Disusun oleh :
A. TUJUAN
Menetapkan kadar ampisillin dalam sediaan kaplet dengan metode Iodometri.
B. PENDAHULUAN
Antibiotik adalah bahan kimia yang dihasilkan oleh mikroba yang dalam
konsentrasi tertentu mempunyai kemampuan menghambat atau membunuh mikroba
lain. Pada perkembangannya bahan yang dapat dikelompokkan sebagai antibiotik
bukan hanya hasil alamiah saja, akan tetapi bahan-bahan semisintetik yang
merupakan hasil modifikasi bahan kimia antibiotik alam (Sumadio dan Harahap,
1994).
Berdasarkan sasaran tindakan antibiotik terhadap mikroba maka antibiotik
dapat dikelompokkan menjadi lima golongan yaitu:
1. Antibiotik penghambat sintesis dinding sel mikroba.
Antibiotik yang termasuk kelompok ini ialah penisilin, sefalosporin, basitrasin,
dan vankomisin.
2. Antibiotik penghambat sintesis protein sel mikroba.
Antibiotik yang termasuk kelompok ini ialah golongan aminoglikosida,
makrolida, kloramfenikol, linkomisin dan tetrasiklin.
3. Antibiotik penghambat sintesis asam nukleat sel mikroba.
Antibiotik yang termasuk kelompok ini ialah rifampisin dan golongan kuinolon.
4. Antibiotik pengganggu fungsi membran sel mikroba.
Antibiotik yang termasuk kelompok ini ialah golongan polien.
5. Antibiotik penghambat metabolisme mikroba.
Antibiotik yang termasuk kelompok ini ialah sulfonamida, trimetoprin dan asam
p-amino salisilat (PAS) (Ganiswarna, 1995).
Salah satu antibiotik yang sering digunakan adalah Ampisilin dari golongan
Pensisilin. Ampisilin berupa serbuk hablur, putih dan tak berbau. Dalam air
kelarutannya 1g/ml, dalam etanol absolut 1g/250ml dan praktis tidak larut dalam eter
dan kloroform (Wattimena, 1987).
Ampisilin merupakan derivat penisilin yang merupakan kelompok antibiotik β
–laktam yang memiliki spektrum antimikroba yang luas. Ampisilin efektif terhadap
mikroba Gram positif dan Gram negatif. Ampisilin digunakan untuk infeksi pada
saluran urin yang disebabkan oleh Escherichia coli dan juga untuk infeksi saluran
pernafasan, telinga bagian tengah yang disebabkan Streptococcus pneumoniae
(Wattimena, 1987).
Mekanisme kerja ampisilin yaitu menghambat sintesis dinding sel bakteri
dengan cara menghambat pembentukan mukopeptida, karena sintesis dinding sel
terganggu maka bakteri tersebut tidak mampu mengatasi perbedaan tekanan osmosa
di luar dan di dalam sel yang mengakibatkan bakteri mati (Wattimena, 1987).
Ampisilin memiliki gugus phenoxyl yang terikat oleh gugus alkyl dari rantai
alkylnya. Kemampuan membunuh bakteri ialah karena penicillin ini menghambat
perkembangan dinding sel kuman dengan jalan menjadikan inaktif, dengan demikian
tidak memungkinkan terhubungnya kedua lapisan linier serabut peptidoglycan yang
terdapat di kedua lapis dinding sel sebelah dalam (Brooks, 2004).
Semua penisilin mempunyai rumus bangun dasar sebagai berikut:
O
HS CH3
B A
R N
H N CH3
D. CARA KERJA
Metode penetapan kadar secara iodometri
a. Pembuatan
b. Pembuatan NaOH 1 N
Dilarutkan 1 g NaOH p dalam 25 ml aquadest
d. Pembuatan Kanji 5%
Ditimbang 503,8 mg amilum dan dilarutkan dalam 100 mL aquades
Dipanaskan hingga semua amilum larut dan terbentuk larutan yang jernih
e. Pembakuan
Ditimbang seksama 50,2 mg K2Cr2O7yang sebelumnya dikeringkan
Dihitung normalitasnya
f. Sampel
Ditimbang seksama ± 125 mg sampel, dimasukkan labu takar
g. Blanko
Ditimbang seksama ± 125 mg sampel, dimasukkan labu takar
h. Analisis
Selisih volume larutan baku tiosulfat blanko dengan volume tiosulfat awal setara
dengan jumlah iodium yang bereaksi dengan ampisilin.
N =
0,1 =
Bobot I2 = 600 mg
Bobot KI = 1000 mg
Lalu ad 500 ml aquadest.
= 0,9936 %
8. Penimbangan sampel
1. Sampel I
Bobot kertas+sampel = 0,4731 g
Bobot kertas = 0,3467 g -
Bobot sampel = 0,1264 g
2. Sampel II
Bobot kertas+sampel = 0,4749 g
Bobot kertas = 0,3489 g -
Bobot sampel = 0,1260 g
3. Sampel III
Bobot kertas+sampel = 0,4711 g
Bobot kertas = 0,3442 g -
Bobot sampel = 0,1269 g
4. Sampel IV
Bobot kertas+sampel = 0,4719 g
Bobot kertas = 0,3454 g -
Bobot sampel = 0,1265 g
9. Volume titran
1. Blanko 1 = 1,50 ml
2. Blanko 2 = 1,50 ml
3. Blanko 3 = 1,35 ml
4. Blanko 4 = 1,46 ml
5. Sampel 1 = 1,20 ml
6. Sampel 2 = 1,10 ml
7. Sampel 3 = 1,15 ml
8. Sampel 4 = 1,18 ml
= 181,6160 %
= 242,9162 %
= 120,5967 %
= 169,3692 %
CV =
= 28,1688 %
F. PEMBAHASAN
Praktikum ini bertujuan supaya mahasiswa dapat menetapkan kadar ampisilin
dalam sediaan kaplet ampisilin dengan menggunakan metode iodometri. Dalam
praktikum ini, akan dianalisis apakah sampel obat ampisilin masih bermutu, dalam hal
kadarnya masih berada dalam batasan yang diperbolehkan oleh United State
Pharmacopeia (2005), yaitu tidak kurang dari 90% dan tidak lebih dari 120%,
dihitung dari kadar yang tercantum dalam label claim sediaan. Kadar obat
berpengaruh terhadap khasiat atau efek obat. Pada percobaan ini, kadar ampisilin pada
sediaan kaplet yang tercantum dalam label claim adalah 500 mg.
Sediaan kaplet merupakan salah satu jenis sediaan farmasi (dosage form) yang
memerlukan berbagai macam uji, meliputi uji kualitas dan kuantitas sebelum
dipasarkan. Namun demikian dalam percobaan kali ini tidak semua uji fisika-kimia
dapat dilakukan karena keterbatasan alat dan waktu praktikum, sehingga uji yang
dilakukan lebih mengarah pada uji kuantitatif dari sediaan. Ampisilin sebagai
antibiotik yang bersifat tahan terhadap asam dan lebih luas spektrum kerjanya (broad
spectrum), efektif terhadap bakteri gram positif, bakteri gram negatif dan chlamydias.
Ampisilin mampu menghambat pertumbuhan mikroba dengan menghambat
biosintesis dinding sel mikroba dengan cara berlaku sebagai substrat palsu dan
menghambat transpeptidase sehingga tidak terjadi pembentukan ikatan silang lisin-
alanin (peptidoglikan) (Pratiwi, 2004).
Berikut pemerian dari sampel ampisilin :
Gambar 1. Struktur Ampicillin
Dari reaksi di atas, terdapat tiga tahap yang diperlukan untuk menganalisis
turunan penisilin (termasuk ampicillin) secara iodometri, yaitu :
Tahap 1 : Turunan penisilin diubah menjadi bentuk asam penisiloat (suatu asam
dikarboksilat) dengan cara hidrolisis dalam larutan NaOH. Dalam reaksi
ini, terjadi pembukaan cincin β-laktam.
Tahap 2 : Asam penisiloat dalam suasana asam akan menjadi D-penisilamin dan
asam benzilpenisilin.
Tahap 3 : D-penisilamin dioksidasi secara kuantitatif oleh iodin dan menghasilkan
senyawa disulfida. Kemudian kelebihan iodine dititrasi kembali
menggunakan titran berupa larutan natrium tiosulfat (Na2S2O3).
Berdasarkan reaksi tersebut, diketahui bahwa valensi ampisilin adalah sama
dengan satu. Pada reaksi dapat dilihat bahwa diperlukan dua mol D-penisilamin untuk
bereaksi dengan satu mol iodium (I2), dimana dua mol D-penisilamin ini diperoleh
dari dua mol ampisilin. Satu mol iodium setara dengan 2 elektron sesuai dengan
reaksi :
I2 + 2e- → 2I-
Sehingga urutannya menjadi sebagai berikut :
2 mol ampisilin ~ 2 mol asam penisiloat ~ 2 mol D-penisilamin ~ 1 mol I2 ~ 2 elektron
Valensi bisa ditentukan oleh berapa banyak jumlah grat (gram atom) I yang
dapat diikat oleh 1 mol senyawa obat, atau berapa banyak jumlah ½ grat (gram atom)
O yang diikat atau dilepaskan oleh 1 mol senyawa obat, atau berapa banyak jumlah
elektron yang diikat atau dilepaskan oleh 1 mol senyawa obat. Dengan demikian,
3. Metode Spektrofotometri UV
Pada metode spektrofotometri sampel dianalisis berdasarkan keberadaan
kromofornya. Kromofor yang terdeteksi ini (data berupa absorbansi) sebanding
dengan kadar dari sampel. Padahal pada turunan senyawa penisilin, baik yang masih
aktif maupun tidak, keduanya mengandung kromofor yang sama, yaitu gugus R yang
terdapat pada rantai samping struktur turunan penisilin. Sedangkan cincin β-laktam
tidak bertindak sebagai kromofor, sehingga apabila terdapat cincin yang terbuka tidak
terdeteksi menggunakan metode spektrofotometri. Misalkan pada senyawa
benzilpenisilin berikut :
basa atau
penisilinase
kromofor kromofor
samping R masih belum cukup untuk dapat dideteksi karena harga ε (epsilon) yang
dihasilkan terlalu kecil. Suatu senyawa dapat dianalisis menggunakan
spektrofotometri apabila memiliki nilai epsilon lebih dari 1000. Ampisilin adalah
salah satu senyawa turunan penisilin yang tidak dapat dianalisis menggunakan metode
spektrofotometri UV karena tidak memiliki auksokrom pada strukturnya dan memiliki
harga epsilon kurang dari 1000. Perhitungan harga epsilonnya dinyatakan sebagai
berikut :
ε= 321,448
Dari perhitungan terbukti bahwa harga epsilon dari ampisilin kurang dari 1000
(hanya 321,448); sehingga ampisilin tidak dapat dianalisis menggunakan metode
spektrofotometri.
(Clarke, 2006)
Kalium bromat merupakan senyawa baku primer yang tidak perlu dibakukan
lagi terhadap senyawa lain. KBrO3 dapat digunakan sebagai baku primer karena
memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
Murni atau mudah dimurnikan
Memiliki massa molekul relative yang besar
Stabil dan tidak higroskopis
kering, tidak terpengaruh oleh udara/lingkungan(zat tersebut
stabil);
mudah larut dalam air;
mempunyai massa ekivalen yang tinggi.
Kemudian dibuat pula larutan iodium. Meskipun bukan merupakan larutan
titran dalam metode iodometri (konsentrasi iodium tidak digunakan dalam
perhitungan kuantitatif). Iodium hanya berfungsi untuk membentuk I2 bebas yang
nantinya akan dititrasi dengan larutan Na2S2O3. Ditimbang 1000.0 mg KI dan 600.0
mg I2, serta dilarutkan dalam 500.0 mL akuades.
Pada praktikum ini, dibuat pula NaOH 0,1 N dengan melarutkan 1,0 gram
NaOH dalam 25,0 mL akuades. Serta dibuat juga, larutan indikator kanji yang
digunakan dibuat dengan cara melarutkan 503,8 mg amilum ke dalam 100 ml air
dingin. Kemudian suspensi amilum tersebut dipanaskan hingga semua amilum larut
dan terbentuk larutan yang jernih, kemudian didinginkan dan baru digunakan sebagai
indikator. Keuntungan penggunaan kanji adalah harganya murah dan mudah didapat.
Sedangkan kerugiannya adalah tidak mudah larut dalam air, tidak stabil pada suspensi
dengan air (sehingga selalu dibuat baru), membentuk kompleks yang sukar larut
dalam air bila bereaksi dengan iodium sehingga tidak boleh ditambahkan pada awal
titrasi tapi harus ditunggu hingga warna titrat kuning pucat. Penambahan indicator
pada awal titrasi dapat menimbulkan titik akhir titrasi yang tiba-tiba atau titik akhir
palsu. Indikator ini bersifat reversible, artinya warna biru yang timbul akan hilang lagi
apabila iodium direduksi oleh Na2S2O3 atau reduktor lainnya.
Sebelum dilakukan pengujian kadar dalam tablet ampisilin, dilakukan uji
keseragaman bobot sebagai salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh sediaan
tablet. Keseragaman sediaan dapat ditetapkan dengan salah satu dari dua metode,
yaitu keseragaman bobot dan keseragaman kandungan. Menurut Farmakope
persyaratan keseragaman bobot dapat diterapkan dalam produk yang mengandung zat
aktif 50 mg atau lebih yang merupakan 50% atau lebih, dari bobot, satuan sediaan.
Keseragaman dari zat aktif lain jika ada dalam jumlah lebih kecil, ditetapkan dngan
persyaratan keseragaman kandungan. Untuk menetapkan keseragaman sediaan
dengan cara keseragaman bobot untuk tablet tidak bersalut seperti dalam percobaan
dapat dilakukan dengan menimbang secara seksama sepuluh tablet, satu persatu, dan
hitung bobot rata-rata. Suatu tablet dikatakan memenuhi uji keseragaman bobot jika
tidak lebih dari 2 tablet menyimpang sepaerti yang tertera dalam kolom 1 dan tidak
boleh 1 tablet menyimpang seperti dalam kolom
I II
≤ 25 mg 15% 30%
>300 mg 5% 10%
Dari 20 kaplet ampisilin yang ditimbang satu per satu, seluruhnya memenuhi
persyaratan keseragaman bobot. Kemudian digerus 10 kaplet ampisilin yang
memenuhi kriteria. Kemudian ditimbang seksama dengan neraca analitik 125 mg
serbuk ampisilin dalam labu takar, di ad akuades hingga 100 mL, dan dihomogenkan.
Diambil 2,0 mL dengan pipet volume, dimasukkan dalam labu bersumbat (iodine
flask). Ditambah 2,0 mL NaOH 1 N. Ampisilin tidak dapat langsung ditetapkan
dengan iodometri karena tidak bereaksi dengan iodium. Oleh karena itu harus
dihidrolisis terlebih dahulu dengan NaOH untuk memutus ikatan β-laktam. Dibiarkan
15 menit agar reaksi hidrolisis terjadi sempurna dan dilakukan di dalam tempat gelap.
Asam ampisilinoat yang terjadi dapat ditetapkan kadarnya dengan iodometri karena
dapat direduksi oleh iod.
Kemudian ditambah 2,0 ml HCl 1 N untuk menetralkan atau bahkan membuat
suasana menjadi sedikit lebih asam. Penggunaan HCl 1 N tidak menimbulkan rekasi
terhadap sampel, sehingga untuk selanjutnya digunakan HCl pekat, dimana
penambahannya dilakukan dalam lemari asam. Penambahan HCl ini harus dilakukan
karena titrasi iodometri tidak boleh dilakukan pada pH > 8. Dalam lingkungan alkalis
iodium akan bereaksi dengan hidroksida membentuk iodida dan hipoiodit.
Selanjutnya terurai menjadi iodida dan iodat. Ion ini akan mengoksidasi thiosulfat
menjadi sulfat. Setelah itu ditambahkan 10 ml iodium 0.01 N, segera tutup labu agar
iodium tidak menguap dan biarkan selama 15 menit terlindung dari cahaya agar
terjadi reaksi antara asam ampisilinoat dengan iodium. Iodium akan mengoksidasi
asam ampisilinoat sedangkan iodium sendiri akan tereduksi menjadi iodida.
Larutan HCl akan bereaksi dengan senyawa asam ampisilinat hasil inaktivasi,
menghasilkan senyawa D-penisilamin dan asam benzilpenisilat. Senyawa D-
penisilamin ini yang akan dapat bereaksi (dioksidasi) dengan iodium, menghasilkan
senyawa disulfida dan asam iodida dalam larutan. Penempatan larutan di tempat gelap
(terlindung dari cahaya) selama 15 menit dimaksudkan untuk menghindari I2
teroksidasi oleh cahaya matahari. Waktu 15 menit diperuntukkan agar reaksi
berlangsung secara sempurna.
