Anda di halaman 1dari 43

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN DIAGNOSA

MEDIS ADHF YANG MENGALAMI HIPERVOLEMIA


DI RUANG IRNA 2 RUMAH SAKIT UNIVERSITAS AIRLANGGA

Oleh:
Kelompok 19
1. Meidina Dewati
2. Dyah Pudya Haningtyas
3. Ayu Septia Malinda
4. Riris Medawati
5. Cintya Della Widyanata
6. Endah Sri Wijayanti

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
2019

i
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Seminar Kasus Stase Kebutuhan Dasar Manusia

Ruang Irna 2 RS Universitas Airlangga

Periode 1 Tanggal 12 Agustus – 24 Agustus 2019

Pembimbing Akademik

Linga Curnia Dewi, S.Kep.,Ns.,M.Kep


NIP. 199012162018083201

Pembimbing Klinik

Nissa Aruming Sila, S.Kep.,Ns., M.Kep


NIP. 197010231994032003

Kepala Ruangan

Nissa Aruming Sila, S.Kep., Ns., M.Kep


NIP. 195806141980031010

ii
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan seminar kasus Keperawatan Dasar Program Studi Pendidikan Profesi
(P3N) angkatan 2015 Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya di
Ruang Irna 2 RS Universitas Airlangga Surabaya yang dilaksanakan pada periode
12 - 24 Agustus 2019 telah dilaksanakan sebagai laporan seminar kasus atas nama:

1 Dyah Pudya H., S.Kep 131511133002


2 Meidina Dewati, S.Kep 131511133003
3 Ayu Septia Malinda, S.Kep 131511133004
4 Riris Medawati., S.Kep 131511133005
5 Cintya Della W., S.Kep 131511133007
6 Endah Sri Wijayanti, S.Kep

Surabaya, 25 Agustus 2019

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

Lingga Curnia Dewi, S.Kep.,Ns.,M.Kep Nissa Aruming Sila, S.Kep.,Ns., M.Kep

NIP. 199012162018083201 NIP. 197010231994032003

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
Seminar Kasus mengenai “Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Diagnosa Medis
ADHF Yang Mengalami Hipervolemia Di Ruang Irna 2 Rumah Sakit Universitas
Airlangga”.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami,
sehingga makalah Seminar Kasus dapat terselesaikan tepat waktu. Ucapan terima kasih
kami ucapkan kepada:
1. Lingga Curnia Dewi, S.Kep., Ns., M.Kep.
2. Nisa Aruming Sila, S.Kep.,Ns.,M.Kep.
3. Dr. Andri Setiya Wahyudi S.Kep., Ns., M.Kep.
4. Lailatun Nimah, S.Kep., Ns., M.Kep.
Harapannya makalah ini dapat memberikan ilmu bagi insan keperawatan untuk
memberikan Asuhan Keperawatan. Sebagai penulis kami menyadari bahwa masih ada
kekurangan dari penampilan dan penyajian makalah ini, oleh karena itu, kami
menginginkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Kami berharap
makalah yang kami susun dapat bermanfaat bagi setiap pembaca.

Surabaya, 25 Agustus 2019

Penyusun

v
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ....................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii

BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 3

1.3 Tujuan ............................................................................................................. 3

1.3.1 Tujuan Umum ....................................................................................... 3

1.3.2 Tujuan Khusus ...................................................................................... 3

1.4 Manfaat ........................................................................................................... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 4

2.1 Definisi ADHF.............................................................................................. 4

2.2 Etiologi ADHF.............................................................................................. 4

2.3 Klasifikasi ADHF ......................................................................................... 5

2.4 Manifestasi Klinis ADHF ............................................................................ 5

2.5 Patofisiologi ADHF ...................................................................................... 6

2.6 Pemeriksaan Penunjang ADHF .................................................................... 8

2.7 Penatalaksanaan ADHF ................................................................................ 9

2.8 Definisi Hipervolemia .................................................................................. 13

2.9 Etiologi Hipervolemia .................................................................................. 13

2.10 Klasifikasi Hipervolemia ............................................................................ 13

2.11 Manifestasi Klinis Hipervolemia ................................................................ 13

vi
2.12 Patofisiologi Hipervolemia ......................................................................... 14

2.13 Penatalaksanaan Hipervolemia ................................................................... 15

BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN KASUS ................................................ 16

BAB 4 PEMBAHASAN .................................................................................... 29

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 35

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 36

vi
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gagal jantung akut menurut European Society of Cardiology (ESC), merupakan
istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan kondisi kegagalan fungsi jantung dengan
awitan yang cepat maupun perburukan dari gejala dan tanda dari gagal jantung (McMurray
et al, 2012). ADHF (Acute Decompensated Heart Failure) atau disebut juga dengan gagal
jantung akut merupakan kegagalan jantung untuk memompa cukup darah untuk mencukupi
kebutuhan tubuh, dan terjadi penurunan kemampuan kontraktilitas yang berakibat pada
penurunan fungsi pompa jantung. Kondisi Cardiac Output yang tidak cukup terjadi karena
kehilangan darah atau beberapa proses yang terkait dengan kembalinya darah ke jantung
(Tabrani, 1988; Price 1995). Hal ini merupakan kondisi yang mengancam jiwa dan
memerlukan perhatian medis yang segera dan biasanya berujung pada hospitalisasi
(Gheorghiade dan Pang, 2009). Pada sebagian besar kasus, gagal jantung akut terjadi sebagai
akibat perburukan pada pasien yang telah terdiagnosis dengan gagal jantung sebelumnya
(baik gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang rendah/ heart failure with reduced ejection
fraction (HF-REF), maupun pada gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang masih baik/ heart
failure with preserved ejection fraction (HF-PEF) (McMurray et al, 2012).
Berdasarkan diagnosis dokter prevalensi penyakit gagal jantung di Indonesia tahun
2013 sebesar 0,13% atau diperkirakan sekitar 229.696 orang, sedangkan berdasarkan
diagnosis dokter/ gejala sebesar 0,3% atau diperkirakan sekitar 530.068 orang. Berdasarkan
diagnosis dokter, estimasi jumlah penderita penyakit gagal jantung terbanyak terdapat di
Provinsi Jawa Timur sebanyak 54.826 orang (0,19%), sedangkan Provinsi Maluku Utara
memiliki jumlah penderita paling sedikit, yaitu sebanyak 144 orang (0,02%). Berdasarkan
diagnosis/ gejala, estimasi jumlah penderita penyakit gagal jantung terbanyak terdapat di
Provinsi Jawa Barat sebanyak 96.487 orang (0,3%), sedangkan jumlah penderita paling
sedikit ditemukan di Provinsi Kep. Bangka Belitung, yaitu sebanyak 945 orang (0,1%).
ADHF dapat muncul pada orang yang sebelumnya menderita gagal jantung kronik
asimptomatik yang mengalami dekompensasi akut atau dapat juga terjadi pada
mereka yang tidak pernah mengalami gagal jantung sebelumnya. Etiologi ADHF dapat
bersumber dari kardiovaskuler maupun non kardiovaskuler. Etiologi ini beserta dengan
1
faktor presipitasi lainnya akan menimbulkan kelainan atau kerusakan pada jantung yang
diakibatkan oleh proses iskemia miokard atau hipertropi remodeling otot jantung atau
kerusakan katup jantung yang dapat menyebabkan disfungsi ventrikel sehingga terjadi
gangguan preload maupun afterload sehingga menurunkan curah jantung. Bila curah
jantung menurun, maka tubuh akan mengeluarkan mekanisme neurohormonal untuk
mengkompensasi penurunan curah jantung. Mekanisme ini melibatkan sistem
adrenergik, renin angiotensin dan aldosteron sehingga terjadi peningkatan tekanan darah
akibat vasokonstriksi arteriol dan retensi natrium dan air.
Pada individu dengan remodeling pada jantungnya, mekanisme kompensasi akan
menempatkannya pada keadaan gagal jantung asimptomatik dimana jantungnya telah
mengalami disfungsi terutama ventrikel tetapi masih bisa dikompensasi agar
tetap dapat mempertahankan metabolisme dalam tubuh. Tetapi bila telah mencapai
ambang batas kompensasi, maka mekanisme ini akan terdekompensasi sehingga
muncul gejala klinis tergantung dari ventrikel yang terkena sehingga muncul ADHF.
Proses remodeling maupun iskemia miokard akan menyebabkan kontraksi miokard
menurun dan tidak efektif untuk memompa darah. Hal ini akan menimbulkan penurunan
stroke volume dan akhirnya terjadi penurunan curah jantung. Penurunan kontraktilitas
miokard pada ventrikel kiri (apabila terjadi infark di daerah ventrikel kiri) akan
menyebabkan peningkatan beban ventrikel kiri. Hal ini disebabkan karena penurnan
kontraktilitas miokard disertai dengan peningkatan venous return (aliran balik vena). Hal
ini tentunya akan meningkatkan bendungan darah di paru –paru. Bendungan ini akan
menimbulkan transudasi cairan ke jaringan dan alveolus paru sehingga terjadilah oedema
paru. Oedema ini tentunya akan menimbulkan gangguan pertukaran gas di paru –paru.
Sedangkan apabila curah jantung menurun, maka secara fisiologis tubuh akan
melakukan kompensasi melalui perangsangan sistem adrenergik dan RAA untuk
mempertahankan curah jantung ke arah normal. Sehingga akan muncul masalah
keperawatan penurunan curah jantung.
Sedangkan apabila tubuh tidak mampu lagi melakukan kompensasi, maka
penurunan curah jantung akan memicu penurunan aliran darah ke jaringan berlanjut.
Apabila terjadi penurunan aliran darah ke ginjal,akan memicu retensi garam dan air oleh
sistem renin angiotensinaldosteron. Retensi ini akan menjadi lebih progresif karena tidak
diimbangi dengan peningkatan tekanan atrium kanan akibat proses dekompensasi, sehingga

2
terjadi kelebihan volume cairan yang berujung pada oedema perifer (Price, 1994).
Sehingga muncul masalah keperawatan hipervolemia.
Oleh karena permasalahan tersebut, makalah seminar kasus ini disusun agar perawat
mampu memahami dengan baik mengenai ADHF, serta mampu menerapkan asuhan
keperawatan yang tepat bagi klien dengan ADHF.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana tinjauan teori mengenai ADHF?
2. Bagaimana tinjauan teori mengenai hypervolemia?
3. Bagaimana Asuhan keperawatan pada klien dengan ADHF?
4. Bagaimana Asuhan keperawatan hipervolemia?
1.3 Tujuan Umum
Mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menerapkan asuhan keperawatan
pada ADHF dan hipervolemia
1.4 Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mampu menjelaskan teori mengenai ADHF
2. Mahasiswa mampu menjelaskan teori mengenai hipervolemia
3. Mahasiswa mampu menjelaskan Asuhan Keperawatan mengenai ADHF
4. Mahasiswa mampu menjelaskan Asuhan Keperawatan hypervolemia
1.5 Manfaat
1. Bagi Perawat
Mampu menerapkan tindakan atau rencana asuhan keperawatan pada klien
dengan Acute Decompensated Heart Failure (ADHF), dan Hipervolemia
2. Bagi Pasien dan Keluarga
Mengetahui proses terjadinya penyakit dan langkah-langkah penanganan
penyakit yang tepat

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi ADHF


Acute Decompensated Heart Failure (ADHF) merupakan gagal jantung akut yang
didefinisikan sebagai serangan yang cepat (rapid onset) dari gejala – gejala atau tanda –
tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Disfungsi ini dapat berupa disfungsi sistolik
maupun diastolik, abnormalitas irama jantung, atau ketidakseimbangan preload dan
afterload. ADHF dapat merupakan serangan baru tanpa kelainan jantung sebelumnya, atau
dapat merupakan dekompensasi dari gagal jantung kronik (chronic heart failure) yang telah
dialami sebelumnya. ADHF muncul bila cardiac output tidak dapat memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh. (Hanafiah, 2006).
ADHF merupakan perburukan gejala gagal jantung kronis, ditandai dengan sesak napas
yang makin memberat, edema tungkai, ortopnea, ronki basah halus; rontgen dada biasanya
normal. Dapat dibagi berdasarkan profil hemodinamiknya (perfusi-hangat, dingin dan
kongesti-basah, kering) (Ponikowski et al, 2016).
2.2 Etiologi
Penyebab umum terjadinya ADHF adalah kerusakan fungsional jantung dimana terjadi
kerusakan atau hilangnya otot jantung, iskemik akut dan kronik, peningkatan tahanan
vaskuler dengan hipertensi, atau berkembangnya takiaritmia seperti atrial fibrilasi (AF).
Penyakit jantung koroner yang merupakan penyebab penyakit miokard, menjadi penyebab
gagal jantung pada 70% dari pasien gagal jantung. Penyakit katup sekitar 10% dan
kardiomiopati sebanyak 10% (Ponikowski et al, 2016).
Kardiomiopati merupakan gangguan pada miokard dimana otot jantung secara struktur
dan fungsionalnya menjadi abnormal dengan ketiadaan penyakit jantung koroner,
hipertensi, penyakit katup, atau penyakit jantung kongenital lainnya] yang berperan
terjadinya abormalitas miokard (Dickstein K, Cohen SA, Filippatos G, McMurray JJV,
Ponikowski P, Atar D et al, 2008).
Menurut Hanafiah (2006), faktor resiko tinggi penyakit ADHF antara lain adalah :
a. Orang yang menderita riwayat hipertensi
b. Obesitas
c. Pernah mengalami riwayat gagal jantung

4
d. Perokok berat
e. Aktivitas sangat berlebihan dan mengkonsumsi alkohol
2.3 Klasifikasi
Gagal jantung diklasifikasikan menurut American College of Cardiology (ACC)
dan American Heart Association (AHA) 2008:
1. Stage A : Risiko tinggi gagal jantung, tetapi tanpa penyakit jantung struktural atau tanda
dan gejala gagal jantung. Pasien dalam stadium ini termasuk mereka yang mengidap
hipertensi, DM, sindroma metabolik, penyakit aterosklerosis atau obesitas.
2. Stage B : penyakit jantung struktural dengan disfungsi ventrikel kiri yang asimptomatis.
Pasien dalam stadium ini dapat mengalami LV remodeling, fraksi ejeksi LV rendah,
riwayat IMA sebelumnya, atau penyakit katup jantung asimptomatik.
3. Stage C : Gagal jantung simptomatis dengan tanda dan gejala gagal jantung saat ini atau
sebelumnya. Ditandai dengan penyakit jantung struktural, dyspnea, fatigue, dan
penurunan toleransi aktivitas.
4. Stage D : Gagal jantung simptomatis berat atau refrakter. Gejala dapat muncul saat
istirahat meski dengan terapi maksimal dan pasien memerlukan rawat inap.
5. Sedangkan menurut New York Heart Association (NYHA) dibagi menjadi 4 kelas
berdasarkan tanda dan gejala pasien, respon terapi dan status fungsional yaitu :
a) Functional Class I ( FC I ) : asimptomatik tanpa hambatan aktivitas fisik.
b) Functional Class II ( FC II ) : hambatan aktivitas fisik ringan, pasien merasa nyaman
saat istirahat tetapi mengalami gejala dyspnea, fatigue, palpitasi atau angina dengan
aktivitas biasa.
c) Functional Class III ( FC III ) : hambatan aktivitas fisik nyata, pasien merasa
nyaman saat istirahat tetapi mengalami gejala dyspnea, fatigue, palpitasi atau
angina dengan aktivitas biasa ringan.
d) Functional Class IV ( FC IV ) : ketidaknnyamanan saat melakukan aktivitas fisik
apapun, dan timbul gejala sesak pada aktivitas saat istirahat.
2.4 Manifestasi Klinis
Gejala utama ADHF antara lain sesak napas, konngesti, dan kelelahan yang sering
tidak spesifik untuk gagal jantung dan sirkulasi. Gejala – gejala ini juga dapat disebabkan
pleh kondisi lain yang mirip dengan gejala gagal jantung, komplikasi yang diidentifikasikan
pada pasien dengan gejala ini. variasi bentuk penyakit pulmonal termasuk pneumonia,

5
penyakit paru reaktif dan emboli pulmonal, mungkin sangat sulit untuk dibedakan secara
klinis dengan gagal jantung (Lindenfeld J, 2010).
Gambaran Klinis yang Gejala Tanda
Dominan
Edema perifer/ kongesti Sesak napas, kelelahan, Edema Perifer, peningkatan
Anoreksia vena jugularis, edema
pulmonal, hepatomegaly,
asites, overload cairan
(kongesti), kaheksia

Edema pulmonal Sesak napas yang berat saat Crackles atau rales pada paru-
istirahat paru bagian atas, efusi,
Takikardia, takipnea
Syok kardiogenik (low Konfusi, kelemahan, dingin Perfusi perifer yang buruk,
output syndrome) pada perifer Systolic Blood Pressure (SBP)
< 90mmHg, anuria atau oliguria
Tekanan darah tinggi Sesak napas Biasanya terjadi peningkatan
(gagal jantung tekanan darah, hipertrofi
hipertensif) ventrikel kiri
Gagal jantung kanan Sesak napas, kelelahan Bukti disfungsi ventrikel kanan,
peningkatan JVP, edema
perifer, hepatomegaly, kongesti
usus.

2.5 Patofisiologis
ADHF dapat muncul pada orang yang sebelumnya menderita gagal jantung kronik
asimptomatik yang mengalami dekompensasi akut atau dapat juga terjadi pada mereka yang
tidak pernah mengalami gagal jantung sebelumnya. Etiologi ADHF dapat bersumber dari
kardiovaskuler maupun non kardiovaskuler. Etiologi ini beserta dengan faktor presipitasi
lainnya akan menimbulkan kelainan atau kerusakan pada jantung yang diakibatkan oleh
proses iskemia miokard atau hipertropi remodeling otot jantung atau kerusakan katup
jantung yang dapat menyebabkan disfungsi ventrikel sehingga terjadi gangguan preload
maupun afterload sehingga menurunkan curah jantung (Price, 2005).

6
Bila curah jantung menurun, maka tubuh akan mengeluarkan mekanisme neurohormonal
untuk mengkompensasi penurunan curah jantung. Mekanisme ini melibatkan sistem
adrenergik, renin angiotensin dan aldosteron sehingga terjadi peningkatan tekanan darah
akibat vasokonstriksi arteriol dan retensi natrium dan air. Pada individu dengan remodeling
pada jantungnya, mekanisme kompensasi akan menempatkannya pada keadaan gagal
jantung asimptomatik dimana jantungnya telah mengalami disfungsi terutama ventrikel
tetapi masih bisa dikompensasi agar tetap dapat mempertahankan metabolisme dalam tubuh.
Tetapi bila telah mencapai ambang batas kompensasi, maka mekanisme ini akan
terdekompensasi sehingga muncul gejala klinis tergantung dari ventrikel yang terkena
sehingga muncul ADHF (Price, 2005).
Proses remodeling maupun iskemia miokard akan menyebabkan kontraksi miokard
menurun dan tidak efektif untuk memompa darah. Hal ini akan menimbulkan penurunan
stroke volume dan akhirnya terjadi penurunan curah jantung. Penurunan kontraktilitas
miokard pada ventrikel kiri (apabila terjadi infark di daerah ventrikel kiri) akan
menyebabkan peningkatan beban ventrikel kiri. Hal ini disebabkan karena penurnan
kontraktilitas miokard disertai dengan peningkatan venous return (aliran balik vena). Hal ini
tentunya akan meningkatkan bendungan darah di paru – paru. B endungan ini akan
menimbulkan transudasi cairan ke jaringan dan alveolus paru sehingga terjadilah oedema
paru. Oedema ini tentunya akan menimbulkan gangguan pertukaran gas di paru – paru
(Price, 2005).
Sedangkan apabila curah jantung menurun, maka secara fisiologis tubuh akan melakukan
kompensasi melalui perangsangan sistem adrenergik dan RAA untuk mempertahankan
curah jantung ke arah normal. Sedangkan apabila tubuh tidak mampu lagi melakukan
kompensasi, maka penurunan curah jantung akan memicu penurunan aliran darah ke
jaringan berlanjut. Apabila terjadi penurunan aliran darah ke ginjal, akan memicu retensi
garam dan air oleh sistem renin angiotensin aldosteron. Retensi ini akan menjadi lebih
progresif karena tidak diimbangi dengan peningkatan tekanan atrium kanan akibat proses
dekompensasi, sehingga terjadi kelebihan volume cairan yang berujung pada oedema perifer
(Price, 2005).
Sedangkan menurut Mc.Bride BF, White M, dalam Acute Decompensated Heart Failure:
Pathophysiology tahun 2010 patofisiologi ADHF yakni Ketidakmampuan dan kegagalan
jantung memompa darah secara langsung menciptakan suatu keadaan hipovolemik relatif

7
yang lebih dikenal dengan arterial underfilling. Selain itu respon terhadap faktor – faktor
neurohormonal (seperti sistem saraf simpatis, renin – angiotensin – aldosterone system,
arginine vasopressin dan endotelin – 1) menjadi teraktivasi untuk mempertahankan
euvolemia yang menyebabkan retensi cairan, vasokonstriksi, atau keduanya. Pada pasien
tanpa gagal jantung, respon ini untuk mengakhiri volume cairan yang telah dipertahakan
(Mc.Bride BF, White M, 2010)
Aktivasi neurohormonal juga menstimulasi aktivasi sitokin proinflamasi dan mediator –
mediator apoptosis miosit. Elevasi neurohormonal dan imunomodulator yang diamati pada
pasien dengan ADHF yang dikaitkan dengan perburukan gejala gagal jantung dan
perburukan prognosis pasien . Pada pasien dengan gagal jantung, aktivasi sistem saraf
simpatik mencegah terjadinya arterial underfilling yang meningkatkan cardiac output
sampai toleransi berkembang dengan dua mekanisme. Pertama, myocardial 1 –
receptor terpisah dari second messenger protein, yang mengurangi jumlah cyclic adenosine
5¸-monophosphate (cAMP) yang dibentuk untuk sejumlah interaksi reseptor ligan tertentu.
Kedua, mekanisme dephosphorylation menginternalisasi 1-reseptor dalam vesikula
sitoplasma di miosit tersebut.
Bahkan dengan latar belakang tingkat toleransi., peningkatan marker akut pada
katekolamin diamati di antara pasien dengan ADHF masih mengangkat cAMP miokard,
meningkatkan konsentrasi kalsium intraseluler dan tingkat metabolisme anaerobik. Hal ini
dapat meningkatkan risiko tachyarrhythmias ventrikel dan kematian sel terprogram. Selain
itu, overdrive simbol-menyedihkan menyebabkan ditingkatkan 1-reseptor rangsangan tidak
mengakibatkan toleransi dan meningkatkan derajat vasokonstriksi sistemik, meningkatkan
stres dinding miokard. Selanjutnya, peningkatan vasokonstriksi sistemik mengurangi tingkat
filtrasi glomerulus, sehingga memberikan kontribusi bagi aktivasi sistem renin angiotensin
aldosterone (Mc.Bride BF, White M, 2010)
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk kasus ADHF menurut Hanafiah (2006):
1. Laboratorium : (1) Hematologi : Hb, Ht, Leukosit. (2) Elektrolit : K, Na, Cl, Mg. (3)
Enzim Jantung (CK-MB , Troponin, LDH). (3) Gangguan fungsi ginjal dan hati : B UN,
Creatinin, Urine Lengkap, SGOT, SGPT. (4) Gula darah. (5) Kolesterol, trigliserida. (6)
Analisa Gas Darah

8
2. Elektrokardiografi, untuk melihat adanya : (1) Penyakit jantung koroner : iskemik,
infark. (2) Pembesaran jantung (LVH : Left Ventricular Hypertrophy). (3) Aritmia. (4)
Perikarditis.
3. Foto Rontgen Thoraks, untuk melihat adanya : (1) Edema alveolar. (2) Edema
interstitials. (3) Efusi pleura. (4) Pelebaran vena pulmonalis. (5) Pembesaran jantung.
(6) Echocardiogram menggambarkan ruang –ruang dan katup jantung. (7) Radionuklir.
(8)Mengevaluasi fungsi ventrikel kiri. (9) Mengidentifikasi kelainan fungsi miokard
4. Pemantauan Hemodinamika (Kateterisasi Arteri Pulmonal Multilumen) bertujuan
untuk : (1) Mengetahui tekanan dalam sirkulasi jantung dan paru. (2) Mengetahui
saturasi O2 di ruang-ruang jantung. (3) Biopsi endomiokarditis pada kelainan otot
jantung. (4) Meneliti elektrofisiologis pada aritmia ventrikel berat recurrent. (5)
Mengetahui beratnya lesi katup jantung. (6) Mengidentifikasi penyempitan arteri
koroner. (7) Angiografi ventrikel kiri (identifikasi hipokinetik, aneurisma ventrikel,
fungsi ventrikel kiri).(8) Arteriografi koroner (identifikasi lokasi stenosis arteri koroner
5. Echocardiogram - Menggambarkan ruang –ruang dan katup jantung.
2.7 Penatalaksanaan
Terapi untuk pasien acute decompensated heart failure tidak berubah secara signifikan
selama 30 tahun. Algoritma terhadap acute decompensated heart failure yang digunakan
untuk mengevaluasi diagnostik dan prognostik pasien dengan ADHF antara lain yaitu :

9
Gambar 1. Algoritma untuk stabilisasi awal pada acute decompensated heart failure di
instalasi gawat darurat dalam Kirk JD. Acute Decompensated Hheart Failure: Nnovel
Approaches To Cclassification Aand Treatment. Philadelphia: Departement of
Emergency Medicine University of Pennsylvania; 2004

Gambar 2. Algoritma penatalaksanaan pada Acute decompensated heart failure.


ADHF, acute decompensated heart failure; AJR, abdominal jugular reflex; BiPAP,bi-
level positive airway pressure; BNP, B-type natriuretic peptide; CI, cardiac index;
CPAP, continuous positive airway pressure; DOE, dyspnea on exertion;
HJR, hepatojugular reflex; JVD, jugular venous distention; PCWP, pulmonary capillary

10
wedge pressure; PND, paroxysmal nocturnal dyspnea; SBP, systolic blood pressure;
SCr, serum creatinine; SOB, shortness of breath; SVR, systemic vascular resistance.

BP Blood pressure; D5W Dextrose 5% in water; ECG Electrocardiogram; IV


Intravenous; SBP Systolic blood pressure
Gambar 3. Pilihan pengobatan pasien dengan acute decompensated heart failure dalam
Cclassification Aand Treatment. Philadelphia: Departement of Emergency Medicine
University of Pennsylvania; 2004.

11
Penatalaksanan untuk kasus ADHF menurut Hanafiah (2006):
1. Tujuan dasar penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung adalah :
a. Mendukung istirahat untuk mengurangi beban kerja jantung.
b. Meningkatkan kekuatan dan efisiensi kontraksi jantung dengan bahan- bahan
farmakologis
c. Menghilangkan penimbunan cairan tubuh berlebihan dengan terapi diuretik ,
diet dan istirahat.
d. Menghilangkan faktor pencetus ( anemia, aritmia, atau masalah medis lainnya)
e. Menghilangkan penyakit yang mendasarinya baik secara medis maupun bedah.
2. Penatalaksanaan sesuai klasifikasi gagal jantung adalah sebagai berikut :
a. FC I: Non farmakologi
b. FC II & III: Diuretik, digitalis, ACE inhibitor, vasodilator, kombinasi diuretik,
digitalis.
c. FC IV: Kombinasi diuretik, digitalis, ACE inhibitor seumur hidup.
3. Terapi non farmakologis meliputi :
1) Diet rendah garam ( pembatasan natrium )
2) Pembatasan cairan
3) Mengurangi berat badan
4) Menghindari alkohol
5) Manajemen stress
6) Pengaturan aktivitas fisik
4. Terapi farmakologis meliputi :
a. Digitalis, untuk meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan memperlambat
frekuensi jantung. Misal : digoxin.
b. Diuretik, untuk memacu ekskresi natrium dan air melalui ginjal serta
mengurangi edema paru. Misal : furosemide ( lasix ).
c. Vasodilator, untuk mengurangi impedansi ( tekanan ) terhadap penyemburan
darah oleh ventrikel. Misal : natrium nitropusida, nitrogliserin.
d. Angiotensin Converting Enzyme inhibitor ( ACE inhibitor ) adalah agen yang
menghambat pembentukan angiotensin II sehingga menurunkan tekanan darah.
Obat ini juga menurunkan beban awal ( preload ) dan beban akhir ( afterload ).
Misal : captopril, quinapril, ramipril, enalapril, fosinopril,dll.

12
e. Inotropik ( Dopamin dan Dobutamin )
1) Dopamin digunakan untuk meningkatkan tekanan darah , curah jantung dan
produksi urine pada syok kardiogenik.
2) Dobutamin menstimulasi adrenoreseptor di jantung sehingga meningkatkan
kontraktilitas dan juga menyebabkan vasodilatasi sehingga mengakibatkan
penurunan tekanan darah. Dopamin dan dobutamin sering digunakan
bersamaan.
2.8 Definisi Hipervolemia
Kelebihan volume cairan atau hypervolemia merupakan perluasan isotonic dan CES
yang disebabkan oleh retensi air dan natrium yang diakibatkan oleh gagal jantung
kongestif (Brunner & Suddart, 2002). Jika kemampuan kontaktilitas jantung menurun
maka darah yang dipompa tiap kontriksi akan menurun sehingga menyebabkan
penurunan darah keseluruh tubuh (kasron, 2012). Hipervolemia merupakan salah satu
bentuk kelebihan volume cairan ekstrasel, khususnya intravaskular, melebihi kemampuan
tubuh mengeluarkan cairan. Keadaan ini mudah terjadi pada gangguan fungsi ginjal berat
(Siregar, 2006, dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata, Setiati, 2006).
2.9 Etiologi
Kelebihan volume cairan disebabkan oleh penurunan fungsi mekanisme
homeostatis, Gagal jantung kongestif, sirosis hepatis, dan gagal ginjal merupakan faktor
penyebab kelebihan volume cairan (Bunner & Suddart, 2002).
2.10 Klasifikasi
Penambahan berat badan merupakan tanda klasik terjadinya kelebihan cairan.
Penambahan berat badan 2% dari berat badan normal merupakan kelebihan volume
cairan ringan, 5% penambahan berart badan normal merupakan hipervolemi sedang, dan
8% merupakan hipervolemi berat (Kozier, Erb & Oliveri, 2004).
2.11 Manifestasi Klinis
Kelebihan volume jantung yang berlebihan akan menyebabkan edema perifer.
Edema perifer akan timbul masalah nokturia dimana vasokontriksi ginjal berkurang pada
waktu istirahat dan retribusi cairan dan absorbs pada waktu berbaring (Kasron, 2012).
Manifestasi hypervolemia meliputi maivestasi kardiovaskuler yaitu peningkatan tekanan
darah, tekanan nadi, distensi vena leher dan tangan, nadi yang penuh dan melompat,
distensi vena jugularis, waktu pengisian vena perifer (CRT) yang melambat hingga lebih

13
dari 5 detik, dan penambahan berat badan. Kelebihan volume cairan dapat menimbulkan
gejala peningkatan freuensi nafas, dyspnea, adanya crackles pada auskultasi. Kelebihan
cairan yang berpindah ke jaringan visera menyebabkan pasien akan mengalami keluhan
seperti mual dan kembung. Kelebihan cairan yang mengenai sel-sel otak menyebabkan
pasien mengeluh sakit kepala, pusing, bingung, kelemahan otot, parathesis dan bisa
terjadi lethargi (Ignatavicius & Workman, 2006).
Kelebihan cairan juga akan mengencerkan konsentrasi zat terlarut yang ada. Pada
pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan penurunan osmolaritas plasma, penurunan
natrium plasma, hematokrit, berat jenis urine, BUN akibat pengenceran plasma (Black &
Hawks, 2005).
2.12 Patofisiologi
Edema diartikan sebagai akumulasi cairan di dalam ruang interstisial yang menimbulkan
tekanan positif. Jadi edema dapat timbul karena:
1. Peningkatan tekanan dalam kapiler
2. Penurunan tekanan osmotik
3. Peningkatan tekanan osmotic
Mekanisme yang sama yang menimbulkan edema di dalam ruang intenstisial dapat
menimbulkan pemngumpulan cairan pada ruang yang potensial, itu adalah ruang-ruang
diantara dua membran yang biassanya hanya terisi rembesan cairan. Ruang utma untuk
cairan adalah ruang intrapleural (dinding paru-paru dan dinding thorax). Pericardical
(jantung dan kandung jantung). Potensial (dinding usus dan dinding abdomen), dan
ruang-ruang sendi. Jumlah besar cairan juga berkumpul pada daerah trauma, luka bakar,
dan luka bedah. Bila cairan terkumpul secara tidak wajar pada salah satu ronggatersebut,
kondisi tersebut disebut pengantongan cairan ketiga.
Gejala-gejala pengumpulan cairan pada ruang-ruang tersebut biasanya akibat
tekanan cairan yang berkumpul terhadap organ atau struktur yang berhubungan. Jumlah
cairan yang banyak dapat terkumpul pada rongga peritoneal (acites). Cairannya
mengandung banyak protein dan elektrolit. Akumulasi cairan di dalam jumlah besar pada
seluruh jaringan tubuh disebut Anasarka. (Long, 1996 : 163).
Edema adalah penumpukkan cairan intertisial yang berlebihan. Edema dapat
terlokalisir (seperti pada inflamasi setempat dan abstruksi) atau generalisata (seluruh
tubuh), sehingga cairan interstisial tertimeun pada hampir semua jaringan tubuh. Edema

14
dapat timeul karena tekanan hidrostatik kapiler yang meningkat, tekanan osmotik koloid
yang menurun, permeabilitas kapiler yang meningkat atau obstruksi aliran limfatik.
Retensi natrium oleh ginjal yang menyebabkan edema terjadi melalui satu atau dua
mekanisme utama respon terhadap berkurangnya volume sirulasi efektif satu atau
difungsi ginjal primer. Volume sirkulasi efektif adalah istilah yang tak dapat terukur yang
mengacu pada cairan intravaskuler yang efektif berfungsi pada jaringan. Umumnya besar
volume ini berbanding lurus dengan crah jantung. Oeh karena itu, jika curah jantung
menurun, gunjal akan menahan natrium dan air dalam usahanya untuk memulihkan
volume sirkulasi. Penurunan dari volume sirkulsai efektif dianggap merupakan
mekanisme yang bertanggung jawab atas rentensi natrium oleh ginjal pada gagal jantung
kongesif, sirosis hati, dan sindrom nefrotik. Pada keadaan-keadaan tersebut, fungsi
ekskresi ginjal secara intrinsik normal, dan peningkatan reabsorsi diduga merupakan
akibat rangsangan sistem saraf simpatik dan sistem renin angrotensin-Aidosteron. Ginjal
bertindak seakan terjadi kekurangan volume cairan ECF yang sesungguhnya, dan
menahan natrium dan air meskipun terjadi penumpukkan cairan yang banyak pada
ruangan intersial.
Edema yang terjadi pada gagal ginjal lanjut merupakan akibat kerusakan intrinsik
dan fungsi ginjal. Keadaan lain yang disertai kelebihan volume cairan ekstraseluler adalah
sindrom custing atauterapi kortikosteroid diman aterjadi peningkatan aktivitas Al-
dosteron. Kelaparan yang menyebabkan edema. Pemberian larutan garam intravena
secara cepat juga dapat mengakibatkan hipervolemia (Price, 1995 : 307-308).
2.13 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan kelebihan volume cairan adalah dengan
pembatasan input cairan sekitar 1,5-2 liter/hari dan membatasi konsumsi garam (harbanu,
2007). Penanganan dan pencegahan hipervolemia dilakukan dengan terapi yang terdiri
atas terapi farmakologi, terapi nonfarmakologi dan terapi penggantian ginjal. Terapi
farmakologi yang umumnya diberikan adalah pemberian diuretik. Terapi nonfarmakologi
yang dilakukan adalah pembatasan asupan natrium untuk meminimalisasi retensi cairan
dan pembatasan asupan cairan untuk mengurangi retensi cairan lebih lanjut. Asupan
cairan harian yang dianjurkan hanya sebanyak “insensible water losses” ditambah jumlah
urin (Black & Hawks, 2005;). Pembatasan elektrolit yang perlu dilakukan adalah
pembatasan kalium dan natrium. Pembatasan kalium bertujuan untuk mencegah

15
hiperkalemia yang dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Pembatasan natrium
bertujuan untuk mengendalikan hipertensi dan hipervolemia.
Rumus IWL : IWL/jam 15x Berat Badan = ml/jam
Rumus Balance cairan : intake cairan – output cairan.
Intake : cairan / air masuk, makanan, air dan oksidasi.
Output : kehilangan tak kasat mata (kulit & paru), feses, urin. (Arif Rakhman, 2014).
Pengukuran dan penimbangan volume cairan yang terjadi dilakukan dengan menimbang
berat badan.

16
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. A


DENGAN DIAGNOSA MEDIS ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE (ADHF)
DENGAN DIAGNOSA KEPERAWATAN HIPERVOLEMIA
DI RUANG IRNA 2 RSUA

TANGGAL 12 AGUSTUS 2019

PENGKAJIAN
1. Identitas
a. Identitas Pasien
Nama : Tn. A
Umur : 40 Tahun
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Laki – laki
Status : Menikah
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Suku Bangsa : Indonesia
Alamat : Surabaya
Tanggal Masuk : 09 Agustus 2019
Tanggal Pengkajian : 12 Agustus 2019
No. Register : 0000126xxx
Diagnosa Medis : ADHF

Identitas Penanggung Jawab


Nama : Ny. L
Umur : 44 Tahun
Hub. Dengan pasien : Istri
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Surabaya

17
2. Status Kesehatan
a. Status Kesehatan Saat Ini
1) Keluhan Utama (Saat MRS dan saat ini)
Saat MRS : Klien mengeluh sesak
Saat ini : Klien mengatakan perut terasa penuh, klien juga mengatakan bahwa klien
merasa tidak nyaman dan terkadang merasa sesak.
2) Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya : Tidur dengan posisi miring
b. Status Kesehatan Masa Lalu
1) Penyakit yang pernah dialami : Hipertensi, Jantung
Pernah dirawat / MRS : 1 kali
Riwayat alergi : Klien tidak memiliki riwayat alergi
2) Kebiasaan (merokok/kopi/rokok/alcohol/dll) :
Klien tidak pernah merokok/minum kopi/alkohol
3) Riwayat Penyakit Keluarga : Ayah klien memiliki riwayat jantung dan hipertensi
4) Diagnosa Medis dan Terapi
Diagnosa Medis: Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)
Terapi: Diuretik
3. Pola Kebutuhan Dasar (Data Bio-Psiko-Sosio-Kultural-Spiritual)
a. Pola pernapasan
Sebelum sakit
: Tidak ada masalah pada pola pernapasan.
Saat sakit : Klien terkadang merasa sesak, irama napas normal, gerakan dada
simetris, sianosis (-), terpasang simple mask 8 lpm
b. Pola makan-minum
Sebelum sakit : Tidak ada gangguan
Saat sakit : Nafsu makan baik (porsi habis), minum dibatasi dan dikontrol (max 1000
ml) pukul 15.00-18.00 → 600 ml
c. Pola eliminasi
Sebelum sakit : Tidak ada masalah pada pola eliminasi
Saat sakit : BAB tidak ada gangguan, BAK dipantau (pukul 15.00 → 450ml)
d. Pola aktivitas dan latihan
Sebelum sakit : Jarang berolahraga dan tidak ada gangguan dalam aktivitasnya
Saat sakit : Aktivitas diatas tempat tidur, klien tampak lelah dan lemas
e. Pola istirahat dan tidur
Sebelum sakit : Klien tidak ada masalah pada pola istirahat dan tidur
Saat sakit : Klien tidak ada masalah pada pola istirahat dan tidur
f. Pola berpakaian
Sebelum sakit : Klien menggunakan pakaiannya secara mandiri
Saat sakit : Klien membutuhkan bantuan ketika berpakaian
g. Pola rasa nyaman
Sebelum sakit : Klien tidak mengalami gangguan pola rasa nyaman
18
Saat sakit : Klien terlihat tidak nyaman dan gelisah
h. Pola aman
Sebelum sakit : Tidak terkaji
Saat sakit : Tidak terkaji
i. Pola kebersihan diri
Sebelum sakit : Klien melakukan kebersihan diri secara mandiri
Saat sakit : Klien membutuhkan bantuan
j. Pola komunikasi
Sebelum sakit : Klien dapat berkomunikasi dengan baik
Saat sakit : Klien dapat berkomunikasi dengan baik meskipun tampak lemah
k. Pola beribadah
Sebelum sakit : Tidak terkaji
Saat sakit : Tidak terkaji
l. Pola produktivitas
Sebelum sakit : Produktivitas klien baik
Saat sakit : Produktivitas klien terganggu
m. Pola rekreasi
Sebelum sakit : Tidak terkaji
Saat sakit : Tidak terkaji
n. Pola kebutuhan belajar
Sebelum sakit : Tidak terkaji
Saat sakit : Klien menanyakan tentang kondisinya dan keterkaitan dengan penyakit

4. Pengkajian Fisik
a. Keadaan Umum
Tingkat kesadaran : Kompos Mentis
GCS : verbal: 4, psikomotor: 5, mata: 6
b. Tanda-tanda vital
Nadi: 107x/menit , Suhu : 36,1oC , RR : 24x/menit, TD: 133/111 mmHg

c. Keadaan Fisik
1) Kepala dan leher : Simetris, tidak ada nyeri kepala, tidak ada lesi
2) Dada
Paru : Simetris, terdengar ronchi di seluruh lapang paru terutama basal
+ +

+ +

+ +
Jantung : Tidak terkaji
3) Payudara dan ketiak: Simetris, tidak ada gangguan
4) Abdomen : Asites
19
5) Genetalia : Tidak terkaji
6) Integumen: Tidak ada lesi
7) Ekstremitas
Atas : Tidak ada edema
Bawah : Tidak ada edema
8) Neurologis
Status mental dan emosi : Baik, klien tampak menerima penyakit yang dialami
Pengkajian saraf kranial : Tidak terkaji
Pemeriksaan reflex : Tidak terkaji

d. Pemeriksaan Penunjang
1) Data laboratorium yang berhubungan
Parameter Nilai Nilai Normal Satuan
BUN 59,8 8 – 18 mg/dL
Kreatinin 3,56 0,6 – 1,1 mg/dL
Na 136 135 – 147 mEq/L
K 4,1 3,5 – 5 mEq/L
Cl 103 98 – 108 mEq/L

2) Pemeriksaan radiologi : -
3) Hasil konsultasi :-
4) Pemeriksaan penunjang diagnostik lain: -

20
5) ANALISA DATA
Etiologi
No. Data (sesuai dengan Masalah
patofisiologi)
1. DS : ADHF Hipervolemia
Klien mengeluh perut terasa penuh ↓
dan terkadang merasa sesak
Forward failure

DO :
Renal flow menurun
 TTV

TD: 133/111 mmHg
RAA meningkat
N: 107 x/menit

RR: 24 x/menit
Aldosteron meningkat
Suhu: 36,10C

 Ronki diseluruh lapang paru
terutama basal ADH meningkat
+ +

+ +
Retensi Na+H2O
+ +

Hipervolemia
 Intake (600ml), output (450ml)
 Asites

DS :
Klien mengatakan tidak nyaman

2. ADHF Gangguan rasa


DO : nyaman

 Klien terlihat tidak nyaman dan
gelisah (sering berpindah posisi Ventrikel kanan
tidur)

 Terlihat adanya asites
 TTV Penurunan CO
TD: 133/111 mmHg

N: 107 x/menit
Peningkatan tekanan
RR: 24 x/menit vena sentral
Suhu: 36,10C ↓

21
Asites

Perasaan kurang senang
dan tidak lega
DS : -

DO :
Gangguan rasa
 Klien tidak mampu melakukan
nyaman
perawatan diri secara mandiri,
klien tampak lelah dan lemas
ADHF
↓ Defisit perawatan
diri: mandi
3. Forward failure

Suplai O2 jaringan
menurun

Asidosis metabolik

ATP menurun

Lelah dan lemah

ADL terganggu

Defisit perawatan diri:
mandi

22
5. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Tanggal/Jam Tanggal TTD
No. Diagnosa Keperawatan
Ditemukan Teratasi
1. 12 Agustus Hipervolemia b.d gangguan mekanisme Riris
2019 regulasi d.d dispnea, intake > output, asites

2. 12 Agustus Gangguan rasa nyaman b.d gejala penyakit


Riris
2019 d.d mengeluh tidak nyaman, gelisah

3. 12 Agustus Defisit perawatan diri : mandi b.d kelemahan Riris


2019 d.d tidak mampu mandi secara mandiri

23
6. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Rencana Perawatan
No. TTD
Hari/Tgl Tujuan dan Kriteria
Dx Intervensi
Hasil
Senin, 12 1 Setelah dilakukan Observasi Riris
Agustus tindakan keperawatan - Monitor tanda dan gejala
2019 selama 3x24 jam, tanda hipervolemi
hipervolemia berkurang - Monitor intake dan output cairan
dengan kriteria hasil: Teraputik
● Asupan cairan dan - Tinggikan kepala tempat tidur 300-
keluaran urine sama 400
● Tidak ada asites - Pantau TTV
● Tekanan darah (105- Kolaborasi
135/ 75-90)
- Kolaborasi pemberian diuretik
● Tidak ada dispnea
- Identifikasi penyebab hipevolemia
(RR 16-20 x/menit)
● Tidak ada ronki Edukasi
- Edukasi cara mengukur dan
Senin, 12 2 mencatat haluaran Riris
Agustus
2019 Setelah dilakukan
tindakan keperawatan Observasi
- Monitor status oksigenasi sebelum
selama 3x24 jam, klien
dan sesudah berubah posisi
merasa nyaman dengan
kriteria hasil: Teraputik
- Atur posisi tidur yang disukai
 Tidak ada
- Atur posisi untuk mengurangi sesak
ungkapan
Kolaborasi
ketidaknyamanan
 Klien tidak nampak - Kolaborasi pemberian premedikasi
gelisah Edukasi
- Anjurkan mengambil posisi nyaman
Senin, 12 3 - Informasikan saat akan dilakukan Riris
Agustus perubahan posisi
2019
Observasi
Setelah dilakukan - Identifikasi jenis bantuan yang
tindakan keperawatan diperlukan
selama 1x24 jam, - Monitor kebersihan tubuh
kebutuhan perawatan - Monitor integritas kulit
diri: mandi klien Teraputik
terpenuhi dengan - Sediakan perlatan mandi
kriteria hasil: - Pertahankan kebiasaan kebersihan
● Keinginan diri
mempertahankan Edukasi
kebersihan diri: - Anjurkan kepada keluarga cara
mandi (minimal 1x memandikan pasien
24
sehari)

25
7. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
No. TTD
Hari/Tgl Tindakan Keperawatan Evaluasi Proses
Dx
Senin 1 - Memonitor tanda dan gejala S: klien tidak mengeluh sesak, Riris
12/08/19 hipervolemia klien mengungkapkan sudah
R/ asites (+), edema (-) lebih nyaman saat kepala
18.00 WIB - Memonitor intake dan output ditinggikan, klien ingin
cairan menjaga kebersihan diri, rasa
R/ minum 600, urin 450 penuh diperut masih ada
- Memantau TTV O: input : 600, output : 450,
R/ TD: 133/111, RR: 24, asites (+), RR: 24, TD:
N: 107, S: 36,1 133/111, Ronki (+), gelisah
- Melakukan pemberian berkurang
diuretik (furosemid) A: masalah keperawatan
R/ pasien tidak terkaji hipervolemia dan gangguan
- Mengedukasi cara mengukur rasa nyaman belum teratasi
dan mencatat haluaran P: lanjut intervensi
R/ keluarga memahami cara hipervolemia dan gagguan
mengukur dan mencatat rasa nyaman, monitor
haluaran kebersihan tubuh

2 - Mengatur posisi yang


disukai
R/ posisi terlentang dengan
kepala ditinggikan 300
- Memonitor oksigenasi
sebelum dan sesudah
berubah posisi
R/ klien terlihat lebih
nyaman (SaO2: 95 → 97)
- Menginformasikan saat
akan dilakukan perubahan
posisi
R/ klien dapat memahami

3 - Memonitor kebersihan
tubuh
R/ klien tampak kusam
- Memonitor integritas kulit
R/ tidak ada lesi
- Mempertahankan
kebiasaan diri
R/ keluarga memahami
untuk memandikan pasien
setiap hari
- Mengajarkan keluarga cara
memandikan pasien
R/ keluarga dapat
memahami

26
Selasa 1 - Memonitor tanda dan gejala S : klien tidak mengeluh sesak, Riris
13/09/19 hipervolemia klien merasa nyaman, klien
R/ asites (+), edema (-) sudah tidak merasakan
11.00 WIB - Memonitor intake dan output penuh diperut
cairan O: input (350ml), outpu
R/ minum 350, urin 700 (700ml), asites (+), TD:
- Memantau TTV 116/87, S: 36,5, RR: 19, N:
R/ TD: 116/87, RR: 19, 86, ronki (+) di basal paru,
N: 86, S: 36,5 SaO2 : 98%, klien tampak
- Melakukan pemberian nyaman dan tidak gelisah
diuretik (furosemid) A: hipervolemia belum teratasi
R/ pasien tidak terkaji P : lanjutkan intervensi
hipervolemia, monitor
2 - Mengatur posisi yang kenyamanan dan kebersihan
disukai diri
R/ miring ke kanan
- Memonitor oksigenasi
sebelum dan sesudah
berubah posisi
R/ klien terlihat lebih
nyaman dan tidak gelisah
(SaO2: 98)
- Menginformasikan saat
akan dilakukan perubahan
posisi
R/ klien dapat memahami

3 - Memonitor kebersihan
tubuh
R/ klien tampak bersih
Rabu 1 - Memonitor tanda dan gejala S: klien sudah merasa nyaman, Riris
14/09/19 hipervolemia tidak mengeluh sesak dan
R/ asites (+), edema (-) tidak merasakan perut penuh
11.00 WIB - Memonitor intake dan output
cairan O: input (200ml), output
R/ minum 200, urin 550 (550ml), TD: 108/81, N: 92,
- Memantau TTV RR: 22, S: 35,7 , asites (+),
R/ TD: 108/81, RR: 22, klien tampak nyaman dan
N: 92, S: 35,7 bersih
- Melakukan pemberian A: Hipervolemia belum teratasi
diuretik (furosemid) via
syringe pump 2x20 mg/ 2 ml P: lanjutkan intervensi
dengan kecepatan 3 ml/jam
R/ pasien tidak terkaji
2
- Memonitor kenyamanan
R/ klien tampak nyaman
3

- Memonitor kebersihan tubuh

27
R/ klien tampak bersih

28
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1 Pengkajian
Pengkajian dimulai dari identitas klien yang bernama Tn. A berjenis kelamin
laki-laki berusia 40 tahun, pekerjaan karyawan swasta, alamat Surabaya, Tanggal
Masuk 9 Agustus 2019, Tanggal Pengkajian 12 Agustus 2019, No. Register
0000126XXX dan Diagnosa Medis Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)
dengan data penanggungjawab Ny. L, berusia 44 tahun dan hubungan dengan
pasien adalah istri. Berdasarkan data yang diperoleh pada klien keluhan utama pada
klien adalah sesak (dyspnea). Klien merasa perut penuh, klien juga mengatakan
bahwa klien merasa tidak nyaman dan terkadang merasa sesak.
Salah satu tanda dan gejala yang dialami Tn. A adalah dyspnea atau sesak.
Dyspnea merupakan gejala yang paling sering dirasakan oleh penderita gagal
jantung. Dsypnea merupakan manifestasi klinis gagal jantung akibat kurangnya
suplai oksigen karena penimbunan cairan di alveoli. Penimbunan tersebut membuat
jantung tidak mampu memompa darah dengan maksimal. Dampak perubahan
terjadi peningkatan sensasi dyspnea (Sari, 2017). Menurut The Consensus
Guideline in The Management of Acute Decompensated Heart Failure tahun 2006,
manifestasi klinis acute decompensated heart failure salah satunya adalah volume
overload yang ditandai dengan adanya dispneu saat melakukan kegiatan, orthopnea,
paroxysmal nocturnal dyspnea (PND), ronchi, cepat kenyang, mual dan muntah,
hepatosplenomegali, hepatomegali, atau splenomegali, distensi vena jugular, reflex
hepatojugular, asites, edema perifer. Tn. A mengeluh sesak, perut terasa penuh. Tn.
A diposisikan semi fowler 450.
Penyakit yang pernah dialami Tn. A adalah hipertensi. Hipertensi telah
dibuktikan meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada beberapa penelitian.
Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme,
termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan
disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya
infark miokard, serta memudahkan untuk terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial
maupun aritmia ventrikel (Mariyono & Santoso, 2007).
29
Hasil pemeriksaan laboratorium pada Tn. A didapatkan nilai BUN=59,8
mg/dl, keratin=3,56 mg/dl, Na=136 mEq/L, K=4,1 mEq/L, Cl=103 mEq. Dari hasil
tersebut didapatkan bahwa hasil BUN dan kreatin diatas batas normal. Pemeriksaan
darah perlu dilakukan pada klien gagal jantung yang berat akibat berkurangnya
kemampuan mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional,
karena itu adanya hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat.
Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya
gangguan ginjal, juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi
peningkatan serum kreatinin setelah pemberian angiotensin converting enzyme
inhibitor dan diuretik dosis tinggi. Pada gagal jantung berat dapat terjadi
proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada pemberian diuretic tanpa suplementasi
kalium dan obat potassium sparring. Hiperkalemia timbul pada gagal jantung berat
dengan penurunan fungsi ginjal, penggunaan ACE-inhibitor serta obat potassium
sparring. Pada gagal jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH)
gambarannya abnormal karena kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin
serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan (Mariyono & Santoso, 2007).
4.2 Diagnosa keperawatan
Pada saat dilakukan pengkajian didapatkan diagnosa I dengan masalah
hipervolemi, ditemukan Data Subjektif: Pasien mengatakan perut terasa penuh dan
merasa sesak. Data Objektif: TTV (TD: 133/111 mmHg, N: 107 x/menit, RR; 24
x/menit, Suhu: 36,10C), ronkhi diseluruh lapang paru terutama basal, intake
(600ml), output (450ml), asites. Hipervolemi adalah peningkatan volume cairan
intravascular, interstitial, dan/atau intaseluler. Menurut SDKI diagnosa
keperawatan hipervolemi dapat diangkat jika terdapat tanda dan gejala ortopnea,
dyspnea, PND, edema anasarka dan/atau edema perifer, berat badan meningkat ,
jugular vena pressure meningkat, distensi vena jugularis, terdengar suara napas
tambahan, hepatomegali, kadar hb/ht turun, oliguria, intake lebih banyak dari
output, dan kongesti paru. Berdasarkan hal tersebut maka dapat diangkat diagnosa
keperawatan hipervolemi b.d gangguan regulasi cairan d.d dyspnea, intake >
output, ronchi.

2
Berdasarkan pengkajian, didapatkan diagnosa II dengan masalah
keperawatan dengan didapatkan Data Subjektif: Pasien mengatakan tidak tidak
nyaman. Data objektif: Klien terlihat tidak nyaman dan gelisah (sering berpindah
posisi tidur), terlihat adanya asites, TTV (TD: 133/111 mmHg, N: 107 x/menit, RR;
24 x/menit, Suhu: 36,10C). Gangguan rasa nyaman adalah perasaan kurang senang,
lega, dan sempurna dalam dimensi fisisk, psikospiritual, lingkungan dan sosial.
Menurut SDKI diagnosa keperawatan gangguan rasa nyaman dapat diangkat jika
terdapat tanda dan gejala mengeluh tidak nyaman, gelisah, mengeluh sulit tidur,
tidak mampu rileks, mengeluh kedinginan atau kepanasan, merasa gatal, mengeluh
mual, mengeluh lelah, mengeuh gejala distress, tampak merintih atau menaagis,
pola eliminasi berubah, postur tubuh berubah, iritabilitas. . Data pengkajian Tn. A
menunjukkan adanya klien mengeluh tidak nyaman, klien terlihat tidak nyaman dan
gelisah sehingga penulis mengambil diagnose keperawatan gangguan rasa nyaman
b.d gejala penyakit d.d mengeluh tidak nyaman, gelisah.
Diagnosa III dengan masalah keperawatan gangguan hambatan rasa nyaman
dengan didapatkan Data Objektif: Klien tidak mampu melakukan perawatan diri
secara mandiri, klien tampak lelah dan lemas. Defisit perawatan diri adalah tidak
mampu melakukan atau menyelesaikan aktivitas perawatan diri. Menurut SDKI
diagnose keperawatan defisit perawatan diri dapat diangkat jika terdapat tanda dan
gejala menolak melakukan perawatan diri, tidak mampu mandi secara mandiri,
minat melakukan perawatan diri kurang. Data pengkajian Tn. A menunjukkan
adanya ketidak mampuan pasien dalam melakukan perawatan diri secara mandiri,
klien tampak lelah dan lemah sehingga penulis mengambil diagnose keperawatan
defisit perawatan diri b.d kelemahan d.d tidak mampu mandi secara mandiri.
4.3 Rencana Tindakan Keperawatan
Pada rencana tindakan keperawatan terdiri dari luaran dan intervensi
keperawatan. Luaran keperawatan berpacuan pada Standart Luaran Keperawatan
Indonesia (SLKI). Luaran (outcome) keperwatan merupakan aspek-aspek yang
dapat diobservasi dan diukur meliputi kondisi, perilaku, atau dari persepsi pasien,
keluarga atau komunitas sebagai respon terhadap intervensi keperwatan. Luaran
keperawatan menunjukkan status diagnosis keperawatan setelah dilakukan

3
intervensi keperawatan (ICNP, 2015; PPNI, 2018). Sedangkan intervensi
keperawatan berpacuan pada Standart Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI).
Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh perawat yang
didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome)
yang diharapkan (PPNI, 2018).
Rencana tindakan keperawatan pada Tn. A dengan Acute Decompensation
Heart Failure (ADHF) pada diagnosa keperawatan Hipervolemia b.d gangguan
mekanisme regulasi d.d dispnea, intake > output, asites berdasarkan luaran
keperawatan adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan Setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 3x24 jam, tanda hipervolemia berkurang dengan
kriteria hasil: asupan cairan dan keluaran urine sama, tidak ada asites, tekanan darah
(105-135/ 75-90), tidak ada dispnea (RR 16-20 x/menit), tidak ada ronki. Adapun
dalam teori tanda dan gejala pada hipervolemi adalah gejala ortopnea, dyspnea,
PND, edema anasarka dan/atau edema perifer, berat badan meningkat , jugular vena
pressure meningkat, distensi vena jugularis, terdengar suara napas tambahan,
hepatomegali, kadar hb/ht turun, oliguria, intake lebih banyak dari output, dan
kongesti paru (PPNI, 2018).
Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi masalah keperawatan terdiri dari
empat komponen yaitu observasi, terapeutik, kolaborasi dan edukasi. Intervensi
keperawatan untuk masalah keperawatan hypervolemia pada Tn. A adalah
observasi berupa monitor tanda dan gejala hipervolemi, monitor intake dan output
cairan. Terapeutik meliputi tinggikan kepala tempat tidur 300-400 dan pantau TTV.
Kolaborasi meliputi kolaborasi pemberian diuretik dan identifikasi penyebab
hipevolemia. Edukasi cara mengukur dan mencatat haluaran. Berdasarkan teori
Intervensi yang diberikan pada diagnosa hipervolemia adalah kolaborasi
pemeberian diuretik, monitor intake dan output cairan. Pemberian diuretic
furosemide bertujuan untuk mengatur keseimbangan regulasi cairan. Furosemid
merupakan obat umum yang digunakan pada pasien gagal jantung. Efek diuretik
furosemide dapat menyebabkan deplesi cairan dan elektrolit dalam tubuh. Penilaian
respon terapi dalam penelitian ini dapat dilihat dari kadar elektrolit pasien, derajat
udem, tekanan vena jugular, balance cairan dan keluhan pasien (Makani &
Setyaningrum, 2017). Sebagai perawat penting untuk memperhatikan dalam

4
kolaborasi pemberian furosemide untuk mengatasi adanya kelebihan cairan. Hal
yang penting juga diperhatikan saat pemberian adalah monitor intake dan output
cairan.
Pada diagnosa keperawatan yang kedua gangguan rasa nyaman b.d gejala
penyakit d.d mengeluh tidak nyaman, gelisah luaran yang diambil berdasarkan
SLKI adalah Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, klien
merasa nyaman dengan kriteria hasil tidak ada ungkapan ketidaknyamanan dan
klien tidak nampak gelisah. Intervensi keperawatan berdasarkan SIKI meliputi
observasi berupa monitor status oksigenasi sebelum dan sesudah berubah posisi
terapeutik meliputi atur posisi tidur yang disukai dan atur posisi untuk mengurangi
sesak. Kolaborasi pemberian premedikasi. Edukasi anjurkan mengambil posisi
nyaman dan Informasikan saat akan dilakukan perubahan posisi. Perubahan posisi
yaitu dengan posisi kepala ditinggikan 450. Dalam teori menurut Melanie (2014)
dibuktikan bahwa pemberian teknik tidur 450 memberikan perubahan yang optimal
dimana dapat menurunkan frekuensi sesak napas yang diakibatkan dari gagalnya
otot jantung memompa darah. Pemberian teknik sudut posisi tidur 45 derajat
sekaligus dapat memperbaiki kuantitas dan kualitas tidur pasien. Perawat dapat
menggunakan teknik sudut posisi tidur 450 dapat memperbaiki kuantitas dan
kualitas tidur pasien sehingga pasien merasa nyaman.
Intervensi yang dilakukan pada diagnosa ketiga defisit perawatan diri: mandi
pada Tn. A berdasarkan tujuan yaitu Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 1x24 jam, kebutuhan perawatan diri: mandi klien terpenuhi dengan kriteria
hasil: Keinginan mempertahankan kebersihan diri: mandi (minimal 1x sehari)
dengan rencana tindakan keperawatan meliputi observasi identifikasi jenis bantuan
yang diperlukan, monitor kebersihan tubuh, monitor integritas kulit. Teraputik
meliputi sediakan perlatan mandi dan pertahankan kebiasaan kebersihan diri
edukasi anjurkan kepada keluarga cara memandikan pasien. Salah satu manajemen
utama pada pasien gagal jantung adalah dengan melakukan perawatan secara
mandiri. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hasil perawatan pada pasien
gagal jantung lebih baik pada pasien yang terlibat dalam perawatan diri secara
konsisten. Hasil penelitian menunjukkan perilaku perawatan diri pada pasien gagal
jantung belum adekuat sehingga sangat dibutuhkan sebuah intervensi yang

5
bertujuan untuk meningkatkan perilaku perawatan diri terutama dalam dimensi
pemeliharaan diri (Prihatiningsih & Sudyasih, 2018).

6
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
ADHF (Acute Decompensated Heart Failure) atau disebut juga dengan gagal
jantung akut merupakan kegagalan jantung untuk memompa cukup darah untuk
mencukupi kebutuhan tubuh, dan terjadi penurunan kemampuan kontraktilitas yang
berakibat pada penurunan fungsi pompa jantung. Kondisi Cardiac Output yang tidak
cukup terjadi karena kehilangan darah atau beberapa proses yang terkait dengan
kembalinya darah ke jantung (Tabrani, 1988; Price 1995). Hal ini merupakan kondisi
yang mengancam jiwa dan memerlukan perhatian medis yang segera dan biasanya
berujung pada hospitalisasi (Gheorghiade dan Pang, 2009). Pada sebagian besar kasus,
gagal jantung akut terjadi sebagai akibat perburukan pada pasien yang telah terdiagnosis
dengan gagal jantung sebelumnya (baik gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang rendah/
heart failure with reduced ejection fraction (HF-REF), maupun pada gagal jantung
dengan fraksi ejeksi yang masih baik/ heart failure with preserved ejection fraction (HF-
PEF) (McMurray et al, 2012).
5.2 Saran
Setelah kita mengetahui tinjauan teori dan asuhan keperawatan klien dengan ADHF,
diharapkan dapat melakukan asuhan keperawatan dengan baik.

7
DAFTAR PUSTAKA

Black, J.M. & Hawks, J.H.. (2005). Medical-surgical nursing. Clinical management
for positive outcomes. 7th Edition. St. Louis. Missouri. Elsevier Saunders.

Brunner & Suddart. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC

Crouch MA, DiDomenico RJ, Rodgers Jo E. 2006 Applying Consensus Guidelines


in the Management of acute decompensated heart failure. California : 41st
ASHP Midyear Clinical Meeting

Hanafiah, A. 2006. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia.

Harbanu, H Mariyono & Anwar Santoso. 2007. Gagal Jantung. Jurnal Penyakit
Dalam

Ignatavicius, D.D. & Workman, M.L. (2006). Medical-surgical nursing. Critical


thinking for collaborative care. 5th Edition. St. Louis Missouri : Elsevier
Saunders.

Kasron. 2012. Buku Ajar Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Yogyakarta : Nuha


Medika

Kozier, Erb, Berman & Snyder. (2004). Fundamentals of nursing. Concepts,


process and practice. 7th Edition. New York : Pearson Education Inc

Price, S.A. & Wilson, L.M. (1995). Patofisiologi. Konsep klinis proses-
proses penyakit. Edisi 4. Jakarta : ECG.
Lindenfeld J. 2010. Evaluation and Management of Patients with Acute
Decompensated Heart Failure. Journal of Cardiac Failure

Mariyono, H. H., & Santoso, A. (2007). Gagal Jantung, 85–94.

Makani, M., & Setyaningrum, N. (2017). Patterns of furosemide use and electrolyte
imbalance in heart failure patients at Hospital X Yogyakarta. 13(2), 57–68.

Melanie, R. 2014. "Analisis Pengaruh Sudut Posisi tidur terhadap Kualitas Tidur
dan Tanda Vital Pada Pasien Gagal Jantung Di Ruang Rawat Intensif RSUP

8
Dr. Hasan Sadikin Bandung" http://stikesayani.ac.id/publikasi/e-
jounal/..201208-008.pdf (diakses pada tanggal 25 Agustus 2019 pukul 17.34
WIB)

Mc.Bride BF, White M. 2010. Acute Decompensated Heart Failure:


Pathophysiology. 5Journal of Medicine

Price A.S Wilson L.M. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit-edisi 6.


2005. EGC. Jakarta.

Ponikowski P, Voors AA, Anker SD, Bueno H, Cleland JGF, Coats AJS, et al. 2016
ESC guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart
failure: The task force for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure of the European Society of Cardiology (ESC) developed with
the special contribution of the Heart Failure Association (HFA) of the
ESC. Eur Heart J. 2016;37(27): 2129–200

PPNI (2018). Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator


Diagnostik, edisi 1. Jakata: DPP PPNI

PPNI (2018). Standart Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keperawatan, edisi 1. Jakata: DPP PPNI

PPNI (2018). Standart Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan kriteria hasil
keperawatan, edisi 1. Jakata: DPP PPNI

Prihatiningsih, D., & Sudyasih, T. (2018). Perawatan Diri Pada Pasien Gagal
Jantung. https://doi.org/10.17509/jpki.v4i2.13443

Sari, N. (2017). Deep Breathing Exercise Dan Active Range Of Motion Efektif,
2(2).

Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata, Setiati, 2006. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai