Anda di halaman 1dari 11

Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia 2015 ISSN

Sustainable Energy and Mineral Processing for National Competitiveness


Yogyakarta, 12-13 Oktober 2015

Performance of Tubular Reactor for Producing Biodiesel by


Transesterification Reaction
Dayu Dian Perwatasari and Tirto Prakoso*

Chemical Engineering Study Program, Faculty of Industrial Technology, Institut Teknologi Bandung,
Jalan Ganesha 10, Bandung, Indonesia *Corresponding Author : tirto@che.itb.ac.id

Abstract
Biodiesel dari fatty acid methyl ester (FAME) adalah bahan bakar alternatif terbarukan yang dapat diproduksi
dari minyak nabati atau lemak hewani. Transesterifikasi adalah metode yang paling umum untuk memproduksi
biodiesel yang merupakan reaksi antara lipid dan alkohol dengan adanya katalis untuk membentuk ester dan
gliserol. Proses ini biasanya dilakukan dalam batch.

Penelitian ini difokuskan untuk mengatasi kelemahan dari sistem operasi batch dengan merancang reaktor terus
menerus manifold reactor pipa menggunakan plug flow reactor (PFR) sebagai dasar untuk desain awal, sebagai
kapal untuk melakukan reaksi transesterifikasi dengan RBDPO (Refined Bleached) Minyak Kelapa Sawit
Kering) sebagai bahan baku. Selain itu, pengaruh kondisi operasi yang terdiri dari panjang reaktor, laju aliran
total reaktan, rasio molar metanol terhadap minyak, suhu reaksi dan konsentrasi katalis pada konversi juga
diselidiki.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa reaktor pipa kontinyu dirancang dan dioperasikan pada kondisi optimal
yang terdiri dari laju alir total reaktan 9,83 ml / menit, rasio molar metanol terhadap minyak 12: 1, suhu reaksi
63 ° C, dan konsentrasi katalis 2,25% - b minyak pada panjang reaktor 300, 420, dan 1020 cm mampu
menghasilkan reaksi dengan konversi tinggi yaitu produk dengan tingkat ester di kisaran 95-97% untuk
biodiesel sesaat setelah meninggalkan reaktor dan dalam kisaran 99,4 -99,5% untuk biodiesel mengalami
langkah pemurnian. Kualitas biodiesel setelah pemurnian juga memenuhi standar kualitas ISO 7182: 2012
dalam nilai viskositas dan kepadatan kinematik pada 40 ° C yang berada dalam kisaran 2,3-6,0 mm2 / s untuk
viskositas dan 850-890 kg / m3 untuk kepadatan.
Keywords : biodiesel, transesterification, continuous reactor, tubular reactor

1. Introduction
Biodiesel didefinisikan sebagai bahan bakar yang terdiri dari ester monoalkil rantai panjang yang berasal dari
minyak nabati atau lemak hewani (Okullo et al., 2012). Bahan bakar alternatif terbarukan ini menunjukkan sifat
dan karakteristik yang mirip dengan diesel konvensional (petrodiesel). Karena kesamaan ini, biodiesel dapat
digunakan sebagai pengganti bahan bakar diesel atau lebih umum digunakan sebagai mixer bahan bakar yang
dapat digunakan dalam berbagai mesin pengapian kompresi tanpa banyak modifikasi (Lee et al., 2011).

Di Indonesia, penggunaan biodiesel sebagai campuran bahan bakar juga didukung melalui Peraturan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral No. 25 Tahun 2013 yang ditargetkan pada Januari 2016, sebanyak 20%
biodiesel harus dalam campuran petrodiesel untuk digunakan di sektor transportasi dan sebanyak 30% biodiesel
harus dalam campuran petrodiesel untuk digunakan di sektor pembangkit listrik.

Apalagi penggunaan biodiesel sebagai campuran bahan bakar juga memiliki banyak keunggulan. Penggunaan
biodiesel juga berpotensi mengurangi ketergantungan negara pada bahan bakar diesel impor. Sementara itu,
dalam hal lingkungan, biodiesel adalah CO2 netral, yang berarti membakar biodiesel, tidak menambah
konsentrasi CO2 bersih di udara sehingga tidak berkontribusi terhadap pemanasan global. Biodiesel juga
biodegradable, tidak mengandung sulfur, dan memiliki efek pelumasan yang lebih baik daripada petrodiesel
(Kiss et al., 2008). Keuntungan lain adalah nilai angka setana dan titik nyala biodiesel lebih tinggi dari
petrodiesel sehingga dapat memberikan kinerja mesin yang lebih baik serta kondisi yang lebih aman dalam hal
penyimpanan dan transportasi daripada petrodiesel (Kaewta, 2008).

Saat ini biodiesel umumnya diproduksi melalui metode transesterifikasi yang merupakan reaksi antara
trigliserida dan alkohol rantai pendek dengan bantuan keberadaan katalis untuk membentuk ester dan gliserol.
Metode ini umumna dilakukan dalam sistem batch. Phermpeansin (2011) menemukan itu
Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia 2015 ISSN
Sustainable Energy and Mineral Processing for National Competitiveness
Yogyakarta, 12-13 Oktober 2015

sistem batch memiliki beberapa kelemahan seperti membutuhkan ukuran reaktor yang besar,
membutuhkan ruang yang besar, mengkonsumsi energi dalam jumlah besar untuk keperluan pengadukan,
dan membutuhkan biaya yang cukup tinggi untuk operasinya. Selain itu, kualitas produk yang diproduksi
di setiap batch reaktor terkadang tidak seragam.

Studi tentang proses produksi biodiesel melalui reaksi transesterifikasi menggunakan sistem kontinu
dilakukan sebagai upaya untuk menemukan cara mengatasi kelemahan yang dimiliki oleh sistem operasi
batch. Tujuan dari konversi sistem batch menjadi sistem kontinu adalah untuk mengurangi waktu tinggal
dan volume reaktor untuk meningkatkan nilai ekonomi dari proses yang terjadi.

Reaktor yang dibangun dalam penelitian ini berjenis reaktor tubular kontinu menggunakan tipe reaktor
aliran plug (PFR) sebagai dasar untuk desain awal. Menurut Foon et al. (2004) reaksi transesterifikasi
diklasifikasikan ke dalam reaksi non-orde dua urutan kedua sehingga penggunaan reaktor tipe PFR akan
lebih efisien dalam hal volume reaktor yang diperlukan untuk mendapatkan tingkat konversi yang sama
dibandingkan dengan penggunaan reaktor tipe CSTR.

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak kelapa sawit yang telah mengalami
proses pemurnian dan dikenal sebagai Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO). Pemilihan
minyak sawit sebagai proses bahan baku berdasarkan ketersediaannya yang sangat tinggi di Indonesia.
Indonesia adalah produsen CPO terbesar di dunia. Produksi CPO Indonesia meningkat dari tahun ke
tahun dan mencapai jumlah 23.521.071 ton pada tahun 2012.

Penggunaan sistem operasi berkelanjutan dalam proses produksi biodiesel menjadi sangat penting sebagai
upaya untuk mendapatkan proses yang lebih efisien dan ekonomis. Oleh karena itu, studi tentang dimensi
reaktor dan kondisi proses optimal yang cocok untuk digunakan dalam reaktor kontinu diperlukan untuk
menghasilkan biodiesel dengan tingkat konversi yang tinggi dan memenuhi standar kualitas yang berlaku.

2. Methodology

Langkah-langkah penelitian yang dilakukan meliputi desain reaktor kontinu, produksi biodiesel pada berbagai
kondisi operasi, analisis biodiesel yang dihasilkan, dan penentuan kondisi operasi yang optimal.
2.1 Peralatan dan Bahan

Bahan baku yang digunakan untuk produksi biodiesel adalah Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO)
yang mewakili trigliserida; metanol; dan KOH sebagai katalis basa homogen. Peralatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah seperangkat reaktor tubular kontinu untuk reaksi transesterifikasi dengan diameter internal
± 4 mm dan memiliki tiga keran keluaran, yang masing-masing mewakili panjang reaktor 300, 420, dan 1020
cm. Reaktor dirancang untuk membentuk struktur spiral dan ditempatkan terendam dalam penangas air sebagai
alat untuk mengontrol suhu reaksi. Peralatan lain yang digunakan adalah peralatan untuk analisis yang terdiri
dari buret, motor pengaduk, pipet volumetrik, dan peralatan gelas seperti tabung gelas, gelas gelas, gelas ukur,
dan tabung erlenmeyer. Skema reaktor tubular kontinu yang digunakan disajikan pada Gambar 2.1. Skema
reaktor di waterbath ditunjukkan pada Gambar 2.2

Figure 2.1 Schematic diagram of continuous tubular reactor


Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia 2015 ISSN
Sustainable Energy and Mineral Processing for National Competitiveness
Yogyakarta, 12-13 Oktober 2015

2.2 Analysis
Analisis biodiesel yang dihasilkan terdiri dari analisis kadar gliserol total dan bebas. Nilai yang
diperoleh kemudian digunakan untuk menghitung nilai kandungan gliserol terikat sebagai nilai yang
mewakili jumlah komponen yang tidak dikonversi dalam reaksi. Kondisi operasi yang menghasilkan
nilai terendah total dan kandungan gliserol terikat untuk setiap variasi kondisi yang ditetapkan sebagai
kondisi optimal. Analisis kandungan gliserol (total, bebas dan terikat), konten ester, viskositas
kinematik dan kepadatan pada 40 ° C kemudian dilakukan pada biodiesel yang dihasilkan dari kondisi
optimal untuk menentukan konversi yang dihasilkan dan kualitas..

Figure 2.2 Reactor schematic diagram in the waterbath

2.3 Variation of Experiment Conditions


Variabel yang bervariasi adalah panjang reaktor, laju aliran total reaktan, rasio molar metanol terhadap minyak,
suhu reaksi dan konsentrasi katalis. Variabel yang dijaga konstan adalah jenis bahan baku yang digunakan.
Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 2.3

Reactor design

Biodiesel production through transesterification reaction with RBDPO as raw material and
using 1.25% -w oil KOH at a reaction temperature of 60°C. Various operation condition
used were: Reactor length : L1 = 300 cm, L2 = 420 cm, L3 = 1020 cm
Total flow rate of reactans : Q1= 9,83; Q2= 18,86; Q3= 32,04 ml/minute
Molar ratio methanol to oil 6:1, 9:1 and 12:1
Biodiesel production using the optimum variation of reactor length, total flow rate of reactans, and molar
ratio methanol to oil. Various operation condition used were:
Reaction temperature: : T1 = 50°C, T2 = 60°C, T3 = 70°C and T4 = 75°C
Catalyst concentration: C1 = 0,75; C2 = 1,25; C3 = 1,75; and C4 = 2,25%--w oil

Total glycerol Free glycerol Bound glycerol


analysis analysis calculation

Optimum operation condition determination

Quality analysis of biodiesel produced at


optimum operation condition

Figure 2.3 Experimental flow diagram


Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia 2015 ISSN
Sustainable Energy and Mineral Processing for National Competitiveness
Yogyakarta, 12-13 Oktober 2015

3. Result and Discussion


Kinerja reaktor yang dirancang dalam penelitian ini terlihat dari konversi menuju biodiesel yang
dicapai yang diwakili oleh nilai kandungan gliserol yang terikat biodiesel. Produk reaksi dalam bentuk
biodiesel dianalisis untuk mengukur nilai total gliserol dan konten gliserol bebas. Data yang diperoleh
selanjutnya diproses untuk menentukan nilai kandungan gliserol yang diikat.

Nilai kandungan gliserol terikat adalah salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menganalisis
konversi trigliserida menjadi biodiesel yang diperoleh. Hal ini karena jumlah trigliserida dan produk
antara dalam bentuk dan digliserida dan monogliserida yang tidak dikonversi menjadi metil ester
(biodiesel) dalam reaksi pembentukan biodiesel tercermin melalui nilai% -w dari kandungan gliserol
terikat biodiesel. Semakin kecil nilai kandungan gliserol yang terikat biodiesel, semakin tinggi
konversi menjadi metil ester. Persyaratan kualitas biodiesel berdasarkan ISO 7182: 2012 adalah
memiliki kandungan gliserol total maksimum 0,24% -w dan konten gliserol bebas maksimum 0,02% -
w atau dengan kata lain, biodiesel memiliki kandungan gliserol terikat maksimum 0,22% -w.

Nilai kandungan gliserol dalam biodiesel dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
kesempurnaan reaksi pembentukan biodiesel dan proses pemurnian biodiesel (leaching). Sejalan
dengan tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui kondisi operasi optimal yang dapat diterapkan
pada reaktor yang dirancang untuk mendapatkan tingkat konversi yang tinggi menjadi biodiesel, maka
dalam penelitian ini, proses pencucian biodiesel dilakukan dengan larutan asam. Tujuannya adalah
untuk menghentikan reaksi transesterifikasi tak lama setelah biodiesel meninggalkan reaktor serta
untuk mengurangi risiko kehilangan kandungan gliserol karena proses pemurnian ketika pencucian
multi-tahap dengan air dilakukan. Sehingga diharapkan bahwa nilai kandungan gliserol yang
diperoleh akan benar-benar mewakili kandungan gliserol dalam biodiesel segera setelah meninggalkan
reaktor.

3.1 Pengaruh panjang reaktor dan waktu tinggal

Menurut Hayyan et al. (2008), hasil reaksi transesterifikasi akan meningkat dengan meningkatnya
waktu tinggal zat tersebut. Waktu tinggal yang cukup diperlukan oleh reaktan untuk bereaksi untuk
mencapai keseimbangan. Dalam reaktor yang digunakan, dengan nilai konstan diameter penampang
reaktor dan laju aliran reaktan, durasi waktu tinggal dipengaruhi oleh panjang reaktor itu sendiri. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa nilai terendah dari kandungan gliserol terikat dalam biodiesel
diperoleh ketika reaksi dilakukan pada panjang reaktor 1020 cm, baik untuk reaksi dengan
perbandingan molar metanol dan minyak 6: 1; 9: 1; dan 12: 1. Semakin rendah nilai kandungan
gliserol terikat menunjukkan konversi biodiesel yang lebih tinggi menjadi metil ester yang diperoleh
dalam reaksi. Nilai kandungan gliserol yang terikat biodiesel dalam berbagai panjang reaktor dapat
dilihat pada Gambar 3.1.

0.350
Bound Glycerol (%-w)

0.300

0.250 ratio 6:1


ratio 9:1
0.200
ratio 12:1
0.150
200 400 600 800 1000 1200
Reactor Length (cm)

Figure 3.1 Values of biodiesel bound glycerol content in various reactor


3.2 Pengaruh laju aliran total dan rasio molar metanol terhadap minyak

Salah satu faktor yang harus dipertimbangkan dalam penggunaan reaktor tubular adalah laju aliran dalam
reaktor. Laju aliran yang terlalu tinggi akan menghasilkan waktu tinggal yang terlalu pendek yang dapat
menyebabkan reaksi ketidaksempurnaan. Sementara itu, laju aliran yang terlalu lambat akan
menyebabkan pembentukan aliran laminar di reaktor sehingga aliran turbulen tidak terbentuk. Akibatnya,
campuran larutan reaksi yang seragam tidak akan
Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia 2015 ISSN
Sustainable Energy and Mineral Processing for National Competitiveness
Yogyakarta, 12-13 Oktober 2015

diproduksi. Kondisi ini akan menyebabkan penurunan tingkat konversi biodiesel (Pengmei et al.,
2010). Oleh karena itu, reaksi perlu dilakukan pada waktu tinggal yang optimal dan kondisi
pengadukan yang optimal. Kedua hal ini dapat diperoleh dari penggunaan laju alir optimal reaktan
dalam reaktor. Gambar 3.2. menunjukkan nilai kandungan gliserol terikat biodiesel pada nilai yang
berbeda dari laju aliran total dan rasio molar metanol terhadap minyak.
0.350
Bound Glycerol (%-w)

0.300

0.250 9,83 ml/min


18,86 ml/min
0.200
32,04 ml/min
0.150
6:1 9:1 12:1
Molar Ratio of Methanol to Oil

Figure 3.2 The value of biodiesel bound glycerol content at different values of
the total flow rate and the molar ratio of methanol to oil

Secara umum, Gambar 3.2. menunjukkan bahwa peningkatan laju aliran total 9,83 menjadi 18,86 ml /
menit akan mengurangi kadar kadar gliserol terikat dari biodiesel yang dihasilkan dalam reaksi
menggunakan metanol dengan minyak rasio molar 6: 1 dan 9: 1. Namun, jika laju aliran total meningkat
lagi menjadi 32,04 ml / menit, nilai kandungan biodiesel total gliserol meningkat menjadi> 0,3% -w di
seluruh rasio variasi. Nilai ini di atas nilai batas maksimum yang diizinkan yaitu sebesar 0,24% -w.

Penurunan kadar kandungan gliserol ketika peningkatan pertama dalam laju aliran dapat disebabkan oleh
peningkatan nilai jumlah aliran Reynolds, sehingga efek pencampuran menjadi sedikit lebih baik dan
reaksi menjadi lebih sempurna. Namun, pada perbandingan 6: 1 dan 9: 1 nilai dari total dan kandungan
gliserol yang terikat masih belum memenuhi standar kualitas biodiesel. Ketika laju aliran ditingkatkan
lagi, hal yang terjadi adalah penurunan nilai kandungan biodiesel gliserol. Ini terjadi karena waktu tinggal
zat menjadi sangat pendek walaupun efek pencampuran menjadi lebih baik, sehingga reaksi belum
sempat mencapai kesetimbangan.

Kombinasi kondisi reaksi yang terdiri dari laju aliran total reaktan dan rasio molar metanol terhadap
minyak yang dapat menghasilkan biodiesel dengan kandungan gliserol yang memenuhi standar kualitas
berada di bawah kondisi laju alir 9,83 ml / menit dan rasio 12: 1. Dalam kondisi ini, biodiesel yang
diperoleh sudah

nilai total kandungan gliserol 0,209% -w dan konten gliserol terikat 0,203% -w.
3.3 Pengaruh suhu reaksi

0.270

0.250
Glycerol (%-w)

0.230
Total
0.210
Bound
0.190 Total max limit
0.170 Bound max limit

0.150
45 55 65 75 85
Temperature (˚C)
Figure 3.3 The value of total and bound glycerol contents of biodiesel produced at various reaction temperatures
Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia 2015 ISSN
Sustainable Energy and Mineral Processing for National Competitiveness
Yogyakarta, 12-13 Oktober 2015

Gambar 3.3. menunjukkan nilai kandungan gliserol total dan terikat dari biodiesel yang diproduksi pada
berbagai suhu reaksi. Dapat dilihat pada grafik bahwa di bawah titik didih metanol pada 64,7 ° C, kenaikan suhu
akan mengakibatkan penurunan kadar biodiesel gliserol total dan terikat, yang berarti reaksi berjalan lebih
sempurna dan konversi menjadi metil ester menjadi lebih baik.

Nilai kandungan biodiesel gliserol mulai memenuhi standar kualitas yang disyaratkan sejak dioperasikan pada
titik didih> 55 ° C. Setelah melewati titik didih metanol, suhu yang naik pada awalnya menyebabkan penurunan
kadar kandungan biodiesel gliserol. Namun, reaksi yang berjalan pada suhu di atas 70 ° C menunjukkan
peningkatan nilai kandungan biodiesel gliserol yang berarti konversi menjadi metil ester menurun.

Peningkatan suhu akan menyebabkan peningkatan laju reaksi. Namun, suhu yang terlalu tinggi dapat
menurunkan hasil reaksi karena suhu tinggi dapat memicu reaksi saponifikasi. Temperatur reaksi di atas titik
didih metanol akan mengubah metanol menjadi fase gas, sehingga reaksi yang terjadi dalam reaktor berada
dalam sistem dua fase, metanol dalam fase gas dan trigliserida dalam fase cair. Dalam sistem dua fase,
hambatan reaksi menjadi lebih besar karena dipengaruhi oleh peristiwa perpindahan massa yang dapat
menyebabkan penurunan konversi reaksi.

3.4 Pengaruh konsentrasi katalis

Salah satu kondisi terjadinya reaksi transesterifikasi adalah adanya katalis dalam reaksi. Kuworno dan Ahiekpor
(2010) berpendapat bahwa semakin tinggi konsentrasi katalis, semakin tinggi tingkat konversi dapat dicapai.
Pengaruh konsentrasi katalis pada kandungan total dan terikat gliserol biodiesel dapat dilihat pada Gambar 3.4.

