Disusun oleh:
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Subhanallahu wa Ta’ala atas limpahan rahmat dan
inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang "Prosedur
Pengembangan Evaluasi Pembelajaran"
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang
terang benderang yang disinari oleh iman dan Islam.
Penulis sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah yang menjadi tugas
mata kuliah Evaluasi Pembelajaran dengan judul “Prosedur Pengembangan Evaluasi
Pembelajaran" ini dan mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
penulis selama pembuatan makalah ini.
Demikian yang dapat penulis sampaikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca. Penulis mengharapkan kritik dan saran, karena penulis sadar bahwa makalah yang
dibuat masih banyak kekurangan.
Penulis
[i]
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ......................................................................................................... 28
B. Saran ................................................................................................................... 29
[ii]
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu komponen yang harus dikiasai gura adalah evaluasi pembelajaran.
Kompetensi ini melintasi dengan tugas dan tanggung jawab guru dalam pembelajaran.
Kompetensi tersebut melintasi pula dengan instrumen skor kemampuan guru,yang salah
satu indikatornya adalah melakukan evaluasi pembelajaran, agar tahu kekurangan-
kekurangan dalam pembelajaran tersebut, sehingga mampu memperbaikinya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana prosedur pengembangan evaluasi pembelajaran?
2. Bagaimana pengembangan instrumentasi evaluasi pembelajaran?
3. Apa saja macam-macam model evaluasi pembelajaran?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui prosedur pengembangan evaluasi pembelajaran
2. Untuk mengetahui pengembangan instrumentasi evaluasi pembelajaran
3. Untuk mengetahui macam-macam model evaluasi pembelajaran
[1]
BAB II
PEMBAHASAN
Suatu kegiatan evaluasi dikatakan berhasil jika sang evaluator mengikuti prosedur
dalam melaksanakan evaluasi. Prosedur disini dimaksudkan sebagai langkah-langkah
pokok yang harus ditempuh dalam melakukan evaluasi. Tujuannya adalah agar evaluasi
yang diberikan sesuai dengan kebutuhan, sistematis, efisien dan dapat dipertanggung
jawabkan. Diantara prosedur tersebut adalah; perencanaan evaluasi, monitoring
pelaksanaan evaluasi, pengolahan data dan analisis, pelaporan hasil evaluasi, dan
penggunaan hasil evaluasi.
1. Perencanaan Evaluasi
[2]
mengklarifikasi masalah, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data, analisa
data dan kesimpulan.
b. Menentukan Tujuan Penilaian
d. Menyusun Kisi-Kisi
[3]
kisi-kisi adalah (1) dapat memilih materi, metode, media dan sumber belajar
yang tepat, sesuai dengan kompetensi yang telah di tetapkan; (2) sebagai
pedoman dan pegangan untuk menyusun soal atau isntrumen penilaian lain yang
tepat, sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah di
tetapkan. Dalam menyusun kisi-kisi harus memperhatikan domain hasil belajar
yang akan diukur dengan sistematika : (1) aspek recall, yang berkenaan dengan
aspek-aspek pengetahuan tentang istilah-istilah, definisi, fakta, konsep, metode
dan prinsip-prinsip; (2) aspek komprehensif, yaitu berkenaan dengan
kemampuan-kemampuan antara lain: menjelaskan, menyimpulkan suatu
informasi, menafsirkan fakta (grafik, diagram, tabel, dan lain-lain), mentransfer
pernyataan dari suatu bentuk ke dalam bentuk lain (pernyataan verbal ke non-
verbal atau dari verbal ke dalam bentuk rumus), memprakirakan akibat atau
konsekuensi logis dari suatu situasi; (3) aspek aplikasi yang meliputi
kemampuan-kemampuan antara lain: menerapkan hukum/prinsip/teori dalam
suasana sesungguhnya, memecahkan masalah, membuat (grafik, diagram dan
lain-lain), mendemonstrasikan penggunaan suatu metode, prosedur dan lain-
lain.
e. Mengembangkan Draft
[4]
coba dan revisi yang didasarkan atas: (1) analisis empiris, yang dimaksudkan
untuk mengetahui kelemahan-kelemahan setiap soal yang digunakan. Informasi
empiris pada umumnya menyangkut segala hal yang dapat memengaruhi
validitas soal meliputi: aspek-aspek keterbacaan soal, tingkat kesukaran soal,
bentuk jawaban, daya pembeda soal, pengaruh kultur, dan sebagainya; (2)
analisis rasional, yang dimaksudkan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan
setiap soal. Kedua analisis tersebut dilakukan pula terhadap instrumen evaluasi
dalam bentuk nontes.
Soal yang sudah di uji coba dan di analisis, direvisi kembali sesuai dengan
proporsi tingkat kesukaran soal dan daya pembeda. Dengan demikian, ada soal
yang masih dapat diperbaiki dari segi bahasa, atau direvisi total, baik
menyangkut pokok soal (stem) maupun alternatif jawaban (option) yang
kemudian dilakukan perakitan soal menjadi suatu instrumen yang terpadu
dengan memperhatikan validitas skor tes, nomor urut soal, pengelompokkan
bentuk soal, penataan soal dan sebagainya.
2. Pelaksanaan Evaluasi
a. Non-tes yang dimaksudkan untuk mengetahui perubahan sikap dan tingkah laku
peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran, pendapat terhadap
kegiatan pembelajaran, kesulitan belajar, minat belajar, motivasi belajar dan
mengajar dan sebagainya. Instrumen yang digunakan (1) angket; (2) pedoman
[5]
observasi; (3) pedoman wawancara; (4) skala sikap; (5) skala minat; (6) daftar
chek; (7) rating scale; (8) anecdotal records; (9) sosiometri; (10) home visit
b. Untuk mengetahui tingkat penguasaan kompetensi menggunakan bentuk tes
pensil dan kertas (paper and pencil test) dan bentuk penilaian
kinerja (performance), memberikan tugas atau proyek dan menganalisis hasil
kerja dalam bentuk portofolio.
[6]
Monitoring dilakukan untuk melihat apakah pelaksanaan evaluasi
pembelajaran telah sesuai dengan perencanaan evaluasi yang telah ditetapkan atau
belum, dengan tujuan untuk mencegah hal-hal negatif dan meningkatkan efisiensi
pelaksanaan evaluasi. Monitoring mempunyai dua fungsi pokok (1) melihat
relevansi pelaksanaan evaluasi dengan perencaan evaluasi; (2) melihat hal-hal apa
yang terjadi selama pelaksanaan evaluasi dengan mencatat, melaporkan dan
menganalisis faktor-faktor penyebabnya. Dalam pelaksanaannya dapat digunakan
teknik : observasi partisipatif, wawancara bebas atau terstruktur, dan studi
dokumentasi. Hasil dari monitoring dapat dijadikan landasan dan acuan untuk
memperbaiki pelaksanaan evaluasi selanjutnya.
4. Pengolahan Data
[7]
a. Penafsiran kelompok
b. Penafsiran individual
[8]
dilaporkan dalam bentuk angka yang menunjukkan penguasaan komptensi dan
tingkat penguasaannya
b. Laporan pencapaian, yang menggambarkan kualitas pribadi peserta didik
sebagai internalisasi dan kristalisasi setelah peserta didik belajar melalui
berbagai kegiatan, baik intra, ekstra dan ko kurikuler
[9]
e. Memprediksi Masa Depan Peserta Didik, tujuannya adalah untuk mengetahui
sikap, bakat, minat dan aspek-aspek kepribadian lainnya dari peserta didik, serta
dalam hal apa peserta didik diangap paling menonjol sesuai dengan indikator
keunggulan, agar dapat dianalisis dan dijadikan dasar untuk pengembangan
peserta didik dalam memilih jenjang pendidikan atau karier pada masa yang
akan datang
Menurut pendapat Colton dan Covert instrumen adalah suatu alat yang
digunakan untuk mengukur fenomena, merekam informasi yang ditujukan untuk
penilaian dan pengambilan keputusan.1 An instrument is a tool for measuring,
observing, or documenting quantitative data. Instrumen adalah alat untuk mengukur,
mengamati, atau mendokumentasikan data.2 Menurut Suharsimi Arikunto instrumen
pengumpulan data adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam
kegiatannya mengumpulkan agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan
dipermudah olehnya.3 Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
instrumen penelitian adalah alat–alat yang digunakan untuk memperoleh atau
mengumpulkan data dalam rangka memecahkan masalah penelitian atau mencapai
tujuan penelitian ataupun pengambilan sebuah keputusan.
1
Colton, D., and Covert, R.W, Designing and ConstructingInstruments for social research and Evaluation, (San
Fransisco: John Wiley and Sons Inc, 2007), hlm. 5
2
Cresswell, Jhon W, Eduactional Research: Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and
Qualitative Research, (New Jersey: Person Education, Inc, 2012), hlm. 151
3
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian suatu pendekatan praktik (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), hlm. 160
4
Cresswell, Jhon W, op. cit., hlm. 158
[10]
Menurut Muljono langkah-langkah penyusunan dan pengembangan instrumen
adalah sebagai berikut : 5
a. Berdasarkan sintesis dari teori-teori yang dikaji tentang suatu konsep dari variabel
yang hendak diukur, kemudian dirumuskan konstruk dari variabel tersebut.
Konstruk pada dasarnya adalah bangun pengertian dari suatu konsep yang
dirumuskan oleh peneliti.
b. Berdasarkan konstruk tersebut dikembangkan dimensi dan indicator variabel yang
sesungguhnya telah tertuang secara eksplisit pada rumusan konstruk variabel
pada langkah pertama.
c. Membuat kisi-kisi instrumen dalam bentuk tabel spesifikasi yang memuat
dimensi, indikator, nomor butir dan jumlah butir untuk setiap dimensi dan
indikator.
d. Menetapkan besaran atau parameter yang bergerak dalam suatu rentangan
kontinum dari suatu kutub ke kutub lain yang berlawanan, misalnya dari rendah
ke tinggi, dari negatif ke positif, dari otoriter ke demokratik, dari dependen ke
independen, dan sebagainya.
e. Menulis butir-butir instrumen yang dapat berbentuk pernyataan atau
pertanyaan.Biasanya butir instrumen yang dibuat terdiri atas dua kelompok yaitu
kelompok butir positif dan kelompok butir negatif.Butir positif adalah pernyataan
mengenai ciri atau keadaan, sikap atau persepsi yang positif atau mendekat ke
kutub positif, sedang butir negatif adalah pernyataan mengenai ciri atau keadaan,
persepsi atau sikap negatif atau mendekat ke kutub negatif.
f. Butir-butir yang telah ditulis merupakan konsep instrumen yang harus melalui
proses validasi, baik validasi teoretik maupun validasi empirik.
g. Tahap validasi pertama yang ditempuh adalah validasi teoretik, yaitu melalui
pemeriksaan pakar atau melalui panel yang pada dasarnya menelaah seberapa
jauh dimensi merupakan jabaran yang tepat dari konstruk, seberapa jauh indikator
merupakan jabaran yang tepat dari dimensi, dan seberapa jauh butir-butir
instrumen yang dibuat secara tepat dapat mengukur indikator.
h. Revisi atau perbaikan berdasarkan saran dari pakar atau berdasarkan hasil panel.
i. Setelah konsep instrumen dianggap valid secara teoretik atau secara konseptual,
dilakukanlah penggandaan instrumen secara terbatas untuk keperluan ujicoba.
5
Djali. H., Muljono P, Pengukuran Dalam Bidang Pendidikan, (Jakarta: Grasindo, 2007), hlm 3-4
[11]
j. Ujicoba instrumen di lapangan merupakan bagian dari proses validasi empirik.
Melalui uji coba tersebut, instrumen diberikan kepada sejumlah responden
sebagai sampel uji-coba yang mempunyai karakteristik sama atau ekivalen
dengan karakteristik populasi penelitian. Jawaban atau respon dari sampel ujicoba
merupakan data empiris yang akan dianalisis untuk menguji validitas empiris atau
validitas kriteria dari instrumen yang dikembangkan.
k. Pengujian validitas dilakukan dengan menggunakan kriteria baik kriteria internal
maupun kriteria eksternal. Kriteria internal, adalah instrumen itu sendiri sebagai
suatu kesatuan yang dijadikan kriteria sedangkan kriteria eksternal, adalah
instrumen atau hasil ukur tertentu di luar instrumen yang dijadikan sebagai
kriteria.
l. Berdasarkan kriteria tersebut diperoleh kesimpulan mengenai valid atau tidaknya
sebuah butir atau sebuah perangkat instrumen. Jika kita menggunakan kriteria
internal, yaitu skor total instrumen sebagai kriteria maka keputusan pengujian
adalah mengenai valid atau tidaknya butir instrumen dan proses pengujiannya
biasa disebut analisis butir. Dalam kasus lainnya, yakni jika kita menggunakan
kriteria eksternal, yaitu instrumen atau ukuran lain di luar instrumen yang dibuat
yang dijadikan kriteria maka keputusan pengujiannya adalah mengenai valid atau
tidaknya perangkat instrumen sebagai suatu kesatuan.
m. Untuk kriteria internal atau validitas internal, berdasarkan hasil analisis butir
maka butir-butir yang tidak valid dikeluarkan atau diperbaiki untuk diujicoba
ulang, sedang butir-butir yang valid dirakit kembali menjadi sebuah perangkat
instrumen untuk melihat kembali validitas kontennya berdasarkan kisi-kisi. Jika
secara konten butir-butir yang valid tersebut dianggap valid atau memenuhi
syarat, maka perangkat instrumen yang terakhir ini menjadi instrumen final yang
akan digunakan untuk mengukur variabel penelitian kita
[12]
dibuat untuk mengukur indikator- indikator yang telah ditetapkan dengan cara, seperti
telah dikemukakan pada proses penyusunan dan pengembangan instrumen point d dan
e. Karena bentuk item-item instrumen yang akan dibuat harus sesuai dengan
instrumen yang dipilih, maka. sebelum menulis item-item instrumen terlebih dahulu
peneliti harus memilih jenis instrumen apa yang sesuai untuk mengukur indikator dari
variabel yang akan diteliti.
a. Butir harus langsung mengukur indikator, yaitu penanda konsep yang berupa
sesuatu kenyataan atau fakta (das solen) seperti keadaan, perasaan, pikiran,
kualitas, kesediaan, dan sebagainya.
b. Jawaban terhadap butir instrumen dapat mengindikasikan ukuran indikator
apakah keadaan responden berada atau dekat ke kutub positif atau ke kutub
negatif. Misalnya jika berada atau dekat ke kutub positif menandakan sikap
positif, motivasi tinggi, produktivitas tinggi, dan seterusnya. Sedang jika berada
atau dekat ke kutub negatif berarti menandakan sikap negatif, motivasi rendah,
produktivitas rendah, dan seterusnya.
c. Butir dapat berbentuk pertanyaan atau pernyataan dengan menggunakan bahasa
yang sederhana, jelas, tidak mengandung tafsiran ganda, singkat dan komunikatif.
d. Opsi dari setiap pertanyaan atau pernyataan itu harus relevan menjawab
pertanyaan atau pernyataan tersebut.
a. Perencanaan
b. Penulisan butir soal
c. Penyuntingan
d. Ujicoba
e. Penganalisaan hasil
[13]
f. Revisi
Nama model ini diambil dari nama pengembangan yaitu Tyler. Dalam buku
Basic Principle of Curriculum and Instruction. Tyler banyak mengemukakan ide dan
gagasannya tentang evaluasi. Model ini dibangun atas dua dasar pemikiran. Pertama
evaluasi ditujukan pada tingkah laku peserta didik. Kedua evaluasi harus dilakukan
pada tingkah awal peserta didik sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran dan
sesudah melaksanakan kegiatan pembelajaran (hasil). Penggunaan model Tyler
memerlukan informasi perubahan tingkah laku terutama pada saat sebelum dan
sesudah terjadinya pembelajaran. Istilah yang popular di kalangan guru adalah tes
awal (pre test) dan tes akhir (post test). Model Tyler disebut juga nodel black box,
karena model ini sangat menekankan adanya tes awal dan tes akhir. Menurut Tyler
ada tiga langkah pokok yang harus dilakukan yaitu menentukan tujuan pembelajaran
yang akan di evaluasi, menentukan situasi dimana peserta didik memperoleh
kesempatan untuk menunjukan tingkah laku yang berhubungan dengan tujuan, dan
menentukan alat evaluasi yang akan di pergunakan untuk megukur tingkah laku
peserta didik.
[14]
3. Model pengukuran
Model evaluasi ini banyak dikenal dan diterapkan oleh para evaluator. Konsep
evaluasi model CIPP (Context, Input, Process and Product) pertama kali dikenalkan
oleh Stufflebeam pada 1965 sebagai hasil usahanya mengevaluasi ESEA (the
Elementary and Secondary Education Act). Menurut Madaus, Scriven, Stufflebeam,
tujuan penting evaluasi model ini adalah untuk memperbaiki, dikatakan: “the CIPP
[15]
approach is based on the view that the most important purpose of evaluation is not to
prove but to improve". Evaluasi model Stufflebeam terdiri dari empat dimensi, yaitu:
context, input, process, dan product, sehingga model evaluasinya diberi nama CIPP.
Keempat kata yang disebutkan dalam singkatan CIPP tersebut merupakan sasaran
evaluasi, yaitu komponen dan proses sebuah program kegiatan.
[16]
c) Evaluasi Proses (Process Evaluation)
[17]
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Data yang dihasilkan akan sangat
menentukan apakah program diteruskan, dimodifikasi atau dihentikan. Model
CIPP saat ini disempurnakan dengan satu komponen O, singkatan dari outcome,
sehingga menjadi model CIPPO. Bila model CIPP berhenti pada mengukur
output, sedangkan CIPPO sampai pada implementasi dari output.
Kata discrepancy berarti kesenjangan, model ini menurut Madaus, Sriven &
Stufflebeam berangkat dari asumsi bahwa untuk mengetahui kelayakan suatu
program, evaluator dapat membandingkan antara apa yang seharusnya diharapkan
terjadi (standard) dengan apa yang sebenarnya terjadi (performance). Dengan
membandingkan kedua hal tersebut, maka dapat diketahui ada tidaknya kesenjangan
(discrepancy), yaitu standar yang ditetapkan dengan kinerja yang sesungguhnya.
Model ini dikembangkan oleh Malcolm Provus, bertujuan untuk menganalisis suatu
program apakah program tersebut layak diteruskan, ditingkatkan, atau dihentikan.
[18]
evaluasi, yaitu description dan judgment, dan membedakan adanya tiga tahap, yaitu:
antecedent (context), transaction/process, dan outcomes. Deskripsi menyangkut dua
hal yang menunjukkan posisi sesuatu yang menjadi sasaran evaluasi, yaitu: apa tujuan
yang diharapkan oleh program, dan apa yang sesungguhnya terjadi. Evaluator
menunjukkan langkah pertimbangan yang mengacu pada standar.
[19]
Catalanello & Kirkpatrick menjelaskan bahwa evaluasi terhadap reaksi
peserta pelatihan berarti mengukur kepuasan peserta. Program pelatihan dianggap
efektif apabila proses pelatihan dirasa menyenangkan peserta, sehingga mereka
tertarik dan termotivasi untuk belajar dan berlatih. Sebaliknya, apabila peserta
tidak merasa puas terhadap proses pelatihan yang diikutinya, maka mereka tidak
akan termotivasi untuk mengikuti pelatihan lebih lanjut. Keberhasilan proses
kegiatan pelatihan tidak terlepas dari minat, perhatian, dan motivasi peserta dalam
mengikuti jalannya kegiatan ini. Orang akan belajar lebih baik manakala mereka
memberi reaksi positif terhadap lingkungan belajar. Kepuasan peserta dapat dikaji
dari beberapa aspek, yaitu materi yang diberikan; fasilitas yang tersedia; strategi
penyampaian materi yang digunakan media pembelajaran; jadwal kegiatan,
sampai menu dan penyajian konsumsi yang disediakan. Instrumen untuk
mengukur reaksi antara lain dengan reaction sheet dalam bentuk angket. Menurut
Kirkpatrick dalam menentukan instrumen tersebut dapat digunakan prinsip
mampu mengungkap informasi sebanyak mungkin; tetapi dalam pengisiannya
seefisien mungkin. Evaluasi pada level ini difokuskan pada reaksi peserta yang
terjadi pada saat kegiatan dilakukan, disebut juga sebagai evaluasi proses
pelatihan. .
