Anda di halaman 1dari 21

PERCOBAAN I

PENENTUAN KADAR KASEIN PADA SUSU

A. TUJUAN PRAKTIKUM

Tujuan praktikum ini adalah mengenalisi kadar kasein pada susu yang dipanaskan.

B. DASAR TEORI

Protein merupakan bahan makanan yang sangat penting dalam menyusun komponen-
komponen sel, terutama dalam proses pertumbuhan dan perkembangan mahluk hidup. Kadar
protein yang terdapat dalam susu berkisar antara 2,8 persen sampai 4,0 persen(Chandra,
2011).
Susu terdiri dari tiga komponen utama: air, lemak, dan protein. Protein yang terdapat
dalam susu terdiri dari dua jenis, yakni kasein dan whey. Ciri dari protein adalah terdapatnya
unsur N pada rantainya, tidak seperti lemak dan karbohidrat yang hanya terdiri dari unsur C,
H, dan O.Protein merupakan senyawa yang sangat kompleks,terdiri dari 80% kasein dan 20%
whey.Kasein termasuk jenus phospoprotein,terdiri dari beberapa unit asam amino yang terikat
dengan ikatan peptide(Abizar,2006)..
Kasein adalah protein yang ditemukan dalam susu dan digunakan secara terpisah
dalam banyak makanan sebagai bahan pengikat. Secara teknis, itu adalah bagian dari
kelompok yang disebut phos phopr oteins , koleksi protein terikat dengan sesuatu yang
mengandung asam fosfat. Kasein juga dapat disebutcas einogen, terutama dalam makanan
Eropa. Kasein adalah protein yang paling banyak tersedia di susu. Protein ini relatif tidak bisa
larut dan cenderung membentuk struktur yang disebut misel yang meningkatkan kelarutannya
di air. Selama pemrosesan susu, yang umumnya melibatkan panas atau asam, senyawa kasein
peptide dan struktur misel akan terganggu dan membentuk struktur yang lebih sederhana.
Kasein dapat diendapapkan oleh asam, enzim rennet, dan alkohol. Selain penambahan asam,
pengendapan kasein susu juga dilakukan dengan penambahan renin, yaitu suatu enzim
proteolitik yang diperoleh dari induk sapi betina. Oleh karena itu, susu dapat dikoagulasikan
(digumpalkan) oleh asam yang terbentuk di dalam susu sebagai aktivitas dari mikroba.Kasein
merupakan protein yang stabil terhadap pemanasan dan tidak mengalami denaturasi bila air
susu dipanaskan(Sigit & Mufidah, 2011).
Kasein merupakan sebuah fosfoprotein. Kasein tidak dapat larut pada titik
isoelektriknya, pH 4.6, namun karena pH susu mendekati 7.0, tidak diragukan kasein akan
berada sebagai sebuah garam, yakni kalsium kaseinat. Pada bahwa asidifikasi (pengasaman),
kasein akan mengendap:

Ca – kasein + 2HCl Kasein + CaCl2


Susu terdiri dari tiga komponen utama: air, lemak, dan protein. Protein yang terdapat
dalam susu terdiri dari dua jenis, yakni kasein dan whey. Ciri dari protein adalah terdapatnya
unsur N pada rantainya, tidak seperti lemak dan karbohidrat yang hanya terdiri dari unsur C,
H, dan O.Kasein termasuk jenus phospoprotein,terdiri dari beberapa unit asam amino yang
terikat dengan ikatan peptide(Abizar,2006).

Pada pengasaman susu, reaksi yang sama akan terjadi. Rennin juga akan
mengendapkan kasein. Bagaimanapun juga, hal ini tidak sepenuhnya benar, karena
pencernaan parsial juga ikut ambil bagian dalam reaksi tersebut, dimana beberapa fragmen
dan protein akan memisah. Hal ini berbeda dengan pengendapan dengan menggunakan asam
yang hasil endapannya mengandung kalsium. Faktanya, pada ketiadaan kalsium,
pengendapan tidak akan terjadi seperti ini: Ca – kaseinat Ca – parakaseinat + Peptida

Namun,
Kasein Parakasein + Peptida

Parakasein akan tetap berada dalam larutan hingga ion Ca2+ ditambahkan:

Parakasein + Ca+ Ca – parakaseinat

Hai ini dapat ditunjukan dengan menambahkan sejumlah asam oksalat ke dalam susu,
dan akan melalui penyaringan, susu tanpa kalsium. Rennin, jika dimasukkan ke dalam susu
tanpa kasium itu, tidak akan menggumpalkan kasein dalam susu tersebut, dibandingkan
dengan rennin yang akan menggumpalkan susu biasa dalam beberapa menit. Penambahan
berikutnya, garam kalsium yang dapat larut, dalam jumlah berlebih, akan membawa
gumpalan turun ke dalam wadah. Bila rennin ditambahkan ke dalam susu yang dididihkan,
tidak akan ada gumpalan, sebab pemanasan telah menyebabkan kalsium menjadi terendapan
sebagai Ca3 (PO4)2. Susu yang digumpalkan atau “junket” sering digunakan dalam makanan
Amerika. Pada kondisi yang sesuai, enzim proteolitik lain akan menyebabkan susu
menggumpal dengan cara ini, namun rennin, enzim yang berada dalam perut keempat pada
sapi muda, sangat efektif dan sangat efektif dan sangat jelas efeknya terbatas pada pencernaan
ini (Kleiner and Orten, 1966).
C. ALAT DAN BAHAN
Alat :
Pipet tetes
Batang pengaduk
1 set alat titrasi
Erlenmeyer 250 ml
Gelas kimia 100 ml – 50 ml
Bahan :
Asam asetat 1 N dan 0,25 N
NaOH 0,1 N
Formaldehid
Indicator pp
Susu sachet

