Anda di halaman 1dari 9

KARYA TULIS ILMIAH

AKROMEGALI DAN GIGANTISME

DI KOTA PEKANBARU

Oleh:

ANDRI AGUSTIANDI

1708113707
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

JURUSAN KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU

PEKANBARU

2019
1. Definisi

Gigantisme merujuk kepada keadaan tinggi badan berdiri lebih dari 2


standar deviasi dari rata-rata sesuai dengan jenis kelamin, usia, dan stadium
Tanner. Pertumbuhan linear yang abnormal karena aksi Insulin-like Growth
Factor-I (IGF-I)/GH menyebabkan gigantisme ketika lempeng pertumbuhan
epifiseal terbuka saat masa kanak-kanak, ketika pubertas muncul akan diikuti
dengan perubahan akromegalik yang progresif menyebabkan akromegalik
gigantisme. Ketika onset penyakit muncul setelah penutupan epifiseal, hanya
akromegali yang timbul

Akromegali berasal dari istilah Yunani yaitu akron (ekstremitas)


danmegale (besar), yang didasarkan atas salahsatu temuan klinis akromegali,
yaitu pembesaran tangan dankaki. Sebagian besar (98%) kasus akromegali
disebabkan olehtumor hipofisis. Gejala klinis yang dijumpai pada
pasienakromegali disebabkan oleh massa tumor dan hipersekresihormon
pertumbuhan (growth hormone) yangterjadi setelahlempeng peftrmbuhan
tulang menutup.

2. Epidemiologi

Angka prepalensi akromegali diperkirakan mencapai 70 kasus dari satu


juta penduduk, sementara angka kejadianakromegali diperkirakan mencapai
3-4 kasus setiap tahunnyadari satu juta penduduk. Usia rerata pasien yang
terdiagnosis akromegali adalah 40-45 tahun.

3. Etiologi

3.1. Pituitary Tumor

Pada 95% kasus, peningkatan kadar hormon pertumbuhan disebabkan


oleh tumor hipofisis, biasanya berupa microadenoma jinak dari kelenjar
hipofisis.

3.2. Non-Pituitary Tumor


Tumor pada kelenjar adrenal, paru dan pankreas juga dijumpai sebagai
penyebab dari akromegali dan gigantisme. Tumor tersebut mensekresikan
Growth Hormone Releasing Hormone (GH-RH).

Peningkatan dari Hormon Pertumbhan menstimulasi Insulin-like Growth


Factor-1 (IGF-1). peningkatan IGF-1 menstimulasi peningkatan pertumbuhan
dari jaringan tubuh.

4. Patofisiologi

Tumor hipofisis anterior akan menimbulkan efek massaterhadap struktur


sekitarnya. Gejala klinis yang sering ditemukan adalah sakit kepala dan
gangguan penglihatan.Pembesaran ukuran tumor akan menyebabkan
timbulnyakeluhan sakit kepala, dan penekanan pada kiasma optikum akan
menyebabkan gangguan penglihatan dan penyempitanlapang pandang. Selain
itu, penekanan pada daerah otaklainnya juga dapat menimbulkan kejang,
hemiparesis, dangangguan kepribadian. 35. Pada akromegali dapat terjadi
hipersekresi maupunpenekanan sekresi hormon yang dihasilkan oleh hipofisis
anterior.

Hiperprolaktinemia dijumpai pada 30% kasus sebagaiakibat dari


penekanan tangkai atau histopatologi tumor tipecampuran. Selain itu, dapat
terjadi hipopituitari akibat penekanan massa hipofisis yang normal oleh massa
tumor.

Hipenekresi hormon pefiumbuhan dapat menimbulkan berbagai macam


perubahan metabolik dan sistemik, sepertipembengkakan jaringan lunak
akibat peningkatan deposisiglikosaminoglikan serta retensi cairandan natrium
oleh ginjal,perhunbuhan tulang yan gberlebihan, misalnya pada tulangwajah
dan ekstremitas, kelemahan tendon dan ligamen sendi,penebalan jaringan
kartilago sendi dan jningan fibrosa periartikular, osteoartritis, serta
peningkatan aktivitas kelenjarkeringat dan sebasea.

Hormon pertumbuhan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan


organ dalam dan metabolik. Pembesaran organ dalam (organomegali)
seringkali ditemukan. Padajantrng terjadi hipertrofi keduaventrikel. Retensi
cairan dannatrium akan menyebabkan peningkatan volume plasrna dan
berperanan dalam terjadinya hipertensi pada pasien akromegali. Selain itu,
efek kontra hormon pertumbuhanterhadap kerja insulin di jaringan hati
maupun perifer dapat menyebabkan toleransi glukosa terganggu (15%) ,
gangguan glukosa darah puasa ( 19%), dan diabetes melitus (20%). Efek
tersebut diperkirakan terjadi melalui peningkatan produksidan ambilan asam
lemak bebas. Resistensi insulin terjadiakibat peningkatan massa jaringan
lemak, pentrunan leanbody mass, serta gangguan aktivitas fisik, Gangguan
kerja enzim trigliserida lipase dan lipoprotein lipase di hati akanmenyebabkan
hipertrigliseridemia.

Perubahan juga dapat terjadipada saluran napas atas,seperti pembesaran


sinus paranasal dan penebalan pita suara.Selain itu, lidah dapat membesar dan
massa jaringan lunakdi daerah saluran napas atas bertambah, sehingga
menyebabkan terjadinya gangguan tidur (sleep apnoe).

Pada pasien akromegal ijuga dapat terjadi hiperkalsiuri, hiperkalsemia,


dan nefrolitiasis, yang disebabkan olehstimulasi enzim l-alfa-hidroksilase,
sehingga meningkatkankadar vitamin D, yang akan meningkatkan absorbsi
kalsium.

Pada jaringan saraf dapat terjadi neuropati motorik dansensorik.


Neuropati yang terjadi diperburuk oleh kondisi hiperglikemia yang sering
ditemukan pada pasien akromegali .Edema pada sinovium sendi pergelangan
tangan danpertumbuhan tendon dapat menyebabkan sindromterowongan
karpal (carpal tunnel syndrome)

5. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis akromegali yang muncul perlahan selama


bertahun-tahun menyebabkan terdapatnya rentang waktu yang lama antara
diagnosis dengan waktu timbulnya gejala untuk pertama kali, yaitu berkisar
antara 5-32 tahun. Pada hampir 70% kasus saat diagnosis akromegali
ditegakkan, ukuran tumor telah mencapai >10 mm (makro-adenoma).
Penekanan terhadap kiasma optikum terjadi pada70-73% kasus

Manifestasi klinis yang ditemukan bervariasi dari sekedar pembesaran


akral, pembengkakan jaringan lunak, hingga terjadinya osteoartritis, diabetes
mellitus, dan hipertensi. Dari seri kasus empat pasien akromegali di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo, didapatkan manifestasi klinis berupa sakit
kepala, pembesaran akral, serta perubahan maksilofasial. Keempat kasus
tersebut disebabkan oleh makroadenoma dengan ukuran diameter terbesar
antara 25-34 mm. Penyakit penyerta yang ditemukan adalah hipertensi
(tigapasien), diabetes mellitus (dua pasien), sertastroke (satu orang).

6. Tata Laksana

Pasien akromegali memiliki angka mortalitas dan morbiditas dua hingga


empatkali lebih tinggi dibandingkan populasi normal. Thta laksana yang
adekuat dapat menurunkan angka mortalitas tersebut. Tujuan tata laksana
pasien akromegali adalah mengendalikan pertumbuhan massa tumor,
menghambat sekresi hormon pertumbuhan, dan normalisasi kadar IGF-I.

Terdapat tiga modalitas terapi yangdapat dilalnrkan pada kasus


akromegali, yaitu pembedahan, medikamentosa dan radioterapi (Tabel 2).
Masing-masing modalitas memiliki keuntungan dan kelemahan, tetapi
kombinasi berbagai modalitas yang ada dlharapkan dapat menghasilkan tata
laksana yang optimal.

6.1. Pembedahan

Tindakan pembedahan diharapkan dapat mengangkat seluruh massa


tumor sehingga kendali terhadap sekresi hormon perturnbuhan dapat tercapai.
Tindakan ini menjadi pilihan pada pasien dengan keluhan yang timbul akibat
kompresi tumor. Ukuran tumor sebelum pembedahan mempengaruhi angka
keberhasilanterapi. Pada pasien dengan mikroadenoma (rikuran trmor <1 0
mm), angka normalimsi IGFI mencapai 75-95o/oka*ts, sementara pada
makroadenoma angfua normalisasi hormonal lebih renda[ yaitr 40-68%.
Selain ukuran tumor faktor lain yang menenfitkan keberhasilan tindakan
operasi adalah pengalaman dokter bedah dan kadar hormon sebelum operasi.
Teknik pembedahan yang kini dikerjakan di Indcnesia adalah transfenoid per
endoskopi. Teknik tersebut memiliki keunggulan dalam visualisasi lapangan
operasi serta angka kesakitan yang lebih rendah dibanding dengan teknik per
mikroskopik. Tidak semua kasus akromegali dapat diatasi hanya dengan
pembedahan.Padakeadaan ini dapat dipilih terapi alternatif yaitu kombinasi
terapi bedah debulking dengan terapi medikamentosa atau radioterapi pasca
pembedahan. Tata laksana medikamentosajuga dapat menjadi pilihan pertama
pada kasus tersebut.

6.2. Medikamentosa

Terapi medikamentosa pada akromegali terdiri atas tiga golongan, yakni


agonis dopamin, analog somatostatin, dan agonis hormon pertumbuhan.

Dopamin agonis terdiri atas bromokriptin dan cabergaline. Monoterapi


dengan cabergoline memiliki efektifitas antara 10-30% dalam menormalisasi
kadar IGF-I.

Analog somatostatin bekerja menyerupai hormon somatostatin yaitu


menghambat sekresi hormon perhrmbuhan. Obat golongan ini memiliki
efektivitas sekitar 70% dalam menormalisasi kadar IGF-I dan hormon
perhrmbuhan. Efektivitasnya yang tinggi menjadikan obat golongan analog
somatostatin sebagai pilihan pertama dalam terapi medikamentosa.

Antagonis reseptor hormon pertumbuhan merupakan kelas baru dalam


terapi medikamentosa akromegali. Obat golongan ini direkomendasikan pada
kazus akromegali yang tidak dapat dikontrol dengan terapi pembedahan,
pemberian agonis dopamin, maupun analog somatostatin. Antagonis reseptor
hormon pertumbuhan dapat menormalisasi kadar IGF-I pada 90% pasien.

6.3. Radioterapi

Radioterapi umumnya tidak digunakan sebagai terapi lini pertama pada


kasus akromegali, karena lamanya rentang waktu tercapainya terapi efektif
sejak pertama kaii dimulai. Radioterapi konvensional dengan dosis terbagi
memerlukan waktu 10-20 tahun untuk mencapai terapi yang efektif,
sementara beberapa teknik radioterapi yang baru, yaitu gamma knife, proton
beam, linac stereotactic radiotherapy dapat memberikan remisi yang lebih
cepat. Studi yang menilai efektivitas stereotactic radiotherapy terhadap para
pasien yang tidak berhasil dengan radioterapi konvensional memperlihatkan
penurunan kadar IGF-I sebesar 38% dua tahun pasc aterapi. Saat ini di
Indonesia modalitas stereotactic radiotherapy telah digunakan pada kasus
akromegali.

6.4. Pemantauan Terapi

Pemantauan reqpon biokimiawi terapi dilakukan dengan memeriksa kadar


hormon pertumbuhan dan IGF-I. Pemeriksaan kadar hormon pertumbuhan
setelah pembebanan glukosa lebih baik dibandingkan pemeriksaan kadar
hormon sewaktu. Umumnya pemeriksaan tersebut dilakukan 3-6 bulan setelah
pembedahan. Kendali biokimiawi didefinisikan sebagai kadar hormon
pertumbuhan <1,0 ng/ml setelah pembebanan glukosa, dan kadar IGF-I yang
normal.

Pemeriksaan MRI pascaoperasi umumnya dilakukan 3-4 bulan kemudian.


Pada pasien yang menjalani terapi medikamentosa pemeriksaan MRI
dilalilkan setiap 3-4 bulan setelah terapi dimulai. Pemeriksaan hormon
hipofisis dilakukan segera setelah terapi pembedahan untuk mengevaluasi
preservasi fungsi hipofisis serta terjadinya insufisiensi adrenal. Pada pasien
yang menjalani terapi medikamentosa, pemeriksaan hormon hipofisis lainnya
dilalskan sesuai penilaian klinis.
Daftar Pustaka

Syafril, Santi, Steffie S. Solin. 2016. Akromegali dan Gigantisme.


http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/62929 [Diakses 7 Februari
2019].

Cahyanur, Rahmat, Pradana Soewondo. 2010. Akromegali. Jurnal Kedokteran


Indonesia 60(6) : 279-284.

Adigun, Oluwaseun. 2018. Acromegaly.


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK431086/ [Diakses 7 Februari 2019].

Eugster, Erica. 2018. Gigantism.


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK279155// [Diakses 7 Februari 2019]

Daphne T Adelman, et al. 2013. Acromegaly: the disease, its impact on patients,
and managing the burden of long-term treatment. Internation Jurnal of
General Medicine 6 : 31-38

Anda mungkin juga menyukai