Anda di halaman 1dari 58

BAB I

SELAYANG PANDANG KAMPUNG


BITING, MANGGARAI TIMUR, NTT

Kampung Biting merupakan salah satu


kampung yang terletak di Kecamatan Poco
Ranaka Timur, Kabupaten Manggarai Timur,
Propinsi NTT, Indonesia.Bagian selatan
kampung ini dibatasai oleh hutan yang masih
asri dan juga terjaga. Masyarakat kampung
Biting ini menjaga kelestarian hutan sehingga
hutan ini masih terjaga walaupun di zaman
yang semakin maju. Bagian timur dan barat
desa ini dibatasi oleh kampung Colol dan
kampung Welu. Sedangkan bagian utara desa
ini dibatasi oleh kampung Racang dan

1
kampung Wuas.

Sumber gambar: Kompas.com

Pada bagian selatan desa ini dibatasi oleh


sebuah tebing yang sangat tinggi dan pada
tebing taersebut terdapat dua buah air terjun
yang sangat memanjakan mata bagi siapa saja
yang lewat di desa Ulu Wae. Warga desa Ulu
Wae biasa menyebut kedua air terjun tersebut
Cuncang Wek dan Cuncang Radi Ntangis.
Pada saat musim hujan, kita akan melihat
dengan jelas jatuhnya air pada air tersebut dan
pada saat musim kemarau, air pada kedua air

2
terjun tersebut akan berkurang.

sumber gambar: kompas.com

Kampung biting termasuk dalam satu wilayah


Masyarakat Adat colol. Hingga kini
masyarakat Biting mengenal dua model
wilayah kepemilikan yaitu: wilayah kekuasaan
dan wilayah kelola. Wilayah kekuasaan yang
dimaksud adalah keseluruhan daerah atau
tempat yang menjadi kekuasaan Masyarakat
Adat Colol berdasarkan pembagian zaman
kedaluan. Sementara wilayah kelola adalah
keseluruhan daerah atau tempat yang
digunakan untuk perkampungan, kebun, dan
lain-lain.

Wilayah kekuasaan diatur dalam sistem tata


ruang sebagai berikut:
3
1. Puar (hutan)
2. Beo (Kampung Adat)
3. Uma/lingko (kebun)
4. Satar (padang)
5. Pong (hutan kecil yang disakralkan)

Sementara wilayah kelola diatur dengan


sistem tata ruang sebagai berikut

1. Beo (kampung)
2. Uma/lingko (kebun)
3. Satar(padang)
4. Pong(hutan kecil)

Dalam masyarakat kampung Biting ada


sistem pembagian tanah dan salah satunya
adalah pembagian dengan sistem Lodok.
Pembagian tanah dengan sistem Lodok berupa
jaring laba-laba. Pada pusat lingkaran ditanam
tonggak sentral berupa Gasing. Sebelum
pembagian tanah, dilakuakn upacara adat
terlebih dahulu. Upacara adat ini dilakukan
dengan mengorbankan persembahan-
4
persembahan diantaranya adalah kerbau, untuk
longko randang/rame dan babi untuk lingko-
lingko lainnya.

Sebagian besar masyarakat di kampung biting


bekerja sebagai petani kopi dan menggarap
sawah sendiri. Desa Ulu Wae ini merupakan
salah satu desa yang masih dalam lingkup
kampung Colol Raya. Saking banyaknya
tumbuhan kopi di desa ini, sehingga orang
lebih mengenal desa ini sebagai sentral kopi
Manggarai. Kopi dari desa ini merupakan
cikal bakal penyebaran kopi flores hingga saat
ini. Bahkan beberapa saat lalu, kopi dari desa
ini meraih sebagai Kopi Terbaik di Indonesia
saat ajang festival kopi di Kabupaten
Banyuwangi.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat


kampung Biting menggarap kebun untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Meskipun kampung Biting berada dekat hutan

5
yang kaya akan segala jenis satwa maupun
tanamannya, namun masyarakat desa Biting
tetap menjaga kelestarian hutan beserta isinya.

6
BAB II

ETNOKIMIA SEBAGAI LOKAL WISDOM


DALAM BIDANG PENDIDIKAN DAN
SAINS KIMIA

Penerapan ilmu kimia dalam dunia pendidikan


merupakan hal yang sangat penting bagi kaum
pelajar. Ilmu kimia harus dijadikan salah satu
ilmu yang wajib ada dalam dunia pendidikan.
Penerapan ilmu kimia yang sering
diaplikasikan dalam pendidikan dan juga
dalam masyarakat adalah konsep asam basa
dan juga pengawetan makanan.

Pengawetan pada makanan sudah diketahui


oleh masyarakat sejak zaman dahulu kala.
Masyarakat mengawetkan makanan secara
tradisional agar makanan tersebut dapat
bertahan dalam waktu yang cukup lama.

7
BAB III

ETNOKIMIA SEBAGAI LOKAL WISDOM


DALAM BIDANG PANGAN (PANGAN
POKOK DAN SAYURAN)

Masyarakat kampung Biting telah mengenal


berbagai jenis makanan dan juga sayuran yang
telah tersedia di lingkungan tempat tinggalnya.
Makanan pokok di kampung Biting saat ini
adalah beras. Namun, masyarakat di kampung
ini juga mengonsumsi makanan-makanan
tradisional yakni umbi-umbian di antaranya
adalah Teko( keladi), Tete(Ubi Jalar), Daeng
(Singkong), Latung( jagung) serta
Muku(pisang).

8
1.”teko”(keladi)

2.”daeng”(singkong)

3.”muku”(pisang)

3.”latung”(jagung)
9
Makanan-makanan tradisional ini oleh
masyarakat disajikan pada saat situasi-situasi
tertentu misalnya pada saat santai pada pagi
atau sore hari, sarapan pagi, bahkan disajikan
kepada para tamu-tamu yang datang
berkunjung serta pada saat musim paceklik.
Biasanya masyarakat menyajikan makanan
tradisional ini ditemani Kopi Pait (kopi Pahit)
yang merupakan ciri khas dari kampung ini.

Berbagi jenis sayuran juga bertumbuh dengan


subur di kampung ini. Baik sayuran yang
ditanam oleh warga sendiri maupun sayuran
yang tumbuh liar di kebun-kebun maupun di
hutan. Sayuran-sayuran yang biasa dikonsumsi
oleh masyarakat kampung Biting di antaranya
adalah Labu (labu siam), saung padut (Daun
pepaya), wua padut(buah pepaya), selada,
kangkung, Ndesi(labu), serta masih banyak

10
lagi. 1.”saung
padut”(daun pepaya)

2.”selada”(selada)

11
3”saung
daeng”(daun singkong)

4.kangkung

12
5.”ndesi”(labu)

6.”labu”(labu
siam)

13
BAB IV

ETNOKIMIA SEBAGAI LOKAL WISDOM


DALAM BIDANG PENGOLAHAN BAHAN
MAKANAN TRADISIONAL

Sebelum mengonsumsi makanan tertentu,


biasanya masyarakat di kampung ini
melakukan pengolahan terlebih dahulu.
Pengolahan-pengolahan makanan yang
dilakukan oleh masyarakat ini dilakukan untuk
mengantisipasi terjadinya sesuatu misalnya
keracunan dan juga untuk menambah atau
menghilangkan rasa tertentu dari makanan
yang akan dikonsumsi.

Salah satu contoh pengelolaan makanan yang


sering dilakukan oleh masyarakat kampung
Biting adalah ” Teko Tuk”. “Teko Buk”(keladi
tumbuk) adalah makanan tradisional yang
dibuat dengan cara:

14
1. Keladi yang masih mentah kulitnya
dikupas dan dicuci sampai bersih
2. Kemudian, keladi yang sudah dicuci
dimasukan ke dalam periuk atau
panci yang berisi air lalu dimasak
hingga matang
3. Setelah matang, air rebusan keladi
dibuang.
4. Lalu keladi yang sudah dimasak tadi
ditumbuk hingga hancur
5. Setelah dihancurkan, “Teko Buk”
siap disajikan.

Selain pengolahan makanan, masyarakat


kampung Biting juga biasa melakukan
pengolahan sayuran. Biasanya pengolahan
sayuran dilakukan untuk menghilangkan rasa
tertentu dari sayuran yang akan dikonsumsi
misalnya rasa pahit dan juga untuk
menambah cita rasa sayuran menjadi lebih
enak. Pengolahan sayuran yang biasa
dilakukan oleh masyarakat di kampung
15
Biting ini adalah dengan menambahkan
daging ke dalam sayur pepaya untuk
menghilangkan rasa pahit dari daun pepaya
yang dimasak. Serta salah satu pengolahan
sayuran juga yang dilakukan oleh
masyarakat untuk menambah cita rasa
sayuran masyarakat biasa menyebutnya ”
Lomak”. “Lomak’ adalah sayuran hasil
olahan yang terbuat dari daun pepaya atau
daun singkong yang di campurkan dengan
kelapa yang sudah diparut atau bisa juga
dengan buah kemiri. Sayuran Lomak ini
dibuat dengan cara

1. Daun pepaya atau daun singkong


terlebih dahulu direndam dalam air
panas kemudian ditiriskan sampai
airnya hilang.
2. Lalu siapakan kelapa yang sudah
diparut atau daging buah kemiri yang
sudah digoreng

16
3. Kemudian daun pepaya atau dau
singkong dan parutan kelapa atau
daging buah kemiri dicampurkan
hingga merata dan siap untuk
disajikan.
Jenis pengolahan makanan yang lain adalah
pengolahan Singkong yang dibelah lalu
dikeringkan dan masyarakat biasa
menyebutnya dengan nama “Koil”.

17
BAB V

ETNOKIMIA SEBAGAI LOKAL WISDOM


DAMA BIDANG PENYIMPANAN
MAKANAN POKOK DALAM
MENGHADAPI MASA PACEKLIK

Ketika menghadapi masa-masa paceklik,


masyarakat kampung meiliki cara tertentu
untuk menyimpan cadangan makanannnya
supaya bertahan lama. Biasanya, agar
makanan bisa bertahan lama, masyarakat
kampung Biting menyimpannnya pada
tempat tertentu dan juga dengan cara-cara
tertentu. Tempat-tempat penyimpanan
tersebut adalah:
1. Leba : menyimpan makanan di atas
tungku api
2. Kas: tempat menyimpan padi supaya
terhindar dari hama tikus

18
3. Mengeringkan makanan supaya tidak
cepat membusuk

19
BAB VI

ETNOKIMIA SEBAGAI LOKAL WISDOM


DALAM BIDANG PAMALI MAKANAN

Masyarakat kampung Biting biasanya


memiliki beberapa pamali dalam makanan.
Pamali-pamali tersebut ada karena dengan
alasan tertentu. Beberpa pamali yang biasa
dijumpai dalam kehidupan masyarakat
kampung biting adalah:
1. Neka hang sambil lako.(jangan
makan sambil jala.
2. Neka tae daat kudu barang hang
(jangan menjelek-jelekan makan)

20
BAB VII

ETNO KIMIA SEBAGAI LOKAL WISDOM


DALAM BIDANG MINUMAN
TRADISIONALSECANGKIR

kopi ternyata tak hanya mengandung pahit,


asam, manis dan rasa-rasa umum yang bisa
dicecap lidah. Siapa sangka freshcup.com
menguraikan banyaknya senyawa kimia yang
terkandung dalam minuman yang setiap hari
membuat kita jatuh cinta.

Sweetness atau rasa manis pada kopi


berkembang pada saat green bean disangrai.
Sweetness ini memunculkan rasa karamel
karena mendapat proses karamelisasi pada
proses sangrai itu. Karamel ini mewujud pada
aroma dan rasa yang bisa kamu rasakan dalam
cangkir kopimu.

21
Acidity atau dikenal dengan ‘asam’ membuat
rasa kopi menjadi kompleks. Asam buah pada
kopi umumnya sangat dinikmati karena
memberi cita rasa yang unik dan segar.
Semakin tinggi kopi tersebut ditanam maka
profil asamnya akan semakin kompleks dan
menyenangkan.

Bitterness atau rasa pahit adalah ‘nyawa’ pada


kopi yang tak bisa dilepas dari kopi itu sendiri.
Tanpa sisi pahit kopi takkan dikenali. Tanpa
rasa pahit kopi bukanlah kopi karena pahitnya
memberi keseimbangan pada acidity yang
muncul pada rasa kopi. Kafein menyumbang
sekitar 10% pada rasa pahit di kopimu. Dan
senyawa trigonelline (niacin) adalah pahit itu
sendiri. Dan proses sangrai mengubah
pyridine menjadi aroma panggang nan hangat.

22
Chlorogenic Acids (CGAs) atau Asam
Klorogenik adalah jenis asam yang lain yang
muncul pada proses penyangraian. Asam
klorogenik ini berubah menjadi asam caffeic
dan quinic serta fenol. Asam yang satu ini
dikenal lebih condong pada rasa asam yang
pahit.

Aromatic Acids yaitu Asam Aromatik ini


adalah jenis asam lain yang termasuk asam
laktat dan asam asetat. Asam aromatik bisa
dinikmati aroma dan rasanya pada hasil
seduhan kopi. Asam ini muncul dan
berkembang pada saat buah ceri kopi
dipisahkan dengan bijinya. Juga berkembang

23
pada saat proses penyangraian bersama aroma
karamel. Asam ini cukup memperkaya rasa
walau kadang jika prosesnya tidak tepat
menyebabkan proses fermentasi yang gagal.

Inorganic Acids (Asam Inorganik) adalah


asam yang termasuk ke dalam senyawa asam
phosporic dan termasuk salah satu senyawa
asam yang kuat. Biasanya asam ini bereaksi
pada jenis asam lain untuk memberikan notes
menyenangkan dan ‘panjang’ pada rasa kopi.

Aromatik. Seperti namanya namanya senyawa


ini menciptakan aroma yang disebabkan oleh
reaksi Maillard. Reaksi Maillard yaitu reaksi
yang terjadi saat gula bergabung secara
kimiawi dengan asam amino.

24
Mercaptan yaitu senyawa yang juga lahir dari
reaksi Maillard. Mercaptan ini termasuk
‘keluarga’ volatil yang memiliki kandungan
sulfur yang tinggi.

Pyrroles yaitu senyawa yang memberi aroma


harum karamel dan kadang-kadang aroma
jamur.

Fenol juga merupakan senyawa penting yang


memberi aroma semacam wiski dan kadang-
kadang karakter dari rumput laut.

Thiophenes yaitu senyawa yang memiliki


aroma meaty yang juga muncul dalam reaksi
Maillard. Dia berada pada reaksi antara asam
amino sulfur dan gula.

25
Furan adalah senyawa yang memberikan sisi
aromatik paling banyak pada kopi. Dia juga
menyumbang aroma karamel dari gula. Furan
sering rusak diakibatkan panas yang terjadi
pada proses sangrai.

Pyrazines adalah senyawa yang memberi


aroma melimpah seperti roasty, kacang-
kacangan dan sesuatu yang dipanggang.
Pyrazine juga kadang-kadang memberi aroma
tanah dan banyak jenis lainnya.

Masyarakat kampung Biting sejak zaman


nenek moyangnya dekenal sebagai petani
kopi. Kopi merupakan minuman khas
kampung ini. Kopi bagai nafas bagi penduduk
kampung Biting. Hari dibuka dengan segelas

26
kopi. Menutupnya, entah kapan, juga dengan
segelas kopi

Ciri khas minuman kopi dari kampung ini


adalah minuman kopi tanpa gula yang orang
biasa menyebutnya “kopi pa’it”. Minum “kopi
pa’it” ini sudah menjadi kebiasaan dan sudah
menjadi darah daging dalam diri warga
kampung Biting.

Oleh masyarakat kampung Biting, kopi


dijadikan sebagai kebutuhan pokok yang harus
dipenuhi selain kebutuhan pokok lainnya.
Kopi sundah menjadi teman dalam santai
maupun kegiatan lainnya. Segala kesibukan
akan menjadi hambar bila tidak diawali
dengan minum kopi. Bahkan ada warga yang
beranggapan bahwa lebih baik tidak makan
daripada tidak minum kopi.

Pengolahan kopi dilakukan dengan alat


tradisional yaitu ditumbuk dengan
menggunakan “alu dan ngencung” yang
27
terbuat dari kayu. Masyarakat kampung Biting
memiliki dua cara pengolahan kopi, yaitu:

Cara yang pertama, kopi yang sudah dipetik


ditumbuk dengan menggunakan “Alu dan
Ngencung”. Lalu, kopi yang sudah ditumbuk
dicuci untuk memisahkan biji kopi dengan
kulitnya sampai bersih kemudian dijemur agar
airnya hilang.

Cara yang kedua adalah kopi yang sudah


dipetik tidak langsung ditumbuk melainkan
dijemur sampai kandungan air da;lam biji kopi
hilang lalu ditummbuk. Untuk memisahkan
biji kopi dengan kulitnya, dilakukan dengan
menampinya dengan menggunakan “Doku”
(nyiru). Seiring berkembangnya zaman, peran
“Alu dan Ngencung” ini digantikan oleh alat-
alat giling kopi yang semakin canggih.

Selanjutnya, kopi yang sudah dipisahkan dari


kulitnya tersebut digoreng atau masyarakat
kampung biting biasa menyebutnya “ cero
28
kopi” sampai matang. Yang haerus
diperhatikan saat “cero kopi” adalah kopi
tidak boleh terlalu hangus melainkan
hangusnya harus pas.

Setelah itu, kopi yang sudah digoreng “cero”


tersebut dibiarkan dingin lalu ditumbuk atau
digiling hingga menjadi serbuk kopi yang
sudah siap untuk dikosumsi.

Kopi selalu menjadi minuman pokok yang


wajib ada disajikan saat acara-acara adat
maupun acara-acar lainnya di kampung Biting.
Selain Kopi, miniman yang biasa disajikan
saat acara-acara adat amupung acra lainnya di
kamung Biting adalah “Tuak”. Tauk adalah
minuman tradisiaonal yang diperoleh dari
hasil fermentasi air dari tumbuhan nira.
Namun tuak bukan merupakan minuman yang
dihasilkan dari kampung Biting melainkan
didatangkan dari kampung-kampung tetangga
yang jauh dari kampung Biting.

29
BAB VIII

ETNOKIMIA SEBAGAI LOKAL WISDOM


DALAM BIDANG BAHAN ALAM UNTUK
SANDANG

Kampung biting juga memiliki kekayaan di


bidang bahan-bahan untuk sandang khususnya
untuk bahan untuk tenunan. Bahan-bahan
yang dibutuhkan untuk tenun dapat dijumpai
dengan mudah disekitar kampung Biting baik
bahan pewarna maupun bahan-bahan lainnya.
Hasil tenunan kampung Biting biasanya
berupa kain sarung yang biasa disebut “Towe
Songke”(sarung songke).

Budaya adalah suatu cara hidup yang


berkembang dan dimiliki bersama oleh
sekelompok orang serta diwariskan dari
generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari
banyak unsur yang rumit, termasuk sistem
agama dan politik, adat istiadat, bahasa,
perkakas, pakaian, bangunan,dan karya seni.
30
Pada bab ini kita akan mengenal tentang
kebudayaan daerah manggarai. Kain tenun
khas daerah manggarai seluruhnya adalah
Kain Songke. Kain tenun songke juga biasa
disebut lipa atau towe. Lipa atau towe dalam
bahasa setempat di kenakan oleh laki-laki dan
perempuan, baik dirumah maupun saat
menghadiri ritual adat, ke gereja, ketika mandi
dan tidur, saat kelahiran dan pernikahan, dan
untuk membungkus orang yang telah
meninggal. Berikut merupakan beberapa
penjelasan tentang kain songke.

1. Sejarah Kain Songke


Pada tahun 1613-1640 kerajaan Gowa
Makassar Sulawesi Selatan pernah berkuasa di
hampir seluruh wilayah Manggarai. Pertemuan
dengan berbagai macam kepentingan budaya
melahirkan sesuatu yang baru bagi
kebudayaan orang Manggarai termasuk di
dalamnya masalah berbusana sehingga
kebudayaan dari makassar sebagaiannya
31
dibawa ke Manggarai termasuk juga masalah
kain yang dipakai. Orang makassar menyebut
songke dengan sebutan Songket, tetapi orang
manggarai lebih mengenalnya dengan sebutan
Songke(tanpa akhiran huruf t).

2. Makna Songke
Jika ditelusuri dari sisi sejarah, dahulu
songke hanya ditelusuru oleh orang-orang
tertentu saja yang kedudukannya jauh lebih
tinggi dari masyarakat biasa (golongan
bangsawan) yang orang manggarai sebut
Kraeng (tuan). Kaum bansawan itu
menganggap bahwa songke merupakan
wengko weki (kai pelindung tubuh). Dapat
dibilang bahwa jejak budaya orang
Manggarai.

3. Jenis dan Ukuran Kain Songke

1) Sarung : panjang 1135 x lebar 170


cm
32
2) Selendang atau Syal : panjang 200
cm x lebar 20 dan 30 cm
3) Baju : semua ukuran (M, L, S, XL,
XXL)
4) Rok : semua ukuran (M, L, S, XL,
XXL)
5) Peci : berbagai usia dengan ukuran
tinggi 20 cm.

4. Proses Pembuatan Songke


Dalam pembuatan songke,
menggunakan kapas (dalam bahasa
manggarainya kampas) sebagai benang jahit
atau benang tenun setelah diproses secara
tradisional. Setelah kapas yang diambil dari
pohonnya kemudian dipisahkan dengan
bijinya, dijemur hingga benar-benar kering
dan siap untuk dipintal.
Proses pemintalan menggunakan alat
pemintal tradisional yang oleh orang
manggarai menyebutnya gasong ( merupakan
alat yang terbuat dari sebuah papan berukuran

33
kecil bulat yang ditengahnya dipasang kayu
sebesar jari kelingking anak-anak). Kapas
kemudian dililitkan pada ujung atas kayu
kecil, lalu gasong diputarkan sehingga benang
seperti dipintal, sambil jari tangan sebelah kiri
menyambung kapas-kapas yang terpisah.
Proses ini akan mengubah menjadi benang.
Proses ini akan mengubah menjadi benang.
Benang hasil pintalan kemudian
dililitkan pada tubuh gasong sampai alat ini
benar-benar tidak kelihatan kayu tengahnya
dan sudah dirasa berat. Benang kemudian
dipindahkan dari gasong ke alat yang namanya
woer,yaitu alat untuk membentuk benang
,menjadi gumpalan-gumpalan berbentuk bulat
seperti bola.
Proses untuk menghasilkan benang
yang sudah siap dipakai kemudian harus
diwarnai sesuai kebutuhan lazimnya warna
hitam yaitu menggunakan pewarna alami
terbuat dari pohon nila dan arang. Setelah
diwarnai, benang dikeringkan. Apabila benang
34
akan siap dipakai sebagai benang jahit maka
benang hasil pintalan harus terlebih dahulu
dilicinkan dengan liling (rumah lebah
penghasil madu yang sudah dikeringkan
kemudian dipadatkan). Caranya, benang
ditempelkan atau ditekan dengan jari pada
liling kemudian benang ditarik sehingga setiap
serat benang menyatu. Akan tetapi, jika
benang dipakai untuk menenun sehelai kain,
langkah tersebut dapat dilewatkan.
Setelah benang mencukupi kebutuhan
penenunan kain songke, benang kemudian
dibuat menjadi mal kain dengan alat
tradisional yaitu wenggi. Dalam
pembuatannya, kayu harus berukuran 1,5 m
sebanyak 2 buah untuk lebar dan 2 m
sebanyak 2 buah untuk panjang yang
dirangkai menjadi persegi panjang dan
diletakkan setinggi kurang lebih 30 cm diatas
tanah dengan setiap sudut diberi bantu
pengalas. Untuk memulai membentuk mal
songke dibutuhkan dua orang perempuan
35
untuk duduk di dalam mal, lalu benang
diikatkan pada kayu yang dijadikan lebar,
untuk memulainya tergantung kelincahan dari
yang mengerjakannya,baik mulainya dari
samping kiri atau kanan. Keduanya berbagi
tugas baik memberi maupun menerima
benang. Benang yang diterima kemudian
dikaitkan pada kayu lalu diberikan lagi kepada
si pemberi. Dan pembuatannya begitu terus
hingga ukuran yang diinginkan terpenuhi.
Proses pembuatan ini disebut dengan istilah
maneng. Setelah maneng selesai, mal kain
songke (berang) dipindahkan ke alat tenun
tradisional.
Ketika proses ini sudah dilakukan,
maka kegiatan selajutnya adalah menenun
berang hingga menjadi sehelai kain songke.
Proses ini membutuhkan waktu yang lama
sekitar berminggu-minggu atau bahkan
berbulan-bulan, banyaknya motif yang
digunakan dan kemahiran si penenun songke.
Karena nilai estetis dan penerapannya sangat
36
tinggi, modal yang dikeluarkan untuk membeli
kain yang atu ini pun sangat fantastis. Kembali
lagi pada masalah ukuran, tingkat kesulitan
pengayaman motif, dan lamanya proses
penenunan. Harga songke yang ditawarkan
berkisar antara 400-an bahkan sampai pada
level jutaan.
Alat-alat yang digunakan untuk
menenun songke adalah sebagai berikut:
1. Lihu, kayu yang diletakkan di bagian
belakang pinggang sebagai penahan
beban (berang)
2. Pesa, kayu yang dipasangkan antara
berang dan lihu yang diletaknya di
bagian perut. Alat ini berpasangan
dengan lihu yang dihubungkan dengan
wase (tali) sebagai pengait. Alat ini
dipakai untuk penampung kain yang
sudah jadi atau sudah ditenun.
3. Mbira, sebagai pengancing benang yang
dimasukkan dari kiri atau kekanan juga
untuk mengancing benang sulam moti

37
dengan cara ditarik sebanyak 1 atau 2
kali ke arah perut.
4. Keropong, bambu berukuran kecil
tempat diletakkannya keliri atau lebih
cocoknya disebut sebagai rumah keliri
agar ketika dimasukkan diantara celah-
celah benang berang, keliri tidak
tersangkut. Keliri adalah kayu kecil
berukuran sekitar 40 cm yang dililitkan
benang yang dipakai sebagai pengunci
benang sulam yang dimasukkan dari kiri
ke kanan.
5. Jangka, alat yang terbentuk seperti sisir
rambut yang berfungsi sebagai pemisah
benang 1 helai kesebelahnya. Jadi setiap
ruang antara gigi jangka yang satu ke
yang lain diletakan benang diantaranya.
6. Nggolong, alat dari bambu yang
berukuran sekitar ibu jari orang dewasa
yang digunakan sebagai pemberi ruang
agar keliri bisa masuk dari sebelah kiri
ke kanan atau sebaliknya.

38
7. Kerempak, kayu persegi yang dipakai
sebagai penekan saat akan menggantikan
posisi dari mbira dan nggolong.
8. Donging, kayu bercabang yang
membentuk sudut 30 derajat tempat
menaruh banggang atau papan yang
dililit oleh berang.
9. Banggang, papan yang digunakan untuk
melilitkan barang.
10. Benang sulam, digunakan untuk
membentuk motif.
11. Berang, mal kain songke.

Di era modern ini, sudah tidak banyak


orang di daerah-daerah di Kabupaten
Manggarai yang menggunakan cara tradisional
untuk menghasilkan atau membuat benang.
Selain karena cara tersebut rumit dan lama,
pohon kapas sebagai penghasil bahan baku
pembuatan benang juga sudah jarang
ditemukan karena kebanyakan orang di
daerah-daerah semua sudah bermigrasi ke

39
pantai. Sedangkan pohon kapas sulit tumbuh
di daerah yang panas. Sehingga banyak
masyarakat yang tidak membuat benangnya
dari pohin kapas secara langsung lagi
melainkan lebih memilih membeli benang
yang sudah jadi, yang dijual di pasar-pasar,
atau di toko-toko.
Meskipun cara menenun kain songke
masih menggunakan cara tradisional,
setidaknya untuk mendapatkan benang sudah
tidak serumit zaman dulu. Dengan teknologi
yang seemakin maju, dapat memberikan
banyak kemudahan bagi kaum perempuan di
daerah manggarai khususnya kampung saya
yaitu kampung Nggola dalam hal menenun
kain songke. Meski tak dapat dipungkiri juga
bahwa, selain teknologi memberikan
kemudahan, disisi lain justru menghilangkan
secara perlahan tradisi turun –temurun nenek
moyang orang manggarai yang seharusnya
generasi saat ini tahu akan hal tersebut.
Diyakini bahwa banyak anak-anak manggarai
40
yang sudah mengikuti atau terinfeksi Budaya
Barat modern,sudah tidak ada yang tahu
menenun songke. Hal ini dikarenakan orang
tua yang sudah malas memberikan ilmunya
kepada anaknya ataupu kepada orang lain.
Sehingga menambah terpuruknyya Budaya
asli Manggarai. Meskipun demikian, masih
banyak daerah-daerah di manggarai yang
sampai saat ini generasi mudanya (perempuan)
masih sangat menekuni dalam menenun kain
songke salah satunya adalah Wae Rebo.
Perempuan asli manggarai wajib hukumnya
untuk menenun songke,tanpa terkecuali.

5. Nilai Kain Songke


Warna dasar benang yang dipakai
dalam penenunan songke adalah hitam yang
bagi orang Manggarai arna hitam
melambangkan arti kebesaran dan keagungan
serta kepasrahan bahwa semua manusia pada
suatu saat akan kembali kepada Mori Kraeng
(Sang Pencipta). Sedangkan warna benang
41
untuk sulam umumnya warna-warni yang
mencolok seperti merah, putih, orange, dan
kuning. Motif yang dipakai pun tidak
sembarang. Setiap motif mengandung arti dan
harapan dari orang Manggarai dalam hal
kesejahteraan hidup, kesehatan, dan
hubunganbaik antar manusia dan sesamanya,
manusia dengan alam maupun manusia
dengan sang pencipta.

6. Motif Songke
Dalam penenunan kain songke
diperlukan beberapa motif. Berikut adalah
penjelasan beberapa motif dalam penenunan
kain songke beserta maknanya:
1. Motif Su’i. Motif ini berupa garis-garis
yang seolah memberi batas antara satu
motif dengan yang lainnya. Namun garis-
garis ini bukannya tanpa arti. Su’i
melambangkan segala sesuatu yang
memiliki akhir. Seperti hidup yang cepat
atau lambat akan menemui ujungnya. Su’i

42
juga dapat berarti kehidupan masyarakat
manggarai dibatasi oleh garis-garis berupa
peraturan adat yang tidak boleh dilanggar.

2. Motif Mata Manuk. Mata manuk artinya


mata ayam. Motif ini dikaitkan dengan
Tuhan Yang Maha melihat. Masyarakat
Manggarai meyakini kebesaran Tuhan
yang mampu melihat sekecil apapun
perbuatan manusia. Sehingga perbuatan
manusia tidak ada yang luput dari
pengamatan-Nya.

3. Motif Wela Ngkaweng. Wela berarti


bunga. Sementara ngkaweng adalah
sejenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh
masyarakat manggarai untuk mengobati
luka hewan ternak. Wela ngkaweng
mengandung makna baha kehidupan
manusia yang bergantung pada alam.

43
Kelestarian alam akan menunjang
kehidupan manusia dari aktu ke waktu.

4. Motif Wela Runu. Wela Runu adalah


sejenis tumbuhan bunga yang berukuran
kecil. Motif ini mengandung arti bahwa
meski pun tampak tak berarti, namun
setiap kehidupan di dunia ini memiliki
manfaat. Tak perlu berkecil hati bila tak
dianggap, sebab dalam momentum
tertentu keberadaan seseorang akan
memberi arti besar bagi sesama.

5. Motif Ntala. Ntala berarti bintang. Motif


ini terkait erat dengan salah satu petuah
manggarai “porot langkas haeng ntala”,
yang artinya hendaklah mencapai bintang.
Motif ntala bermakna, hendaknya
kehidupan selalu berimbas positif bagi
sesama serta memberikan perubahan pada
lingkungan sekitar.

44
6. Motif Ranggong. Ranggong adalah laba-
laba. Bagi masyarakat Manggarai, laba-
laba adalah hewan yang ulet dan bekerja
keras dalam hidupnya. Kejujuran dalam
hidup akan membuahkan hal baik,
disenangi dan dimuliakan oleh orang di
sekitar.

Motif-motif diatas memiliki nilai yang


sangat estetis dan terapannya sangat
tinggi, dengan modal yang dikeluarkan
untuk membeli kain yang satu ini pun
sangat fantastis. Karena pada proses
penenunannya tingkat kesulitannya yaitu
pada ukuran, penganyaman motif, dan
lamannya proses penenunan. Sehingga
tidak salah jika harga songke yang
ditawarkan berkisar antara 400-an sampai
pada level jutaan.

45
7. Pemanfaatan Songke
Songke biasa dipakai dalam upacara
adat seperti penti (upacara syukuran), caci
(tarian khas adat manggarai), lipa tabing
(songke yang diberikan oleh kaum laki-
laki kepada kaum perempuan pada saat
lamaran), kawing (sebagai belis/emas
kawin), lipa rapu (pembungkus mayat),
randang (membuka kebun baru), nempung
(musyawarah), tombo adak (pembicaraan
mengenai adat) dan kegunaan untuk
sehari-hari seperti untuk sarung,
pengganti busana ibadah baik kaum
perempuan maupun kaum laki-laki, baju,
celana, jas, peci dan syal. Akan sangat
terhormat apabila seseorang yang bertamu
ke keluarga atau tetangga mengenakan
songke.
Songke banyak digemari bukan hanya
oleh orang Manggarai sendiri tetapi juga
orang dari luar daerah Manggarai bahkan
sampai keluar Negeri, karena disamping
46
kain ini bisa dimanfaatkan untuk
keperluan sehari-hari juga yang tak kalah
menarik adalah keindahan berbagai motif
yang ketika dipadukan menjadi satu
membuat semua yang melihat terkagum-
kagum.

8. Tradisi Songke Manggarai


Untuk pemakaian kain songke
Manggarai sejauh ini tidak ada kriteria atau
syarat yang dituntut bahkan upacara adat dan
ritual khusus (tradisi) untuk mengizinkan
seseorang memakai atau menggunakan kain
songke. Siapa saja dapat memakai kain
songke, selama tidak mengurangi rasa hormat
akan kebudayaan orang manggarai. Dengan
kata lain tidak ada tradisi khusus untuk dapat
mengenakan kain songke.

47
salah
satu motif kain “songke”

48
BAB IX

ETNOKIMIA SEBAGAI LOKAL WISDOM


DALAM BIDANG OBAT TRADISIONAL

1. Daun Jambu Biji


Jambu biji dengan nama latin psidium
guajava mempunyai banyak
kandungan yang terdapat dalam daun
yaitu asam psidoklat, asam oleanolat,
minyak lemak, vitamin dan tennin.
Selain itu, daun jambu biji juga kaya
akan zat non gizi seperti serat pangan,
komponen karotenoid, dan polifenol.
Selain itu, manfaat dari daun jambu ini
adalah dapat menyembuhkan sakit
perut, diare, maag, dan sariawan.

49
Daun
jambu.

2. Cacing Tanah
pada umumnya orang mengenal cacing
tanah sebagai binatang yang berguna
untuk berkembangnya ekosistem tanah
yang baik. Selain dapat menyuburkan
tanah, di dalam dunia medis, hewan
yang mampu membuat tanah semakin
gembur dan subur ini ternyata
dianggap sebagai hewan yang bisa
memberikan banyak manfaat
kesehatan. Diantaranya yaitu untuk
obat penyakit tifus, diare, sirkulasi
darah, kekebalan tubuh, serta masih
banyak manfaat lainnya. Sehingga
50
masyarakat kampung Biting seringkali
menggunakan binatang ini sebagai
obat tradisional untuk mengobati
berbagai penyakit.

Cacing tanah.

3. Daun Ndusuk
Daun ndusuk sebagai obat untuk
menyembuhkan menceret, obat
keputihan, obat radang, usus,
pencegahan kanker, dan sariawan.
Nama ilmiah dari daun ndusuk yaitu
melastoma malabathricum yang
terkandung senyawa kimia flavonoida,

51
saponin, dan tanin. Dalam tubuh
manusia berfungsi sebagai antioksidan.

Tanaman ndusuk.

52
BAB X

ETNOKIMIA SEBAGAI LOKAL WISDOM


DALAM BIDANG BAHAN ALAM UNTUK
AKSESORIS DAN PERHIASAN.

Masyarakat kampung biting juga memiliki


kebiasaan mengelola bahan-bahan yang
berasal dari alam untuk dijadikan aksesoris.
Salah satu aksesoris yang paling sering dibuat
dan dipakai oleh masyarakt adalah gelang
yang dibuat dari akar tumbuhan yang biasa
disebut oleh masyarakat kampung Biting “
haju okade” (Kirinyu).

Gelang tersebut dibuat dengan cara


mengambil akar dari “haju okade” (kirinyu)
ini lalu dibuat bulat kemudian direndam dalam
lumpur selana beberapa hari hingga warnanya
berubah menjadi hitam dan keras. Setelah
warnanya berubah menjadi hitam serta keras,
akar tersebut diambil lalu dicuci hingga bersih

53
lalu dijemur hingga kering dan gelang siap
untuk dikenakan.

54
BAB XI

ETNOKIMIA SEBAGAI LOKAL WISDOM


DALAM BIDANG BAHAN LOKAL
UNTUK PAPAN

Rumah adat merupakan bangunan


yang memiliki ciri khas khusus,
digunakan untuk tempat hunia oleh
suatu suku bangsa tertentu. Rumah
adat ialah salah satu representasi
kebudayaan yang paling tinggi dalam
sebuah komunitas suku/masyarakat.
Begitu juga bagi masyarakat kampung
55
Biting. Rumah adat dalam kehidupan
masyarakat merupakan rumah yang
sangat berperan penting karena
menjadi pusat kehidupan yang
mengatur segala urusan yang
menyangkut kehidupan bermasyarkat
sehari-hari. Rumah adat terdiri dari
lima lantai. berikut adalah susunannya
:

Lutur atau lantai dasar, yang dipergunakan


untuk tempat tinggal sang penghuni

• Lobu berfungsi sebagai gudang tempat


penyimpanan bahan makanan dan barang

• Lentar berfungsi untuk menyimpan


benih tanaman untuk bercocok tanam

• Lempa Rea bergungsi untuk


menyimpan stok cadangan makanan yang
berguna di saat peceklik atau gagal panen.

56
• Hekang Kode berfungsi sebagai tempat
sesajen untuk para leluhur mereka.

Membangun sebuah mbaru gendang,


masyarakat kampung Biting membutuhkan
waktu yang cukup panjang, karena
keseluruhan bahan bangunan diambil secara
bijaksana dari hutan yang mengelilingi
kampung Biting. seperti kayu utama yang
menjulang ditengah setinggi 15 meter, diambil
dari satu pohon utuh, dan sebelum di pakai,
kayu tersebut telah dipersiapkan secara
tradisional agar menjadi kayu yang baik dan
kuat dan dipilih kayu yang cukup umur. se.
seluruh bahan dipersiapkan dan dikumpulkan
sedikit-sedikit sesuai yang disediakan alam
yang dapat diambil secara bijaksana oleh
masyarakat serta dengan adanya bantuan
pemerintah.

Saat pembangunan rumah adat dari saat


dimulai hingga sampai selesai, dilakukan
upacara-upacara adat yang dibuat sebagai
syukuran dan serta memohon agar dijauhkan
segala rintangan celaka selama pembangunan
57
rumah adat berlangsung sampai selesai. Dalam
ritual-ritual adat yang dilaksanakan selama
pembangunan rumah adat dilakukan biasanya
dikorbankan beberapa hewan seperti: Kerbau,
Babi dan juga Ayam.

58

Anda mungkin juga menyukai