Anda di halaman 1dari 13

1

Era Post Method

Belajar bahasa asing tidak semata-mata siswa duduk dan mendengarkan

guru berbicara. Belajar bahasa asing memiliki tujuan agar siswa berpartisipasi

aktif di dalam proses produksi bahasa tertentu baik lisan maupun tulisan dan

mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari dengan baik dan tepat.

Agar mencapai tujuan itu, maka seorang guru harus memiliki kapasitas mengajar

untuk membuat mereka berani berkomunikasi dengan bahasa yang dipelajari di

dalam kelas dan di lingkungan masyarakat. Di dalam kelas, siswa setidaknya

menggunakan bahasa untuk tanya-jawab yang merupakan aspek utama dalam

komunikasi. Sebagaimana Marchand, dkk (1972) mengatakan,

“J. Sumpf et D. Vogelmuth, en analysant, d’après des enregistrements de leçons,

l’enchaînement des questions et des réponses qui constituent le discours scolaire, présentent

l’un des aspects majeurs de la communication dans la classe.”

J. Sumpf dan D. Vogelmuth mengatakan bahwa berdasarkan hasil rekaman

pembelajaran, keterikatan pertanyaan dan jawaban yang merupakan tindak tutur

kelas menjadi salah satu aspek utama dari komunikasi di dalam kelas. Untuk itu,

demi menstimulasi peserta didik agar mampu berpartisipasi aktif dalam

berkomunikasi, para pakar pendidikan telah bekerja keras untuk membuat

berbagai macam metode dan pendekatan. Mereka telah banyak menghabiskan

waktu untuk meneliti dan menerapkan suatu metode dan pendekatan sesuai

dengan situasi dan kondisi masyarakat. Alhasil, penerapannya dalam proses

belajar mengajar menuntut banyak kemampuan dan keterampilan dari seorang

guru dalam memahami dan menerapkan semua itu.


2

Era post-method ditandai dengan munculnya kesadaran bahwa tidak ada

metode pengajaran sempurna yang dapat digunakan dalam segala kondisi dan

menyelesaikan setiap permasalahan yang timbul dalam proses pemelajaran.

Kesadaran ini menghentikan usaha-usaha tiada henti dari dekade-dekade

sebelumnya untuk menemukan metode seperti itu. Para ahli yang kemudian

mencetuskan konsep post-method mengganti fokus mereka dari pencarian

terhadap metode alternatif menjadi pencarian terhadap alternatif dari metode.

Menurut pandangan post-method, para ahli maupun praktisi dalam bidang

pemelajaran bahasa telah terlalu lama terjebak dalam penjara metode sehingga

melupakan konsep dasar pemalajaran bahasa yang tidak bisa dilepaskan dari

konteks yang membangunnya. Lebih jauh lagi, berkaitan dengan perbedaan

individu pemelajar, keunikan yang dimiliki oleh setiap pemelajar dengan karakter

yang berbeda seolah ditiadakan.

Metode, yang merupakan sekumpulan langkah yang tetap mengenai proses

pemelajaran dengan prosedur kelas yang telah ditetapkan, juga dianggap terlalu

kaku dan menutup peluang bagi pengajar untuk berimprovisasi dan menyesuaikan

penerapannya dengan situasi yang dihadapi. Hal ini memunculkan tudingan

bahwa para ahli yang mencetuskan berbagai metode tersebut memandang rendah

terhadap pengajar yang tejun langusng ke lapangan. Para pengajar seolah

dianggap tidak mampu menentukan sendiri cara pendekatan pengajaran yang

harus digunakan sehingga harus diberi urutan-urutan yang jelas mengenai apa

yang harus dilakukan di dalam kelas. Berbagai kelemahan ini lah yang akhirnya

membuat metode mulai ditinggalkan dan perlahan namun pasti era post-method
3

pun mengambil alih. Namun gerakan pembaharuan ini bukannya tanpa kelompok

oposisi yang memiliki pandangan berbeda dengan para pegiat post-method.

Menurut Kumaravadivelu (2006), metode telah mati dan kita tidak harus

berduka karenanya. Ia menegaskan bahwa proses pemelajaran bahasa asing harus

meninggalkan penggunaan metode secara keseluruhan dan mulai menggunakan

konsep-konsep pedagogis yang menurutnya bersifat post-method. Dalam buku

Understanding Language Teaching yang secara khusus membahas era post-

method sebagai jawaban bagi kejenuhan dunia pemelajaran bahasa asing terhadap

penggunaan dan pencarian metode sempurna dalam pemelajaran, Kumaravadivelu

menampilkan tiga framework yang dapat digunakan dalam pemelajaran bahasa.

Ketiga framework tersebut adalah framework tiga dimensi Stern, praktik

eksploratori Alwright, serta makro-strategi Kumaravadivelu. Dengan menyajikan

ketiga framework tersebut, Kumaravadivelu memberikan beberapa pilihan yang

dapat digunakan pengajar sebagai alternatif untuk metode ajar yang selama ini

digunakan.

Stern mendasarkan framewrok tiga dimensinya pada konsep 1) hubungan

L1 dan L2 dalam SLA, 2) dilema antara kode-komunikasi dalam SLA, dan 3)

pilihan pengajaran bahasa secara eksplisit-implisit. Selanjutnya Stern mengupas

ketiga dimensi ini guna memberikan gambaran bagi pengajar dalam menentukan

filosofi mana yang dapat mereka gunakan dan alasan apa yang mendasari

penggunaan tersebut. Framework praktik eksploratori Alwright kurang lebih sama

dengan metode classroom action research dimana pengajar dituntut untuk

mengatasi sendiri permasalahan yang ada dengan melakukan penelitian di dalam

kelas. Bedanya, dalam praktik eksploratori ini pengajar menggunakan kegiatan


4

kelas sebagai alat pengumpul data sehingga penelitian berjalan secara berbarengan

dengan proses belajar mengajar setiap harinya. Adapun framework makro-strategi

dari Kumaravedivelu sendiri secara garis besar berisi 10 makro-strategi yang

dapat dikembangkan ke dalam berbagai mikro-trategi sesuai dengan keinginan

pengajar. Framework ini akan dijabarkan dengan lebih rinci pada bagian

selanjutnya.

Di lain pihak, Richards & Rogers (2006) cenderung lebih netral dan

pragmatis dalam menyuarakan pendapat mereka mengenai era method dan post-

method. Dengan terlebih dahulu membahas tuntas berbagai metode yang telah

ada, mereka memberikan pemahaman bahwa setiap metode tersebut memiliki

karakteristik masing-masing yang menggambarkan kelebihan dan juga

kekurangannya. Setelahnya, walaupun mereka secara jelas memaparkan beberapa

kritikan yang ditujukan pada methods, Richards dan Rogers tidak berpendapat

bahwa methods harus dianggap telah mati. Menurut keduanya, jalan keluar untuk

mengatasi permasalahan dalam pemelajaran bahasa asing yang sangat context-

specific adalah dengan memodifikasi berbagai metode yang ada sesuai dengan

kebutuhan pemelajaran yang dihadapi pengajar. Oleh sebab itu, Richards dan

Rogers mendukung tetap diberikannya pengetahuan mengenai methods kepada

para pengajar baru. Menurut mereka selain sebagai dasar dalam menciptakan

metode sendiri, pengetahuan mengenai methods ini juga akan memberikan

gambaran pedagogis maupun sistematis dalam praktik pengajaran yang akan

membuat mereka merasa memiliki pegangan dalam mengajar setidaknya dalam

saat-saat di awal karir mereka. Pendapat ini senada dengan pandangan Liu (2004)
5

dalam multidimensional theoritical framework yang sejatinya masih

menggunakan methods namun dengan perspectif baru yang lebih luas dan terbuka.

Hal ini senada dengan pandangan Bell (2007) dalam artikelnya yang

dimaksudkan sebagai counter-argument terhadap pandangan post-method dan

juga sekilas dalam artikelnya mengenai perbandingan method dan post-method

(2003). Dalam artikel tersebut Bell mempertanyakan dasar pemikiran post method

era dengan mengumpulkan data berupa pendapat sejumlah pengajar mengenai

methods dan seperti apa mereka memandang serta menggunakan metode dalam

proses belajar mengajar mereka selama ini. Dari penelitian Bell tersebut terlihat

bahwa sebagian besar pengajar tetap menggunakan metode yang telah ada secara

eclectic atau disesuaikan dengan konteks pemelajaran yang mereka hadapi. Hal

ini, menurut Bell, juga membuktikan bahwa para ahli post-method telah

meremehkan peran dan kemampuan pengajar untk menjadi kreator dalam proses

pemelajaran. Faktanya, para pemelajar tersebut mampu merancang sendiri metode

yang paling tepat untuk konteks masing-masing dengan tetap mengacu pada

beberapa metode yang telah terbentuk sebelumnya.

Waters (2009) di sisi lain menggambarkan pandangannya mengenai era

post-method dengan cara yang unik menggunakan analogi sebuah pulau yang

disebutnya methodologia. Hal yang menonjol dalam pandangan Waters adalah

sikap netralnya terhadap perkembangan mutakhir dalam dunia pemelajaran bahasa

asing yaitu konsep post-method. Menurutnya hal tersebut merupakan angin

perubahan yang memang akan selalu berhembus dan membuat pemelajaran

bahasa asing menjadi dinamis. Selain itu, Waters juga menyorot fenomena adanya

rasa kecurigaan antara para ahli dalam bidang pemelajaran bahasa asing yang
6

selalu merasa paling benar dengan teorinya sendiri dan kerap saling menjatuhkan

satu sama lain, seperti yang terlihat antara kelompok pro-methods dan post-

methods. Dalam kacamata Waters, hal tersebut semata-mata disebabkan oleh

kecenderungan mereka untuk tidak menjelajahi keseluruhan pulau methodologia

sehingga tidak mampu melihatnya secara utuh melainkan hanya berdasarkan hal-

hal yang dikethauinya yang sebenarnya baru sebagian kecil dari keseluruhan

konsep methods itu sendiri.

Munculnya era post-method merupakan konsekuensi logis dari proses

pencarian metode sempurna yang telah dimulai lebih dari setengah abad yang lalu.

Seperti yang diutarakan Rajagopalan (2008), proses tersebut marupakan sebuah

siklus yang pada akhirnya akan kembali titik awal dimana tidak ada metode sama

sekali. Dalam pandangan saya pribadi, kedua kelompok ini, baik yang

mengatakan bahwa method telah mati maupun yang meyakini bahwa method tetap

dapat digunakan dengan beberapa penyesuaian, sama-sama memiliki dasar

pemikiran yang logis. Selain itu, pada dasarnya kedua konsep tersebut tidak lah

seberbeda yang mungkin kita pikirkan. Berbagai framework yang digadang-

gadang sebagai produk pemikiran post-method pada dasarnya merupakan

pengembangan dari berbagai teori dan konsep yang telah ada sebelumnya.

Lebih jauh lagi, sikap para tokoh dari dua aliran pemikiran ini terkesan

sangat ego-sentris dari sudut pandang pihak ketiga yang membaca konsep

keduanya. Di satu sisi, Bell menuduh pencetus post-method meremehkan peran

dan kemampuan pengajar padahal dalam framework eksploratori Alwright jelas-

jelas terlihat bagaiamana ia memandang tinggi terhadap peran dan kemampuan

pengajar tersebut. Di sisi lain, kalangan post-method terkesan memiliki pandangan


7

yang terlalu sempit mengenai method dan penggunaannya dalam kelas

pemelajaran bahas asing, padahal dari penelitian Bell terungkap bahwa para

pengajar pun memandang method secara lebih luas dan penggunaannya pun

sangat beragam.

Perdebatan antara kalangan method dan post-method adalah hal yang

lumrah dalam dunia akademis. Namun terjebak dalam perdebatan dan perbedaan

pendapat yang tidak berujung tentunya tidak akan memberikan kontribusi apapun

pada bidang ini. Oleh sebab itu, method maupun post-method, hal terpenting yang

harus disadari ahli maupun praktisi pemelajaran bahasa asing adalah bahwa

pemelajaran bahasa asing merupakan proses yang sangat kontekstual. Hal ini

otomatis menutup kemungkianan adanya sebuah metode tunggal dengan filosofi

yang spesifik dan prosedur kelas yang dapat digunakan secara seragam di setiap

situasi pemelajaran. Adapun begitu, method tersebut tetap dapat digunakan selama

penggunaannya didasarkan pada situasi spesifik yang ada.

Istilah metode dan pendekatan saling tumpang tindih. Ketimpangan ini

berawal dari kemunculan istilah pendekatan yang juga menandakan datangnya era

post-method. Hal ini dapat diamati melalui perkembangan metodemetode yang

ditulis oleh Waters (2009) dalam jurnalnya. Dia membahas perkembangan

metode-metode secara khusus dengan nuansa kota yang dinamakan Methodsville.

Kota ini disebut sebagai kota bersejarah yang terdiri dari berbagai macam metode,

mulai dari yang paling tradisional seperti GTM, ALM, dsb. hingga yang paling

terkini seperti CLT. Karena keluwesan dan komposisinya yang beragam, CLT

justru dianggap lebih tepat disebut pendekatan daripada metode (Waters, 2009;

Luc & Gruca, 2002). Dari sini, beberapa pakar mulai mempertanyakan apakah
8

metode masih layak untuk diterapkan sehingga mereka hanya perlu fokus

terhadap pendekatan. Keraguan ini akhirnya mengantarkan mereka ke dalam era

post-method yang digagas oleh Kumaravadivelu (2006). Selama era pasca

metode, Kumaravadivelu (2006) mendefinisikan metode menjadi dua bagian;

metode yang dibuat oleh pakar dan metode yang digunakan oleh guru di dalam

kelas. Dikotomi tersebut hadir dikarenakan banyak guru yang mengaku

menerapkan metode tertentu namun pada prakteknya tidak sesuai dengan konsep

dasar metode tersebut. Oleh karena itu, untuk membedakannya, Kumaravadivelu

(2006) menggunakan istilah metode untuk para pakar dan metodologi untuk para

guru. Dia juga membuat beberapa kategori metode lain berdasarkan fokusnya

seperti language-centered methods, learners-centered methods, dan learning-

centered methods.

Di samping itu, kritik demi kritik terus muncul karena ketidakpuasan para

peneliti terhadap metode. Mereka mendeklarasikan bahwa tidak ada metode

terbaik, bahkan mereka memprovokasi bahwa metode sudah mati. Hal ini terjadi

karena keterbatasan konsep metode itu sendiri. Metode yang selalu berkembang

melahirkan metode baru, pada kenyataannya, semua itu hanya berasal atau meniru

prinsip-prinsip metode yang sudah ada. Mitos-mitos mengenai metode sebagai

suatu hal yang terbaik, netral, dan universal, pada dasarnya banyak yang tidak

sesuai dengan apa yang terjadi di dalam kelas. Maka wajar apabila

Kumaravadivelu (2003) membahas apa yang disebut post-method condition.

Diantaranya dia mengutarakan bahwa post-method condition adalah kondisi

pencarian alternatif atas metode, an alternative to method, bukan mencari metode

alternatif. Yang dimaksud dengan alternatif atas metode, guru memproduksi


9

sendiri apa yang akan dia gunakan di dalam kelas, bukan yang datang dari

pembuat metode (pakar). Oleh sebab itu, dia juga membuat istilah Professional’s

theory dan Personal’s theory.

“A professional theory is a theory which is created and perpetuated within the

professional culture. … A personal theory, on the other hand, is an individual theory unique

to each person, which is individually developed through the experience of putting

professional theories to the test in the practical situation.” (Kumaravadivelu, 2003)

Berangkat dari kondisi post-method, dia mengurai apa yang disebut post-

method pedagogy yang dimaknai sebagai pedagogi bahasa yang memecahkan

keterbatasan pendidikan berdasarkan metode (method-based pedagogy). Peran

guru di dalam post-method condition salah satunya adalah sebagai intelektual

transformatif, istilah yang digagas oleh Giroux dan dikutip oleh Kumaravadivelu

(2003). Dengan kata lain, guru bukan sebagai operator/teknisi/konsumen dari

metode-metode. Mereka tidak hanya mengajarkan pengetahuan dan kemampuan

sosial kepada siswa, melainkan juga bagaimana siswa, sebagai agen kritis, dapat

merubah realitas sosial yang ada. Tujuan pendidikan bagi guru yang intelektual

transformatif seperti guru yang mengacu kepada pemikiran Freire (2008), yaitu

mengubah masyarakat. Artinya pendidikan bukan untuk menjinakkan tetapi

memerdekakan. Secara otomatis, seorang guru harus memahami,

mengidentifikasi, serta menginterpretasi pengalaman mengajar mereka untuk

membuat teori mereka sendiri. Hal ini dikenal dengan istilah Sense of Plausibility

yang harus dimiliki guru (Kumaravadivelu, 2006). Sayangnya, berdasarkan

penelitian Bell (2007), mayoritas guru yang diteliti, ketika berbicara mengenai

metode, selalu mengaitkan kepada teknik. Sedangkan sisanya mengacu kepada

definisi yang digagas para akademisi. Jarang sekali yang memandang metode
10

sebagaimana yang diutarakan Bell (2007), “Method is a way of arriving to one’s

teaching goal, method is a manner inwhich a system is implemented to complete a

specific task—a method applies to a structured idea that a teacher follows—

combining theory and practice that best suits their learners’ needs.” Selain itu,

ketika mereka ditanya mengenai perbedaan antara metode dan pendekatan, 10 dari

30 guru menjawab tidak membedakan keduanya, 11 guru setuju dengan Richards

& Rodgers, dan 9 guru menganggap konsep pendekatan lebih luas.

Dari hasil penelitian Bell (2007), dapat ditarik kesimpulan bahwa guru-

guru tersebut masih tidak bisa membedakan metode dan teknik, metode dan

pendekatan, serta tidak bisa lepas dari metode. Mereka masih menganggap

metode sebagai sumber potensial untuk memecahkan persoalan di dalam kelas

sebagaimana istilah Rajagopalan (2008) “from madness in methods to methods in

madness”. Akibatnya, tidak sedikit dari mereka yang masih mengaitkan

pengajarannya dan menyamakan post-methodology dengan eklektisme. Padahal

Widdowson dalam Kumaravadivelu (2003) mengatakan, “If by eclectism is meant

the random and expedient use of whatever techniques comes most readily to hand,

then it has no merit whatever.” Maka, tidak heran apabila kita melihat banyak

guru-guru yang kaku dan kurang memperhatikan kebutuhan murid. Guru yang

seperti ini menurut Tan Malaka (1921) sebagai guru yang “mabuk metode” karena

tidak bisa membiarkan siswa untuk mencari jalannya sendiri. Memandang

masalah ini, Bell (2007) mengatakan, “I think that teachers should be exposed to

all methods and they themselves would ‘build’ their own methods (personal’s

theory –tambahan penulis) or decide what principles they would use in their
11

teaching.” Lalu pertanyaannya, sudahkah kita sebagai guru mengenal dan

melibatkan diri dengan semua metode??


12

REFERENSI

Bell, D. M. 2003. Method and Postmethod: Are they Really so Incompatible?.

TESOL QUARTERLY Vol. 37, No. 2, Summer 2003

Bell, D. M. (2007). Do teachers think that methods are dead?. ELT Journal

Vol.61.

Freire, Paulo. (2008). Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta. Pustaka LP3ES

Indonesia.

Kumaravadivelu, B. (2003). Beyond Methods Macrostrategies for Language

Teaching. US. Yale University Press.

Kumaravadivelu, B. (2006). TESOL Methods: Changing Tracks Challenging

Trends. TESOL QUARTERLY Vol.40 No.1.

Liu, Jun. 2004. Methods in the post-methods era Report on an international survey

on Language teaching methods. International Journal of English Studies.

Vol. 4 (I), 2004, pp. 137-152

Luc, Jean-Pierre. Isabelle Gruca. (2002). Cours de didactique du français langue

étrangère et seconde. Grenoble. Presses Universitaires de Grenoble.

Malaka, Tan. (1921). SI Semarang dan Onderwijs. Yayasan Massa terbitan 1987.

Marchand, Frank. dkk. (1972). Le Français à l’École Élémentaire. Paris. Larousse

Rajagopalan, Kanavillil. (2008). From madness in methods to methods in

madness. ELT Journal Vol.62.

Richards, J. C. dan Rogers, T.S. 2001. Approaches and Methods in Language

Teaching. Cambridge: Cambridge University Press.


13

Richards, J. C. Theodore S. Rodgers. (2014). Approaches and Methods in

Language Teaching Third Edition. UK. Cambridge University Press.

Waters, Alan. (2009). A Guide to Methodologia: past, present, and future. ELT

Journal Volume 63/2.

Anda mungkin juga menyukai