[20]
(c) keterampilan apa yang telah dikembangkan atau diperbaiki.
Evaluasi pada tahap ini difokuskan pada hasil akhir yang terjadi karena
peserta telah mengikuti suatu program. Beberapa contoh dari hasil akhir dalam
konteks perusahaan antara lain: kenaikan produksi, peningkatan kualitas,
penurunan biaya, penurunan kecelakaan kerja, kenaikan keuntungan. Cara
melakukan evaluasi hasil akhir menurut Kirkpatrick & Kirkpatrick adalah
dengan: (1) membandingkan kelompok kontrol dengan kelompok peserta
program, (2) mengukur kinerja sebelum dan setelah mengikuti pelatihan, (3)
membandingkan biaya yang digunakan dengan keuntungan yang didapat setelah
dilakukan pelatihan, dan bagaimana peningkatannya.
[21]
Evaluasi program model Kirkpatrick dapat diterapkan dalam program
pembelajaran di sekolah, karena: (1) fokusnya sama, yaitu diarahkan pada proses
dan hasil belajar dengan mengikuti suatu program, (b) perubahan pembelajaran
pada empat level sama-sama diarahkan pada aspek pengetahuan, sikap, dan
kecakapan. Namun demikian, penerapan evaluasi model ini dalam program
pembelajaran perlu dimodifikasi dengan setting sekolah.
[22]
Brinkerhoff, et.al. mengemukakan tiga pendekatan evaluasi yang disusun
berdasarkan penggabungan elemen-elemen yang sama, yaitu:
[23]
Selain berbagai model di atas, Nana Sudjana & Ibrahim mengelompokkan
model-model evaluasi pendidikan menjadi empat kelompok berdasarkan
perkembangannya, yaitu: measurement model, congruence model, educational
system evaluation model dan illuminative model.
Model ini dapat dipandang sebagai model yang tertua di dalam sejarah
penilaian dan lebih banyak dikenal di dalam proses penilaian pendidikan. Tokoh-
tokoh penilaian yang dipandang sebagai pengembang model ini adalah R. Thorndike
dan R.I. Ebel. Sesuai dengan namanya, model ini sangat menitikberatkan peranan
kegiatan pengukuran di dalam melaksanakan proses evaluasi. Pengukuran dipandang
sebagai suatu kegiatan yang ilmiah dan dapat diterapkan dalam berbagai bidang
persoalan termasuk ke dalam bidang pendidikan. Pengukuran, menurut model ini
tidak dapat dilepaskan dari pengertian kuantitas atau jumlah. Jumlah ini akan
menunjukkan besarnya (magnitude) objek, orang ataupun peristiwa sehingga dengan
demikian hasil pengukuran itu selalu dinyatakan dalam bentuk bilangan.
Model yang ini dipandang sebagai reaksi terhadap model yang pertama,
sekalipun dalam beberapa hal masih menunjukkan adanya persamaan dengan model
yang pertama. Tokoh-tokoh evaluasi yang merupakan pengembangan model ini antara
lain W. Tyler, John B. Carrol, dan Lee J. Cronbach. Tyler menggambarkan
pendidikan sebagai suatu proses yang di dalamnya terdapat tiga hal yaitu: tujuan
pendidikan, pengalaman belajar, dan penilaian terhadap hasil belajar. Kegiatan
evaluasi dimaksudkan sebagai kegiatan untuk melihat sejauh mana tujuan-tujuan
[24]
pendidikan telah dapat dicapai siswa dalam bentuk hasil belajar yang mereka
perlihatkan pada akhir kegiatan pendidikan. Mengingat tujuan pendidikan
mencerminkan perubahan-perubahan tingkah laku yang diinginkan pada anak didik,
maka yang penting dalam proses evaluasi adalah memeriksa sejauhmana perubahan-
perubahan tingkah laku yang diinginkan itu telah terjadi pada anak didik.
Selain untuk kepentingan bimbingan siswa dan perbaikan sistem, evaluasi ini
dimaksudkan pula untuk memberikan informasi kepada pihak-pihak di luar
pendidikan tentang sejauh mana tujuan-tujuan yang diinginkan itu telah dapat dicapai
oleh sistem pendidikan yang ada. Secara singkat dapat dikatakan bahwa model
evaluasi berusaha memeriksa persesuaian (congruence) antara tujuan-tujuan
pendidikan yang diinginkan dengan hasil belajar yang telah dicapai.
(2) Bagaimana implementasi dipengaruhi oleh situasi sekolah tempat program yang
bersangkutan dikembangkan
[25]
dan prediksi. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan evaluasi model yang keempat
ini lebih banyak menekankan pada penggunaan judgement.
[26]
13. Model Logik (Logic Model)
Model logik adalah suatu penggambaran program yang logis dan tepat
menurut kondisi tertentu dalam rangka memecahkan problem. Pada umumnya bentuk
penggambaran menggunakan diagram alur yang menjelaskan aktivitas yang
direncanakan dan outcome yang diharapkan dari model evaluasi ini. Senada dengan
pendapat di atas, W.K. Kellogg Foundation menjelaskan bahwa: basically, a logic
model is a systematic and visual way to present and share your under standing of the
relationships among the resources you have to operate program, the activities you
plan, and the changes or results you hope to achieve. Kekhasan dari model logik
adalah penggunaan tabel dan grafik alir yang berisi input, aktivitas, dan hasil.
Sebagian besar menggunakan teks dan anak panah atau grafik untuk menggambarkan
urutan aktivitas untuk menghasilkan perubahan, dan bagaimana aktivitas tersebut
terhubung dengan hasil program yang diharapkan tercapai. Dibutuhkan keputusan
yang tepat sebelum menggunakan model logik, karena penyusunan model logik
merupakan hal yang kompleks dan menyangkut satu dari tiga pendekatan, yaitu:
pendekatan model (conceptual), pendekatan outcomes, dan pendekatan aktivitas
(applied) atau merupakan campuran dari beberapa tipe di atas.
Model logik telah banyak digunakan dalam berbagai bidang semenjak tahun
1980-an dan awal 1990-an. Sebagai contoh, model logik telah digunakan untuk
menggambarkan program di bidang pendidikan, kesehatan, pembangunan
internasional, kerja sosial, pelayanan sosial, serta bidang-bidang lain.Elemen model
logik yang penting menurut United Way of America (1996) terdiri dari tiga bagian,
yaitu: inputs, outputs (activities and participants or methodology), and outcomes.
Inputs berkaitan dengan sumber-sumber penting yang akan ditanamkan dalam
program (what we invest), outputs berkaitan dengan aktivitas apa yang dijalankan
(what we do, and who we reach) dan outcome berkaitan dengan pengaruh atau
perubahan yang diinginkan dengan adanya program yang dijalankan. Agar model
logik lebih fokus, maka perlu dibuat cakupannya, misalnya menyangkut jangka waktu
program dilaksanakan, jangka waktu output dan outcomes yang dikehendaki, dan
bentuk perubahan yang diinginkan.
[27]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Perencanaan
2. Penulisan butir soal
3. Penyuntingan
4. Ujicoba
5. Penganalisaan hasil
6. Revisi
1. Model Tyler.
2. Model yang berorientasi pada tujuan
3. Model pengukuran
4. Model kesesuaian (Ralph W. Tyler, John B.Carrol, and Lee J.Cronbach)
5. Evaluasi Model CIPP
6. Evaluasi Model Provus (Discrepancy Model)
[28]
7. Evaluasi Model Stake (Countenance Model)
8. Evaluasi Model Kirkpatrick
9. Evaluasi Model Brinkerhoff
10. Measurement Model
11. Congruence Model
12. Illuminative Model
13. Model Logik (Logic Model)
B. Saran
Demikianlah makalah ini kami susun, semoga dapat bermanfaat semua pihak,
khususnya bagi pembaca Dalam penyusunan makalah ini tentunya banyak kesalahan
baik yang di sengaja maupun tidak di sengaja serta jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, kami mohon kritik dan saran dari semua pihak supaya dalam penyusunan makalah
berikutnya menjadi lebih baik. Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan
kepada kita semua.
[29]
Daftar Pustaka
[iii]