DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
2.Aulini (RRA1C114010)
DOSEN PENGAMPU :
UNIVERSITAS JAMBI
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta dan pengatur kehidupan di
dunia, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Standar Penilaian Dalam Prespektif Standar Nasional Pendidikan” ini dapat selesai
dengan baik.
Shalawat dan salam juga kami curahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, junjungan
umat Islam, pembawa kebenaran di muka bumi. Terima kasih pula kepada dosen dan teman-
teman yang telah memberikan dukungan serta ikut serta berpartisipasi sehingga makalah ini dpat
selesai pada waktunya.
Makalah ini merupakan sebuah tugas dalam mata kuliah evaluasi proses dan hasil
pembelajaran kimia yan dibuat oleh penulis guna menunjang proses belajar di perguruan tinggi
yang kini tengah dijalani oleh penulis. Adapun judul makalah ini adalah “ Model Dan Pendekatan
Evaluasi”.
Dalam penyusunan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi. Namun kami
menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan laporan ini tidak lain berkat bantuan, dorongan
dan bimbingan dosen dan teman-teman, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak
yang membutuhkan, khususnya bagi kami sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai, amin.
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1. Model-model pembelajaran dalam arti seluas-luasnya tidak lain adalah suatu proses
mempersiapkan secara sistematis kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai
suatu tujuan tertentu.
3. Model-model pembelajaran adalah penentuan tujuan yang akan dicapai atau yang akan
dilakukan, bagaimana, bilamana, dan siapa.
( http://wahyurosidin.blogspot.co.id/2016/06/karakteristik-model-dan-pendekatan.html )
2.2 Macam-Macam Model Evaluasi
Dalam studi tentang evaluasi, banyak sekali dijumpai model-model evaluasi dengan
format atau sistematika yang berbeda, sekalipun dalam beberapa model juga ada yang sama.
Misalnya, Said Hamid Hasan (1998) mengelompokkan model evaluasi sebagai berikut :
1. Model evaluasi kuantitatif, yang meliputi : model Tyler, Model teoritik Tyler dan
Maguire, model pendekatan system Alkin, model Countenance Stake, model CIPP,
model ekonomi mikro
2. Model evaluasi kualitatif, yang meliputi : model studi kasus, model iluminatif, dan
model responsive.
Ada beberapa model yang dapat dicapai dalam melakukan evaluasi (Umar, 2002 : 41-42),
yaitu :
1. Sistem assessment
Yaitu evaluasi yang memberikan informasi tentang keadaan atau posisi suatu sistem.
Evaluasi dengan menggunakan model ini dapat menghasilkan informasi mengenai posisi
terakhir dari sauatu elemen program yang tengah diselesaikan.
2. Program planning
Yaitu evalusi yang membantu pemilihan aktivitas-aktivitas dalam program tertentu yang
mungkin akan berhasil memenuhi kebutuhannya.
3. Program implementation
Yaitu evaluasi yang menyiapkan informasi apakah program sudah diperkenalkan kepada
kelompok tertentu yang tepat seperti yang telah direncanakan.
4. Program Improvement
Yaitu evaluasi orang memberikan informasi tentang bagaimana program berfungsi,
bagaimana program bekerja, bagaimana mengantisispasi masalah-masalah yang
mungkin dapat mengganggu pelaksanaan kegiatan.
5. Program Certification
Yaitu evaluasi yang memberikan informasi mengenai nilai atau manfaat program.
Sementara itu, Kaufan dan Thomas dalam Suharsini Arikunto dan Cepi Safruddin AJ
(2007) membedakan model evaluasi menjadi delapan, yaitu :
1. Goal Oriented Evaluation Model, dikembangkan oleh Tyler
2. Goal Free Evaluation Model, dikembangkan oleh Scriven
3. Formatif Sumatif Evaluation Model, dikembangkan oleh Scriven
4. Countenance Evaluation Model, dikembangkan oleh Stake
5. Responsive Evaluation Model, dikembangkan oleh Stake
6. CSE-UCLA Evaluation Model, menekankan pada “kapan” evaluasi dilakukan.
7. CIPP Evaluation Model, dikembangkan oleh Stufflebeam
8. Discrepancy Model, dikembangkan oleh Provus
Ada juga model evaluasi yang dikelompokkan oleh Nana Sudjana dan R. Ibrahim (2007 :
234) yang membagi model evaluasi menjadi empat model utama, yaitu “measurement,
congruence, educational system, dan illuminatif.”
Dari beberapa model diatas, diantaranya akan pemakalah uraikan sebagai berikut
1. Model Tyler
Nama model ini diambil dari pengembangnya yaitu Tyler. Dalam buku Basic Principles
of Curriculum and Instruction, Tyler banyak mengemukakan ide dan gagasannya tentang
evaluasi. Salah satu bab dari buku tersebut diberinya judul how can the effectiveness of learning
experience be evaluated? Model ini dibangun atas dua dasar pemikiran. Pertama, evaluasi
ditujukan pada tingkah laku peserta didik. Kedua, evaluasi harus dilakukan pada tingkah laku
awal peserta didik sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran dan sesudah melaksanakan
kegiatan pembelajaran (hasil). Dasar pemikiran yang kedua ini menunjukkan bahwa seorang
evaluator harus dapat menentukan perubahan tingkah laku apa yang terjadi setelah peserta didik
mengikuti pengalaman belajar tertentu, dan menegaskan bahwa perubahan yan terjadi
merupakan perubahan yang disebabkan oleh pembelajaran.
Penggunaan model Tyler memerlukan informasi perubahan tingkah laku terutama pada
saat sebelum dan sesudah terjadinya pembelajaran. Istilah yang popular di kalangan guru adalah
tes awal dan tes akhir. Model ini mensyaratkan validitas informasi pada tes akhir. Untuk
menjamin validitas ini, maka perlu adanya control dengan menggunakan desain eksperimen.
Model Tyler disebut juga model Black box karena model ini sangat menekankan adanya tes awal
dan tes akhir. Dengan demikian, apa yan terjadi dalam proses tidak perlu diperhatikan. Dimensi
proses ini dianggap sebagai kontak hitam yang menyimpan segala macam teka-teki. Menurut
Tyler ada tiga langkah pokok yang harus dilakukan, yaitu:
a. Menentukan tujuan pembelajaran yang akan dievaluasi
b. Menentukan situasi dimana peserta didik memperoleh kesempatan untuk menunjukkan
tingkah laku yang berhubungan dengan tujuan, dan
c. Menentukan alat evaluasi yang akan dipergunakan untuk mengukur tingkah laku peserta
didik.
Keunggulan Model Tyler
Model paling popular
Digunakan dalam perkembangan kurikulum
Sistematik
Mudah digunakan
Logikal
Evaluator dapat memfokuskan kajian evaluasinya hanya pada satu dimensi kurikulum
yaitu dimensi hasil belajar. Sedang dimensi dokumen dan proses tidak menjadi focus
evaluasi.
Dalam model ini, yang menjadi objek pengamatan adalah tujuan dari program yang
sudah di tetapkan jauh sebelum program di mulai. Evaluasi ini di lakukan secara
berkesinambungan untuk mengetahui sejauh mana tujuan tersebut sudah terlaksana di dalam
proses pelaksanaannya. Model ini menggunakan tujuan program sebagai kriteria untuk
menentukan keberhasilan dari program. Evaluator mencoba mengukur sampai di mana tujuan
dari program telah di capai. (http://desman-spdi.blogspot.co.id/2015/03/model-model-evaluasi.html )
2. Model yang Berorientasi pada Tujuan
Dalam pembelajaran, kita mengenal adanya tujuan pembelajaran umum dan tujuan
pembelajaran khusus. Model evaluasi ini menggunakan kedua tujuan tersebut sebagai kriteria
untuk menentukan keberhasilan. Evaluasi diartikan sebagai proses pengukuran untuk mengetahui
seberapa sejauh mana tujuan pembelajaran telah tercapai. Model ini dianggap lebih praktis
karena menentukan hasil yang diinginkan dengan rumusan tujuan pembelajaran dapat
diobservasi dan diukur, maka kegiatan evaluasi pembelajaran akan menjadi praktis dan simple.
Disamping itu, model ini dapat membantu guru menjelaskan rencana pelaksanaan kegiatan
pembelajaran dengan proses pencapaian tujuan. Instrument yang digunakan bergantung pada
tujuan yang ingin diukur. Hasil evaluasi akan menggambarkan tingkat keberhasilan tujuan
program pembelajaran berdasarkan kriteria program khusus. Kelebihan model ini terletak pada
hubungan antara tujuan kegiatan dan pembelajaran. Kekurangannya adalah memungkinkan
terjadinya proses evaluasi melebihi konsekuensi yang tidak diharapkan.
Tokoh model pengukuran adalah Edward L. thorndike dan Robert L. Ebel. Menurut
kedua tokoh ini dalam Purwanto (2009) beberapa ciri dari model pengukuran, adalah :
a. Mengutamakan pengukuran dalam proses evaluasi. Pengukuran merupakan kegiatan
ilmiah yang dapat diterapkan pada berbagai bidang termasuk pendidikan
b. Evaluasi adalah pengukuran terhadap berbagai aspek tingkah laku untuk melihat
perbedaan individu atau kelompok. Oleh karena tujuannya adalah untuk mengungkapkan
perbedaan, maka sangat diperhatikan tingkat kesukaran dan daya pembeda masing-
masing butir, serta dikembangkan acuan norma kelompok yang menggambarkan
kedudukan siswa dalam kelompok
c. Ruang lingkup adalah hasil belajar aspek kognitif
d. Alat evaluasi yang digunakan adalah tes tertulis terutama bentuk objektif
e. Meniru model evaluasi dalam ilmu alam yang menggunakan objektivitas. Oleh karena itu
model ini cenderung mengembangkan alat-alat evaluasi yang baku. Pembakuan
dilakukan dengan mencobakan kepala sampel yang cukup besar untuk melihat validitas
dan reabilitasnya.
Tyler menggambarkan pendidikan sebagai suatu proses yang didalamnya terdapat tiga hal
yang perlu dibedakan, yaitu tujuan pendidikan, pengalaman belajar, dan evaluasi hasil belajar.
Evaluasi pada dasarnya dimaksudkan untuk memperoleh gambaran mengenai efektifitas
kurikulum atau program pengajaran yang bersangkutan dalam mencapai tujuannya. Mengingat
tujuan-tujuan pendidikan itu mencerminkan perubahan-perubahan perilaku yang diinginkan pada
anak didik, maka yang paling penting dari proses evaluasi adalah memeriksa sejauh mana
perubahan-perubahan perilaku yang diinginkan itu terjadi (Tyler, dalam Tim Pengembangan
Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007).
Menurut model ini evaluasi tidak lain adalah usaha untuk memerika persesuaian antara
tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan dan hasil belajar yang telah dicapai. Hasil evaluasi
yang diperoleh berguna bagi kepetingan penyempurnaan program, bimbingan siswa dan
pemberian informasi kepada pihak-pihak luar pendidikan mengenai hasil-hasil yang telah
dicapai.
Langkah-langkah evaluasi yang perlu ditempuh didalam proses evaluasi menurut model yang
kedua ini Tyler mengajukan 4 langkah pokok yaitu:
2) Menetapkan test situation yang diperlukan. Dalam langkah ini ditetapkan jenis-jenis
evaluasi yang akan memungkinkan para siswa untuk memperlihatkan perilaku yang akan
dinilai tersebut. Situasi-situasi yang dimaksudkan dapat berbentuk demonstrasi,
memecahkan persoalan-persolan tertulis memimpin kegiatan kelompok dan sebagainya.
3) Menyusun alat evaluasi. Berdasarkan rumusan tujuan dan test situation yang telah
dikembangkan dalam langkah-langkah sebelumnya kini dapat ditetapkan dan disusun alat-
alat evaluasi yang cocok untuk digunakan dalam menilai jenis-jenis perilaku yang
tergambar dalam tujuan tersebut.
4) Menggunakan hasil evaluasi. Setelah tes dilaksanakan hasilnya diolah sedemikian rupa
agar dapat memenuhi tujuan diadakannya evaluasi tersebut, baik untuk kepentingan
bimbingan siswa maun untuk perbaikan program.
Karena setiap program pendidikan menyangkut tujuan yang hendak dicapai, akan lebih
tepat jika hasil evaluasi tidak dinyatakan dalam bentuk keseluruhan test tapi dalam bentuk hasil
bagian demi bagian dari test yang bersangkutan sehingga terlihat bagian-bagian mana dari
program pendidikan yang masih perlu disempurnakan karena belum berhasi mencapai tujuannya
(Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007).
(https://binham.wordpress.com/2012/01/07/model-model-evaluasi-pendidikan/ )
Tokoh yang mengmbangkan evaluasi model kesesuaian adalah Ralph W Tyler, John B
Carrol dan Lee J Cronbach. Ciri-ciri evaluasi model kesesuaian yang dikembangkan oleh tokoh
tersebut di atas adalah :
a. Pendidikan adalah proses yangmemuat tiga hal, yaitu tujuan pendidikan, pengalaman
belajar dan penilaian hasil belajar. Kegiatan evaluasi dilakukan untuk melihat sejauh
mana tujuan pendidikan yang diberikan dalam pengalaman belajar telah dapat dicapai
siswa dalam bentuk hasil belajar. Dengan kata lain, evaluasi dilakukan untuk melihat
kesesuaian antara tujuan pendidikan yang diinginkan dengan hasil belajar yang dicapai.
b. Objek evaluasi adalah tingkah laku siswa dan penilaian atas perubahan dalam tingkah
laku pada akhir kegiatan pendidikan. Tujuan pendidikan adalah mencerminkan
perubahan-perubahan perilaku yang diinginkan pada anak. Evaluasi dilakukan untuk
memeriksa sejauh mana perubahan itu telah terjadi dalam hasil belajar. Oleh karena itu,
penilaian dilakukan atas perubahan perilaku sebelum dan sesudah kegiatan pendidikan.
c. Perubahan perilaku hasil belajar terjadi dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotor.
Oleh karena hasil belajar bukan hanya aspek kognitif, maka alat evaluasi bukan hanya
berupa tes tertulis, tetapi semua kemungkinan alat evaluasi dapat digunakan sesuai
dengan hakikat tujuan yang ingin dicapai.
Keunggulan model kesesuaian (Congruence Model)
Sumbangan yang cukup berarti congruence model adalah:
1) menghubungkan hasil belajar dengan tujuan pendidikan sebagai criteria perbandingan
2) Memperkenalkan system pengolahan hasil penilaian secara bagian demi bagian, yang ternyata
lebih relevan dengan kebutuhan pengembangan system
5. Model CIPP
Model evaluasi CIPP yang dikemukakan oleh Stufflebeam & Shinkfield (1985) adalah
sebuah pendekatan evaluasi yang berorientasi pada pengambil keputusan (a decision oriented
evaluation approach structured) untuk memberikan bantuan kepada administrator atau leader
pengambil keputusan. Stufflebeam mengemukakan bahwa hasil evaluasi akan memberikan
alternatif pemecahan masalah bagi para pengambil keputusan. Model evaluasi CIPP ini terdiri
dari 4 hurup yang diuraikan sebagai berikut:
a. Contect evaluation to serve planning decision. Seorang evaluator harus cermat dan tajam
memahami konteks evaluasi yang berkaitan dengan merencanakan keputusan,
mengidentifikasi kebutuhan, dan merumuskan tujuan program.
b. Input Evaluation structuring decision. Segala sesuatu yang berpengaruh terhadap proses
pelaksanaan evaluasi harus disiapkan dengan benar. Input evaluasi ini akan memberikan
bantuan agar dapat menata keputusan, menentukan sumber-sumber yang dibutuhkan,
mencari berbagai alternatif yang akan dilakukan, menentukan rencana yang matang,
membuat strategi yang akan dilakukan dan memperhatikan prosedur kerja dalam
mencapainya.
c. Process evaluation to serve implementing decision. Pada evaluasi proses ini berkaitan
dengan implementasi suatu program. Ada sejumlah pertanyaan yang harus dijawab dalam
proses pelaksanaan evaluasi ini. Misalnya, apakah rencana yang telah dibuat sesuai
dengan pelaksanaan di lapangan? Dalam proses pelaksanaan program adakah yang harus
diperbaiki? Dengan demikian proses pelaksanaan program dapat dimonitor, diawasi, atau
bahkan diperbaiki.
d. Product evaluation to serve recycling decision. Evaluasi hasil digunakan untuk
menentukan keputusan apa yang akan dikerjakan berikutnya. Apa manfaat yang
dirasakan oleh masyarakat berkaitan dengan program yang digulirkan? Apakah memiliki
pengaruh dan dampak dengan adanya program tersebut? Evaluasi hasil berkaitan dengan
manfaat dan dampak suatu program setelah dilakukan evaluasi secara seksama. Manfaat
model ini untuk pengambilan keputusan (decision making) dan bukti pertanggung
jawaban (accountability) suatu program kepada masyarakat. Tahapan evaluasi dalam
model ini yakni penggambaran (delineating), perolehan atau temuan (obtaining), dan
penyediakan (providing) bagi para pembuat keputusan.
Hakikat evaluasi menurut sistem model adalah untuk membandingkan performance dari
berbagai dimensi sistem yang sedang dikembangkan dengan sejumlah kriteria tertentu, akhirnya
sampai pada suatu deskripsi dan judgment mengenai sistem yang dinilai tersebut.
Model evaluasi Stake (1967), merupakan analisis proses evaluasi yang membawa
dampak yang cukup besar dalam bidang ini, meletakkan dasar yang sederhana namun merupakan
konsep yang cukup kuat untuk perkembangan yang lebih jauh dalam bidang evaluasi. Stake
menekankan pada dua jenis operasi yaitu deskripsi (descriptions) dan pertimbangan (judgments)
serta membedakan tiga fase dalam evaluasi program yaitu :
Persiapan atau pendahuluan (antecedents)
Proses/transaksi (transaction-processes)
Keluaran atau hasil (outcomes, output)
Model stake tersebut dapat digambarkan dalam bentuk diagram sebagai berikut :
Menurut Howard, E (2008), kelebihan dan kelemahan evaluasi model Countenance Stake’s
adalah:
A. kelebihan
B. Kelemahannya
1. Pendekatan yang dilakukan terlalu subjektif.
2.Terjadinya kemungkinan dalam meminimalkan pentingnya instrument pengumpulan data dan
evaluasi kuantitatif.
3. Kemungkinan biaya yang terlalu besar dan padat karya.
Selain hal tersebut menurut Kemble (2010), mengatakan bahwa kelebihan evaluasi model
Countenance Stake antaralain adalah:
1. Dalam evaluasi memasukkan data tentang latar belakang program, proses dan hasil yang
merupakan perluasan ruang lingkup evaluasi pada tahun 1970-an.
2. Evaluator memegang kendali dalam evaluasi dan juga memutuskan cara yang paling tepat
untuk hadir dan menggambarkan hasil
3. Fokus pada kekhawatiran stakeholder dan isu-isu meningkatkan komunikasi antara evaluator
dan stakeholder.
Sedangkan Menurut Robinson (2006) kelebihan model Countenance Stake yaitu bahwa
model tersebut memiliki kehatian-hatian dalam memberikan judgment mengenai nilai aspek
yang bervariasi. Model ini juga dapat memfasilitasi sebuah pemahaman yang mendalam
mengenai semua aspek program pembelajaran, yang tidak hanya memnugkinkan evaluator untuk
menentukan out come pembelajaran, tetapi juga menunjukkan alasan dan konsekuensi
dampaknya. Model ini memberikan dasar yang kuat untuk memberikan rekomendasi dan
judgment yang menarik atas nilai sebuah pembelajaran. Depwell, F & Glynis. (2008) kekuatan
model Contenance Stake adalah di akomodasi dan penataan berbagai tingkat data. Dalam
evaluasi yang dilakukan data yang dikumpulkan adalah campuran data kualitatif dan kuantitatif,
formal dan informal, primer dan sekunder. Dalam model countenance stake semua data diolah
sesuai dengan kategori melayani dalam matriks. Woods (1988) mengatakan bahwa kekuatan
model countenance stake adalah cara dan tindakannya pasti dan dapat diamati secara bersamaan
antara standard dan judgement.
7. Model Alkin
Menurut Alkin (1969) evaluasi adalah suatu proses meyakinkan keputusan, memilih
informasi yang tepat, mengumpulkan, dan menganalisa informasi sehingga dapat melaporkan
ringkasan data yang berguna bagi pembuat keputusan dalam memilih beberapa alternatif. Ia
mengemukakan lima macam evaluasi yakni :
a. Sistem assessment, yaitu memberikan informasi tentang keadaan atau posisi sistem.
b. Program planning, membantu pemilihan program tertentu yang mungkin akan berhasil
memenuhi kebutuhan progam.
c. Program implementation, yang menyiapkan informasi apakah rogram sudah
diperkenalkan kepada kelompok tertentu ng tepat seperti yang direncanakan?
d. Program improvement, yang memberikan informasi tentang bagaimana program
berfungsi, bagaimana program bekerja, atau berjalan? Apakah menuju pencapaian tujuan,
adakah hal-hal atau masalah-masalah baru yang muncul takterduga?
e. Program certification, yang memberi informasi tentang nilai atau guna program.
Keunggulan Model Alkin
Keterikatannya dengan sistem. Dengan model pendekatan system ini kegiatan sekolah dapat
diikuti dengan seksama mulai dari variable-variabel yang ada dalam komponen masukan, proses
dan keluaran. Komponen masukan yang dimaksudkan adalah semua informasi yang
berhubungan dengan karakteristik peserta didik, kemampuan intelektual, hasil belajar
sebelumnya, kepribadian, kebiasaan, latar belakang keluarga, latar belakang lingkungan dan
sebagainya.
8. Model Brinkerhoff
Brinkerhoff & Cs. (1983) mengemukakan tiga golongan evaluasi yang disusun
berdasarkan penggabungan elemen-elemen yang sama, seperti evaluator-evaluator lain, namun
dalam komposisi dan versi mereka sendiri sebagai berikut :
a. Fixed vs Emergent Evaluation Design.
Desain evaluasi fixed (tetap) harus direncanakan dan disusun secara sistematik-terstruktur
sebelum program dilaksanakan. Namun demikian, desain fixed dapat juga disesuaikan dengan
kebutuhan yang sewaktu-waktu dapat berubah. Desain evaluasi ini dikembangkan berdasarkan tujuan
program, kemudian disusun pertanyaan-pertanyaan untuk mengumpulkan berbagai informasi yang
diperoleh dari sumber-sumber tertentu. Begitu juga dengan model analisis yang akan digunakan
harus dibuat sebelum program dilaksanakan. Pihak pemakai (user) akan menerima informasi sebagai
hasil evaluasi sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Pada umumnya, evaluasi formal yang
dibuat secara individual menggunakan desain fixed, karena tujuan program sudah ditetapkan
sebelumnya. Begitu juga dengan anggaran biaya dan organisasi pelaksana yang semuanya
dituangkan dalam sebuah proposal evaluasi.
Kegiatan-kegiatan evaluasi yang dilakukan dalam desain fixed ini antara lain menyusun
pertanyaan-pertanyaan, menyusun dan menyiapkan instrument, menganalisis hasil evaluasi dan
melaporkan hasil evaluasi secara formal kepada pihak pemakai. Dalam menyusun pertanyaan-
pertanyaan atau merumuskan masalah, seorang evaluator harus mengacu kepada tujuan program.
Disamping itu, evaluator juga harus merangsang audience untuk memperbaiki pertanyaan-pertanyaan
yang dianggap kurang relevan. Sesuai dengan kegiatan-kegiatan evaluasi ini, maka wajar bila desain
fixed ini banyak memerlukan biaya. Belum lagi proses komunikasi yang harus dibangun secara
teratur dan kontinu, baik secara langsung maupun tak langsung antara evaluator dengan audience
atau klien.
Untuk mengumpulkan data dalam desain ini dapat menggunakan berbagai teknik seperti tes,
observasi, wawancara, kuisioner dan skala penilaian. Untuk itu, syarat-syarat penyusunan instrument
yang baik, seperti validitas dan reliabilitas tetap harus diperhatikan karena data yang dikumpulkan
biasanya bersifat kuantitatif. Dalam penyusunan desain biasanya didiskusikan terlebih dahulu dengan
pihak pemakai sehingga jika terdapat kekurangan dapat segera diperbaiki.
Sementara itu, dalam desain evaluasi emergent, tujuan evaluasi adalah untuk beradaptasi
dengan situasi yang sedang berlangsung dan berkembang, seperti menampung pendapat audience,
masalah-masalah dan kegiatan program. Proses adaptasi ini tentu memerlukan waktu yang cukup
lama, mulai dari awal sampai dengan akhir kegiatan guna menetapkan dan merumuskan tujuan dan
isu. Hal ini wajar karena hal tersebut tidak ditentukan sebelumnya. Disini, seorang evaluator tidak
perlu mendorong audiensi untuk memikirkan tentang suatu program atau isu-isu evaluasi karena
audiensi akan menentukan sendiri isu-isu dan informasi penting lainnya yang diperlukan dalam
desain emergent.
Selama proses evaluasi, seorang evaluator harus tetap menjalin komunikasi yang kontinu
dengan audiensi, sehingga data dan informasi yang dikumpulkan tidak terputus dan tetap utuh.
Teknik pengumpulan data dapat menggunakan observasi, studi kasus dan laporan tim pendukung.
Pengukuran tidak selalu mengacu kepada tujuan program seperti yang biasa dilakukan bahkan
seorang evaluator sering mengabaikan panggunaan teknik pengukuran karena informasi yang
dibutuhkan lebih bersifat kualitatif-naturalistik. Hal ini dimaksudkan agar informasi yang
dikumpulkan lebih banyak, mendalam dan bermanfaat. Dengan demikian, desain akan terus
berkembang dan berubah sesuai dengan situasi dan kondisi dilapangan.
d. Summative program, evaluasi untuk mengetahui hasil dan dampak dari program serta
untuk mengetahui ketercapaian program. Dalam tahap keempat, yaitu evaluasi sumatif,
para evaluator diharapkan dapat mengumpulkan semua data tentang hasil dan dampak
dari program. Melalui evaluasi sumatif ini, diharapkan dapat diketahui apakah tujuan
yang dirumuskan untuk program sudah tercapai, dan jika belum, dicari bagian mana
yang belum dan apa penyebabnya
12. Model Kesenjangan
Evaluasi model kesenjangan (discrepancy model) menurut provus (dalam Fernandes,
1984) adalah untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara baku (standard) yang sudah
ditentukan dalam program dengan kinerja (performance) sesungguhnya dari program tersebut.
Baku adalah criteria yang ditetapkan, sedangkan kinerja adalah hasil pelaksanaan program.
Sedangkan kesenjangan yang yang dapat dievaluasi dalam program pendidikan meliputi:
Kesenjangan antara rencana dengan pelaksanaan program
Kesenjangan antara yang diduga atau diramalkan akan diperoleh dengan yang benar-
benar direalisasikan
Kesenjangan tujuan
Kesenjangan mengenai bagian program yang dapat diubah.
Kesenjangan dalam system yang tidak konsisten. Oleh karena itu model evaluasi ini
memeiliki lima tahap yaitu desain, instalasi, proses, produk dan membandingkan
13. Model Evaluasi Sistem Pendidikan
Model evaluasi system pendidikan bertitik tolak darri pandangan bahwa keberhasilan
suatu program pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, cirri anak didik maupun lingkungan
sekitarnya, tujuan program dan peralatan yang dipakai, serta prosedur dan mekanisme
pelaksanaan program itu sendiri.
Evaluasi menurut model ini dimaksudkan untuk membandingkan kinerja dari berbagai
dimensi program yang sedang dikembangkan dengan sejumlah criteria tertentu, untuk akhirnya
sampai pada suatu deskripsi dan jajmen mengenai program yang dinilai tersebut.
Ada beberap hal di dalam isi pandangan di atas yang perlu digaris bawahi dan diuraikan
lebih lanjut mengingat pentingnya hal-hal tersebut didalam konteks konsep evaluasi yang dianut
oleh model ini.
Dengan mengungkapkan berbagai dimensi program model ini menekankan pada
pentingnya program sebagai suatu keseluruhan yang dijadikan objek evaluasi , tanpa
membatasi hanya pada aspek hasil yang dicapai saja.
Perbandingan antara program performance dankriteria juga merupakan salah satu inti
yang penting dalam konsep evaluasi menurut model ini. Hal penting disini adalah
bahwa setiap dimensi program pendidikan yang sedang dikembangkan itu perlu
ditetapkan dengan tegas criteria yang akan dijadikan ukuran dalam menilai
performance dalam maing-masing dimensi tersebut. Salah satu kelemahan yang ada
sekarang Stufflebeam (1972) adalah kurang jelasnya criteria yang digunakan sebagai
dasar didalam mengadakan evaluasi tersebut.
Model ini berpandangan bahwa model evaluasi tidak hanya berakhir pada suatu
deskripsi tentang keadaan program yang telah dinilainya, melainkan harus sampai
pada suatu Judgment baik-buruknya, efektif-tidaknya program pendidikanyang
bersangkutan
Pendekatan Tradisional
Komponen
Pembelajaran
Pendekatan Sistem
Pendekatan
Evaluasi Criterion-Referenced
Pembelajaran Evaluation
Penafsiran Hasil
Evaluasi Norm-Referenced
Evaluation
Pendekatan berdasarkan komponen pembelajaran, yaitu:
a. Pendekatan Tradisional
Pendekatan ini berorientasi pada praktik evaluasi yang telah berjalan selama ini disekolah
yang ditujukan pada perkembangan aspek intelektual peserta didik. Aspek-aspek keterampilan
dan pengembangan sikap kurang mendapat perhatian yang serius. Dengan kata lain, peserta didik
hanya dituntut untuk menguasai mata pelajaran. Kegiatan-kegiatan evaluasi juga lebih
difokuskan pada komponen produk saja, sementara komponen proses cenderung diabaikan. Hasil
kajian Spencer cukup memberikan gambaran betapa pentingnya evaluasi pembelajaran. Dia
mengemukakan sejumlah isi pendidikan yang dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk
merumuskan tujuan pendidikan secara komprehensif dan pada gilirannya menjadi acuan dalam
menbuat perencanaan evaluasi. Namun, tidak sedikit guru mengalami kesulitan untuk
mengembangkan sistem evaluasi disekolah karena bertentangan dengan tradisi yang selama ini
sudah berjalan. Misalnya, ada tradisi bahwa target kuantitas kelulusan setiap sekolah harus diatas
95%, begitu juga untuk kenaikan kelas. Ada juga tradisi bahwa dalam mata pelajaran tertentu
nilai peserta didik dalam rapor harus minimal enam. Seharusnya, kebijakan evaluasi lebih
menekankan pada target kualitas, yaitu kepentingan dan kebermaknaan pendidikan bagi anak.
b. Pendekatan Sistem
Sistem adalah totalitas dari berbagai komponen yang saling berhubungan dan
ketergantungan. Jika pendekatan sistem dikaitkan dengan evaluasi, maka pembahasan lebih
difokuskan pada kompenen evaluasi, yang meliputi komponen kebutuhan dan feasibility,
komponen input, komponen proses, dan komponen produk. Dalam bahasa Stufflebeam disingkat
CIPP, yaitu context, input, process, dan product. Komponen-komponen ini harus menjadi
landasan pertimbangan dalam evaluasi pembelajaran secara sistematis. Berbeda dengan
pendekatan tradisional yang hanya menyentuh komponen produk saja, yaitu perubahan perilaku
apa yang terjadi pada peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran. Pendekatan ini tentu
tidak salah, hanya tidak sistematis. Padahal, hasil belajar tidak aka ada jika tidak melalui proses,
dan proses tidak bisa berjalan jika tidak ada masukan dan guru yang melaksanakan.
Selanjutnya, akan dikemukakan pula pendekatan evaluasi yang digunakan dalam
menafsirkan hasil evaluasi. Dalam literatur modern tentang evaluasi, terdapat dua pendekatan
yang dapat digunakan untuk menafsirkan hasil evaluasi, yaitu penilaian acuan patokan (criterion-
referenced evaluation) dan penilaian acuan norma (norm-referenced evaluation). Artinya,
setetlah diperoleh skor mentah dari setiap peserta didik maka langkah selanjutnya adalah
mengubah skor mentah menjadi nilai dengan menggunakan pendekatan tertentu.
B = banyaknya butir yang dijawab benar (dalam bentuk pilihan ganda) atau jumlah skor jawaban
benar pada setiap butir/item soal (pada tes bentuk menguraikan)
St = Skor teoritis
Berdasarkan tabel di atas skor teoritis perangkat tes adalah 85. Peserta didik yang
mengikuti ada 40 anak, setelah mereka mengerjakan perangkat tes dilakukan penskoran oleh
guru. Hasil skor itu selanjutnya diolah dengan PAP, hasilnya sebagai berikut (yang ditampilkan
hanya 10 peserta tes).
Tabel 6.6. Skor Peserta Tes (Rekayasa) untuk Diolah dengan Pendekatan PAP
Melalui tabel di atas berarti setiap skor peserta didik harus dikonversi menjadi nilai huruf
dan kualifikasi, hasil konversinya sebagai berikut.
Tabel 6.8. Contoh Hasil Konversi Skala-5
Catatan: Batas minimal kualifikasi adalah nilai C atau nilai 60%
Melalui tabel hasil penilaian di atas, Anda jangan menganggap nilai peserta tes pada
kolom ”skor” tetapi gunakanlah kolom ”nilai (%)”, ”nilai (huruf)” dan ”kualifikasi” sebagai hasil
dari PAP dengan skala-5. Jadi peserta didik dengan nama Suyono mendapat nilai A dengan
kualifikasi sangat memuaskan, artinya Suyono mampu menguasai 80% kompetensi yang
dikontrakkan dalam pembelajaran. Dari peserta yang lain, misalnya; Imam mendapat nilai D
dengan kualifikasi kurang memuaskan karena nilainya di bawah batas minimal kualifikasi 60%
atau nilai C. Keadaan yang sama juga terjadi pada Nila dengan nilai D dan kualifikasi kurang
memuaskan.
Bagaimanakah dengan peserta berkualifikasi kurang memuaskan? Anda dapat melakukan
langkah berikutnya yaitu memberikan keputusan kepada Iman dan Nila untuk mengikuti
remedial, mengulang pada semester berikutnya (kalau di perguruan tinggi) atau melakukan tes
ulang.
Apabila hasil PAP dengan pedoman konversi skala-100 dan skala-5 Anda gunakan untuk
mengkonversi skor-skor hasil tes prestasi pada kelas/kelompok lain maka hasilnya akan tetap
reliabel dengan catatan perangkat tes yang digunakan sama dengan kelompok/kelas sebelumnya.
xi = tanda kelas
fi = frekuensi yang sesuai dengan xi
2) Menghitung standar deviasi ( s ) skor prestasi
Untuk data tidak berkelompok
xi = nilai ke-i
xi = nilai ke-i
fi = frekuensi ke-i
i = panjang kelas
xi'= nilai sandi
3) Membuat pedoman konversi untuk mengubah skor menjadi nilai standar (berdasarkan
skalanya, ada PAN dengan skala lima, skala sembilan, skala sebelas, dan dengan nilai Zscore
atau Tscore)
Pedoman konversi skala-5
Pedoman konversi skala-5 berarti membagi nilai standar menjadi lima skala, lima
angka/huruf atau lima kualifikasi. Cara menyusun skala lima dengan membagi wilayah di
bawah lengkung kurva normal menjadi lima daerah, perhatikan kurva normal berikut.
Kurva normal tersebut terbagi menjadi lima daerah dan setiap daerah menunjukkan
kualifikasi atau nilai dari kanan ke kiri A, B, C, D dan E. Berdasarkan pembagian itu,
pedoman konversi skala-5 disusun sebagai berikut.
Kurva normal tersebut terbagi menjadi sembilan daerah dan setiap daerah menunjukkan
kualifikasi atau nilai dari kanan ke kiri 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 dan 9. Berdasarkan pembagian itu,
pedoman korversi skala-9 disusun sebagai berikut.
Pedoman konversi skala-11
Pedoman konversi skala-11 berarti membagi nilai standar menjadi sebelas skala, sebelas
angka/huruf atau sebelas kualifikasi. Cara menyusun skala sebelas sama dengan skala lima
dan sembilan yaitu dengan membagi wilayah di bawah lengkung kurva normal menjadi
sebelas daerah, perhatikan kurva normal berikut.
Kurva normal tersebut terbagi menjadi sebelas daerah dan setiap daerah menunjukkan
kualifikasi atau nilai dari kanan ke kiri 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 dan 10. Berdasarkan
pembagian itu, pedoman korversi skala-11 disusun sebagai berikut.
Pedoman konversi dengan Zscore atau Tscore
Dengan tidak menyusun pedoman konversi Anda dapat langsung menentukan atau
mengkonversi skor menjadi nilai standar dengan menggunakan dua nilai yaitu nilai Zscore dan
Tscore. Nilai Zscore berarti mengubah skor kasar menjadi nilai standar Z. Biasanya Zscore
digunakan sebagai cara untuk membandingkan beberapa nilai matapelajaran seorang peserta
tes dari berbagai jenis pengukuran yang berbeda. Konsep Tscore hampir sama dengan Zscore.
Adapun rumus untuk menghitung nilai Zscore dan Tscore adalah sebagai berikut.
Keterangan:
x = skor
S = standar deviasi
x = rata-rata
Jawab:
1) Menghitung x dan s
a. Menentukan rentang
Rentang (r) = data terbesar – data terkecil
= 99 – 35 = 64
Catatan: khusus untuk panjang kelas pembulatan dapat Tidak mengikuti kaidah
matematik, jadi kalau pembulatan ke atas (=10) atau ke bawah (=9). Alasan; supaya
semua skor dapat masuk ke dalam setiap kelas interval.
e. Menentukan x dan s
3.1 Kesimpulan
Dapat memahami pengertian dari model evaluasi, yaitu suatu desain yang dibuat oleh
para ahli atau pakar evaluasi. Biasanya model evaluasi ini dibuat berdasarkan
kepentingan seseorang, lembaga atau instansi yang ingin mengetahui apakah program
yang telah dilaksanakan dapat mencapai hasil yang diharapkan.
Dapat memahami macam-macam model evaluasi, yaitu
a. Model Tyler
b. Model yang Berorientasi pada Tujuan
c. Model Pengukuran (Measurement Model)
d. Model Kesesuaian (Congruence Model)
e. Model CIPP
f. Model Stake atau Model Countenance
g. Model Alkin
h. Model Brinkerhoff
i. Model Illuminative
j. Model Responsif
Dapat memahami pengertian dari pendekatan evaluasi, yaitu sudut pandang seseorang
dalam menelaah atau mempelajari evaluasi.
Dapat memahami macam-macam pendekatan evaluasi, yaitu Dilihat dari komponen
pembelajaran, pendekatan evaluasi dapat dibagi dua, yaitu pendekatan tradisional dan
pendekatan sistem. Dilihat dari penafsiran hasil evaluasi, pendekatan evaluasi dibagi
menjadi dua, yaitu criterion-referenced evaluation dan norm-referenced evaluation.
DAFTAR PUSTAKA
https://binham.wordpress.com/2012/01/07/model-model-evaluasi-pendidikan/
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19622/4/Chapter%20II.pdf
http://pecintamakalah.blogspot.co.id/2015/11/model-dan-pendekatan-evaluasi.html?m=1
http://wahyurosidin.blogspot.co.id/2016/06/karakteristik-model-dan-pendekatan.html
http://desman-spdi.blogspot.co.id/2015/03/model-model-evaluasi.html
Http://Www.Academia.Edu/6708864/Bab_Ii_Model_Pendekatan_Evaluasi_Program_A._Model
model_Evaluasi_Model_Evaluasi_Cipp_Model_Evaluasi_Ucla_Model_Evaluasi_Brinkerhoff_
Model_Evaluasi_Stake_Atau_Model_Countenance