Anda di halaman 1dari 58

MAKALAH

EVALUASI PROSES DAN HASIL PEMBELAJARAN KIMIA

“MODEL DAN PENDEKATAN EVALUASI”

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 1

1.Dian Ferdinan T (RRA1C114005)

2.Aulini (RRA1C114010)

DOSEN PENGAMPU :

Drs. Abu Bakar ,M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS JAMBI

2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta dan pengatur kehidupan di
dunia, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Standar Penilaian Dalam Prespektif Standar Nasional Pendidikan” ini dapat selesai
dengan baik.

Shalawat dan salam juga kami curahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, junjungan
umat Islam, pembawa kebenaran di muka bumi. Terima kasih pula kepada dosen dan teman-
teman yang telah memberikan dukungan serta ikut serta berpartisipasi sehingga makalah ini dpat
selesai pada waktunya.

Makalah ini merupakan sebuah tugas dalam mata kuliah evaluasi proses dan hasil
pembelajaran kimia yan dibuat oleh penulis guna menunjang proses belajar di perguruan tinggi
yang kini tengah dijalani oleh penulis. Adapun judul makalah ini adalah “ Model Dan Pendekatan
Evaluasi”.

Dalam penyusunan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi. Namun kami
menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan laporan ini tidak lain berkat bantuan, dorongan
dan bimbingan dosen dan teman-teman, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak
yang membutuhkan, khususnya bagi kami sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai, amin.

Jambi, November 2016

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .......................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah ..................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Model Evaluasi .......................................................... 3


2.2 Macam-Macam Model Evaluasi ................................ 3
2.3 Pendekatan Evaluasi .................................................. 24
2.4 Macam-Macam Pendekatan Evaluasi ....................... 24

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ................................................................ 52

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Profesi guru kini semakin banyak tuntutan seiring dengan kebutuhan akan pendidikan
yang bermutu. Salah satu kompetensi yang harus dikuasai guru adalah evaluasi pembelajaran.
Kompetensi ini sejalan dengan tugas dan tanggung jawab guru dalam pembelajaran, yaitu
mengevaluasi pembelajaran termasuk didalamnya melaksanakan penilaian proses dan hasil
belajar. Kompetensi tersebut sejalan pula dengan instrument penilaian kemampuan guru, yang
salah satu indicatornya adalah melakukan evaluasi pembelajaran.
Dalam proses evaluasi pembelajaran proses dan hasil belajar, guru sering menggunakan
instrument tertentu. Baik tes maupun non tes. Instrument ini mempunyai fungsi dan peran yang
sangat penting dalam rangka mengetahui keefektifan proses pembelajaran di sekolah.(
http://pecintamakalah.blogspot.co.id/2015/11/model-dan-pendekatan-evaluasi.html?m=1 ).
Dalam proses pembelajaran komponen yang ikut menentukan keberhasilan sebuah proses
adalah evaluasi. Dengan evaluasi orang akan mengetahui sejauh mana penyampaian
pembelajaran atau tujuan pembelajaran dapat dicapai sesuai dengan yang diinginkan.
Evaluasi menurut Kumano (2001) merupakan penilaian terhadap data yang dikumpulkan
melalui kegiatan asesmen. Sementara itu menurut Calongesi (1995) evaluasi adalah suatu
keputusan tentang nilai berdasarkan hasil pengukuran. Sejalan dengan pengertian tersebut,
Zainul dan Nasution (2001) menyatakan bahwa evaluasi dapat dinyatakan sebagai suatu proses
pengambilan keputusan dengan menggunakan informasi yang diperoleh melalui pengukuran
hasil belajar, baik yang menggunakan instrumen tes maupun non tes.
Dalam mengevaluasi juga terdapat beberapa model dan pendekatan. Menurut Zaenal
Arifin (2009) Pada tahun 1949, Tyler pernah mengembangkan model Black box. Lebih kurang
10 tahun lamanya orang memakai evaluasi dengan melakukan model tersebut. Selanjutnya than
1972, model evaluasi mulai berkembang. Taylor dan Cowley berhasil mengemukakan berbagai
pemikiran tentang model evaluasi dan menerbitkan dalam suatu buku. Berdasarkan pernyataan
diatas maka penulis mengangkat judul “Model dan Pendekatan Evaluasi”.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini antara lain :
1. Apa yang dimaksud dengan model evaluasi?
2. Apa saja macam-macam model evaluasi?
3. Apa yang dimaksud dengan pendekatan evaluasi?
4. Apa saja macam-macam pendekatan evaluasi?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini diantaranya:
1. Untuk memahami pengertian dari model evaluasi
2. Untuk memahami macam-macam model evaluasi
3. Untuk memahami pengertian dari pendekatan evaluasi
4. Untuk memahami macam-macam pendekatan evaluasi
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Model Evaluasi


Dalam melakukan evaluasi, perlu dipertimbangkan model evaluasi yang akan dibuat.
Model evaluasi merupakan suatu desain yang dibuat oleh para ahli atau pakar evaluasi. Biasanya
model evaluasi ini dibuat berdasarkan kepentingan seseorang, lembaga atau instansi yang ingin
mengetahui apakah program yang telah dilaksanakan dapat mencapai hasil yang diharapkan.
Model evaluasi pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur
yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar peserta didik untuk mencapai
tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pembelajaran dan guru
dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar ( syaiful sagala. 2005 ) .
Joyce dan Weil (2000:13) mengemukakan bahwa model pembelajaran merupakan
deskripsi dari lingkungan belajar yang menggambarkan perencanaan kurikulum, kursus-kursus,
rancangan unit pembelajaran, perlengkapan belajar, buku-buku pelajaran, program multi media,
dan bantuan belajar melalui program komputer. Hakikat mengajar menurut Joyce dan Weil
adalah membantu belajar (peserta didik) memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai-nilai,
cara berpikir, dan belajar bagaimana cara belajar. Secara lebih luas Model-model pembelajaran
didefinisikan sebagai berikut:

1. Model-model pembelajaran dalam arti seluas-luasnya tidak lain adalah suatu proses
mempersiapkan secara sistematis kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai
suatu tujuan tertentu.

2. Model-model pembelajaran adalah suatu cara bagaimana mencapai tujuan sebaik-baiknya


dengan sumber-sumber yang ada supaya lebih efisien dan efektif.

3. Model-model pembelajaran adalah penentuan tujuan yang akan dicapai atau yang akan
dilakukan, bagaimana, bilamana, dan siapa.

( http://wahyurosidin.blogspot.co.id/2016/06/karakteristik-model-dan-pendekatan.html )
2.2 Macam-Macam Model Evaluasi
Dalam studi tentang evaluasi, banyak sekali dijumpai model-model evaluasi dengan
format atau sistematika yang berbeda, sekalipun dalam beberapa model juga ada yang sama.
Misalnya, Said Hamid Hasan (1998) mengelompokkan model evaluasi sebagai berikut :
1. Model evaluasi kuantitatif, yang meliputi : model Tyler, Model teoritik Tyler dan
Maguire, model pendekatan system Alkin, model Countenance Stake, model CIPP,
model ekonomi mikro
2. Model evaluasi kualitatif, yang meliputi : model studi kasus, model iluminatif, dan
model responsive.
Ada beberapa model yang dapat dicapai dalam melakukan evaluasi (Umar, 2002 : 41-42),
yaitu :
1. Sistem assessment
Yaitu evaluasi yang memberikan informasi tentang keadaan atau posisi suatu sistem.
Evaluasi dengan menggunakan model ini dapat menghasilkan informasi mengenai posisi
terakhir dari sauatu elemen program yang tengah diselesaikan.
2. Program planning
Yaitu evalusi yang membantu pemilihan aktivitas-aktivitas dalam program tertentu yang
mungkin akan berhasil memenuhi kebutuhannya.
3. Program implementation
Yaitu evaluasi yang menyiapkan informasi apakah program sudah diperkenalkan kepada
kelompok tertentu yang tepat seperti yang telah direncanakan.
4. Program Improvement
Yaitu evaluasi orang memberikan informasi tentang bagaimana program berfungsi,
bagaimana program bekerja, bagaimana mengantisispasi masalah-masalah yang
mungkin dapat mengganggu pelaksanaan kegiatan.
5. Program Certification
Yaitu evaluasi yang memberikan informasi mengenai nilai atau manfaat program.
Sementara itu, Kaufan dan Thomas dalam Suharsini Arikunto dan Cepi Safruddin AJ
(2007) membedakan model evaluasi menjadi delapan, yaitu :
1. Goal Oriented Evaluation Model, dikembangkan oleh Tyler
2. Goal Free Evaluation Model, dikembangkan oleh Scriven
3. Formatif Sumatif Evaluation Model, dikembangkan oleh Scriven
4. Countenance Evaluation Model, dikembangkan oleh Stake
5. Responsive Evaluation Model, dikembangkan oleh Stake
6. CSE-UCLA Evaluation Model, menekankan pada “kapan” evaluasi dilakukan.
7. CIPP Evaluation Model, dikembangkan oleh Stufflebeam
8. Discrepancy Model, dikembangkan oleh Provus
Ada juga model evaluasi yang dikelompokkan oleh Nana Sudjana dan R. Ibrahim (2007 :
234) yang membagi model evaluasi menjadi empat model utama, yaitu “measurement,
congruence, educational system, dan illuminatif.”
Dari beberapa model diatas, diantaranya akan pemakalah uraikan sebagai berikut
1. Model Tyler
Nama model ini diambil dari pengembangnya yaitu Tyler. Dalam buku Basic Principles
of Curriculum and Instruction, Tyler banyak mengemukakan ide dan gagasannya tentang
evaluasi. Salah satu bab dari buku tersebut diberinya judul how can the effectiveness of learning
experience be evaluated? Model ini dibangun atas dua dasar pemikiran. Pertama, evaluasi
ditujukan pada tingkah laku peserta didik. Kedua, evaluasi harus dilakukan pada tingkah laku
awal peserta didik sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran dan sesudah melaksanakan
kegiatan pembelajaran (hasil). Dasar pemikiran yang kedua ini menunjukkan bahwa seorang
evaluator harus dapat menentukan perubahan tingkah laku apa yang terjadi setelah peserta didik
mengikuti pengalaman belajar tertentu, dan menegaskan bahwa perubahan yan terjadi
merupakan perubahan yang disebabkan oleh pembelajaran.
Penggunaan model Tyler memerlukan informasi perubahan tingkah laku terutama pada
saat sebelum dan sesudah terjadinya pembelajaran. Istilah yang popular di kalangan guru adalah
tes awal dan tes akhir. Model ini mensyaratkan validitas informasi pada tes akhir. Untuk
menjamin validitas ini, maka perlu adanya control dengan menggunakan desain eksperimen.
Model Tyler disebut juga model Black box karena model ini sangat menekankan adanya tes awal
dan tes akhir. Dengan demikian, apa yan terjadi dalam proses tidak perlu diperhatikan. Dimensi
proses ini dianggap sebagai kontak hitam yang menyimpan segala macam teka-teki. Menurut
Tyler ada tiga langkah pokok yang harus dilakukan, yaitu:
a. Menentukan tujuan pembelajaran yang akan dievaluasi
b. Menentukan situasi dimana peserta didik memperoleh kesempatan untuk menunjukkan
tingkah laku yang berhubungan dengan tujuan, dan
c. Menentukan alat evaluasi yang akan dipergunakan untuk mengukur tingkah laku peserta
didik.
Keunggulan Model Tyler
 Model paling popular
 Digunakan dalam perkembangan kurikulum
 Sistematik
 Mudah digunakan
 Logikal
 Evaluator dapat memfokuskan kajian evaluasinya hanya pada satu dimensi kurikulum
yaitu dimensi hasil belajar. Sedang dimensi dokumen dan proses tidak menjadi focus
evaluasi.

Keterbatasan Model Tyler


 Model ini cenderung tidak peduli terhadap proses padahal hasil belajar adalah produk
dari proses belajar. Sehingga evaluasi yang mengabaikan proses berarti mengabaikan
komponen penting dari kurikulum.
 Model ini tidak dapat digunakan untuk mencari alasan atas kegagalan suatu kurikulum.

Dalam model ini, yang menjadi objek pengamatan adalah tujuan dari program yang
sudah di tetapkan jauh sebelum program di mulai. Evaluasi ini di lakukan secara
berkesinambungan untuk mengetahui sejauh mana tujuan tersebut sudah terlaksana di dalam
proses pelaksanaannya. Model ini menggunakan tujuan program sebagai kriteria untuk
menentukan keberhasilan dari program. Evaluator mencoba mengukur sampai di mana tujuan
dari program telah di capai. (http://desman-spdi.blogspot.co.id/2015/03/model-model-evaluasi.html )
2. Model yang Berorientasi pada Tujuan
Dalam pembelajaran, kita mengenal adanya tujuan pembelajaran umum dan tujuan
pembelajaran khusus. Model evaluasi ini menggunakan kedua tujuan tersebut sebagai kriteria
untuk menentukan keberhasilan. Evaluasi diartikan sebagai proses pengukuran untuk mengetahui
seberapa sejauh mana tujuan pembelajaran telah tercapai. Model ini dianggap lebih praktis
karena menentukan hasil yang diinginkan dengan rumusan tujuan pembelajaran dapat
diobservasi dan diukur, maka kegiatan evaluasi pembelajaran akan menjadi praktis dan simple.
Disamping itu, model ini dapat membantu guru menjelaskan rencana pelaksanaan kegiatan
pembelajaran dengan proses pencapaian tujuan. Instrument yang digunakan bergantung pada
tujuan yang ingin diukur. Hasil evaluasi akan menggambarkan tingkat keberhasilan tujuan
program pembelajaran berdasarkan kriteria program khusus. Kelebihan model ini terletak pada
hubungan antara tujuan kegiatan dan pembelajaran. Kekurangannya adalah memungkinkan
terjadinya proses evaluasi melebihi konsekuensi yang tidak diharapkan.

3. Model Pengukuran (Measurement Model)


Model pengukuran (measurement model) banyak mengemukakan pemikiran-pemikiran
dari R. Thorndike dan R.L.Ebel. sesuai dengan namanya, model ini sangat menitikberatkan pada
kegiatan pengukuran. Pengukuran digunakan untuk menentukan kualitas suatu sifat (atribut)
tertentu yang dimiliki oleh objek, orang maupun peristiwa, dalam bentuk unit ukuran tertentu.
Dalam bidang pendidikan, model ini telah diterapkan untuk mengungkapkan perbedaan-
perbedaan individual maupun kelompok dalam hal kemampuan, minat dan sikap. Hasil evaluasi
digunakan untuk keperluan seleksi peserta didik, bimbingan, dan perencanaan pendidikan. Objek
evaluasi dalam model ini adalah tingkah laku peserta didik, mencakup hasil belajar (kognitif),
pembawaan, sikap, minat, bakat, dan juga aspek-aspek kepribadian peserta didik. Instrument
yang digunakan pada umumnya adalah tes tertulis (paper and pencil test) dalam bentuk tes
objektif, yang cenderung dibakukan. Oleh sebab itu, dalam menganalisis soal sangat
memperhatikan difficulty index dan index of discrimination. Model ini menggunakan
pendekatan Penilaian Acuan Norma (Norm-referenced assessment).
Model ini dapat dipandang sebagai model yang tertua didalam sejarah evaluasi dan telah
banyak dikenal didalam evaluasi pendidikan. Sesuai dengan namanya model ini sangat menitik
beratkan pada kegiatan pengukuran didalam proses evaluasi pendidikan. Pengukuran menurut
model ini tidak dapat dilepaskan dari pengertian kuantitas atau jumlah. Jumlah ini akan
menentukan besarnya (magnitude) objek, orang ataupun peristiwa-peristiwa yang dilukiskan
daam unit-unit ukuran tertentu. Dalam bidang pendidikan model ini telah diterapkan dalam
proses evaluasi untuk melihat dan mengungkapkan perbedaan-perbedaan individual maupun
kelompok dalam hal kemampuan, minat, sikap mauun kepribadian (Tim Pengembang Ilmu
Pendidikan FIP-UPI, 2007).

Dalam hubungan dengan evaluasi program pendidikan di sekolah. Model ini


menitikberatkan pada pengukuran terhadap hasil belajar yang dicapai siswa pada masing-masing
bidang pelajaran dengan menggunakan tes (Dyer, 1960). Hasil belajar yang dijadikan objek
evaluasi disini terutama adalah hasil belajar dalam bidang pengetahuan (kognitif) yangmencakup
berbagai tingkat pengetahuan seperti kemampuan ingatan, pemahaman aplikasi dan sebagainya,
yang evaluasinya dapat dilakukan secara kuantitatif-objektif dengan menggunakan prosedur
yang distandarisasikan. Sehubungan dengan itu alat evaluasi yang lazim digunakan didalam
model evaluasi ini adalah tes tertulis atau paper-and-pancil test. Secara lebih khusus lagi bentuk
tes yag biasanya digunakan adalah bentuk tes objektif, yang soalnya berupa pilihan ganda,
menjodohkan, benar salah dan semacamnya (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007).
(https://binham.wordpress.com/2012/01/07/model-model-evaluasi-pendidikan/ ).

Tokoh model pengukuran adalah Edward L. thorndike dan Robert L. Ebel. Menurut
kedua tokoh ini dalam Purwanto (2009) beberapa ciri dari model pengukuran, adalah :
a. Mengutamakan pengukuran dalam proses evaluasi. Pengukuran merupakan kegiatan
ilmiah yang dapat diterapkan pada berbagai bidang termasuk pendidikan
b. Evaluasi adalah pengukuran terhadap berbagai aspek tingkah laku untuk melihat
perbedaan individu atau kelompok. Oleh karena tujuannya adalah untuk mengungkapkan
perbedaan, maka sangat diperhatikan tingkat kesukaran dan daya pembeda masing-
masing butir, serta dikembangkan acuan norma kelompok yang menggambarkan
kedudukan siswa dalam kelompok
c. Ruang lingkup adalah hasil belajar aspek kognitif
d. Alat evaluasi yang digunakan adalah tes tertulis terutama bentuk objektif
e. Meniru model evaluasi dalam ilmu alam yang menggunakan objektivitas. Oleh karena itu
model ini cenderung mengembangkan alat-alat evaluasi yang baku. Pembakuan
dilakukan dengan mencobakan kepala sampel yang cukup besar untuk melihat validitas
dan reabilitasnya.

Keunggulan Model Pengukuran (Measurement Model)


Keunggulan dari model ini adalah sumbangannya yang sangat berarti dalam hal
penekannya terhadap pentingnya objektivitas proses penilaian. Aspek objektivitas yang
ditekankan oleh model ini perlu dijadikan landasan yang terus-menerus dalam rangka
mengembangkan sistem penilaian pendidikan. Di samping itu, evaluasi dalam model ini
memungkinkan untuk melakukan analisis intrumen dan hasil evaluasi secara statistik.
Keterbatasan Model Pengukuran (Measurement Model)
Keterbatasan dari model ini terletak pada penekanannya yang berlebihan pada aspek
pengukuran dalam kegiatan penilaian pendidikan. Konsekuensinya, penilaian cenderung dibatasi
pada dimensi tertentu dari sistem pendidikan yang “dapat diukur”, dalam hal ini adalah hasil
belajar yang bersifat kognitif. Yang menjadi persoalan adalah hasil belajar yang bersifat kognitif
tersebut bukan merupakan satu-satunya indikator bagi keberhasilan kurikulum. Kurikulum
sebagai suatu “alat” untuk mencapai tujuan pendidikan diharapkan dapat mengembangkan
berbagai potensi yang ada pada diri siswa, tidak terbatas hanya pada potensi kognitif saja.
Adanya beberapa ketidakserasian dengan peranan penilaian dalam proses pengembangan
kurikulum/sistem pendidikan berikut ini.
a. Dalam pengembangan alat penilaian, model ini banyak dipengaruhi oleh prosedur yang
ditempuh dalam pengembangan tes psikologis, antara lain tes intelegensi dan tes bakat.
Untuk mengembangkan tes tersebut berlaku ketentuan bahwa soal tes yang memiliki
daya pembeda rendah perlu direvisi atau diganti dengan tes lain, yang mempunyai daya
pembeda tinggi. Prosedur semacam ini kurang cocok untuk diterapkan dalam penilaian
hasil belajar. Hal itu dalam rangka/pengembangan pendidikan karena dalam penilaian
pendidikan yang penting adalah butir soal tes yang dibuat betul-betul konsisten dengan
tujuan pendidikan yang ingin dinilai pencapaiannya.
b. Dalam pengolahan hasil tes, model ini dipengaruhi oleh prosedur pengolahan hasil tes
psikologis, dan nilai yang dicapai oleh masing-masing siswa lebih mencerminkan
“kedudukannya” dalam kelompok. Dalam proses pengembangan pendidikan, nilai
semacam ini kurang mempunyai arti karena sifatnya relatif. Yang lebih berarti dalam
proses pengembangan pendidikan adalah nilai-nilai yang menunjukkan sejauh mana
tujuan-tujuan pendidikan telah dicapai oleh siswa, secara individual maupun kelompok,
bukan nilai relatif yang mencerminkan posisi siswa dalam kelompoknya.
c. Informasi yang disajikan menurut model ini lebih berbentuk nilai keseluruhan (total
score) yang dicapai setiap siswa, yang dilengkapi dengan data mengenai nilai rata-rata
dan standar deviasi yang dicapai kelompok. Informasi semacam ini kurang relevan
dengan kebutuhan yang dirasakan dalam proses pengembangan pendidikan karena nilai
keseluruhan lebih banyak “menyembunyikan” daripada mengungkapkan informasi yang
diperlukan untuk kepentingan penyempurnaan sistem. Yang lebih diperlukan dalam
proses pengembangan pendidikan adalah bentuk penyajian hasil tes yang dapat
memberikan petunjuk tentang bagian-bagian mana dari sistem pendidikan yang masih
lemah, dan karenanya memerlukan perbaikan.

4. Model Kesesuaian (Congruence Model)


Menurut model ini, evaluasi adalah suatu kegiatan untuk melihat kesesuaian
(congruence) antara tujuan dengan hasil belajar yang telah dicapai. Hasil evaluasi digunakan
untuk menyempurnakan system bimbingan peserta didik dan untuk memberikan informasi
kepada pihak-pihak yang memerlukan. Objek evaluasi adalah tingkah laku peserta didik, yaitu
perubahan tingkah laku yang diinginkan (intended behavior) pada akhir kegiatan pendidikan,
baik yang menyangkut aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor. Untuk itu, teknik evaluasi
yang digunakan tidak hanya tes (tulisan, lisan, dan perbuatan), tetapi juga non-tes (observasi,
wawancara, skala sikap, dan sebagainya). Model evaluasi ini memerlukan informasi perubahan
tingkah laku pada dua tahap, yaitu sebelum dan sesudah kegiatan pembelajaran. Berdasarkan
konsep ini, maka guru perlu memerlukan pre dan post-test. Adapun langkah-langkah yang harus
ditempuh dalam model evaluasi ini adalah merumuskan tujuan tingkah laku (behavioural
objectivitas), menentukan situasi dimana peserta didik dapat memperlihatkan tingkah laku yang
akan dievaluasi menyusun alat evaluasi, dan menggunakan hasil evaluasi. Oleh sebab itu, model
ini menenkankan pada pendekatan penilaian acuan patokan (criterion-referenced assessment).

Tyler menggambarkan pendidikan sebagai suatu proses yang didalamnya terdapat tiga hal
yang perlu dibedakan, yaitu tujuan pendidikan, pengalaman belajar, dan evaluasi hasil belajar.
Evaluasi pada dasarnya dimaksudkan untuk memperoleh gambaran mengenai efektifitas
kurikulum atau program pengajaran yang bersangkutan dalam mencapai tujuannya. Mengingat
tujuan-tujuan pendidikan itu mencerminkan perubahan-perubahan perilaku yang diinginkan pada
anak didik, maka yang paling penting dari proses evaluasi adalah memeriksa sejauh mana
perubahan-perubahan perilaku yang diinginkan itu terjadi (Tyler, dalam Tim Pengembangan
Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007).

Menurut model ini evaluasi tidak lain adalah usaha untuk memerika persesuaian antara
tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan dan hasil belajar yang telah dicapai. Hasil evaluasi
yang diperoleh berguna bagi kepetingan penyempurnaan program, bimbingan siswa dan
pemberian informasi kepada pihak-pihak luar pendidikan mengenai hasil-hasil yang telah
dicapai.

Langkah-langkah evaluasi yang perlu ditempuh didalam proses evaluasi menurut model yang
kedua ini Tyler mengajukan 4 langkah pokok yaitu:

1) Merumuskan atau mempertegas tujuan-tujuan pengajaran. Karena evaluasi diadakan untuk


memeriksa sejauh mana tujuan-tujuan yang telah dirumuskan itu sudah dapat dicapai,
perlu masisng-maing itu diperjelas rumusannya sehingga memberikan arah yang lebih
tegas didalam proses perencanaan evaaluasi yang dilakukan.

2) Menetapkan test situation yang diperlukan. Dalam langkah ini ditetapkan jenis-jenis
evaluasi yang akan memungkinkan para siswa untuk memperlihatkan perilaku yang akan
dinilai tersebut. Situasi-situasi yang dimaksudkan dapat berbentuk demonstrasi,
memecahkan persoalan-persolan tertulis memimpin kegiatan kelompok dan sebagainya.

3) Menyusun alat evaluasi. Berdasarkan rumusan tujuan dan test situation yang telah
dikembangkan dalam langkah-langkah sebelumnya kini dapat ditetapkan dan disusun alat-
alat evaluasi yang cocok untuk digunakan dalam menilai jenis-jenis perilaku yang
tergambar dalam tujuan tersebut.

4) Menggunakan hasil evaluasi. Setelah tes dilaksanakan hasilnya diolah sedemikian rupa
agar dapat memenuhi tujuan diadakannya evaluasi tersebut, baik untuk kepentingan
bimbingan siswa maun untuk perbaikan program.

Karena setiap program pendidikan menyangkut tujuan yang hendak dicapai, akan lebih
tepat jika hasil evaluasi tidak dinyatakan dalam bentuk keseluruhan test tapi dalam bentuk hasil
bagian demi bagian dari test yang bersangkutan sehingga terlihat bagian-bagian mana dari
program pendidikan yang masih perlu disempurnakan karena belum berhasi mencapai tujuannya
(Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007).
(https://binham.wordpress.com/2012/01/07/model-model-evaluasi-pendidikan/ )

Tokoh yang mengmbangkan evaluasi model kesesuaian adalah Ralph W Tyler, John B
Carrol dan Lee J Cronbach. Ciri-ciri evaluasi model kesesuaian yang dikembangkan oleh tokoh
tersebut di atas adalah :
a. Pendidikan adalah proses yangmemuat tiga hal, yaitu tujuan pendidikan, pengalaman
belajar dan penilaian hasil belajar. Kegiatan evaluasi dilakukan untuk melihat sejauh
mana tujuan pendidikan yang diberikan dalam pengalaman belajar telah dapat dicapai
siswa dalam bentuk hasil belajar. Dengan kata lain, evaluasi dilakukan untuk melihat
kesesuaian antara tujuan pendidikan yang diinginkan dengan hasil belajar yang dicapai.
b. Objek evaluasi adalah tingkah laku siswa dan penilaian atas perubahan dalam tingkah
laku pada akhir kegiatan pendidikan. Tujuan pendidikan adalah mencerminkan
perubahan-perubahan perilaku yang diinginkan pada anak. Evaluasi dilakukan untuk
memeriksa sejauh mana perubahan itu telah terjadi dalam hasil belajar. Oleh karena itu,
penilaian dilakukan atas perubahan perilaku sebelum dan sesudah kegiatan pendidikan.
c. Perubahan perilaku hasil belajar terjadi dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotor.
Oleh karena hasil belajar bukan hanya aspek kognitif, maka alat evaluasi bukan hanya
berupa tes tertulis, tetapi semua kemungkinan alat evaluasi dapat digunakan sesuai
dengan hakikat tujuan yang ingin dicapai.
Keunggulan model kesesuaian (Congruence Model)
Sumbangan yang cukup berarti congruence model adalah:
1) menghubungkan hasil belajar dengan tujuan pendidikan sebagai criteria perbandingan
2) Memperkenalkan system pengolahan hasil penilaian secara bagian demi bagian, yang ternyata
lebih relevan dengan kebutuhan pengembangan system

Keterbatasan model kesesuaian (Congruence Model)


Tidak menjadikan input dan proses pelaksanaan sebagai objek penilaian secara langsung.
Dengan model pre da post test informasi yang dihasilkan hanya dapat menjawab pertanyaan
tentang tujuan-tujuan mana yang telah dan belum dicapai.

5. Model CIPP
Model evaluasi CIPP yang dikemukakan oleh Stufflebeam & Shinkfield (1985) adalah
sebuah pendekatan evaluasi yang berorientasi pada pengambil keputusan (a decision oriented
evaluation approach structured) untuk memberikan bantuan kepada administrator atau leader
pengambil keputusan. Stufflebeam mengemukakan bahwa hasil evaluasi akan memberikan
alternatif pemecahan masalah bagi para pengambil keputusan. Model evaluasi CIPP ini terdiri
dari 4 hurup yang diuraikan sebagai berikut:
a. Contect evaluation to serve planning decision. Seorang evaluator harus cermat dan tajam
memahami konteks evaluasi yang berkaitan dengan merencanakan keputusan,
mengidentifikasi kebutuhan, dan merumuskan tujuan program.
b. Input Evaluation structuring decision. Segala sesuatu yang berpengaruh terhadap proses
pelaksanaan evaluasi harus disiapkan dengan benar. Input evaluasi ini akan memberikan
bantuan agar dapat menata keputusan, menentukan sumber-sumber yang dibutuhkan,
mencari berbagai alternatif yang akan dilakukan, menentukan rencana yang matang,
membuat strategi yang akan dilakukan dan memperhatikan prosedur kerja dalam
mencapainya.
c. Process evaluation to serve implementing decision. Pada evaluasi proses ini berkaitan
dengan implementasi suatu program. Ada sejumlah pertanyaan yang harus dijawab dalam
proses pelaksanaan evaluasi ini. Misalnya, apakah rencana yang telah dibuat sesuai
dengan pelaksanaan di lapangan? Dalam proses pelaksanaan program adakah yang harus
diperbaiki? Dengan demikian proses pelaksanaan program dapat dimonitor, diawasi, atau
bahkan diperbaiki.
d. Product evaluation to serve recycling decision. Evaluasi hasil digunakan untuk
menentukan keputusan apa yang akan dikerjakan berikutnya. Apa manfaat yang
dirasakan oleh masyarakat berkaitan dengan program yang digulirkan? Apakah memiliki
pengaruh dan dampak dengan adanya program tersebut? Evaluasi hasil berkaitan dengan
manfaat dan dampak suatu program setelah dilakukan evaluasi secara seksama. Manfaat
model ini untuk pengambilan keputusan (decision making) dan bukti pertanggung
jawaban (accountability) suatu program kepada masyarakat. Tahapan evaluasi dalam
model ini yakni penggambaran (delineating), perolehan atau temuan (obtaining), dan
penyediakan (providing) bagi para pembuat keputusan.

6. Model Stake atau Model Countenance

Menurut model ‘Countenance’, penilaian harus mengandung langkah -


langkah berikut; menerangkan program; melaporkan keterangan tersebut kepada pihak yang berk
epentingan; mendapatkan dan menganalisis ‘judgment; melaporkan kembali hasilanalisis kepada
pelanggan. Seterusnya, model responsif mencadangkan perhatianyang terus menerus oleh penilai
dan semua pihak yang terlibat dengan penilaian.Stake (1975) telah menentukan 12 langkah
interaksi antara penilai dan pelanggandalam proses penilaian
(Http://Www.Academia.Edu/6708864/Bab_Ii_Model_Pendekatan_Evaluasi_Program_A._Model
model_Evaluasi_Model_Evaluasi_Cipp_Model_Evaluasi_Ucla_Model_Evaluasi_Brinkerhoff_
Model_Evaluasi_Stake_Atau_Model_Countenance )

Hakikat evaluasi menurut sistem model adalah untuk membandingkan performance dari
berbagai dimensi sistem yang sedang dikembangkan dengan sejumlah kriteria tertentu, akhirnya
sampai pada suatu deskripsi dan judgment mengenai sistem yang dinilai tersebut.
Model evaluasi Stake (1967), merupakan analisis proses evaluasi yang membawa
dampak yang cukup besar dalam bidang ini, meletakkan dasar yang sederhana namun merupakan
konsep yang cukup kuat untuk perkembangan yang lebih jauh dalam bidang evaluasi. Stake
menekankan pada dua jenis operasi yaitu deskripsi (descriptions) dan pertimbangan (judgments)
serta membedakan tiga fase dalam evaluasi program yaitu :
 Persiapan atau pendahuluan (antecedents)

 Proses/transaksi (transaction-processes)
 Keluaran atau hasil (outcomes, output)

Model stake tersebut dapat digambarkan dalam bentuk diagram sebagai berikut :

a. Rational : menjelaskan pentingnya suatu program pelatihan.


b. Antecedents : kondisi-kondisi yang diharapkan sebelum kegiatan pelatihan berlangsung,
seperti motivasi, tingkat keterampilan dan minat.
c. Transactions : proses atau kegiatan-kegiatan yang saling mempengaruhi selama pelatihan.
d. Outcomes : hasil yang diperoleh dari pelatihan, seperti pengetahuan, keterampilan, sikap
dan nilai-nilai.
e. Intents : tujuan apa yang diharapkan dari suatu program pelatihan.
f. Observations : apa yang dilihat oleh para pengamat tentang pelaksanaan pelatihan.
g. Standards : apa yang diharapkan dari para stakeholders.
h. Judgements : menilai pendekatan dan prosedur yang digunakan dalam pelatihan, para
pelatih/instruktur dan bahan-bahan atau menilai suatu program, baik yang dilakukan oleh
penilai itu sendiri maupun dari pihak-pihak lain.

Descriptions matrix menunjukkan Intents (goal=tujuan) dan observations (effect=akibat)


atau yang sebenarnya terjadi. Judgment berhubungan dengan standar (tolak ukur = kriteria)/dan
judgment (pertimbangan). Stake menegaskan bahwa ketika kita menimbang-nimbang di dalam
menilai suatu program pendidikan, kita tentu melakukan pembandingan relatif (antara satu
program dengan standard).
Model ini menekankan kepada evaluator agar membuat keputusan/penilaian tentang
program yang sedang dievaluasi secara benar, akurat dan lengkap. Stake menunjukkan bahwa
description disatu pihak berbeda dengan pertimbangan (judgment) atau menilai. Di dalam model
ini data tentang Antecendent (input), Transaction (process) dan Outcomes (Product) data tidak
hanya dibandingkan untuk menentukan kesenjangan antara yang diperoleh dengan yang
diharapkan, tetapi juga dibandingkan dengan standar yang mutlak agar diketahui dengan jelas
kemanfaatan kegiatan di dalam suatu program.

Keunggulan Model Stake atau model Countenance

Menurut Howard, E (2008), kelebihan dan kelemahan evaluasi model Countenance Stake’s
adalah:

A. kelebihan

1. Dalam penilaiannya melihat kebutuhan program yang dilayani oleh evaluator.


2. Upaya untuk mendeskripsikan kompleksitas program sebagai realita yang mungkin terjadi.
3. Memiliki potensi besar untuk memperoleh wawaasan baru dan teori-teori tentang lapangan
dan program yang akan di evaluasi.

B. Kelemahannya
1. Pendekatan yang dilakukan terlalu subjektif.
2.Terjadinya kemungkinan dalam meminimalkan pentingnya instrument pengumpulan data dan
evaluasi kuantitatif.
3. Kemungkinan biaya yang terlalu besar dan padat karya.

Selain hal tersebut menurut Kemble (2010), mengatakan bahwa kelebihan evaluasi model
Countenance Stake antaralain adalah:
1. Dalam evaluasi memasukkan data tentang latar belakang program, proses dan hasil yang
merupakan perluasan ruang lingkup evaluasi pada tahun 1970-an.
2. Evaluator memegang kendali dalam evaluasi dan juga memutuskan cara yang paling tepat
untuk hadir dan menggambarkan hasil
3. Fokus pada kekhawatiran stakeholder dan isu-isu meningkatkan komunikasi antara evaluator
dan stakeholder.
Sedangkan Menurut Robinson (2006) kelebihan model Countenance Stake yaitu bahwa
model tersebut memiliki kehatian-hatian dalam memberikan judgment mengenai nilai aspek
yang bervariasi. Model ini juga dapat memfasilitasi sebuah pemahaman yang mendalam
mengenai semua aspek program pembelajaran, yang tidak hanya memnugkinkan evaluator untuk
menentukan out come pembelajaran, tetapi juga menunjukkan alasan dan konsekuensi
dampaknya. Model ini memberikan dasar yang kuat untuk memberikan rekomendasi dan
judgment yang menarik atas nilai sebuah pembelajaran. Depwell, F & Glynis. (2008) kekuatan
model Contenance Stake adalah di akomodasi dan penataan berbagai tingkat data. Dalam
evaluasi yang dilakukan data yang dikumpulkan adalah campuran data kualitatif dan kuantitatif,
formal dan informal, primer dan sekunder. Dalam model countenance stake semua data diolah
sesuai dengan kategori melayani dalam matriks. Woods (1988) mengatakan bahwa kekuatan
model countenance stake adalah cara dan tindakannya pasti dan dapat diamati secara bersamaan
antara standard dan judgement.

7. Model Alkin
Menurut Alkin (1969) evaluasi adalah suatu proses meyakinkan keputusan, memilih
informasi yang tepat, mengumpulkan, dan menganalisa informasi sehingga dapat melaporkan
ringkasan data yang berguna bagi pembuat keputusan dalam memilih beberapa alternatif. Ia
mengemukakan lima macam evaluasi yakni :
a. Sistem assessment, yaitu memberikan informasi tentang keadaan atau posisi sistem.
b. Program planning, membantu pemilihan program tertentu yang mungkin akan berhasil
memenuhi kebutuhan progam.
c. Program implementation, yang menyiapkan informasi apakah rogram sudah
diperkenalkan kepada kelompok tertentu ng tepat seperti yang direncanakan?
d. Program improvement, yang memberikan informasi tentang bagaimana program
berfungsi, bagaimana program bekerja, atau berjalan? Apakah menuju pencapaian tujuan,
adakah hal-hal atau masalah-masalah baru yang muncul takterduga?
e. Program certification, yang memberi informasi tentang nilai atau guna program.
Keunggulan Model Alkin
Keterikatannya dengan sistem. Dengan model pendekatan system ini kegiatan sekolah dapat
diikuti dengan seksama mulai dari variable-variabel yang ada dalam komponen masukan, proses
dan keluaran. Komponen masukan yang dimaksudkan adalah semua informasi yang
berhubungan dengan karakteristik peserta didik, kemampuan intelektual, hasil belajar
sebelumnya, kepribadian, kebiasaan, latar belakang keluarga, latar belakang lingkungan dan
sebagainya.

Keterbatasan Model Alkin


keterbatasannya dalam fokus kajian yaitu yang hanya fokus pada kegiatan persekolahan.
Sehingga model ini hanya dapat digunakan untuk mengevaluasi kurikulum yang sudah siap
dilaksanakan disekolah.

8. Model Brinkerhoff
Brinkerhoff & Cs. (1983) mengemukakan tiga golongan evaluasi yang disusun
berdasarkan penggabungan elemen-elemen yang sama, seperti evaluator-evaluator lain, namun
dalam komposisi dan versi mereka sendiri sebagai berikut :
a. Fixed vs Emergent Evaluation Design.
Desain evaluasi fixed (tetap) harus direncanakan dan disusun secara sistematik-terstruktur
sebelum program dilaksanakan. Namun demikian, desain fixed dapat juga disesuaikan dengan
kebutuhan yang sewaktu-waktu dapat berubah. Desain evaluasi ini dikembangkan berdasarkan tujuan
program, kemudian disusun pertanyaan-pertanyaan untuk mengumpulkan berbagai informasi yang
diperoleh dari sumber-sumber tertentu. Begitu juga dengan model analisis yang akan digunakan
harus dibuat sebelum program dilaksanakan. Pihak pemakai (user) akan menerima informasi sebagai
hasil evaluasi sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Pada umumnya, evaluasi formal yang
dibuat secara individual menggunakan desain fixed, karena tujuan program sudah ditetapkan
sebelumnya. Begitu juga dengan anggaran biaya dan organisasi pelaksana yang semuanya
dituangkan dalam sebuah proposal evaluasi.
Kegiatan-kegiatan evaluasi yang dilakukan dalam desain fixed ini antara lain menyusun
pertanyaan-pertanyaan, menyusun dan menyiapkan instrument, menganalisis hasil evaluasi dan
melaporkan hasil evaluasi secara formal kepada pihak pemakai. Dalam menyusun pertanyaan-
pertanyaan atau merumuskan masalah, seorang evaluator harus mengacu kepada tujuan program.
Disamping itu, evaluator juga harus merangsang audience untuk memperbaiki pertanyaan-pertanyaan
yang dianggap kurang relevan. Sesuai dengan kegiatan-kegiatan evaluasi ini, maka wajar bila desain
fixed ini banyak memerlukan biaya. Belum lagi proses komunikasi yang harus dibangun secara
teratur dan kontinu, baik secara langsung maupun tak langsung antara evaluator dengan audience
atau klien.
Untuk mengumpulkan data dalam desain ini dapat menggunakan berbagai teknik seperti tes,
observasi, wawancara, kuisioner dan skala penilaian. Untuk itu, syarat-syarat penyusunan instrument
yang baik, seperti validitas dan reliabilitas tetap harus diperhatikan karena data yang dikumpulkan
biasanya bersifat kuantitatif. Dalam penyusunan desain biasanya didiskusikan terlebih dahulu dengan
pihak pemakai sehingga jika terdapat kekurangan dapat segera diperbaiki.
Sementara itu, dalam desain evaluasi emergent, tujuan evaluasi adalah untuk beradaptasi
dengan situasi yang sedang berlangsung dan berkembang, seperti menampung pendapat audience,
masalah-masalah dan kegiatan program. Proses adaptasi ini tentu memerlukan waktu yang cukup
lama, mulai dari awal sampai dengan akhir kegiatan guna menetapkan dan merumuskan tujuan dan
isu. Hal ini wajar karena hal tersebut tidak ditentukan sebelumnya. Disini, seorang evaluator tidak
perlu mendorong audiensi untuk memikirkan tentang suatu program atau isu-isu evaluasi karena
audiensi akan menentukan sendiri isu-isu dan informasi penting lainnya yang diperlukan dalam
desain emergent.
Selama proses evaluasi, seorang evaluator harus tetap menjalin komunikasi yang kontinu
dengan audiensi, sehingga data dan informasi yang dikumpulkan tidak terputus dan tetap utuh.
Teknik pengumpulan data dapat menggunakan observasi, studi kasus dan laporan tim pendukung.
Pengukuran tidak selalu mengacu kepada tujuan program seperti yang biasa dilakukan bahkan
seorang evaluator sering mengabaikan panggunaan teknik pengukuran karena informasi yang
dibutuhkan lebih bersifat kualitatif-naturalistik. Hal ini dimaksudkan agar informasi yang
dikumpulkan lebih banyak, mendalam dan bermanfaat. Dengan demikian, desain akan terus
berkembang dan berubah sesuai dengan situasi dan kondisi dilapangan.

b. Formative vs Summative Evaluation.


Istilah formatif dan sumatif pertama kali dipopulerkan oleh Michael Scriven. Untuk dapat
memahami kedua jenis evaluasi ini dapat dilihat dari fungsinya. Evaluasi formatif berfungsi
untuk memperbaiki kurikulum dan pembelajaran, sedangkan evaluasi sumatif berfungsi untuk
melihat kemanfaatan kurikulum dan pembelajaran secara menyeluruh. Artinya, jika hasil
kurikulum dan pembelajaran memang bermanfaat bagi semua pihak yang terkait (terutama
peserta didik) maka kurikulum dan pembelajaran dapat dilanjutkan. Sebaliknya, jika hasil
kurikulum dan pembelajaran tidak mempunyai manfaat, maka kurikulum dan pembelajaran
dapat dihentikan. Dengan demikian, evaluasi sumatif dapat menentukan apakah suatu kurikulum
dan pembelajaran akan diteruskan atau dihentikan. Oleh sebab itu, seorang evaluator harus betul-
betul memiliki kemampuan professional dan dapat dipercaya dalam menentukan keputusan
tersebut. Fokus evaluasi sumatif adalah variabel-variabel yang dianggap penting dalam
kurikulum dan pembelajaran.

c. Experimental and Quasi Experimental Design vs Natural/ Unobtrusive Inquiry.


Desain eksperimental banyak menggunakan pendekatan kuantitatif, random sampling,
memberikan perlakuan, dan mengukur dampak. Tujuannya adalah untuk menilai manfaat hasil
percobaan program pembelajaran. Untuk itu, perlu dilakukan manipulasi terhadap lingkungan
dan pemilihan strategi yang dianggap pantas. Dalam praktiknya, desain evaluasi ini agak sulit
dilakukan karena pada umumnya proses pembelajaran sudah atau sedang terjadi. Jika prosesnya
sudah terjadi, evaluator cukup melihat dokumen-dekumen sejarah atau menganalisishasil tes.
Jika prosesnya sedang terjadi, evaluator dapat melakukan pengamatan atau wawancara dengan
orang-orang yang terlibat. Untuk itu, kriteria internal dan eksternal sangat diperlukan. Dalam
proses pengamatan dan wawancara, evaluator harus selalu merendah (low profile) sehingga
program yang dievaluasi tidak terancam dan berubah karena kehadiran evaluator. Desain
evaluasi ini harus disusun bersama dan biasanya memerlukan waktu dan biaya yang cukup
banyak, terutama dalam menyusun instrument untuk menilai perlakuan, mengumpulakn data
kuantitatif, dan mengolah data secara statistik. Pengambilan sampel secara acak dilakukan untuk
menarik suatu generalisasi yang dapat berlaku secara umum.
Dalam desain evaluasi natural-inkuiri, evaluator banyak menghabiskan waktu untuk
melakukan pengamatan dan wawancara dengan orang-orang yang terlibat. Kegiatan ini
dilakukan secara berkesinambungan dengan pendekatan informal. Disamping itu, evaluator juga
dapat menggunakan teknik studi dokumentasi.
9. Model Illuminative
Tujuan penilaian menurut model ini adalah mengadakan studi yang cermat terhadap
sistem yang bersangkutan. Studi difokuskan pada permasalahan bagaimana implementasi suatu
sistem dipengaruhi oleh situasi sekolah, tempat sistem tersebut dikembangkan, keunggulan,
kelemahan, serta pengaruhnya terhadap proses belajar siswa. Hasil evaluasi ditekankan pada
deskripsi dan interpretasi, bukan pengukuran dan prediksi sebagaimana model sebelumnya.
Dalam pelaksanaan evaluasi, model ini lebih menekankan penggunaan judgment, selaras dengan
semboyannya the judgment is the evaluation. Objek evaluasi yang diajukan dalam model ini
mencakup; latar belakang dan perkembangan yang dialami oleh sistem yang bersangkutan,
proses implementasi (pelaksanaan) sistem, hasil belajar yang diperlihatkan oleh siswa, serta
kesukaran-kesukaran yang dialami dari tahap perencanaan hingga implementasinya di lapangan.
Di samping itu, dampak yang ditimbulkan dari suatu sistem seperti; kebosanan yang terlihat pada
siswa dan guru, ketergantungan secara intelektual, hambatan terhadap perkembangan sikap
sosial, dan sebagainya. Ringkasnya, objek evaluasi dalam model ini meliputi kurikulum yang
terlihat maupun tersembunyi (hidden curriculum).
Tahapan evaluasi dalam Illuminatif model terdiri dari tiga fase sebagai berikut.
a. Tahap pertama observe. Pada tahap ini, evaluator mengunjungi sekolah atau lembaga
yang sedang mengembangkan sistem tertentu. Evaluator mendengarkan dan melihat
berbagai peristiwa, persoalan, serta reaksi dari guru maupun siswa terhadap pelaksanaan
sistem tersebut.
b. Tahap kedua Inquiry further. Pada tahap ini, berbagai persoalan yang terlihat atau
terdengar dalam tahap pertama diseleksi untuk mendapatkan perhatian dan penelitian
lebih lanjut.
c. Tahap ketiga Seek to explain. Pada tahap ini, evaluator mulai meneliti sebab akibat dari
masing-masing persoalan. Pada tahap ini, faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya
persoalan dicoba untuk ditelusuri. Data semula terpisah satu dengan lainnya mulai
disusun dan dihubungkan dalam kesatuan situasi. Langkah selanjutnya dilakukan
interpretasi data yang diharapkan dapat dijadikan bahan dalam pengambilan keputusan.
Dari langkah-langkah tersebut, faktor penting dalam evaluasi model ini adalah perlunya
kontak langsung antara evaluator dengan pihak yang dievaluasi. Hal ini disebabkan model ini
menggunakan pendekatan kualitatif yang menekankan pentingnya menjalin kedekatan dengan
orang dan situasi yang sedang dievaluasi agar dapat memahami secara personal realitas dan hal-
hal rinci tentang program atau sistem yang sedang dikembangkan.30 Di samping itu, faktor
lainnya adalah pandangannya yang holistic dalam evaluasi, yang berasumsi bahwa keseluruhan
adalah lebih besar daripada sejumlah bagian-bagian.

Keunggulan Model Illuminative


Menekankan pentingnya dilakukan penilaian yang kontinu selama proses pelaksanaan
pendidikan sedang berlangsung. Jarak antara pengumpulan data dan laporan hasil penilaian
cukup pendek sehingga informasi yang dihasilkan dapat digunakan pada waktunya.

Keterbatasan Model Illuminative


Keterbatasan terutama terletak pada segi teknis pelaksanaannya yang meliputi:
 Kegiatan penilaian tidak didahului oleh adanya perumusan kriteria secara eksplisit.
 Objektivitas penilaian yang dilakukan perlu dipersoalkan.
 Adanya kecenderungan untuk menggunakan alat penilaian yang “terbuka” dalam arti
kurang spesifik dan berstruktur.
 Tidak menekankan pentingnya penilaian terhadap program bahan-bahan kurikulum
selama bahan-bahan tersebut disusun dalam tahap perencanaan.

10. Model Responsif


Sebagaimana model illuminatif, model ini juga menekankan pada pendekatan kualitatif-
naturalistik. Evaluasi tidak diartikan sebagai pengukuran melainkan pemberian makna atau
melukiskan sebuah realitas dari berbagai perspektif orang-orang yang terlibat, berminat dan
berkepentingan dengan program. Tujuan evaluasi adalah untuk memahami semua komponen
program melalui berbagai sudut pandang yang berbeda. Sesuai dengan pendekatan yang
digunakan maka model ini kurang percaya terhadap hal-hal yang bersifat kuantitatif. Instrument
yang digunakan pada umumnya mengandalkan observasi langsung maupun tak langsung dengan
interpretasi data yang impresionistik. Langkah-langkah kegiatan evaluasi meliputi observasi,
merekam hasil wawancara, mengumpulkan data, mengecek pengatahuan awal peserta didik dan
mengembangkan desain atau model. Berdasarkan langkah-langkah ini, evaluator mencoba
responsif terhadap orang-orang yang berkepentingan pada hasil evaluasi. Hal yang penting dalam
model responsif adalah pengumpulan dan sintesis data.
Kelebihan model ini adalah peka terhadap berbagai pandangan dan kemampuannya
mengakomodasi pendapat yang ambigus serta tidak fokus. Sedangkan kekurangannya antara lain
(1) pembuat keputusan sulit menentukan prioritas atau penyederhanaan informasi (2) tidak
mungkin menampung semua sudut pandangan dari berbagai kelompok (3) membutuhkan waktu
dan tenaga. Evaluator harus dapat beradaptasi dengan lingkungan yang diamati.
11. Model Evaluasi CSE – UCLA (Center for the Study of Evaluation -University of
California in Los Angeles)
Model ini meliputi empat tahap, yaitu:
a. Needs assessment, memusatkan pada penentuan masalah hal-hal yang perlu
dipetimbangkan dalam program, kebutuhan uang dibutuhkan oleh program, dan tujuan
yang dapat dicapai.
Pertanyaan yang diajukan :
 Hal – hal apakah yang perlu dipertimbangkan sehubungan dengan keberadaan program
?
 Kebutuhan apakah yang terpenuhi sehubungan dengan adanya pelaksanaan program ini
?
 Tujuan jangka panjang apakah yang dapat dicapai melalui program ini ?

b. Program planning, perencanaan program dievaluasi untuk mengetahui program disusun


sesuai analisis kebutuhan atau tidak. Dalam tahap kedua dari model ini, evaluator
mengumpulkan data yang terkait langsung dengan pembelajaran dan mengarah pada
pemenuhan kebutuhan yang telah diidentifikasi pada tahap kesatu. Dalam tahap
perencanaan ini program pembelajaran dievaluasi dengan cermat untuk mengetahui
apakah rencana pembelajaran telah disusun berdasarkan hasil analisis kebutuhan.
Evaluasi tahap ini tidak lepas dari tujuan yang telah dirumuskan
c. Formative evaluation, evaluasi dilakukan pada saat program berjalan
Dalam tahap ketiga ini evaluator memusatkan perhatian pada keterlaksanaan program.
Dengan demikian, evaluator diharapkan betul – betul terlibat dalam program karena
harus mengumpulkan data dan berbagai informasi dari pengembang program.

d. Summative program, evaluasi untuk mengetahui hasil dan dampak dari program serta
untuk mengetahui ketercapaian program. Dalam tahap keempat, yaitu evaluasi sumatif,
para evaluator diharapkan dapat mengumpulkan semua data tentang hasil dan dampak
dari program. Melalui evaluasi sumatif ini, diharapkan dapat diketahui apakah tujuan
yang dirumuskan untuk program sudah tercapai, dan jika belum, dicari bagian mana
yang belum dan apa penyebabnya
12. Model Kesenjangan
Evaluasi model kesenjangan (discrepancy model) menurut provus (dalam Fernandes,
1984) adalah untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara baku (standard) yang sudah
ditentukan dalam program dengan kinerja (performance) sesungguhnya dari program tersebut.
Baku adalah criteria yang ditetapkan, sedangkan kinerja adalah hasil pelaksanaan program.
Sedangkan kesenjangan yang yang dapat dievaluasi dalam program pendidikan meliputi:
 Kesenjangan antara rencana dengan pelaksanaan program
 Kesenjangan antara yang diduga atau diramalkan akan diperoleh dengan yang benar-
benar direalisasikan
 Kesenjangan tujuan
 Kesenjangan mengenai bagian program yang dapat diubah.
 Kesenjangan dalam system yang tidak konsisten. Oleh karena itu model evaluasi ini
memeiliki lima tahap yaitu desain, instalasi, proses, produk dan membandingkan
13. Model Evaluasi Sistem Pendidikan
Model evaluasi system pendidikan bertitik tolak darri pandangan bahwa keberhasilan
suatu program pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, cirri anak didik maupun lingkungan
sekitarnya, tujuan program dan peralatan yang dipakai, serta prosedur dan mekanisme
pelaksanaan program itu sendiri.
Evaluasi menurut model ini dimaksudkan untuk membandingkan kinerja dari berbagai
dimensi program yang sedang dikembangkan dengan sejumlah criteria tertentu, untuk akhirnya
sampai pada suatu deskripsi dan jajmen mengenai program yang dinilai tersebut.
Ada beberap hal di dalam isi pandangan di atas yang perlu digaris bawahi dan diuraikan
lebih lanjut mengingat pentingnya hal-hal tersebut didalam konteks konsep evaluasi yang dianut
oleh model ini.
 Dengan mengungkapkan berbagai dimensi program model ini menekankan pada
pentingnya program sebagai suatu keseluruhan yang dijadikan objek evaluasi , tanpa
membatasi hanya pada aspek hasil yang dicapai saja.
 Perbandingan antara program performance dankriteria juga merupakan salah satu inti
yang penting dalam konsep evaluasi menurut model ini. Hal penting disini adalah
bahwa setiap dimensi program pendidikan yang sedang dikembangkan itu perlu
ditetapkan dengan tegas criteria yang akan dijadikan ukuran dalam menilai
performance dalam maing-masing dimensi tersebut. Salah satu kelemahan yang ada
sekarang Stufflebeam (1972) adalah kurang jelasnya criteria yang digunakan sebagai
dasar didalam mengadakan evaluasi tersebut.
 Model ini berpandangan bahwa model evaluasi tidak hanya berakhir pada suatu
deskripsi tentang keadaan program yang telah dinilainya, melainkan harus sampai
pada suatu Judgment baik-buruknya, efektif-tidaknya program pendidikanyang
bersangkutan

2.3 Pendekatan Evaluasi


Pendekatan merupakan sudut pandang seseorang dalam mempelajari sesuatu. Dengan
demikian, pendekatan evaluasi merupakan sudut pandang seseorang dalam menelaah atau
mempelajari evaluasi.

2.4 Macam-Macam Pendekatan Evaluasi


Evaluasi memiliki tujuan-tujuan alternatif dan tujuan-tujuan tersebut mempengaruhi evaluasi
suatu program atau kegiatan. Mengenal pandangan-pandangan yang beraneka ragam dan mengetahui
bahwa tidak semua evaluator setuju pada pendekatan tersebut dalam melakukan evaluasi suatu
program/kegiatan adalah penting. Ada beberapa pendekatan umum dalam melakukan evaluasi yaitu

1. Pendekatan pertama adalah objective-oriented approach.


Fokus pada pendekatan ini hanya tertuju kepada tujuan program/proyek dan seberapa jauh
tujuan itu tercapai. Pendekatan ini membutuhkan kontak intensif dengan pelaksana
program/proyek yang bersangkutan.
2. Pendekatan kedua adalah pendekatan three-dimensional cube atau Hammond’s evaluation
approach.
Pendekatan Hammond melihat dari tiga dimensi yaitu instruction (karateristik pelaksanaan,
isi, topik, metode, fasilitas, dan organisasi program/proyek), institution (karakteristik
individual peserta, instruktur, administrasi sekolah/kampus/organisasi), dan behavioral
objective (tujuan program itu sendiri, sesuai dengan taksonomi Bloom, meliputi tujuan
kognitif, afektif dan psikomotor)

3. Pendekatan ketiga adalah management-oriented approach.


Fokus dari pendekatan ini adalah sistem (dengan model CIPP: context-input-proses-product).
Karena pendekatan ini melihat program/proyek sebagai suatu sistem sehingga jika tujuan
program tidak tercapai, bisa dilihat di proses bagian mana yang perlu ditingkatkan.

4. Pendekatan keempat adalah goal-free evaluation.


Berbeda dengan tiga pendekatan di atas, pendekatan ini tidak berfokus kepada tujuan atau
pelaksanaan program/proyek, melainkan berfokus pada efek sampingnya, bukan kepada
apakah tujuan yang diinginkan dari pelaksana program/proyek terlaksana atau tidak. Evaluasi
ini biasanya dilaksanakan oleh evaluator eksternal.

5. Pendekatan kelima adalah consumer-oriented approach.


Dalam pendekatan ini yang dinilai adalah kegunaan materi seperti software, buku, silabus.
Mirip dengan pendekatan kepuasan konsumen di ilmu Pemasaran, pendekatan ini menilai
apakah materi yang digunakan sesuai dengan penggunanya, atau apakah diperlukan dan
penting untuk program/proyek yang dituju. Selain itu, juga dievaluasi apakah materi yang
dievaluasi di-follow-up dan cost effective.
6. Pendekatan keenam adalah expertise-oriented approach.
Dalam pendekatan ini, evaluasi dilaksanakan secara formal atau informal, dalam artian jadwal
dispesifikasikan atau tidak dispesifikasikan, standar penilaian dipublikasikan atau tidak
dipublikasikan. Proses evaluasi bisa dilakukan oleh individu atau kelompok. Pendekatan ini
merupakan pendekatan tertua di mana evaluator secara subyektif menilai kegunaan suatu
program/proyek, karena itu disebut subjective professional judgement.

7. Pendekatan ketujuh adalah adversary-oriented approach.


Dalam pendekatan ini, ada dua pihak evaluator yang masing-masing menunjukkan sisi baik
dan buruk, disamping ada juri yang menentukan argumen evaluator mana yang diterima.
Untuk melakukan pendekatan ini, evaluator harus tidak memihak, meminimalkan bias
individu dan mempertahankan pandangan yang seimbang.

8. Pendekatan terakhir adalah naturalistic & participatory approach.


Pelaksana evaluasi dengan pendekatan ini bisa para stakeholder. Hasil dari evaluasi ini
beragam, sangat deskriptif dan induktif. Evaluasi ini menggunakan data beragam dari
berbagai sumber dan tidak ada standar rencana evaluasi. Kekurangan dari pendekatan evaluasi
ini adalah hasilnya tergantung siapa yang menilai (Salehudin, 2009 : 5-7).
Dilihat dari komponen pembelajaran, pendekatan evaluasi dapat dibagi dua, yaitu
pendekatan tradisional dan pendekatan sistem. Dilihat dari penafsiran hasil evaluasi, pendekatan
evaluasi dibagi menjadi dua, yaitu criterion-referenced evaluation dan norm-referenced
evaluation.

Pendekatan Tradisional
Komponen
Pembelajaran
Pendekatan Sistem
Pendekatan
Evaluasi Criterion-Referenced
Pembelajaran Evaluation
Penafsiran Hasil
Evaluasi Norm-Referenced
Evaluation
Pendekatan berdasarkan komponen pembelajaran, yaitu:
a. Pendekatan Tradisional
Pendekatan ini berorientasi pada praktik evaluasi yang telah berjalan selama ini disekolah
yang ditujukan pada perkembangan aspek intelektual peserta didik. Aspek-aspek keterampilan
dan pengembangan sikap kurang mendapat perhatian yang serius. Dengan kata lain, peserta didik
hanya dituntut untuk menguasai mata pelajaran. Kegiatan-kegiatan evaluasi juga lebih
difokuskan pada komponen produk saja, sementara komponen proses cenderung diabaikan. Hasil
kajian Spencer cukup memberikan gambaran betapa pentingnya evaluasi pembelajaran. Dia
mengemukakan sejumlah isi pendidikan yang dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk
merumuskan tujuan pendidikan secara komprehensif dan pada gilirannya menjadi acuan dalam
menbuat perencanaan evaluasi. Namun, tidak sedikit guru mengalami kesulitan untuk
mengembangkan sistem evaluasi disekolah karena bertentangan dengan tradisi yang selama ini
sudah berjalan. Misalnya, ada tradisi bahwa target kuantitas kelulusan setiap sekolah harus diatas
95%, begitu juga untuk kenaikan kelas. Ada juga tradisi bahwa dalam mata pelajaran tertentu
nilai peserta didik dalam rapor harus minimal enam. Seharusnya, kebijakan evaluasi lebih
menekankan pada target kualitas, yaitu kepentingan dan kebermaknaan pendidikan bagi anak.

b. Pendekatan Sistem
Sistem adalah totalitas dari berbagai komponen yang saling berhubungan dan
ketergantungan. Jika pendekatan sistem dikaitkan dengan evaluasi, maka pembahasan lebih
difokuskan pada kompenen evaluasi, yang meliputi komponen kebutuhan dan feasibility,
komponen input, komponen proses, dan komponen produk. Dalam bahasa Stufflebeam disingkat
CIPP, yaitu context, input, process, dan product. Komponen-komponen ini harus menjadi
landasan pertimbangan dalam evaluasi pembelajaran secara sistematis. Berbeda dengan
pendekatan tradisional yang hanya menyentuh komponen produk saja, yaitu perubahan perilaku
apa yang terjadi pada peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran. Pendekatan ini tentu
tidak salah, hanya tidak sistematis. Padahal, hasil belajar tidak aka ada jika tidak melalui proses,
dan proses tidak bisa berjalan jika tidak ada masukan dan guru yang melaksanakan.
Selanjutnya, akan dikemukakan pula pendekatan evaluasi yang digunakan dalam
menafsirkan hasil evaluasi. Dalam literatur modern tentang evaluasi, terdapat dua pendekatan
yang dapat digunakan untuk menafsirkan hasil evaluasi, yaitu penilaian acuan patokan (criterion-
referenced evaluation) dan penilaian acuan norma (norm-referenced evaluation). Artinya,
setetlah diperoleh skor mentah dari setiap peserta didik maka langkah selanjutnya adalah
mengubah skor mentah menjadi nilai dengan menggunakan pendekatan tertentu.

Pendekatan berdasarkan penafsiran hasil evaluasi, yaitu:


a. Penilaian Acuan Patokan (PAP)
Pendekatan Penilaian Acuan Patokan (PAP) disebut juga penilaian dengan norma absolut
atau kriteria. Pendekatan PAP berarti membandingkan skor-skor hasil tes peserta didik dengan
kriteria atau patokan yang secara absolut/mutlak telah ditetapkan oleh guru. Jadi skor peserta
didik tidak dibandingkan dengan
kelompoknya tetapi skor-skor itu akan dikonversi menjadi nilai-nilai berdasarkan
skor teoritisnya. Guru juga dapat menggunakan langkah-langkah tertentu untuk menggunakan
PAP, seperti menentukan skor ideal, mencari rata-rata dan simpangan baku ideal, kemudian
menggunakan pedoman konversi skala nilai. Pendekatan ini cocok digunakan dalam evaluasi
formatif yang berfungsi untuk perbaikan proses pembelajaran.
Umumnya seorang guru yang menggunakan PAP sudah dapat menyusun
pedoman konversi skor-skor menjadi nilai standar sebelum tes dimulai. Oleh sebab itu,
umumnya hasil pengukuran dari periode ke periode berikutnya dalam kelompok berbeda maupun
yang sama akan dapat dipertahankan keajegannya atau
konsistensinya.
Pendekatan PAP tidak berorientasi pada “apa adanya”. Pertama, pendekatan ini tidak
semata-mata mempergunakan angka rata-rata yang dihasilkan oleh kelompok yang diuji,
melainkan telah terlebih dahulu menetapkan kriteria keberhasilan, yaitu “batas lulus” penguasaan
bahan pelajaran. Siswa yang telah mencapai batas ini dianggap telah berhasil dalam belajar dan
diperkenankan mempelajari bahan pelajaran yang lebih tinggi, sedangkan yang belum mencapai
batas tersebut dianggap belum berhasil dan diharuskan memantapkan kembali pelajarannya itu.
Kedua, dalam proses pengajaran, tenaga pengajar tidak begitu saja membiarkan siswa menjalani
sendiri proses belajarnya, melainkan terus-menerus secara langsung ataupun tidak langsung
merangsang dan memeriksa kemajuan belajar siswa serta membantunya melewati tahap-tahap
pengajaran secara berhasil.
Hasil penerapan PAP dalam penilaian peserta didik akan dapat Anda ramalkan dengan
terlebih dahulu melihat skor teoritis dan kualitas para peserta didik dalam kelompok atau kelas.
Misal pada penilaian dengan skala-5, PAP Anda berlakukan pada kelompok/kelas yang kurang
pandai maka diperkirakan banyak peserta didik mendapatkan nilai prestasi kurang, yaitu ditandai
dengan banyaknya peserta didik dengan nilai E, D, serta C sedangkan nilai B dan A lebih sedikit
seperti pada kurva-A berikut.

Apabila PAP diberlakukan kepada kelompok/kelas dengan rata-rata pandai


maka diperkirakan distribusi nilai seperti pada kurva-B. Peserta didik yang mendapat nilai E, D,
dan C lebih sedikit bila dibandingkan jumlah peserta didik dengan nilai B dan A. Secara ideal
dalam sudut pandang produk penilaian maka kurva yang diharapkan terjadi dalam PAP adalah
kurva-B, namun apabila memberikan hasil seperti kurva-A bukan berarti Anda gagal dalam
pembelajaran, tetapi sebagai sebuah proses Anda diwajibkan mengidentifikasi proses
pembelajaran yang telah berlangsung dan menemukan titik lemah pembelajaran kemudian
melakukan perbaikan-perbaikan.
Distribusi nilai suatu kelas/kelompok mungkin saja membentuk kurva-A apabila
perangkat tes yang digunakan memiliki butir-butir soal yang terkategori ”sulit” meskipun
prestasi mereka di atas rata-rata. Sebaliknya suatu kelas/kelompok dengan prestasi di bawah rata-
rata, distribusi nilainya akan membentuk seperti kurva-B karena perangkat soalnya terlalu
mudah. Sebab itu, sekali lagi PAP akan dapat menggambarkan prestasi siswa yang obyektif bila
perangkat tes yang digunakan adalah perangkat tes terstandar.

Aplikasi Pendekatan PAP


Metode PAP digunakan pada sistem penilaian skala-100 dan skala-5. Skala-100
berangkat dari persentase yang mengartikan skor prestasi sebagai proporsi penguasaan peserta
didik pada suatu perangkat tes dengan batas minimal angka 0 sampai 100 persen (%). Pada
skala-5 berarti skor prestasi diwujudkan dalam nilai A, B, C, D, dan E atau berturutan mewakili
nilai 4, 3, 2, 1, dan 0. Adapun langkahlangkah PAP sebagai berikut.
1) Menentukan skor berdasarkan proporsi

B = banyaknya butir yang dijawab benar (dalam bentuk pilihan ganda) atau jumlah skor jawaban
benar pada setiap butir/item soal (pada tes bentuk menguraikan)
St = Skor teoritis

2) Menentukan batas minimal nilai ketuntasan


Nilai ketuntasan adalah nilai yang menggambarkan proporsi dan kualifikasi penguasaan
peserta didik terhadap kompotensi yang telah dikontrakkan dalam pembelajaran. Untuk
menentukan batas minimal nilai ketuntasan peserta tes dapat menggunakan pedoman yang ada.
Depdiknas RI atau beberapa sekolah biasanya telah menentukan batas minimal siswa dikatakan
tuntas menguasai kompetensi yang dikontrakkan misalnya 60%.
Umumnya pada tingkat pendidikan dasar dan menengah di negara kita menggunakan
skala-100 sedangkan skala-5 dipakai di perguran tinggi. Namun sekarang, ada perguruan tinggi
yang mengembangkan skala-5 menjadi skala delapan, sembilan, atau tiga belas dengan
memodifikasi ragam tingkatannya. Misal, semula ragam nilai skala-5 adalah A, B, C, D, dan E
kemudian dimodifikasi dengan menambah ragam tingkatan nilai menjadi delapan sebagai
berikut: A, B+, B, C+, C, D+, D, dan E. Pada beberapa perguruan tinggi ada yang
mengembangkan lagi menjadi tiga belas variasi seperti berikut: A+, A, A-, B+, B, B-, C+, C, C -,
D+, D, D-, dan E.
Contoh 1:
Suatu perangkat tes terdiri dari beberapa bentuk soal seperti pada tabel berikut.
Tabel 6.5. Perangkat Tes dengan Beberapa Bentuk Soal
Nomor Bentuk soal Bobot St
1s/d 30 Bentuk pilihan ganda model asosiasi 1 30
31 s/d 45 Bentuk pilihan ganda model melengkapi 2 30
Berganda
46 s/d 50 Bentuk uraian 5 25
Jumlah St = 85

Berdasarkan tabel di atas skor teoritis perangkat tes adalah 85. Peserta didik yang
mengikuti ada 40 anak, setelah mereka mengerjakan perangkat tes dilakukan penskoran oleh
guru. Hasil skor itu selanjutnya diolah dengan PAP, hasilnya sebagai berikut (yang ditampilkan
hanya 10 peserta tes).
Tabel 6.6. Skor Peserta Tes (Rekayasa) untuk Diolah dengan Pendekatan PAP

* Skor tertinggi dan terendah dari 40 peserta


Coba Anda gunakan pendekatan PAP untuk melakukan penilaian dan mengkonversi
skor-skor tersebut dengan skala-100 dan skala-5.
Jawab (skala-100): untuk mengerjakan contoh tersebut, setiap skor peserta tes diubah
menjadi persentase dari skor teoritis dengan menggunakan rumus yang telah ditentukan. Adapun
hasil perhitungannya ditampilkan dalam tabel berikut ini.

Catatan: batas minimal kualifikasi tuntas 60%


Melalui Tabel di atas berarti Anda tidak lagi menganggap nilai peserta tes pada kolom
”skor” tetapi Anda menggunakan kolom ”nilai (%)” dan ”kualifikasi” sebagai hasil dari PAP
dengan skala-100. Jadi peserta didik dengan nama Hadi mendapat nilai 63 dengan kualifikasi
tuntas, artinya Hadi mampu menguasai 63% kompetensi yang dikontrakkan dalam pembelajaran.
Dari peserta dalam tabel di atas, ternyata Imam mendapat nilai 59 dengan
kualifikasi tidak tuntas karena nilainya di bawah batas minimal kualifikasi (60%).
Keadaan yang sama juga terjadi pada Nila dengan nilai 53 dan kualifikasi tidak tuntas.
Bagaimanakah dengan peserta berkualifikasi tidak tuntas? Anda dapat melakukan langkah
berikutnya yaitu memberikan keputusan kepada Iman dan Nila untuk remedial atau melakukan
tes ulang.
Jawab (skala-5): untuk membuat skala-5 pada umumnya sekolah sudah punya pedoman
konversi skala-5 untuk semua matapelajaran. Apabila di sekolah Anda belum memiliki maka
Anda harus membuat sendiri pedoman itu dengan mempertimbangkan batas minimal kualifikasi
tuntas yang telah disepakati. Berikut ini disusun pedoman konversi skala-5 dengan
memperhatikan bahwa batas minimal kualifikasi tuntas adalah 60%.
Tabel 6.7. Contoh Pedoman Konversi Skala-5

Melalui tabel di atas berarti setiap skor peserta didik harus dikonversi menjadi nilai huruf
dan kualifikasi, hasil konversinya sebagai berikut.
Tabel 6.8. Contoh Hasil Konversi Skala-5
Catatan: Batas minimal kualifikasi adalah nilai C atau nilai 60%
Melalui tabel hasil penilaian di atas, Anda jangan menganggap nilai peserta tes pada
kolom ”skor” tetapi gunakanlah kolom ”nilai (%)”, ”nilai (huruf)” dan ”kualifikasi” sebagai hasil
dari PAP dengan skala-5. Jadi peserta didik dengan nama Suyono mendapat nilai A dengan
kualifikasi sangat memuaskan, artinya Suyono mampu menguasai 80% kompetensi yang
dikontrakkan dalam pembelajaran. Dari peserta yang lain, misalnya; Imam mendapat nilai D
dengan kualifikasi kurang memuaskan karena nilainya di bawah batas minimal kualifikasi 60%
atau nilai C. Keadaan yang sama juga terjadi pada Nila dengan nilai D dan kualifikasi kurang
memuaskan.
Bagaimanakah dengan peserta berkualifikasi kurang memuaskan? Anda dapat melakukan
langkah berikutnya yaitu memberikan keputusan kepada Iman dan Nila untuk mengikuti
remedial, mengulang pada semester berikutnya (kalau di perguruan tinggi) atau melakukan tes
ulang.
Apabila hasil PAP dengan pedoman konversi skala-100 dan skala-5 Anda gunakan untuk
mengkonversi skor-skor hasil tes prestasi pada kelas/kelompok lain maka hasilnya akan tetap
reliabel dengan catatan perangkat tes yang digunakan sama dengan kelompok/kelas sebelumnya.

b. Penilaian Acuan Norma (PAN)


Pada penjelasan sebelumnya disebutkan bahwa salah satu beda PAN dari PAP terletak
pada tolok ukur skor yang digunakan sebagai pembanding. Pendekatan ini menggunakan cara
membandingkan prestasi atau skor mentah peserta didik dengan sesama peserta didik dalam
kelompok/kelasnya sendiri. Makna nilai dalam bentuk angka maupun kualifikasi memiliki sifat
relatif, artinya bila sudah berhasil menyusun pedoman konversi skor berdasarkan tes yang sudah
dilakukan pada suatu kelas/kelompok maka pedoman itu hanya berguna bagi kelompok/kelas itu
dan kemungkinan besar pedoman itu tidak berguna bagi kelompok/kelas lain karena distribusi
skor peserta tes sudah lain. Kecuali, pada saat pengolahan skor kelompok/kelas yang lain tadi
disatukan dengan kelompok/kelas pertama.
Pendekatan PAN dapat dipakai untuk semua mata pelajaran, dari mata pelajaran yang
paling teoritis (penuh dengan materi kognitif) sampai ke mata pelajaran yang paling praktis
(penuh dengan materi keterampilan). Angka-angka hasil pengukuran yang menyatakan
penguasaan kompetensi-kompetensi kognitif, keterampilan, dan bahkan sikap yang dimiliki atau
dicapai oleh sekelompok siswa sebagai hasil dari suatu pengajaran, dapat dikurvekan. Dalam
pelaksanaannya dapat ditempuh prosedur yang sederhana. Setelah pengajaran diselenggarakan,
kelompok siswa yang menerima pengajaran tersebut menjawab soal-soal atau melaksanakan
tugas-tugas tertentu yang dimaksudkan sebagai ujian. Hasil ujian ini diperiksa dan angka hasil
pemeriksaan diberikan untuk masing-masing siswa dan selanjutnya angka tersebut disusun dalam
bentuk kurva. Kurva dan segala hasil perhitungan yang menyertainya (terutama angka rata-rata
dan simpangan baku dapat segera dipakai dalam rangka PAN).

Langkah pendekatan PAN


Seperti pada PAP, pendekatan penilaian PAN dapat digunakan juga pada sistem penilaian
skala-100 dan skala-5. Bahkan pada PAN, Anda dapat mengembangkan menjadi skala-9 dan
skala-11. Pada skala-100 berangkat dari persentase yang mengartikan skor prestasi sebagai
proporsi penguasaan peserta didik pada suatu perangkat tes dengan batas minimal angka 0
sampai 100 persen (%). Pada skala-5 berarti skor prestasi diwujudkan dalam nilai A, B, C, D,
dan E atau berturutan mewakili nilai 4, 3, 2, 1, dan 0. Adapun langkah-langkah pendekatan PAN
sebagai berikut.
1) Menghitung rerata ( x ) skor prestasi
 Untuk data tidak berkelompok

xi = skor peserta tes ke-i


n = jumlah peserta tes

 Untuk data berkelompok

xi = tanda kelas
fi = frekuensi yang sesuai dengan xi
2) Menghitung standar deviasi ( s ) skor prestasi
 Untuk data tidak berkelompok

xi = nilai ke-i

 Untuk data berkelompok

xi = nilai ke-i
fi = frekuensi ke-i
i = panjang kelas
xi'= nilai sandi

3) Membuat pedoman konversi untuk mengubah skor menjadi nilai standar (berdasarkan
skalanya, ada PAN dengan skala lima, skala sembilan, skala sebelas, dan dengan nilai Zscore
atau Tscore)
 Pedoman konversi skala-5
Pedoman konversi skala-5 berarti membagi nilai standar menjadi lima skala, lima
angka/huruf atau lima kualifikasi. Cara menyusun skala lima dengan membagi wilayah di
bawah lengkung kurva normal menjadi lima daerah, perhatikan kurva normal berikut.
Kurva normal tersebut terbagi menjadi lima daerah dan setiap daerah menunjukkan
kualifikasi atau nilai dari kanan ke kiri A, B, C, D dan E. Berdasarkan pembagian itu,
pedoman konversi skala-5 disusun sebagai berikut.

 Pedoman konversi skala-9


Pedoman konversi skala-9 berarti membagi nilai standar menjadi sembilan skala, sembilan
angka/huruf atau sembilan kualifikasi. Cara menyusun skala Sembilan sama dengan skala
lima yaitu dengan membagi wilayah di bawah lengkung kurva normal menjadi Sembilan
daerah, perhatikan kurva normal berikut.

Kurva normal tersebut terbagi menjadi sembilan daerah dan setiap daerah menunjukkan
kualifikasi atau nilai dari kanan ke kiri 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 dan 9. Berdasarkan pembagian itu,
pedoman korversi skala-9 disusun sebagai berikut.
 Pedoman konversi skala-11
Pedoman konversi skala-11 berarti membagi nilai standar menjadi sebelas skala, sebelas
angka/huruf atau sebelas kualifikasi. Cara menyusun skala sebelas sama dengan skala lima
dan sembilan yaitu dengan membagi wilayah di bawah lengkung kurva normal menjadi
sebelas daerah, perhatikan kurva normal berikut.

Kurva normal tersebut terbagi menjadi sebelas daerah dan setiap daerah menunjukkan
kualifikasi atau nilai dari kanan ke kiri 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 dan 10. Berdasarkan
pembagian itu, pedoman korversi skala-11 disusun sebagai berikut.
 Pedoman konversi dengan Zscore atau Tscore
Dengan tidak menyusun pedoman konversi Anda dapat langsung menentukan atau
mengkonversi skor menjadi nilai standar dengan menggunakan dua nilai yaitu nilai Zscore dan
Tscore. Nilai Zscore berarti mengubah skor kasar menjadi nilai standar Z. Biasanya Zscore
digunakan sebagai cara untuk membandingkan beberapa nilai matapelajaran seorang peserta
tes dari berbagai jenis pengukuran yang berbeda. Konsep Tscore hampir sama dengan Zscore.
Adapun rumus untuk menghitung nilai Zscore dan Tscore adalah sebagai berikut.

Keterangan:
x = skor
S = standar deviasi
x = rata-rata

Tscore = 50 +10× Zscore


Aplikasi pendekatan PAN
Contoh-1 (untuk data tidak berkelompok):
Seorang guru Matematika membina sepuluh orang peserta didik, ia berencana mengolah dengan
PAN skor akhir matematika menjadi nilai standar. Skornya seperti pada tabel berikut.
Pertanyaan: susunlah pedoman konversi skala-5 dan konversikan sepuluh skor tersebut menjadi
nilai standar.
Jawab:
1) Menghitung x dan s
No Nama Peserta xi xi2
1 Hadi 53 2809
2 Suyono 68 4624
3 Jamil 61 3721
4 Fatma 75 5625
5 Joko 82 6724
6 Romlah 65 4225
7 Imam 50 2500
8 Yoyok 71 5041
9 Nila 45 2025
10 Tiyas 54 2916
Jumlah = 624 40210
2) Membuat dan mengkonversi nilai dengan PAN skala-5
Menentukan batas nilai:

Membuat pedoman konversi skala-5:

Mengkonversi skor menjadi nilai skala-5:


3) Membuat dan mengkonversi nilai dengan PAN skala-9
Menentukan batas nilai:

Membuat pedoman konversi skala-9:

Mengkonversi skor menjadi nilai skala-9:


4) Membuat dan mengkonversi nilai dengan PAN skala-11
Membuat batas nilai:

Memuat pedoman konversi skala-11


Mengkonversi skor menjadi nilai skala-11:

Contoh-2 (untuk data berkelompok):


Seorang guru Bahasa Indonesia membina 80 orang peserta didik, ia berencana mengolah dengan
PAN skor akhir matapelajaran Bahasa Indonesia menjadi nilai standar. Skornya seperti pada
tabel berikut. Pertanyaan: susunlah pedoman konversi skala-5, 9, dan 11 dan konversikan
sepuluh skor siswa pada kolom pertama menjadi nilai standar.

Jawab:
1) Menghitung x dan s
a. Menentukan rentang
Rentang (r) = data terbesar – data terkecil
= 99 – 35 = 64

b. Menentukan banyak kelas interval


Banyak kelas (k) = 1 + 3,3 . log n
dimana n = banyak data
= 1 + 3,3 . log 80
= 1 + 3,3 . 1,9031
= 7,2802
Catatan: nilai “k” dibulatkan sehingga banyak kelas interval = 7 (pembulatan “k” harus
mengikuti kaidah matematik)

c. Menentukan panjang kelas


𝑘
Panjang kelas =
𝑖
7
=
64
= 9, 14

Catatan: khusus untuk panjang kelas pembulatan dapat Tidak mengikuti kaidah
matematik, jadi kalau pembulatan ke atas (=10) atau ke bawah (=9). Alasan; supaya
semua skor dapat masuk ke dalam setiap kelas interval.

d. Membuat tabel distribusi frekuensi kelompok


Mula-mula menentukan ujung bawah kelas interval pertama. Ujung bawah kelas interval
pertama = 35 (diambil skor terkecil). Dengan banyak kelas interval 7 serta panjang kelas
9 dan 10 dapat disusun dua buah rencana kelas interval sebagai berikut.
Dengan panjang kelas = 9 memiliki kelas interval terakhir 89 – 97, dengan demikian data
berat badan lebih dari 97 tidak dapat masuk ke dalam kelas interval terakhir.
Dengan pajang kelas = 10 memiliki kelas interval terakhir 95 – 104, dengan demikian
semua data berat badan lebih dari 97 dapat masuk kedalam kelas interval terakhir. Jadi
sebaiknya menggunakan panjang kelas = 10. Selanjutnya disusun tabel distribusi
frekuensi kelompok seperti pada tabel dibawah ini.

e. Menentukan x dan s

Berdasarkan tabel di atas ditentukan nilai x dan s


2) Membuat dan mengkonversi nilai dengan PAN skala-5
Menentukan batas nilai:

Membuat pedoman konversi skala-5:

Mengkonversi skor menjadi nilai skala-5:


3) Membuat dan mengkonversi nilai PAN skala-9
Menentukan batas nilai:

Membuat pedoman konversi skala-9:

Mengkonversi skor menjadi nilai skala-9:

4) Membuat dan mengkonversi nilai dengan PAN skala-11


Menentukan batas nilai:
Membuat pedoman konversi skala-11:

Mengkonversi skor menjadi nilai skala-11:

4) Membuat dan mengkonversi skor menjadi nilai dengan Zscore


Berdasarkan pada contoh-2, bila Toni mendapat skor 82 berapakah nilai bila menggunakan
Zscore?
Berarti nilai Toni adalah 0,4 dari rata-rata 76, jadi nilai Toni adalah 76,4

Implikasi pendekatan panilaian yang dipakai


Pendekatan penilaian yang dipakai menimbulkan berbagai akibat dan kegiatan yang
menuntut pertimbangan seksama dan penanggulangan yang memadai. Sistem penunjang dan
berbagai kebijaksanaan baik setempat maupun tingkat pusat mempunyai sangkut-paut yang tidak
bisa diabadikan. Kedua pendekatan penilaian tersebut diatas, terutama PAP, menuntut
keterpaduan program pengajaran dan penilaian. Hal ini mengandung berbagai implikasi yang
menyangkut bidang manajemen, pengelolaan proses belajar mengajar, dan penentuan tugas
pengajar dan siswa.
1) Program pengajaran dan penilaian dalam pendekatan kompetensi menuntut pelaksanaan
pengajaran yang terencana, terarah, dinamis, dan membimbing. Pengajaran seperti ini
akan lebih mudah terlaksana bila jumlah siswa dalam kelas tidak terlalu besar (paling
banyak sekitar 40 orang). Jumlah yang terbatas ini akan memungkinkan sebagian terbesar
siswa dapat terjangkau oleh staf pengajar dan sebagian terbesar siswa dapat
memanfaatkan bantuan pengajar secara langsung. Tentu saja jumlah siswa yang terbatas
ini akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh jumlah tenaga pengajar dan ruangan yang
tersedia.
2) Pengajar perlu memiliki kemantapan keterampilan dalam menyusun program pengajaran
dan sekaligus program penilaiannya yang berorientasikan pada kompetensi. Prosedur
pengukuran dan penilaian yang sekaligus diintegrasikan ke dalam proses pengajaran yang
menyeluruh perlu dikuasai benar. Di samping itu pengajar juga perlu menguasai praktek-
praktek pengajaran yang berpusat pada tujuan dan menguasai teknik-teknik pendekatan
terhadap siswa secara perseorangan maupun kelompok. Teknik-teknik ujian dan
pengukuran lainnya serta pengetahuan statistik dasar diperlukan untuk penerapan
pengukuran/penilaian yang terarah itu.
3) Baik pengajar maupun siswa memerlukan sumber-sumber dan sarana belajar-mengajar
yang cukup. Pengajar memerlukannya untuk menyusun dan melaksanakan program
pengajaran, sedangkan siswa memerlukan untuk kegiatan perseorangan maupun
kelompok guna memenuhi kriteria keberhasilan. Penyusun dan pelaksanaan program
pengajaran serta hasil belajar siswa banyak sekali ditentukan oleh tersedianya sumber dan
sarana belajar-mengajar.
4) Dalam program penilaian terbuka siswa perlu mengetahui program penilaian, kriteria
keberhasilan dan hasil-hasil penilaian. Siswa perlu mengetahui silabi pengajaran, jadual
dan cara-cara penilaian yang akan dikenakan kepada mereka. Hal ini menuntut
keterampilan pengajar menyusun silabi dan sikap pengajar yang terbuka.
5) Kegiatan mengajar tidak semata-mata di muka kelas. Sesuai dengan ketentuan sistem
kredit semester, kegiatan pelajaran dengan harga 1 sks mencakup beban pengajaran untuk
pengajaran untuk penyelenggaraan tiga jenis kegiatan setiap minggu, yaitu :
60 menit untuk pengembangan bahan pelajaran;
50 menit untuk kegiatan tatap muka dengan siswa;
60 menit untuk usaha penilaian dan kegiatan perencanaan lanjutan. Dalam 60
menit terakhir itu pengajar dituntut untuk menyediakan diri bagi pertemuan dengan siswa
baik secara perseorangan maupun dalam kelompok, untuk membahas hal-hal khusus
berkenaan dengan kemajuan dan masalah-masalah pelajaran yang dihadapi siswa.
Pertemuan ini diselenggarakan baik atas prakarsa pengajar ataupun atas permintaan
siswa. Untuk kegiatan-kegiatan praktikum di laboratorium, kerja lapangan, dan kegiatan
lainnya perlu dilakukan kegiatan yang setara dengan penyelenggaraan tiga kegiatan
tersebut.
6) Siswa dituntut untuk belajar secara dinamis. Dalam rangka memenuhi kriteria
keberhasilan, mereka diminta untuk tidak ragu-ragu menyampaikan dan membahas
masalah yang dihadapinya dengan pengajar. Hal ini akan bisa terjadi apabila pengajar
dapat bersikap terbuka dan dapat menerima siswa dengan senang hati.
7) Program penilaian yang terarah dan terencana menuntut sistem pelaporan yang lengkap
dan rapi, baik untuk keperluan siswa sendiri dan keperluan pengajar, maupun untuk
keperluan lembaga. Hasil ujian pembinaan, ujian akhir, skala ukuran, dan daftar cek
memerlukan sistem pelaporan yang tersendiri, baik untuk keperluan bimbingan siswa
ataupun untuk keperluan laporan akhir.
8) Pengajar memerlukan berbagai sarana administrasi untuk penyusunan dan pelaksanaan
program pengajar dan penilaian. Untuk memperbanyak silabi, ujian, alat pengukur
lainnya, dan berbagai format diperlukan alat tulis-menulis dan kemudahan dalam
perbanyakkan bahan.
9) Program pengajaran dan penilaian perlu dicatat dan hasil-hasilnya disimpan secara baik.
Hal ini berguna untuk perbaikan dan perencanaan program sejenis dimasa mendatang
maupun untuk kepentingan siswa yang bersangkut apabila mereka memerlukannya.
10) Karena program pengajaran dan penilaian ini bersifat menyeluruh dan relatif menuntut
lebih banyak waktu dan keterlibatan pengajar, perlu dipikirkan variasi jenis mata
pelajaran yang dipegang oleh setiap tenaga pengajar beserta konsekuensinya. Misalnya,
seorang tenaga pengajar yang mempunyai beban mengajar lima kelas dengan dua mata
pelajaran yang berbeda, relatif lebih ringan bebannya dari pengajar lain yang memegang
empat mata pelajaran yang berbeda.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
 Dapat memahami pengertian dari model evaluasi, yaitu suatu desain yang dibuat oleh
para ahli atau pakar evaluasi. Biasanya model evaluasi ini dibuat berdasarkan
kepentingan seseorang, lembaga atau instansi yang ingin mengetahui apakah program
yang telah dilaksanakan dapat mencapai hasil yang diharapkan.
 Dapat memahami macam-macam model evaluasi, yaitu
a. Model Tyler
b. Model yang Berorientasi pada Tujuan
c. Model Pengukuran (Measurement Model)
d. Model Kesesuaian (Congruence Model)
e. Model CIPP
f. Model Stake atau Model Countenance
g. Model Alkin
h. Model Brinkerhoff
i. Model Illuminative
j. Model Responsif
 Dapat memahami pengertian dari pendekatan evaluasi, yaitu sudut pandang seseorang
dalam menelaah atau mempelajari evaluasi.
 Dapat memahami macam-macam pendekatan evaluasi, yaitu Dilihat dari komponen
pembelajaran, pendekatan evaluasi dapat dibagi dua, yaitu pendekatan tradisional dan
pendekatan sistem. Dilihat dari penafsiran hasil evaluasi, pendekatan evaluasi dibagi
menjadi dua, yaitu criterion-referenced evaluation dan norm-referenced evaluation.
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, zaenal.2009.Evaluasi Pembelajaran.Bandung:PT.Remaja Rosdakarya


http://ancolproduction.blogspot.com/2012/12/evaluasi-program-praktik-kejuruan-smk_21.html

https://binham.wordpress.com/2012/01/07/model-model-evaluasi-pendidikan/

repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19622/4/Chapter%20II.pdf

http://pecintamakalah.blogspot.co.id/2015/11/model-dan-pendekatan-evaluasi.html?m=1

http://wahyurosidin.blogspot.co.id/2016/06/karakteristik-model-dan-pendekatan.html

http://desman-spdi.blogspot.co.id/2015/03/model-model-evaluasi.html

Http://Www.Academia.Edu/6708864/Bab_Ii_Model_Pendekatan_Evaluasi_Program_A._Model
model_Evaluasi_Model_Evaluasi_Cipp_Model_Evaluasi_Ucla_Model_Evaluasi_Brinkerhoff_
Model_Evaluasi_Stake_Atau_Model_Countenance

Anda mungkin juga menyukai