Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH MANAJEMEN KEUANGAN LANJUTAN

ISLAMIC FINANCE

DISUSUN OLEH

Fathurrahman 120110170002

Agisna Farih Makhrojan 120110170033

Achmad Salim Novell 120110170050

Adi Ramadhany Purnama 120110170107

Fajar Ramadhan 120110170121

UNIVERSITAS PADJADJARAN

TAHUN 2019

JATINANGOR
i

Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat yang telah diberikan-
Nya sehingga tugas makalah ini dapat selesai dikerjakan. Tidak lupa kami juga mengucapkan
banyak terima kasih atas bantuannya kepada teaching assistant dan dosen yang telah membantu
dalam bentuk pembelajaran dan motivasi untuk mengerjakan makalah ini.

Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca. Dan ke depannya, kami berharap dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah ini menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami dalam pembuatan


makalah, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.

Jatinangor, 15 Mei 2019

Penyusun
ii

Daftar Isi

Kata Pengantar ......................................................................................................................... i


Daftar Isi ...................................................................................................................................ii
Bab I Pendahuluan .................................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................... 1
1.3 Tujuan ............................................................................................................................. 1
1.4 Manfaat ........................................................................................................................... 1
Bab II Pembahasan .................................................................................................................. 3
2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Islamic Finance .......................................................... 3
2.2 Prinsip Islamic Finance ............................................................................................. 10
2.3 Perbedaan Syariah & Konvensional .......................................................................... 12
2.4 Instrumen Islamic Finance........................................................................................ 14
2.5 Perbedaan Sukuk dan Obligasi ................................................................................ 16
2.6 Syarat Emiten Mengeluarkan Saham Syariah ....................................................... 18
2.7 Pengertian Akad......................................................................................................... 19
2.8 Syarat Sah Akad ........................................................................................................ 19
2.9 Rukun Akad ............................................................................................................... 20
2.10 Jenis-Jenis Akad......................................................................................................... 22
Bab III Kesimpulan dan Saran............................................................................................. 29
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................... 29
3.2 Saran ............................................................................................................................. 29
Daftar Pustaka ....................................................................................................................... 30
1

Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Pemahaman masyarakat Muslim Indonesia mengenai konsep syariah masih terbatas
hanya pada kegiatan ibadah-ibadah rutin, padahal konsep syariah meliputi semua aspek
kehidupan termasuk ekonomi. Ekonomi syariah juga tidak hanya sebatas pada perbankan
syariah, namun mencakup berbagai ruang lingkup perekonomian yang mendasarkan pada
pengetahuan dan nilai-nilai syariah Islam. Cara pandang seperti itu harus sudah mulai
diubah.
Syariah selama ini masih dianggap sebagi ibadah rutin, seperti sholat,zakat, dan haji.
Tugas kita adalah mencari tahu cara bagaimana mengintegrasikan hukum dan nilai yang
kita ambil dari Al-Quran dan As-sunnah untuk masuk dalam kehidupan ekonomi,
produksi, distribusi, marketing dan keuangan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu Islamic Finance dan hukum apa yang mendasarinya?
2. Prinsip apa yang dianut oleh Islamic Finance dan apa perbedaannya dengan
konvensional?
3. Apa saja instrument dalam dalam Islamic Finance dan apa saja yang harus dilakukan
emiten untuk dapat mengeluarkan saham?
4. Apa itu akad, syarat sah akad, dan rukun akad?
5. Ada berapa jenis akad dalam Islamic Finance?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu Islamic Finance dan hukum apa yang mendasarinya?
2. Untuk mengetahui prinsip apa yang dianut oleh Islamic Finance dan apa perbedaannya
dengan konvensional?
3. Untuk mengetahui apa saja instrument dalam dalam Islamic Finance dan apa saja yang
harus dilakukan emiten untuk dapat mengeluarkan saham?
4. Untuk mengetahui apa itu akad, syarat sah akad, dan rukun akad?
5. Untuk mengetahui ada berapa jenis akad dalam Islamic Finance?

1.4 Manfaat
1. Mengetahui apa itu Islamic Finance dan hukum apa yang mendasarinya?
2

2. Mengetahui prinsip apa yang dianut oleh Islamic Finance dan apa perbedaannya dengan
konvensional?
3. Mengetahui apa saja instrument dalam dalam Islamic Finance dan apa saja yang harus
dilakukan emiten untuk dapat mengeluarkan saham?
4. Mengetahui apa itu akad, syarat sah akad, dan rukun akad?
5. Mengetahui ada berapa jenis akad dalam Islamic Finance?
3

Bab II Pembahasan
2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Islamic Finance
A. Pengertian Islamic Finance

Islamic Finance adalah jenis kegiatan pembiayaan yang harus mematuhi Syariah
(Hukum Islam). Konsep ini juga dapat merujuk pada investasi yang diizinkan
berdasarkan Syariah. Praktik umum keuangan dan perbankan Islam muncul bersama
dengan dasar Islam. Namun, pembentukan keuangan Islam formal baru terjadi
pada abad ke -20. Saat ini, sektor keuangan Islam tumbuh 15% -25% per tahun,
sementara lembaga keuangan Islam mengawasi lebih dari $ 2 triliun.

B. Dasar Hukum Islamic Finance

AL-QURAN

Dasar hukum keuangan syariah berdasarkan teori reflexo in complexo tidak lain
adalah dasar hukum Islam itu sendiri, yang terdiri dari: Al-Qur’an, hadis dan sunnah,
ijma’, qiyas, maslahat mursalah, istihsan, istishab, saddud-dzari’ah, urf, qaul sahabat
Nabi Saw, dan hukum agama samawai terdahulu. Al-Qur’an dan sunnah merupakan
sumber utama, dan yang lainnya menurut sistematika ilmu hukum merupakan sumber
turunannya.

Contoh-contoh ayat Al-Qur’an yang menjadi sumber hukum tentang kegiatan


ekonomi termasuk praktik perbankan syariah, misalnya: a. Tentang pengelolaan harta:
Dalam ayat-ayat tentang pengelolaan harta ini Allah mengamanatkan bumi serta seisinya
bagi manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya. Dan hendaknya manusia
selalu meningkatkan ilmu pengetahuan guna menyibak berbagai fenomena yang ada
dibumi4, antara lain:

“Sesungguhnya bumi ini kepunyaan Allah, dipusakakan-Nya kepada siapa yang


dikehendakinya dari hamba-Nya dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang
bertaqwa” (Qs Al-A’raaf [7]: 128).

“Dan jangan kamu iri hati terhadap apa yang telah dikaruniakan Allah kepada sebagian
kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. Karena bagi orang laki-laki ada bagian dari
pada apa yang diusahakkan, dan para wanita (pun) ada bagian dari apa yang diusahakan
4

dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya. Sesungguhnya Allah maha
mengetahui segala sesuatu” (QS An-Nisa [4]: 32).

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagiuian yang lain dianttara kamu
dengan jalan yang batil dan (jangan) kamu membawa urusan harta itu kepada hakim,
supaya kamu memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat
dosa, pada hal kamu mengetahui” (QS Al-Baqarah [2]: 188).

“Dan pada harta-harta merka ada hak untuk orang miskin yang meminta-minta dan orang
miskin yang tidak dapat bagian” (QS Adz-Dzaariyaat [51]: 19).

b. Tentang riba. Segala kegiatan ekonomi yang menimbulkan unsurunsur riba dilarang
dalam agama Islam, anta lain misalnya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda
dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendappat keberuntungan” (QS Ali
Imran [3]: 130).

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum kamu pungut) jika kamu orang-orang yang beriman” (QS AL-Baqarah [2]:
278).

“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
dari padanya, dan karena mereka memakan harta orang lain dengan jalan yang batil.
Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir diantara mereka dengan siksa yang
pedih” (QS An-Nisa [4]: 161).

c. Tentang perdagangan. Allah tidak akan menurunkan rezeki kepada manusia kecuali
manusia berusaha untuk mendapatkannya. Dan telah ditentukan waktu bagi manusia
untuk bekerja dan beristirahat, antara lain:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
mengubah keadaannya yang ada pada diri mereka sendiri” (QS Ad-Ra’d [13]: 11).
“Dialah yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat padanya dan siang
terang benderang supaya kamu mencari karunia Allah” (QS Yunus [10]: 67). “Apabila
telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi, dan carilah
5

karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (QS Al-
Jumuah [62]: 62).

“Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca
itu” (QS Ar-Rahman [55]: 9).

“Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil“ (QS Al-An’aam [6]: 152)
“Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (yaitu) orang-orang yang
apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka
menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi” (QS AlMuthafiffin
[ 83]: 1-3).

SUNNAH

Sunnah adalah ajaran-ajaran Nabi Muuhammad Saw yang disampaikan lewat


ucapannya, tindakannya, atau persetujuannya. Ajaran-ajaran yang merupakan sunnah ini
direkam atau diwariskan dalam suatu rekaman yang dinamakan hadis. Jadi hadis adalah
rekaman warta mengenai perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi Muhammad Saw
yang merupakan sunnahnya. Sunnah disamakan dengan praktik dan petunjuk Nabi
Muhammad Saw yang disampaikan oleh para perawi hadis sahih, yang terdiri atas tiga
bagian: sunnah qawliyah (ucapan), sunnah fi’liyah (perbuatan), dan sunnah taqririyah
(penerimaan dan partisipasi).

Berbeda dengan Al-Qur’an yang otentisitas teks tidak diragukan lagi, hadis dalam
banyak kasus tidak semua sahih (autentik). Para ahli hadis dan teoritisi hukum Islam
membedakan hadis dari segi autentisitasnya menjadi tiga kategori: (i) hadis sahih, (ii)
hadis hasan, dan (iii) hadis dai. Para ahli hukum Islam menyatakan bahwa hanya hadis
sahih dan hasan saja yang dapat menjadi sumber hukum, sementara hadis yang daif tidak
dapat dijadikan sumber hukum Hadis adalah sesuatu yang bersifat teoritik, sedangkan
sunnah adalah pemberitaan sesungguhnya. Hadis dan sunnah berfungsi sebagai
petunjuk-petunjuk praktis yang tidak dijelaskan secara legkap didalam Al-Qur’an.
Justifikasi sunnah dan hadis senagai sumber hukum Islam termuat didalam sabda
Rasulullah Saw, Seperti misalnya:
6

“Telah aku tinggalkan untuk kamu semua dua benda. Kamu tidak akan sesat manakala
berpegang teguh kepadanya. Kitab Allah dan sunnahku”(HR Imam Malik).

Pada abad ketiga Hijriah secara bertahap telah disusun enam kitab hadis “Kuttub al-
Sittah” yang secara umum dapat diterima oleh generasi berikutnya dan diakui sebagai
shahih alSittah (enam kitab hadis shahih). Keenam kitab hadis ini adalah: Shahih
Bukhari (wafat 256 H/870 M), Shahih Muslim (wafat 261 H/875 M), Sunan Ibnu Majjah
(wafat 273 H/887 M), Sunan Ibnu Daud (wafat 275 H/888 M), Jami’ al-Tarmidzi (wafat
279 H/892M), dan Sunnan al-Nasa’I (wafat 303 H/ 915 M)10. Contoh-contoh hadis
tersebut adalah antara lain:

1. Hadis tentang ekonomi: “Sesungguhnya Allah tidak menyukai kalian menyia-


nyiakan harta” (HR Bukhari). “Barang siapa yang mati mempertahankan hartanya,
maka ia mati suahid” (HR Muslim).
2. Hadis tentang perdagangan: “Pedagang yang jujur dan dapat dipercaya termasuk
dalam golongan para nabi, orang-orang yang benar-benar tulus, dan para syuhada”
(HR Tarmidzi, Darimi, dan Daraqutni). “Seorang pedagang yang tulus (yakni selalu
mengutamakan kebenarandalam ucapan dan tindakannya) akan dibangkitkan kelak
pada hari kiamat dalam kelompok para siddiqin, dan syuhada” (HR Tirmidzi dan
Hakim). “Allah memberikan rahmat-Nya kepada setiap orang yang bersikap baik
ketika menjual, membeli, dan membuat suatu pernyataan” (HR Bukhari).
3. Hadis tentang riba: “Sesungguhnya riba itu bisa terjadi pada jual beli secara utang
(krediti)” (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad). Dari Jabir ra, Rasulullah Saw mencela
penerima dan pembayar bunga orang yang mencatat begitu pula yang menyaksikan
dimaksud. Beliau bersabda: “Mereka semua sama-sama berada dalam dosa” (HR
Muslim, Tirmidzi, dan Ahmad). Dari Abu Said al-Khudri ra, Rasulullah Saw
bersabda “Jangan melebih-lebihkan satu dengan lainnya, jangan menjual perak
kecuali keduanya setara, dan jangan melebi-lebihkan satu dengan lainnya, dan
jangan menjual sesuatu yang tidak tampak” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’I,
dan Ahmad).
4. Hadis tentang utang: “Sebaik-baik manusia adalah yang sebaik-baik membayar
utang” (HR Muslim) “Barang siapa yang memberi kesempatan kepada si penghutang
yang dalam kesulitan untuk mengundurkan waktu pelunasan utangnya, atau
meringankan perhitungan baginya, maka Allah Swt akan menaungi dibawah
7

naungan ‘arsy-Nya kelak pada hari ketika tak ada naungan selain naungan- Nya”
(HR Muslim). “Barang siapa berutang sedangkan ia benar-benar berniat akan
melunasinya, maka Allah akan menugaskan sekelompok malaikat untuk menjaganya
dan mendoakan baginya sehingga ia dapat melunasinya” (HR Ahmad dai Aisyah).

IJMA

Ijma adalah kesepakatan para mujtahid (ahli hukum yang menemukan hukum
syarak) sesudah zaman Nabi Muhammad Saw mengenai hukum suatu kasus tertentu.
Tidak semua mazhab dalam Islam menerima ijma dalam konsep seperti ini. Ahliahli
hukum mazhab Hambali hanya menerima ijma para sahabat Nabi Muhammad Saw,
sedangkan ijma sesudah generasi tersebut tidak diterima dengan alasan bahwa
kemungkinan terjadinya ijma seperti itu secara factual adalah sulit. Dilain pihak ada
pendapat bahwa ijma adalah kesepakatan umat, bukan kesepakatan mujtahid saja.
Ijma adalah konsensus para ulama ditetapkan tidak untuk masalah-masalah keimanan
atau ibadat-ibadat pokok yang disepakati, melainkan untuk penerapan syariah dalam
urusan duniawi. Ijma ini penting untuk masalah keuangan Islam, karena model-model
perbankan Islam tidak disebut dalam AlQur’an atau dalam hadis, meskipun prinsip-
prinsip pokok yang mengatur sistemnya ada Konsekuensinya perkembangan perbankan
Islam banyak sekali didasarkan pada konsensus para sarjana dan ahli hukum Islam
modern baik ditingkat nasional maupun internasional. Contoh misalnya Handbook of
Islamic Banking yang diterbitkan oleh International Association of Islamic Banks, yang
memberikan kerangka kerja untuk institusi-institusi keuangan Islam.

Ijma menurut istilah ushul adalah ialah kesepakatan para mujtahid memutuskan
suatu masalah sesudah wafat Rasulullah Saw terhadap hukum syar’I pada suatu
peristiwa Apabila terjadi suatu peristiwa, maka peristiwa itu dikemukakan keadaannya
pada semua mujtahid di saat terjadinya. Para mujtahid itu sepakat
memutuskan/menentukan hukumnya13. Ketentuan hukum mengenai ijma, dikatakan
Rasulullah Saw: “Umatku tidak akan sepakat untuk membuat kekeliruan” (HR Ibnu
Majah). “Apa yang dipandang baik oleh orang-orang muslim disisi Allah pun dipandang
baik juga” (HR Ahmad). Ditinjau dari sudut menghasilkan hukum ini, maka dapat dibagi
menjadi:
8

1. Ijma Sharih, Yaitu kesepakatan mujtahid terhadap hukum mengenai suatu peristiwa.
Masing mujtahid bebas mengeluarkan pendapat. Jelas terlihat dalam fatwa dan
dalam memutuskan suatu perkara.Tiap-tiap mujtahid itu merupakan sumber hukum.
Menurut jumhur ulama disebut juga ijma haqiqi dan menjadi sumber hukum.
2. IJma Sukuti, Sebagian mujtahid terang-terangan menyatakan pendapatnya dengan
fatwa, atau memutuskan suatu perkara. Sebagian lagi hanya berdiam diri. Hal ini
berarti dia menyetujui atau berbeda pendapat terhadap yang dikemukakan itu dalam
mengupas suatu masalah. Menuntut jumhur ulama ijma sukuti disebut juga ijma
I’tibari, sumber hukum yang kedudukannya relatif

QIYAS

Qiyas adalah perluasan ketentuan hukum yang disebutkan didalam teks Al-Qu’an
dan Sunnah sehingga mencakup kasus serupa yang tidak disebutkan dalam teks kedua
sumber pokok itu berdasarkan persamaan sifat causa legisantara kedua kasus dimaksud.
Dengan kata lain qiyas adalah pengelompokan kasus baru yang belum ada ketentuan
hukumnya didalam kedua sumber pokok Al-Qur’an dan Hadis kedalam kategori kasus
yang sudah ada ketentuan hukumnya berdasarkan persamaan sifat antara keduanya.
Contoh mengenai ini adalah qiyas (analogi) seluruh perjanjian lainnya selain jual beli
kepada akad jual beli tentang syarat adanya ridha (perizinan). Dalam hadisnya
Nabi Muhammad Saw hanya menyebutkan jual beli saja yang disyaratkan perizinan
untuk sahnya. Kemudian para ahli hukum menyatakan bahwa seluruh akad lainnya juga
disyaratkan perizinan (ridha) dengan dasar analogi kepada akad jual beli. Qiyas juga
diartikan sebagai sumber hukum tambahan (analogi) dari hukum yang sudah tetap. Qiyas
artinya penalaran secara analogis, dengan menggunakan analogi-analogi masa lalu dan
keputusan-keputusan yang dihasilkannya menjadi preseden dari setiap situasi baru.

Dalam aplikasinya qiyas meliputi pembandingan antara dua hal dengan maksud
menilai satu hal dari sudut pandang hal lainnya. Dalam hukum Islam qiyas adalah
perluasan nilai syariah dari kasus lama (awal) ke kasus baru, karena kasus baru ini
mempunyai alasan efektif yang sama dengan kasus lama. Qiyas bisa digunakan untuk
menemukan hukum dari suatu masalah tertentu hanya jika tidak ditemukan solusinya
didalam Al-Qur’an atau hadis, atau dalam kasus-kasus yang dicakup oleh ijma.
Misalnya, diambil kesimpulan bahwa haram menggunakan narkotika dengan alasan
sebagaimana alasan yang digunakan untuk mengharamkan alkohol, yakni pada
9

umumnya kedua barang itu merusak pikiran. Qiyas adalah istilah ushul, yaitu
mempersamakan peristiwa yang tidak terdapat nash hukumnya dengan peristiwa yang
terdapat nash bagi hukumnya. Qiyas merupakan metode pertama yang dipegang para
mujtahid untuk mengistimbathkan hukum yang yang tidak diterangkan nash, sebagai
metode terkuat dan paling jelas. Qiyas ini dikenal ada empat macam:

1. Qiyas Aula, yaitu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum dan yang
disamakan (mulhaq) mempunyai hukum yang lebih utama dari pada tempat
menyamakannya (mushaqbih).
2. Qiyas Musawi, yaitu qiyas yang illatnya mewajibkan adanya hukum dan illat
hukumnya yang terdapat pada mulhaqnya adalah sama dengan illat hukum yang
terdapat pada mulhaqbih.
3. Qiyas Dalalah, yaitu suatu qiyas dimana illat yang ada pada mulhaq menunjukan
hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum padanya. Seperti men-qiyas-kan harta milik
anak kecil kepada harta orang dewasa dalam kewajibannya mengeluarkan zakat
dengan illat bahwa seluruhnya adalah harta benda yang mempunyai sifat dapat
berubah.
4. Qiyas Syibhi, yaitu suatu qiyas yang mulhaq-nya dapat diqiyas-kan kepada dua
mulhaqbih. Akan tetapi ia di-qiyaskan dengan mulhaqih yang mengandung banyak
persamaan dengan mulhaq.

UNDANG-UNDANG

Selain dari sumber-sumber hukum yang disebutkan diatas masih adal lagi sumber
hukum yang tidak kalah pentingnya dan bahkan banyak mewarnai hukum keuangan
syariah di negara Indonesia ini yaitu undang-undang, seperti misalnya:

1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.


2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara
(SBSN).
3. Dan beberapa Peraturan dan Edaran BI, dan BAPEPAM/LK atau sekarang disebut
Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
10

2.2 Prinsip Islamic Finance


A. Sesuai dengan syariat Islam
Prinsip-Prinsip syariah yang dilarang dalam operasional perbankan syariah adalah
kegiatan yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
Maisir: Menurut bahasa maisir berarti gampang/mudah. Menurut istilah maisir berarti
memperoleh keuntungan tanpa harus bekerja keras. Maisir sering dikenal dengan
perjudian karena dalam praktik perjudian seseorang dapat memperoleh keuntungan
dengan cara mudah. Dalam perjudian, seseorang dalam kondisi bisa untung atau bisa
rugi.Judi dilarang dalam praktik keuangan Islam, sebagaimana yang disebutkan dalam
firman Allah sebagai berikut:”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar,
maisir, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan syetan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan” (QS Al-Maaidah : 90)
Pelarangan maisir oleh Allah SWT dikarenakan efek negative maisir. Ketika
melakukan perjudian seseorang dihadapkan kondisi dapat untung maupun rugi secara
abnormal. Suatu saat ketika seseorang beruntung ia mendapatkan keuntungan yang
lebih besar ketimbang usaha yang dilakukannya. Sedangkan ketika tidak beruntung
seseorang dapat mengalami kerugian yang sangat besar. Perjudian tidak sesuai dengan
prinsip keadilan dan keseimbangan sehingga diharamkan dalam sistem keuangan Islam.

Gharar: Menurut bahasa gharar berarti pertaruhan. Menurut istilah gharar berarti
seduatu yang mengandung ketidakjelasan, pertaruhan atau perjudian. Setiap transaksi
yang masih belum jelas barangnya atau tidak berada dalam kuasanya alias di luar
jangkauan termasuk jual beli gharar. Misalnya membeli burung di udara atau ikan
dalam air atau membeli ternak yang masih dalam kandungan induknya termasuk dalam
transaksi yang bersifat gharar. Pelarangan ghararkarena memberikan efek negative
dalam kehidupan karena gharar merupakan praktik pengambilan keuntungan secara
bathil. Ayat dan hadits yang melarang gharar diantaranya:“Dan janganlah sebagian
kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
padahal kamu mengetahui” (Al-Baqarah : 188)
Riba: Makna harfiyah dari kata Riba adalah pertambahan, kelebihan, pertumbuhan
atau peningkatan. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan
11

dari harta pokok atau modal secara bathil. Para ulama sepakat bahwa hukumnya riba
adalah haram. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 130 yang
melarang kita untuk memakan harta riba secara berlipat ganda. Sangatlah penting bagi
kita sejak awal pembahasan bahwa tidak terdapat perbedaan pendapat di antara umat
Muslim mengenai pengharaman Riba dan bahwa semua mazhab Muslim berpendapat
keterlibatan dalam transaksi yang mengandung riba adalah dosa besar. Hal ini
dikarenakan sumber utama syariah, yaitu Al-Qur’an dan Sunah benar-benar mengutuk
riba. Akan tetapi, ada perbedaan terkait dengan makna dari riba atau apa saja yang
merupakan riba harus dihindari untuk kesesuaian aktivitas-aktivitas perekonomian
dengan ajaran Syariah.

B. Larangan menetapkan bunga (interest)


Jenis-jenis riba:
1. Riba fadl: yaitu tukar menukar dua barang yang sama jenisnya dengan tidak sama
timbangannya atau takarannya yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan.
2. Riba nasi’ah: yaitu tukar menukar dua barang yang sejenis maupun tidak sejenis
yang pembayarannya disyaratkan lebih, dengan diakhiri/dilambatkan oleh yang
meminjam.
3. Riba ihtikar: riba yang didapat dengan cara menyimpan barang yang dibutuhkan
masyarakat dan memasarkannya setelah harga melonjak.
4. Riba najasy: riba yang didapat dengan cara membuat sebuah situasi di mana
konsumen/pembeli menciptakan demand (permintaan) palsu, seolah-olah ada
banyak permintaan terhadap suatu produk sehingga harga jual produk itu akan naik.

C. Menetapkan sistem bagi hasil


Bagi hasil merupakan sistem di mana dilakukan perjanjian atau ikatan bersama di
dalam melakukan kegiatan usaha. Dijanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan
yang akan diperoleh antara kedua belah pihak atau lebih.
Dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bagi hasil adalah pemberian
perolehan suatu usaha kepada mitra usaha atas keikutsertaan modal atau kerja
pengelolaan dalam jumlah yang ditentukan bersama sebelumnya.
Besarnya penentuan nisbah bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai
kesepakatan bersama dan harus terjadi dengan adanya kerelaan (an-tarodhin) antara
masing-masing pihak tanpa unsur paksaan.
12

D. Larangan melakukan kegiatan spekulatif


Tidak memperkenankan berbagai bentuk kegiatan yang mengandung unsur
spekulasi dan perjudian termasuk didalamnya aktivitas ekonomi yang diyakini akan
mendatangkan kerugian bagi masyarakat. Islam menempatkan fungsi uang semata-
mata sebagai alat tukar dan bukan sebagai komoditi, sehingga tidak layak untuk
diperdagangkan apalagi mengandung unsur ketidakpastian atau spekulasi (gharar)
sehingga yang ada adalah bukan harga uang apalagi dikaitkan dengan berlalunya waktu
tetapi nilai uang untuk menukar dengan barang.

2.3 Perbedaan Syariah & Konvensional

Syariah Konvensional

Orientasi Bagi hasil Profit oriented

Hubungan Bank - Kemitraan Kreditor-Debitor


Nasabah

Penentu Kebijakan DPS Tidak ada


Khusus

Akad Ada Tidak ada

Indeks Saham JII IHSG, LQ45, dll

Perbedaan dari Sisi Orientasi

Seperti yang telah disebutkan pada tabel di atas, Bank Syariah berorientasi pada profit,
kemakmuran, dan kebahagiaan dunia akhirat. Sedangkan Bank Konvensional lebih
cenderung mengutamakan untuk mendapatkan keuntungan atau profit oriented.

Hubungan Nasabah dengan Pihak Bank

Hal berikutnya yang menjadi perbedaan antara Bank Syariah dan Bank Konvensional
adalah dilihat dari sisi hubungan bank dengan nasabahnya.
13

Bank Syariah memperlakukan nasabah mereka layaknya mitra dengan ikatan perjanjian
yang transparan. Itulah alasannya mengapa banyak nasabah Bank Syariah yang mengaku
punya hubungan emosional dengan pihak bank pemberi fasilitas pembiayaan.

Berbeda halnya dengan Bank Konvensional yang memperlakukan hubungan mereka


dengan nasabah sebagai kreditur dan debitur. Jika pembayaran kredit oleh debitur lancar,
maka pihak bank akan memberikan keterangan lancar. Namun, jika pembayaran pinjaman
macet maka pihak bank akan menagih, bahkan bisa berujung pada penyitaan aset yang
diagunkan.

Pada perkembangannya, saat ini Bank Konvensional juga telah berupaya untuk
membangun hubungan emosional dengan nasabah mereka.

Penentu Kebijakan Khusus

Penentu kebijakan dalam Bank Syariah adalah Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS
mengawasi operasional BSM secara independen. DPS ditetapkan oleh Dewan Syariah
Nasional (DSN), sebuah badan di bawah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Seluruh
pedoman produk, jasa layanan dan operasional bank telah mendapat persetujuan DPS untuk
menjamin kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip syariah Islam.Sedangkan dalam
Konvensional tidak memiliki penentu kebijakan khusus.

Akad

Pengertian Akad. Akad adalah kesepakatan tertulis antara bank syariah atau UUS dan
pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesui dengan
Prinsip Syariah. Diantaranya :

• Murabahah
• Salam
• Istishna’
• Mudharabah Muqayyadah
• Musyarakah
• Musyarakah Mutanaqisah
• Wad’ah
• Wakalah
• Ijarah
• Kafalah
• Hawalah
• Rahn
• Qard

Indeks Saham
14

Indeks saham dalam Syariah berbeda dengan Konvensional. Syariah menggunakan


Indeks Saham Jakarta Islamic Index (JII), sedangkan Konvensional menggunakan Indeks
Harga Saham Gabung (IHSG), LQ45, dll sebagai Indeks Sahamnya.

2.4 Instrumen Islamic Finance


Saham Syariah

Saham syariah merupakan efek berbentuk saham yang tidak bertentangan dengan
prinsip syariah di Pasar Modal. Definisi saham dalam konteks saham syariah merujuk
kepada definisi saham pada umumnya yang diatur dalam undang-undang maupun peraturan
OJK lainnya. Ada dua jenis saham syariah yang diakui di pasar modal Indonesia. Pertama,
saham yang dinyatakan memenuhi kriteria seleksi saham syariah berdasarkan peraturan
OJK no. II.K.1 tentang penerbitan Daftar Efek Syariah, kedua adalah saham yang
dicatatkan sebagai saham syariah oleh emiten atau perusahan publik syariah berdasarkan
peraturan OJK no. 17/POJK.04/2015.

Semua saham syariah yang terdapat di pasar modal syariah Indonesia, baik yang tercatat
di BEI maupun tidak, dimasukkan ke dalam Daftar Efek Syariah (DES) yang diterbitkan
oleh OJK secara berkala, setiap bulan Mei dan November. Saat ini, kriteria seleksi saham
syariah oleh OJK adalah sebagai berikut;

1. Emiten tidak melakukan kegiatan usaha sebagai berikut:


a. Perjudian dan permainan yang tergolong judi;
b. Perdagangan yang dilarang menurut syariah, antara lain:
- Perdagangan yang tidak disertai dengan penyerahan barang/jasa;
- Perdagangan dengan penawaran/permintaan palsu;
c. Jasa keuangan ribawi, antara lain:
- Bank berbasis bunga;
- Perusahaan pembiayaan berbasis bunga;
d. Jual beli risiko yang mengandung unsur ketidakpastian (gharar) dan/atau judi
(maisir), antara lain asuransi konvensional;
e. Memproduksi, mendistribusikan, memperdagangkan, dan/atau menyediakan antara
lain:
- Barang atau jasa haram zatnya (haram li-dzatihi);
- Barang atau jasa haram bukan karena zatnya (haram lighairihi) yang ditetapkan
oleh DSN MUI;
- Barang atau jasa yang merusak moral dan/atau bersifat mudarat;
f. Melakukan transaksi yang mengandung unsur suap (risywah); dan
2. Emiten memenuhi rasio-rasio keuangan sebagai berikut:
a. Total utang yang berbasis bunga dibandingkan dengan total aset tidak lebih dari
45% (empat puluh lima per seratus); atau
15

b. Total pendapatan bunga dan pendapatan tidak halal lainnya dibandingkan dengan
total pendapatan usaha (revenue) dan pendapatan lain-lain tidak lebih dari
10% (sepuluh per seratus);

Sukuk

Sukuk adalah efek berbentuk sekuritisasi aset yang memenuhi prinsip-prinsip syariah
di pasar modal. Berdasarkan penerbitnya, sukuk terdiri dari dua jenis:

1. Sukuk negara adalah sukuk yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia berdasarkan
Undang-undang No. 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN),
dan
2. Sukuk korporasi adalah sukuk yang diterbitkan oleh perusahaan, baik perusahaan
swasta maupun Badan Umum Milik Negara (BUMN), berdasarkan peraturan OJK No.
18/POJK.04/2005 tentang penerbitan dan persyaratan sukuk.

Dalam hal sukuk diterbitkan oleh pihak korporasi, maka aset yang menjadi dasar
penerbitan sukuk tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah di Pasar Modal yang
terdiri atas:

1. Aset berwujud tertentu (a’yan maujudat);


2. Nilai manfaat atas aset berwujud (manafiul a’yan) tertentu baik yang sudah ada maupun
yang akan ada;
3. Jasa (al khadamat) yang sudah ada maupun yang akan ada;
4. Aset proyek tertentu (maujudat masyru’ mu’ayyan); dan/atau
5. Kegiatan investasi yang telah ditentukan (nasyath ististmarin khashah).

Reksa Dana Syariah

Reksa dana syariah menurut POJK. No 19/POJK.04/2015 adalah Reksa dana


sebagaimana di maksud dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal dan peraturan
pelaksanaannya yang pengelolaannya tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar
Modal. Berdasarkan definisi tersebut, maka setiap jenis reksa dana dapat diterbitkan
sebagai reksa dana syariah sepanjang memenui prinsip-prinsip syariah, termasuk aset yang
mendasari penerbitannya.

Reksa dana syariah dianggap memenuhi prinsip syariah di pasar modal apabila akad,
cara pengelolaan, dan portofolionya tidak bertentangan dengan prinsip syariah di pasar
modal sebagaimana diatur dalam peraturan OJK tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar
Modal.
16

2.5 Perbedaan Sukuk dan Obligasi


Obligasi

Obligasi sendiri merupakan sebuah instrumen investasi berupa surat utang negara.
Obligasi adalah suatu istilah yang digunakan dalam dunia keuangan yang merupakan suatu
pernyataan utang dari penerbit obligasi kepada pemegang obligasi beserta janji untuk
membayar kembali pokok utang beserta kupon bunganya kelak pada saat tanggal jatuh
tempo pembayaran.

Di Indonesia, surat utang dibedakan berdasarkan jangka waktunya. Dimana surat utang
yang diterbitkan oleh pemerintah dan berjangka waktu 1 hingga 10 tahun disebut Surat
Utang Negara (SUN) dan yang di bawah 1 tahun disebut Surat Perbendaharan Negara
(SPN).

Dalam obligasi akan ada 2 pihak, dimana pihak:

1. Penerbit obligasi adalah pihak yang meminjam atau debitur, sedangkan


2. Pemegang obligasi adalah pihak yang memberi pinjaman atau kreditur
Tujuan penerbitan obligasi ini adalah tak lain untuk memungkinkan pihak penerbit
obligasi memperoleh sejumlah dana guna pembiayaan investasi jangka panjangnya dengan
sumber dana dari luar perusahaan.

Sukuk (Obligasi Syariah)

Sukuk atau obligasi syariah merupakan surat berharga yang diterbitkan dan
merepresentasikan kepemilikan investor atas aset yang menjadi dasar penerbitan sukuk
(underlying asset) tanpa melupakan penerapan prinsip-prinsip syariah. Dengan demikian,
seluruh prosesnya dan pemanfaatannya harus berlandaskan hukum Islami (Syariah).
Sebagai contoh, penggunaan dana hasil penerbitan sukuk hanya boleh digunakan untuk hal-
hal yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah, atau dengan kata lain untuk hal-hal
yang halal. Selain itu, tidak dikenal istilah bunga dalam sukuk. Pengembaliannya terkait
dengan aset, akad dan tujuan pendanaannya dan umumnya berupa imbalan yang berasal
dari uang sewa (ujrah), fee margin, bagi hasil atau sumber lainnya sesuai dengan akad yang
telah disepakati.

Dalam konsep sukuk, perdagangan obligasi bukan dinilai sebagai surat utang, namun
sebagai penjualan atas kepemilikan aset yang menjadi dasar penerbitan. Sukuk juga
memiliki sejumlah investor dengan basis yang lebih luas, yakni mencakup investor
konvensional dan investor syariah.

Obligasi Konvensional

Obligasi konvensional menyatakan utang dari pihak penerbit kepada pihak investor,
dimana penerbitannya tidak membutuhkan underlying asset. Penerbitan obligasi tidak
menggunakan dasar-dasar dan prinsip syariah, sehingga tidak ada pembatasan secara
syariah terkait penggunaan dana hasil penerbitan obligasi. Pengembaliannya juga berupa
bunga yang memang sudah umum digunakan, dan tidak terkait dengan segala tujuan
17

pendanaannya. Obligasi juga hanya bisa meraih investor konvensional, dan tidak dapat
dipilih sebagai instrumen investasi bagi para investor syariah.

Sukuk (Obligasi Syariah) vs Obligasi Konvensional

Pembeda Sukuk Obligasi

Harus berlandaskan prinsip syariah


dalam segala aktivitasnya. Penerbitan
Aktivitas bisnis
sukuk dapat dilakukan juga oleh
penerbit surat Tidak dibatasi
penerbit non-syariah asalkan proses
berharga
penerbitannya disesuaikan dengan
prinsip syariah

Sertifikat bukti kepemilikan atas suatu Instrumen


Sifat Instrumen
aset pernyataan utang

Bunga, capital
Penghasilan Imbalan, bagi hasil, margin
gain

Menengah –
Jangka waktu Pendek – Panjang
Panjang

Underlying
Perlu Tidak Perlu
Asset

Trustee
Pihak terkait Obligor, SPV, investor obligor/issuer,
investor

Basis investor Syariah dan konvensional Konvensional

Penggunaan
Harus sesuai Syariah Bebas
dana
18

Pembeda Sukuk Obligasi

Mencerminkan
Perdagangan di Penjualan atas kepemilikan aset yang
penjualan atas surat
pasar sekunder menjadi dasar penerbitan
utang

Biaya administratif sama dengan


Biaya administratif
Biaya obligasi konvensional, namun ada
tanpa biaya untuk
Administratif tambahan biaya untuk upah Dewan
Dewan Syariah
Syariah

0,05% dari nilai


0,05% dari nilai emisi atau maksimal emisi atau
Pungutan OJK
Rp150 juta maksimal Rp750
juta

Dibutuhkan dokumentasi tambahan


Relatif lebih
Dokumentasi yang memaparkan transaksi
ringkas
pembiayaan syariah

2.6 Syarat Emiten Mengeluarkan Saham Syariah


Dalam pasar modal syariah dikenal dengan istilah saham syariah. Apa kriteria saham
dikatakan sebagai saham syariah dan bagaimana mengetahuinya? Saham dikategorikan
sebagai efek syariah jika diterbitkan oleh perusahaan syariah atau perusahaan yang
sahamnya dikategorikan sebagai saham syariah. Bagi perusahaan yang anggaran dasarnya
non syariah, perusahaan tersebut harus memenuhi kriteria-kriteria lainnya.
Pertama, kegiatan usaha utama perusahaan tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Hal-hal yang bertentangan dengan prinsip syariah misalnya produksi, distribusi, menjual,
atau menyediakan barang yang haram zat maupun sifatnya, perjudian atau permainan
tergolong judi, perdagangan yang dilarang, jasa keuangan ribawi seperti bank dan lembaga
pembiayaan konvensional, jual beli risiko seperti asuransi konvensional atau melakukan
transaksi yang mengandung unsur suap.
Kedua, harus memenuhi rasio keuangan yang telah ditetapkan. Rasio antara total utang
yang berbasis bunga dibandingkan dengan total aset tidak lebih dari 45 persen dan rasio
antara total pendapatan bunga dan pendapatan tidak halal dibandingkan dengan total
pendapatan tidak lebih dari 10 persen. Cara mengetahui saham termasuk saham syariah
dapat dilihat di dalam Daftar Efek Syariah (DES).
19

OJK secara periodik menerbitkan DES dua kali dalam setahun, yaitu pada akhir bulan
Mei dan akhir bulan November. Selain itu, terdapat DES Insidentil yang diterbitkan karena
adanya penetapan saham yang memenuhi kriteria syariah pada saat pernyataan pendaftaran
Emiten dalam rangka penawaran umum perdana (IPO) efektif.

2.7 Pengertian Akad


Akad adalah perikatan ijab qabul berdasarkan ketentuan syariat yang menimbulkan
akibat hukum.
Secara terminologi fikih, akad terbagi dua yaitu pengertian umum dan pengertian
khusus. Akad dalam pengertian umum adalah:
“Segala yang diinginkan manusia untuk mengerjakannya baik bersumber dari keinginan
pribadi seperti waqaf atau bersumber dari dua pihak seperti jual-beli.”
Adapun akad dalam pengertian khusus adalah:
“Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan)
sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada sesuatu perikatan.”
Akad memiliki posisi dan peranan yang sangat strategis dalam berbagai persoalan
mu’amalah. Bahkan akad dapat menjadi salah satu penentu sah atau tidaknya suatu
transaksi. Akad yang telah terjadi mempunyai pengaruh (akibat hukum) yang sangat luas.
Dengan sahnya akad sebuah kepemilikan bisa berpindah dari kepemilikan seseorang
kepada pihak yang lain. Dengan akad pula dapat merubah suatu kewenangan, tanggung
jawab dan kegunaan sesuatu.

2.8 Syarat Sah Akad


Ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan akad, yaitu:
– Syarat in’iqad (terjadinya akad)
– Syarat sahnya akad jual beli
– Syarat kelangsungan jual beli (syarat nafadz)
– Syarat mengikat (syarat luzum)

Maksud diadakannya syarat-syarat ini adalah untuk mencegah terjadinya perselisihan


di antar manusia, menjaga kemaslahatan pihak-pihak yang melakukan akad, dan
menghilangkan sifat gharar (penipuan). apabila syarat in’iqad (terjadinya akad) rusak (tidak
terpenuhi), maka menurut hanafiah akad menjadi fasid. apabila syarat nafadz
(kelangsungan akad) tidak terpenuhi maka akad menjadi mauquf (ditangguhkan), dan
apabila syarat luzum (mengikat) yang tidak terpenuhi, maka akad menjadi mukhayyar
(diberi kesempatan memilih) antara diteruskan atau dibatalkan.

a. Syarat terjadinya akad in’iqad yaitu orang yang melakukan akad, berkaitan dengan akad
itu sendiri, berkaitan dengan tempat akad, berkaitan dengan objek akad.
- syarat aqid, aqid harus berakal mumayyis, orang yang berakad harus berbilang
(tidak sendirian)
20

- syarat akad (ijab dan qabul), syarat akat yang sangat penting adalah bahwa qabul
harus sesuia dengan ijab, dalam arti pembeli menerima apa yang di ijab kan
(dinyatakan) oleh penjual. apabila terdapat perbedaan antara qabul dan ijab,
misalnya pembeli menerima barang yang tidak sesuai dengan yang dinyatakan oleh
penjual, maka akad jual beli tidak sah.
- syarat ma’qud ‘alaih (objek akad), syarat yang harus dipenuhi oleh objek akad
(ma’qud ‘alaih) yaitu: barang yang dijual harus maujud (ada), barang yang dijual
harus mal mutaqawwin, barang yang dijual harus barang yang sudah dimiliki,
barang yang dijual harus bisa diserahkan pada saat dilakukannya akad jual beli.
b. Syarat sah jual beli, syarat sah ini terbagi kepada dua bagian, yaitu syarat umum dan
syarat khusus. syarat umum adalah syarat yang harus ada pada setiap jenis jual beli agar
jual beli tersebut dianggap sah menurut syara’. secara global akad jual beli harus
terhindar dari enam macam yaitu:
- ketidakjelasan
- pemaksaan
- pembatasan dengan waktu
- penipuan
- kemudaratan
- syarat-syarat yang merusak.
c. Syarat kelangsungan jual beli, untuk kelangsungan jual beli diperlukan dua syarat
sebagai berikut:
- kepemilikan atau kekuasaan
- pada benda yang dijual tidak terdapat hak orang lain
d. Syarat mengikatnya jual beli, untuk mengikatnya jual beli, disyaratkan akad jual beli
terbebas dari salah satu pihak untuk membatalkan akad jual beli, seperti khiyar syarat,
khiyar ru’yat, dan khiyar ‘aib. Apabila di dalam akad jual beli terdapat salah satu dari
jenis khiyar ini maka akad tersebut tidak mengikat kepada orang yang yang memiliki
hak khiyar, sehingga ia berhak membatalkan jual beli atau meneruskan atau
menerimanya.

2.9 Rukun Akad


Dalam maknanya yang khusus, akad memiliki tiga rukun yaitu dua pihak yang
melakukan akad (al-âqid), obyek akad (mahallul ‘aqd), serta pelafalan (shighah) akad.
Berikut perinciannya:

Pertama: Dua Pihak Yang Melakukan Akad (Transaktor)


Maksudnya adalah dua orang yang terlibat langsung dalam transaksi. Kedua orang ini
harus memenuhi syarat sehingga transaksinya dianggap sah. Syarat-syarat tersebut adalah:
a) Rasyîd (mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk untuk dirinya). Ini
ditandai dengan akil baligh dan tidak dalam keadaan tercekal. Orang yang tercekal
karena dianggap ediot atau bangkrut total, jika melakukan akad maka akadnya tidak
sah.
b) Sukarela dan tidak terpaksa. Akad yang dilakukan dibawah paksaan tidak sah.
21

c) Akad itu dianggap berlaku dan berkekuatan hukum, apabila tidak memiliki khiyâr (hak
pilih/opsi). Seperti khiyar syarath (hak pilih menetapkan persyaratan), khiyar ‘aib dan
sejenisnya.

Kedua: Obyek Akad (Mahallul Aqd/ al-Ma’qûd ‘alaihi)


Sesuatu yang menjadi obyek akad, terkadang berupa harta benda, barang dan terkadang
non barang atau berupa manfaat (jasa). Misalnya barang yang dijual dalam akad jual beli,
atau yang disewakan dalam akad sewa-menyewa dan sejenisnya.
Obyek ini juga harus memenuhi syarat, baru dikatakan akadnya sah. Syarat-syarat itu
adalah:
1. Obyek akad adalah suatu yang bisa ditransaksikan sesuai syariat. Syarat ini disepakati
para Ulama fikih. Penulis Bidâyatul Mujtahid (2/166), Ibnu Rusyd rahimahullah
mengatakan, “(Jika obyek akad itu) barang, maka (syaratnya adalah) boleh diperjual-
belikan. … sedangkan (jika obyek akad itu adalah) manfaat (jasa) maka harus dari
sesuatu yang tidak dilarang syari’at. Dalam masalah ini, ada beberapa masalah yang
telah disepakati dan ada yang masih diperselisihkan. Diantara yang sudah disepakati
(oleh para Ulama’) adalah batalnya akad sewa-menyewa atas semua manfaat (jasa)
yang digunakan untuk sesuatu yang zatnya haram. Demikian juga semua manfaat (jasa)
yang diharamkan oleh syariat, seperti upah menangisi jenazah dan upah para penyanyi.
Berdasarkan ini, apabila obyek akad itu tidak bisa ditransasikan secara syariat, maka
akadnya tidak sah. Misalnya pada akad Mu’awadhah (transaksi bisnis), maka yang
menjadi obyek haruslah barang yang bernilai, sepenuhnya milik transaktor dan tidak
terkait dengan hak orang lain. Berdasarkan ini, para Ulama ahli fiqih melarang beberapa
bentuk transaksi berikut:
a) Jika obyek akadnya adalah manusia yang merdeka (non-budak), karena orang yang
merdeka bukan harta, sehingga tidak boleh diperjualbelikan dan tidak boleh dijadikan
jaminan hutang.
b) Jika obyek akadnya adalah sesuatu yang najis, seperti bangkai, anjing dan babi. Juga
semua barang yang suci yang berubah menjadi najis yang tidak mungkin disucikan lagi,
seperti cuka, susu dan benca cair lainnya yang terkena najis. Namun jika bisa
dibersihkan, maka itu boleh dijadikan sebagai obyek akad.
c) Jika obyeknya adalah barang yang tidak dapat dimanfaatkan, baik yang tidak dapat
dimanfaatkan dalam bentuk nyata, seperti serangga atau tidak dapat dimanfaatkan
karena dilarang syariat, seperti alat musik.
Karena fungsi legal dari suatu komoditi menjadi dasar nilai dan harga komoditi
tersebut. Komoditi yang tidak berguna ibarat barang rongsokan yang tidak dapat
dimanfaatkan. Atau bermanfaat tetapi untuk hal-hal yang diharamkan, seperti minuman
keras dan sejenisnya, semuanya itu tidak dapat jadikan obyek akad.
2. Obyek akad itu ada ketika akad dilakukan.
3. Obyek transaksi bisa diserahterimakan. Barang yang tidak ada atau ada tapi tidak bisa
diserahterimakan, tidak sah dijadikan sebagai obyek akad.
4. Jika obyeknya adalah barang yang diperjualbelikan secara langsung, maka traksaktor
harus mengetahui wujudnya. Dan harus diketahui ukuran, jenis dan kriterianya, apabila
barang-barang itu berada dalam kepemilikan transaktor namun barang tersebut tidak
22

ada di lokasi transaksi, seperti dalam jual beli as-Salam, berdasarkan sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang melakukan jual beli As-Salm,
hendaknya ia menjual barangnya dalam satu takaran yang jelas atau timbangan yang
jelas, dalam batas waktu yang jelas.”

Ketiga: Kalimat Transaksi (shighat al-Akad)


Yang dimaksudkan adalah ungkapan atau yang mewakilinya yang bersumber dari
transaktor untuk menunjukkan keinginannya terhadap keberlangsungan transaksi dan
sekaligus mengisyaratkan keridhaannya terhadap akad tersebut. Para Ulama ahli fiqih
membahasakannya dengan îjâb dan qabûl (serah terima), namun mereka berbeda pendapat
tentang definisi ijâb dan qabûl. Menurut madzhab hanafiyyah, ijâb adalah kalimat transaksi
yang diucapkan sebelum qabûl, baik bersumber dari pihak pemilik barang (dalam akad
jual-beli, sewa-menyewa) ataupun bersumber dari pembeli (jika dalam akad jual beli).
Sementara menurut jumhur Ulama, îjâb adalah statemen penyerahan dan qabûl adalah
statemen penerimaan. Sehingga menurut jumhur Ulama, ijâb itu mestinya diucapkan oleh
orang pemilik barang pertama, seperti penjual, pemberi sewaan, wali calon isteri dan lain
sebagainya. Dan qabûl karena dia adalah penerimaan, maka msertinya berasal dari orang
yang akan menjadi pemilik kedua, seperti pembeli, penyewa, calon suami dan lain
sebagainya. Jadi, pemilik pertama yang mengucapkan ijâb sementara calon pemilik kedua
yang mengucapkan qabûl.
Pada dasarnya ketika seseorang hendak mengungkapkan keinginannya, maka yang dia
pergunakan adalah untaian kata-kata. Sehingga lafazh dan untaian kata-kata adalah cara
utama dalam mengungkapkan keinginan. Namun ini terkadang bisa diwakili dengan yang
lainnya seperti isyarat, tulisan, surat dan saling memberi dan lain sebagainya. Oleh karena
itu shighat (kalimat transaksi) ini dapat dilakukan dengan dua cara:
1. Dengan shighat qauliyah (ucapan lisan). Ini yang dinamakan îjâb Qabûl. Ijâb qabûl ini
dapat diwujudkan dengan tulisan atau utusan perwakilan.
2. Dengan shighatul fi’liyah (dengan perbuatan) dinamakan juga al-mu’athah yaitu serah
terima tanpa ucapan.

2.10 Jenis-Jenis Akad


1. Natural Certainty Contract (NCC)
Natural Certainty Contracts adalah kontrak/akad dalam bisnis yang memberikan
kepastian pembayaran, baik dari segi jumlah maupun waktunya. Cash flow-nya bisa
diprediksi dengan relatif pasti, karena sudah disepakati oleh kedua belah pihak
yangbertransaksi di awal akad. Kontrak-kontrak ini secara menawarkan return yang
tetap dan pasti. Objek pertukarannya (baik barang maupun jasa) pun harus ditetapkan
di awal akad dengan pasti, baik jumlahnya (quantity), mutunya (quality), harganya
(price), dan waktu penyerahannya (time of delivery). Yang termasuk dalam kategori ini
adalah kontrak-kontrak jual-beli, upah-mengupah, sewa-menyewa.

2. Natural Uncertainty Contract (NUC)


23

Natural Uncertainty Contracts adalah kontrak/akad dalam bisnis yang tidak


memberikan kepastian pendapatan, baik dari segi jumlah maupun waktunya. Dalam
NUC, pihak-pihak yang bertransaksi saling mencampurkan asetnya (baik real assets
maupun financial assets) menjadi satu kesatuan, dan kemudian menanggung resiko
bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan. Di sini, keuntungan dan kerugian
ditanggung bersama. Yang termasuk dalam kontrak ini adalah kontrak-kontrak
investasi. Kontrak investasi ini tidak menawarkan keuntungan yang tetap dan pasti.

A. Akad Penghimpunan Dana


Dalam melaksanakan kegiatan penghimpunan dana, bank syariah dengan bank
konvensional sama yaitu untuk penghimpunan dana menggunakan giro, tabungan dan
deposito Cuma yang membedakan adalah adanya akad yang sesuai dengan prinsip
syariah, dan dalam penyaluran dana tidak dikenalnya istilah bunga akan tetapi adanya
imbalan bagi hasil. Prinsip syariah yang dimaksudkan dalam perbankan adalah prinsip
syariah yang di keluarkan atau di fatwakan oleh MUI (majlis ulama indonesia).
Dalam konteks masalah muamalah berkaitan dengan berbagai aktivitas kehidupan
sehari-hari. Cakupan hukum muamalat sangat luas dan bervariasi, baik yang bersifat
perorangan maupun yang bersifat umum, seperti perkawinan, kontrak atau perikatan,
hukum pidana, peradilan dan sebagainya. Pembahasan muamalah terutama dalam
masalah ekonomi tentunya akan sering kali ditemui sebuah perjanjian atau akad.
Akad merupkan peristiwa hukum antara dua pihak yang berisi ijab dan kabul, secara
sah menurut syara dan menimbulkan akibat hukum. Jika kita kaitkan dengan sebuah
desain kontrak maka kita akan mencoba mengkaitkan dengan Lembaga Keuangan
dikarenakan akad merupakan dasar sebuah instrumen dalam lembaga tersebut,
terutama di Lembaga Keungan Syariah Akad menjadi hal yang terpenting hal ini
terkait dengan boleh atau tidaknya sesuatu dilakukan di dalam islam.

Wadi’ah
Wadi’ah, dapat dilakukan dengan cara kita memberikan sebuah jasa untuk sebuah
penitipan atau pemeliharaan yang kita lakukan sebagai ganti orang lain yang
mempunyai tanggungan. Wadi’ah adalah akad penitipan barang atau jasa antara pihak
yang mempunyai barang atau uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan
tujuan menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau uang tersebut.
Pembagian wadi’ah sebagai berikut :
- Wadi’ah Yad Al-Amanah
Akad Wadiah dimana barang yang dititipkan tidak dapat dimanfaatkan oleh
penerima titipan dan penerima titipan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau
kehilangan barang titipan selama si penerima titipan tidak lalai.
- Wadi’ah Yad Ad-Dhamanah
Akad Wadiah dimana barang atau uang yang dititipkan dapat dipergunakan oleh
penerima titipan dengan atau tanpa ijin pemilik barang. dari hasil penggunaan
barang atau uang ini si pemilik dapat diberikan kelebihan keuntungan dalam
bentuk bonus dimana pemberiannya tidak mengikat dan tidak diperjanjikan.
24

Mudharabah
Mudharabah merupakan akad kerjasama dimana satu pihak menginvestasikan dana
sebesar 100 persen dan pihak lainnya memberikan porsi keahlian. Keuntungan dibagi
sesuai kesepakatan dan kerugian sesuai dengan porsi investasi.

B. Akad Penyaluran Dana


Akad Musyarakah
Akad musyarakah atau biasa disebut Al-Musyarakah adalah akad kerjasama antara
kedua belah pihak atau kemungkinan lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-
masing pihak akan memberikan kontribusi dana atau biasa disebut expertise, dengan
memiliki kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung oleh bersama.

Rukun dari akad Musyarakah terbagi menjadi tiga, diantaranya:

1. Pelaku akad yakni para mitra usaha.


2. Objek akad, yakni modal (mal), kerja (dharabah) dan keuntungan.
3. Sedangkan terakhir yakni ijab dan qabul (Shighah).

Jenis Jenis Akad Musyarakah:

1. Syirkah Al-Inan

Syirkah Al-Inan memiliki arti dimana ada dua pihak atau lebih memberikan
penyertaan modalnya dengan porsi yang berbeda, maka dengan bagi hasil
keuntungan yang disepakati bersama dan kerugian yang diderita akan di tanggung
sesuai dengan besarnya porsi modalnya masing-masing. Sehingga sebagian orang
cenderung memilih jenis akad ini, karena lebih aman dan menjanjikan. Ataupun
bagi mereka yang tidak memiliki modal dan dana terlalu besar.

Dalam hal pekerjaan dan tanggung jawab akan ditentukan dengan kesepakatan
bersama dan tidak tergantung pada porsi modalnya, begitu juga dengan
keuntungan yang akan didapat. Mereka tidak akan bergantung dari porsi modal di
sesuaikan dengan perjanjian di muka.

Setiap mitra dari Syirkah Al-Inan maka akan bertindak sebagai wakil
dibandingkan mitra yang lainnya dalam hal modal, serta jenis pekerjaan yang
dilakukan untuk keperluan transaksi bisnisnya. Selain itu ciri khas lainnya adalah
setiap mitra tidak akan saling memberikan jaminan pada masing-masing mitra
bisnisnya, meskipun dalam bentuk barang atau persediaan sejenisnya.

Akad ini bersifat tidak mengikat dan pada saat tertentu, mitra dan partner bisa
mengundurkan diri dan mencoba memutus kontrak. Namun kembali lagi, anda
harus menggunakan prosedur yang teratur agar tidak terjadi kesalahpahaman dan
kerugian mendadak. Selain itu cara mengundurkan diri pun menggunakan
kerjasama dan penjualan saham, bukan memutus bisnis secara sepihak.

2. Syirkah Al-Mufawadah
25

Dalam akad ini, setiap mitra harus menyertakan modal yang sama nilainya
untuk mendapatkan profit yang sesuai dengan modalnya. Begitupun jika
mengalami kerugian dan harus menanggung bersama sesuai modal. Para Ulama
dari Mazhab Hanafi menyatakan bahwa setiap partner saling menjamin untuk
garansi bagi partner lainnya.

Sedangkan Ulama dari Mazhab Hanafi dan Zaidi memandang bahwa bentuk
partnership merupakan hal yang legal, sedangkan Mazhab Hanbali dan Shafi’i
memandang bahwa yang dipahami Mazhab Hanafi tidak berdasar dan ilegal.
Sesungguhnya Syirka Al-Mufawadah cukup sulit di aplikasikan, karena modal
kerja dan keahlian dari masing-masing partner berbeda-beda. Sedangkan untuk
mewujudkan bisnis ini, porsi yang mereka miliki harus sama beserta persediaan
yang melingkupinya.

Akad Mudharabah

Secara teknis, mudharabah merupakan akad kerja sama di bidang usaha baik antara
pemilik dana dan pengelola dana untuk dibuat sebuah usaha dan dikelola baik laba
dibagi atas dasar nisbah bagi hasil menurut kesepakatan baik pihak pertama maupun
pihak kedua. Namun, bila terjadi kerugian maka akan ditanggung oleh pemilik dana
kecuali disebabkan oleh pengelola dana itu sendiri. Dalam istilah ekonomi,
mudharabah biasa disebut trust financing yang memang bermodalkan keperayaan
untuk membangun sebuah transaksinya.

Rukun Mudharabah

1. Pemilik modal maupun pelaksana usaha tersebut


2. Objek mudharabah atau modal dan kerja
3. Persetujuan kedua belah pihak atau ijab qabul
4. Dan nisbah keuntungan

Dalam PSAK 105, akad mudharabah dibagi menjadi 3 jenis:

1. Mudharabah Muthlaqah

Mudharabah mutlaqah merupakan bentuk kerjasama yang dibangun antara


pemilik dana dan pengelola dana tanpa adanya pembatasan oleh pemilik dana
dalam hal tempat ataupun investasi objeknya. Dalam hal ini, pemilik dana
memang memberikan kewenangan penuh atas hartanya untuk dikelola oleh
pengelola dana.

Kontrak mudharabah muthlaqah dalam perbankan syariah biasa digunakan


untuk tabungan ataupun pembiayaan lain-lain. Sifat mudharabah ini tidak
terikat. Rukun transaksi mudharabah diantaranya dua pihak transaktor atau
pemilik modal dan pengelola, objek akad mudharabah atau modal dan usaha
dan juga ijab dan kabul atau biasa disebut persetujuan perjanjian.

2. Mudharabah Musytarakah
26

Mudharabah musytarakah merupakan jenis akad selanjutnya yang bisa


anda ketahui. Ketika awal kerjasama, akad yang disepakati yakni akad
mudharabah dengan modal 100% dari pemilik dana, namun ketika berjalanya
usaha dan pengelola dana tertarik menanam modal pada usaha tersebut, maka
pengelola dana diperbolehkan untuk ikut dan menyumbang modal untuk bisa
mengembangkan usaha tersebut. Cukup banyak yang melakukan akad
mudharabah musytarakah, karena pada akhirnya banyak pengelola dana yang
tergiur untuk bergabung dan menerima keuntungan.

3. Mudharabah Muqayyadah

Mudharabah muqayyadah merupakan jenis akad dengan bentuk kerjasama


antara pemilik dana serta pengelola dana, dengan kondisi pemilik dana
membatasi pengelola dana untuk memilih tempat maupun transaksi dan juga
objek investasinya.Dalam transaksi mudharabah muqayyadah jika diibaratkan
sebagai bank syariah, maka bersifat agen yang menghubungkan antara
shahibul maal serta mudharib.

C. Akad Jual Beli


Akad Murabahah
Pada dasarnya, murabahah adalah transaksi penjualan. Yang membedakan akad ini
dengan praktik penjualan konvensional adalah informasi yang diberikan kepada
pembeli. Menurut pendapat Utsmani, murabahah adalah bentuk jual-beli yang
menuntut penjual untuk memberi informasi kepada calon pembeli tentang harga dan
biaya di baliknya. Selain harga jual, calon pembeli juga berhak tahu tentang nilai
pokok barang serta jumlah keuntungan yang diambil penjual.

Akad Salam
Akad salam menurut definisi para fuqaha adalah jual beli barang tidak tunai
dengan pembayaran tunai. Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan maksud dari salam adalah
jual beli suatu barang secara tangguh, hanya sifat-sifatnya saja yang disebutkan ketika
akad. Penyerahan barangnya diwaktu yang akan datang, namun pembayarannya wajib
dilakukan dipendahuluan akad secara keseluruhan dan tunai.

Akad Istishna
Akad Istishna menurut jumhur dari segi definisi sama dengan salam, hanya saja
Hanafiyah lebih spesisifik dan membedakannya dari salam. Menurut Hanafiyah akad
istishna merupakan suatu akad terhadap seorang pembuat atau pengrajin untuk
mengerjakan atau membuat suatu barang tertentu yang ditangguhkan.

Sekretaris komisi fatwa DSN MUI Hasanuddin menyebutkan, “Dalam akad salam,
barangnya mitsli (mesti sudah ada sebelumnya atau ada contoh sebelumnya.
Sedangkan dalam akad istishna’ barang bersifat qiimi (barang masih berbentuk
gambaran, belum ada wujudnya) sehingga perlu dibuat terlebih dahulu sebelum
diserahkan ke pemesan atau pembeli.” Sebagai contoh, barang yang sering disebutkan
27

untuk akad istisha ini adalah pembuatan baju. Seseorang datang kepada desainer atau
perancang busana atau tukang jahit minta dibuatkan baju. Maka akad yang cocok
untuk transaksi ini adalah akad istishna.

D. Akad Sewa Menyewa


Ijarah
Menurut bahasa, ijārah bararti upah, sewa, jasa, atau imbalan. Dalam pembahasan
ilmu fikih sewa dan upah disebut ijārah, adapun sewa ialah imbalan atau ganti rugi
bagi manfaat yang diterima dari suatu barang milik pihak lain. Sewa disebut juga al-
ijārah al-ain yang berkaitan dengan benda atau barang yang jelas wujudnya dan jelas
manfaatnya, misalnya, menyewa rumah, kendaraan, dan sebagainya.
Dalam sewa-menyewa harus ada unsur-unsur yang meliputi:
1. Mu’ājir yang dalam hal ini disebut sebagai pengusaha atau majikan, yaitu pemilik
yang menyewakan manfaat.
2. Musta’jir yang lebih dikenal dengan pekerja atau buruh atau pihak lain yang
diberikan sewa.
3. Obyek yang disewakan (ma’jūr) yaitu sesuatu yang diperjanjikan untuk diambil
manfaatnya.
4. ‘Ujrah/’iwad yang lebih umum disebut upah atau gaji, yaitu jasa yang diberikan
sebagai imbalan manfaat yang diperjanjikan.

Al Ijarah al Muntahiya bit Tamlik (IMBT)


Al Ijarah al Muntahiya bit Tamlik adalah kepemilikan suatu manfaat/jasa berupa
barang yang jelas dalam tempo waktu yang jelas dikuti dengan adanya pemberian
kepemilikan suatu barang yang bersifat khusus dengan adanya ganti yang jelas.
IMBT adalah akad sewa menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa untuk
mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakannya dengan opsi perpindahan
hak milik objek sewa pada saat tertentu sesuai dengan akad sewa.
Adapun rukun dalam IMBT adalah:
1. Orang yang berakad: Penyewa (Musta'jir) dan Pemberi Sewa (Mu'jir/Mu'ajjir)
2. Sewa/imbalan: Harga Sewa (Ujrah)
3. Manfaat Obyek Sewa (Ma'jur)
4. Sighat (ijab dan kabul).

E. Akad Jasa
WAKALAH
Akad perwakilan antara satu pihak kepada yang lain. Wakalah biasanya diterapkan
untuk pembuatan Letter of Credit, atas pembelian barang di luar negeri (L/C Import)
atau penerusan permintaan.

KAFALAH
Akad jaminan satu pihak kepada pihak lain. Dalam lembaga keuangan biasanya
digunakan untuk membuat garansi atas suatu proyek (performance bond), partisipasi
dalam tender (tender bond) atau pembayaran lebih dulu (advance payment bond).
28

HAWALAH
Akad pemindahan utang/piutang suatu pihak kepada pihak yang lain. Dalam
lembaga keuangan hawalah diterapkan pada fasilitas tambahan kepada nasabah
pembiayaan yang ingin menjual produknya kepada pembeli dengan jaminan
pembayaran dari pembeli tersebut dalam bentuk giro mundur. Ini lazim disebut Post
Dated Check. Namun disesuaikan dengan prinsip-prinsip Syariah.

RAHN
Akad menggadaikan barang dari satu pihak kepada pihak yang lain, dengan uang
sebagai gantinya. Akad ini digunakan sebagai akad tambahan pada pembiayaan yang
berisiko dan memerlukan jaminan tambahan. Lembaga keuangan tidak menarik
manfaat apapun kecuali biaya pemeliharaan atau keamanan barang tersebut.

QARD
Pembiayaan kepada nasabah untuk dana talangan segera dalam jangka waktu yang
relatif pendek, dan dana tersebut akan dikembalikan secepatnya sejumlah uang yang
digunakannya. Dalam transaksi ini, nasabah hanya mengembalikan pokok.
29

Bab III Kesimpulan dan Saran


3.1 Kesimpulan
Islamic Finance adalah jenis kegiatan pembiayaan yang harus mematuhi
Syariah (Hukum Islam). Konsep ini juga dapat merujuk pada investasi yang diizinkan
berdasarkan Syariah. Praktik umum keuangan dan perbankan Islam muncul bersama
dengan dasar Islam. Adapun dasar hukum Islamic finance adalah Al-Qur’an, Sunnah,
Ijma, Qiyas, dan UU.
Dalam prakteknya, Islamic finance menggunakan sistem bagi hasil dan
mengharamkan riba. Yang membedakan antara finance konvensional dan Islam
adalah eksistensi akad, dimana dalam Islamic finance akad itu selalu ada dalam setiap
transaksi sedangkan konvensional tidak.

3.2 Saran
Untuk menggunakan Islamic finance dengan baik, diperlukan pemahaman yang cukup
dalam hukum Syariah. Oleh karena itu, sebelum mencoba berekonomi Syariah, kita harus
tahu dengan jelas perbedaan antara ekonomi biasa/konvensional dengan ekonomi Syariah.
30

Daftar Pustaka

Wahbah Az-Zuhaili, Al-Muamalat Al-Maliyah Al-Mu’ashirah, jilid.1, hal.295

” Islamic Finance - Financing activities that must comply with Sharia (Islamic Law)”.

Diambil dari https://corporatefinanceinstitute.com/resources/knowledge/finance/islamic-

finance/

“Mengenal Penghimpunan dan Pembiayan Menggunakan Akad Mudharabah”. (2017).


Diambil dari https://www.kompasiana.com/halim212/58d0fc7a729373ca7a219423/mengenal-
penghimpunan-dan-pembiayan-menggunakan-akad-mudharabah

“MACAM-MACAM AKAD DALAM AKAD LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH”.(2012).

Diambil dari https://sithobil.wordpress.com/2012/01/16/macam-macam-akad-dalam-akad-

lembaga-keuangan-syariah/

“Akad Dan Rukunnya Dalam Pandangan Islam”. (2013). Diambil dari


https://almanhaj.or.id/3621-akad-dan-rukunnya-dalam-pandangan-islam.html

“Mengenal Akad Sewa Menyewa”. (2012). Diambil dari https://almanhaj.or.id/3243-mengenal-


akad-sewa-menyewa.html

“AKAD SEWA-MENYEWA (IJĀRAH) DALAM HUKUM ISLAM”. (2008). Diambil dari


http://wirasonline.blogspot.com/2008/07/akad-sewa-menyewa-ijrah-dalam-hukum.html

“Mengenal Akad Perbankan Syariah”. (2016). Diambil dari


https://www.bankmuamalat.co.id/edukasi-perbankan/mengenal-akad-perbankan-syariah

“Dewan Pengawas Syariah”. (2017). Diambil dari https://www.syariahmandiri.co.id/tentang-


kami/dewan-pengawas-syariah

“Prinsip Dan Konsep Dasar Perbankan Syariah”. (2017). Diambil dari


https://www.syariahmandiri.co.id/news-update/edukasi-syariah/prinsip-dan-konsep-dasar-
perbankan-syariah

“Mekanisme Keuangan Syariah Berbasis Bagi Hasil”. (2019). Diambil dari


https://www.finansialku.com/mekanisme-keuangan-syariah-berbasis-bagi-hasil/

“Apa Itu Ihtikar”. (2018). Diambil dari https://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-


islam/islam-nusantara/19/01/18/plibki313-apa-itu-ihtikar
31

“Transkasi yang Dilarang Dalam Islam Akuntansi Syariah”. (2014). Diambil dari
https://datakata.wordpress.com/2014/11/26/transaksi-yang-dilarang-dalam-islam-akuntansi-
syariah/

“Fikih Muamalaha: Pengertian Akad”. (2017). Diambil dari


https://www.ldiibojonegoro.com/home/fikih-muamalah-pengertian-akad/

“Akad Musyarakah”. (2017). Diambil dari https://dosenakuntansi.com/akad-musyarakah

“Akad Mudharabah”. (2017). Diambil dari https://dosenakuntansi.com/akad-mudharabah

“Mengenal Akad Murabahah dalam Ekonomi Islam”. (2018). Diambil dari


https://qazwa.id/blog/mengenal-akad-murabahah-dalam-ekonomi-islam/

“Kriteria Saham Syariah”. (2018). Diambil dari https://muamala.net/kriteria-saham-syariah/

“Perbedaan Sukuk dan Obligasi”. (2019). Diambil dari


https://www.finansialku.com/perbedaan-sukuk-dan-obligasi/

“Produk Syariah”. (2018). Diambil dari https://www.idx.co.id/idx-syariah/produk-syariah/

“Pengertian Akad Jual Beli Rukun Syarat dan Macam-macam Jual Beli”. (2016). Diambil
dari http://www.informasiahli.com/2016/09/pengertian-akad-jual-beli-rukun-syarat-dan-
macam-macam-jual-beli.html

“Mengenal Akad Perbankan Syariah”. (2008). Diambil dari


https://www.bankmuamalat.co.id/edukasi-perbankan/mengenal-akad-perbankan-syariah

Anda mungkin juga menyukai