0.220
0.215
0.210
Glycerol (%-w)

0.205
0.200
Total
0.195
0.190 Bound
0.185
0.180
0 0.5 1 1.5 2 2.5
Catalyst Concentration (%-w oil)

Figure 3.4 Effect of catalyst concentration on total and bound glycerol


contents of biodiesel

Gambar 3.4. menunjukkan bahwa penggunaan konsentrasi katalis dalam kisaran 0,75-2,25% -w minyak
pada reaksi transesterifikasi dengan kondisi suhu 60 ° C dan laju aliran total ± 9,83 ml / menit akan
menghasilkan biodiesel dengan nilai kandungan gliserol <0,24 % (memenuhi standar kualitas yang
berlaku). Hal lain yang dapat disimpulkan bahwa peningkatan konsentrasi katalis dalam reaksi akan
mengurangi nilai total gliserol dan konten gliserol terikat. Tetapi peningkatan konsentrasi dalam kisaran
0,75-1,75% -w minyak hanya menunjukkan sedikit penurunan nilai konten biodiesel gliserol.

Sementara itu, ketika konsentrasi katalis meningkat hingga 2,25% -w minyak, akan ada penurunan yang
signifikan dalam nilai total dan kandungan gliserol terikat dibandingkan dengan kisaran sebelumnya,
mencapai nilai akhir 0,191 dan 0,184% -w untuk konsentrasi konten gliserol total dan terikat masing-
masing.
3.5 The optimum process conditions
Berdasarkan data yang dikumpulkan sebelumnya, kondisi proses optimal yang dipilih adalah laju alir 9,83 mL /
mnt, rasio molar metanol terhadap minyak 12: 1 dan konsentrasi katalis 2,25% sebagai kondisi proses yang
dapat menghasilkan biodiesel dengan level terendah. gliserol. Sementara itu, yang dipilih
Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia 2015 ISSN
Sustainable Energy and Mineral Processing for National Competitiveness
Yogyakarta, 12-13 Oktober 2015

suhu reaksi optimal adalah pada nilai 63 ° C karena suhu masih di bawah titik didih metanol sehingga dapat
mencegah segala rintangan perpindahan massa karena sistem reaksi dua fase dan masih dapat menghasilkan
biodiesel dengan kadar gliserol yang memenuhi peraturan kualitas standar.

Biodiesel yang dihasilkan kemudian dicuci dengan dua cara. Cara pertama adalah mengaduk sampel dengan
larutan asam sitrat 0,1 N sampai mencapai pH netral seperti yang dilakukan dalam pengambilan sampel pada
data sebelumnya. Cara kedua adalah pencucian biasa yang biasanya diterapkan pada tahap pemurnian biodiesel
dalam bentuk pencucian multi-tahap dengan air hingga mencapai pH netral, diikuti dengan proses pengeringan.
Nilai kandungan gliserol total dan terikat biodiesel yang diproduksi dalam kondisi optimal dengan berbagai nilai
panjang reaktor disajikan pada Gambar 3.5.

0.250
0.230
0.210
0.190
Glycerol (%-w)

0.170 T1
0.150
0.130 B1
0.110 T2
0.090
B2
0.070
0.050
200 400 600 800 1000 1200
Reactor Length (cm)

Note: T1 = Total glycerol content with acid washing, B1 = Bound glycerol content with acid washing
T2 = Total glycerol content with common washing, B2 = Bound glycerol content with common washing

Figure 3.5 Nilai kandungan gliserol total dan terikat biodiesel


diproduksi dalam kondisi optimal dengan berbagai nilai panjang reaktor

Dapat dilihat pada grafik bahwa semua produk biodiesel diproduksi dalam reaktor dengan panjang 300, 420, dan
1020 cm segera setelah meninggalkan reaktor (mengalami pencucian asam) dan setelah tahap pemurnian
memiliki kandungan gliserol total dan gliserol terikat. yang memenuhi standar kualitas ISO 7182: 2012 yang
masing-masing kurang dari 0,24% -w dan 0,22% -w.

Namun, nilai kandungan gliserol biodiesel yang sedang menjalani proses pemurnian dengan pelindian multi-
tahap lebih rendah dari pada pelindian asam yang dialami. Ini sesuai dengan nilai kadar ester biodiesel pada
pencucian biasa yang lebih tinggi dari pada pencucian asam.

Tahap pemurnian yang terdiri dari pencucian multi-tahap dengan air dan pengeringan mampu mengurangi
kandungan gliserol dalam biodiesel karena baik gliserol, monogliserida, digliserida dan trigliserida yang tidak
bereaksi akan larut dalam air yang memiliki sifat kutub. Demikian pula dengan apa yang terjadi dengan metanol
dan KOH. Hal ini menyebabkan biodiesel yang diproduksi akan memiliki kadar ester yang lebih tinggi (tidak
banyak terkontaminasi dengan senyawa lain).

Namun, biodiesel dengan pelindian asam mewakili kondisi biodiesel segera setelah meninggalkan reaktor, juga
memiliki nilai kadar ester yang cukup tinggi, yaitu berada di kisaran 95-97%. Setelah tahap pemurnian, nilai ini
meningkat di kisaran 99,4 hingga 99,5% -w. Nilai ini memenuhi persyaratan kualitas yang berlaku yaitu> 96,5%
-w dan berlaku untuk semua panjang reaktor yang ada.

Hasil analisis kualitas biodiesel setelah langkah pemurnian yang terdiri dari viskositas dan kepadatan kinematik
pada 40 ° C seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.1. juga menunjukkan nilai yang memenuhi persyaratan
kualitas yang berlaku yang berada dalam kisaran 2,3 hingga 6,0 mm2 / s untuk viskositas dan 850-890 kg / m3
untuk kepadatan.
Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia 2015 ISSN
Sustainable Energy and Mineral Processing for National Competitiveness
Yogyakarta, 12-13 Oktober 2015

Tabel 3.1 The results of biodiesel quality analysis after the purification

Reactor Length Residence Time Viscocity Density


No (cm) (minute) (mm2/s) (kg/m3)
1 300 3.79 3.26 855.8
2 420 5.31 3.16 857.3
3 1020 12.89 3.22 859.0

4. Conclusions
Reaktor tubular kontinyu yang dirancang dengan diameter internal 4 mm dan panjang 1020 cm dapat digunakan
untuk menghasilkan biodiesel dengan tingkat ester tinggi melalui reaksi transesterifikasi. Kondisi proses optimal yang
cocok untuk reaktor ini adalah laju alir 9,83 mL / menit, perbandingan molar metanol dengan minyak 12: 1,
konsentrasi katalis 2,25%, dan suhu reaksi optimum 63 ° C. Dalam kondisi ini, biodiesel yang diproduksi yang
kemudian menjalani proses pemurnian mampu memenuhi standar kualitas yang berlaku dalam nilai kandungan
gliserol, tingkat ester, viskositas kinematik dan kepadatan pada 40 ° C.
REFERENCES
A. A. Kiss, A. C. Dimian, G. Rothenberg. 2008. Biodiesel by catalytic reactive distillation powered by
metal oxides. Energy Fuel. 22(1), 598–604.
Foon, C. S., May, C. Y., Ngan, M. A., Hock, C. C. 2004. Kinetics study on transesterification of palm
oil. Journal of Palm Oil Research. 16(2), 19-29.
Hayyan, A., Alam, M. Z., Kabbashi, N. A., Mirghani, M. E. S., Siran, Y. M., Hakimi, N. I. N. M.
2008. Pretreatment of sludge palm oil (SPO) for biodiesel production by esterification.
Proceedings of Symposium of Malaysian Chemical Engineers (SOMchE), Malaysia. 485-490.
Kaewta, S. 2008. Biodiesel production from high free fatty acid feedstock, PhD dissertation, Clemson
University.
Kuworno, D. K., Ahiekpor, J. C. 2010. Optimization of factors affecting the production of biodiesel
from crude palm kernel oil and ethanol. International Journal of Energy and Environment. 1(4),
675-682.
Okullo, A., Temu, A. K., Ntalikwa, J. W. 2012. Transeterification Reaction Kinetics Jatropha Oil for
Biodiesel Production. Second International Conference Advances in Engineering and
Technology. 221-227.
Pengmei, L., Lianhua, L., Weiwei, L., Zhenhong, Y. 2007. Biodiesel Production from High Acidified
Oil through Solid Acid Catalyst and Plug Flow Reactor. Proceedings at ISES Solar World
Congress: Solar Energy and Human Settlement. 2405-2408.
Phermpeansin, T., Laosiripojana, N. 2011. Design of continuous biodiesel production in a plug flow
reactor with static mixer. The joint graduate school of energy and environment, King
Mongkut’s University of Technology Thonburi, Bangkok.
S. B. Lee, J. D. Lee, I. K. Hong. 2011. Ultrasonic energy effect on vegetable oil based biodiesel
synthetic process, Journal of Industrial ang Engineering Chemistry. 17(1), 138-143.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai