1
kampung Wuas.
2
terjun tersebut akan berkurang.
1. Beo (kampung)
2. Uma/lingko (kebun)
3. Satar(padang)
4. Pong(hutan kecil)
5
yang kaya akan segala jenis satwa maupun
tanamannya, namun masyarakat desa Biting
tetap menjaga kelestarian hutan beserta isinya.
6
BAB II
7
BAB III
8
1.”teko”(keladi)
2.”daeng”(singkong)
3.”muku”(pisang)
3.”latung”(jagung)
9
Makanan-makanan tradisional ini oleh
masyarakat disajikan pada saat situasi-situasi
tertentu misalnya pada saat santai pada pagi
atau sore hari, sarapan pagi, bahkan disajikan
kepada para tamu-tamu yang datang
berkunjung serta pada saat musim paceklik.
Biasanya masyarakat menyajikan makanan
tradisional ini ditemani Kopi Pait (kopi Pahit)
yang merupakan ciri khas dari kampung ini.
10
lagi. 1.”saung
padut”(daun pepaya)
2.”selada”(selada)
11
3”saung
daeng”(daun singkong)
4.kangkung
12
5.”ndesi”(labu)
6.”labu”(labu
siam)
13
BAB IV
14
1. Keladi yang masih mentah kulitnya
dikupas dan dicuci sampai bersih
2. Kemudian, keladi yang sudah dicuci
dimasukan ke dalam periuk atau
panci yang berisi air lalu dimasak
hingga matang
3. Setelah matang, air rebusan keladi
dibuang.
4. Lalu keladi yang sudah dimasak tadi
ditumbuk hingga hancur
5. Setelah dihancurkan, “Teko Buk”
siap disajikan.
16
3. Kemudian daun pepaya atau dau
singkong dan parutan kelapa atau
daging buah kemiri dicampurkan
hingga merata dan siap untuk
disajikan.
Jenis pengolahan makanan yang lain adalah
pengolahan Singkong yang dibelah lalu
dikeringkan dan masyarakat biasa
menyebutnya dengan nama “Koil”.
17
BAB V
18
3. Mengeringkan makanan supaya tidak
cepat membusuk
19
BAB VI
20
BAB VII
21
Acidity atau dikenal dengan ‘asam’ membuat
rasa kopi menjadi kompleks. Asam buah pada
kopi umumnya sangat dinikmati karena
memberi cita rasa yang unik dan segar.
Semakin tinggi kopi tersebut ditanam maka
profil asamnya akan semakin kompleks dan
menyenangkan.
22
Chlorogenic Acids (CGAs) atau Asam
Klorogenik adalah jenis asam yang lain yang
muncul pada proses penyangraian. Asam
klorogenik ini berubah menjadi asam caffeic
dan quinic serta fenol. Asam yang satu ini
dikenal lebih condong pada rasa asam yang
pahit.
23
pada saat proses penyangraian bersama aroma
karamel. Asam ini cukup memperkaya rasa
walau kadang jika prosesnya tidak tepat
menyebabkan proses fermentasi yang gagal.
24
Mercaptan yaitu senyawa yang juga lahir dari
reaksi Maillard. Mercaptan ini termasuk
‘keluarga’ volatil yang memiliki kandungan
sulfur yang tinggi.
25
Furan adalah senyawa yang memberikan sisi
aromatik paling banyak pada kopi. Dia juga
menyumbang aroma karamel dari gula. Furan
sering rusak diakibatkan panas yang terjadi
pada proses sangrai.
26
kopi. Menutupnya, entah kapan, juga dengan
segelas kopi
29
BAB VIII
2. Makna Songke
Jika ditelusuri dari sisi sejarah, dahulu
songke hanya ditelusuru oleh orang-orang
tertentu saja yang kedudukannya jauh lebih
tinggi dari masyarakat biasa (golongan
bangsawan) yang orang manggarai sebut
Kraeng (tuan). Kaum bansawan itu
menganggap bahwa songke merupakan
wengko weki (kai pelindung tubuh). Dapat
dibilang bahwa jejak budaya orang
Manggarai.
33
kecil bulat yang ditengahnya dipasang kayu
sebesar jari kelingking anak-anak). Kapas
kemudian dililitkan pada ujung atas kayu
kecil, lalu gasong diputarkan sehingga benang
seperti dipintal, sambil jari tangan sebelah kiri
menyambung kapas-kapas yang terpisah.
Proses ini akan mengubah menjadi benang.
Proses ini akan mengubah menjadi benang.
Benang hasil pintalan kemudian
dililitkan pada tubuh gasong sampai alat ini
benar-benar tidak kelihatan kayu tengahnya
dan sudah dirasa berat. Benang kemudian
dipindahkan dari gasong ke alat yang namanya
woer,yaitu alat untuk membentuk benang
,menjadi gumpalan-gumpalan berbentuk bulat
seperti bola.
Proses untuk menghasilkan benang
yang sudah siap dipakai kemudian harus
diwarnai sesuai kebutuhan lazimnya warna
hitam yaitu menggunakan pewarna alami
terbuat dari pohon nila dan arang. Setelah
diwarnai, benang dikeringkan. Apabila benang
34
akan siap dipakai sebagai benang jahit maka
benang hasil pintalan harus terlebih dahulu
dilicinkan dengan liling (rumah lebah
penghasil madu yang sudah dikeringkan
kemudian dipadatkan). Caranya, benang
ditempelkan atau ditekan dengan jari pada
liling kemudian benang ditarik sehingga setiap
serat benang menyatu. Akan tetapi, jika
benang dipakai untuk menenun sehelai kain,
langkah tersebut dapat dilewatkan.
Setelah benang mencukupi kebutuhan
penenunan kain songke, benang kemudian
dibuat menjadi mal kain dengan alat
tradisional yaitu wenggi. Dalam
pembuatannya, kayu harus berukuran 1,5 m
sebanyak 2 buah untuk lebar dan 2 m
sebanyak 2 buah untuk panjang yang
dirangkai menjadi persegi panjang dan
diletakkan setinggi kurang lebih 30 cm diatas
tanah dengan setiap sudut diberi bantu
pengalas. Untuk memulai membentuk mal
songke dibutuhkan dua orang perempuan
35
untuk duduk di dalam mal, lalu benang
diikatkan pada kayu yang dijadikan lebar,
untuk memulainya tergantung kelincahan dari
yang mengerjakannya,baik mulainya dari
samping kiri atau kanan. Keduanya berbagi
tugas baik memberi maupun menerima
benang. Benang yang diterima kemudian
dikaitkan pada kayu lalu diberikan lagi kepada
si pemberi. Dan pembuatannya begitu terus
hingga ukuran yang diinginkan terpenuhi.
Proses pembuatan ini disebut dengan istilah
maneng. Setelah maneng selesai, mal kain
songke (berang) dipindahkan ke alat tenun
tradisional.
Ketika proses ini sudah dilakukan,
maka kegiatan selajutnya adalah menenun
berang hingga menjadi sehelai kain songke.
Proses ini membutuhkan waktu yang lama
sekitar berminggu-minggu atau bahkan
berbulan-bulan, banyaknya motif yang
digunakan dan kemahiran si penenun songke.
Karena nilai estetis dan penerapannya sangat
36
tinggi, modal yang dikeluarkan untuk membeli
kain yang atu ini pun sangat fantastis. Kembali
lagi pada masalah ukuran, tingkat kesulitan
pengayaman motif, dan lamanya proses
penenunan. Harga songke yang ditawarkan
berkisar antara 400-an bahkan sampai pada
level jutaan.
Alat-alat yang digunakan untuk
menenun songke adalah sebagai berikut:
1. Lihu, kayu yang diletakkan di bagian
belakang pinggang sebagai penahan
beban (berang)
2. Pesa, kayu yang dipasangkan antara
berang dan lihu yang diletaknya di
bagian perut. Alat ini berpasangan
dengan lihu yang dihubungkan dengan
wase (tali) sebagai pengait. Alat ini
dipakai untuk penampung kain yang
sudah jadi atau sudah ditenun.
3. Mbira, sebagai pengancing benang yang
dimasukkan dari kiri atau kekanan juga
untuk mengancing benang sulam moti
37
dengan cara ditarik sebanyak 1 atau 2
kali ke arah perut.
4. Keropong, bambu berukuran kecil
tempat diletakkannya keliri atau lebih
cocoknya disebut sebagai rumah keliri
agar ketika dimasukkan diantara celah-
celah benang berang, keliri tidak
tersangkut. Keliri adalah kayu kecil
berukuran sekitar 40 cm yang dililitkan
benang yang dipakai sebagai pengunci
benang sulam yang dimasukkan dari kiri
ke kanan.
5. Jangka, alat yang terbentuk seperti sisir
rambut yang berfungsi sebagai pemisah
benang 1 helai kesebelahnya. Jadi setiap
ruang antara gigi jangka yang satu ke
yang lain diletakan benang diantaranya.
6. Nggolong, alat dari bambu yang
berukuran sekitar ibu jari orang dewasa
yang digunakan sebagai pemberi ruang
agar keliri bisa masuk dari sebelah kiri
ke kanan atau sebaliknya.
38
7. Kerempak, kayu persegi yang dipakai
sebagai penekan saat akan menggantikan
posisi dari mbira dan nggolong.
8. Donging, kayu bercabang yang
membentuk sudut 30 derajat tempat
menaruh banggang atau papan yang
dililit oleh berang.
9. Banggang, papan yang digunakan untuk
melilitkan barang.
10. Benang sulam, digunakan untuk
membentuk motif.
11. Berang, mal kain songke.
39
pantai. Sedangkan pohon kapas sulit tumbuh
di daerah yang panas. Sehingga banyak
masyarakat yang tidak membuat benangnya
dari pohin kapas secara langsung lagi
melainkan lebih memilih membeli benang
yang sudah jadi, yang dijual di pasar-pasar,
atau di toko-toko.
Meskipun cara menenun kain songke
masih menggunakan cara tradisional,
setidaknya untuk mendapatkan benang sudah
tidak serumit zaman dulu. Dengan teknologi
yang seemakin maju, dapat memberikan
banyak kemudahan bagi kaum perempuan di
daerah manggarai khususnya kampung saya
yaitu kampung Nggola dalam hal menenun
kain songke. Meski tak dapat dipungkiri juga
bahwa, selain teknologi memberikan
kemudahan, disisi lain justru menghilangkan
secara perlahan tradisi turun –temurun nenek
moyang orang manggarai yang seharusnya
generasi saat ini tahu akan hal tersebut.
Diyakini bahwa banyak anak-anak manggarai
40
yang sudah mengikuti atau terinfeksi Budaya
Barat modern,sudah tidak ada yang tahu
menenun songke. Hal ini dikarenakan orang
tua yang sudah malas memberikan ilmunya
kepada anaknya ataupu kepada orang lain.
Sehingga menambah terpuruknyya Budaya
asli Manggarai. Meskipun demikian, masih
banyak daerah-daerah di manggarai yang
sampai saat ini generasi mudanya (perempuan)
masih sangat menekuni dalam menenun kain
songke salah satunya adalah Wae Rebo.
Perempuan asli manggarai wajib hukumnya
untuk menenun songke,tanpa terkecuali.
6. Motif Songke
Dalam penenunan kain songke
diperlukan beberapa motif. Berikut adalah
penjelasan beberapa motif dalam penenunan
kain songke beserta maknanya:
1. Motif Su’i. Motif ini berupa garis-garis
yang seolah memberi batas antara satu
motif dengan yang lainnya. Namun garis-
garis ini bukannya tanpa arti. Su’i
melambangkan segala sesuatu yang
memiliki akhir. Seperti hidup yang cepat
atau lambat akan menemui ujungnya. Su’i
42
juga dapat berarti kehidupan masyarakat
manggarai dibatasi oleh garis-garis berupa
peraturan adat yang tidak boleh dilanggar.
43
Kelestarian alam akan menunjang
kehidupan manusia dari aktu ke waktu.
44
6. Motif Ranggong. Ranggong adalah laba-
laba. Bagi masyarakat Manggarai, laba-
laba adalah hewan yang ulet dan bekerja
keras dalam hidupnya. Kejujuran dalam
hidup akan membuahkan hal baik,
disenangi dan dimuliakan oleh orang di
sekitar.
45
7. Pemanfaatan Songke
Songke biasa dipakai dalam upacara
adat seperti penti (upacara syukuran), caci
(tarian khas adat manggarai), lipa tabing
(songke yang diberikan oleh kaum laki-
laki kepada kaum perempuan pada saat
lamaran), kawing (sebagai belis/emas
kawin), lipa rapu (pembungkus mayat),
randang (membuka kebun baru), nempung
(musyawarah), tombo adak (pembicaraan
mengenai adat) dan kegunaan untuk
sehari-hari seperti untuk sarung,
pengganti busana ibadah baik kaum
perempuan maupun kaum laki-laki, baju,
celana, jas, peci dan syal. Akan sangat
terhormat apabila seseorang yang bertamu
ke keluarga atau tetangga mengenakan
songke.
Songke banyak digemari bukan hanya
oleh orang Manggarai sendiri tetapi juga
orang dari luar daerah Manggarai bahkan
sampai keluar Negeri, karena disamping
46
kain ini bisa dimanfaatkan untuk
keperluan sehari-hari juga yang tak kalah
menarik adalah keindahan berbagai motif
yang ketika dipadukan menjadi satu
membuat semua yang melihat terkagum-
kagum.
47
salah
satu motif kain “songke”
48
BAB IX
49
Daun
jambu.
2. Cacing Tanah
pada umumnya orang mengenal cacing
tanah sebagai binatang yang berguna
untuk berkembangnya ekosistem tanah
yang baik. Selain dapat menyuburkan
tanah, di dalam dunia medis, hewan
yang mampu membuat tanah semakin
gembur dan subur ini ternyata
dianggap sebagai hewan yang bisa
memberikan banyak manfaat
kesehatan. Diantaranya yaitu untuk
obat penyakit tifus, diare, sirkulasi
darah, kekebalan tubuh, serta masih
banyak manfaat lainnya. Sehingga
50
masyarakat kampung Biting seringkali
menggunakan binatang ini sebagai
obat tradisional untuk mengobati
berbagai penyakit.
Cacing tanah.
3. Daun Ndusuk
Daun ndusuk sebagai obat untuk
menyembuhkan menceret, obat
keputihan, obat radang, usus,
pencegahan kanker, dan sariawan.
Nama ilmiah dari daun ndusuk yaitu
melastoma malabathricum yang
terkandung senyawa kimia flavonoida,
51
saponin, dan tanin. Dalam tubuh
manusia berfungsi sebagai antioksidan.
Tanaman ndusuk.
52
BAB X
53
lalu dijemur hingga kering dan gelang siap
untuk dikenakan.
54
BAB XI
56
• Hekang Kode berfungsi sebagai tempat
sesajen untuk para leluhur mereka.
58