Larutan I2 ditambahkan secara berlebih (pada percobaan ditambahkan
sebanyak 10 ml), kemudian kelebihan I2 ini dititrasi kembali dengan Na2S2O3 0,0438
N (hasil pembakuan). Titrasi iodometri harus dilakukan dengan cepat dan digojog
kuat untuk untuk meminimalisasi terjadinya oksidasi iodida oleh udara bebas.
Penggojogan yang cepat menimbulkan gerakan molekul yang cepat sehingga
frekuensi molekul bertabrakan makin banyak dan reaksi berlangsung lebih cepat. Saat
penggojogan, diamati terjadinya perubahan warna larutan dari kuning menjadi
kuning pucat, kemudian ditambahkan indikator kanji (amilum) untuk meningkatkan
kepekaan titik akhir titrasi. Penambahan amilum akan membuat larutan menjadi
berwarna biru karena terbentuk komplek kanji-iodium, dan titik ekivalen ditandai
dengan penambahan 1 tetes larutan Na2S2O3 tepat menghilangkan warna biru (larutan
menjadi bening). Penyusun utama kanji adalah amilosa dan amilopektin, amilosa
dengan iodium membentuk warna biru sedangkan amilopektin dengan iodium
membentuk warna merah. Setelah ditambah indikator kanji, titrasi dilanjutkan
kembali hingga terjadi perubahan warna dari biru menjadi jernih. Dicatat volume
larutan Na2S2O3 yang digunakan.
Untuk blangko pada percobaan ini, digunakan larutan yang dibuat dengan
mencampurkan 2,0 mL larutan sampel ampisilin; 2,0 ml HCl; 10,0 ml iodium 0,01 N
kemudian didiamkan selama 15 menit terlindung cahaya, lalu dititrasi dengan
Na2S2O3 dengan indikator kanji. Pada larutan blangko tidak ditambahkan NaOH
sehingga tidak terjadi hidrolisa pada ampisilin.
Kemudian dari data-data yang sudah didapat dapat digunakan untuk
menghitung kadar ampisillin. Perhitungan kadar menggunakan rumus sebagai berikut:
Kadar =
G. KESIMPULAN
1. Penetapan kadar kaplet ampisilin dapat dilakukan melalui metode titrasi
iodometri.
2. Pemilihan metode iodometri ini mengacu pada literatur yaitu Farmakope
Indonesia edisi IV. Metode ini merupakan metode yang sederhana dan mudah.
Selain itu bahan-bahan yang dibutuhkan juga murah.
3. Persen kadar ampisillin sebesar 178,6245%, kadar ampisillin tiap tablet sebesar
1339,3354 mg dengan CV sebesar 28,1688%.
4. Nilai CV besar menunjukkan hasil kurang presisi.
5. Hasil analisis tidak sesuai dengan kadar yang tertera dalam etiket.
6. Metode Iodometri pada percobaan ini tidak bisa ditentukan selektivitasnya karena
ketidakrasionalan kadar yang didapatkan.
H. DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1979, Farmakope Indonesia Edisi III, Depkes RI, Jakarta.
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Edisi IV, Depkes RI, Jakarta.
Anonim, 2005, United State Pharmacopeia, The USP Convention, Rockville.
Brooks GF, Butel JS, Morse SA., 2004, Jawetz, Melnick & Adelberg’s Medical
Microbiology, 23rd Ed, Mc Graw Hill, Boston.
Ganiswara, 1995, Farmakologi dan Terapi, Edisi 4, Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Haryadi, 1990, Ilmu Kimia Analitik Dasar, Gramedia, Jakarta.
Munson, 1991, Analisis Farmasi Metode Modern, Airlangga University Press,
Surabaya.
Kovar, 1987, Identifikasi Obat, Edisi keempat, ITB, Bandung.
Pratiwi, Silvia J., 2004, Buku Ajar Mikrobiologi Farmasi, Fakultas Farmasi
UGM, Yogyakarta
Sumadio dan Harahap, 1994, Biokimia dan Farmakologi Antibiotika, USU Press,
Medan.
Wattimena, 1987, Farmakodinamik dan Terapi Antibiotika, UGM Press, Yogyakarta.
Asisten Koreksi, Yogyakarta, 5 Maret 2017
Praktikan,
Alfi Cahya Cintia Wati (14/362895/FA/10050)
Esti Yunita (14/362896/FA/10051)
Vintika Merrylia Sari (14/362897/FA/10052)
Dealinda Husnasya (14/362899/FA/10053)