D. CARA KERJA
1 gram susu + 50 ml aquades

Memanaskan pada suhu 40°c


Menambahakan 1,5 ml asam asetat 1 N
Mendiamkna selama 20 jam
Mengaduk dan mendiamkan selama 1 jam
Menyaring sampel menggunakan corong dan kertas saring

Endapan

Mencuci dengan aquades sampai netral


Memasukkan kedalam beeker
Menambahkan aquades sampai volume ± 20 ml
Menambahkan 4 ml NaOH 0,1 M
Memanaskan sampai larut dan mendinginkan
Meneteskan 3 tetes fenolftalein
Menanbakan 4 ml formaldehyde 40% (warna rose hilang )
Menitrasi dengan NaOH 0,1 sampai warna rose kembali
Menghitung kadar kasein
Kadar % kasein
E. HASIL
a. Lembar Kerja
NO PERLAKUAN KE VOLUME NaOH
1 I 15 ml
2 II 15 ml
3 III 14,4 ml

b. Perhitungan
1. Perlakuan 1
kadar kasein = ml NaOH 0,1 N x 0,9 %
=15 x 0,9%
= 13,5%
2. Perlakuan 2
kadar kasein = ml NaOH 0,1 N x 0,9 %
=15 x 0,9%
= 13,5%
3. Perlakuan 3
kadar kasein = ml NaOH 0,1 N x 0,9 %
=14,4 x 0,9%
= 12,96%

c. Pertanyaan.
1. Apa kegunaan dari formaldehid pda percobaan ini ?
Jawab : Dalam Formaldehid terdapat formalin yang berguna sebagai bahan pengawet.
2. Umumnya berapa kandungan kasein dalam susu?
Jawab : Kandungan kasein dalam susu sebanyak 80%.
3. Selain kasein jenis protein apa lagi ang terdapat pada susu yang anda gunakan aebagai
sampel?
Jawab : Selain kasein dalam protein ada juga terdapat whey sebanyak 20%.
F. PEMBAHASAN

Praktikum kali ini melakukan percobaan tentang penentuan kadar casein pada susu.
Penentuan casein yang dilakukan dalam percobaan ini dengan menggunakan susu bubuk yang
telah dikemas atau susu bubuk siap saji yang siap untuk diminum secara langsung.
Percobaan pertama pembuatan endapan casein dilakukan dengan memanaskan susu
murni dalam air panas sampai 40oC. Pemanasan ini bertujuan untuk menurunkan kelarutan
protein sehingga dapat mengendapkan protein susu pada kondisi yang sesuai atau pemanasan
ini dapat menyebabkan denaturasi rusaknya struktur protein sehingga mempercepat
pengendapan protein. Tetapi pemanasan pada suhu ini, casein tidak mengalami pengendapan.
Pada dasarnya casein merupakan protein yang stabil terhadap pemanasan dan tidak mengalami
denaturasi apabila air susu dipanaskan. Tetapi pemanasan ini akan mengubah stabilitas casein
dan menyebabkan casein nantinya mudah dilakukan pengendapan.
Percobaan kedua menambahan larutan asam asetat. Penambahan asam mengakibatkan
penambahan ion H+ sehingga akan menetralkan protein dan menuju tercapainya pH isoelektrik
dari casein. Pada titik isoelektrik ini casein bersifat hidrofobik, casein akan berikatan antar
muatannya sendiri membentuk lipatan ke dalam sehingga terjadi pengendapan yang relatif
cepat.Apabila pH isoelektrik sudah tercapai maka akan mudah terbentuk gumpalan. Titik
isoelektrik casein pH 4,6 – 5,0 dan pada titik ini casein mudah sekali mengendap. Dalam
kondisi asam atau pH yang rendah, kasein akan mengendap karena memiliki kelarutan yang
rendah pada kondisi asam. Menurut (Kukuh, 2012) Penambahan asam dapat menghilangkan
muatan listrik dari partikel casein karena asam akan mengikat kalsium dan kalsium kaseinat,
sehingga kasein menjadi terlepas dan terbentuk endapan.
Berdasarkan hasil percobaan diperoleh kadar casein dalam sampel susu murni yang
digunakan sebesar 13,5 %, 13,5% dan 12,96%. Kasein yang diperoleh dari dalam susu murni
berwarna putih.

