Industri Farmasi
Industri Farmasi
BAB 1
PENDAHULUAN
Dewasa ini, industri farmasi di Indonesia merupakan salah satu industri yang
berkembang cukup pesat dengan pasar yang terus berkembang dan merupakan pasar
farmasi terbesar di kawasan ASEAN. Dari data Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM RI, 2005), pertumbuhan industri farmasi Indonesia rata-rata mencapai 14,10%
per tahun lebih tinggi dari angka pertumbuhan nasional yang hanya mencapai 5-6% per
tahun. Total angka penjualan tahun 2004 mencapai lebih kurang Rp 20 triliun (untuk
tahun 2005 sebesar Rp 22,8 triliun, dan tahun 2006 sebesar Rp 26 triliun). Namun jika
dilihat dari omzet penjualan secara global (all over the world), pasar farmasi Indonesia
tidak lebih dari 0,44% dari total pasar farmasi dunia (Priyambodo, 2007). Hal ini
menunjukkan bahwa industri farmasi di Indonesia belum optimal dalam hal penjualan
padahal Indonesia merupakan pasar farmasi terbesar di kawasan ASEAN, yang
seharusnya bisa dimanfaatkan oleh industri farmasi.
Demikian pula jika dilihat dari angka konsumsi obat per kapita yang hanya
mencapai kurang dari US$ 7,2 per kapita/tahun (IMS, 2004) dan merupakan salah satu
angka terendah di kawasan ASEAN (sedikit di atas Vietnam). Konsumsi obat tertinggi
adalah Singapura, disusul oleh Thailand, Malaysia, dan Filipina (Priyambodo, 2007).
Situasi ini menimbulkan masalah serius yang harus diselesaikan dalam industri farmasi
di Indonesia.
Ada berbagai masalah yang dihadapi industri farmasi di Indonesia mulai dari
strukturnya, perilaku, kinerja sampai kebijakan yang menjadi pondasi dasarnya.
Kebijakan pemerintah lebih banyak mendorong berkembangnya sektor perdagangan
farmasi daripada produksinya (Biantoro, 2002). Industri farmasi Indonesia masih relatif
sederhana berupa industri manufaktur sehingga pasar kurang berkembang. Padahal,
industri farmasi manapun di dunia harus sudah berbasis riset dengan berorientasi pada
mutu (Agoes,1999).
POKOK BAHASAN
Jika dilihat dari penguasaan pasar, sebesar 54% dikuasai oleh 20 industri
farmasi dan 30% dikuasai oleh 60 industri farmasi, sedangkan sisanya (118 industri)
memperbutkan pasar sebesar 16%. Jika dilihat lebih jauh, ternyata tidak ada satupun
industri yang mendominasi pasar. Sanbe Farma yang notabene indutsri ranking pertama
hanya menguasai 7,25%, disusul Kalbe menguasai 5,99% pasar, sehingga pasar farmasi
Indonesia terpecah-pecah menjadi pasar yang kecil-kecil atau terfragmentasi
(Priyambodo, 2007).
Di samping pasar yang terfragmentasi, masalah lain yang dihadapi industri farmasi
nasional antara lain: (Priyambodo, 2007).
1. Tidak adanya industri bahan baku. Hal ini mengakibatkan 95% bahan baku
masih harus diimpor (harga bahan baku produksi dalam negeri tidak lebih
murah ketimbang impor). Ketergantungan impor belum diimbangi dengan
upaya pengembangan bahan baku lokal. Selain karena memerlukan biaya
investasi yang tingi, daya dukung perlatan juga masih belum memadai.
2. Idle kapasitas produksi industri farmasi nasional mencapai 50% karena belum
adanya solusi yang tepat untuk menanggulanginya, termasuk alternatif melalui
toll manufacturing maupun konsep production house.
3. Penerapan aturan internasional terhadap standardisasi industri farmasi terutama
menyangkut c-GMP, registrasi dan belum adanya koordinasi yang baik antara
pemerintah (BPOM) denga industri farmasi.
4. Kondisi industri farmasi nasional yang tidak merata. Di satu sisi terdapat
sejumlah kecil industri farmasi yang sudah siap menghadapi pasar bebas, baik
dari segi hardware, software maupun brainware (SDM), di sisi lain masih
banyak industri yang belum memenuhi tuntutan persyaratan internasional.
Dalam paper yang dikeluarkan oleh World Bank Pharmaceutical tahun 2000,
disebutkan bahwa negara-negara berkembang menghadapi lima masalah utama yang
berkaitan dengan industri farmasi dan obat-obatan, yaitu:
Pengeluaran untuk belanja obat yang tinggi di sektor pemerintah dan sektor
swasta ini menimbulkan motivasi yang kuat bagi pemerintah untuk melakukan
reformasi di sektor kesehatan, khususnya dalam hal pelayanan dan pembiayaan
kesehatan. Salah satunya dengan melakukan pengaturan dan pengendalian harga obat.
Tujuannya agar pengeluaran untuk belanja obat di sektor pemerintah dan sektor swasta
menjadi berkurang (Depkes, 2010).
Penemuan obat baru membutuhkan biaya yang sangat besar, waktu yang sangat
lama, proses perizinan yang sangat panjang serta pemasaran yang sangat kompleks. Hal
ini menjadi kendala utama industri farmasi negara berkembang untuk melakukan
penemuan obat baru. Rendahnya daya beli menyebabkan perusahaan farmasi
multinasional tidak menjadikan masyarakat negara berkembang sebagai target
pemasaran obat baru. Disamping itu, umumnya penyakit yang diidap masyarakat
negara berkembang masih dapat diatasi dengan obat-obatan yang sudah ada (Depkes,
2010).
Pasar produk farmasi di negara maju tumbuh dengan cepat. Hal yang sama
tidak terjadi di negara berkembang. Sampai dengan tahun 2000, dari total penjualan
produk farmasi dunia sebesar USD 302,9 milyar. Dari jumlah tersebut hanya 20 persen
berasal dari negara berkembang yang populasinya 85 persen dari penduduk dunia
(Depkes, 2010).
Potensi pasar yang lemah di negara berkembang merupakan faktor utama yang
menyebabkan industri farmasi multinasional tidak mau berinvestasi dalam riset dan
pengembangan obat baru. Industri farmasi negara maju lebih tertarik dalam penemuan
obat untuk penyakit degeneratif bagi masyarakat mampu daripada menemukan obat
untuk penyakit menular yang banyak ditemukan di negara-negara berkembang. Sebuah
riset mengungkapkan bahwa dari 1.233 obat baru yang dipasarkan dari tahun 1975
sampai 1997, hanya 13 produk yang ditujukan untuk penyakit tropis (Depkes, 2010).
Mempelajari industri farmasi sama dengan mempelajari dasar pengetahuan
mengenai industri. Sumber daya yang mendasari industri farmasi terdiri dari
pengetahuan manajemen, daya saing dan aset, baik yang berwujud maupun tidak sama
persis seperti pengetahuan dasar industri (GPF, 2003).
(GPF, 2003).
Di Amerika Serikat (AS), sebagian besar harga obat resep tidak diatur
pemerintah. Hal ini berbeda dengan hampir semua negara lain di mana pemerintah
mengatur harga obat, baik secara langsung lewat pengendalian harga (Prancis dan
Italia), atau pembatasan dalam reimbursement asuransi (Jerman dan Jepang); atau
secara tidak langsung melalui pengaturan keuntungan (Inggris) (Depkes, 2010).
Harga obat di AS lebih tinggi dari negara lain. Oleh karena itu, banyak pihak
yang menuntut dilakukannya pengaturan dan pengendalian harga agar kemampuan
masyarakat memperoleh obat menjadi lebih besar. Di pihak lain, ada yang berpendapat
bahwa hal ini akan mengurangi insentif perusahaan farmasi untuk melakukan riset dan
pengembangan obat baru sehingga akan mengancam pertumbuhan industri farmasi di
masa depan (Depkes, 2010).
Sampai saat ini belum ada jawaban yang pasti, pendapat mana yang paling
benar dalam hal kebijakan harga obat (pricing policy) yang diterapkan berbagai negara:
Apakah harga obat dibiarkan terbentuk berdasarkan mekanisme pasar atau pemerintah
suatu negara harus melakukan intervensi untuk mengatur dan mengendalikannya, baik
secara langsung maupun melalui mekanisme asuransi kesehatan (health financing)
(Depkes, 2010).
Pada dasarnya pengaturan dan pengendalian harga obat di suatu negara dapat
dilakukan dengan dua pendekatan. Pertama, pendekatan terhadap kebutuhan (demand)
yang penekanannya pada volume atau jumlah kebutuhan obat. Kedua, pendekatan
ketersediaan, yang penekanannya adalah harga (price) (Depkes, 2010).
Hasil akhir proses pengaturan dan pengendalian adalah pengeluaran biaya obat
(expenditure). Fakta empiris memperlihatkan, pengaturan dan pengendalian harga obat
yang dilakukan di berbagai negara tidak akan berhasil optimal hanya dengan
mengintervensi satu elemen saja (misal: reference pricing pada penetapan Harga
Eceran Tertinggi, HET). Semua elemen harus diintervensi secara simultan dan parallel
(Depkes, 2010).
Reference Pricing
Metode ini adalah penetapan harga obat untuk kelas terapi tertentu dan
menjadikannya sebagai harga referensi. Dengan cara ini maka jika perusahaan farmasi
ingin obatnya masuk dalam program reimbursement asuransi maka harga obat untuk
kelas terapi tersebut harus berada dalam range harga referensi yang ditetapkan
pemerintah. Metode ini mempermudah dokter dan rumah sakit dalam melakukan
pemilihan obat yang digunakan pasien tanpa terpengaruh adanya perbedaan harga
(Depkes, 2010).
Volume Limitation
Profit Control
Agoes, G. 1999. Perspektif Industri Farmasi Nasional Menuju Era Globalisasi. Info
Logkes. I (3): 5-8.
Biantoro, L.C. 2003. Prospek Saham Sektor Farmasi masih Menjanjikan. Suara Karya
Ed. 31 Januari
PMMC, 2011. Industri Farmasi Yang Sarat Dengan Regulasi Dan Teknologi.
Available on: http://pmmc.or.id/news/health-news/97-industri-farmasi-yang-
sarat-dengan-regulasi-dan-teknologi-.html [Diakses pada tanggal 3 Juni 2012].
Depkes, 2010. Kebijakan Pengaturan Dan Pengendalian Harga Obat Dan Dampaknya
Bagi Pertumbuhan Industri Farmasi. Available on:
http://www.hukor.depkes.go.id/?art=34&set=0 [Diakses pada tanggal 3 Juni
2012].