Anda di halaman 1dari 21

Budaya Megalitikum di Indonesia

-Alam Mengembang Jadi Guru

Megalit adalah batu besar yang digunakan untuk membangun struktur atau monumen. Megalitik
adalah struktur yang dibuat oleh batu besar. Megalit berasal dari kata dalam bahasa Yunani μÎ-
γας megas berarti besar, dan λίθος lithos berarti batu.

Kebudayaan Megalitikum bukanlah suatu zaman yang berkembang tersendiri, melainkan suatu
hasil budaya yang timbul pada zaman Neolitikum dan berkembang pesat pada zaman logam.
Setiap bangunan yang diciptakan oleh masyarakat tentu memiliki fungsi. Contohnya hasil
kebudayaan zaman megalitikum: kapak persegi, kapak lonjong, Menhir , Dolmen, Kubur batu,
Waruga, Sarkofagus, Punden Berundak.

Toraja Monolit 1935

Kepulauan Indonesia adalah tuan rumah budaya megalit Austronesia di masa lalu dan sekarang.
Budaya megalit yang masih ada dapat ditemukan di Nias, sebuah pulau lepas pantai barat
Sumatera Utara, budaya Batak di pedalaman Sumatera Utara, Pulau Sumba di Nusa Tenggara
Timur, juga budaya Toraja di pedalaman Sulawesi Selatan. Budaya megalit ini tetap
dipertahankan, terisolasi dan tidak terganggu sampai akhir abad 19.
Beberapa situs megalit dan struktur juga ditemukan di seluruh Indonesia. Menhir, Dolmen, meja
batu, patung batu leluhur, dan struktur step-piramid yang disebut punden berundak ditemukan di
berbagai situs di Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Kepulauan Sunda Kecil.

Megalit di sebuah desa di kecamatan Gunung Megang, Muara Enim, Sumatera Selatan (1931)

Punden Berundak dan menhir dapat ditemukan di Pagguyangan Cisolok dan Gunung Padang,
Jawa Barat. Situs megalit Cipari juga di Jawa Barat menampilkan monolit, teras batu, dan
sarkofagus. Punden berundak diyakini sebagai pendahulu dan kemudian menjadi desain dasar
struktur candi Hindu-Buddha di Jawa setelah populasi pribumi mengadopsi Hinduisme dan
Buddhisme. Borobudur abad ke-8 dan Candi Sukuh abad ke-15 menampilkan struktur step-
piramid.

Punden Berundak Pugung Raharjo, Lampung Selatan


Situs Gunung Padang

Candi Sukuh

Borobudur

Di Indonesia, beberapa etnik seperti nias, mentawai, sumba dll, masih memiliki unsur-unsur
megalitik yang dipertahankan hingga sekarang.

Dibawah ini beberapa daerah di Indonesia yang terkenal dengan banyaknya situs megalitnya
Pasemah
Megalitik Pasemah adalah peninggalan tradisi budaya megalitik di daerah Pasemah (Sumatera
Selatan). Megalitik di wilayah Pasemah muncul dengan bentuk yang unik, langka, dan
mengandung unsur kemegahan serta keagungan yang terwujud dalam bentuk-bentuk yang sangat
monumental. Simbol-simbol yang ingin disampaikan oleh pemahat erat kaitannya dengan pesan-
pesan religius.

Budaya megalitik Pasemah mulai diteliti pertama kali dan ditulis oleh L. Ullmann dalam
artikelnya Hindoe-belden in binnenlanden van Palembang yang dimuat oleh Indich Archief
(1850). Dalam tulisan Ullmann tersebut H. Loffs menyimpulkan bahwa arca-arca tersebut
merupakan peninggalan dari masa Hindu. namun pendapat ini ditentang oleh Van der Hoop pada
tahun 1932, ia menyatakan bahwa peninggalan tersebut dari masa yang lebih tua. Setelah
penelitian Van der Hoop, penelitian tentang megalitik Pasemah dilanjutkan oleh peneliti-peneliti
arkeologi, seperti R.P. Soejono, Teguh Asmar, Haris Sukendar, Bagyo Prasetyo, peneliti dari
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan peneliti dari Balai Arkeologi Palembang secara intensif
melakukan penelitian di wilayah Pasemah sampai saat ini.

Penampilan peninggalan budaya megalitik Pasemah sangat “sophiscated” dengan tampilnya


pahatan-pahatan yang begitu maju, dan digambarkan alat-alat yang dibuat dari perunggu
memberikan tanda bahwa megalitik Pasemah telah berkembang dalam arus globalisasi
(pertukaran) budaya yang pesat. Alat-alat perunggu yang dipahat adalah nekara yang merupakan
kebudayaan Dongson, Vietnam. Temuan peninggalan megalitik di pasemah begitu banyak
variasinya, berdasarkan survei yang dilakukan peneliti Balai Arkeologi Palembang, Budi Wiyana
telah menemukan 19 situs megalitik baik yang tersebar secara mengelompok maupun sendiri
(1996).

Keadaan lingkungan wilayah Pasemah


Daerah Pasemah yang pernah diteliti oleh Van der Hoop, Tombrink, Westenek, Ullman, dan
peneliti lainnya, daerah ini mudah dicapai dari kota-kota besar di sekitarnya, baik dari Jambi,
Lubuklinggau, Palembang, dan lain-lain, karena tersedia jalan besar yang menghubungkan
Pasemah dengan kota-kota besar di sekitarnya. Situs-situs megalitik dataran tinggi Pasemah
meliputi daerah yang sangat luas mencapai 80 km². Situs-situs megalitik tersebar di dataran
tinggi, puncak gunung, lereng, dan lembah. Situs Tinggihari, Situs Tanjungsirih, Situs
Gunungkaya merupakan situs yang terletak di atas bukit, sementara Situs Belumai, Situs
Tanjungarau dan Situs Tegurwangi merupakan situs-situs yang terletak di lembah. Dari hasil
penelitian Fadlan S. Intan diketahui bahwa daerah Lahat dibagi atas tiga satuan morfologi
(bentang alam), yaitu:

1. satuan morfologi pegunungan


2. satuan morfologi bergelombang
3. satuan morfologi dataran

Satuan morfologi pegunungan dengan puncak-puncaknya antara lain Gunung Dempo (3159
mdpl) dan pegunungan Dumai (1700 mdpl). Satuan morfologi bergelombang ketinggian
puncaknya mencapai 250 mdpl, lereng umumnya landai, dengan sungai berlembah dan berkelok-
kelok. Satuan morfologi dataran dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Satuan morfologi
pegunungan merupakan tempat tersedianya bahan hasil letusan Gunung Dempo yang
menyebarkan lahar dan lava serta batuan-batuan vulkanis. Daerah Lahat dengan batuan-batuan
beku andesitnya telah dipilih menjadi tempat pemukiman. Pemilihan ini tampaknya mempunyai
pertimbangan-pertimbangan geografis dan tersedianya batuan untuk megalitik. Keadaan
lingkungan di Pasemah merupakan daerah yang sangat subur yang memungkinkan penduduk di
sana dapat membudidayakan tanaman.

Tidak seberapa jauh dari batas kabupaten,


memasuki kota Lahat, di Kecamatan Merapi Barat, terdapat suatu arca peninggalan megalitik,
beserta dolmen dan menhir. Tinggalan megalitik ini berada di pelataran SMPN 2 Merapi Barat.
Arca tersebut dikenal sebagai Batu Putri atau secara resmi seperti tertulis di plank: Arca Manusia
Tanjungtelang. Arah hadap arca yang berbahan batupasir volkanik ini berada dalam satu garis
lurus dengan diagonal dolmen dalam arah barat daya. Dolmen yang juga terbuat dari lapisan
batupasir berwarna kuning keputih-putihan, berbentuk seperti meja berukuran 1,5 x 1,5 m.
Dolmen ini tergeletak berjarak 20 m dari tempat arca berdiri. Agak terpisah jauh, sebuah menhir
dari batu andesit dengan tinggi 80 cm berdiri tegak di halaman depan SMP itu.

Kompleks peninggalan megalitik ini berada di sebelah utara dari sebuah sungai yang menjadi
sungai utama di Lahat, yaitu Aek Lematang. Sungai ini di dataran Lahat mulai menunjukkan
pola aliran berkelok-kelok atau bermeander, dengan teras-teras sungai di bantaran kanan dan
kirinya. Ada dugaan, teras sungai ini – sebagaimana teras-teras sungai besar di peradaban-
peradaban kuno – merupakan tempat yang paling layak menjadi lantai kehidupan masyarakat
purbakala. Di Kabupaten Lahat, tinggalan arca megalitik yang tersebar sangat luas, cenderungan
berada di sekitar Aek Lematang, walapun beberapa di antaranya terpisah sangat jauh di
perbukitan yang mungkin mempunyai makna lain tersendiri.

Arca-arca megalitik ini umumnya menggambarkan raksasa bersama hewan-hewan seperti gajah,
harimau, atau ular. Arca Batu Putri atau Manusia Tanjungtelang misalnya menggambarkan
seorang raksasa dengan kepala yang tidak jelas, bahkan hampir seperti menggunakan helmet.
Posisi kepalanya lurus, dengan tangan sedang memangku seekor gajah. Kesan masyarakat awam
akan melihat seolah-olah arca ini belum selesai dipahat dan ditinggalkan begitu saja sebelum
detailnya selesai. Ada kesan kemesraan yang tertangkap antara raksasa dan gajak di
pangkuannya. Seolah-olah gajah itu adalah anak yang diasuhnya.

Batu Macan

Arca yang lain di antaranya apa yang disebut sebagai Batu Macan di Desa Pagaralam,
Pagergunung. Arca ini menunjukkan seekor macan yang memeluk mesra dari belakang suatu
figur yang kurang begitu jelas, apakah seekor macan yang lain, seekor kera besar, atau seorang
raksasa. Adapun di Desa Muaradanau, di antara perkebunan karet, dijumpai arca batu seorang
raksasa yang sedang duduk bersila dengan satu kaki tertekuk dipeluk lengannya yang memegang
sesuatu yang mirip pisang. Raksasa ini menindih mahluk mirip manusia yang lebih kecil yang
seperti ditikam di punggung dengan pisau yang dipegang tangan kirinya. Arca ini disebut sebagai
Batu Buto.
Di Desa Gunungmegang, Kecamatan Jarai, masih di Kabupaten Lahat, berbatasan dengan Kota
Pagaralam, beberapa tinggalan magalitiknya lebih bervariasi. Selain arca, dijumpai juga ruang-
ruangan yang dindingnya tersusun dari batu, sehingga dikenal sebagai kubur batu atau bilik batu.
Ahmad Rivai, warga Desa.

Kubur batu Tanjung Aro

Gunungmegang yang diangkat sebagai juru pelihara oleh Balai Pelestarian Peninggalan
Prasejarah (BP3) Jambi mengatakan bahwa kubur-kubur batu dan arca-arca tersebar luas dan
sangat banyak di kaki Gunung Dempo. Di Gunung Megang saja sedikitnya terdapat tiga situs
yang menjadi tanggunungjawabnya, yaitu Kubur Batu Gunungmegang, Batu Putri, dan Batu
Orang.

Kubur Batu Pagaralam

Semua arca umumnya dipahat pada batupasir atau breksi volkanik, yaitu batu yang terbentuk
secara sedimentasi dari hasil letusan gunung api. Batunya memang keras dan kompak. Tetapi
dengan peralatan logam, bahkan batu lain yang dipipihkan atau dibuat runcing, jenis batu arca
dapat mudah dikerjakan. Begitulah mengapa arca-arca ini dipilih dari bahan batu itu karena
kemudahannya untuk dipahat dan diukir. Adapun kubur dan bilik batu, umumnya menggunakan
batu-batu yang lebih keras seperti andesit. Pada umumnya, batu-batu untuk bangunan ini sedikit
sekali mengalami rekayasa, keculai lubang kecil atau goresan-goresan dangkal.

Dempo sebagai kiblat


Menariknya, arah kubur batu dengan sangat tepat mengarah ke puncak Gunung Dempo. Hal
yang sama terukur dari wajah Batu Orang yang seolah-olah tengadah mengamati puncak Gunung
Dempo, sementara ia menindih seekor gajah yang belalainya ia cengkeram dengan kuat.
Keganjilan ada di arca Batu Putri yang posisi kepalanya berada pada permukaan tanah, sehingga
hampir seluruh badannya berada di bawah tanah. Arca Batu Putri seperti dalam posisi meringkuk
dengan badan tertekuk membelakangi Gunung Dempo di arah barat daya, dan kepalanya
berpaling ke arah utara.

Arca lain di kaki Gunung Dempo disebut sebagai Batu Manusia Dililit Ular. Arca ini berada di
tengah-tengah tegalan dan sawah yang sangat datar di Desa Tanjungaro, Pagaralam. Arca ini
setinggi 1,5 m dengan diameter kira-kira 1 m, menggambarkan dua orang manusia yang sedang
bergelut dan dililit ular. Anehnya ular-ular yang melilit mereka adalah kepanjangan lengan-
lengan mereka sendiri. Di sini, arca ini tidak memiliki orientasi tertentu. Tetapi bersama-sama
dengan batu besar lainnya, seluruhnya berjajar dalam satu orientasi yang lurus tepat ke puncak
Gunung Dempo.

Sekali pada beberapa arca arah hadapnya berbeda, tetapi secara umum posisi hadap arca-arca ini
hampir seluruhnya ke arah barat, atau lebih tepatnya lagi arah barat daya (selatan-barat).
Sehingga mungkin kita dapat bertanya: mengapa arah barat daya? Wajah arca Manusia
Tanjungtelang di Merapi Barat misalnya mengapa tidak dihadapkan ke timur arah Bukit Serelo
yang berbentuk jempol yang bermorfologi cukup menonjol dan menarik perhatian, serta sangat
dekat dan jelas terlihat dari tempat arca ini berada? Jika kita mengukur orientasi arca-arca ini
dengan teliti, ada perkiraan bahwa semua arca megalitik tersebut dihadapkan ke barat daya
karena mengarah ke Gunung Dempo (+ 3159 m). Gunung Dempo adalah satu-satunya gunung
api aktif di Sumatera Selatan pada Pegunungan Bukit Barisan.

Seperti telah disebut di atas, hal tersebut semakin pasti ketika kita mengamati arac-arca yang
berada pada kaki dan lereng Gunung Dempo. Di sekitar Kota Pagaralam yang udaranya sesejuk
Kota Bandung waktu dulu, arca-arca tersebar di Kecamatan Pajarbulan dan Jarai, juga bilik atau
kubur batu, dengan pasti terukur melalui kompas, teroreintasi ke Gunung Dempo. Menarik sekali
ketika arah poros bilik batu, selain juga arah wajah arca-arca berbentuk raksasa, dengan tepat
menghadap ke arah kerucut G. Dempo yang tampak megah menjulang di dataran tinggi di mana
Pagaralam berada, atau yang lebih dikenal sebagai dataran tinggi Pasemah (sekarang disebut
juga Besemah). Selain itu, suatu kumpulan menhir (batu tegak) sebanyak enam buah di
Kecamatan Tanjungsakti yang berada di sisi barat daya Gunung Dempo, porosnya mengarah ke
timur laut yang tidak lain adalah puncak Gunung Dempo.

Gunung Dempo

Dengan melihat hasil obsevasi ini, ada dugaan Gunung Dempo dijadikan kiblat bangunan suci
masyarakat megalitik Besemah. Gunung, terutama gunung api aktif, di wilayah nusantara
umumnya selalu menjadi tempat yang sakral atau disucikan. Gunung api yang berbentuk kerucut
yang puncaknya menjulang tinggi menggapai langit, dipercaya sebagai tempat para dewa, atau
bahkan perwujudan dari dewa itu sendiri. Sesembahan selalu diberikan pada kawah-kawah
gunung api aktif. Misalnya pada masyarakat Hindu Bali. Hingga sekarang, orang-orang bali
selalu menempatkan arah pura ke arah gunung besar utama. Misalnya di Pulau bali sendiri ke
arah Gunung Agung. Bahkan, orientasi posisi gunung selalu merupakan arah utara (kaja) bagi
masyarakat Hindu Bali. Contoh lain, masyarakat Hindu Tengger selalu melemparkan sesajen dan
hewan-hewan kurban pada Hari Kesodo ke kawah Gunung Bromo yang bergelok dan selalu
berasap. Di Jawa Barat, di kabupaten Cianjur, sebuah bangunan megalitik yang tersusun dari
kalom-kolom batu, juga diarahkan ke puncak Gunung Gede, gunung yang memang dianggap
sakral bahkan hingga Kerajaan Sunda dan Pajajaran berkuasa di Jawa bagian barat.

Secara geologis, gunung api yang sedang tidak aktif memberi manfaat besar bagi masyarakat
yang hidup di kaki-kakinya. Tanahnya umumnya subur karena limpahan dari letusan
memberikan unsur-unsur kimia baru yang segar dari perut bumi. Hal ini menjadikan tanah yang
terbentuk nantinya kaya akan unsur yang diperlukan bagi pertumbuhan tumbuhan. Selain itu,
karena puncaknya yang tinggi, gunung api juga seolah-olah menjadi seperti magnet untuk awan-
awan sehingga mendekat dan mencurahkan hujan di atasnya. Akibatnya, sumber daya air
melimpah ruah dari badan gunung api. Mata air akan keluar di kaki-kakinya. Sungai-sungai
berair bersih mengalir dari lereng-lerengnya. Udara gunung api juga nyaman dan sejuk.
Tetapi ketika aktif, letusannya sangat mengerikan dan mengancam kehidupan. Ledakannya
menggelegar luar biasa, menciutkan nyali para penghuni di bawahnya. Magma, berupa cairan
batu pijar bersuhu sekitar 1000 derajat Celcius, ketika diletuskan menciptakan suatu fenomena
kembang api yang sesungguhnya indah tapi mengerikan. Aliran magma yang kemudian
merayapi lembah-lembah ke arah hilir sebagai aliran lava, masih bisa menghanguskan apa yang
dilewatinya dengan suhu masih 700 derajat Celcius. Belum lagi aliran sangat cepat awan panas
yang menrejang lereng masih bersuhu 500 derajat Celcius. Tidak akan ada yang dapat selamat
dari gunung api yang sedang murka ini. Personifikasi sebagai dewa yang di satu waktu begitu
pemurah dan di waktu yang lain menunjukkan angkara murkanya, mungkin akhirnya membuat
masyarakat megalitik menganggap gunung api sebagai representasi yang maha kuasa, yang
selain memberi berkah, juga sekaligus musibah.

Dengan menggunakan analogi seperti itulah, masyarakat megalitik di Nusantara menjadikan


gunung api menjadi sesuatu yang patut dihormati. Maka ada dugaan bahwa di Dataran Tinggi
Besemah pembangun arca-arca dan bangunan-bangunan megalitik mengarahkannya ke Gunung
Dempo, karena gunung api itu hingga sekarang masih aktif. Tanggal 25 September 2006, dari
kawah aktifnya, Gunung Dempo meletus menghasilkan awan debu setinggi 1 km di atas
puncaknya. Di antara ketenangan yang sangat lama, sekali-kali gunung api ini mengingatkan
adanya kekuatan alam yang sangat luar biasa dan bisa membinasakan. Beribu-ribu tahun lalu,
kondisi itulah yang mungkin dirasakan oleh masyarakat megalitik di sekitar Besemah saat
Gunung Dempo kemungkinan lebih aktif daripada kondisi tenang sekarang ini. Pada saat itulah
rasa hormat ditunjukkan dengan pembuatan arca-arca yang wajahnya dihadapkan ke Gunung
Dempo. Rasa hormat yang sama ketika masyarakat megalitik Cianjur membangun punden
berundak Gunung Padang dengan mengarahkannya ke Gunung Gede.

Lembah Besoa, Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah

Karya nyata yang terlahir dari peradaban nenek moyang Lembah Besoa, berupa patung-patung
megalit ini masih berdiri kokoh memancarkan kebudayaan tingkat tinggi dari masyarakatnya
hingga saat ini. Patung-patung yang berusia ratusan hingga ribuan tahun ini, tersebar di wilayah
Bariri, Doda, Hanggira, Lempe dan Baliura.

Jika pulau Paskah punya Moai, maka Indonesia punya patung ini

Ukuran dan bentuk dari patung-patung megalit sangat beragam, mulai dari tinggi yang berukuran
1,5 m hingga 4 m dan ada yang berbentuk patung manusia, jambangan
besar (Kalamba), piringan (Tutu’na), batu-batu rata/cembung (Batu Dakon), mortir
batu dan tiang penyangga rumah. Sekitar 431 situs ditemukan di Taman Nasional Lore Lindu,
konsentrasi obyek yang terbesar terletak di Entovera-dekat Hanggira-, di mana ada 78 obyek, 40
diantaranya Batu Dakon. Lokasinya yang berada di dalam kawasan TNLL membuat hasil karya
peninggalan nenek moyang ini nampak harmonis dengan keindahan panorama alam Lembah
Besoa. Panorama alam ini tercermin dari kondisi hutan yang masih asri. Hal ini mendukung
keberadaan megalit-megalit menjadi kawasan wisata yang memikat. Oleh karenanya TNLL
mengupayakan agar patung-patung megalit beserta hutan-hutannya selalu dijaga dan dilestarikan.
Perpaduan megalit dengan keharmonisan alam Lembah Besoa ternyata menyimpan daya pikat
akan misteri kekayaan sejarah nenek moyang.
Alien?

Pra sejarahnya, disebutkan bahwa nenek moyang orang Indonesia berasal dari daratan cina
selatan yang bermigrasi dengan perahu ke arah selatan ribuan tahun yang lalu. Gelombang
migrasi ini masuk pula ke Sulawesi dan mereka menetap dipulau ini hingga ke Sulawesi Tengah.
Para pengembara ini masuk dalam rumpun ras austronesia yang menyebar dari madagaskar
sampai pasifik. Pada saat itu gelombang kedua orang austronesia datang ke sulawesi dengan
membawa kebudayaan zaman besi. Dengan alat-alat dari besi ini mereka bisa membuat berbagai
model peninggalan dari batu atau dikenal dengan Megalith.

Di sekitar lore lindu terdapat juga peninggalan masa prasejarah Austronesia ini. Pada masanya
Sulawesi Tengah diduga menjadi pusat kebudayaan Austronesia ini. Prasasti peninggalan
kebudayaan nenek moyang ini berbentuk patung , belanga besar dari batu, lumpang batu dan
batu berukir lainnya. Di sekitar Taman Nasional lore lindu lebih dari 431 situs yang ditemukan
dan banyak lagi yang belum terungkap. Diduga orang-orang asli di sekitar situs megalit adalah
keturunan langsung dari orang-orang yang datang ribuan tahun lalu.

Lore Lindu dan sekitarnya ditetapkan oleh Unesco menjadi cagar biosfer sejak tahun 1977.
Meski tempat ini telah menjadi cagar biosfer, namun demikian banyak tangan-tangan yang tidak
bertanggung jawab yang mencuri dan memperjualbelikan batu-batu bersejarah ini sebagai barang
koleksi. Beberapa waktu lalu harian Kompas sempat memuat berita tentang jual beli batu
megalith asal Lore Lindu ini.

Tempat yang menjadi pusat keberadaan megalith ini adalah Lembah Behoa,Napu dan Bada yang
berada di sekitar TN. Lore Lindu. Disini terdapat peninggalan berupa megalith dalam jumlah
cukup banyak.

Jika melihat megalit di tempat asalnya dapat menimbulkan pertanyaan tersendiri. Bagaimana
batu seberat dan sebesar itu dapat ada di tengah hamparan padang. Seperti di situs Pokekea di
Kecamatan Lore Tengah Poso. Megalit2 berbentuk belanga raksasa yang disebut Kalamba
lengkap dengan penutupnya terletak di tempat yang agak tinggi. mengelompok di tengah padang
luas membentang yang kalau dilihat dari jauh mirip-mirip dengan lapangan golf. Sedangkan
disekitarnya tidak dijumpai sumber dari batu-batu besar ini.
Menurut arkeolog yang meneliti situs ini, sebenarnya ada 3 lokasi situs megalit yaitu,
“industriâ€, pemakaman, pemujaan. Dari lokasi industri, megalith ini batu besar yang sudah
dipahat ini ditarik dengan kerbau sampai ke tempat tersebut. Tradisi menarik barang dengan
kerbau sampai saat ini masih kita jumpai disekitar kawasan TN Lore Lindu. Di Pulau Sumba
model menarik batu dengan kerbau masih dapat dijumpai sampai saat ini.

Lalu apa guna megalit berbentuk belanga raksasa ini? Bila ditilik lebih jauh kalamba ini
melambangkan juga perahu roh yang mengacu pada tradisi nenek moyang yang datang dari laut.
Kalamba dalam bahasa lore kuno berarti perahu. Perahu arwah. Ada stratifikasi sosial yang
membuat perbedaan dalam bentuk kalamba. Ada tutup untuk orang yang berpangkat lengkap
dengan hiasan dan ukiran. Ada tempat menaruh sesaji didalam kalamba tersebut, sepintas mirip
tempat sabun kalau jaman sekarang.
Jika Laos mempunyai guci guci batu, Indonesia juga memilikinya seperti yg anda lihat diatas

Dugaan ini diperkuat oleh penelitian arkeologi tahun 2000 lalu yang menemukan kerangka
manusia dalam kalamba. Kerangka itu sempat diidentifikasi dan menunjukkan ras mongoloid.
Dan dari identifikasi carbon dating menunjukkan umur minimal 1500-3000 tahun yang lalu.

Sedangkan patung dari batu yang banyak dan berukuran beragam dari kecil sampai 4 meter itu
merupakan personifikasi dari orang yang meninggal tersebut.

Dalam catatan kruytt, sebelum kedatangan belanda tahun 1908 di lore, masih berlaku orang
membuat kubur dari batu. Dan masih ada tempat pembuatan kalamba untuk penguburan. Jadi
prasati batu ini tidak hanya dari masa prasejarah saja, namun ada yang berasal dari masa yang
dekat ratusan tahun saja atau megalit muda. Kadang orang melihat semua peninggalan batu ini
berasal dari masa ribuan tahun yang lalu saja.

Berbagai macam prasasti peninggalan orang-orang tua kita dulu masih dapat ditemukan di
berbagai tempat di Indonesia. Namun sayang agaknya perhatian kita masih tertuju pada masalah-
masalah kebutuhan subsisten primitif. Berbagai situs peninggalan masa lalu hanya dibiarkan saja
tanpa perhatian. Tahu-tahu sudah berada di luar negeri.

Nias
Penduduk pulau Nias memindahkan Megalit tahun 1915

Upacara lompat batu Nias

Rangkaian kegiatan mendirikan batu besar (dolmen) untuk memperingati kematian seorang
penting di Nias (awal abad ke-20). Etnik Nias masih menerapkan beberapa elemen megalitik
dalam kehidupannya. Lompat batu dan kubur batu masih memperlihatkan elemen-elemen
megalitik. Demikian pula ditemukan batu besar sebagai tempat untuk memecahkan perselisihan.

Sumba

Etnik Sumba di Nusa Tenggara Timur juga masih kental menerapkan beberapa elemen megalitik
dalam kegiatan sehari-hari. Kubur batu masih ditemukan di sejumlah perkampungan. Meja batu
juga dipakai sebagai tempat pertemuan adat.
Zaman Megalitikum

PENGERTIAN MEGALITIKUM
Megalitikum berasal dari kata mega yang berarti besar, dan lithos yang berarti batu. Zaman
Megalitikum biasa disebut dengan zaman batu besar, karena pada zaman ini manusia sudah dapat
membuat dan meningkatkan kebudayaan yang terbuat dan batu-batu besar. kebudayaan ini
berkembang dari zaman Neolitikum sampai zaman Perunggu. Pada zaman ini manusia sudah
mengenal kepercayaan. Walaupun kepercayaan mereka masih dalam tingkat awal, yaitu
kepercayaan terhadap roh nenek moyang, Kepercayaan ini muncul karena pengetahuan manusia
sudah mulai meningkat.

PERIODISASI ZAMAN MEGALITIKUM


Menurut Von Heine Geldern, kebudayaan Megalithikum menyebar ke Indonesia melalui 2
gelombang yaitu :
1. Megalith Tua menyebar ke Indonesia pada zaman Neolithikum (2500-1500 SM) dibawa oleh
pendukung Kebudayaan Kapak Persegi (Proto Melayu). Contoh bangunan Megalithikum adalah
menhir, punden berundak-undak, Arca-arca Statis.
2. Megalith Muda menyebar ke Indonesia pada zaman perunggu (1000-100 SM) dibawa oleh
pendukung Kebudayaan Dongson (Deutro Melayu). Contoh bangunan megalithnya adalah peti
kubur batu, dolmen, waruga Sarkofagus dan arca-arca dinamis.
Apa yang dinyatakan dalam uraian di atas, dibuktikan dengan adanya penemuan bangunan batu
besar seperti kuburan batu pada zaman prasejarah, banyak ditemukan manik-manik, alat-alat
perunggu dan besi. Hasil kebudayaan megalithikum biasanya tidak dikerjakan secara halus,
tetapi hanya diratakan secara kasar dan terutama hanya untuk mendapatkan bentuk yang
diperlukan.
HASIL KEBUDAYAAN
a. Menhir
Menhir adalah batu tunggal (monolith) yang berasal dari periode Neolitikum (6000/4000 SM-
2000 SM) yang berdiri tegak di atas tanah. Istilah menhir diambil dari bahasa Keltik dari kata
men (batu) dan hir (panjang). Menhir biasanya didirikan secara tunggal atau berkelompok sejajar
di atas tanah. Diperkirakan benda prasejarah ini didirikan oleh manusia prasejarah untuk
melambangkan phallus, yakni simbol kesuburan untuk bumi. Menhir adalah batu yang serupa
dengan dolmen dan cromlech, merupakan batuan dari periode Neolitikum yang umum ditemukan
di Perancis, Inggris, Irlandia, Spanyol dan Italia. Batu-batu ini dinamakan juga megalith (batu
besar) dikarenakan ukurannya. Mega dalam bahasa Yunani artinya besar dan lith berarti batu.
Para arkeolog mempercayai bahwa situs ini digunakan untuk tujuan religius dan memiliki makna
simbolis sebagai sarana penyembahan arwah nenek moyang.

b. Dolmen
Dolmen adalah meja batu tempat meletakkan sesaji yang dipersembahkan kepada roh nenek
moyang. Di bawah dolmen biasanya sering ditemukan kubur batu. Dolmen yang merupakan
tempat pemujaan misalnya ditemukan di Telagamukmin, Sumberjaya, Lampung Barat. Dolmen
yang mempunyai panjang 325 cm, lebar 145 cm, tinggi 115 cm ini disangga oleh beberapa batu
besar dan kecil. Hasil penggalian tidak menunjukkan adanya sisa-sisa penguburan. Benda-benda
yang ditemukan di antaranya adalah manik-manik dan gerabah.

c. Sarkofagus
Sarkofagus atau keranda yang terbuat dari batu. Bentuknya menyerupai lesung dari batu utuh
yang diberi tutup. Daerah tempat ditemukannya sarkofagus adalah Bali. Menurut masyarakat
Bali Sarkofagus memiliki kekuatan magis/gaib. Berdasarkan pendapat para ahli bahwa
sarkofagus dikenal masyarakat Bali sejak zaman logam.
Fungsinya sebagai tempat menyimpan mayat yang disertai bekal kuburnya. Menurut Von Heine
Geldern, kubur batu termasuk kebudayaan megalitikum gelombang kedua atau disebut juga
Megalit Muda yang menyebar ke Indonesia pada zaman perunggu (1.000-100 SM) dibawa oleh
pendukung Kebudayaan Dongson (Deutro Melayu). Contoh bangunan megalit gelombang ini
adalah peti kubur batu, dolmen, waruga sarkofagus, dan arca-arca dinamis.
Peti kubur adalah peti mayat yang terbuat dari batu-batu besar. Kubur batu dibuat dari
lempengan atau papan batu yang disusun persegi empat berbentuk peti mayat yang dilengkapi
dengan alas dan bidang atasnya juga berasal dari papan batu.
Selain Pagaralam dan Lahat, daerah penemuan peti kubur adalah Cepari Kuningan,
Cirebon (Jawa Barat), Wonosari (Yogyakarta), dan Cepu (Jawa Timur). Di dalam kubur batu
tersebut juga ditemukan rangka manusia yang sudah rusak, alat-alat perunggu dan besi, serta
manik-manik. Dari penjelasan tentang peti kubur, tentu dapat ketahui persamaan antara peti
kubur dan sarkofagus, yang keduanya merupakan tempat menyimpan mayat disertai bekal
kuburnya.
Selama ini, Pagaralam memang telah dikenal dengan peninggalan zaman megalitikum.
Hal ini terbukti dengan penemuan arca-arca yang tersebar di Kabupaten Lahat dan Kota
Pagaralam, seperti Karangindah, Tinggiari Gumai, Tanjungsirih, Padang Gumay, Pagaralam,
Tebatsementur (Tanjungtebat), Tanjung Menang-Tengahpadang, Tanjungtebat, Pematang, Ayik
Dingin, Tanjungberingin, Geramat Mulak Ulu, Tebingtinggi-Lubukbuntak, Nanding, Batugajah
(Kutaghaye Lame), Pulaupanggung (Sekendal), Gunungmigang, Tegurwangi, dan Airpur.
Penemuan yang paling menarik adalah megalitik yang dinamakan Batugajah, yakni
sebongkah batu berbentuk telur, berukuran panjang 2,17 m, dan dipahat pada seluruh
permukaannya. Bentuk batunya yang asli hampir tidak diubah, sedangkan pemahatan obyek
yang dimaksud disesuaikan dengan bentuk batunya. Namun, plastisitas pahatannya tampak indah
sekali.
Batu dipahat dalam wujud seekor gajah yang sedang melahirkan seekor binatang antara
gajah dan babi-rusa, sedangkan pada kedua belah sisinya dipahatkan dua orang laki-laki. Laki-
laki sisi kiri gajah berjongkok sambil memegang telinga gajah, kepalanya dipalingkan ke
belakang dan bertopi. Perhiasan berbentuk kalung besar yang melingkar pada lehernya. Begitu
pula pada betis, di sana tampak tujuh gelang. Pada ikat pinggang yang lebar tampak pedang
berhulu panjang, sedangkan sebuah nekara tergantung pada bahunya. Pada sisi lain (sisi kakan
gajah) dipahatkan seorang laki-laki juga, hanya tidak memakai pedang. Pada pergelangan tangan
kanan laki-laki ini terdapat gelang yang tebal. Adapun pada betis tampak 10 gelang kaki.
Temuan batu gajah dapat membatu usaha penentuan umur secara relatif dengan gambar
nekara itu sebagai petunjuk yang kuat, selain petunjuk-petunjuk lain seperti pedang yang mirip
dengan belati Dong Son (Kherti, 1953 : 30), serta benda-benda hasil penggalian yang berupa
perunggu (besemah, gangse) dan manik-manik. Dari petunjuk-petunjuk di atas, para ahli
berkesimpulan bahwa budaya megalitik di Sumatera Selatan, khususnya di Kabupaten Lahat dan
Kota Pagaralam, berlangsung pada masa perundagian. Pada masa ini, teknik pembuatan benda
logam mulai berkembang.
Sebuah nekara juga dipahatkan pada arca dari Airpuar. Arca ini melukiskan dua orang
prajurit yang berhadap-hadapan, seorang memegang tali yang diikatkan pada hidung kerbau, dan
orang yang satunya memegang tanduknya. Kepala serigala (anjing) tampak di bawah nekara
perunggu tersebut.

d. Kubur Batu
Kubur Batu/Peti Mati yang terbuat dari batu besar yang masing-masing papan batunya lepas satu
sama lain. Fungsi dari kubr batu adalah sebagai tempat menyimpan mayat yang disertai bekal
kuburnya.

e. Punden Berundak
Punden berundak merupakan contoh struktur tertua buatan manusia yang tersisa di Indonesia,
beberapa dari struktur tersebut beranggal lebih dari 2000 tahun yang lalu. Punden berundak
bukan merupakan “bangunan” tetapi merupakan pengubahan bentang-lahan atau undak-undakan
yang memotong lereng bukit, seperti tangga raksasa. Bahan utamanya tanah, bahan pembantunya
batu;menghadap ke anak tangga tegak, lorong melapisi jalan setapak, tangga, dan monolit tegak.
Fungsi dari punden berundak itu sendiri adalah sebagai tempat pemujaan terhadap roh nenek
moyang yang telah meninggal.

f. Arca Batu
Arca/patung-patung dari batu yang berbentuk binatang atau manusia. Bentuk binatang yang
digambarkan adalah gajah, kerbau, harimau dan moyet. Sedangkan bentuk arca manusia yang
ditemukan bersifat dinamis. Maksudnya, wujudnya manusia dengan penampilan yang dinamis
seperti arca batu gajah. Arca batu gajah adalah patung besar dengan gambaran seseorang yang
sedang menunggang binatang yang diburu. Arca tersebut ditemukan di daerah Pasemah
(Sumatera Selatan). Daerah-daerah lain sebagai tempat penemuan arca batu antara lain
Lampung, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
g. Waruga
Waruga adalah kubur atau makam leluhur orang Minahasa yang terbuat dari batu dan terdiri dari
dua bagian. Bagian atas berbentuk segitiga seperti bubungan rumah dan bagian bawah berbentuk
kotak yang bagian tengahnya ada ruang.

BUDAYA MEGALITIKUM DI INDONESIA


Di Indonesia, beberapa etnik masih memiliki unsur-unsur megalitik yang dipertahankan hingga
sekarang. (1) Pasemah = merupakan wilayah dari Propinsi Sumatera Selatan, berada di kaki
Gunung Dempo. Tinggalan-tinggalan megalitik di wilayah ini tersebar sebanyak 19 situs,
berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh Budi Wiyana (1996), dari Balai Arkeologi
Palembang. Tinggalan megalitik Pasemah muncul dalam bentuk yang begitu unik, patung-patung
dipahat dengan begitu dinamis dan monumental, yang mencirikan kebebasan sang seniman
dalam memahat sehingga tinggalan [megalitik pasemah], disebut oleh ahli arkeologi sebagai
Budaya Megalitik Pasemah. (2) Nias = Rangkaian kegiatan mendirikan batu besar (dolmen)
untuk memperingati kematian seorang penting di Nias (awal abad ke-20). Etnik Nias masih
menerapkan beberapa elemen megalitik dalam kehidupannya. Lompat batu dan kubur batu masih
memperlihatkan elemen-elemen megalitik. Demikian pula ditemukan batu besar sebagai tempat
untuk memecahkan perselisihan. (3) Sumba = Etnik Sumba di Nusa Tenggara Timur juga masih
kental menerapkan beberapa elemen megalitik dalam kegiatan sehari-hari. Kubur batu masih
ditemukan di sejumlah perkampungan. Meja batu juga dipakai sebagai tempat pertemuan adat.

CORAK KEHIDUPAN
Pada zaman ini manusia melakukan banyak kegiatan yang menyangkut kehidupannya. Mereka
sudah mepunyai aktifitas seperti berbueu dan mengumpulkan makanan, bercocok tanam.
Ciri-cirinya adalah:
- Manusia sudah dapat membuat dan meninggalkan kebudayaan yang terbuat dari batu-batu
besar
- Berkembang dari zaman neolitikum sampai zaman perunggu
- Manusia sudah mengenal kepercayaan utamnya animism
MANUSIA PENDUKUNG
Di sebut kebudayaan batu besar karena pada umumnya menghasilkankebudayaan dalam bentuk
monument yang terbuat dari batu berukuranbesar. Kebudayaan ini muncul pada akhir jaman
neolhitikum , tetapiperkembangannya justru terjadi pada jaman perunggu
Jadi, mungkin saja :
1.suku dayak golongan ras proto melayu
2. bangsadeuteuro melayu (melayu muda) yang migrasi ke Indonesia sambilmembawa
kebudayaan dongson. Keturunannya adalah jawa, bali, bugis,madur, dll. Bahkan ditemukan
beberapa bukti bahwa telah terjadipembaruan antara melayu monggoloide (proto melayu dengan
deuteuromelayu) dan papua melaneside.

Anda mungkin juga menyukai