G. KESIMPULAN

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dalam susu
terdapat lemak yang berupa kasein, protein, karbohidrat, kalsium, dan fosfor. Protein yang
terdapat dalam susu adalah asam amino aromatik, asam amino triptophan, dan asam amino
tirosin. Susu segar memiliki pH yang cenderung normal, sedangkan pada susu yang sudah
basi memiliki pH yang cenderung asam karena laktosa difermentasi.
DAFTAR PUSTAKA

Abizar. M. 2006. Studi Analisa Casein Pada Susu Bubuk. Jurnal Ilmu Pangan, 4(1) : 56-62.
Online. (i-lib.ugm.ac.id/jurnal/detail/php.dataid) Diakses 1 November 2014.

Chandra. S. 2011. Penentuan Kadar Casein Pada Susu Kental Manis. Jurnal Teknologi
Pangan, 10(2) : 12-19. online. reporsitory.ipb.ac.id) Diakses 1 November 2014.

Kukuh. W. 2012. Uji Kandungan Protein Pada Susu Fermentasi. Jurnal Kimia Pertanian 3(1)
: 4-10. online. (telkomuniversity.ac.id). Diakses 1 November 2014

Sigit & Mufidah. 2010. Pengaruh Fermentasi Susu Terhadap Konsentrasi Kandungan
Protein. Jurnal Pertanian 2(2) : 31-37. online. (e-journal.brawijaya.ac.id). Diakses 1
November 2014

Kleiner and Orten: Biochemistry 7 th edition. Saint Louis. 1966. The C. V. Mosby Company
PERCOBAAN II

PENENTUAN KADAR GLUKOSA PADA BAHAN PANGAN

A. TUJUAN PERCOBAAN
Tujuan praktikum ini adalah menganalisis kadar glukosa pada bahan pangan

B. DASAR TEORI

Karbohidrat didefinisikan secara tepat sebagai senyawa dengan rumus molekul


Cn(H2O)n.Namun, kata ’karbohidrat’ umumnya digunakan dalam pengertian lebih terbatas
untuk menunjukkan zat yang terdiri atas polihidroksi aldehida dan keton serta turunannya.
Gula yang kita kenal dengan sebutan sakarida, umumnya diperlukan sebagai karbohidrat
khas. Monosakarida adalah karbohidrat yang biasanya memiliki tiga sampai sembilan atom
karbon (Pine,dkk., 1988).

Karbohidrat ini merupakan sumber kalori atau mikronutrien utama bagi organisme
heterotroph. Sebagian lagi sebagai bahan utama sandang (misalnya serta kapas). Industri
(rami, rosela), bahan bangunan(kayu, bambu) atau bahan baker (kayu baker, seresah).
Disamping sebagai sumber utama biokalori dalam bahan makanan, beberapa jenis karbohidrat
dan turunannya (derivatnya) memegang peranan penting dalam teknologi makanan misalnya
gum (Arabic, karaya, guar) sebagai bahan pengental atau CMC (carboxymethylcellulose)
sebagai bahan penstabil dan banyak lagi sebagai bahan pemanis (sukrosa, glukosa, fruktosa)
(Sudarmadji,1996).

Berdasarkan jumlah monomer pembentuk suatu karbohidrat maka dapat dibagi atas
tiga golongan besar yaitu monosakarida, disakarida dan polisakarida. Istilah sakarida berasal
dari bahasa latin dan mengacu pada rasa manis senyawa karbohidrat sederhana.
Monosakarida adalah karbohidrat yang tidak dapat dihidrolisis menjadi senyawa yang lebih
sederhana (Tim Dosen Kimia, 2009).
Monosakarida adalah karbohidrat yang sederhana, dalam arti molekulnya hanya terdiri
dari beberapa jenis atom karbon saja dan tidak dapat diuraikan dengan cara hidrolisis dalam
kondisi lunak menjadi karbohidrat lain. Monosakarida yang paling sederhana adalah
gliseraldehida dan dihidroksiaseton (Poedjiadi, 1994).
Salah satu monosakarida yang amat penting adalah glukosa atau sering dikenal
dengan dekstrosa. Glukosa adalah gula yang mempunyai enam atom karbon dan dengan
demikian disebut heksosa. Karbohidrat lima karbon dikenal sebagai pentosa dan selanjutnya.
Kenyataan bahwa gugus karbonil adalah sebuah aldehida yang ditunjukkan dengan
menggolongkan glukosa sebagai aldoheksosa. Monosakarida yang amat penting yaitu D-
glukosa sering dikenal sebagai dektrosa. Rumus proyeksi Fischer adalah cara umum untuk
menggambarkan molekul monosakarida. Proyeksinya biasa digambar dengan sebuah rantai
karbon vertikal dan gugus karbonil paling dekat dengan puncak (Pine,dkk., 1988).

Glukosa adalah suatu heksosa dan sering disebut dekstrosa karena sifat dapat memutar
cahaya terpolarisasi ke arah kanan. Di alam, glukosa terdapat dalam buah-buahan dan madu
lebah. Darah manusia normal mengandung glukosa dalam jumlah atau konsentrasi tetap, yaitu
antara 70-100 mg tiap mL darah. Glukosa darah ini bertambah setelah kita makan-makanan
sumber karbohidrat, namun kira-kira dua jam setelah itu, jumlah glukosa darah akan kembali
pada keadaan semula. Pada orang yang menderita diabetes mellitus atau kencing
manis,jumlah glukosa darah lebih besar dari 130 mg per 100 mL darah (Poedjiadi, 1994).

Monosakarida segera mereduksi senyawa-senyawa pengoksidasi seperti fersianida,


hydrogen peroksida, atau ion kupri (Cu2+). Pada reaksi seperti ini, gula dioksidasi pada gugus
karbonil, dan senyawa pengoksidasi menjadi tereduksi. Glukosa dan gula-gula lain yang
mampu mereduksi senyawa pengoksidasi disebut gula pereduksi. Sifat ini berguna dalam
analisa gula. Dengan mengukur jumlah dari senyawa pengoksidasi yang tereduksi oleh suatu
larutan gula tertentu. Dapat dilakukan pendugaan konsentrasi gula. Dengan cara ini, darah
dan air seni dapat dianalisa kandungan gulanya pada diagnosa diabetes mellitus. Penderita
penyakit ini menunjukan tingkat gula darah yang tinggi secara Abnormal, dan pengeluaran
gula pada air seni yang berlebih (Lehninger, 1982).

Penentuan monosakarida yang dihasilkan dapat dilakukan dengan metoda oksidasi


dengan kupri. Metoda ini didasarkan pada peristiwa terduksinya kupri-oksida menjadi kupro-
oksida karena adanya gula reduksi. Reagen yang digunakan merupakan campuran kupri
sulfat, Na-karbonat, dan asam sitrat atau campuran kupri sulfat dengan K-Na-Tartrat. K-Na-
Tartrat berfungsi sebagai pencegah terjadinya pengendapan kupri oksida yang ada dalam
reagen. Pada kedua macam reagen tersebut yang berfungsi sebagai oksidator adalah
kuprooksida dan mengendap berwarna merah bata. Jumlah endapan kuprooksida ekivalen
dengan banyaknya gula reduksi yang ada. Selain dengan cara tersebut,dapat juga dengan
menentukan kelebihan kuprioksida yang ada dalam larutan sebelum dan sesudah direaksikan
dengan gula reduksi (Sudarmadji,1996).

Berbagai cara analisa dapat dilakukan terhadap karbohidrat untuk memenuhi berbagai
keperluan. Dalam ilmu dan teknologi pangan, analisa karbohidrat yang biasa dilakukan
misalnya penentuan jumlahnya secara kuantitatif dalam rangka menentukan komposisi suatu
bahan makanan, penentuan sifat fisis atau kimiawinya dalam kaitannya dengan pembentukan
kekentalan, kelekatan, stabilitas larutan, dan tekstur hasil olahannya
(Sudarmadji,1996).Banyak cara yang dapat digunakan untuk menentukan banyaknya
karbohidrat dalam suatu bahan yaitu antara lain dengan cara kimiawi, cara fisik, cara
enzimatik atau biokimiawi dan cara kromatografi. Penentuan karbohidrat yang termasuk
polisakarida maupun oligosakarida memerlukan perlakuan pendahuluan yaitu hidrolisa
terlebih dahulu sehingga diperoleh monosakarida. Untuk keperluan ini, maka bahan
dihidrolisa dengan asam atau enzim pada suatu keadaan yang tertentu (Sudarmadji,1996).

Penentuan gula pereduksi selama ini dilakukan dengan metode pengukuran


konvensional seperti metode osmometri, polarimetri, dan refraktometri maupun berdasarkan
reaksi gugus fungsional dari senyawa sakarida tersebut (seperti metode Luff-Schrool,
Seliwanoff, Nelson-Somogydan lain-lain). Hasil analisisnya adalah kadar gula pereduksi total
dan tidak dapat menentukan gula pereduksi secara individual (Ratnayani,dkk., 2008).

C. ALAT DAN BAHAN


Alat :
Pipet tetes
1 set alat titrasi
Gelas kimia

Bahan :

Indicator amilum
Larutan natrium karbonat 14,3%
Larutan iodium 0,1 N
HCL encer
Larutan Natrium Tiosulfat 0,1 N
D. CARA KERJA

1 gram adem sari + 250 ml


erlenmeyer

Melarutkan dengan 50 ml aquades


Menambahkan 25 ml iodium 0,1 N dan 10 ml larutan
natrium karbonat 14,3%
Membiarkan selama 30 menit di tempat gelap
Menambahkan 15 ml asam klorida encer
Menitrasi hingga mengalami perubahan warna kuning
lemah
Menambahkan indicator amilum 5 tetes
Menitrasi hingga berwarna bening
Menghitung kandungan glukosa
Kandungan glukosa

E. HASIL

No Perlakuan ke Volume Iodium (mL)

1 I 19,5 mL
2 II 17,5 mL
3 III 19,8 mL
Perhitungan

1 mL Iodium 0,1 N = 9,9185 mg glukosa

1. Penentuan kandungan glukosa = 1 mL tiosulfat 0,1 N x 9,9185


=19,5 mL x 9,9185
= 193,41 mg
2. Penentuan kandungan glukosa = 1 mL tiosulfat 0,1 N x 9,9185
=17,5 mL x 9,9185
= 173,57 mg
3. Penentuan kandungan glukosa = 1 mL tiosulfat 0,1 N x 9,9185
=19,8 mL x 9,9185
= 196,38 mg
F. PEMBAHASAN

Praktikum kali ini tentang analisa kuantitatif karbohidrat dengan metode titrasi
yodimetri yang bertujuan untuk mengetahui kadar glukosa yang ada pada sampel. Sampel
yang digunakan ada yaitu adem ari.
Langkah pertama yang dilakukan adalah preparasi sampel dengan cara menimbang
sampel sebanyak 100 mg dan letakan di erlenmeyer 250 mL kemudian dihomogenisasi
dengan 50 ml aquades. Sampel kemudian diambil dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer
kemudian ditambahkan dengan yodium 25 ml dan larutan natrium karbonat 10 ml kemudian
dibiarkan di tempat gelap 30 menit dengan tujuan agar reaksi benar benar sempurna dan
digelapkan guna menghindari reaksi larutan dengan cahaya. Kemudian ditambahkan dengan
larutan HCl encer 15 ml dan kemudian ditambahkan dengan indikator amilum, sampai larutan
berubah kuning. Larutan dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat 0,1 N sampai terjadi
perubahan warna menjadi warna biru, warna biru lalu menjadi bening menunjukkan titik
akhir dari titrasi.
Ketiga sampel yang dititrasi didapatkan volume natrium tiosulfat yang digunakan
untuk adem sari sebanyak 19,5 ml, 17,5 ml, dan 19,8 ml. Dengan kandungan glukosa masing-
masing secara urutan sebesar 193,41 mg, 173,57 mg dan 196,38 mg. Dari percobaan di atas
dapat disimpulkan bahwa banyaknya kadar glukosa berbanding terbalik dengan banyaknya
volume yang dibutuhkan dengan semakin besar kandungan karbohidrat di dalam sampel
maka volume natrium tiosulfat yang digunakan untuk titrasi semakin sedikit.

G. KESIMPULAN
Kandungan glukosa pada sampel yang digunakan adalah sebesar 193,41 mg, 173,57 mg
dan 196,38 mg. Banyaknya kadar glukosa berbanding terbalik dengan banyaknya volume
yang dibutuhkan. Semakin besar kandungan karbohidrat di dalam sampel maka volume
natrium tiosulfat yang digunakan untuk titrasi semakin sedikit
DAFTAR PUSTAKA

Lehninger, A.L., 1982, Dasar-dasar Biokimia diterjemahkan oleh Maggy Thenawijaya,


Penerbit Erlangga, Jakarta.

Pine, S. H., J. B. Hendrickson, D. J. Cram, dan G. S.Hammond,1988, Kimia Organik 2 edisi


keempat diterjemahkan oleh Hamid, A., ITB, Bandung.

Poedjiadi, A., 1994, Dasar-Dasar Biokimia, UI-Press, Jakarta.

Ratnayani,K., N. M. A. Dwi Adhi S., dan I G. A. M. A. S. Gitadewi, Penentuan Kadar


Glukosa dan Fruktosa pada Madu Randu dan Madu Kelengkeng dengan Metode
Kromotografi Cair Kinerja Tinggi, Jurnal Kimia(online), 2(2), 77-86,

Soewoto, H. M., Sadikin, M. V., Kurniati, S.I., Wanandi, D., Retno, P., Abadi, A.,
Retnoprijati, I. P., Harahap, S.A., dan Jusman,2001, Biokimia Eksperimen Laboratorium,
Widya Medika, Jakarta.

Sudarmadji, 1996, Analisa Bahan Makanan, Liberty, Yogyakarta.


PERCOBAAN III
PENENTUAN KADAR ASAM LEMAK BEBAS (ALB)

A. TUJUAN
Untuk menentukan kadar asam lemak bebas pada minak curah yang telah digunakan .

B. DASAR TEORI
Minyak curah itu adalah sebutan untuk minyak goreng tanpa merek, dan biasanya
penjualannya bisa dimulai dari 1/4 liter. Warnanya berbeda dengan minyak goreng
bermerek yang lebih jernih dibanding minyak goreng curah. Dari segi kandungan minyak
curah kadar lemaknya lebih tinggi dan juga kandungan asam oleat dibanding minyak
kemasan, namun tidak ada masalah menggunakan minyak curah, asalkan tidak berlebihan
dan tidak digunakan berulang-ulang kali, sampai berwarna coklat pekat hingga kehitam-
hitaman karena pemakaian berulang-ulang pada minyak makan sangat tidak baik bagi
kesehatan. Sekedar diketahui, minyak curah hanya mengalami penyaringan sampai tahap
olein. Dan masih mengandung soft stearin (minyak fraksi padat) pada tingkat tertentu.
Minyak sawit asam lemak bebas (FFA) 0,1%, selain itu tingkat sanitasi dan kebersihannya
kurang baik, tidak sebersih minyak bermerek, minyak curah yang bening dan bersih tidak
mengandung antioksidan (Kataren, 2005).
Minyak curah hanya mengalami penyaringan sampai tahap olein. Dan masih
mengandung soft stearin (minyak fraksi padat) pada tingkat tertentu. Minyak curah
biasanya lebih keruh dibandingkan minyak bermerek. Selain itu tingkat sanitasi dan
kebersihannya kurang baik, tidak sebersih minyak bermerek. Minyak curah yang bening
dan bersih sebenarnya lebih aman karena tidak mengandung antioksidan. Kandungan
minyak curah kadar lemaknya lebih tinggi dan juga kandungan asam oleat dibanding
minyak kemasan. Minyak curah kadar lemaknya lebih tinggi dan kandungan asam oleat
dibanding minyak kemasan (Kataren, 2008).

Minyak goreng curah biasanya memiliki warna yang lebih keruh. Minyak goreng
curah ini tidak digunakan berulang-ulang kali, sampai berwarna coklat pekat hingga
kehitam-hitaman. Karena pemakaian berulang-ulang pada minyak makan, sangat tidak
baik bagi kesehatan. Selain itu minyak goreng yang sering digunakan secara berkali-kali
sampai minyaknya berubah warna menjadi hitam, kondisi ini tidak membahayakan
kesehatan hanya membuat nilai gizi makanan yang digoreng menjadi turun dan
mempengaruhi rasa (Kataren, 2005).
Penggunaan minyak goreng secara kontinyu dan berulang-ulang pada suhu tinggi
(160- 180°C) disertai adanya kontak dengan udara dan air pada proses penggorengan
akan mengakibatkan terjadinya reaksi degradasi yang komplek dalam minyak dan
menghasilkan berbagai senyawa hasil reaksi. Minyak goreng juga mengalami perubahan
warna dari kuning menjadi gelap. Reaksi degradasi ini menurunkan kualitas minyak dan
akhirnya minyak tidak dapat dipakai lagi dan harus dibuang. Produk reaksi degradasi
yang terdapat dalam minyak ini juga akan menurunkan kualitas bahan pangan yang
digoreng dan menimbulkan pengaruh buruk bagi kesehatan (Yustinah, 2011).
Semakin sering digunakan tingkat kerusakan minyak akan semakin tinggi.
Penggunaan minyak berkali-kali mengakibatkan minyak menjadi cepat berasap atau
berbusa dan meningkatkan warna coklat serta flavor yang tidak disukai pada bahan
makanan yang digoreng. Kerusakan minyak goreng yang berlangsung selama
penggorengan juga akan menurunkan nilai gizi dan berpengaruh terhadap mutu dan nilai
bahan pangan yang digoreng dengan menggunakan minyak yang telah rusak akan
mempunyai struktur dan penampakan yang kurang menarik serta citra rasa dan bau yang
kurang enak (Trubusagrisarana, 2005).
ALB atau "asam lemak bebas" yaitu nilai yang menunjukkan jumlah asam lemak
bebas yang ada di dalam lemak atau jumlah yang menunjukkan berapa banyak asam
lemak bebas yang terdapat dalam lemak setelah lemak tersebut di hidrolisa. tujuan analisa
angka asam atau bilangan saponifikasi adalah sebagai indikasi untuk mengetahui
seberapa besar lemak yang dianalisa, sedangakan tujuan total FFA (untuk bidang industri
sabun) adalah mengukur seberapa besar efisiensi reaksi yang dilakukan (yield reaksi)
ingat FFA berhubungan dengan banyaknya asam lemak yang terdapat dalam fat/setelah
dihidrolisa sehingga bisa dikorelasikan dengan banyaknya sabun yang terbentuk.
(Adrian,2005).
Kadar asam lemak bebas yang terkandung dalam minyak nabati dapat menjadi salah satu
parameter penentu kualitas minyak tersebut. Besarnya asam lemak bebas dalam minyak
ditunjukan dengan nilai angka asam. Angka asam yang tinggi mengindikasikan bahwa asam
lemak bebas yang ada di dalam minyak nabati juga tinggi sehingga kualitas minyak justru
semakin rendah (Winarno, 2004).
Alkohol dalam kondisi yang panas akan lebih baik dan cepat melarutkan
sampel yang juga nonpolar dan kondisi netral dilakukan agar data akhir yang
diperoleh benar-benar tepat. Jika kondisi alkohol yang dipergunakan tidak netral,
maka hasil titrasi asam-basa menjadi tidak sesuai atau salah. Dalam memanaskan
alkohol, dilakukan dengan menggunakan penangas air, hal ini dilakukan karena titik
didih alkohol lebih rendah daripada air. Proses penetralan alkohol dilakukan dengan
tes kualitatif menggunakan indikator pH universal. Apabila kondisi alkohol terlalu
basa, maka penambahan asam lemah perlu dilakukan. Pada titrasi dengan
menggunakan NaOH 0,1 N dan indikator yang dipakai adalah phenolphtalein (PP),
saat penambahan PP larutan berubah warna menjadi merah muda, padahal seharusnya
larutan tidak berwarna, hal ini disebabkan terjadi kesalahan, yaitu alkohol yang
dipergunakan dalam titrasi tidak dalam kondisi netral, hal ini menyebabkan nilai
yang diperoleh menjadi tidak benar dan jauh dari data yang kedua. NaOH 0,1 N
sebelumnya sudah distandardisasi menggunakan asam oksalat, titik akhir dari titirasi
dicapai saat larutan berubah warna dari bening menjadi merah
muda (Julisti, 2010).

C. Alat dan Bahan


Alat :

Neraca analitik
Erlenmeyer 50 mL
Buret 50 mL
1 set alat titrasi
Hot plate
Pipet ukur 10 mL
Gelas kimia 100 mL

Bahan :

Minyak goreng curah yang telah di gunakan


Larutan NaOH 0,01 N
Etanol 96%
Indicator PP

D. Cara Kerja

Menimbang 2,5 gram minyak kemudian


memasukkan ke dalam erlenmeyer 50 mL
Menambahkan 5 mL alkohol netral 96% kemudian
panaskan (suhu jangan lebih dari 70°C

Dinginkan Erlenmeyer,kemudian tambahkan 3


tetes indikator PP 1%

Mentitrasi dengan larutan NaOH 0,01 N sampai


terlihat warna merah jambu

E. Hasil Pengamatan

Perlakuan ke- Massa minyak yang di Volume NaOH yang di


gunakan (gram) gunakan (mL)

I 2,5 1,1
II 2,5 1,1
Rata-rata 2,5 1,1
Perhitungan

AxNxM
Kadar ALB =
1000 x G

AxNxM
Kadar ALB =
1000 x G

1,1 𝑚𝐿 𝑥 0,01 𝑁 𝑥 256 𝑔/𝑚𝑜𝑙


Kadar ALB =
1000 𝑥 2,5 𝑔

= 0,0011264%
F. Pembahasan

Pratikum kali ini tentang analisa asam lemak bebas dalam minyak. Sampel
pertama yang digunakan adalah minyak curah. Minyak curah merupakan sebutan untuk
minyak goreng tanpa merek yang dijual di pasaran. Minyak curah mengandung kadar
asam lemak bebas yang lebih tinggi di bandingkan dengan minyak goreng bermerek.
Minyak curah hanya mengalami sekali penyaringan. Yang mengakibatkan kualitas
minyak curah lebih rendah di bandingkan minyak bermerek. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Rosiani (2008) yang menyatakan bahwa minyak curah hanya mengalami
penyaringan satu kali. Penyaringan satu kali masih mengandung soft stearin (minyak
fraksi padat) pada tingkat tertentu., selain itu tingkat sanitasi dan kebersihannya kurang
baik, tidak sebersih minyak bermerek, minyak curah yang bening dan bersih tidak
mengandung antioksidan .
Sampel kedua yang digunakan pada praktikum analisa asam lemak bebas adalah
minyak sawit. Minyak sawit mengandung asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh
yang ikatan molekulnya mudah dipisahkan dengan alkali, sehingga mudah dibentuk
menjadi produk untuk berbagai keperluan, seperti untuk pelumas mesin dalam berbagai
proses industri. Asam lemak pada sawit lebih rendah jika di bandingkan dengan asam
lemak yang ada pada minyak goreng curah. Berdasarkan SNI 01-0018-1987, kadar
maksimal asam lemak bebas yang terdapat pada minyak sawit adalah 0.1 %. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Fauzi (2002) yang menyatakan bahwa minyak sawit memiliki
banyak keunggulan dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Biasanya proses
ekstraksi minyak kelapa sawit ini dilanjutkan dengan proses bleching (pemutihan) dan
deodorizing (penghilang bau) agar minyak tersebut menjadi jernih, bening dan tak berbau
atau biasa disebut refined, bleached and deodorized (RBD) stearin dan olein.
Prinsip kerja analisis asam lemak bebas adalah memanaskan sampel yang telah
ditambah alkohol agar trigliserida pada sampel terhidrolisis dan menghasilkan asam
lemak bebas. Untuk mengetahui kandungan asam lemak bebas pada sampel dapat
dilakukan dengan melakukan titrasi pada sampel. Titran yang digunakan adalah
NaOH. Sebelum ditambah NaOH, larutan ditetesi indikator PP. Indikator PP sebagai
pembaca atau pemberi warna pada larutan. Volume NaOH dalam titrasi digunakan
untuk menghitung kadar asam lemak bebas yang terkandung dalam minyak. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Anonim (2011) yang menyatakan bahwa volume yang
diperoleh dari proses titrasi digunakan dalam perhitungan penentuan kadar asam lemak
bebas yang tergantung pada suatu bahan pangan.
Kadar sama lemak bebas yang di peroleh kelompok satu pada sampel minyak
goreng curah 0,001%. Hal ini menunjukkan bahwa minyak sawit sampel kelompok
sudah sesuai dengan SNI 01-0018-1987 yaitu sebesar 0.1 % dan sampel minyak goreng curah
telah sesuai dengan SNI 01-3741-1995) menyatakan bahwa kadar asam lemak maksimal minyak
curah adalah 0,30%. Minyak sawit memiliki kadar asam lemak bebas yang lebih sedikit
dibandingkan dengan minyak curah. Hal ini disebabkan karena minyak goreng curah
hanya mengalami satu kali proses penyaringan. Sedangkan minyak sawit mengalami
lebih dari satu kali penyaringan. Hal ini sesuai dengan pernyataan kukuh (2010) Jika
hanya dilakukan satu kali penyaringan, terkadang minyak tersebut masih bisa membeku
(biasanya disebut dengan minyak goreng curah).
Fungsi penambahan alkohol netral pada sampel dalam praktikum analisa asam
lemak bebas adalah untuk melarutkan sampel. Sampel yang merupakan senyawa
organic hanya bisa dilarutkan oleh pelarut organic. Alcohol merupakan salah satu
pelarut organic sehingga dapat melarutkan sampel. Sampel dilarutkan agar dapat
bereaksi dengan basa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Himika (2011) yang
menyatakan bahwa Fungsi penambahan alkohol adalah untuk melarutkan lemak atau
minyak dalam sampel agar dapat bereaksi dengan basa alkali. Karena alkohol yang
digunakan adalah untuk melarutkan minyak, sehingga alkohol (etanol) yang digunakan
konsentrasinya berada di kisaran 95-96%, karena etanol 95 % merupakan pelarut lemak
yang baik.
Fungsi penambahan indikator PP pada sampel dalam praktikum analisa asam lemak
bebas adalah pembuktian bahwa sampel tersebut bersifat asam atau basa. Berbagai indikator
mempunyai tetapan ionisasi yang berbeda-beda dan akibatnya masing-masing indikator
menunjukkan warna
pada range pH yang berbeda. Fenolphtalein tergolong asam yang sangat lemah dalam keadaan
yang tidak terionisasi indikator tersebut tidak berwarna. Jika dalam lingkungan basa fenolphtalein
akan terionisasi lebih banyak dan memberikan warna merah muda karena anionnya. Perubahan
warna ini menunjukkan titik akhir titrasi (titik ekivalen). Hal ini sesuai dengan pernyataan
Aqulfer (2012) yang menyatakan bahwa fungsi penambahan indikator fenoftalein untuk
mengetahui terjadinya suatu titik ekivalen dalam proses penitrasian dengan terjadinya perubahan
warna pada larutan.
Fungsi penambahan 0.1 M NaOH pada sampel dalam praktikum analisa asam
lemak bebas adalah untuk mengukur kadar asam lemak bebas yang terkandung dalam
bahan. Dalam proses titrasi, NaOH berfungsi sebagai titran. Volume titran digunakan
untuk mengukur besaran kadar asam lemak yang terdapat pada sampel. Sampel yang
bersifat asam pHnya mula-mula rendah, penambahan basa menyebabkan pH naik secara
perlahan dan bertambah cepat ketika akan mencapai titik ekuivalen (pH=7). Penambahan
selanjutnya menyebakan larutan kelebihan basa sehingga pH terus meningkat.
Peningkatan pH ditandai dengan perubahan warna pada sampel. Warna yang terbentuk
umumnya warna terang seperti warna merah muda. Hal ini sesuai dengan Hadi (2012)
yang menyatakan bahwa penggunaan NaOH digunaka untuk mengukur beberapa asm
lemak yang terdapat pada minyak.

G. Kesimpulan
Kesimpulan dari praktikum Analisa Kadar Asam Lemak ini adalah sebagai berikut.
Pengujian asam lemak bebas pada suatu bahan pangan dapat dilakukan dengan metode
pemanasan kemudian dititrasi lalu menghitung jumlah kandungan asam lemak bebas bahan
pangan tersebut. Kandungan asam lemak bebas (ALB) pada minyak curah adalah
0.0011264% maka amsih memenuhi standar SNI yaitu <0,3%.
DAFTAR PUSTAKA

Adrian, S. 2005. Pemeriksaan Kadar Asam Lemak Bebas Pada Minyak Goreng Yang Beredar Di
Kota Medan Tahun 2005. Skripsi yang Tidak dipublikasikan. Fakultas Kesehatan
Masyarakat. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Julisti, Bertha. 2010. Optimasi Proses Pengeringan Bahan Pangan.
http://btagallery.blogspot.com/2010/06/optimasi-proses-pengeringanbahan.
html. Diakses tanggal 12 Juni 2012
Ketaren, S. 2005. Pengantar Teknologi; Minyak dan Lemak Pangan Jakarta, UI-Press
Ketaren, S. 2008. Minyak dan Lemak Pangan. UI Press. Jakarta.
Trubusagrisarana, 2005. Mengolah Minyak Goreng Bekas. Perpustakaan Nasional RI, Surabaya.
Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama
Yustinah. 2011. Adsorbsi Minyak Goreng Bekas Menggunakan Arang Aktif dari Sabut Kelapa.
Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia. Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai