Anda di halaman 1dari 24

BAB III

TEORI DASAR

3.1 Gas Deliverability


Suatu hubungan antara penurunan laju produksi dengan tekanan reservoir,
sebagai akibat berlangsungnya proses “depletion” dari suatu reservoir gas
diperlukan dalam perencanaan pengembangan lapangan (Abdassah, 1998).
Hubungan ini (deliverability) bersifat relatif konstan selama masa produksi dari
sumur.
Pada masa awal dari tes penentuan deliverability ini sudah dikenal persamaan
empiris yang selaras dengan hasil pengamatan. Persamaan ini menyatakan
hubungan antara Qsc terhadap ∆P2 pada kondisi aliran yang stabil.
Qsc = C (Pr2 – Pwf2)n (3-1)
Dimana :
Qsc = Laju produksi pada keadaan standar, (scf/d)
Pr = Tekanan reservoir rata-rata pada waktu sumur ditutup, (psia)
Pwf = Tekanan alir dasar sumur, (psia)
C = Koefisien performance, tergantung pada satuan dari Qsc dan P
n = Harga konstan (berkisar antara 0,56 – 1)

Pembuatan grafik dengan sistem koordinat log-log berdasarkan persamaan


(3-1) akan menghasilkan hubungan yang linier.
log Qsc = log C + n . log ∆P2 (3-2)
∆P2 = (Pr2 – Pwf2) (3-3)
Contoh grafik dapat dilihat pada (Gambar 3.1). Harga C dapat dicari secara
grafis, yaitu berdasarkan titik perpotongan grafik dengan sumbu mendatar (Qsc).
Sedangkan harga n diperoleh dari sudut kemiringan grafik dengan sumbu tegak
(∆P2).

15
Gambar 3.1 Hubungan Linier antara ∆P2 vs Qsc dalam skala log-log
(Abdassah, 1998 )

Satuan ukuran lain yang digunakan dalam analisis “deliverability” adalah


“Absolute Open Flow Potential” (AOFP). Besar potensial ini diperoleh, bila
harga Pwf sama dengan nol dimasukkan ke dalam persamaan (3-1).
AOF= C (Pr2)n (3-4)
Analisis “deliverability” berdasarkan persamaan (3-1) dikenal sebagai
analisis konvensional. Permeabilitas dari reservoir gas akan mempengaruhi lama
waktu aliran mencapai kondisi stabil. Pada reservoir yang agak ketat
(permeabilitas kecil) kestabilan dicapai pada waktu yang lama. Menururut
Abdassah (1998) sesuai dengan keadaan ini, maka ada tiga macam test yang dapat
digunakan untuk memperoleh ”deliverability”, yaitu :

3.1.1 Back Pressure Test


Pierce dan Rawlins (1929) merupakan orang pertama yang mengusulkan
suatu metode tes sumur gas untuk mengetahui kemampuan sumur berproduksi
dengan memberikan tekanan balik (back pressure) yang berbeda-beda.
Pelaksanaan dari tes secara konvensional ini dimulai dengan menstabilkan

16
tekanan reservoir dengan jalan menutup sumur, untuk menentukan harga Pr.
Selanjutnya sumur diproduksi dengan laju sebesar Qsc hingga aliran mencapai
stabil, kemudian laju alir diganti sebanyak empat kali. Setiap perubahan laju alir
tidak didahului dengan penutupan sumur. Adapun langkah dalam pelaksanaan test
ini, sebagai berikut :
1. Tekanan reservoir distabilkan dengan cara menutup sumur. Didapat Pr.
2. Sumur diproduksi sebesar Q1 sampai tekanan stabil. Didapat Q1 dan Pwf1.
3. Sumur diproduksi sebesar Q2 sampai tekanan stabil. Didapat Q2 dan Pwf2.
4. Sumur diproduksi sebesar Q3 sampai tekanan stabil. Didapat Q3 dan Pwf3.
5. Sumur diproduksi sebesar Q4 sampai tekanan stabil. Didapat Q4 dan Pwf4.
Dimana Q1<Q2<Q3<Q4 dan antara langkah 1 ke langkah berikutnya tidak
perlu dilakukan penutupan sumur. Gambaran skematik dari proses Back Pressure
Test dapat dilihat pada (Gambar 3.2).

Gambar 3.2 Diagram Laju Produksi dan Tekanan Back Pressure Test
(Abdassah, 1998)

Analisis deliverability didasarkan pada kondisi aliran yang stabil. Untuk


keperluan ini diambil tekanan alir di dasar sumur, Pwf, pada akhir dari periode
suatu laju produksi. Analisis data untuk keperluan pembuatan grafik deliverability
didasarkan pada metode konvensional. Untuk itu disiapkan tabulasi perhitungan
seperti berikut ini (Tabel 3-1).

17
Tabel 3.1
Pengolahan Data untuk Analisis Back Pressure
(Abdassah, 1998)

Qsc P ∆P2

0 Pr -

Q1 Pwf1 (Pr2-Pwf12)

Q2 Pwf2 (Pr2-Pwf22)

Q3 Pwf3 (Pr2-Pwf32)

Q4 Pwf4 (Pr2-Pwf42)

∑Q

3.1.2 Isochronal Test


Penyelesaian Back Pressure Test akan membutuhkan waktu yang lama, bila
untuk masing-masing harga laju produksi yang direncanakan membutuhkan waktu
stabilisasi yang lama. Untuk mengatasi hal ini Cullender (1955) mengusulkan
suatu tes berdasarkan anggapan, bahwa jari-jari daerah penyerapan yang efektif
(effective drainage radius), rd, adalah fungsi dari tD dan tidak dipengaruhi oleh
laju produksi. Cullender mengusulkan, bahwa suatu seri test produksi dengan
menggunakan laju yang berbeda, tetapi dengan selang waktu yang sama, akan
memberikan grafik log ∆P2 vs log Qsc yang linier dengan harga eksponen n yang
sama, seperti untuk kondisi aliran stabil.
Metode test yang diusulkan oleh cullender ini dikenal sebagai test isochronal.
Tes ini terdiri dari serangkaian proses penutupan sumur sampai mencapai stabil,
Pr, yang disusul dengan pembukaan sumur, sehingga menghasilkan laju produksi
tertentu selama jangka waktu t, tanpa menanti kondisi stabil. Setiap perubahan
laju produksi didahului oleh penutupan sumur sampai tekanan mencapai stabil, Pr.

18
Salah satu tes produksi ini dilakukan sampai mencapai kondisi stabil. Gambar
skematis dari proses Isochronal Test dapat dilihat pada (Gambar 3.3). Adapun
langkah dalam pelaksanaan test ini, sebagai berikut:
1. Tekanan reservoir distabilkan dengan cara menutup sumur. Didapat Pr1.
2. Sumur dibuka selama waktu t. didapat Q1 dan Pwf1.
3. Sumur ditutup selama waktu ts. Didapat Pr2.
4. Sumur dibuka selama waktu t. didapat Q2 dan Pwf2.
5. Sumur ditutup selama waktu ts. Didapat Pr3.
6. Sumur dibuka selama waktu t. Didapat Q3 dan Pwf3.
7. Sumur ditutup selama waktu ts. Didapat Pr4.
8. Sumur dibuka selama waktu t. Didapat Q4 dan Pwf4.
9. Sumur dibuka sebesar Qext dan ditunggu sampai P stabil sebesar Pwfext.

Gambar 3.3 Diagram Laju Produksi dan Tekanan Isochronal Test


(Beggs, 1984)

19
Analisis data dilaksanakan dengan mencatat harga tekanan alir dasar sumur
untuk jangka waktu alir yang sama bagi masing-masing produksi yang
direncanakan. Berdasarkan (Gambar 3.3), maka data yang ditabulasikan seperti
pada (Tabel 3-2)

Tabel 3.2
Pengolahan Data untuk Analisis Isochronal Test
(Abdassah, 1998)

Tekanan di
Jenis Kegiatan Lama Kegiatan Laju Produksi
Dasar Sumur

Penutupan Awal ts PS -

t1 Pwf1 (1) Q (1)*


Buka Sumur (1)
t2 Pwf2 (1) Q2 (1)*

Tutup ts (2) Pr -

t1 Pwf1 (2) Q1 (2)


Buka (2)
t2 Pwf2 (2) Q2 (2)

Tutup ts (3) Pr -

t1 Pwf1 (3) Q1 (3)


Buka (3)
t2 Pwf2 (3) Q2 (3)

Tutup ts (4) Pr -

t1 Pwf1 (4) Q1 (4)


Buka (4)
t2 Pwf2 (4) Q2 (4)

Aliran yang Stabil text Pwf (5) Q (5)


(*) Walaupun digunakan ukuran jepitan yang sama, mungkin laju produksi
yang diamati tidak sama bila perbedaannya tidak besar, maka harga Q
tidak dirata-ratakan bagi keperluan pembuatan grafik deliverability.

20
3.1.3 Modified Isochronal Test
Metode ini merupakan pengembangan dari metode isochronal. Pada reservoir
yang ketat, penggunaan tes isochronal belum tentu menguntungkan bila
diinginkan penutupan sumur sampai mencapai keadaan stabil (Katz dkk,1959),
telah mengusulkan suatu metode untuk memperoleh hasil yang mendekati hasil
tes isochronal. Perbedaan metode ini dengan metode lain terletak pada persyaratan
bahwa penutupan sumur tidak perlu mencapai stabil. Selain dari itu, selang waktu
penutupan dan pembukaan sumur dibuat sama besar.
Pengolahan data untuk analisis deliverability sama seperti pada metode
isochronal, kecuali untuk harga Pr diganti dengan Pws, yaitu harga tekanan yang
dibaca pada akhir dari setiap massa penutupan sumur. Makin banyak garis
panduan, makin besar kemungkinan untuk mendapatkan garis stabil dengan slope
yang mendekati slope garis panduan rata-rata. Untuk itu biasanya dilakukan test
isochronal dengan pembukaan sumur yang bertingkat (dua atau tiga tingkat)
sesuai ketelitian yang diinginkan. Gambaran skematis dari proses Modified
Isochronal Test dapat dilihat pada (Gambar 3.4). Adapun langkah dalam
perencanaan test isochronal dengan dua tingkat, sebagai berikut :
1. Tekanan reservoir distabilkan dengan cara menutup sumur. Didapat Pr1.
2. Sumur dibuka selama waktu t1. didapat Q1 dan Pwf1.
3. Sumur dibuka terus sampai waktu t2. didapat Q2 dan Pwf2.
4. Sumur ditutup selama waktu ts. Didapat Pr2.
5. Sumur dibuka selama waktu t. didapat Q3 dan Pwf3.
6. Sumur dibuka terus sampai t2. didapat Q4 dan Pwf4.
7. Sumur ditutup selama waktu ts. Didapat Pr3.
8. Sumur dibuka selama waktu t. Didapat Q5 dan Pwf5.
9. Sumur dibuka terus sampai t2. didapat Q6 dan Pwf6.
10. Sumur ditutup selama waktu ts. Didapat Pr4.
11. Sumur dibuka selama waktu t. Didapat Q7 dan Pwf7.
12. Sumur dibuka terus sampai t2. didapat Q8 dan Pwf8.
13. Sumur dibuka sebesar Qext dan ditunggu sampai P stabil sebesar Pwfext.

21
Gambar 3.4 Diagram Laju Produksi dan Tekanan Modified Isochronal
(Beggs, 1984)

3.2 Persamaan Dasar Aliran


Dasar dari persamaan aliran adalah persamaan kesetimbangan energi antara
dua titik dalam suatu sistem. Bentuk persamaan kesetimbangan energi ini, secara
sederhana adalah energi dari fluida yang masuk ke dalam sistem ditambah kerja
yang dilakukan oleh fluida ditambah energi panas yang ditambahkan sama dengan
energi yang meninggalkan sistem tersebut (Beggs, 2002).
Menurut Beggs (2002) persamaan dasar aliran dibagi menjadi dua, yaitu:
3.2.1 Aliran Laminar Satu Fasa
Aliran laminar adalah apabila sebuah aliran mempunyai kecepatan yang
relatif rendah atau fluidanya memiliki viskositas yang tinggi, gangguan yang
mungkin dialami oleh medan aliran itu akibat getaran, ketidakteraturan
permukaan batas dan lainnya, relatif lebih cepat terendam oleh viskositas fluida

22
aliran tersebut. Dengan kata lain, fluida mengalir tenang tanpa diiringi oleh
pusaran (vorteks) meskipun terdapat gangguan di sepanjang aliran fluida.

3.2.2 Aliran Turbulen Satu Fasa


Aliran turbulen adalah aliran fluida yang bersifat chao (terlihat tak beraturan)
yang dicirikan dengan keberadaan pusaran-pusaran (vorteks) fluida. Tingginya
koefisien gesek berpengaruh secara langsung kepada besarnya penurunan tekanan
dan pada akhirnya kepada besarnya energi yang diperlukan untuk mengalirkan
fluida.
Dalam aliran turbulen, faktor gesekan (f) ditentukan berdasarkan hasil
percobaan yang melibatkan kecepatan fluida dan gradien tekanan. Dari percobaan
yang telah dilakukan ternyata bahwa baik profil kecepatan maupun gradient
tekanan sangat tergantung pada karakteristik permukaan pipa. Berikut adalah
persamaan empiris yang dapat digunakan untuk menentukan faktor gesekan.
Untuk pipa kasar, dipakai persamaan empiris Nikuradse, eksperimen klasik
dilakukan oleh J. Nikuradse adalah dengan menyemen butiran-butiran pasir yang
seukuran ke permukaan bagian dalam pipa mulus sehingga ia bisa mendapatkan
rentang kekasaran relatif dari sekitar 0,001 hingga 0,033.
Persamaan Colerbook & White bisa dipakai untuk pipa halus dan pipa kasar
pada aliran turbulen. Untuk NRe yang cukup besar bisa digunakan persamaan
Nikuradse. Dalam dinding pipa biasanya halus, kekasaran pipa berdasarkan pada
kekasaran pipa tersebut, metode pembuatannya serta pengaruh dari lingkungan.
Kekasaran relatif (𝜖/𝐷) adalah perbandingan kekasaran pipa absolut terhadap
diameter dalam pipa.
Untuk kisaran kekasaran relatif pipa (𝜖/𝐷) antara 10-6 s/d 10-2 dan bilangan
reynold (NRe) antara 5 x 103 s/d 108 bisa dipakai persamaan lain.
1 𝜖 21,25
= 1,14 − 2. log⁡(𝑑 + ⁡⁡⁡⁡⁡0,9 ) (3-5)
√𝑓 𝑁𝑅𝑒

Hal yang perlu dipahami adalah bahwa harga 𝜖 bukanlah menggambarkan


sifat pipa, tetapi merupakan hasil pengukuran. Apabila data tentang kekasaran
pipa ini tidak diketahui, biasanya dipakai harga 𝜖 sebesar 0,0006 ft.

23
3.3 Aliran di Lubang Sumur
Menurut Beggs (2002) terdapat beberapa metode dapat digunakan untuk
menentukan P statis dasar sumur (Pws) dan tekanan alir dasar sumur (Pwf).

3.3.1 Perkiraan Tekanan Statis Dasar Sumur


3.3.1.1 Metode Tekanan & Temperatur Rata-rata
Jika Z dievaluasi pada tekanan dan temperatur rata-rata, maka persamaan
dalam satuan lapangan dapat dituliskan sebagai berikut :
0,01875.𝛾𝑔. 𝐻
𝑃𝑤𝑠 = 𝑃𝑡𝑠 . 𝑒𝑥𝑝 ( ) (3-6)
𝑇̅ .𝑍̅

Dimana :
Pws = Tekanan statis dasar sumur, (psia)
Pts = Tekanan statis di permukaan, (psia)
ɣg = Specific gravity gas
H = Kedalaman sumur, (ft)
T = Temperatur rata-rata, (ºR)
Z = Faktor deviasi gas pada T dan P rata-rata

Karena Z rata-rata harus dievaluasi pada tekanan rata-rata yang melibatkan


Pws, maka perhitungan harus dilakukan secara coba-coba dengan menganggap
suatu harga Pws tertentu. Sebagai anggapan awal harga Pws diambil dari persamaan
berikut.
𝑃𝑤𝑠 = 𝑃𝑡𝑠 (1 + 2,5⁡𝑥⁡10−5 𝐻) (3-7)

3.3.1.2 Metode Cullender & Smith


Metode ini memperhitungkan perubahan temperatur terhadap kedalaman dan
perubahan Z terhadap tekanan dan temperatur. Persamaan yang digunakan sebagai
berikut :
2. ∫ 𝐼. 𝑑𝑃 = (𝑃𝑚𝑠 − 𝑃𝑡𝑠 ). (𝐼𝑚𝑠 + 𝐼𝑡𝑠 ) + (𝑃𝑤𝑠 − 𝑃𝑚𝑠 ). (𝐼𝑤𝑠 + 𝐼𝑚𝑠 ) (3-8)
Dimana :
Pms = Tekanan pada titik tengah sumur, H/2 (psia)

24
Ims = Harga I yang dievaluasi pada Pms dan T rata-rata
Its = Harga I yang dievaluasi pada Pts dan Ts
Iws = Harga I yang dievaluasi pada Pws dan Tf

Prosedur perhitungan pada metode ini adalah dengan membagi sumur


menjadi dua segmen panjang (H/2), menentukan Pms pada H/2 dan menggunakan
harga tersebut untuk menentukan Pws. Adapun Its dapat dihitung dengan
menggunakan kondisi permukaan, yaitu :
0,01875.𝛾𝑔. 𝐻
𝑃𝑚𝑠 = 𝑃𝑡𝑠 + (3-9)
𝐼𝑚𝑠 +𝐼𝑡𝑠

Sehingga harga Pws dapat dihitung secara lanngsung dengan menggunakan


persamaan berikut ini :
0,01875.𝛾𝑔. 𝐻
𝑃𝑤𝑠 = 𝑃𝑚𝑠 + (3-10)
𝐼𝑚𝑠 +𝐼𝑤𝑠

3.4 Perkiraan Tekanan Aliran Dasar Sumur


3.4.1 Metode Tekanan & Temperatur Rata-rata
Dengan anggapan bahwa harga Z dievaluasi pada tekanan dan temperatur
rata-rata, didapat persamaan :
⁡⁡⁡⁡⁡2 ⁡⁡⁡2 25.𝛾𝑔. 𝑞 2 .𝑇̅.𝑍.
̅ 𝑓.𝐻(exp(𝑆)−1)
𝑃𝑤𝑓 = 𝑃𝑡𝑓 . exp⁡(𝑆) + (3-11)
𝑆.𝑑5

Dimana :
S ̅ . Z̅
= 0,0375 . ɣg . TVD / T (3-12)
H = Kedalaman yang terukur, (feet)
TVD = Kedalaman sebenarnya, (feet)
T = Temperatur, (ºR)
Q = Laju alir gas, (MMSCFD)
d = Diameter, (inch)
f = Faktor gesekan

25
Harga Z dievaluasi pada ̅
P = (Ptf + Pwf)/2. Dengan membagi sumur menjadi
beberapa segmen akan mendapatkan hasil yang lebih akurat. Prosedur untuk
metode ini adalah :
1. Memperkirakan Z* (sebagai perkiraan awal gunakan angka 0,9).
2. Menentukan tekanan yang tidak diketahui dengan persamaan (3-11) dengan Z
= Z*.
3. Menentukan tekanan rata-rata, ̅
P = (Ptf + Pwf)/2.
̅ dan T
4. Menentukan Z pada P ̅.
5. Membandingkan Z dan Z*. Jika hasil yang didapat belum sama atau cukup
𝑍−𝑍 ∗
dekat, atur Z* = Z dan lanjutkan ke langkah 2. Ulangi sampai < 0,001.
𝑍

Dengan mengubah kecepatan menjadi laju alir, persamaan bilangan reynold


menjadi:
𝐶.𝛾𝑔.𝑄𝑠𝑐
𝑁𝑅𝑒 = (3-13)
𝜇.𝑑

Dengan
Units
Variabel
Field SI
Qsc = laju alir gas MMSCFD MM m/day
𝛾𝑔 = specific gravity gas - -
𝜇 = viskositas gas cp Kg/m-sec
d = diameter pipa inch M
C = konstanta 20011 17,96

20011.𝛾𝑔.𝑞𝑠𝑐
𝑁𝑅𝑒 = (3-14)
𝜇.𝑑

3.4.2 Metode Cullender & Smith


Metode ini dikembangkan berdasarkan persamaan :
𝑃 𝑑𝑃 𝑀 𝑃 2
. = [(𝑍𝑇) . 𝑐𝑜𝑠𝜃 + 𝐶] (3-15)
𝑍𝑇 𝑑ℎ 𝑅

26
Dimana :

8.𝑃 ⁡⁡⁡⁡2 .𝑄𝑠𝑐


⁡⁡⁡⁡2 .𝑓
𝐶 = 𝑇 ⁡⁡⁡⁡2𝑠𝑐.𝑔 2 .𝑑5
(3-16)
𝑠𝑐 𝑐. 𝜋

Apabila persamaan (3-22) diintegrasikan, maka akan diperoleh persamaan


dalam satuan lapangan sebagai berikut :

𝑃
𝑃𝑤𝑓 𝑑𝑝
𝑍𝑇
∫𝑃 𝑃 2 𝑇𝑉𝐷
= 18,75. 𝛾𝑔 . 𝑀𝐷 (3-17)
𝑡𝑓 0,001( ) . +𝐹2
𝑍𝑇 𝑀𝐷

Dimana:

0,667.𝑓.𝑄𝑠𝑐 2
𝐹2 = (3-18)
𝑑5

𝑇𝑉𝐷
dan = 𝑐𝑜𝑠𝜃
𝑀𝐷

Persamaan dapat ditulis dalam bentuk yang lebih pendek dengan membagi
sumur menjadi dua bagian, H/2 sehingga menghasilkan :

Untuk bagian atas :

18,75. 𝛾𝑔 . (𝑀𝐷) = (𝑃𝑚𝑓 − 𝑃𝑡𝑓 )(𝐼𝑚𝑓 + 𝐼𝑡𝑓 ) (3-19)

18,75.𝛾𝑔 .𝐻𝑡
𝑃𝑚𝑓 = 𝑃𝑡𝑓 + (3-20)
𝐼𝑚𝑓 +𝐼𝑡𝑓

Untuk bagian bawah :

18,75. 𝛾𝑔 . (𝑀𝐷) = (𝑃𝑤𝑓 − 𝑃𝑚𝑓 )(𝐼𝑤𝑓 + 𝐼𝑚𝑓 ) (3-21)

18,75.𝛾𝑔 .𝐻𝑡
𝑃𝑤𝑓 = 𝑃𝑚𝑓 + (3-22)
𝐼𝑤𝑓 +𝐼𝑚𝑓

Dimana:

𝑃
𝑇.𝑍
𝐼= 𝑃 2 𝑇𝑉𝐷
(3-23)
0,001.( ) +𝐹2
𝑇.𝑍 𝑀𝐷

27
3.5 Analisis Sistem Nodal
Analisis sistem nodal atau biasa disebut sistem analisis optimasi produksi
adalah sebuah prosedur untuk menentukan flow rate pada sumur minyak dan gas
yang berproduksi dan untuk mengevaluasi efek dari beberapa komponen seperti
ukuran tubing-string, ukuran flow-line, tekanan separator, posisi choke, safety
valves dan kondisi well completion termasuk gravel pack dan perforasi pada
sumur biasa. Komponen-komponen tersebut dievaluasi terpisah-pisah dan
dikombinasi untuk mengoptimasi seluruh sistem sehingga mendapat aliran
produksi yang paling efisien (Brown,1984).
Adapun tujuan dari nodal analisis nodal menurut Brown (1984) adalah
sebagai berikut :
1. Untuk menentukan flow rate pada sumur minyak dan gas yang berproduksi
dengan mempertimbangkan geometry wellbore dan batasan komplesi (awalnya
secara natural flow).
2. Untuk menentukan kondisi aliran ketika sumur masih mengalir atau mati.
3. Untuk menentukan waktu yang tepat untuk memasang instalasi artificial lift
dan membantu dalam memilih metode pengangkatan yang optimum.
4. Untuk mengoptimasi sistem agar memproduksi flow rate yang diinginkan.
5. Untuk mengecek setiap komponen dalam sistem sumur untuk menentukan
bagian mana yang tidak diperlukan untuk menahan flow rate.
6. Untuk membantu management operator dan engineer staff dalam menambah
laju produksi.

Hal dasar yang diperlukan untuk analisis optimasi sumur dengan analisis
sistem nodal adalah Inflow Performance Relationship (IPR) sumur pada kondisi
terkini. Data well test yang akurat harus didapatkan dan IPR dapat dibuat sehingga
analisis sukses dilakukan. Kemudian model dari komponen-komponen sumur
dapat digunakan untuk memprediksi performa sumur. Komponen-komponen dari
sistem nodal analysis dapat dilihat pada (Gambar 3.5)

28
Gambar 3.5 Sistem Kehilangan Tekanan Pada Sumur Produksi
(Beggs,1984)

Analisis sistem nodal merupakan suatu sistem pendekatan untuk optimasi


sumur minyak dan gas dengan cara mengevaluasi secara menyeluruh. Nodal
merupakan titik pertemuan antara dua komponen, pada titik pertemuan tersebut
secara fisik akan terjadi kesetimbangan dalam bentuk kesetimbangan masa fluida
yang mengalir ataupun kesetimbangan tekanan. Analisis sistem nodal ini
dilakukan dengan membuat diagram tekanan laju produksi yang merupakan grafik
yang menghubungkan antara perubahan tekanan dan laju produksi untuk setiap
komponen, menghasilkan perpotongan kurva Inflow Performance Relationship
(IPR) dan Outflow Performance Relationship (OPR), perpotongan kedua kurva
tersebut akan menghasilkan laju produksi optimum seperti yang terlihat pada
(Gambar 3.6).

29
Gambar 3.6 Kurva Titik Optimum dari Perpotongan IPR vs TPR
(Ikoku, 1984)

Dengan adanya pilihan titik nodal dan berdasarkan fasilitas serta ketersediaan
peralatan penunjang di lapangan dapat memberikan referensi dan informasi apa
yang harus dilakukan di sumur tersebut agar mendapatkan rate produksi yang
optimum.
Titik nodal di dasar sumur merupakan pertemuan antara komponen formasi
produktif/reservoir dengan komponen tubing apabila komplesi sumur adalah open
hole atau pertemuan antara komponen tubing dengan komponen komplesi yang
diperforasi atau ber-gravel pack.

3.5.1 Inflow Performance Relationship (IPR) untuk Sumur Gas


Menurut Brown Kermit E. (1979), Produktivitas formasi adalah kemampuan
dari formasi untuk mengalirkan fluida pada kondisi tekanan tertentu, umumnya
dinyatakan dengan Productivity Index (PI). Sedangkan sifat formasi yang
produktif dinyatakan dalam bentuk grafis yang dikenal dengan grafik Inflow
Performance Relationship (IPR).

30
PI yang diperoleh secara langsung maupun secara teoritis hanya merupakan
gambaran secara kualiatif mengenai kemampuan suatu sumur untuk berproduksi
(Brown, Kermit E. 1979). Dalam kaitannya dengan perencanaan suatu sumur
ataupun untuk melihat sifat suatu sumur untuk berproduksi, maka harga PI dapat
dinyatakan secara grafis, yang disebut dengan grafik Inflow Performance
Relationship (IPR) atau juga dapat didefinisikan sebagai hubungan antara laju alir
dengan tekanan alir dasar sumur. Berdasarkan definisi Productivity Index, maka
variabelnya adalah laju produksi (Q) dan tekanan aliran dasar sumur (Pwf). Oleh
karena itu persamaan tersebut dapat diubah menjadi :
𝑞
𝑃𝑤𝑓 = 𝑃𝑠 − ⁡ 𝑃𝐼 (3-24)

Dimana:
Q = Laju produksi, (STB/day)
Ps = Tekanan statis reservoir, (psia)
Pwf = Tekanan aliran di dasar sumur, (psia)
Adapun untuk membuat suatu kurva IPR untuk sumur gas dipakai persamaan
Darcy untuk aliran gas. Jika Kg, h, μg, Z, re dan rw dianggap tetap, maka
persamaannya dapat ditulis menjadi :
𝑞 = 𝐶⁡(𝑃𝑟 2 − 𝑃𝑤𝑓 2 ) (3-25)
Atau,
log ⁡𝑞 = log 𝐶 + 𝑛 log(𝑃𝑟 2 − 𝑃𝑤𝑓 2 ) (3-26)

Dimana :

n = Bilangan eksponen, (plot log Q vs log (Pr2 – Pwf2)


C = Koefisien performance, tergantung pada satuan dari Qsc dan P
Dari persamaan di atas maka dapat dibuat plot antara Q vs Pwf (asumsi) dan
hasil plot ini disebut dengan kurva IPR yang ditunjukkan pada (Gambar 3.7)
Selain jumlah fasa yang mengalir, yang perlu diperhatikan adalah adanya
hambatan terhadap aliran di sekitar lubang sumur atau jenis aliran dalam media
berpori. Sumber utama terjadinya hambatan aliran di sekitar lubang bor, yaitu :
1. Adanya invasi filtrat lumpur pemboran ke formasi produktif.

31
2. Adanya partikel lumpur pemboran yang menutup pori-pori batuan di sekitar
lubang bor.
3. Hambatan aliran minyak disebabkan oleh penurunan saturasi minyak di sekitar
lubang bor.
4. Lubang perforasi dan gravel pack.
5. Turbulensi aliran.

Gambar 3.7 Kurva Inflow Performance Relationship


(Beggs, 1984)

Sesuai dengan yang telah diuraikan di atas, bahwa pembuatan grafik IPR
dengan menggunakan metode-metode perhitungan kinerja aliran fluida dari
formasi ke lubang sumur atau sekarang dapat dikelompokkan berdasarkan kriteria
sebagai berikut :
1. Jumlah fasa yang mengalir.
2. Pengaruh skin.
3. Pengaruh turbulensi.

32
3.5.2 Outflow Performance Relationsip (OPR)
Outflow Performance Relationship dikenal dengan berbagai macam nama,
seperti Tubing Intake atau Tubing Performance Relationship. Dengan mengetahui
kondisi OPR, dapat dilihat performa sumur pada beberapa kondisi permukaan.
Dengan menghubungkannya terhadap kurva IPR maka akan didapat suatu
performa sumur dengan keadaan pada kondisi permukaan-permukaan tertentu.
Salah satu penggunaan OPR adalah untuk mengetahui ukuran choke serta
tekanan pada wellhead yang cocok digunakan pada suatu sumur dengan keadaan
IPR tertentu untuk mendapatkan laju produksi yang optimum.
Dengan menggabungkan kurva IPR dan kurva OPR akan terlihat performa
produktivitas suatu sumur. Untuk itulah kedua kurva ini sangat penting digunakan
agar tidak terjadi kesalahan dalam pemilihan ukuran peralatan produksi yang akan
digunakan terhadap suatu sumur. Untuk beberapa contoh hubungan kurva IPR dan
kurva OPR dapat dilihat pada (Gambar 3.8)

Tubing
intake
P
IPR

Gambar 3.8 Kurva IPR dan Tubing Intake (Beggs, 1984)

33
Jika kurva IPR dan kurva OPR tidak berpotongan (Gambar 3.9), maka dapat
dikatakan bahwa sumur tersebut mati karena tidak ada fluida yang dapat
terproduksi dari sumur tersebut. Pada keadaan seperti ini penyebabnya bisa karena
beberapa hal, misalnya ukuran tubing tidak sesuai dengan kondisi sumur atau
sumur tersebut telah beberapa waktu berproduksi dan mengalami penurunan
tekanan, sehingga kondisi dimana sebelumnya sumur dapat terproduksi dengan
baik namun karena mengalami penurunan tekanan, fluida produksi tidak dapat
naik ke permukaan. Jika dengan kondisi demikian, pada saat inilah artificial lift
mulai digunakan

Gambar 3.9. Kondisi Tidak Ada Aliran (Brown, 1979)

3.6 Analisis Nodal Untuk Aliran Gas


Persoalan di dalam operasi produksi gas adalah mengalirkan gas dari
reservoir ke konsumen. Menurut Abdassah (1998) faktor-faktor yang
mempengaruhi penurunan tekanan di dalam perjalanan dari reservoir ke
konsumen adalah sebagai berikut :
1. Media berpori
2. Gravel Pack atau Perforasi

34
3. Choke di dasar sumur
4. Tubing
5. Subsurface Safety Valve (SSSV)
6. Choke di permukaan
7. Well Flowline
8. Separator
9. Aliran dari kompresor ke pipa dan ke konsumen
10. Tekanan di konsumen
Meskipun komponen-komponen dari sistem produksi dapat dianalisis secara
terpisah, dalam menentukan kinerja dari suatu sistem produksi gas alam, semua
itu harus dikombinasikan menjadi suatu sistem terpadu atau yang disebut analisis
nodal. Analisis nodal merupakan suatu sistem pendekatan untuk mengevaluasi
dan mengoptimasikan sistem produksi minyak dan gas secara keseluruhan. Dalam
analisis ini sistem produksi dibagi menjadi beberapa bagian (titik), mulai dari
tekanan reservoir hingga tekanan separator. Titik penyelesaian dapat diambil pada
titik (node) manapun dalam sistem produksi.
Tujuan utama dari analisis nodal adalah menggabungkan kinerja dari
berbagai komponen sumur minyak dan gas dalam sistem produksi untuk
menentukan laju produksi dan menentukan suatu sistem produksi yang optimal.
Dalam pendekatan analisis nodal ini, sistem produksi meliputi reservoir
(aliran dari reservoir ke sandface), perforasi, gravel pack, screen, tubing,
downhole safety valves, choke, pipa permukaan dan separator.
Ada enam komponen yang menghubungkan anatara formasi produktif
dengan separator (Gambar 3.10), keenam komponen ini berpengaruh terhadap laju
produksi sumur yang akan dihasilkan. Keenam komponen ini, meliputi :
1. Komponen formasi produktif/reservoir.
2. Komponen komplesi.
3. Komponen tubing.
4. Komponen pipa salur (flowline).
5. Komponen restriksi/jepitan.

35
6. Komponen separator.

Gambar 3.10 Lokasi Pada Berbagai Titik Nodal Analysis (Beggs, 1984)

3.6.1 Pengaruh Ukuran Tubing dan Flowline


Ukuran dari pipa pada sumur akan mempunyai pengaruh yang cukup besar
terhadap kapasitas aliran dari sumur tersebut. Dalam banyak kasus, hal ini
menyebabkan sumur berproduksi dengan laju alir yang rendah sedangkan
reservoir mempunyai kapasitas cukup untuk memproduksi lebih banyak gas
(Abdassah, 1998).
Menurut Abdassah (1998) pengaruh ukuran tubing dan flowline dibagi
menjadi dua, yaitu:
3.6.1.1 Tekanan di Kepala Sumur Konstan
Kasus ini mungkin terjadi jika jarak antara kepala sumur dengan separator
cukup dekat. Persamaan untuk inflow dan outflow adalah :
Inflow : Pr - ∆Pres = Pwf
Outflow : Ptf + ∆Ptub = Pwf

36
3.6.1.2 Tekanan di Kepala Sumur Berubah
Kasus ini mungkin terjadi jika jarak dari sumur ke separator cukup jauh,
ukuran pipa dari sumur ke separator akan mempengaruhi kapasitas aliran dari
sistem. Jika pengaruh pipa tersebut diperhitungkan, maka sistem di kepala sumur
akan dibagi menjadi dua sub sistem, yaitu :
1. Reservoir + Tubing
2. Pipa alir + Tekanan Separator
Prosedur untuk mendapatkan solusinya, sebagai berikut :
1. Asumsikan nilai Qsc dan tentukan nilai pwf dengan menggunakan persamaan
Inflow Performance Relationship.
⁡⁡⁡⁡⁡2 𝑛
𝑞𝑠𝑐 = 𝐶(𝑃𝑟2 − 𝑃𝑤𝑓 ) (3-27)
Atau
1 0.5
𝑞𝑠𝑐 𝑛
𝑝𝑤𝑓 = 𝐶 [𝑃𝑟2 − (𝐶) ] (3-28)

2. Menggunakan persamaan penurunan tekanan di tubing, tentukan tekanan


kepala sumur, Ptf untuk setiap Qsc dan Pwf yang ditentukan dari langkah 1.
Metode “Tekanan dan Temperatur Rata-rata” digunakan untuk menentukan Ptf
untuk setiap Qsc dan Pwf. Persamaannya adalah :
0.5
𝑃𝑤𝑓 2 −[25.𝛾𝑔 .𝑞𝑠𝑐
⁡⁡⁡2 .𝑇. ̅ 𝑓.𝐻(exp(𝑆)−1)]⁄𝑆.𝑑5
̅ 𝑍.
𝑃𝑡𝑓 = [ ] (3-29)
exp⁡(𝑆)

Buat tabulasi hasil perhitungan ini bersamaan dengan hasil pada langkah 1.
3. Memplot antara Ptf dan Qsc.
4. Menggunakan tekanan separator yang konstan dan persamaan aliran di pipa
tentukan ptf untuk beberapa asumsi laju alir. Persamaan yang digunakan
adalah :
0.5
𝑃𝑡𝑓 = [𝑃𝑠𝑒𝑝 2 + (25. 𝛾𝑔 . 𝑞𝑠𝑐
⁡⁡⁡⁡2 ̅ ̅
. 𝑇. 𝑍. 𝑓. 𝑑𝐿5)] (3-30)
5. Memplot Ptf terhadap Qsc pada grafik yang sama dengan grafik yang
digunakan pada langkah 3. Perpotongan antara kedua kurva tersebut akan
memberikan harga Ptf dan Qsc dari kedua sub sistem tersebut.

37
3.7 IPM (Integrated Production Modelling)
IPM merupakan perangkat lunak simulasi yang di dalamnya terdiri dari sub-
perangkat lunak yang berfungsi secara spesifik. Sub-perangkat lunak yang
terhubung di dalam IPM antara lain: PROSPER, MBAL, GAP, PVTP, REVEAL
dan RESOLVE.

3.7.1 PvtP
Pvt Package merupakan salah satu bagian simulator dari Petroleum Expert
IPM bagi production atau reservoir engineer yang digunakan untuk memprediksi
pengaruh dari kondisi dan proses pada komposisi campuran hidrokarbon dengan
akurat dan cepat. Perilaku komposisi campuran yang kompleks termasuk gas
campuran, gas kondensat, kondensat retrograde, volatile oil dan black oil dapat
diinterpretasikan dan diprediksi dengan benar.

38

Anda mungkin juga menyukai