehingga tidak ditemukan kesenjangan yang berarti.

5.2 Saran
1. Bagi pasien dan keluarga
Ibu dan keluarga diharapkan mampu mengikuti anjuran dan kooperatif
terhadap semua tindakan yang dilakukan oleh petugas kesehatan dalam
memberikan asuhan, agar dapat mencegah komplikasi yang tidak
diharapkan.
2. Bagi mahasiswa
Mahasiswa diharapakan mampu meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan dalam memberikan asuhan secara komprehensif pada klien
post SC dan akseptor KB IUD.
3. Bagi instansi kesehatan
Diharapkan mampu meningkatakan kewaspadaan dalam memberikan
pelayanan dan mampu melakukan deteksi dini komplikasi sehingga
pelayanan terhadap akseptor IUD dapat diberikan secara optimal sesuai
standar prosedur operasional.

52
DAFTAR PUSTAKA

Bahiyatun, 2009. Buku Ajar Kebidanan Asuhan Nifas Normal. Jakarta : EGC
BKKBN, 2003. Kamus Istilah Kependudukan, KB dan Keluarga Sejahtera.
Jakarta : BKKBN
BKKBN, 2003. Umpan Balik Laporan Pencapaian Program KB Nasional
Propinsi Jawa Timur. Surabaya : BKKBN
BKKBN, 2010. Profil hasil pendataan keluarga Tahun 2010. Jakarta : Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
Cunningham, F. Gary, 2005. Obstetri Williams Edisi 21. Jakarta : EGC
Febriana, Indah, 2013. Asuhan Kebidanan Pada Akseptor KB IUD Dengan Erosi
Portio. Surakarta : Stikes Kusuma Husada
Ferri, A. G, 2007. Buku Saku Keterampilan Dan Prosedur Dasar. Jakarta : EGC
Handayani, Sri. 2010. Buku Ajar Pelayanan Keluarga Berencana. Yogyakarta:
Pustaka Rihama
Hartanto, Hanafi. 2004. KB dan Kontrasepsi. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Manuaba, Ida Ayu Chandranita, 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan Dan
KB Untuk Pendidikan Bidan Edisi 2. Jakarta : EGC
Saifuddin, Abdul Bari, 2009. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Saifuddin, Abdul Bari. 2010. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi.
Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohadjo
Saleha, Sitti. 2009. Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas. Jakarta : Salemba
Medika
Sulaiman, 2004. Pelayanan Keluarga Berencana. Jakarta : Salemba Medika
WHO. 2007. Ragam metode kontrasepsi. Jakarta : Terjemahan, EGC
Widyastuti, 2011, Post Partum Contraceptive Use In Indonesia, Recent Patterns
and Determinants, BKKBN.
Winkjosastro, Hanifa, 2009. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo
Winkjosastro, Hanifa, 2010. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo

53
54

Anda mungkin juga menyukai